Hubungan Social Support dan Work-Family Conflict pada Polwan yang Sudah Menikah di Polrestabes Kota Bandung.

(1)

Abstrak

Penelitian yang berjudul “Hubungan Social Support dan Work Family Conflict Pada Polwan yang Sudah Menikah di Polrestabes Kota Bandung” ini bertujuan untuk

melihat hubungan antara social support dan work family conflict. Rancangan penelitian ini menggunakan metode korelasional. Responden pada penelitian ini berjumlah 30 orang yang dipilih berdasarkan teknik purposive sampling.

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur social support merupakan alat ukur yang dimodifikasi dari alat ukur yang dikembangkan oleh Caplan, Cob, French, Harisson & Pinneau (1975). Berdasarkan uji validitas diperoleh 12 item valid dengan validitas berkisar antara .426 - .813 dan reliabilitas sebesar .931. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur work family conflict merupakan alat ukur asli yang dibuat oleh Dawn S. Carlson, K, Michele Kacmar, dan Larry J. Williams (2000) dan diadaptasi oleh Indah Soca, M. Psi., psikolog.

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat hubungan antara Social Support dan Work Family Conflict (r = -0,441). Untuk mempertajam hubungan antara social support dan work family conflict, peneliti tertarik untuk melihat antara dimensi kedua variable yang diteliti yaitu hubungan dari work support dengan work interference with family dan hubungan antara dari family support dengan family interference with work. Hasil penelitian dari work support dengan work interference with family adalah terdapat hubungan negative yang cukup erat antara Work Support dan Work Interference dengan nilai korelasi sebesar -0,411. Namun, hasil penelitian dari family support dengan family interference with work adalah tidak terdapat hubungan yang erat antara kedua variable dengan nilai korelasi sebesar -0,116.

Peneliti mengajukan saran agar pihak kepolisian dan suami tetap memberikan social support pada Polwan dan Polwan yang bersangkutan tetap menjaga hubungan baik dengan atasan dan rekan kerja. Peneliti juga menyarankan pada peneliti selanjutnya agar dapat melakukan penelitian secara khusus mengenai hubungan work-family conflict dengan variabel lain yang berkaitan.


(2)

Abstract

This research, titled the relation of social support and work family conflict in married women police force in Polrestabes Kota Bandung is intended to see the relation of social support and work pafily conflict. The method of this research is using correlational method. The respondents of this research is 30 person, that was choosed using the prupoive sampling methids.

The research questionnaire used to measure the social support was the modified questionnaire that has been developed by Caplan, Cob, French, Harrison & Pinneau (1975). The validity measurement shoes 12 item was valid enough, ranged from .426 to .813, and a reliability of .913. The measurement of work family conflict is developed by Dawn S. Carlson, K. Michelle Kachmar, and Larry J. Williams, that has beed adapted by Indah Soca Kuntari, M.Psi, psikolog.

Based on the research result, there is a relationship between social support and work family conflict (r = -0,441). To sharpen the relationship between social support and work family conflict researcher interested to see relationship between the dimensions of two varaibles studied is relationship between work support and work interference with family is also a relationship between family support and family interference with work. Result of research on the relationship between work support and work interference with family are quite close negative correlation, with the correlation number is -0,411. However, between family support and family interference with work is the absence of a close relationship between these two variables, the correlation number is -0,116.

Researchers propose advice to the police and her husband continue to provide social support to the concerned Policewomen and Policewomen still maintain a good relationship with your boss and coworkers. Researchers also suggest the next researcher to be able to conduct research specifically on the relationship work-family conflict with other variables related.


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 11

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 11

1.3.1 Maksud Penelitian ... 11

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Kegunaan Penelitian ... 12

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 12

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 12

1.5 Kerangka Pikir ... 12

1.6 Asumsi ... 22


(4)

viii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Work-Family Conflict ... 23

2.1.1 Definisi Work-Family Conflict ... 23

2.1.2 Bentuk Work-Family Conflict ... 23

2.1.3 Sumber atau penyebab Work-Family Conflict ... 25

2.1.4 Dimensi Work-Family Conflict ... 31

2.1.5 Dampak-dampak yang ditimbulkan Work-Family Conflict ... 32

2.2 Social Support ... 35

2.2.1 Definisi Social Support ... 35

2.2.2 Bentuk Social Support ... 35

2.2.3 Sumber Social Support ... 36

2.2.3.1 Sumber yang berhubungan dengan pekerjaan ... 36

2.2.3.2 Sumber yang berhubungan dengan non-pekerjaan .... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 39

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 39

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 40

3.3.1 Variabel Penelitian ... 40

3.3.2 Definisi Operasional ... 40

3.3.2.1 Definisi Operasional Social Support ... 40

3.3.2.2 Definisi Operasional Work-Family Conflict ... 40

3.4 Alat Ukur ... 42

3.4.1 Kisi-Kisi Alat Ukur Social Support ... 42


(5)

3.4.3 Data Pribadi ... 45

3.4.4 Validitas dan Reabilitas Alat Ukur ... 45

3.4.4.1 Validitas Alat Ukur ... 45

3.4.4.2 Reabilitas Alat Ukur ... 46

3.Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 47

3.5.1 Populasi Sasaran ... 47

3.5.2 Karateristik Sampel ... 47

3.6 Teknik Analisis Data ... 47

3.7 Hipotesis Statistik ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden ... 49

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 49

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Jumlah Anak ... 50

4.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Bekerja ... 50

4.1.4 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Menikah ... 51

4.1.5 Gambaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Suami ... 51

4.2 Hasil Penelitian ... 52

4.2.1 Hubungan Social Support dan Work Family Conflict ... 52

4.2.2 Hubungan Work Support dan Work Interference with Family 53

4.2.3 Hubungan Fanily Support dan Family Interference with Work 54

4.3 Pembahasan ... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 59


(6)

x

5.2 Saran ... 59

5.2.1 Saran Teoritis ... 59

5.2.2 Saran Praktis ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

DAFTAR RUJUKAN ... 62 LAMPIRAN


(7)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur Social Support ... 42

Tabel 3.2 Skor Item Social Support ... 43

Tabel 3.3 Kisi-kisi Alat Ukur Work-Family Conflict ... 44

Tabel 3.4 Skor Item Work-Family Conflict ... 45

Tabel 3.5 Kriteria Validitas ... 46

Tabel 3.6 Kriteria Reliabilitas ... 46

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 49

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Jumlah Anak ... 50

Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Bekerja ... 50

Tabel 4.4 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Menikah ... 51

Tabel 4.5 Gambaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Suami ... 51

Tabel 4.6 Hubungan Social Support dan Work Family Conflict ... 52

Tabel 4.7 Hubungan Work Support dan Work Interference with Family 53


(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pikir Hubungan Social Support dan Work-

Family Conflict ... 21 Gambar 3.1 Bagan Prosedur Penelitian ... 39


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran A Letter of Consent dan Alat Ukur (Kisi-kisi alat ukur, Identitas

dan Data Demografis) ... L-1 Lampiran B Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ... L-12 Lampiran C Hasil Penelitian ... L-14 Lampiran D Profil Peneliti ... L-25


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seiring dengan perkembangan zaman, sekarang banyak wanita yang ingin meniti karir di luar rumah, ketimbang hanya menjadi seorang ibu rumah tangga. Dahulu tugas wanita hanya mengurus anak, suami dan rumah tangga, maka saat ini peran tersebut sudah bergeser. Menurut sebagian besar pendapat masyarakat, wanita dianggap hanya dapat mengerjakan pekerjaan yang bersifat kewanitaan seperti merangkai bunga, juru masak, perancang busana, atau sekretaris (Ancok, 1995). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Vuuren (1993) yang mengatakan jika masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa wanita tidak lazim menjadi pekerja tambang, pekerja bangunan, dokter, insinyur maupun pimpinan perusahaan. Pada kenyataannya, tidak sedikit wanita yang bekerja pada pekerjaan yang bersifat maskulin, seperti menjadi buruh bangunan, supir bus dan angkatan umum, serta banyak pula yang menjadi polisi wanita atau Polwan.

Di Indonesia, keterlibatan wanita dalam pekerjaan non-tradisional atau peran publik, khususnya anggota polisi, ditunjukan oleh data pada tahun 2012 yakni jumlah Polwan sebanyak 13.200 orang atau 3,6% dari 398.000 jumlah polisi di Indonesia (Tempo, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa wanita mampu menyetarakan perannya seperti kaum pria, dengan hak dan kewajiban sama yang diperoleh kaum pria dalam pekerjaannya.

Wanita Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi polisi asalkan telah lulus dalam tahap seleksi awal. Tahapan ini dimulai dengan tes kesehatan fisik, dalam tes ini salah satunya dilihat tinggi badan dan berat badan. Setelah itu, jika pada tes ini


(11)

calon Polwan dinyatakan lulus, maka dilanjutkan dengan tes jasmani, tes psikologi, dan tes kesehatan mental. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari kepala bagian hubungan masyarakat, untuk diterima masuk dalam pendidikan kepolisian tidaklah mudah. Tahap seleksi ini sangatlah ketat, dimana banyak calon Polwan yang gugur saat melewati tahap-tahap seleksi. Setelah calon Polwan lulus dalam tahap seleksi, barulah calon Polwan dapat mengikuti pendidikan kepolisian.

Secara umum, Polwan memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dengan polisi laki-laki seperti yang tercantum dalam UU kepolisian No. 2 Tahun 2002 pasal 13, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, namun terdapat beberapa kebijakan yang diberikan kepolisian terhadap khususnya Polwan. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan kepala bagian hubungan masyarakat Polrestabes Bandung, tidak ada perbedaan dalam pembagian tugas pada polisi laki-laki dan wanita. Ketika diharuskan untuk patroli malam, bukan saja polisi laki-laki yang dilibatkan, melainkan Polwan pun ikut dilibatkan.

Menurut kepala bagian sumber daya manusia Polrestabes Bandung, organisasi kepolisian disini dibagi menjadi empat bagian, yaitu bagian satuan lalu lintas, bagian reserse kriminal, bagian intel, dan bagian operasi. Polwan lebih banyak ditempatkan pada bagian satuan lalu lintas, hal ini dikarenakan pada bagian ini lebih banyak dibutuhkan anggota daripada di bagian lain. Menurut kepala bagian sumber daya manusia, bagian satuan lalu lintas merupakan bagian yang paling diutamakan dalam kepolisian, hal ini dikarenakan salah satu misi dari kepolisian adalah memberikan pelayanan pada masyarakat dan bagian satuan lalu lintas adalah bagian yang paling sering berhubungan dengan masyarakat secara langsung. Misalnya, setiap pagi mereka harus mengatur lalu lintas, ketika terdapat masyarakat yang melanggar dan terkena


(12)

3 tilang, maka masyarakat akan berurusan langsung dengan polisi bagian lalu lintas. Pertimbangan kepolisian untuk meletakkan lebih banyak Polwan pada bagian satuan lalu lintas karena wanita dianggap lebih mampu untuk melihat situasi kondisi dan menempatkan diri, dimana mereka mengetahui kapan mereka harus ramah pada masyarakat dan kapan mereka harus bersikap tegas pada masyarakat.

Polwan yang ditempatkan pada bagian lalu lintas memiliki jam kerja yang lebih padat dibandingkan Polwan yang ditempatkan di bagian lain. Waktu bekerja Polwan bagian satuan lalu lintas pada hari biasa adalah pukul 05.00 sampai dengan pukul 18.00. Setiap pagi mereka diharuskan mengikuti Apel terlebih dahulu, setelah itu barulah mereka melakukan pelayanan masyarakat pada bagian pengaturan lalu lintas. Setelah melakukan pelayanan masyarakat di lapangan, mereka kembali ke kantor dan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan unitnya masing-masing hingga pukul 15.00. Pada pukul 16.00 mereka kembali melakukan pelayanan masyarakat pada bagian pengaturan lalu lintas hingga pukul 18.00. Sedangkan pada hari Sabtu adalah pukul 05.00 sampai dengan pukul 20.00, terkadang apabila lalu lintas sangat padat, mereka dapat bekerja hingga pukul 24.00.

Pada hari Minggu, mereka mulai bekerja pukul 08.00 untuk mengatur lalu lintas pada acara car free day di Dago hingga pukul 10.00, setelah itu mereka beralih untuk mengatur lalu lintas di jalan Asia Afrika dimana sekarang jalan tersebut banyak dikunjungi oleh masyarakat untuk sekedar berfoto-foto atau jalan-jalan hingga waktu yang tidak dapat ditentukan karena tergantung dengan ramainya lalu lintas di jalan tersebut. Saat keadaan lalu lintas sudah mulai sepi dan diperbolehkan untuk pulang oleh komandan mereka, barulah mereka dapat pulang ke rumah. Namun, untuk pengaturan lalu lintas setiap hari Minggu masing-masing Polwan mendapatkan tugas dua minggu sekali, apabila ia tidak bertugas, pada hari Minggu ia dapat libur.


(13)

Polwan dalam bagian satuan lalu lintas juga berbeda dengan bagian lain karena pada bagian ini Polwan tidak hanya bekerja di dalam ruangan saja, tetapi Polwan juga harus bekerja di lapangan. Dengan kata lain, Polwan juga dtuntut memiliki stamina yang kuat agar Polwan dapat tetap sehat saat bekerja dengan cuaca lingkungan yang berubah-ubah.

Dengan berbagai tugas Polwan dan jam kerja yang sangat padat, mereka memiliki beban yang cukup berat karena mereka dihadapkan pada dua hal penting yaitu keberhasilan sebagai polisi dan kesuksesan membina rumah tangga. Polwan yang berkeluarga dikatakan memiliki peran ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga dan sebagai anggota kepolisian. Berdasarkan wawancara dengan sepuluh orang polisi, delapan (80%) diantaranya mengatakan bahwa mereka sering kelelahan dalam menjalankan kedua peran tersebut. Mereka harus bekerja karena menjadi seorang Polwan merupakan cita-cita mereka sejak remaja dan mereka tidak mau meninggalkan pekerjaan mereka begitu saja karena untuk menjadi seorang Polwan tidaklah mudah. Untuk menjadi seorang Polwan mereka harus melewati tahap seleksi yang sangat ketat. Ketika mereka sudah lulus menjadi Polwan, mereka wajib untuk mengikuti peraturan yang ada. Mereka harus bekerja sesuai dengan waktu yang terlah ditentukan. Waktu bekerja yang padat ini menjadi lebih berat bagi Polwan yang baru melahirkan atau memiliki anak balita.

Beberapa studi menemukan bahwa orang tua dari anak-anak yang masih kecil, yang mungkin menuntut waktu yang lebih banyak dari orang tua mereka, mengalami lebih banyak konflik daripada orang tua dengan anak-anak yang sudah besar (Beutell & Greenhaus, 1980; Greenhaus & Kopelman, 1981; Pleck et al., 1980). Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh tiga orang Polwan yang masih memiliki anak balita, mereka merasa sedih ketika harus meninggalkan anak mereka di rumah, terlebih ketika


(14)

5 pulang ke rumah anak mereka sudah tertidur dan ketika harus berangkat bekerja anak mereka belum bangun atau anak mereka menangis karena tidak ingin ditinggal ibunya. Pada satu sisi para Polwan ini ingin berada di samping anak mereka untuk merawat, melihat perkembangan anak mereka yang masih balita dimana peran seorang ibu sangat dibutuhkan, namun di sisi lain mereka harus bekerja. Polwan yang memiliki tempat tinggal jauh dari kantor juga memerlukan waktu yang lebih banyak untuk berangkat ke kantor dan pulang ke rumah. Hal ini membuat waktu mereka untuk mengurus rumah tangga menjadi lebih sedikit.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan sepuluh orang Polwan, enam (60%) diantaranya mengatakan bahwa terkadang mereka merasa sedih ketika sedang mengatur lalu lintas dan melihat orang tua yang mengantar anaknya sekolah, sedangkan mereka tidak selalu bisa untuk mengantar anak sekolah. Dari sepuluh orang Polwan yang diwawancarai, terdapat pula empat Polwan yang bekerja pada bagian pendidikan dan rekayasa, mereka bertugas untuk memberikan penyuluhan pendidikan mengenai lalu lintas pada anak-anak di taman lalu lintas Bandung. Keempat Polwan tersebut mengatakan bahwa terkadang mereka merasa sedih ketika mengajar anak-anak tersebut, mereka merasa memiliki waktu untuk mengajar anak-anak-anak-anak kecil yang merupakan anak orang lain, sedangkan mereka jarang memiliki kesempatan untuk mengajar anak mereka di rumah karena mereka harus bekerja.

Dengan kurangnya waktu untuk merawat anak dan rumah tangga, berdasarkan hasil wawancara dengan sepuluh orang Polwan, tiga (30%) orang Polwan mengatakan bahwa sempat terlintas di pikiran Polwan untuk berhenti bekerja, terlebih ketika anak mereka melarang ibunya untuk bekerja. Mereka pun mencoba untuk berdiskusi dengan suami karena mereka ingin banyak menghabiskan waktu dengan anak mereka di rumah. Setelah berdiskusi, suami mencoba untuk memberikan masukkan, suami


(15)

mengatakan bahwa lambat laun anak mereka akan beranjak dewasa dimana anak mereka sudah dapat mandiri dan Polwan tidak perlu terlalu khawatir meninggalkan anak di rumah. Polwan pun kembali teringat dengan jerih payahnya untuk masuk kepolisian sehingga ia mengurungkan niatnya untuk berhenti bekerja.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan sepuluh orang Polwan, terlihat bahwa tuntutan keluarga dan pekerjaan tidak selalu sejalan, sehingga tuntutan-tuntutan dan tekanan tersebut dapat menimbulkan work-family conflict. Menurut Greenhaus dan Beutell (1985) work-family conflict adalah tekanan yang bertentangan dan timbul bersamaan dari peran dalam pekerjaan dan keluarga. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa intensitas terjadi work-family conflict pada wanita lebih besar dibandingkan pria (Apperson et al, 2002). Keterlibatan dan komitmen waktu seorang ibu pada keluarga yang didasari tanggung jawab mereka terhadap tugas rumah tangga, termasuk mengurus suami dan anak membuat para ibu yang bekerja lebih sering mengalami konflik. Tingkat konflik ini lebih parah pada ibu yang bekerja secara formal karena mereka umumnya terikat dengan aturan organisasi tentang jam kerja, penugasan atau target penyelesaian pekerjaan (Simon, 1995, dalam Apperson et al, 2002).

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan sepuluh Polwan, Sembilan (90%) diantaranya mengatakan bahwa terkadang saat mereka berangkat bekerja, mereka tetap memikirkan anak-anak yang ditinggalkan di rumah. Hal ini mempengaruhi kinerja mereka di kantor, dimana Polwan menjadi tidak berkonsentrasi dengan pekerjaan yang sedang mereka kerjakan. Polwan menjadi sering menelepon anak mereka untuk sekedar menanyakan kabar karena Polwan khawatir meninggalkan anak mereka di rumah. Saat mereka menghubungi anak mereka di rumah, Polwan harus meninggalkan pekerjaan mereka beberapa saat atau menitipkan pada rekan kerja


(16)

7 mereka, dimana ketika Polwan sering melakukan hal tersebut, beberapa diantara Polwan mendapat teguran dari senior mereka.

Para Polwan juga mengatakan bahwa mereka merasa suami tidak merasakan kekhawatiran yang sama karena suami menganggap sudah ada istri dan itu merupakan tanggung jawab istri, sehingga menurut para Polwan saat suami bekerja, suami tidak terlalu memikirkan keluarga yang ditinggalkan di rumah, sehingga terkadang Polwan sering merasa terbeban ketika memikirkan anak yang ditinggalkan atau pekerjaan rumah yang belum sempat mereka selesaikan. Hal ini terkadang memicu suami untuk protes pada Polwan yang akhirnya menimbulkan konflik dalam keluarga.

Selain itu, dengan adanya konflik yang dialami Polwan, seringkali hal ini juga berdampak pada pekerjaanya. Saat Polwan harus mengantar anak mereka sekolah atau les, Polwan harus meminta rekan kerja mereka untuk menggantikan pekerjaanyanya. Polwan yang masih memiliki anak balita, saat anak mereka menangis tidak ingin ditinggalkan oleh ibunya, Polwan harus menenangkan dan memberikan pengertian pada anak mereka dan hal ini membuat Polwan terlambat datang ke kantor.

Untuk mengurangi derajat konflik ini, intervensi seperti tempat kerja yang ramah dan dukungan keluarga akan meningkatkan sikap kerja dan penurunan work-family conflict. Social support telah diidentifikasi sebagai mekanisme penanggulangan penting yang dapat mengurangi pengaruh-pengaruh negatif dari banyak tekanan (Gore, 1987; Kahn & Byosiere, 1991; Thomas & Ganster, 1995). Social support adalah suatu transaksi interpersonal yang melibatkan affirmation atau bantuan dalam bentuk dukungan instrumen yang diterima individu sebagai anggota jaringan sosial (House & Well, 1987, dalam Russell et al, 1989). Social support terdiri dari dua bentuk yaitu instrumental dan emotional (Pattison,1977). Instrumental support dicirikan oleh pemberian bantuan aktual, misalnya meminjamkan uang, menjaga anak (waktu


(17)

orangtuanya pergi), atau membantu dengan sebuah tugas. Emotional support ditunjukkan melalui perilaku-perilaku simpatik dan peduli. Terdapat dua sumber social support yaitu dari pekerjaan dan non-pekerjaan. Social support diketahui memiliki pengaruh penting terhadap work-family conflict di dalam beberapa studi (Warner dkk., 2007).

Adanya hubungan antara social support dengan work-family conflict juga dirasakan oleh Polwan yang bekerja di Polrestabes Bandung pada bagian satuan lalu lintas. Beban yang dirasakan Polwan tidak terlalu berat jika keluarga terutama suami dapat mengerti pekerjaannya, membantu pekerjaan rumah tangga, dan membantu untuk mengurus anak. Social support dari keluarga telah ditemukan dapat membantu mengurangi stres dalam area keluarga, seperti stres pernikahan (Bernas & Major, 2000; Phillips-Miller, Campbell & Morrison, 2000). Berdasarkan hasil wawancara dengan sepuluh orang Polwan, delapan orang Polwan mengatakan bahwa social support dari suami dirasakan paling berpengaruh untuk meredakan konflik dan kekhawatiran yang dirasakan. Suami mereka bersedia untuk membantu mengajar atau merawat anak ketika mereka sedang bekerja, hal ini mencerminkan instrumental support yang diperoleh Polwan dari keluarga. Saat suami mereka sedang berada di rumah, mereka sering meminta suami untuk mengirimkan foto anak mereka, hal itu cukup untuk dapat mengatasi rasa rindu mereka dan hal ini mencerminkan emotional support yang diperoleh Polwan dari keluarga.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan sepuluh orang Polwan, Sembilan (90%) diantaranya juga mengatakan dengan adanya suami yang mau memahami dan mengerti peran mereka sebagai Polwan membuat beban mereka berkurang. Dengan begitu hubungan mereka dengan suami tetap baik, mereka jarang mengalami konflik mengenai kesibukan mereka sebagai Polwan. Tidak dapat dipungkiri memang


(18)

9 terkadang suami sering menyalahkan istri ketika anak mereka sakit karena istri dianggap tidak dapat mengurus anak dengan baik, terkadang hal ini membuat istri stress, namun ketika istri memberikan penjelasan bahwa faktor yang membuat anak sakit karena mereka jajan sembarangan dimana hal tersebut di luar kontrol istri, suami dapat mengerti. Sejauh ini, menurut para Polwan, suami mereka bersedia diajak untuk berdiskusi bersama dan mendukung dalam menjalankan kewajiban sebagai seorang Polwan.

Walaupun jam bekerja sebagai Polwan itu padat, namun banyak kebijakan dari kepolisian serta rekan kerja yang senantiasa saling mengerti dan membantu. Beberapa studi menunjukkan pentingnya dukungan atasan (Ganster et al 1986.;Jayaratne et di. 19R8) dan dukungan rekan kerja (Shinn et al 1984;. Jayaratne et al 1988;. Ray dan Miller 1991). Dukungan dari atasan diberikan berupa kebijakan dari pihak kepolisian antara lain, Polwan diijinkan untuk ijin bekerja jika anak mereka sakit dengan melampirkan surat sakit dari dokter. Saat suami atau orang tua mereka sakit pun mereka diperbolehkan untuk ijin bekerja. Saat suami mereka yang juga seorang polisi dipindah dinas bekerja, mereka juga diperbolehkan mengajukan surat untuk ikut pindah dinas dengan suami. Jika surat permohonan disetujui, mereka diijinkan untuk ikut suami. Selain itu, saat suami berdinas di kota lain, ketika Polwan ingin mengunjungi suami dan meminta ijin untuk tidak bertugas di hari Minggu pun terkadang diberikan ijin oleh atasan asalkan tidak terlalu sering dan adanya komunikasi yang baik antara Polwan yang bersangkutan dengan atasan. Hal ini mencerminkan instrumental support yang diperoleh Polwan dari pekerjaannya.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan sepuluh orang Polwan, tujuh (70%) diantaranya mengatakan bahwa atasan mereka cukup empati pada Polwan yang sudah berkeluarga. Apabila atasan mengetahui bahwa mereka


(19)

bekerja di kota yang berbeda dengan suami mereka, seringkali Polwan izin piket di hari Sabtu dan Minggu setiap dua minggu sekali untuk mengunjungi suami mereka. Jika Polwan tidak izin, atasan mereka akan bertanya mengapa mereka tidak izin untuk mengunjungi suami mereka. Perhatian yang diberikan oleh atasan menunjukkan emotional support yang diperoleh Polwan dari pekerjaanya.

Selain kebijakan dari pihak kepolisian, rekan kerja di kantor pun saling membantu satu sama lain. Saat terdapat rekan kerja dimana anak mereka menangis tidak mau ditinggal oleh ibunya, Polwan yang bersangkutan dapat melapor pada rekan kerja yang lebih senior untuk meminta ijin terlambat datang bekerja dikarenakan harus menenangkan anaknya terlebih dahulu, sehingga pekerjaan Polwan yang bersangkutan dapat digantikan terlebih dahulu oleh Polwan yang lain. Saat Polwan ingin mengantar anak sekolah, mereka dapat meminta izin beberapa saat pada senior dan rekan kerja yang sedang menganggur dapat menggantikan pekerjaan Polwan yang bersangkutan. Polwan juga terkadang sering membawa anak mereka ke kantor agar mereka masih dapat menghabiskan waktu dengan anak mereka sambil bekerja, asalkan anak mereka tidak mengganggu kegiatan bekerja. Dengan adanya dukungan dan bantuan yang diberikan oleh pihak kepolisian tempat mereka bekerja, membuat beban Polwan menjadi lebih ringan. Hal ini menunjukkan instrumental support yang diperoleh Polwan dari pekerjaanya.

Saat Polwan baru melahirkan dan meninggalkan anak mereka yang masih balita di rumah, ketika mereka sedang bekerja, perasaan khawatir itu sering muncul. Polwan seringkali banyak bercerita dan bertukar pikiran dengan rekan kerjanya yang lain dan menurut Polwan hal ini cukup efektif untuk mengurangi rasa khawatir mereka. Rekan kerja yang sudah pernah mengalami peristiwa seperti ini memahami perasaan khawatir yang dirasakan oleh rekan kerjanya yang masih memiliki anak balita. Dalam


(20)

11 hal ini, biasanya rekan kerja berusaha untuk memberikan semangat dan ketenangan pada Polwan yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan emotional support yang diperoleh Polwan dari pekerjaanya.

Berdasarkan hasil survei di atas, terlihat bahwa masalah yang berkaitan dengan work-family conflict dirasakan oleh Polwan yang sudah berkeluarga di Polrestabes Kota Bandung. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan social support dengan work-family conflict pada Polwan di Polrestabes kota Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka pernasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara social support dan work-family conflict pada Polwan yang sudah menikah di Polrestabes kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Untuk memperoleh gambaran mengenai hubungan social support dan work-family conflict pada Polwan yang sudah menikah di Polrestabes kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk melihat apakah terdapat hubungan antara social support dan work-family conflict pada Polwan yang sudah menikah di Polrestabes kota Bandung.


(21)

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai work-family conflict pada Polwan.

2. Memberikan informasi bagi ilmu psikologi khususnya di bidang psikologi industri dan organisasi mengenai hubungan social support dan work-family conflict pada Polwan yang sudah menikah di Polrestabes kota Bandung.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi kepada atasan bagian satuan lalu lintas upaya-upaya untuk tetap dapat menjaga produktivitas dari Polwan yang sudah menikah di Polrestabes kota Bandung.

2. Memberikan informasi pada suami dari Polwan yang bekerja di Polrestabes kota Bandung agar selalu memberikan social support kepada istrinya.

3. Memberikan gambaran kepada Polwan yang bekerja di Polrestabes kota Bandung mengenai hubungan social support dan work-family conflict.

1.5 Kerangka pikir

Para Polwan yang sudah berkeluarga memiliki peran dalam keluarga dan dalam pekerjaan. Sebagai Polwan yang merupakan salah satu bagian penting dalam jejeran pemerintahan harus dapat menjalankan dan memenuhi tuntutan peran di tempatnya bekerja, seperti melaksanakan tugas sebagaimana yang tercantum dalam job description dan mematuhi peraturan yang ada dalam kepolisian. Di sisi lain, tuntutan perannya dalam keluarga sebagai istri sekaligus ibu bagi anak-anaknya juga tidak dapat diabaikan dan ditinggalkan begitu saja. Polwan dituntut untuk dapat


(22)

13 menyeimbangkan antara tuntutan di tempat kerja dan tuntutan perannya di rumah sebagai istri yang harus melayani suami dan ibu yang harus merawat anak.

Para Polwan yang menghayati perannya di keluarga dan pekerjaan sama penting, dapat mengalami konflik dalam menjalani tuntutan dalam kedua peran tersebut, karena terkadang tuntutan dalam peran yang satu tidak sejalan dengan tuntutan peran yang lain. Polwan akan merasa beban ketika peran yang ada saling bertentangan dan menuntut untuk segera dipenuhi. Polwan menghabiskan waktunya dari pagi hingga malam di tempat kerjanya, mereka mencurahkan sebagian energi ke dalam pekerjaanya, sehingga kerapkali membuat mereka merasa lelah, hal ini dapat berdampak pada perilakunya dalam lingkungan kerja maupun keluarga. Saat Polwan memfokuskan diri pada satu peran, mereka juga merasa tidak dapat mengabaikan perannya yang lain, karena mereka akan merasa bersalah telah mengabaikan tuntutan perannya yang lain. Hal ini dapat menimbulkan konflik dalam diri Polwan yang bersangkutan mengenai tuntutan peran yang mana yang harus dipenuhi terlebih dahulu dan bagaimana caranya agar dapat menyeimbangkan tuntutan kedua peran tersebut agar tidak ada yang diabaikan. Tuntutan antara peran keluarga dan pekerjaan yang saling bertentangan dapat membuat Polwan mengalami konflik antar peran yang dikenal dengan work-family conflict.

Work-family conflict adalah bentuk interrole conflict di mana tekanan atau tuntutan peran dari pekerjaan dan keluarga saling bertentangan dalam beberapa hal. Dengan demikian, partisipasi untuk berperan dalam satu peran menjadi lebih sulit dengan adanya partisipasi untuk berperan dalam perannya yang lain (Khan et al. dalam Greenhause dan Beutell,1985). Contohnya adalah seorang ibu yang bekerja dimana ia memiliki dua peran ganda yaitu sebagai Polwan dan sebagai istri serta ibu di


(23)

keluarganya. Tuntutan peran ini akan terasa berat apabila tidak ada dukungan dari pekerjaan maupun dari keluarga.

Work-family conflict yang dihayati oleh Polwan dapat terlihat dari dua arah yaitu Work Interference with Family (WIF) dan Family Interference with Work (FIW). Arah yang pertama adalah Family Interference with Work (FIW) yang artinya konflik dari keluarga yang mempengaruhi pekerjaan, mengakibatkan gangguan terhadap pemenuhan peran dalam pekerjaan. Arah yang kedua yaitu Work Interference with Family (WIF) yang artinya konflik dari pekerjaan yang mempengaruhi kehidupan keluarga, mengakibatkan gangguan terhadap pemenuhan peran dalam keluarga. Greenhaus, Beutell dan Gutek et al (dalam Schabracq, Winnubst & Cooper, 2003) menggambarkan tiga tipe konflik yang berkaitan dengan dilema peran wanita antara di rumah tangga dan pekerjaan, yaitu time-based conflict, strain-based conflict, dan behavior-based conflict. Time-based conflict adalah waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan yang dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan lainnya. Ketika seorang Polwan menggunakan sebagian besar waktunya untuk menjalankan salah satu perannya, maka perannya yang lain menjadi kurang terperhatikan, hal ini dapat menjadi konflik dalam diri Polwan yang bersangkutan.

Bentuk kedua dari work-family conflict adalah strain-based conflict, yaitu tekanan dari salah satu peran mempengaruhi kinerja peran lainnya. Misalnya, dalam pekerjaan terdapat tekanan-tekanan dari lingkungan kerjanya, dapat terjadi ketika Polwan dipindah divisi sehingga Polwan harus kembali menyesuaikan diri dengan divisi yang baru, hal ini dapat menimbulkan ketegangan dan menghambatnya ketika menjalankan peran di keluarga, dan sebaliknya.

Bentuk ketiga dari work-family conflict adalah behavior-based conflict, yaitu ketidaksesuaian antara tuntutan pola perilaku yang diinginkan pada satu peran dengan


(24)

15 tuntutan peran yang lain. Setiap peran menuntut pola perilaku yang berbeda dari Polwan yang bersangkutan. Apabila Polwan tidak mampu untuk menyesuaikan dengan tuntutan pola perilaku setiap peran, hal ini dapat menimbulkan konflik. Misalnya, ketika di rumah seorang Polwan dituntut untuk memiliki sikap yang tegas sehingga masyarakat menjadi segan, serta polisi juga wajib untuk bersikap secara objektif. Jika perilaku yang sama diterapkan ketika menjalankan peram di keluarga, dimana seorang istri dan ibu dituntut memiliki sikap yang lebih lembut, penuh perhatian, serta mampu memberikan pengertian dnegan cara yang lebih bersahabat pada anak dan pasangan, maka hal ini dapat menimbulkan konflik dari Polwan yang bersangkutan, karena hal ini tidak sesuai dengan tuntutan pola perilaku dari seorang istri dan ibu dan sebaliknya.

Ketiga bentuk dari work-family conflict yang terdiri dari time-based conflict, strain-based conflict, dan behaviour-based conflict, kertiganya terdapat dalam masing-masing arah work family conflict yaitu Family Interference with Work (FIW) dan Work Interference with Family (WIF).

Menurut Warner dkk (2007), dalam beberapa studi social support memiliki pengaruh penting terhadap work-family conflict. Social support adalah suatu transaksi interpersonal yang melibatkan affirmation atau bantuan dalam bentuk dukungan instrumen yang diterima individu sebagai anggota jaringan sosial (House & Well, 1987, dalam Russell et al, 1989).

Social support telah diidentifikasikan sebagai sumber penting yang dapat mengurangi efek negatif dari sumber stres, dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan (Adams, King & King, 1996, dalam Carlson & Parrewe, 1999). Support yang dimaksud dapat bersumber dari kedua peran yaitu pekerjaan dan keluarga. Sumber support yang diperoleh Polwan dari lingkungan pekerjaan dapat berasal dari


(25)

atasan, rekan kerja atau bawahan. Sedangkan support yang diperoleh Polwan dari keluarga dapat berasal dari pasangan.

Bentuk support yang diberikan dapat berupa instrumental support dan emosional support. Instrumental support merupakan bantuan yang sifatnya nyata dan langsung. Emosional support merupakan bantuan yang diberikan dengan perilaku-perilaku empati, kepedulian, dan perhatian. Instrumental support yang bersumber dari pekerjaan misalnya adanya kemudahan untuk mendapatkan cuti ketika anak atau suami sedang sakit, adanya rekan kerja yang bersedia untuk menggantikan pekerjaan Polwan yang bersangkutan ketika Polwan ijin untuk mengantar anak sekolah atau menenangkan anak yang menangis di rumah. Emotional support yang bersumber dari pekerjaan misalnya ketika rekan kerja mau mendengarkan keluhan Polwan dan bersimpati atas masalah yang sedang dihadapi Polwan.

Instumental support yang bersumber dari keluarga misalnya adanya bantuan dalam mengajak bermain anak, mengajar anak di rumah, dan menjemput anak di sekolah. Emotional support yang bersumber dari keluarga misalnya berupa perhatian dari suami ketika Polwan kelelahan dalam bekerja, dan sikap simpati suami seperti membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.

Bukti dari adanya pengaruh langsung dari social support terhadap tekanan sangat didukung oleh Carlson & Perrewe (1999); Fisher (1985); Schaubroeck, Cotton & Jennings (1989); Sullivan & Bhagat (1992). Individu yang merasa memiliki dukungan sosial yang kuat mungkin kurang merasakan stress dari adanya tuntutan pekerjaan (Cohen & Wills,1985). Dengan adanya social support, hal tersebut dapat mempengaruhi Family Interference with Work (FIW) dan Work Interference with Family (WIF).


(26)

17 Pemenuhan peran dalam keluarga akan terasa ringan dengan adanya dukungan dan keluarga. Support tersebut dapat mempengaruhi Family Interference with Work (FIW) yang terdiri dari tiga tipe yaitu time-based conflict FIW, strain-based conflict FIW, dan behavior-based conflict FIW. Dengan adanya social support yang diberikan oleh suami pada istrinya, hal ini dapat membuat konflik yang berasal dari keluarga tidak mempengaruhi pekerjaan Polwan di kantor.

Jika Polwan menghayati bahwa tuntutan waktu dalam menjalankan peran di keluarga menghambatnya memenuhi tuntutan peran di pekerjaan, hal ini disebut time-based conflict FIW. Contohnya, ketika Polwan sudah harus berangkat bekerja, namun anaknya yang masih kecil menangis tidak ingin ditinggalkan. Hal ini membuatnya harus memberikan pengertian terlebih dahulu, atau mencari cara agar anaknya tidak menangis dan bersedia untuk ditinggalkan. Keharusannya untuk memenuhi tuntutan perannya sebagi ibu dapat membuatnya menjadi terlambat untuk datang ke kantor.

Konflik yang dialami Polwan dapat berkurang dapat berkurang dengan adanya social support, misalnya saat suami sedang libur bekerja, suami membantu istri untuk merawat anak mereka. Saat anak mereka menangis karena tidak mau ditinggal oleh ibunya, suami dapat membantu untuk memberi pengertian dan menenangkan anak mereka, sehingga ketika istri sudah waktunya untuk berangkat bekerja, suami dapat menggantikan waktu istri untuk membantu merawat anak mereka (Instrumental support). Saat waktu istri untuk mengurus rumah tangga dan mengurus anak berkurang karena harus bekerja, suami pun dapat mengerti dan memaklumi karena istrinya adalah seorang Polwan yang bekerja di bagian satuan lalu lintas, dimana Polwan akan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah (Emotional support). Dengan adanya social support dari suami dapat mengurangi konflik karena dengan adanya suami yang


(27)

membantu untuk menjaga anak Polwan menjadi lebih tenang dan merasa lebih aman ketika meninggalkan anak di rumah.

Polwan yang menghayati bahwa ketegangan dalam menjalankan perannya di keluarga menghambat pemenuhan tuntutan perannya dalam pekerjaanya sebagai Polwan disebut dengan strain-based conflict FIW. Misalnya, istri terkadang berpikir bahwa sebaiknya lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah daripada bekerja untuk mengurus anak dan rumah tangga, namun di sisi lain istri tidak ingin berhenti bekerja karena menjadi polisi merupakan cita-citanya sejak remaja dan untuk menjadi seorang polisi bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini dapat menimbulkan konflik atau tekanan dalam diri Polwan, namun konflik yang dialaminya dapat berkurang jika Polwan mendapatkan social support, misalnya suami memberikan dukungan berupa kata-kata yang menyemangati dan suami mengerti keinginan istrinya untuk tetap bekerja walaupun sudah menikah dan mempunyai anak (Emotional support). Dengan adanya social support, konflik yang dialami Polwan dapat berkurang dikarenakan dengan adanya suami yang memberikan pengertian Polwan dapat berpikir lebih terbuka dan tidak cepat mengambil keputusan dalam keadaan terdesak.

Jika Polwan menghayati adanya kesulitan untuk menyesuaikan tuntutan pola perilaku ketika menjalankan peran dalam pekerjaan karena tuntutan pola perilaku di keluarga tidak sesuai dengan tuntutan pola perilaku ketika menjalankan peran dalam pekerjaan, maka hal ini disebut dengan behaviour-based conflict FIW. Misalnya, di keluarga seorang Polwan dituntut untuk dapat bersikap hangat dan penuh kasih sayang terhadap pasangan dan anak-anaknya, cara berbicara dalam menyampaikan informasi atau peraturan pun harus melihat situasi yang ada, tidak selalu tegas seperti saat bertugas sebagai Polwan. Hal ini berbeda dengan tuntutan pola perilaku saat bekerja sebagai Polwan


(28)

19 Konflik diatas dapat dikurangi dengan adanya social support yang diperoleh oleh Polwan, misalnya saat Polwan tidak menyadari bahwa pola perilaku di kantor diterapkan saat bersama dengan keluarga di rumah, suami mengingatkan bahwa Polwan harus dapat membedakan saat berperilaku di rumah dan saat berperilaku di kantor. Polwan dituntut untuk bersikap lebih hangat dan perhatian pada suami dan anaknya (Instrumental support).

Secara khusus juga, Behson (2002) membuktikan bahwa di antara aktivitas-aktivitas organisasi lainnya, persepsi individu tentang dukungan dari organisasi dapat mengurangi gangguan pekerjaan terhadap keluarga. Pengaruh lainnya adalah social support dari pekerjaan terhadap work interference with family (WIF) yang terdiri dari tiga tipe yaitu time-based conflict WIF, strain-based conflict WIF, dan behavior-based conflict WIF. Dengan adanya social support yang diberikan oleh pekerjaan, khususnya oleh atasan dan rekan kerja, hal ini dapat membuat konflik yang berasal dari pekerjaan di kantor tidak mempengaruhi Polwan dalam menjalankan perannya di rumah sebagai seorang istri dan ibu.

Time-based conflict WIF yaitu konflik yang dirasakan oleh Polwan terkait dengan tuntutan waktu pada perannya sebagai pekerja yang menghambat pemenuhan waktu dalam menjalankan perannya di keluarga. Misalnya, jam kerja yang panjang dan kaku di tempat kerja membuat waktu yang dimiliki oleh Polwan untuk keluarga dan anak menjadi lebih sedikit. Terlebih lagi ketika hari Sabtu dan Minggu dimana kebanyakan menjadi hari untuk berkumpul dengan keluarga besar dan para Polwan diharuskan untuk tetap bekerja. Pada satu sisi, mereka tidak dapat mengabaikan perannya di pekerjaan terkait dengan kontrak yang telah ditandatangani saat mendaftar sebagai seorang Polwan, namun di sisi lain mereka juga tidak dapat mengabaikan perannya dalam keluarga.


(29)

Konflik diatas dapat berkurang dan tuntutan menjadi terasa lebih ringan apabila Polwan memperoleh social support dari pekerjaaanya, misalnya Polwan terlambat datang ke kantor karena anaknya menangis tidak ingin ditinggal oleh ibunya, namun konflik yang dialami menjadi ringan karena terdapat Polwan senior yang memberikan ijin untuk menenangkan anaknya terlebih dahulu dan ada rekan kerja yang dapat menggantikan pekerjaanya (Instrumetal support). Selain itu, atasan juga tidak melarang Polwan untuk membawa anak ke kantor, sehingga Polwan dapat menemani anaknya belajar ketika Polwan tidak banyak pekerjaan, meskipun hal itu tidak dapat dilakukan setiap hari (Instrumental support). Dengan adanya social support dari pekerjaan, konflik Polwan dapat berkurang karena Polwan dapat membagi waktu untuk menjalankan perannya sebagai seorang ibu dan istri.

Strain based conflict WIF, yakni ketegangan dalam menjalankan perannya sebagai Polwan dapat menghambat pemenuhan tuntutan perannya dalam keluarga. Misalnya, Polwan tetap harus bekerja ketika sedang hamil karena mereka hanya diijinkan cuti satu setengah bulan sesaat sebelum dan setelah melahirkan.

Konflik diatas dapat dikurangi dengan adanya social support yang diperoleh dari pekerjaan, misalnya saat Polwan hamil, rekan kerja mereka bersedia untuk bertukar pekerjaan, dimana Polwan yang sedang hamil memiliki jobdesc yang lebih ringan daripada biasanya (Instrumental support). Misalnya sehari-hari Polwan memiliki jobdesc di bagian foto SIM, namun ketika sedang hamil Polwan diberikan jobdesc di bidang administrasi dimana Polwan hanya bertugas memanggil giliran untuk foto. Selain itu, atasan juga sering menanyakan kesehatan Polwan yang bekerja ketika sedang hamil dan mengingatkan Polwan untuk tetap menjaga kesehatan dan kehamilannya (Emotional support). Dengan adanya social support dari pekerjaan,


(30)

21 Polwan yang sedang hamil tidak merasa tertekan karena adanya dukungan dari rekan kerja dan atasan untuk menyelesaikan pekerjaanya di kantor.

Jika Polwan menghayati adanya kesulitan untuk menyesuaikan tuntutan pola perilaku di keluarga karena tuntutan pola perilaku sebagai Polwan tidak sesuai dengan tuntutan pola perilaku di keluarga, maka hal ini disebut dengan behaviour-based conflict WIF. Misalnya, sebagai Polwan, mereka dituntut memiliki sikap yang tegas dalam menyampaikan aturan dan menegakkan hukum pada masyarakat, objektif, serta patuh pada peraturan dan kontrak kerja yang sudah ditandatangani sebagai seorang Polwan. Jika perilaku yang sama diterapkan ketika menjalankan peran di keluarga, dimana seorang istri dan ibu dituntut memiliki sikap yang hangat, penuh perhatian pada anak dan pasangan, mampu untuk memberikan pengertian dengan cara yang lebih bersahabat pada pasangan dan anak, maka hal ini dapat menimbulkan konflik pada diri Polwan yang bersangkutan, karena hal ini tidak sesuai dengan tuntutan pola perilaku dari seorang istri dan ibu.

Konflik diatas dapat dikurangi dengan adanya social support yang diperoleh dari pekerjaan, misalnya atasan atau rekan kerja mengingatkan bahwa perilaku yang diterapkan di kantor tidak dapat digeneralisasikan untuk diterapkan di semua situasi. Ketika Polwan di rumah, Polwan harus berperilaku selayaknya seperti seorang istri dan ibu yang penuh perhatian dan hangat pada suami dan anaknya (Instrumental support).

Penjelasan di atas dapat digambarkan secara sistematis dalam bagan kerangka pikir berikut:


(31)

Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pikir Hubungan Social Support dan Work-Family Conflict Polisi wanita yang

sudah berkeluarga di

polres “X” kota

Bandung

Social Support

Work-Family Conflict

Social support (family)

- Instrumental support

- Emotional support Social support (work)

- Instrumental support - Emotional support

Family Interference to Work

- Time - Strain - Behavior

Work Interference to Family

- Time - Strain - Behavior

Korelasi

Terdapat Hubungan

Tidak Terdapat Hubungan


(32)

23 1.6 Asumsi Penelitian

Work-family conflict dirasakan oleh Polwan yang sudah menikah di Polrestabes Kota Bandung

Polwan yang sudah menikah di Polrestabes kota Bandung memperoleh social support dari atasan, rekan kerja, dan suami.

Social support memiliki hubungan dengan work-family conflict.

Work support yang tinggi dapat mengurangi work interference to family (WIF). Family support yang tinggi dapat mengurangi family interference to work (FIW).

1.7 Hipotesis Penelitian

Terdapat hubungan antara social support dan work family conflict.

Terdapat hubungan antara social support yang diperoleh dari pekerjaan dan work interference to family (WIF).

Terdapat hubungan antara social support yang diperoleh dari keluarga dan family interference to work (FIW).


(33)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan negatif yang cukup erat antara Social Support dan Work Family Conflict pada Polwan yang bekerja di Polrestabes Kota Bandung.

2. Terdapat hubungan negatif yang cukup erat antara Social Support yang diperoleh dari pekerjaan dan Work Interference with Family pada Polwan yang bekerja di Polrestabes Kota Bandung.

3. Tidak terdapat hubungan yang erat antara Social Support yang diperoleh dari keluarga dan Family Interference with Work pada Polwan yang bekerja di Polrestabes Kota Bandung.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

1. Peneliti menyarankan pada peneliti selanjutnya untuk dapat melakukan penelitian dengan responden yang berbeda dan jumlah responden yang lebih banyak, sehingga hasil penelitian yang dibuat dapat digeneralisasikan yang lebih luas.

2. Peneliti menyarankan pada peneliti selanjutnya agar dapat melakukan penelitian secara khusus mengenai hubungan work-family conflict dengan variabel lain yang berkaitan.

3. Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian secara khusus mengenai bentuk social support yang dikaitkan dengan dimensi dari work-family conflict.


(34)

60 5.2.2 Saran Praktis

1. Pihak Polrestabes Kota Bandung khususnya atasan dan rekan kerja disarankan untuk dapat mempertahankan adanya work support Polwan dalam lingkungan kerja yang dapat meminimalisir dampak, perilaku, dan efek negatif dari Work Interference with Family.

2. Pihak keluarga terutama suami dari Polwan yang bekerja di Polrestabes Kota Bandung disarankan untuk tetap memberikan social support dengan tetap memahami pekerjaan istri sebagai seorang Polwan.

3. Polwan yang bekerja di Polrestabes Kota Bandung disarankan agar menjaga hubungan baik dengan atasan dan rekan kerja sehingga Polwan dapat tetap memperoleh social support dari atasan dan rekan kerjanya.


(35)

CONFLICT PADA POLWAN YANG SUDAH MENIKAH

DI POLRESTABES KOTA BANDUNG

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung

Oleh:

ANASTASHA VEMMY NRP: 1230096

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG


(36)

(37)

(38)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa, Tuhan Yesus Kristus, dan Roh Kudus karena atas penyertaan dan bimbinganNya penulis dapat menyelesaikan tugas untuk menyelesaikan mata kuliah Skripsi pada semester VIII, Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Selama menyusun rancangan penelitian yang berjudul Hubungan Social Support dan Work-Family Conflict Pada Polwan yang Sudah Menikah di Polrestabes Kota Bandung” ini peneliti banyak menemukan kesulitan, baik dalam persiapan, penyusunan, maupun penyelesaiannya. Tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan ini dapat penulis atasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kasih kepada:

1. Dr. O. Irene Prameswari Edwina, M.Si., Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Missiliana, M.Psi., Psikolog, selaku dosen pembimbing utama usulan penelitian yang meluangkan waktunya untuk membimbing, memberi masukan, membantu dan mendukung penulis dalam penyusunan usulan penelitian ini.

3. Cindy Maria, M.Psi., Psikolog, selaku dosen pendamping usulan penelitian yang meluangkan waktunya untuk membimbing, memberi masukan, membantu dan mendukung penulis dalam penyusunan usulan penelitian ini.

4. Para Polwan di Polrestabes kota Bandung yang telah bersedia membantu peneliti dalam melakukan survey awal dan pengambilan data penelitian.

5. Orang tua penulis yang selalu mendoakan dan memberi semangat kepada penulis dalam penyusunan usulan penelitian ini.


(39)

6. Skolastika Syenna selaku adik penulis yang selalu menghibur penulis ketika sedang penat dalam penyusunan usulan penelitian ini.

7. Terima kasih kepada teman-teman terdekat peneliti (Stefanie, Armilla, Eveline, Clarissa, Shierly, dan Inez) yang selalu mendengarkan keluh kesah saya dan selalu memberikan semangat pada peneliti untuk menyusun usulan penelitian ini.

8. Terima kasih kepada Sist-Cyin (Anin, Giovanni, Sherly, Devi, Cynthia, Tania, Christine, Clarence, Puji, Angie, Fey) yang selalu menghibur peneliti dan bertukar informasi saat menyelesaikan tugas ini.

9. Semua pihak yang memberikan dukungan dan membantu penulis selama penyelesaian tugas ini tetapi tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan. Segala bentuk kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan hati yang terbuka sebagai bahan perbaikan dan untuk menambah wawasan peneliti di masa yang akan datang.

Akhir kata, peneliti berharap rancangan usulan penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.

Bandung, Juli 2016


(40)

DAFTAR PUSTAKA

Carlson, Dawn S. dan Kacmar, K.M., Williams, Larry J. (2000). Construction and Initial Validation of a Multidimensional Measure of Work-Family Conflict, Journal of Vocational Behaviour, 56, 249-276.

Greenhaus, J. H., & Beutell, N. J. (1985). Sources of conflict between work and family roles. Academy of Management Review, 10, 1, 76-88.

Julian Barling & E. Kevin Kelloway & Michael R. Frone. (2005). Handbook of Workstress: Sage Publications.

Korabik, Karen, Lero D.S, L. Denise. (2008). Handbook of Work-Family Integration. Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.


(41)

DAFTAR RUJUKAN

_____. Hubungan antara Konflik Pekerjaan Keluarga dengan Kepuasan Kerja pada Polisi Wanita di Polres Kulon Progo. (http://lppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp- content/uploads/2014/12/HUBUNGAN-ANTARA-KONFLIK-PEKERJAAN- KELUARGA-DENGAN-KEPUASAN-KERJA-PADA-POLISI-WANITA-DI-POLRES-KULON-PROGO.pdf, diakses 27 Maret 2015)

_____. Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

(http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU%20KEPOLISIAN.pdf, diakses 27 Maret 2015)

Ahmad, Aminah. (1997). Work-Family Conflict and Social Support, A Study of Female Secretaries in Malaysia. Malaysia: Universiti Putra Malaysia.

Apperson et al. (2002). “Women Managers and the Experience of Work-Family

Conflict”. American Journal of Undergraduate Research. Vol.1. No.3.

Tempo. (2013). Jumlah Polisi Wanita hanya 3,6 Persen.

(http://metro.tempo.co/read/news/2013/08/31/214509087/jumlah-polisi-wanita-hanya-3-6-persen, diakses 29 Maret 2015)

Wardani, Zuriyati. (2009). Hubungan Social Support dan Work-Family Conflict

pada Ibu yang Bekerja Sebagai Unit Manajer di PT “X” Bandung. Indonesia:


(1)

(2)

(3)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa, Tuhan Yesus Kristus, dan Roh Kudus karena atas penyertaan dan bimbinganNya penulis dapat menyelesaikan tugas untuk menyelesaikan mata kuliah Skripsi pada semester VIII, Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Selama menyusun rancangan penelitian yang berjudul Hubungan Social Support dan Work-Family Conflict Pada Polwan yang Sudah Menikah di Polrestabes Kota Bandung” ini peneliti banyak menemukan kesulitan, baik dalam persiapan, penyusunan, maupun penyelesaiannya. Tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan ini dapat penulis atasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kasih kepada:

1. Dr. O. Irene Prameswari Edwina, M.Si., Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Missiliana, M.Psi., Psikolog, selaku dosen pembimbing utama usulan penelitian yang meluangkan waktunya untuk membimbing, memberi masukan, membantu dan mendukung penulis dalam penyusunan usulan penelitian ini.

3. Cindy Maria, M.Psi., Psikolog, selaku dosen pendamping usulan penelitian yang meluangkan waktunya untuk membimbing, memberi masukan, membantu dan mendukung penulis dalam penyusunan usulan penelitian ini.

4. Para Polwan di Polrestabes kota Bandung yang telah bersedia membantu peneliti dalam melakukan survey awal dan pengambilan data penelitian.

5. Orang tua penulis yang selalu mendoakan dan memberi semangat kepada penulis dalam penyusunan usulan penelitian ini.


(4)

vi 6. Skolastika Syenna selaku adik penulis yang selalu menghibur penulis ketika sedang

penat dalam penyusunan usulan penelitian ini.

7. Terima kasih kepada teman-teman terdekat peneliti (Stefanie, Armilla, Eveline, Clarissa, Shierly, dan Inez) yang selalu mendengarkan keluh kesah saya dan selalu memberikan semangat pada peneliti untuk menyusun usulan penelitian ini.

8. Terima kasih kepada Sist-Cyin (Anin, Giovanni, Sherly, Devi, Cynthia, Tania, Christine, Clarence, Puji, Angie, Fey) yang selalu menghibur peneliti dan bertukar informasi saat menyelesaikan tugas ini.

9. Semua pihak yang memberikan dukungan dan membantu penulis selama penyelesaian tugas ini tetapi tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan. Segala bentuk kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan hati yang terbuka sebagai bahan perbaikan dan untuk menambah wawasan peneliti di masa yang akan datang.

Akhir kata, peneliti berharap rancangan usulan penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.

Bandung, Juli 2016


(5)

61

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Carlson, Dawn S. dan Kacmar, K.M., Williams, Larry J. (2000). Construction and Initial Validation of a Multidimensional Measure of Work-Family Conflict, Journal of Vocational Behaviour, 56, 249-276.

Greenhaus, J. H., & Beutell, N. J. (1985). Sources of conflict between work and family roles. Academy of Management Review, 10, 1, 76-88.

Julian Barling & E. Kevin Kelloway & Michael R. Frone. (2005). Handbook of Workstress: Sage Publications.

Korabik, Karen, Lero D.S, L. Denise. (2008). Handbook of Work-Family Integration. Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.


(6)

62

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

_____. Hubungan antara Konflik Pekerjaan Keluarga dengan Kepuasan Kerja pada Polisi Wanita di Polres Kulon Progo. (http://lppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp- content/uploads/2014/12/HUBUNGAN-ANTARA-KONFLIK-PEKERJAAN- KELUARGA-DENGAN-KEPUASAN-KERJA-PADA-POLISI-WANITA-DI-POLRES-KULON-PROGO.pdf, diakses 27 Maret 2015)

_____. Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

(http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU%20KEPOLISIAN.pdf, diakses 27 Maret 2015)

Ahmad, Aminah. (1997). Work-Family Conflict and Social Support, A Study of Female Secretaries in Malaysia. Malaysia: Universiti Putra Malaysia.

Apperson et al. (2002). “Women Managers and the Experience of Work-Family

Conflict”. American Journal of Undergraduate Research. Vol.1. No.3. Tempo. (2013). Jumlah Polisi Wanita hanya 3,6 Persen.

(http://metro.tempo.co/read/news/2013/08/31/214509087/jumlah-polisi-wanita-hanya-3-6-persen, diakses 29 Maret 2015)

Wardani, Zuriyati. (2009). Hubungan Social Support dan Work-Family Conflict

pada Ibu yang Bekerja Sebagai Unit Manajer di PT “X” Bandung. Indonesia: Universitas Kristen Maranatha.