MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA MELALUI PENDEKATAN INKUIRI TERBIMBING.

(1)

DAFTAR ISI

halaman

PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Manfaat Penelitian ... 12

1.5 Definisi Operasional ... 13

1.6 Hipotesis Penelitian ... 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kemampuan Berpikir Kritis ... 16

2.2 Kemampuan Komunikasi Matematis ... 20

2.3 Teori Belajar Pendukung... 23

2.4 Teori Belajar Konstruktivisme ... 27

2.5 Pendekatan Inkuiri ... 28

2.6 Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Inkuiri Terbimbing ... 35

2.7 Pembelajaran Konvensional ... 37

2.7 Sikap Siswa terhadap Matematika ... 37

2.8 Penelitian yang Relevan ... 39

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 41


(2)

3.3 Instrumen untuk Penelitian ... 45

3.4 Pengembangan Bahan Ajar... 61

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 62

3.6 Tahap Penelitian ... 62

3.7 Prosedur Penelitian ... 74

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 75

4.1.1 Hasil Penelitian tentang Kemampuan Berpikir kritis ... 76

4.1.2 Hasil Penelitian tentang Kemampuan Komunikasi Matematis 89

4.1.3 Hasil Penelitian tentang Skala Sikap Siswa... 102

4.1.4 Aktivitas Guru dan Siswa Selama Proses Pembelajaran ... 107

4.1.5 Hasil Wawancara ... 112

4.1.6 Deskripsi Pembelajaran Konvensional ... 116

4.2 Temuan dan Pembahasan ... 117

4.2.1 Pembelajaran dengan Pendekatan Inkuiri Terbimbing ... 117

4.2.2 Peningkatan Kemampuan Berpikir kritis dan Komunikasi Matematis ... 120

4.2.3 Sikap Siswa terhadap Pembelajaran dengan Pendekatan Inkuiri Terbimbing ... 124

4.2.4 Aktivitas Guru dan Siswa ... 125

4.2.5. Tanggapan Guru dan Siswa ... 126

4.3 Keterbatasan Penelitian ... 127

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 129

5.2 Saran ... 130

DAFTAR PUSTAKA ... 132 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(3)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Indikator Kemampuan Berpikir Kritis ... 18

Tabel 3.1 Tabel Weiner tentang Keterkaitan antar Variabel Bebas, Terikat dan Kontrol ... 43

Tabel 3.2 Penskoran untuk Perangkat Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 46

Tabel 3.3 Penskoran untuk Perangkat Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 47

Tabel 3.4 Interpretasi Koefisien Validitas ... 49

Tabel 3.5 Interpretasi Uji Validitas Tes Berpikir Kritis Matematis ... 50

Tabel 3.6 Uji Validitas Tes Komunikasi Matematis ... 51

Tabel 3.7 Klasifikasi Tingkat Reliabilitas ... 52

Tabel 3. 8 Klasifikasi Daya Pembeda ... 53

Tabel 3. 9 Daya Pembeda Tes Berpikir Kritis Matematis ... 54

Tabel 3.10 Daya Pembeda Tes Komunikasi Matematis ... 54

Tabel 3.11 Kriteria Tingkat Kesukaran ... 54

Tabel 3.12 Tingkat Kesukaran Butir Soal Berpikir Kritis Matematis ... 55

Tabel 3.13 Tingkat Kesukaran Butir Soal Komunikasi Matematis ... 55

Tabel 3.14 Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Tes Berpikir Kritis Matematis 56 Tabel 3.15 Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Tes Komunikasi Matematis 56 Tabel 3.16 Perhitungan Korelasi Uji Kemampuan Berpikir Kritis Matematis dan Nilai Ulangan Siswa dengan Program SPSS 16.0 ... 57

Tabel 3.17 Perhitungan Korelasi Uji Kemampuan Komunikasi Matematis dan Nilai Ulangan Siswa dengan Program SPSS 16.0 ... 57

Tabel 3.18 Klasifikasi Skor Gain Ternormalisasi ... 69

Tabel 4.1 Rekapitulasi Hasil Pretes dan Postes Kemampuan Berpikir Kritis Siswa ... 76

Tabel 4.2 Rataan Pretes dan Postes Kemampuan Berpikir Kritis Siswa ... 77 Tabel 4.3 Uji Normalitas Pretes dan Postes Kemampuan Berpikir Kritis


(4)

Kelas Ekperimen dan Kontrol ... 78 Tabel 4.4 Hasil Uji Homogenitas Variansi Skor Pretes dan Postes

Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa... 79 Tabel 4.5 Hasil Uji Kesamaan Rataan Pretes Kemampuan Berpikir Kritis

Matematis Siswa ... 80 Tabel 4.6 Hasil Uji Perbedaan Rataan Postes Kemampuan Berpikir Kritis

Siswa ... 80 Tabel 4.7 Rataan Gain Kemampuan Berpikir Kritis ... 81 Tabel 4.8 Rataan dan Standar Deviasi Gain Kemampuan Berpikir Kritis ... 82 Tabel 4.9 Uji Normalitas Data Gain Ternormalisasi Kemampuan Berpikir

Kritis ... 84 Tabel 4.10 Uji Homogenitas Variansi Gain Ternormalisasi Kemampuan Berpikir Kritis ... 85 Tabel 4.11 Uji Perbedaan Rata-Rata Gain Ternormalisasi Kemampuan Berpikir Kritis ... 86 Tabel 4.12 Uji Homogenitas Variansi Data N-Gain Kemampuan Berpikir Kritis

Kelas Eksperimen ... 88 Tabel 4.13 Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan Berpikir Kritis Kelas

Eksperimen Berdasarkan Katagori Siswa ... 88 Tabel 4.14 Uji Post Hoc Data Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Kelas

Eksperimen Berdasarkan Katagori Siswa ... 89 Tabel 4.15 Rekapitulasi Hasil Pretes dan Postes Kemampuan Komunikasi

Matematis Siswa ... 90 Tabel 4.16 Rataan Pretes dan Postes Kemampuan Komunikasi Matematis

Siswa ... 90 Tabel 4.17 Uji Normalitas Pretes dan Postes Kemampuan Komunikasi

Matematis Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 91 Tabel 4.18 Hasil Uji Homogenitas Variansi Skor Pretes dan Postes

Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ... 92 Tabel 4.19 Hasil Uji Kesamaan Rataan Pretes Kemampuan Komunikasi


(5)

Tabel 4.20 Hasil Uji Perbedaan Rataan Postes Kemampuan Komunikasi

Matematis Siswa ... 93 Tabel 4.21 Rataan Gain Kemampuan Komunikasi Matematis ... 94 Tabel 4.22 Rataan dan Standar Deviasi Gain Kemampuan Komunikasi

Matematis ... 95 Tabel 4.23 Uji Normalitas Data Gain Ternormalisasi Kemampuan Komunikasi

Matematis ... 96 Tabel 4.24 Uji Homogenitas Varians Gain Ternormalisasi Kemampuan

Komunikasi Matematis ... 97 Tabel 4.25 Uji Perbedaan Rata-Rata Gain Ternormalisasi Kemampuan

Komunikasi Matematis ... 98 Tabel 4.26 Uji Homogenitas Variansi Data N-Gain Kemampuan Komunikasi

Matematis Kelas Eksperimen ... 100 Tabel 4.27 Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan Komunikasi Matematis Kelas

Eksperimen Berdasarkan Katagori Siswa ... 101 Tabel 4.28 Uji Post Hoc Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis

Kelas Eksperimen Berdasarkan Katagori Siswa ... 101 Tabel 4.29 Sikap Siswa Kelas Eksperimen terhadap Pelajaran Matematika .. 103 Tabel 4.30 Sikap Siswa Kelas Ekperimen terhadap Pembelajaran dengan PIT 104 Tabel 4.31 Sikap Siswa Kelas Eksperimen terhadap Soal Berpikir Kritis dan

Komunikasi Matematis ... 106 Tabel 4.32 Hasil Pengamatan Aktivitas Guru Selama Pembelajaran

dengan PIT ... 109 Tabel 4.33 Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran

dengan PIT ... 111 Tabel 4.34 Persentase Rataan Perkembangan Aktivitas Postif Siswa terhadap

Pembelajaran dengan PIT... 112 Tabel 4.35 Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Penelitian ... 121 Tabel 4.36 Rataan Gain Hasil Belajar Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran


(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian... 74 Gambar 4.1 Diagram Batang Perbandingan Rataan Pretes dan Postes

Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa ... 77 Gambar 4.2 Diagram Batang Perbandingan Rataan dan Standar Deviasi

Gain Kemampuan Berpikir kritis Matematis Siswa ... 83 Gambar 4.3 Diagram Batang Perbandingan Rataan Pretes dan Postes

Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ... 90 Gambar 4.4 Diagram Batang Perbandingan Rataan dan Standar Deviasi

Gain Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ... 95 Gambar 4.5 Diagram Batang Perkembangan Aktivitas Guru pada

Pembelajaran dengan Pendekatan Inkuiri Terbimbing... 110 Gambar 4.6 Diagram Batang Perkembangan Aktivitas Siswa pada


(7)

DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN A: INSTRUMEN PENELITIAN

A.1 Silabus Bahan Ajar ... 137

A.2 RPP dan LKS ... 138

A.3 Kisi-kisi Soal dan Tes Kemampuan Berpikir kritis dan Komunikasi Matematis ... 190

A.4 Alternatif Jawaban Tes Matematika... 196

A.5 Kisi-kisi Angket Sikap Siswa ... 202

A.6 Pedoman Observasi dalam Pembelajaran Matematika dengan PIT ... 205

A.7 Pedoman Wawancara Guru ... 207

A.8 Pedoman Wawancara Siswa ... 210

LAMPIRAN B: ANALISIS HASIL UJI COBA TES MATEMATIKA B.1 Tabel Skor Uji Coba Tes Berpikir kritis Matematis ... 212

B.2 Tabel Skor Uji Coba Tes Komunikasi Matematis ... 213

B.3 Perhitungan Hasil Uji Coba Tes Matematika dengan SPSS 17 214 B.4 Perhitungan Hasil Uji Coba Tes Matematika dengan Anates 4.0 216 B.5 Perhitungan Korelasi Hasil Uji Coba Tes Matematika dengan Nilai Ulangan Harian Siswa... 225

LAMPIRAN C: ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN C.1 Kategori Kemampuan Siswa ... 227

C.2 Data Hasil Pretes ... 229

C.3 Data Hasil Postes ... 233

C.4 Data Gain Ternormalisasi ... 237

C.5 Perhitungan Data dan Uji Statistik untuk Data Pretes, Postes dan Gain Ternormalisasi ... 241

LAMPIRAN D: DATA SKALA SIKAP DAN HASIL OBSERVASI D.1 Data Skala Sikap Kelas Eksperimen……….. 248

D.2 Data Hasil Observasi Pelaksanaan Pemberlajaran………. 251 LAMPIRAN E: FOTO-FOTO PENELITIAN


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Undang-Undang RI nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) Pasal 37 menegaskan bahwa mata pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hal ini dikarenakan, matematika dapat dipandang sebagai ilmu dasar yang diajarkan di setiap tingkatan kelas pada satuan pendidikan dasar dan menengah, serta berfungsi untuk: 1) menata dan meningkatkan ketajaman penalaran siswa, sehingga dapat memperjelas penyelesaian masalah dalam kehidupan sehari-hari; 2) melatih kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol-simbol; 3) melatih siswa untuk selalu berorientasi pada kebenaran dengan mengembangkan sikap logis, kritis, kreatif, objektif, rasional, cermat, disiplin, dan mampu bekerja sama secara efektif; dan 4) melatih siswa untuk berpikir secara teratur, sistematis, dan terstruktur dalam konsepsi yang jelas (Sidi, 2002).

Fungsi matematika akan terealisasi apabila siswa memiliki kemampuan matematis. Menurut National Council of Teachers of Matematics atau NCTM (2000), merumuskan lima kemampuan matematis yang harus dikuasai siswa, yaitu kemampuan komunikasi, penalaran, pemecahan masalah, koneksi, dan pembentukan sikap positif terhadap matematika. Sejalan dengan NCTM, kurikulum KTSP tahun 2006 juga menyebutkan lima kemampuan matematis yaitu


(9)

pemahaman konsep, penalaran, komunikasi, pemecahan masalah, dan representasi matematis (Depdiknas, 2006).

Untuk dapat mencapai kemampuan matematis sebagaimana yang diungkapkan NCTM dan kurikulum KTSP, seorang guru hendaknya dapat menciptakan suasana belajar yang memungkinkan bagi siswa untuk secara aktif belajar dengan mengkonstruksi, menemukan dan mengembangkan pengetahuannya. Mengajar matematika tidak sekedar menyusun urutan informasi, tetapi perlu meninjau relevansinya bagi kegunaan dan kepentingan siswa dalam kehidupannya. Dengan belajar matematika, diharapkan siswa mampu menyelesaikan masalah, menemukan dan mengkomunikasikan ide-ide yang muncul dalam benak siswa. Untuk itu, dalam pembelajaran matematika diharapkan siswa memiliki kemampuan matematis agar dapat mencapai hasil yang memuaskan.

Salah satu kemampuan matematis yang termasuk kedalam kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan berpikir kritis. Ada empat alasan yang dikemukakan oleh Wahab (1996), mengenai perlunya dibiasakan mengembangkan kemampuan berpikir kritis, yakni: (1) tuntutan zaman yang menghendaki warga negara dapat mencari, memilih, dan menggunakan informasi untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara; (2) setiap warga negara senantiasa berhadapan dengan berbagai masalah dan pilihan sehingga dituntut mampu berpikir kritis dan kreatif; (3) kemampuan memandang sesuatu dengan cara yang berbeda dalam memecahkan masalah; dan (4) berpikir kritis merupakan aspek dalam


(10)

memecahkan permasalahan secara kreatif agar peserta didik dapat bersaing secara adil dan mampu bekerja sama dengan bangsa lain.

Terkait dengan berpikir kritis, O’Daffer et.al. (dalam Suryadi, 2005) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa siswa sekolah menengah kurang menunjukkan hasil yang memuaskan dalam akademik yang menuntut kemampuan berpikir kritis. Hasil penelitian Priatna (2003) menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa SMP di Bandung hanya mencapai sekitar 49% dari skor ideal. Selain itu, berdasarkan kenyataan diperoleh informasi siswa-siswi SMP belum mampu bersaing dalam ajang olimpiade matematika internasional. Hal ini dikarenakan, soal-soal olimpiade banyak menuntut siswa untuk berpikir kritis dan komunikasi matematis.

Berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan membuat keputusan dengan menggunakan semua keterampilan tersebut secara efektif dalam konteks dan tipe yang tepat (Ennis, 1985). Adapun, Kusumah (2008) menyatakan kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, kreatif, dan produktif dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika di sekolah, yang menitikberatkan pada sistem, struktur, konsep, prinsip, serta kaitan yang ketat antara suatu unsur dan unsur lainnya. Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial


(11)

untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya.

Kemampuan berpikir kritis merupakan bagian dari kemampuan berpikir matematis yang perlu dimiliki oleh setiap siswa dalam menghadapi berbagai permasalahan. Kusumah (2008) berpendapat bahwa kemampuan berpikir kritis, sebagai bagian dari kemampuan berpikir matematis, amat penting, mengingat dalam kemampuan ini terkandung kemampuan memberikan argumentasi, menggunakan silogisme, melakukan inferensi, melakukan evaluasi, dan kemampuan menciptakan sesuatu dalam bentuk produk atau pengetahuan baru yang memiliki ciri orisinalitas.

Di samping berpikir kritis, komunikasi merupakan alat bantu dalam interaksi pembelajaran. Baroody (1993) menjelaskan bahwa komunikasi perlu ditumbuhkembangkan dalam pembelajaran matematika di kalangan siswa, tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat bantu menemukan pola, malah dalam penyelesaian masalah atau menarik kesimpulan. Komunikasi juga berperan dalam aktivitas sosial, sebagai wahana interaksi antar siswa.

Kemampuan komunikasi matematis meliputi kemampuan dalam menyatakan suatu gagasan atau ide matematis baik secara lisan maupun tulisan, menjelaskan hubungan antar konsep-konsep matematika dalam bentuk simbol atau ekspresi matematis lainnya berupa tabel, grafik, gambar, atau diagram. Dapat diduga bahwa kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan ide matematis sangat membantu dalam proses pemecahan masalah matematis.


(12)

Menurut Kusumah (2008) komunikasi merupakan bagian yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Melalui komunikasi ide matematika dapat dieksploitasi; cara berpikir siswa dipertajam; pertumbuhan pemahaman dapat diukur; pemikiran siswa dapat dikonsolidasikan dan diorganisir; pengetahuan matematika siswa dapat dikonstruksi; penalaran siswa dapat ditingkatkan; dan komunitas matematika dapat dibentuk. Untuk menciptakan atmosfir pembelajaran yang kondusif dalam mengoptimalkan kemampuan komunikasi matematis siswa sebaiknya siswa diatur dalam kelompok kecil.

Terkait dengan komunikasi, Reys (Suherman dkk., 2003) mengatakan bahwa matematika merupakan suatu bahasa. Matematika sebagai suatu bahasa tentunya sangat diperlukan untuk dikomunikasikan baik secara lisan maupun tulisan sehingga informasi yang disampaikan dapat diketahui dan dipahami oleh orang lain. Seperti apa yang dikemukakan Cockroft (Shadiq, 2004: 19), ‘We believe that all these perceptions of the usefulness of mathematics arise from the fact that mathematics provides a means of communication which is powerful, concise, and unambiguous.’ Pernyataan ini menunjukkan tentang perlunya para siswa belajar matematika dengan alasan bahwa matematika merupakan alat komunikasi yang sangat kuat, teliti, dan tidak membingungkan.

Kemampuan mengkomunikasikan ide, pikiran, ataupun pendapat sangatlah penting, sehingga NCTM (1989), menyatakan bahwa program pembelajaran kelas-kelas TK sampai SMA harus memberi kesempatan kepada para siswa untuk dapat memiliki: 1) kemampuan mengekspresikan ide-ide


(13)

matematika melalui lisan, tertulis, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual; 2) kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematika baik secara lisan maupun dalam bentuk visual lainnya; 3) kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide, menggambarkan hubungan-hubungan dan model-model situasi.

Berdasarkan uraian tersebut, tampak dengan jelas tentang pentingnya komunikasi matematis dalam pembelajaran siswa. Realisasi untuk mewujudkan komunikasi matematis diantaranya dengan mewujudkan pembelajaran yang berbasis pada siswa (student centre), siswa terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Namun demikian, pada kenyataanya pembelajaran sering kali berpusat pada guru. Kegiatan pembelajaran cenderung menempatkan siswa sebagai objek yang harus disuapi pengetahuan, bukan sebagai subjek didik yang menemukan pengetahuannya. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Zulkardi (2001) dan Darhim (2004). Menurut Herman (2006), pembelajaran seperti ini tidak mengakomodasi pengembangan kemampuan siswa dalam pemecahan komunikasi matematis. Mullis, et.al. (2000) dan Suryadi (2005) juga menyoroti, bahwa sebagian besar pembelajaran matematika belum berfokus pada pengembangan kemampuan komunikasi matematik.

Salah satu upaya untuk meningkatkan komunikasi matematis adalah integralisasi dalam kurikulum yang berlaku yaitu kurikulum KTSP sebagaimana yang diungkapkan NCTM (2000) yang menggariskan secara rinci


(14)

keterampilan-keterampilan kunci komunikasi matematis dapat dilakukan di dalam kelas dan harus dipandang sebagai bagian integral dari kurikulum matematika. Keterampilan-keterampilan kunci komunikasi matematis tersebut adalah membuat ilustrasi dan interpretasi, berbicara atau berdiskusi, menyimak atau mendengar, menulis, dan membaca.

Kemampuan siswa mengilustrasikan dan menginterpretasikan berbagai masalah dalam bahasa dan pernyataan-pernyataan matematika serta dapat menyelesaikan masalah tersebut menurut aturan atau kaedah matematika, merupakan karakteristik siswa yang mempunyai kemampuan komunikasi matematis. Selanjutnya Sumarmo (2005:7) merinci karakteristik kemampuan komunikasi matematis dalam beberapa indikator sebagai berikut: 1) membuat hubungan benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide matematika; 2) menjelaskan ide, situasi dan relasi matematika secara lisan maupun tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar; 3) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; 4) mendengarkan, berdiskusi dan menulis tentang matematika, membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis; 5) membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi, dan 6) menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.

Agar kemampuan komunikasi matematis siswa dapat berkembang dengan baik, maka dalam proses pembelajaran matematika perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam


(15)

mengkomunikasikan ide-ide matematisnya. Pimm (1996), menyatakan bahwa anak-anak yang diberikan kesempatan untuk bekerja dalam kelompok dalam mengumpulkan dan menyajikan data, mereka menunjukkan kemajuan baik di saat mereka saling mendengarkan ide yang satu dan yang lain, mendiskusikannya bersama kemudian menyusun kesimpulan yang menjadi pendapat kelompoknya. Ternyata mereka belajar sebagian besar dari berkomunikasi dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka.

Ungkapan yang senada juga disampaikan Sumarmo (2002) yang mengungkapkan bahwa untuk memaksimalkan proses dan hasil belajar matematika, guru perlu mendorong siswa terlibat secara aktif dalam diskusi, siswa dibimbing untuk bisa bertanya serta menjawab pertanyaan, berpikir kritis, menjelaskan setiap jawaban yang diberikan, serta mengajukan alasan untuk setiap jawaban yang diajukan. Pembelajaran yang diberikan menekankan pada penggunaan strategi diskusi, baik diskusi dalam kelompok kecil maupun diskusi dalam kelas secara keseluruhan.

Dari beberapa pendapat di atas, jelaslah diperlukan sistem penyampaian pembelajaran yang bersifat konstruktivis. Hal ini bertujuan agar dapat melibatkan siswa secara aktif dalam proses konstruksi pengetahuan peserta didik melalui diskusi kelompok ataupun diskusi kelas sehingga kecakapan berpikir kritis dan kecakapan siswa dalam berkomunikasi dapat terbentuk.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang menganut paham konstruktivisme adalah pendekatan inkuiri terbimbing. Menurut Sanjaya (2008)


(16)

pendekatan inkuiri terbimbing adalah suatu rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa, karena pada pembelajaran inkuiri materi pelajaran tidak diberikan secara langsung, tetapi siswa berperan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing siswa untuk belajar.

Ernest (1991) juga menyatakan bahwa inkuiri dan investigasi seharusnya menempati posisi sentral dalam kurikulum matematika sekolah. Ia menambahkan bahwa objek atau fokus dari inkuiri adalah adanya masalah atau diawali dengan proses investigasi. Salah satu pendefinisian dari suatu masalah adalah suatu situasi yang diberikan pada individu atau kelompok siswa agar mereka melaksanakan suatu tugas di mana tidak ada algoritma tertentu yang dapat menentukan solusi dari permasalahan tersebut. Artinya dalam proses belajar dengan pendekatan inkuiri siswa tentunya akan bernalar dan dari penalarannya siswa dapat memahami konsep pelajaran, kemudian siswa diharapkan dapat mengkomunikasikan gagasan dan ide matematis yang dapat dikemukakannya. Sehingga, melalui pendekatan inkuiri diharapkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis dapat tertanam secara baik di dalam diri siswa.

Pembelajaran inkuiri terbimbing adalah pendekatan pembelajaran yang bertujuan untuk memberikan cara bagi siswa untuk membangun


(17)

kecakapan-kecakapan intelektual (kecakapan-kecakapan berpikir) terkait dengan proses-proses berpikir reflektif. Jika berpikir menjadi tujuan utama dari pendidikan, maka harus ditemukan cara-cara membantu individu untuk membangun kemampuan itu (Wahyudin, 2008). Artinya melalui pembelajaran ini siswa diharapkan dapat mengkomunikasikan hal-hal yang telah dipahaminya dan yang ada dalam pemikirannya untuk membangun suatu pengetahuan yang akan diperolehnya.

Langkah-langkah dalam pendekatan inkuiri terbimbing yaitu mengajukan masalah, mengajukan dugaan, mengumpulkan data, menguji dugaan (konjektur), dan merumuskan kesimpulan. Sehingga untuk memfasilitasi langkah-langkah inkuiri tersebut dalam pembelajaran, hendaknya para siswa didorong untuk bagaimana mereka memahami masalah, selanjutnya berpikir bagaimana mereka memberikan atau membuat suatu dugaan sementara dari suatu gejala atau situasi. Kemudian siswa dalam mengumpulkan data, melakukan pengamatan dan penyelidikan untuk memberikan jawaban atas dugaan yang telah dirumuskan.

Ketika siswa terlibat dalam mengamati diharapkan muncul suatu pemikiran kritis yang mendalam dalam benak siswa yang dilanjutkan dengan melakukan kegiatan pembuktian terhadap dugaan-dugaan yang diberikan. Kegiatan inkuiri kemudian dilanjutkan dengan mendorong siswa melakukan diskusi sebagai wujud dari komunikasi, baik lisan maupun tulisan untuk menyempurnakan pembuktian yang telah mereka lakukan, dan kegiatan para siswa untuk mencoba meyakinkan siswa lainnya tentang gagasan-gagasan matematika yang diyakininya dengan membeberkan bukti-bukti yang dapat


(18)

diterima akal pikirannya. Sehingga, dengan pembelajaran inkuiri terbimbing ini diduga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa.

Berdasarkan alasan tersebut, maka dilakukan penelitian tentang penerapan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa sehingga siswa dapat lebih termotivasi dalam belajar matematika dan mampu menggunakan matematika untuk menyelesaikan berbagai permasalahan sehari-hari.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa SMP?” Masalah ini dapat dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa antara kemampuan tinggi, sedang, dan rendah yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing?


(19)

3. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

4. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa antara kemampuan tinggi, sedang, dan rendah yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing?

5. Bagaimanakah sikap/pandangan siswa dan guru terhadap pembelajaran matematika dengan pendekatan inkuiri terbimbing?

1. 3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menelaah perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang belajar menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

2. Untuk menelaah perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa dengan kemampuan matematika tinggi, sedang dan rendah pada siswa yang belajar dengan pendekatan inkuiri terbimbing.

3. Untuk menelaah perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang belajar menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

4. Untuk menelaah perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa dengan kemampuan matematika tinggi, sedang dan rendah pada siswa yang belajar dengan pendekatan inkuiri terbimbing.


(20)

5. Untuk mengetahui sikap siswa dan guru terhadap pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa SMP.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang maka diharapkan penelitian ini bermanfaat: 1. Sebagai informasi dan memberikan kesempatan bagi guru matematika untuk

dapat mengenal dan mengembangkan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa SMP sebagai salah satu metode alternatif dalam menyampaikan informasi kepada siswa.

2. Memberikan suatu pandangan kepada guru agar mengembangkan strategi pembelajaran yang bersifat konstruktivis, yang memberi kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, sehingga guru mempunyai keinginan untuk mengubah paradigma pembelajaran matematika dari pembelajaran yang terpusat kepada guru menjadi pembelajaran yang terpusat pada siswa.

3. Sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran matematika di SMP.


(21)

Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang terdapat pada penelitian ini, penulis menetapkan beberapa definisi operasional yaitu:

1. Pendekatan inkuiri yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan inkuiri terbimbing yaitu pendekatan inkuiri di mana guru membimbing siswa melakukan kegiatan dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada suatu diskusi. Guru mempunyai peran aktif dalam menentukan permasalahan dan tahap-tahap pemecahannya.

2. Kemampuan berpikir kritis dalam penelitian ini adalah: 1) memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification), 2) membangun keterampilan dasar (basic support), 3) membuat kesimpulan (inferring), 4) membuat penjelasan lebih lanjut (advanced clarification), 5) mengatur strategi dan taktik (strategies andtactics).

3. Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam menjelaskan penyelesaian suatu butir soal. Kemampuan komunikasi matematis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah: 1) kemampuan komunikasi tertulis yang meliputi kemampuanmenghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika, 2) menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematik, secara tertulis dengan benda nyata, gambar, dan aljabar, 3) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika, 4) membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis, 5) membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi.


(22)

4. Pembelajaran konvensional yang dimaksudkan dalam penelitian ini merupakan pembelajaran yang bersifat informatif, di mana guru memberi dan menjelaskan materi pelajaran, siswa mendengarkan dan mencatat penjelasan yang disampaikan guru, siswa belajar sendiri-sendiri, kemudian siswa mengerjakan latihan, dan siswa dipersilahkan untuk bertanya apabila tidak mengerti, maka dapat dikatakan bahwa siswa adalah individu yang pasif.

5. Pembelajaran berkelompok adalah salah satu tipe pembelajaran yang membagi siswa ke dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang, siswa heterogen dalam hal gender, ras dan tingkat kecerdasan. Para siswa dalam kelompoknya diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan dan berargumentasi, untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai (Slavin, 2008). Secara individu siswa mempunyai tanggung jawab mengenai materi pelajaran dalam kelompoknya.

6. Peningkatan yang dimaksud adalah peningkatan kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa, yang ditinjau berdasarkan gain ternormalkan dari perolehan skor pretes dan postes siswa. Rumus gain ternormalisasi adalah sebagai berikut:

Gain ternormalisasi (g) =

skorpretes skorideal

skorpretes skorpostes

(Hake, 1999)

Kategori gain ternormalkan adalah: g ≥ 0,7 (tinggi); 0,3 ≤ g < 0,7 (sedang); g < 0,3 (rendah).

7. Kategori kemampuan matematika siswa: Pengelompokan siswa didasarkan pada kemampuan matematika sebelumnya dan terdiri dari tiga kelompok kategori,


(23)

yakni kelompok tinggi, sedang dan rendah dengan perbandingan 30%, 40% dan 30% (Dahlan, 2004).

1.6Hipotesis Penelitian

Setelah meninjau kepustakaan dan mempertimbangkan penelitian-penelitian yang relevan, penulis menduga bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan inkuiri terbimbing dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa SMP, sehingga untuk dapat memenuhi tujuan penelitian dan mengingat manfaat penelitian, maka dipilih hipotesis-hipotesis sebagai berikut:

1. Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan konvensional.

2. Terdapat paling sedikit dua katagori kemampuan siswa yaitu kemampuan tinggi, sedang, dan rendah yang berbeda dalam peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar dengan pendekatan inkuiri terbimbing.

3. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan konvensional.

4. Terdapat paling sedikit dua katagori kemampuan siswa yaitu kemampuan tinggi, sedang, dan rendah yang berbeda dalam peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pendekatan inkuiri terbimbing.


(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pada penelitian ini ada dua kelompok subjek penelitian yaitu kelompok eksperimen melakukan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing dan kelompok kontrol melakukan pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Kedua kelompok ini diberikan pretes dan postes dengan menggunakan instrumen yang sama. Fraenkel,et.al.(1993) menyatakan bahwa penelitian eksperimen adalah penelitian yang melihat pengaruh-pengaruh dari variabel bebas terhadap satu atau lebih variabel yang lain dalam kondisi yang terkontrol. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas yaitu pembelajaran matematika dengan pendekatan inkuiri terbimbing, sedangkan variabel terikatnya yaitu kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa.

Pendekatan kualitatif digunakan untuk memperoleh gambaran tentang sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan pendekatan inkuiri terbimbing. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa, pada materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linear Satu Variabel. Pertimbangan pemilihan materi dilakukan setelah melakukan survey dan melakukan konsultasi dengan guru bidang studi matematika tempat penulis akan


(25)

melakukan penelitian, serta ketepatan materi tersebut dengan waktu pelaksanaan penelitian.

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain yang melibatkan dua kelompok dengan pretes dan postes. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis quasi eksperimen dengan desain kelompok kontrol non-ekivalen (Ruseffendi, 2003:52). Alasan menggunakan desain ini karena peneliti tidak memilih siswa untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, tetapi peneliti menggunakan kelas yang ada. Diagram desain eksperimennya sebagai berikut :

O X O

O O

Keterangan :

O : pretes dan postes (tes kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis)

X : perlakuan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing

Untuk melihat secara lebih mendalam pengaruh penggunaan pendekatan inkuiri terbimbing terhadap kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa, maka dalam penelitian ini dilibatkan kategori kemampuan siswa (tinggi, sedang dan rendah). Keterkaitan antar variabel bebas, terikat, dan kontrol disajikan dalam model Weiner (Saragih, 2007) yang disajikan pada Tabel 3.1 berikut:


(26)

Tabel. 3.1 Tabel Weiner tentang Keterkaitan Antar Variabel Bebas, Terikat dan Kontrol

Kemampuan yang diukur

Kemampuan Berpikir kritis

Kemampuan Komunikasi Pendekatan

Pembelajaran PIT(A) PK(B) PIT(A) PK(B) Kelompok

Siswa

Tinggi (T) KPAT KPBT KKAT KKBT

Sedang (S) KPAS KPBS KKAS KKBS

Rendah (R) KPAR KPBR KKAR KKBR

KPA KPB KKA KKB

Keterangan:

PIT(A) : Pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing PK(B) : Pembelajaran dengan pendekatan konvensional

Contoh: KPAT adalah kemampuan berpikir kritis siswa kelompok tinggi yang pembelajarannya dengan pendekatan inkuiri terbimbing KKBS adalah kemampuan komunikasi siswa kelompok sedang yang pembelajarannya dengan pendekatan konvensional

KPA adalah kemampuan berpikir kritis siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan inkuiri terbimbing.

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian

Fakta yang diungkap pada bagian latar belakang masalah menyebutkan bahwa, komunikasi matematis dan berpikir kritis siswa pada pelajaran matematika di Indonesia masih rendah. Hal ini didasarkan pada penelitian Somatanaya (2005), Yuniarti (2007) dan Hutabarat (2009) yang melibatkan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebagai subjek penelitiannya.

Selanjutnya, pemilihan siswa SMP sebagai responden sampel penelitian didasarkan pada pertimbangan tingkat perkembangan kognitif


(27)

siswa SMP masih pada tahap peralihan dari operasi konkrit ke operasi formal sehingga ingin dilihat bagaimana penerapan pembelajaran matematika dengan pendekatan inkuiri terbimbing bagi siswa SMP. Sehingga dengan pertimbangan inilah maka dipilih populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa SMP di Jawa Barat, mengingat kemampuan matematika siswa SMP di Jawa Barat berada dalam katagori B (Sedang).

Dari sekian banyak SMP yang ada di Jawa Barat, dipilih populasi target SMP Negeri 2 Padaherang, karena SMP ini mempunyai karakteristik yang serupa dengan populasi. Selain itu, peneliti berdomisili di Ciamis, sehingga dapat memudahkan komunikasi dengan responden penelitian. Serta keterbatasan tenaga, waktu, dan supaya biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan memilih SMP di provinsi lain.

Level sekolah yang dipilih adalah sekolah level menengah dikarenakan level ini kemampuan akademik siswanya heterogen, dapat mewakili siswa dari tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Dari keterangan yang diperoleh dari kepala sekolah SMP Negeri 2 Padaherang, sekolah ini termasuk dalam sekolah level menengah, hal ini dapat ditunjukkan melalui peringkat sekolah ini di propinsi Jawa Barat berdasarkan jumlah nilai Ujian Nasional tahun pembelajaran 2010/2011 yang menduduki peringkat 612 dari 1312 sekolah menengah pertama yang ada di propinsi Jawa Barat (Puspendik, 2011).

Responden sampel dalam penelitian ini dipilih siswa kelas tujuh SMP yang didasarkan pada pertimbangan antara lain: siswa kelas VII merupakan


(28)

siswa baru yang berada dalam masa transisi dari SD ke SMP sehingga lebih mudah diarahkan. Sedangkan siswa kelas VIII dimungkinkan gaya belajarnya sudah terbentuk sehingga sulit untuk diarahkan. Demikian pula dengan kelas IX sedang dalam persiapan mengikuti Ujian Nasional.

Dari delapan kelas VII yang ada di SMP Negeri 2 Padaherang yang setiap kelompok kelasnya memiliki karakteristik yang sama, dipilih dua kelas sebagai kelas kontrol dan kelas eksperimen. Penentuan kelas eksperimen dan kelas kontrol yang merupakan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara purposive sampling karena pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010). Alasan pemilihan sampel dengan purposive sampling karena kedua kelompok tidak dilakukan keacakan sesungguhnya, hanya berdasarkan kelas yang ada. Hal ini dilakukan karena bila dilakukan pengacakan yang sesungguhnya dikhawatirkan akan mengganggu proses pembelajaran. Dari delapan kelas, terpilihlah kelas VII B dan VII D sebagai sampel penelitian, kemudian dari dua kelas tersebut dipilih satu kelas digunakan sebagai kelas eksperimen dan satu kelas lagi digunakan sebagai kelas kontrol. Dalam penelitian ini terpilih siswa kelas VIIB sebagai kelas eksperimen dan kelas VIID sebagai kelas kontrol.

3.3 Instrumen Untuk Penelitian

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini digunakan tiga macam instrumen, yang terdiri atas soal tes matematika dalam bentuk uraian, format observasi selama proses pembelajaran berlangsung dan skala sikap mengenai pendapat siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing.


(29)

3.3.1 Instrumen Tes Matematika

Instrumen tes matematika disusun dalam dua perangkat, yaitu tes kemampuan berpikir kritis matematis dan tes kemampuan komunikasi matematis.

A. Instrumen Tes Berpikir Kritis Matematis

Tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis matematis siswa terdiri dari 5 butir soal yang berbentuk uraian. Dalam penyusunan soal tes, diawali dengan penyusunan kisi-kisi soal yang dilanjutkan dengan menyusun soal beserta alternatif kunci jawaban masing-masing butir soal. Secara lengkap, kisi-kisi dan instrument tes berpikir kritis matematis dapat dilihat pada Lampiran. Untuk memberikan penilaian yang objektif, kriteria pemberian skor untuk soal tes kemampuan berpikir kritis berpedoman pada Holistic Scoring Rubrics yang dikemukakan oleh Cai, Lane, dan Jakabcsin (1996) yang kemudian diadaptasi. Kriteria skor untuk tes ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.2 Penskoran untuk Perangkat Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Skor Respon siswa

0 Tidak ada jawaban/salah menginterpretasikan

1 Jawaban sebagian besar mengandung perhitungan yang salah 2 Jawaban kurang lengkap (sebagian petunjuk diikuti) penggunaan

algoritma lengkap, namun mengandung perhitungan yang salah 3 Jawaban hampir lengkap (sebagian petunjuk diikuti),

penggunaan algoritma secara lengkap dan benar, namun mengandung sedikit kesalahan

4 Jawaban lengkap (hampir semua petunjuk soal diikuti),

penggunaan algoritma secara lengkap dan benar, dan melakukan perhitungan dengan benar


(30)

B. Instrumen Tes Komunikasi Matematis

Tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa terdiri dari 5 butir soal yang berbentuk uraian. Dalam penyusunan soal tes, diawali dengan penyusunan kisi-kisi soal yang dilanjutkan dengan menyusun soal beserta alternatif kunci jawaban untuk masing-masing butir soal. Secara lengkap, kisi-kisi dan instrument tes berpikir kritis matematis dapat dilihat pada Lampiran. Untuk memberikan penilaian yang objektif, kriteria pemberian skor untuk Soal Tes Kemampuan Komunikasi berpedoman pada Holistic Scoring Rubrics yang dikemukakan oleh Cai, Lane, dan Jakabcsin (1996) yang kemudian diadaptasi. Kriteria skor untuk tes ini dapat dilihat pada tabel 3.3.

Bahan tes diambil dari materi pelajaran matematika SMP kelas VII semester gasal dengan mengacu pada Kurikulum 2006 pada materi persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel. Sebelum diteskan, instrumen yang

Tabel 3.3 Penskoran untuk Perangkat Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

Skor Respon siswa

0 Tidak ada jawaban/salah menginterpretasikan

1 Hanya sedikit dari penjelasan konsep, ide atau persoalan dari suatu gambar yang diberikan dengan kata-kata sendiri dalam bentuk penulisan kalimat secara matematik dan gambar yang dilukis, yang benar.

2 Penjelasan konsep, ide atau persoalan dari suatu gambar yang diberikan dengan kata-kata sendiri dalam bentuk penulisan kalimat secara matematik masuk akal, melukiskan gambar namun hanya sebagian yang benar 3 Semua penjelasan dengan menggunakan gambar, fakta, dan hubungan

dalam menyelesaikan soal, dijawab dengan lengkap dan benar namun mengandung sedikit kesalahan

4 Semua penjelasan dengan menggunakan gambar, fakta, dan hubungan dalam menyelesaikan soal, dijawab dengan lengkap, jelas dan benar


(31)

akan digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa tersebut diuji validitas construct, validitas isi, dan validitas mukanya oleh beberapa orang mahasiswa Sekolah Pascasarjana Pendidikan Matematika UPI, yaitu 2 orang mahasiswa S2 dan guru matematika SMP Negeri 3 yang kemudian hasilnya dikonsultasikan dengan dosen pembimbing. Validitas soal yang dinilai oleh validator adalah meliputi validitas construct, validitas muka (face validity), dan validitas isi (content validity). Validitas construct adalah kesesuaian soal dengan indikator yang dibuat. Validitas muka disebut pula validitas bentuk soal (pertanyaan, pernyataan, suruhan) atau validitas tampilan, yaitu keabsahan susunan kalimat atau kata-kata dalam soal sehingga jelas pengertiannya atau tidak menimbulkan tafsiran lain (Suherman.dkk, 2003), termasuk juga kejelasan gambar dalam soal. Sedangkan validitas isi berarti ketepatan alat tersebut ditinjau dari segi materi yang diajukan, yaitu materi (bahan) yang dipakai sebagai tes tersebut merupakan sampel yang representative dari pengetahuan yang harus dikuasai, termasuk kesesuaian antara indikator dan butir soal, kesesuaian soal dengan tingkat kemampuan siswa kelas VII, dan kesesuaian materi dan tujuan yang ingin dicapai.

Untuk mengukur kecukupan waktu siswa dalam menjawab soal tes ini, peneliti juga mengujicobakan soal-soal ini kepada kelompok terbatas yang terdiri dari empat orang siswa yang sudah pernah memperoleh materi ini. Hasilnya adalah beberapa soal-soal yang ada perlu perbaikan karena menurut mereka soal itu terlalu banyak menghabiskan waktu.


(32)

Selanjutnya soal-soal yang valid menurut validitas muka dan validitas isi ini diujicobakan kepada siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Padaherang. Uji coba tes ini dilakukan kepada siswa-siswa yang sudah pernah mendapatkan materi persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel. Kemudian data yang diperoleh dari ujicoba tes kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis ini dianalisis untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran tes tersebut dengan menggunakan program SPSS 16.0 dan Anates Versi 4.0. Seluruh perhitungan menggunakan program tersebut dapat dilihat pada Lampiran.

C. Analisis Validitas

Suatu alat evaluasi (instrumen) dikatakan valid bila alat tersebut mampu mengukur apa yang seharusnya diukur (Ruseffendi, 1991). Interpretasi mengenai besarnya koefisien validitas dalam penelitian ini menggunakan ukuran yang dibuat J.P.Guilford (Suherman dkk., 2003) seperti pada tabel berikut.

Tabel 3.4 Interpretasi Koefisien Validitas

Koefisien Interpretasi

00 , 1 90

,

0 <rxy ≤ Sangat tinggi (sangat baik)

90 , 0 70

,

0 <rxy≤ Tinggi (baik)

70 , 0 40

,

0 <rxy≤ Sedang (cukup)

40 , 0 20

,

0 <rxy≤ Rendah (kurang)

20 , 0 00

,

0 <rxy ≤ Sangat rendah

20 , 0 < xy

r Tidak valid

Berdasarkan hasil uji coba di SMP Negeri 2 kelas VIII A, maka dilakukan uji validitas dengan bantuan Program Anates 4.0, hasil perhitungan


(33)

selengkapnya dapat dilihat pada lampiran. Hasil uji validitas ini dapat dinterpretasikan dalam rangkuman yang disajikan pada Tabel 3.5 berikut ini.

Tabel 3.5

Interpretasi Uji Validitas Tes Berpikir Kritis Matematis Nomor Soal Korelasi Interpretasi Validitas Signifikansi

1 0,741 Tinggi (baik) Sangat Signifikan

2 0,792 Tinggi (baik) Sangat Signifikan

3 0,754 Tinggi (baik) Sangat Signifikan

4 0,570 Sedang (cukup) Signifikan

5 0,806 Tinggi (baik) Sangat Signifikan

Dari lima butir soal yang digunakan untuk menguji kemampuan berpikir kritis matematis tersebut berdasarkan kriteria validitas tes, diperoleh satu soal (soal nomor 4) yang mempunyai validitas sedang, dan empat soal sisanya mempunyai validitas tinggi atau baik. Artinya, tidak semua soal mempunyai validitas yang baik. Untuk kriteria signifikansi dari korelasi pada tabel di atas terlihat hanya satu soal yaitu soal nomor 4 yang signifikan, sedangkan empat soal lainnya sangat signifikan.

Untuk tes berpikir kritis matematis diperoleh nilai korelasi xy sebesar 0,68. Apabila diinterpretasikan berdasarkan kriteria validitas tes dari Guilford, maka secara keseluruhan tes berpikir kritis matematis memiliki validitas yang sedang atau cukup.

Selanjutnya melalui uji validitas dengan Anates 4.0, yang hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran diperoleh hasil uji


(34)

validitas tes komunikasi matematis yang dapat dinterpretasikan dalam rangkuman yang disajikan pada Tabel 3.6 berikut ini.

Tabel 3.6 Uji Validitas Tes Komunikasi Matematis Nomor Soal Korelasi Interpretasi Validitas Signifikansi

1 0,865 Tinggi (baik) Sangat Signifikan

2 0,724 Tinggi (baik) Sangat Signifikan

3 0,756 Tinggi (baik) Sangat Signifikan

4 0,746 Tinggi (baik) Sangat Signifikan

5 0,812 Tinggi (baik) Sangat Signifikan

Dari lima butir soal yang digunakan untuk menguji kemampuan komunikasi matematis tersebut berdasarkan kriteria validitas tes, diperoleh bahwa kelima butir soal tersebut mempunyai validitas tinggi atau baik. Artinya, semua soal mempunyai validitas yang baik. Untuk kriteria signifikansi dari korelasi pada tabel di atas terlihat bahwa semua butir sangat signifikan.

Secara keseluruhan tes komunikasi matematis mempunyai nilai korelasi xy sebesar 0,87. Apabila diinterpretasikan berdasarkan kriteria validitas tes dari Guilford, maka secara keseluruhan tes komunikasi matematis memiliki validitas yang tinggi atau baik.

D. Analisis Reliabilitas

Reliabilitas suatu alat ukur dimaksudkan sebagai suatu alat yang memberikan hasil yang tetap sama (konsisten, ajeg) (Suherman dkk., 2003). Penulis menggunakan program Anates Versi 4.0 untuk menghitungnya seperti pada perhitungan validitas butir soal. Tingkat reliabilitas dari soal uji coba


(35)

kemampuan berpikir kritis dan komunikasi didasarkan pada klasifikasi Guilford (Ruseffendi,1991) sebagai berikut:

Tabel 3.7 Klasifikasi Tingkat Reliabilitas Besarnya r Tingkat Reliabilitas 0,00 ≤r< 0,20 Kecil

0,20 ≤r< 0,40 Rendah 0,40 ≤r< 0,70 Sedang 0,70 ≤r< 0,90 Tinggi 0,90 ≤r≤ 1,00 Sangat tinggi

Berdasarkan hasil uji coba reliabilitas butir soal secara keseluruhan untuk tes berpikir kritis matematis diperoleh nilai tingkat reliabilitas sebesar 0,75, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa soal tes berpikir kritis matematis mempunyai reliabilitas yang tinggi. Sedangkan untuk tes komunikasi matematis diperoleh nilai tingkat reliabilitas sebesar 0,88, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa soal tes komunikasi matematis mempunyai reliabilitas yang juga tinggi.

E. Analisis Daya Pembeda

Daya pembeda menunjukkan kemampuan soal tersebut membedakan antara siswa yang pandai (termasuk dalam kelompok unggul) dengan siswa yang kurang pandai (termasuk kelompok asor). Suatu perangkat alat tes yang baik harus bisa membedakan antara siswa yang pandai, rata-rata, dan yang kurang pandai karena dalam suatu kelas biasanya terdiri dari tiga kelompok tersebut. Sehingga hasil evaluasinya tidak baik semua atau sebaliknya buruk


(36)

semua, tetapi haruslah berdistribusi normal, maksudnya siswa yang mendapat nilai baik dan siswa yang mendapat nilai buruk ada (terwakili) meskipun sedikit, bagian terbesar berada pada hasil cukup.

Proses penentuan kelompok unggul dan kelompok asor ini adalah dengan cara terlebih dahulu mengurutkan skor total setiap siswa mulai dari skor tertinggi sampai dengan skor terendah (menggunakan Anates Versi 4.0). Daya pembeda uji coba soal kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis didasarkan pada To (Astuti, 2009)

Tabel 3.8 Klasifikasi Daya Pembeda Daya Pembeda Evaluasi Butiran Soal

Negatif – 10% sangat buruk, harus dibuang 10% – 19% buruk, sebaiknya dibuang

20% – 29% agak baik, kemungkinan perlu direvisi

30% – 49% Baik

50% ke atas Sangat baik

Hasil perhitungan daya pembeda untuk tes berpikir kritis dan komunikasi matematis disajikan masing-masing dalam Tabel 3.9 dan Tabel 3.10 . Dari kedua tabel tersebut dapat dilihat bahwa untuk soal tes berpikir kritis matematis yang terdiri dari lima butir soal, terdapat tiga butir soal yang daya pembedanya baik yaitu soal nomor 1, 3 dan 4, sedangkan soal nomor 2 dan 5 daya pembedanya sangat baik. Untuk soal tes komunikasi matematis terdapat dua butir soal yang daya pembedanya baik yaitu soal nomor 3 dan 4, sedangkan soal nomor 1, 2 dan 5 daya pembedanya sangat baik.


(37)

Tabel 3.9 Daya Pembeda Tes Berpikir Kritis Matematis Nomor Soal Indeks Daya Pembeda Interpretasi

1 46,43 % Baik

2 54,28 % Sangat baik

3 42,70 % Baik

4 35,84 % Baik

5 67,62 % Sangat baik

Tabel 3.10 Daya Pembeda Tes Komunikasi Matematis Nomor Soal Indeks Daya Pembeda Interpretasi

1 66,67 % Sangat baik

2 57,56 % Sangat baik

3 42,98 % Baik

4 46,12 % Baik

5 58,06 % Sangat baik

F. Analisis Tingkat Kesukaran Soal

Kita perlu menganalisis butir soal pada instrumen untuk mengetahui derajat kesukaran dalam butir soal yang kita buat. Butir-butir soal dikatakan baik, jika butir-butir soal tersebut tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah. Dengan kata lain derajat kesukarannya sedang atau cukup. Menurut Ruseffendi (1991), kesukaran suatu butiran soal ditentukan oleh perbandingan antara banyaknya siswa yang menjawab butiran soal itu.

Kriteria tingkat kesukaran soal yang digunakan dalam uji coba soal kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis didasarkan pada To (Astuti, 2009), seperti pada Tabel. 3.11 berikut:

Tabel 3.11 Kriteria Tingkat Kesukaran

Tingkat Kesukaran Interpretasi

0% - 15% Sangat sukar

16% - 30% Sukar

31% - 70 % Sedang

71% - 85% Mudah


(38)

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan Anates Versi 4.0. diperoleh tingkat kesukaran tiap butir soal tes berpikir kritis dan komunikasi matematis yang terangkum dalam Tabel 3.12 dan Tabel 3.13 berikut ini:

Tabel 3.12

Tingkat Kesukaran Butir Soal Berpikir Kritis Matematis Nomor Soal Tingkat Kesukaran Interpretasi

1 65,63% Sedang

2 49,82% Sedang

3 52,40% Sedang

4 16,92% Sukar

5 50,25% Sedang

Tabel 3.13

Tingkat Kesukaran Butir Soal Komunikasi Matematis Nomor Soal Tingkat Kesukaran Interpretasi

1 48,78% Sedang

2 52,10% Sedang

3 33,21% Sedang

4 27,40% Sukar

5 51,28% Sedang

Dari kedua tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk soal tes berpikir kritis matematis yang terdiri dari lima butir soal, terdapat empat soal tes dengan tingkat kesukaran sedang, yaitu soal nomor 1, 2, 3 dan 5. Sedangkan satu butir soal (soal nomor 4) tingkat kesukarannya sukar, sehingga soal nomor 4 ini diperbaiki dengan lebih menyederhanakan bentuk gambar dan pertanyaannya. Untuk soal tes komunikasi matematis terdapat empat butir soal yang tingkat kesukarannya sedang, yaitu soal nomor 1, 2, 3, dan 5, sedangkan soal nomor 4 tingkat kesukarannya sukar.


(39)

G. Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Soal Tes Matematika

Rekapitulasi dari semua perhitungan analisis hasil uji coba tes kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis disajikan secara lengkap dalam Tabel 3.14 dan Tabel 3.15 di bawah ini:

Tabel 3.14 Rekapitulasi Analisis

Hasil Uji Coba Soal Tes Berpikir Kritis Matematis

Nomor Soal Interpretasi Validitas Interpretasi Tingkat Kesukaran Interpretasi Daya Pembeda Interpretasi Reliabilitas

1 Tinggi (baik) Sedang Baik

Tinggi 2 Tinggi (baik) Sedang Sangat baik

3 Tinggi (baik) Sedang Baik

4 Sedang (cukup) Sukar Baik

5 Tinggi (baik) Sedang Sangat baik

Berdasarkan hasil analisis keseluruhan terhadap hasil ujicoba tes kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis yang dilaksanakan di SMP Negeri 2 Padaherang pada kelas VIII A, serta dilihat dari hasil analisis validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran soal, maka dapat disimpulkan bahwa soal tes tersebut layak dipakai sebagai acuan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa SMP kelas VII yang merupakan responden dalam penelitian ini.

Tabel 3.15 Rekapitulasi Analisis

Hasil Uji Coba Soal Tes Komunikasi Matematis

Nomor Soal Interpretasi Validitas Interpretasi Tingkat Kesukaran Interpretasi Daya Pembeda Interpretasi Reliabilitas 1 Tinggi (baik) Sedang Sangat baik

Tinggi 2 Tinggi (baik) Sedang Sangat baik

3 Tinggi (baik) Sedang Baik

4 Tinggi (baik) Sukar Baik


(40)

Selanjutnya untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, peneliti mencoba mengkorelasikan hasil uji coba tes kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa ini dengan nilai ulangan sehari-hari siswa yang diperoleh dari guru bidang studi matematika. Hal ini dilakukan untuk melihat hubungan antara dua variabel. Hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 3.16 dan Tabel 3.17 berikut ini:

Tabel 3.16

Perhitungan Korelasi Uji Kemampuan Berpikir Kritis Matematis dan Nilai Ulangan Siswa dengan Program SPSS 16.0

uji_berpikir kritis nilai_ulangan

uji_berpikir kritis Pearson porrelation 1.000 0.723**

Sig. (2-tailed) 0.000

N 42 42

nilai_ulangan Pearson porrelation 0.723** 1.000

Sig. (2-tailed) 0.000

N 42 42

**. porrelation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Bentuk output SPSS

Ho: Tidak terdapat korelasi

Dari hasil perhitungan di atas terlihat bahwa nilai koefisien korelasi antara nilai uji coba kemampuan berpikir kritis matematis dan nilai ulangan siswa adalah sebesar 0,723. Nilai Sig (0,000) < α, maka Ho ditolak, sehingga hubungan kedua variabel ini signifikan. Jadi, terdapat hubungan antara nilai uji coba kemampuan berpikir kritis matematis dengan nilai ulangan siswa.

Tabel 3.17

Perhitungan Korelasi Uji Kemampuan Komunikasi Matematis dan Nilai Ulangan Siswa dengan Program SPSS 16.0

uji_koCunikasi nilai_ulangan

uji_koCunikasi Pearson porrelation 1.000 0.742**

Sig. (2-tailed) 0.000


(41)

nilai_ulangan Pearson porrelation 0.742** 1.000

Sig. (2-tailed) 0.000

N 42 42

**. porrelation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Ket.Bentuk output SPSS

Ho: Tidak terdapat korelasi

Berdasarkan hasil perhitungan di atas terlihat bahwa nilai koefisien korelasi antara nilai uji coba kemampuan komunikasi matematis dan nilai ulangan siswa adalah sebesar 0,742. Nilai Sig (0.000) < α, maka Ho ditolak, sehingga hubungan kedua variabel ini signifikan. Jadi, terdapat hubungan antara nilai uji coba kemampuan komunikasi matematis dengan nilai ulangan siswa. Hasil perhitungan lebih rinci dapat dilihat pada lampiran.

3.3.2 Lembar Observasi

Lembar observasi digunakan untuk melihat aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran berlangsung di kelas eksperiman. Aktivitas siswa yang diamati pada kegiatan pembelajaran inkuiri terbimbing adalah keaktifan siswa dalam mengajukan dan menjawab pertanyaan, mengemukakan dan menanggapi pendapat, mengemukakan ide untuk menyelesaikan masalah, bekerjasama dalam kelompok dalam melakukan kegiatan pembelajaran, berada dalam tugas kelompok, membuat kesimpulan di akhir pembelajaran dan menulis hal-hal yang relevan dengan pembelajaran. Sedangkan aktivitas guru yang diamati adalah kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran dengan inkuiri terbimbing. Tujuannya adalah untuk dapat memberikan refleksi pada proses pembelajaran, agar pembelajaran berikutnya dapat menjadi lebih baik daripada pembelajaran sebelumnya dan sesuai


(42)

dengan skenario yang telah dibuat. Observasi tersebut dilakukan oleh peneliti dan satu orang guru matematika. Lembar observasi siswa dan guru disajikan dalam Lampiran.

3.3.3 Skala Sikap

Skala sikap yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika, pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing, dan soal-soal berpikir kritis dan komunikasi. Instrumen skala sikap dalam penelitian ini terdiri dari 20 butir pertanyaan dan diberikan kepada siswa kelompok eksperimen setelah semua kegiatan pembelajaran berakhir yaitu setelah postes. Instrumen skala sikap secara lengkap dapat dilihat pada lampiran.

Model skala yang digunakan adalah model skala Likert. Derajat penilaian terhadap suatu pernyataan tersebut terbagi ke dalam 5 kategori, yaitu : sangat setuju (SS), setuju (S), Netral (N), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Dalam menganalisis hasil skala sikap, skala kualitatif tersebut ditransfer ke dalam skala kuantitatif. Pemberian nilainya dibedakan antara pernyataan yang bersifat negatif dengan pernyataan yang bersifat positif. Untuk pernyataan yang bersifat positif, pemberian skornya adalah SS diberi skor 5, S diberi skor 4, N diberi skor 3, TS diberi skor 2, dan STS diberi skor 1. Sedangkan untuk pernyataan negatif, pemberian skornya adalah SS diberi skor 1, S diberi skor 2, N diberi skor 3, TS diberi skor 4, dan STS diberi skor 5.


(43)

Langkah pertama dalam menyusun skala sikap adalah membuat kisi-kisi. Kemudian melakukan uji validitas isi butir pernyataan dengan meminta pertimbangan teman-teman mahasiswa Pascasarjana UPI dan selanjutnya dikonsultasikan dengan dosen pembimbing, mengenai isi dari skala sikap sehingga skala sikap yang dibuat sesuai dengan indikator-indikator yang telah ditentukan serta dapat memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan. Selanjutnya, dilakukan juga uji validitas skala sikap ini kepada beberapa orang siswa (kelompok terbatas) sebanyak empat orang untuk melihat keterbacaan kalimat-kalimat dalam angket tersebut.

Untuk mengetahui sikap siswa, siswa mempunyai sikap positif atau negatif, maka rataan skor setiap siswa dibandingkan dengan skor netral terhadap setiap butir skor, indikator dan klasifikasinya. Bila rataan skor seorang siswa lebih kecil dari skor netral, artinya siswa mempunyai sikap negatif. Sedangkan bila rataan skor seorang siswa lebih besar dari skor netral, artinya siswa mempunyai sikap positif.

3.3.4 Wawancara

Pedoman wawancara disediakan untuk menggali informasi lebih jauh tentang pelaksanaan pembelajaran matematika dengan pendekatan inkuiri terbimbing. Ada dua macam pedoman wawancara yaitu pedoman wawancara untuk guru dan pedoman wawancara untuk siswa. Wawancara dengan guru bertujuan untuk mengetahui pendapatnya mengenai pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa. Guru yang diwawancarai adalah guru


(44)

matematika yang terlibat sebagai pengajar dan pengamat dalam setiap pembelajaran.

Wawancara dengan siswa untuk mengetahui apakah siswa mengalami kesulitan belajar dengan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing serta mengetahui penyebab kesulitan yang dialami siswa. Siswa yang diwawancara adalah beberapa orang siswa yang dipilih secara acak dan mewakili kemampuan siswa dari kategori tinggi, sedang dan rendah. Pedoman wawancara guru dan siswa, masing-masing dapat dilihat pada lampiran A.7 dan lampiran A.8.

3.4 Pengembangan Bahan Ajar

Perangkat pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini disusun dalam bentuk bahan ajar berupa Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Bahan ajar/LKS tersebut dikembangkan dari topik matematika berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku di Sekolah Menengah Pertama tempat penulis melakukan penelitian yaitu di SMP Negeri 2 Padaherang. Adapun materi yang dipilih adalah berkenaan dengan pokok bahasan Persamaan dan Pertidaksamaan Linear Satu Variabel. Semua perangkat pembelajaran untuk kelompok eksperimen dikembangkan dengan mengacu pada kelima tahapan dalam pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing, yaitu 1) mengajukan masalah, 2) mengajukan dugaan(konjektur), 3) mengumpulkan data, 4) menguji dugaan; 5) merumuskan kesimpulan. Sedangkan pada kelas kontrol tidak diberikan LKS, namun diberikan tugas dan latihan yang sama dengan yang diberikan pada kelas eksperimen.


(45)

Penyusunan bahan ajar dilakukan dengan menyesuaikannya dengan LKS yang digunakan dalam pembelajaran melalui pertimbangan dosen pembimbing. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dan LKS dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini akan dikumpulkan melalui tes, lembar observasi, angket skala sikap dan lembar wawancara. Data yang berkaitan dengan kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa dikumpulkan melalui tes (pretes dan postes). Data yang berkaitan dengan sikap siswa dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan inkuiri terbimbing dikumpulkan melalui angket skala sikap siswa.

3.6 Tahap Penelitian

Penelitian akan dilakukan dalam tiga tahap kegiatan yaitu: tahap persiapan, tahap penelitian dan tahap pengolahan data.

3.6.1 Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini peneliti melakukan beberapa kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka persiapan pelaksanaan penelitian, diantaranya:

1. studi kepustakaan mengenai pembelajaran matematika dengan pendekatan inkuiri terbimbing, kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis siswa

2. menyusun instrumen penelitian yang disertai dengan proses bimbingan dengan dosen pembimbing


(46)

3. mengurus surat izin penelitian, baik izin dari Direktur Sekolah Pascasarjana UPI, maupun surat izin dari Dinas Pendidikan di Ciamis 4. berkunjung ke SMP Negeri 2 Padaherang untuk menyampaikan surat izin

penelitian dan sekaligus meminta izin untuk melaksanakan penelitian 5. melakukan observasi pembelajaran di sekolah dan berkonsultasi dengan

guru matematika untuk menentukan waktu, teknis pelaksanaan penelitian, serta meminjam nilai hasil ulangan umum untuk membuat pengelompokkan di kelas eksperimen

6. melaksanakan pelatihan kepada guru matematika kelas VII tentang model pembelajaran dengan inkuiri terbimbing

7. menguji coba instrumen penelitian, mengolah data hasil uji coba instrument tersebut.

3.6.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pada tahap ini, kegiatan diawali dengan memberikan pretes pada kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk mengetahui pengetahuan awal siswa dalam kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis. Setelah pretes dilakukan, maka dilanjutkan dengan pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing pada kelas eksperimen dan pembelajaran dengan pendekatan konvensional pada kelas kontrol. Pada kelas eksperimen dan kontrol, diberi pembelajaran oleh seorang guru matematika yang memang mengajar pada kedua kelas tersebut. Guru tersebut sebelumnya telah diberikan pelatihan dan informasi tentang pembelajaran dengan pendekatan


(47)

inkuiri terbimbing. Peneliti bertugas sebagai observer dan partner guru, dan pembelajaran dilaksanakan sesuai jadwal yang telah direncanakan.

Observasi pada kelas eksperimen dilakukan oleh peneliti dan satu orang guru pengamat. Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol mendapat perlakuan yang sama dalam hal jumlah jam pelajaran, soal-soal latihan dan tugas. Kelas eksperimen menggunakan LKS rancangan peneliti, sedangkan kelas kontrol menggunakan sumber pembelajaran dari buku LKS dan buku paket yang disediakan sekolah. Jumlah pertemuan pada kelas eksperimen dan kontrol masing-masing 5 kali pertemuan. Peneliti menggunakan catatan lapangan untuk memantau dan mengawasi pelaksanaan pembelajaran di kelas eksperimen dan kontrol untuk memastikan bahwa perlakuan yang diberikan pada kedua kelas tersebut berbeda dan berjalan sesuai dengan rancangan penelitian.

Secara garis besar langkah-langkah yang digunakan dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan inkuiri terbimbing pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kegiatan Pendahuluan (±±±± 10 menit)

a. Guru memberikan apersepsi dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa untuk menggali kemampuan awal yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari.

b. Guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompoknya yang heterogen terdiri 4-5 orang.


(48)

2. Kegiatan Inti (± 60 menit)

Tahap 1 : Siswa dihadapkan dengan masalah

Guru mengajukan permasalahan untuk dapat diamati dan diselidiki oleh siswa.

Tahap 2: Mengajukan dugaan/konjektur

Pada tahap ini siswa bersama kelompoknya diharapkan dapat menyusun konjektur/dugaan untuk menduga dan menjawab pertanyaan yang diajukan guru.

Tahap 3: Mengumpulkan data

a. Guru meminta siswa untuk mengajukan pertanyaan dalam rangka mengumpulkan data terhadap masalah yang diajukan guru. Guru akan memberikan jawaban singkat, seperti “ya” atau “tidak”.

b. Guru mempersilahkan siswa untuk membaca dan memahami LKS sebelum diskusi kelompok, kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, bila ada bagian-bagian yang perlu dijelaskan.

Tahap 4: Menguji konjektur

a. Guru meminta siswa untuk melakukan inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS.

b. Siswa berdiskusi bersama teman sekelompoknya untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan atas konjektur dengan mengerjakan LKS.


(49)

c. Pada saat siswa berdiskusi, guru berkeliling pada setiap kelompok untuk memberikan bimbingan seperlunya.

Tahap 5: Merumuskan kesimpulan

a. Setelah diskusi kelompok, guru meminta siswa untuk melaporkan hasil temuan dalam kelompoknya.

b. Setelah semua kelompok menyampaikan laporannya, guru bersama siswa melakukan diskusi kelas, untuk menanggapi kesimpulan dari masing-masing kelompok.

c. Guru kembali melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti: “bagaimana jika….?” Untuk memberikan penguatan akan berpikir kritis siswa terhadap temuan yang telah diperolehnya dalam pembelajaran.

d. Pada tahap ini siswa diharapkan telah dapat menjawab hipotesis mereka. Siswa dengan bimbingan guru merangkum dan menyimpulkan sendiri berpikir kritis mereka mengenai konsep yang dipelajari.

3. Kegiatan Penutup (±±±± 10 menit)

a. Guru mengulas kembali tentang konsep yang telah dipelajari, dan membimbing siswa untuk membuat rangkuman materi pelajaran yang dianggap penting.

b. Guru memberikan tugas rumah sebagai tindak lanjut dari proses pembelajaran di kelas.


(50)

Sedangkan langkah-langkah pembelajaran matematika dengan pembelajaran konvensional adalah sebagai berikut:

1. Kegiatan Pendahuluan

a. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan materi yang akan dipelajari

b. Guru memberikan apersepsi dengan cara tanya jawab serta mengingatkan kembali pelajaran yang telah lalu yang berhubungan dengan materi pelajaran saat ini.

2. Kegiatan inti

a. Guru menjelaskan kepada siswa tentang materi pelajaran

b. Guru memberi contoh-contoh soal dan menyelesaikannya di papan tulis.

c. Guru bertanya kepada siswa apakah siswa sudah mengerti atau belum, jika belum, guru akan kembali menjelaskan pada bagian yang siswa belum begitu memahaminya.

d. Guru memberikan latihan-latihan soal, siswa diminta mengerjakannya secara individu.

e. Guru meminta beberapa orang siswa untuk mengerjakan soal yang telah diberikan guru.

3. Penutup

a.Guru menyimpulkan mengenai pembelajaran yang telah dilakukan b.Guru memberikan tugas rumah.


(51)

Setelah seluruh kegiatan pembelajaran selesai, akan dilakukan tes akhir (postes) pada kelas eksperiman dan kelas kontrol. Kedua kelompok ini diberikan soal tes akhir yang sama dengan soal tes awal (pretes). Hal ini dilakukan untuk mengetahui besarnya peningkatan kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa. Pelaksanaan tes berpikir kritis dan komunikasi matematis masing-masing 40 menit baik di kelas eksperimen maupun di kelas kontrol. Selain postes, pada kelas eksperimen diberikan angket skala sikap dan dilakukan wawancara terhadap beberapa siswa yang dipilih secara acak mewakili tingkat kemampuan siswa.

3.6.3 Tahap Pengolahan Data

Data yang akan dianalisis adalah data kuantitatif berupa hasil tes kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa dan data kualitatif berupa hasil observasi, angket untuk siswa, dan lembar wawancara berkaitan dengan pandangan guru terhadap pembelajaran yang dikembangkan. Untuk pengolahan data penulis menggunakan bantuan program software SPSS 16, dan Microsoft Excell 2007.

a. Data Hasil Tes Berpikir kritis dan Komunikasi Matematis

Data yang diperoleh dari hasil tes diolah melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1. Menghitung statistik deskriptif skor pretest, posttest, dan gain yang meliputi skor minimum, skor maksimum, rata-rata dan simpangan baku.


(1)

3.

Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan

menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing lebih baik daripada siswa yang

memperoleh pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Rata-rata gain

siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing

lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara

konvensional.

4.

Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa

antara siswa yang berkemampuan tinggi dan sedang, serta tinggi dan rendah.

Katagori siswa sedang dan rendah tidak berbeda, artinya kemampuan sedang

dan rendah kurang mendapatkan manfaat untuk meningkatkan kemampuan

komunikasi matematisnya setelah melakukan pembelajaran dengan pendekatan

inkuiri terbimbing.

5.

Secara umum berdasarkan hasil angket, observasi, dan wawancara, dapat

disimpulkan bahwa guru dan siswa memperlihatkan sikap yang positif terhadap

keseluruhan aspek pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis mengemukakan beberapa

saran sebagai berikut:

1.

Bagi para guru matematika, pembelajaran dengan pendekatan inkuiri

terbimbing dapat digunakan model pembelajaran untuk diimplementasikan

dalam pengembangan pembelajaran matematika di kelas, terutama untuk

meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa.


(2)

2.

Pembelajaran matematika dengan pendekatan inkuiri terbimbing dapat

diterapkan untuk kategori siswa tinggi dan sedang dalam upaya meningkatkan

kemampuan komunikasi matematis siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP),

sedangkan untuk siswa dengan kategori rendah, pembelajaran ini dapat juga

diterapkan, namun sebaiknya guru memberikan bimbingan yang lebih banyak

dan membantu siswa dengan memberikan penjelasan (ekspositori) dalam

mengantarkan konsep dan mendemonstrasikan keterampilan matematika.

3.

Untuk menerapkan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing,

sebaiknya guru membuat sebuah skenario dan perencanaan yang matang,

sehingga pembelajaran dapat terjadi secara sistematis sesuai dengan rencana,

dan pemanfaatan waktu yang efektif dan tidak banyak waktu yang terbuang

oleh hal-hal yang tidak relevan.

4.

Perlu dilakukan penelitian lanjutan, tetapi pada level sekolah tinggi atau

rendah atau terhadap jenjang pendidikan lain seperti sekolah dasar, sekolah

menengah atas, dan perguruan tinggi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Afgani, J. (2004).

Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa Sekolah Lanjutan

Tingkat Pertama melalui Pendekatan Open-Ended

. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.

Baroody, A.J. (1993).

Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8. Helping Children

think Mathematically

. New York: Macmillan Publishing Company.

Cai, J., Lane, S., dan Jakabcsin, M.S. (1996).

The Role of Open-Ended Tasks and Holistic

Scoring Rubrics: Assessing Student’s Mathematical Reasoning and Communication.

Dalam P.C Elliot dan M.J Kenney (Eds). Yearbook Communication in Mathematics

K-12 and Beyond. Reston, VA: The National Council of Teachers of Mathematics.

Cochran, R. et al.(2007).

The Impact of Inqury-Based Mathematics on Context Knowledge and

Classroom Practice

.[Online]. Tersedia: http://www.rume.org/crume2007

Darhim. (2004).

Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual terhadap Hasil Belajar dan

Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal dalam Matematika

. Disertasi Doktor pada PPS

UPI.: Tidak Diterbitkan.

Departemen Pendidikan Nasional. (2004).

Kurikulum Berbasis Kompetensi

. Jakarta: Puskur

Depdiknas.

Depdiknas. (2003).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional.

Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Depdiknas. (2006).

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

. Jakarta: Depdiknas.

Ennis,R.H.(1985).

Critical Thinking

. USA:Prentice Hall.Inc

Ernest, P. (1991).

The Philosophy of Mathematics Education

. London: The Falmer Press.

Fraenkel,J.R. dan Wallen, N.E.(1993). Second Edition.

How to Design and Evaluate Research in

Education

. Singapore: Mc-Graw Hill International.

Gani, R.A. (2007).

Pengaruh Pembelajaran Metode Inkuiri Model Alberta terhadap

Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah

Menengah Atas

. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.

Gerungan, W.A. (2002).

Psikologi Sosial

. Bandung: Eresco.

Gulo. W. (2002).

Strategi Belajar Mengajar.

Jakarta: Grasindo.

Hake,

R.R.

(1999).

Analyzing

Change/Gain

Scores.

[Online].

Tersedia:


(4)

Herman, T. (2006).

Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Kerangka Berpikir Matematis

Tingkat Tinggi Siswa SMP

. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.

Hudoyo, H. (2003).

Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik.

Makalah

Disajikan dalam Seminar Nasional Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika

dalam Menghadapi Era Globalisasi . PPS IKIP Malang: Tidak diterbitkan.

Hutabarat, D. (2009).

Studi Perbandingan Kemampuan Penalaran dan Representasi Matematis

Pada Kelompok Siswa yang Belajar Inkuiri dan Biasa

. Tesis. UPI: Tidak Diterbitkan.

Kusumah, Y. S. (2008).

Konsep, Pengembangan, dan Implementasi Computer-Based Learning

dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Mathematical Thinking.

Pidato pengukuhan

Guru Besar dalam Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia tanggal 23

Oktober 2008. Bandung: UPI PRESS

Ma, X. dan Kishor, N. (1997). Assessing The Relationship Between Attitude Toward

Mathematics and Achievement in Mathematics: A Meta-Analysis.

Journal for Research

in Mathematics Education

. 28, (1), 26-47.

Marhaeni, I. (2007).

Pembelajaran Inovatif dan Asesmen Otentik dalam Rangka Menciptakan

Pembelajaran yang Efektif dan Produktif

. Makalah dalam Penyusunan Kurikulum dan

Pembelajaran Inovatif di Universitas Udayana.

Marhendri. (2007).

Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing pada Materi Keseimbangan Benda

Tegar untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Keterampilan Generik

Mullis,

et.al.

(2000).

TIMMS 1999: International Mathematics Report

. Boston: The International

Study Center, Boston College, Lynch School of Education.

National Council of Teacher of Mathematics. (2000).

Principles and Standards for School

Mathematics

. Reston, VA: NCTM.

NCTM. (1989).

Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics.

Reston, VA :

NCTM

NCTM. (1989).

Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics.

Reston, VA :

NCTM

Nirmala. (2008).

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Pemecahan Masalah untuk

Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah

Dasar

. Tesis. UPI: Tidak Diterbitkan.

Pimm, D (1996). Meaningful Communication Among Children: Data Collection.


(5)

Ruseffendi, H. E. T. (1991).

Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam

Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru

. Bandung: Diktat.

. (1993).

Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan

. Cetakan Pertama. Bandung

: IKIP Bandung Press.

. (2005).

Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya

.

Cetakan ke 4. Semarang: UNNES Press.

. (2006).

Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya

dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA

. Edisi Revisi. Bandung:

Tarsito.

Sanjaya, W. (2008).

Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan

. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group.

Saragih, S. (2007).

Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik

Siswa SMP Melalui Pendekatan Matematika Realistik.

Disertasi. UPI: Tidak

diterbitkan.

Shadiq, F. (2004).

Penalaran, Pemecahan Masalah dan Komunikasi dalam Pembelajaran

Matematika

. Depdiknas Dirjen Dikdasmen PPPG Matematika, Yogyakarta.

Slavin, R.E. (2008).

Cooperative Learning

;

Teori, Riset dan Praktik

. Bandung: PT. Nusa Media.

Soedjadi, R. (2000).

Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia

. Jakarta: Dikti Depdiknas.

Somatanaya, A.G. (2005).

Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa SLTP

Melalui Pembelajaran dengan Metode Inkuiri.

Tesis. UPI: Tidak diterbitkan.

Suherman, E. dkk. (2003).

Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer

. Bandung: UPI.

Sumarmo, U. (2002).

Alternatif Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan

Kurikulum Berbasis Kompetensi

. Makalah pada Seminar Tingkat Nasional FPMIPA

UPI: Tidak diterbitkan.

. (2005).

Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum

Tahun 2002 Sekolah

Menengah

. Disajikan dalam Seminar Pendidikan Matematika. UPI:

Tidak diterbitkan.

.(1987).

Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA dikaitkan

dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar

Mengajar

. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.

Suryadi, D. (2005).

Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan


(6)

Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP.

Disertasi. PPS UPI Bandung: Tidak

diterbitkan.

Tim MKPBM. (2001).

Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer

. Bandung: Jurusan

Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

Trihendradi, C. (2009).

Step by Step SPSS 16 Analisis Data Statistik

. Yogyakarta: Andi.

Wahyudin. (1999).

Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika dan Siswa dalam

Mata Pelajaran Matematika

. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.

Wahyudin. (2008).

Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran

. Bandung: UPI.

Walgito, B. 2002.

Psikologi Sosial

(edisi ke-3).Yogyakarta: Andi.

Wintarti, A. (2002).

Inquiri dalam CTL dan Contoh Penerapannya pada Pembelajaran

Matematika.

Disajikan dalam Pelatihan TOT Pembelajaran Kontekstual untuk Instruktur/

Guru dan Dosen dari 24 Propinsi. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikdasmen. Tidak

diterbitkan.

Yuniarti, Yeni. (2007).

Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Siswa SMP