Peningkatan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pembelajaran Matematika Realistik.
i DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 12
E. Hipotesis Penelitian ... 12
F. Definisi Operasional... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Berpikir Kritis ... 15
B. Pembelajaran Matematika Realistik ... 29
C. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis melalui Pembelajaran Matematika Realistik ... 45
D. Penelitian yang Relevan ... 53
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 59
B. Populasi dan Sampel ... 60
C. Instrumen Penelitian... 61
(2)
ii
E. Teknik Analisis Data ... 76
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian ... 82
1. Analisis Kemampuan Berpikir Kritis ... 84
2. Analisis Disposisi Berpikir Kritis ... 90
3. Analisis Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis ... 96
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 100
1. Pembelajaran Matematika Realistik ... 100
2. Kemampuan Berpikir Kritis ... 107
3. Disposisi Berpikir Kritis ... 110
4. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis pada Siswa Kemampuan Pandai, Sedang, dan Kurang ... 113
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Kesimpulan ... 114
B. Implikasi ... 114
C. Saran-saran ... 115
1. Untuk di Lapangan ... 115
2. Untuk Penelitian Lanjut ... 115
DAFTAR PUSTAKA ... 116
(3)
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Ringkasan Model Berpikir Kritis ... 18
Tabel 2 Indikator Berpikir Kritis Menurut Ennis ... 19
Tabel 3 Sintak Pembelajaran Matematika Realistik... 42
Tabel 4 Perbandingan Pembelajaran Berpikir Kritis dan Pembelajaran Matematika Realistik... 52
Tabel 5 Kriteria Penilaian Respos Siswa ... 62
Tabel 6 Hasil Analisis Validitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 64
Tabel 7 Klasifikasi Tingkat Reliabilitas ... 65
Tabel 8 Hasil Uji Reliabilitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 65
Tabel 9 Interpretasi Tingkat Kesukaran ... 67
Tabel 10 Hasil Analisis Tingkat Kesukaran Soal ... 67
Tabel 11 Interpretasi Daya Pembeda... 69
Tabel 12 Hasil Analisis Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 69
Tabel 13 Hasil Analisis Validitas Disposisi Berpikir Kritis... 71
Tabel 14 Hasil Uji Reliabilitas Skala Disposisi Berpikir Kritis ... 72
Tabel 15 Hasil Analisis Signifikansi Daya Pembeda Skala Disposisi ... 74
Tabel 16 Besaran Statistik Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis ... 83
Tabel 17 Uji Normalitas Tes Awal Kemampuan Berpikir Kritis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 85
Tabel 18 Uji Perbedaan Rerata Tes awal Kemampuan Berpikir Kritis Kelas Eksperimen-Kontrol ... 86
Tabel 19 Uji Normalitas Gain Tes Kemampuan Berpikir Kritis Kelas Eksperimen dan Kontrol... 87
Tabel 20 Uji Perbedaan Rerata Gain Tes Kemampuan Berpikir Kritis Kelas Eksperimen-Kontrol ... 89
Tabel 21 Uji Normalitas Skala Disposisi Berpikir Kritis Awal Kelas Eksperimen dan Kontrol... 90
(4)
iv
Tabel 22 Uji Perbedaan Rerata Skala Disposisi Berpikir Kritis Kelas
Awal Eksperimen-Kontrol ... 92 Tabel 23 Uji Normalitas Skala Disposisi Berpikir Kritis Akhir Kelas
Eksperimen ... 93 Tabel 24 Uji Perbedaan Rerata Skala Disposisi Berpikir Kritis Akhir
Kelas Eksperimen-Kontrol ... 95 Tabel 25 Pengelompokan Siswa Kelas Eksperimen ... 97 Tabel 26 Uji Homogenitas Gain Kemampuan Berpikir Kritis Kelas
Eksperimen Kelompok Pandai, Sedang, dan Kurang ... 98 Tabel 27 ANOVA untuk Pengujian Tiga Rerata Gain Tes ... 99
(5)
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Proses Penemuan Kembali ... 32
Gambar 2 Pengembangan Sendiri Model-Model ... 36
Gambar 3 Pemunculan Pemodelan ... 37
Gambar 4 Model Pembelajaran Matematika Realistik ... 45
Gambar 5 Proses Analisis Data ... 80
Gambar 6 Munculnya Pemodelan Siswa ... 106
(6)
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran A.1 Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 123
Lampiran A.2 Skala Disposisi Berpikir Kritis ... 132
Lampiran A.3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 1 ... 135
Lampiran A.4 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 2 ... 145
Lampiran A.5 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 3 ... 154
Lampiran A.6 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 4 ... 162
Lampiran A.7 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 5 ... 170
Lampiran A.8 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 6 ... 178
Lampiran A.9 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 7 ... 186
Lampiran B.1 Nilai Rerata Harian, Skor Tes, dan Skor Skala Disposisi Siswa Kelas Uji Coba ... 195
Lampiran B.2 Skor Tes Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Uji Coba ... 196
Lampiran B.3 Skor Skala Disposisi Berpikir Kritis Siswa Kelas Uji Coba ... 197
Lampiran B.4 Analisis Validitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 198
Lampiran B.5 Analisis Reliabilitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 200
Lampiran B.6 Perhitungan Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 201
Lampiran B.7 Perhitungan Daya Pembeda Butir Soal Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 204
Lampiran B.8 Analisis Validitas Skala Disposisi Berpikir Kritis ... 206
Lampiran B.9 Analisis Reliabilitas Skala Disposisi Berpikir Kritis ... 208
Lampiran B.10 Perhitungan Daya Pembeda Pernyataan Skala Disposisi Berpikir Kritis ... 209
Lampiran C.1 Nilai Ulangan Harian, Skor Tes, dan Skor Skala Disposisi Siswa Kelas Eksperimen ... 212
(7)
vii
Lampiran C.2 Nilai Ulangan Harian, Skor Tes, dan Skor Skala Disposisi Siswa Kelas Kontrol ... 213 Lampiran C.3 Skor Tes Awal Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas
Eksperimen ... 214 Lampiran C.4 Skor Tes Awal Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas
Kontrol ... 215 Lampiran C.5 Skor Tes Akhir Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas
Eksperimen ... 216 Lampiran C.6 Skor Tes Akhir Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas
Kontrol ... 217 Lampiran C.7 Skor Skala Disposisi Berpikir Kritis Awal Siswa Kelas
Eksperimen ... 218 Lampiran C.8 Skor Skala Disposisi Berpikir Kritis Awal Siswa Kelas
Kontrol ... 219 Lampiran C.9 Skor Skala Disposisi Berpikir Kritis Akhir Siswa Kelas
Eksperimen ... 220 Lampiran C.10 Skor Skala Disposisi Berpikir Kritis Akhir Siswa Kelas
Kontrol ... 221 Lampiran D.1 Uji Normalitas Skor Tes Awal Kelas Eksperimen dan
Kontrol ... 222 Lampiran D.2 Uji Perbedaan Rerata Skor Tes Awal ... 223 Lampiran D.3 Uji Normalitas Gain Kelas Eksperimen dan Kelas
Kontrol ... 224 Lampiran D.4 Uji Perbedaan Rerata Gain Skor Tes ... 225 Lampiran D.5 Uji Normalitas Skor Skala Awal Kelas Eksperimen dan
Kontrol ... 226 Lampiran D.6 Uji Perbedaan Rerata Skor Skala Disposisi Awal ... 227 Lampiran D.7 Uji Normalitas Skor Skala Disposisi Akhir Kelas
Eksperimen dan Kontrol ... 228 Lampiran D.8 Uji Perbedaan Rerata Skor Skala Disposisi Akhir ... 229
(8)
viii
Lampiran D.9 Uji Perbedaan Rerata Peningkatan Kemampuan Berpikir
Kritis ... 230
Lampiran E.1 Surat Ijin Penelitian ... 231
Lampiran E.2 Surat Keterangan Melakukan Penelitian... 232
(9)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diiringi dengan berlimpahnya berbagai informasi menuntut seseorang untuk dapat memiliki kemampuan memperoleh, memilih dan mengolah informasi, serta memanfaatkan informasi tersebut untuk membuat suatu keputusan. Kemampuan-kemampuan tersebut membutuhkan kemampuan berpikir yang kritis, sistematis, logis, dan kreatif. Pengembangan kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, dan kreatif dapat dilakukan melalui suatu program pendidikan, karena pendidikan adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Salah satu program pendidikan yang dilaksanakan di sekolah adalah pembelajaran matematika. Menurut Wittgenstein (Suriasumantri, 2003) matematika adalah metode berpikir logis. Plato (Dahlan, 2004) mengatakan bahwa seseorang yang baik dalam matematika akan cenderung baik dalam berpikir dan seseorang yang dilatih dalam belajar matematika, maka akan menjadi seorang pemikir yang baik dalam kaitan dengan pemunculan ide dan konsep matematika. Dengan demikian salah satu program pendidikan yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir tersebut adalah pembelajaran matematika.
(10)
Pentingnya pengembangan kemampuan berpikir kritis menurut Wahab (1996), karena empat alasan yaitu: (1) tuntutan zaman yang menghendaki warga negara dapat mencari, memilih, dan menggunakan informasi untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara; (2) setiap warga negara senantiasa berhadapan dengan berbagai masalah dan pilihan sehingga dituntut mampu berpikir kritis dan kreatif; (3) kemampuan memandang sesuatu dengan cara yang berbeda dalam memecahkan masalah; dan (4) berpikir kritis merupakan aspek dalam memecahkan permasalahan secara kreatif agar peserta didik dapat bersaing secara adil dan mampu bekerja sama dengan bangsa lain.
Begitu pentingnya pengembangan kemampuan berpikir kritis, maka berpikir kritis merupakan bagian kemampuan berpikir yang tercantum dalam salah satu Standar Kompetensi Lulusan (SKL) mata pelajaran matematika (Depdiknas, 2006) yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mempunyai kemampuan bekerjasama. Kusumah (2008) mengemukakan bahwa kemampuan berpikir kritis, sebagai bagian dari kemampuan berpikir matematis, amat penting, mengingat dalam kemampuan ini terkandung kemampuan memberikan argumentasi, menggunakan silogisme, melakukan inferensi, dan melakukan evaluasi.
Kemampuan berpikir kritis itu penting, akan tetapi beberapa penelitian masih mengindikasikan rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa Indonesia. Hasil penelitian Suryanto dan Somerset (Zulkardi, 2001)
(11)
terhadap 16 SLTP pada beberapa propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa hasil tes mata pelajaran matematika siswa sangat rendah, utamanya pada soal cerita matematika (aplikasi matematika). Kemampuan aplikasi merupakan bagian dari domain kognitif yang lebih rendah daripada kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi. Ketiga kemampuan tersebut digolongkan oleh Bloom (Duron, dkk., 2006) dalam kemampuan berpikir kritis.
Hasil penelitian Priatna (2003) menunjukkan bahwa kemampuan penalaran siswa SMP di kota Bandung masih belum memuaskan, yaitu hanya mencapai sekitar 49% dari skor ideal. Suryadi (2005) menemukan bahwa siswa kelas dua SMP di kota dan kabupaten Bandung mengalami kesulitan dalam kemampuan mengajukan argumentasi, menerapkan konsep yang relevan, serta menemukan pola dan bentuk umumnya (kemampuan induksi).
Hasil penelitian Trends in International Mathematics and Science
Study (TIMSS) (Gonzales, P., dkk., 2008) menunjukan bahwa kemampuan
matematika siswa kelas dua (eight grade) Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia berada pada peringkat ke-36 dari 48 negara. Rendahnya peringkat ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa yang ditunjukkan dengan ketidakmampuan sampel siswa Indonesia dalam menjawab soal-soal matematika tidak rutin yang meliputi pengetahuan, aplikasi, dan penalaran. Hal ini menunjukkan rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa, karena menurut Krulik dan Rudnick (Rohayati, 2005) bahwa penalaran mencakup berpikir dasar (basic thinking), berpikir kritis (critical
(12)
Rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa terungkap dari hasil penelitian Mayadiana (2005) bahwa kemampuan berpikir kritis mahasiswa calon guru SD masih rendah, yakni hanya mencapai 36,26% untuk mahasiswa berlatar belakang IPA, 26,62% untuk mahasiswa berlatar belakang non-IPA, serta 34,06% untuk keseluruhan mahasiswa. Hal serupa juga dikatakan Maulana (2007), dikatakan bahwa nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis mahasiswa program D2 PGSD kurang dari 50% skor maksimal. Kemampuan berpikir kritis, menurut Ennis (Nitko & Brookhart, 2007) adalah berpikir rasional dan reflektif yang difokuskan pada pemutusan terhadap apa yang harus diyakini atau dilakukan. Berpikir kritis menurut Ennis dan Norris (Nitko & Brookhart, 2007), memiliki dua komponen yaitu: komponen kemampuan dan komponen disposisi. Kemampuan berpikir kritis merupakan keterampilan kognitif spesifik yang digunakan ketika siswa sedang menunjukan perilaku berpikir kritis. Contohnya kemampuan memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, dan mempertimbangkan kredibilitas sumber. Sedangkan disposisi berpikir kritis merupakan kecenderungan atau kebiasaan berpikir untuk sering kali menggunakan perilaku berpikir kritis yang sesuai. Berikut ini yang termasuk disposisi berpikir kritis antara lain: berpikir terbuka dan berusaha untuk mendapatkan informasi yang baik dan benar.
Orang yang memiliki disposisi berpikir kritis adalah orang yang sensitif terhadap kesempatan berpikir kritis, merasa terdorong untuk berpikir kritis dan memiliki kemampuan dasar untuk melaksanakan berpikir kritis.
(13)
Walaupun dimasukan unsur kemampuan dalam konsep disposisi, Perkins, (Syukur, 2004) menyebutkan bahwa pada kenyataanya yang digunakan dalam disposisi berpikir kritis hanya unsur kecenderungan dan kepekaan saja. Unsur kemampuan hanya menjadi petunjuk bahwa orang yang memiliki disposisi berpikir kritis harus pula memiliki kemampuan berpikir kritis.
Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, Zohar, Wiberger dan Tamir (Syukur, 2004) menyarankan agar pembelajaran matematika berpusat pada siswa (student-centered). Dikatakan, “Student centered
classroom appear to set the condition that promote the development of critical thinking”. Melalui pembelajaran yang berpusat pada siswa, siswa
memiliki banyak kesempatan untuk berpikir, khususnya dalam memahami pengetahuan dan memecahkan masalah. Siswa berkesempatan untuk memperoleh pengetahuan dengan jalan mengkonstruksinya sendiri. Siswa juga leluasa untuk berinteraksi dengan sesamanya. Siswa pun dapat memperkaya pengetahuan dan menghindari hambatan sosial yang dapat menghambat proses berpikirnya melalui berbagi pendapat dengan sesamanya. Pembelajaran matematika yang berpusat pada siswa memberikan keleluasan berpikir kepada siswa diduga dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Peran guru dalam pembelajaran ini tidak hanya sebagai penyampai informasi saja, melainkan fasilitator, motivator, dan pembimbing yang memberikan kesempatan berkembangya kemampuan berpikir siswa.
Ironisnya, pelaksanaan pembelajaran matematika selama ini masih berpusat pada guru. Wahyudin (1999) menemukan bahwa selama ini
(14)
pembelajaran matematika didominasi oleh guru melalui metode ceramah dan ekspositorinya. Selain itu, menurutnya, guru jarang mengajak siswa untuk menganalisis secara mendalam tentang konsep dan jarang mendorong siswa menggunakan penalaran logis yang tinggi seperti kemampuan membuktikan atau memperlihatkan suatu konsep. Hal senada dikemukakan pula oleh Syaban (2008), kemampuan matematika siswa SMA kurang dikembangkan. Pembelajaran yang dilakukan guru-guru lebih berorientasi pada penyiapan siswa untuk menghadapi ujian nasional dan tes seleksi masuk perguruan tinggi. Selain itu Rohaeti (2008) mengemukakan bahwa proses pembelajaran hingga dewasa ini masih didominasi guru dan kurang memberikan akses bagi siswa untuk berkembang secara mandiri melalui belajar yang mengutamakan penemuan. Seto (Gulo, 2009) mengemukakan bahwa kemampuan proses-proses pemikiran yang dilatih di sekolah-sekolah terbatas pada kognisi, ingatan, dan berpikir konvergen. Sedangkan dalam taksonomi Bloom, mengingat merupakan kemampuan berpikir yang paling rendah.
Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu pembaharuan pembelajaran yaitu pembelajaran matematika yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis berupa pembelajaran matematika yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir seluas-luasnya. Pendekatan pembelajaran yang diduga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah pembelajaran matematika realistik. Ruseffendi (Saragih, 2007) menyatakan bahwa untuk membudayakan berpikir logis atau kemampuan
(15)
penalaran serta bersikap kritis dan kreatif proses pembelajaran dapat dilakukan dengan pendekatan matematika realistik.
Pembelajaran matematika realistik mencerminkan pandangan matematika mengenai bagaimana anak belajar matematika dan bagaimana matematika harus diajarkan. Karakteristik utama dari pembelajaran matematika realistik adalah Mathematization. Seperti apa yang dikemukakan Freudenthal (Sulastri, 2009) “What humans have to learn is not mathematics
as a closed system, but rather as an activity, the process of mathematizing mathematics.” Menurut de Lange (Sulastri, 2009), “Proses mathematization
akan memaksa siswa untuk mengeksplorasi situasi mencari dan mengidentifikasi matematika yang relevan, menskemakan, memvisualisasikan, untuk menemukan dan mengembangkan model yang menghasilkan konsep matematika. Dengan merefleksi dan menggeneralisasikan, siswa akan mengembangkan konsep yang lebih lengkap.”
Matematisasi dalam pembelajaran matematika realistik menurut Treffers (de Lange, 1987) dibedakan ke dalam dua macam, yaitu matematisasi horizontal dan vertikal. Matematisasi horisontal dapat diidentifikasikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memindahkan suatu masalah ke dalam masalah yang dinyatakan secara matematis. Melalui skematisasi dan visualisasi diusahakan untuk menemukan keteraturan dan hubungan, yang diperlukan untuk mengidentifikasi matematika tertentu dalam konteks yang umum.
(16)
Menurut de Lange (1987) beberapa kegiatan dalam matematisasi horizontal meliputi: pengidentifikasian matematika khusus dalam konteks umum, penskemaan, perumusan dan pemvisualan masalah dalam cara yang berbeda, penemuan relasi (hubungan), penemuan keteraturan, pengenalan aspek isomorfic dalam masalah-masalah yang berbeda, pentransferan real
world problem ke dalam mathematical problem, pentransferan real world problem ke dalam suatu model matematika yang diketahui.
Setelah masalah disajikan dalam masalah matematis, selanjutnya dilakukan kegiatan matematisasi vertikal. Kegiatan ini meliputi penggunaan perangkat penyelesaian matematika. Kegiatan matematisasi vertikal meliputi: menyatakan suatu hubungan dalam suatu rumus, pembuktian keteraturan, perbaikan dan penyesuaian model, penggunaan model-model yang berbeda, menggabungkan dan menyatukan model-model, perumusan suatu konsep matematika baru, dan penggeneralisasian.
Penerapan suatu pendekatan pembelajaran, termasuk diantaranya pembelajaran matematika realistik, menurut Darhim (2004), seyogyanya selalu mempertimbangkan perbedaan kemampuan dasar yang dimiliki siswa. Dengan kemampuan dasar tersebut diharapkan siswa bisa belajar mandiri dan dalam proses belajarnya mereka terbantu oleh kemampuan dasar yang telah dimilikinya.
Kemampuan dari sekelompok siswa yang tidak dipilih khusus (termasuk dalam matematika) akan selalu didapat siswa berkemampuan pandai, sedang, dan kurang yang menyebar secara normal. Hal ini
(17)
berdasarkan pendapat Galton (Ruseffendi, 1991) dikatakan bahwa perbedaan kemampuan ... bila dibuat distribusinya maka akan berupa distribusi yang pada masa kini disebut distribusi normal. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak semata-mata ditentukan oleh tinggi atau rendahnya intelegensi siswa tersebut, sebab intelegensi pun bisa ditingkatkan melalui pengalaman (Ruseffendi, 1991). Pengalaman belajar matematika siswa melalui pembelajaran matematika realistik yang lebih mementingkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran, diharapkan dapat mempengaruhi siswa dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
Darhim (2004) mengatakan bahwa ada kemungkinan siswa yang kemampuannya kurang, apabila pendekatan pembelajaran yang digunakan menarik, kontekstual, dan sesuai dengan tingkat kematangan siswanya, maka pemahaman mereka akan lebih cepat. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika. Mungkin akan terjadi sebaliknya untuk siswa pandai, pengaruh pembelajaran terhadap pemahaman matematika yang dipelajarinya agak kurang. Akibatnya, pengaruh pembelajaran tersebut terhadap kemampuan berpikir kritis siswa tidak terlalu besar. Ini bisa terjadi karena para siswa pandai dimungkinkan lebih cepat memahami topik matematika yang dipelajari (karena kepandaiannya), walaupun tanpa menggunakan berbagai pendekatan pembelajaran yang menarik dan kontekstual.
Pembelajaran matematika realistik memusatkan perhatiannya pada proses matematisasi yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Melalui
(18)
proses matematisasi siswa diberikan kesempatan selalu berpikir tentang suatu persoalan dan mereka mencari sendiri cara penyelesaiannya. Kegiatan matematisasi ini menjadikan pembelajaran lebih didominasi oleh siswa sehingga pembelajaran cenderung berpusat pada siswa. Sebagaimana Suryadi (2005) mengatakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik merupakan pembelajaran yang berbasis masalah, berorientasi pada siswa, serta guru lebih berperan sebagai fasilitator. Hal ini berarti pembelajaran matematika realistik dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Oleh karena pentingnya pengembangan kemampuan berpikir kritis, dan temuan pembelajaran matematika saat ini yang belum mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, serta kelebihan pembelajaran matematika realistik, maka penulis melakukan penelitian terhadap pembelajaran matematika realistik yang berjudul ”Peningkatan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pembelajaran Matematika Realistik”.
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini membahas peningkatan kemampuan berpikir kritis, tetapi masalahnya dibatasi pada pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa melalui pembelajaran matematika realistik. Penelusuran peningkatan kemampuan berpikir kritis dibatasi melalui perolehan data dari tes kemampuan dan skala disposisi berpikir kritis.
(19)
Rumusan masalah penelitian ini mengarah kepada peningkatan kedua komponen berpikir kritis yakni kemampuan dan disposisi berpikir kritis. Rumusan masalah juga mengarah kepada peningkatan komponen kemampuan berpikir kritis pada siswa pandai, sedang, dan kurang. Rumusan masalahnya dinyatakan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik memiliki peningkatan kemampuan berpikir kritis lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa?
2. Apakah siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik mencapai disposisi berpikir kritis lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa?
3. Apakah pembelajaran matematika realistik menyebabkan terjadinya perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa kemampuan pandai, sedang, dan kurang?
C. Tujuan Penelitian
Dengan berpedoman pada rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menelaah peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa melalui pembelajaran matematika realistik.
2. Menelaah peningkatan disposisi berpikir kritis siswa melalui pembelajaran matematika realistik.
(20)
3. Menelaah pengaruh pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kemampuan pandai, sedang, dan kurang.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat diketahui efektifitas pembelajaran matematika realistik dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat mengatasi masalah mengenai kurang berkembangnya kemampuan berpikir kritis siswa, serta dapat memberi informasi mengenai cara meningkatkan kemampuan berpikir kritis tersebut.
E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian permasalahan yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, maka dalam penelitian ini diajukan sejumlah hipotesis sebagai berikut:
1. Siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik memiliki peningkatan kemampuan berpikir kritis lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.
2. Siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik mencapai disposisi berpikir kritis lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.
(21)
3. Pembelajaran matematika realistik menyebabkan terjadinya perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa kemampuan pandai, sedang, dan kurang.
F. Definisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan pada penelitian ini, perlu dikemukakan definisi operasional sebagai berikut:
1. Berpikir kritis adalah berpikir rasional dan reflektif yang difokuskan pada pemutusan terhadap apa yang harus diyakini atau dilakukan. 2. Indikator kemampuan berpikir kritis dalam penelitian ini adalah
kemampuan:
a. Memberikan penjelasan sederhana. b. Membangun keterampilan dasar. c. Membuat kesimpulan.
d. Membuat penjelasan lebih lanjut. e. Mengatur strategi dan taktik.
3. Indikator disposisi berpikir kritis dalam penelitian ini meliputi: (1) menggunakan pertimbangan yang baik dan benar, (2) berpikir terbuka, (3) memperhatikan situasi, (4) berusaha untuk mendapatkan informasi yang baik dan benar, (5) mencoba hal-hal yang diperbolehkan seteliti mungkin, (6) menampilkan suatu cara yang sesuai dengan bagian-bagian keseluruhan yang kompleks, (7) memperhatikan alternatif-alternatif yang lain, (8) mencari alasan-alasan, (9) mencari kejelasan
(22)
baik dalam pernyataan isu maupun pernyataan yang mendukung alasan-alasan, (10) mengingat hal-hal yang mendasar.
4. Pembelajaran matematika realistik adalah pembelajaran matematika yang memiliki karakteristik:
a. Menggunakan masalah realistik, b. Menggunakan model,
c. Menggunakan kontribusi siswa, d. Interaktifitas,
(23)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pembelajaran matematika realistik dapat meningkatkan kemampuan dan disposisi berpikir kritis siswa. Untuk keperluan ini digunakanlah dua buah kelompok siswa sebagai sampel penelitian. Kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik dinamakan kelompok eksperimen. Sedangkan kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran biasa dinamakan kelompok kontrol. Pengambilan kelompok siswa tersebut berdasarkan kelompok-kelompok kelas yang sudah ada, jadi tidak membentuk kelompok-kelompok kelas baru. Pengambilan dilakukan secara acak menurut kelas.
Untuk mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa sebelum dan sesudah perlakuan, kedua kelompok memperoleh tes awal dan tes akhir. Sedangkan untuk mengetahui disposisi berpikir kritis sebelum dan sesudah perlakuan, kedua kelompok memperoleh skala disposisi awal dan skala disposisi akhir. Tes awal dan tes akhir sama yaitu berupa tes kemampuan berpikir kritis. Skala disposisi awal dan skala disposisi akhir pun sama yaitu skala disposisi berpikir kritis berupa skala Likert.
Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir siswa antara kelompok siswa pandai, sedang, dan kurang akibat pembelajaran matematika realistik dapat diketahui dengan memilah siswa dari kelas eksperimen menjadi tiga
(24)
kelompok berdasarkan nilai tes awal. Dengan demikian desain penelitiannya adalah sebagai berikut:
O X O
O O
Keterangan: O = Tes kemampuan dan skala disposisi berpikir kritis. X = Pembelajaran matematika realistik.
Penelitian ini dengan desain tersebut, menurut Ruseffendi (1998) merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain kelompok kontrol non ekivalen.
B. Populasi dan Sampel
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa SMP melalui pembelajaran matematika realistik. Subyek penelitian ini adalah siswa SMP. Rerata usia siswa SMP adalah diatas 12 tahun. Pada usia ini, menurut Piaget siswa mulai berada pada tahap berpikir formal. Menurut Ruseffendi (1991a), siswa yang telah berpikir formal dapat berpikir induktif; dapat merumuskan, menguji dan menggeneralisasikan hipotesis; dapat merumuskan dalil atau teori; dapat memandang definisi, aturan, dan dalil dalam konteks yang benar dan objektif; dan dapat merefleksikan proses berpikirnya. Oleh karena itu, siswa SMP sudah bisa melakukan proses berpikir tingkat tinggi diantaranya berpikir kritis.
Populasi dari penelitian ini adalah siswa SMP di Kabupaten Cirebon. Penelitian ini dilaksanakan di SMP yang berkategori level menengah. Alasan dipilihnya sekolah dengan level menengah dikarenakan pada level ini
(25)
kemampuan akademik siswanya heterogen, mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi terwakili. Menurut Darhim (2004) sekolah yang berasal dari level tinggi cenderung memiliki hasil belajar yang lebih baik tetapi baiknya itu bisa jadi bukan akibat baiknya pembelajaran yang dilakukan. Demikian juga sekolah yang berasal dari level kurang, cenderung hasil belajarnya akan kurang itu bisa terjadi bukan akibat kurang baiknya pembelajaran yang dilakukan.
Sampel penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMPN di Kabupaten Cirebon yang berlabel SSN (sekolah standar nasional) dan berada pada level menengah berdasarkan hasil UN tahun pelajaran 2008/2009. Siswa tersebut dipilih dua kelas secara acak menurut kelas karena diketahui kelas yang ada bersifat homogen dalam kemampuannya, tidak ada kelas unggulan. Satu kelas sebagai kelas eksperimen yang pembelajarannya menggunakan pendekatan matematika realistik. Sedangkan kelas lainnya sebagai kelas kontrol yang pembelajarannya secara biasa. Dipilihnya kelas VIII karena kelas IX sudah berakhir masa pembelajarannya pada bulan April, sedangkan kelas VII masih pada tahap awal berpikir formal. Jadi kelas VIII lebih memungkinkan siap untuk berpikir kritis.
C. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, digunakan dua buah instrumen yaitu tes kemampuan berpikir kritis dan skala disposisi berpikir kritis. Tes kemampuan berpikir kritis dimaksudkan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa.
(26)
Sedangkan skala disposisi dimaksudkan untuk mengukur disposisi berpikir kritis.
1. Tes Kemampuan berpikir kritis
Tes kemampuan berpikir kritis berupa tes uraian. Dalam tes ini siswa diminta untuk mengisi jawaban sesuai proses berpikirnya.Tes uraian ini berjumlah 10 buah soal, sesuai indikator yang disebutkan dalam bab II. Dari hasil tes ini, dapat diketahui proses berpikir siswa dalam menjawab soal, diketahui langkah demi langkahnya benar atau salah. Kriteria penilaian yang digunakan adalah kriteria penilaian yang dikemukakan Szetela (Syukur, 2004). Kriteria penilaian yang dibuat olehnya menampilkan skor siswa yang sesuai dengan respon berpikir kritisnya. Kriteria yang dimaksud dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 5
Kriteria Penilaian Respos Siswa Skor
Siswa Respon siswa
0
Siswa tidak berusaha berpikir kritis, ditunjukan dengan tidak ada respon atau adanya komentar negatif.
1
Siswa berusaha menjawab pertanyaan, tetapi responnya tidak logis dan tidak relevan.
2
Siswa memahami pertanyaan dan menunjukkan suatu komentar yang berhubungan, namun responnya tidak lengkap dan membingungkan.
(27)
aspek yang relevan dengan kesimpulan dan observasi yang logis dan benar atau siswa menunjukkan aspek-aspek yang relevan tetapi ada sedikit kesalahan.
4
Siswa memahami pertanyaan dan menunjukkan semua aspek yang relevan dengan kesimpulan dan observasi yang logis dan benar.
Kualitas teoritis instrumen tes kemampuan berpikir kritis diuji oleh tim ahli, dalam hal ini dosen pembimbing. Setelah itu, dilakukan uji coba tes kemampuan berpikir kritis kepada siswa kelas IX SMPN dimana sampel diambil. Data yang diperoleh dari hasil uji coba ini selanjutnya dianalisis agar diketahui kualitas instrument secara empiris. Hal ini dilakukan dengan menghitung validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembedanya. Hasil analisisnya diuaraikan sebagai berikut.
a. Validitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis
Validitas item instrument tes kemampuan berpikir kritis ditentukan dengan mengkorelasikan skor tes pada tiap item soal dengan skor total. Hal ini dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi antara skor tes pada tiap item dengan skor total siswa. Rumus yang digunakan untuk mencarinya adalah rumus produk momen dari Pearson. Rumus ini digunakan karena datanya bersifat kontinu dan kuantitatif, serta jenis skalanya minimal interval (Ruseffendi, 1993). Rumusnya sebagai berikut:
(28)
r = ∑ . ∑ ∑
∑ ∑ ∑ ∑
dengan: r = koefisien korelasi nilai X dengan nilai Y X = skor per item soal
Y = skor total
Dengan menggunakan SPSS 16, korelasi tersebut nampak sebagai berikut:
Tabel 6
Hasil Analisis Validitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10
Total Pearson
Correlation 0,603
**
0,601** 0,667** 0,591** 0,585** 0,744** 0,587** 0,753** 0,593** 0,775** Sig. (2-tailed) 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
N 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33
Kesimpulan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
**. Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed).
Dengan melihat nilai signifikansi korelasinnya pada taraf signifikansi 0,01, nampak bahwa nilainya setiap butir soal kurang dari 0,01. Hal ini berarti bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara skor tiap item butir soal dengan skor totalnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa semua butir tes adalah valid. Perhitungan lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran B.4.
b. Reliabilitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis
Reliabilitas tes kemampuan ditentukan melalui perhitungan koefisien korelasi dengan menggunakan rumus Cronbach-Alpha. Rumus ini digunakan mengingat jawaban siswa bervariasi dan bukan hanya benar atau salah (Ruseffendi, 1998). Adapun rumusnya sebagai berikut:
(29)
dengan r = koefisien reliabilitas n = banyak soal
S = variansi skor soal tertentu (soal ke-i)
∑ S = jumlah varians skor seluruh soal menurut skor soal tertentu
S = varians skor seluruh soal menurut skor siswa perorangan
Selanjutnya nilai r yang diperoleh dari perhitungan ditafsirkan dengan menggunakan interpretasi nilai r dari Guilford (Suherman & Kusumah, 1990). Interpretasinya disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 7
Klasifikasi Tingkat Reliabilitas
Besarnya r Tingkat Reliabilitas
0,90 < r ≤ 1,00 Sangat tinggi
0,70 < r ≤ 0,90 Tinggi
0,40 < r ≤ 0,70 Sedang
0,20 < r ≤ 0,40 Rendah
r ≤ 0,20 Sangat rendah
Dari perhitungan dengan menggunakan SPSS 16 diperoleh nilai Alpha sebagai berikut:
Tabel 8
Hasil Uji Reliabilitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
0,756 11
Koefisien reliabilitas sebesar 0,756 yang menurut Tabel 7, bahwa instrument kemampuan berpikir kritis memiliki derajat reliabilitas yang tinggi. Perhitungan lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran B.5.
(30)
c. Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan Berpikir Kritis
Untuk menghitung tingkat kesukaran setiap butir soal tes kemampuan berpikir kritis, terlebih dahulu diurutkan skor total seluruh siswa dari yang terbesar ke yang terkecil. Dari pengurutan skor itu, dipisahkan 25% skor sebelah atas yang selanjutnya disebut kelompok atas dan 25% skor sebelah bawah yang selanjutnya disebut sebagai kelompok bawah. Perhitungan tingkat kesukaran soalnya menggunakan jawaban kedua kelompok tersebut. Adapun harganya dihitung dengan rumus berikut:
TK = dengan
TK = tingkat kesukaran
JB = Jumlah jawaban benar untuk kelompok atas
JB = Jumlah jawaban benar untuk kelompok bawah
n = Jumlah siswa kelompok atas
n = Jumlah siswa kelompok bawah
Skor tes kemampuan berpikir kritis berbentuk uraian dengan skor terkecilnya 0 dan skor terbesarnya 4. Untuk rentang skor butir soal seperti ini, menurut Subino (1987), jawaban dari suatu butir soal tes dapat dinyatakan sebagai jawaban yang benar apabila minimum mendapat skor 3. Dengan demikian, skor siswa yang bernilai 3 dan 4 dianggap sebagai jawaban benar dan sisanya dianggap sebagai jawaban salah. Selanjutnya, jawaban yang benar dihitung 1 dan jawaban yang salah dihitung 0. Banyak jawaban benar untuk
(31)
kelompok atas dan kelompok bawah digunakan untuk menghitung tingkat kesukaran suatu butir soal. Untuk mengklasifikasikan tingkat kesukaran soal, digunakan interpretasi tingkat kesukaran dikemukakan oleh Suherman dan Kusumah (1990). Interpretasi tersebut disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 9
Interpretasi Tingkat kesukaran
Harga TK Klasifikasi
TK = 0,00 Soal terlalu sukar
0,00 < TK ≤ 0,30 Soal sukar 0,30 < TK ≤ 0,70 Soal sedang 0,70 < TK < 1,00 Soal mudah
TK = 1,00 Soal terlalu mudah
Berikut ini tabel yang menyajikan hasil analisis tingkat kesukaran butir soal tes kemampuan berpikir kritis.
Tabel 10
Hasil Analisis Tingkat kesukaran Soal
Nomor soal Harga TK Klasfikasi
1 0,50 Sedang
2 0,67 Sedang
3 0,67 Sedang
4 0,22 Sukar
5 0,44 Sedang
6 0,50 Sedang
7 0,39 Sedang
8 0,28 Sukar
9 0,39 Sedang
10 0,44 Sedang
Dengan demikian, berdasarkan hasil analisis tingkat kesukaran soal, diketahui 2 soal tergolong sukar dan sisanya 6 soal tergolong
(32)
sedang. Perhitungan yang lebih lengkap dapat dilihat dalam lampiran B.6.
d. Daya Pembeda Tes Kemampuan Berpikir Kritis
Perhitungan daya pembeda setiap butir soal tes kemampuan berpikir kritis, diawali dengan pengurutan skor total seluruh soal dari yang terbesar ke yang terkecil seperti pada perhitungan tingkat kesukaran soal. Kemudian dilanjutkan dengan menentukan kelompok atas dan kelompok bawah. Perhitungan daya pembeda soal menggunakan skor kelompok atas dan kelompok bawah. Adapun harganya dihitung dengan rumus berikut:
DP = dengan
DP = daya pembeda
JBA = Jumlah jawaban benar untuk kelompok atas
JBB = Jumlah jawaban benar untuk kelompok bawah
n = Jumlah siswa kelompok atas atau kelompok bawah Penentuan jawaban benar dan salah dari soal tes kemampuan berpikir kritis yang berbentuk uraian ini sama seperti pada perhitungan tingkat kesukaran butir soal tes. Jumlah jawaban benar untuk masing-masing kelompok selanjutnya digunakan untuk menghitung harga DP dengan rumus di atas. Untuk mengklasifikasikan daya pembeda soal, diggunakan interpretasi daya pembeda yang dikemukakan oleh Suherman dan Kusumah (1990). Interpretasi itu disajikan dalam tabel berikut:
(33)
Tabel 11
Interpretasi Daya Pembeda
Nilai DP Klasifikasi
DP ≤ 0,00 Sangat jelek
0,00 < DP ≤ 0,20 Jelek
0,20 DP ≤ 0,40 Cukup
0,40 < DP ≤ 0,70 Baik
0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat baik
Hasil perhitungan harga DP setiap butir soal dan interpretasinya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 12
Hasil Analisis Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Berpikir Kritis
Nomor soal Harga DP Klasifikasi
1 0,78 Sangat baik
2 0,67 Baik
3 0,67 Baik
4 0,44 Baik
5 0,89 Sangat baik
6 1,00 Sangat baik
7 0,78 Sangat baik
8 0,56 Baik
9 0,78 Sangat baik
10 0,89 Sangat baik
Berdasarkan analisis daya pembeda butir soal, dari 10 butir soal yang diujicobakan, daya pembeda 6 soal tergolong sangat baik dan 4 soal lainnya tergolong baik. Hasil perhitungan lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran B.7.
e. Kesimpulan Hasil Uji Coba Tes Kemampuan Berpikir Kritis
Berdasarkan hasil uji coba, diketahui semua butir soal valid, reliabilitasnya tergolong tinggi, tingkat kesukaran soalnya berada pada kategori sedang dan sukar, dan daya pembedanya berada pada kategori
(34)
baik dan sangat baik. Dengan demikian, instrument tes kemampuan berpikir kritis layak untuk digunakan sebagai alat pengumpul data penelitian.
2. Skala Disposisi Berpikir Kritis
Instrumen yang digunakan untuk mengukur disposisi kritis siswa adalah skala disposisi yang menggunakan model skala Likert. Skala sikap ini berupa pernyataan-pernyataan yang memiliki pilihan jawaban sangat setuju (SS), setuju (S), ragu-ragu(R), tidak setuju (TS), sangat tidak setuju (STS). Untuk pernyataan-pernyataan positif, skor pilihan jawaban adalah SS = 5, S = 4, R = 3, TS = 2, STS = 1. Sedangkan untuk pernyataan-pernyataan negatif, skor pilihan jawabanadalah SS = 1, S = 2, R = 3, TS = 4, STS = 5. Skala sikap ini disusun dengan menggunakan komponen-komponen disposisi kritis yang dikemukakan oleh Ennis (Husen dan Postlethwaite, 1988).
Untuk mengetahui kualitas instrumen skala disposisi, instrumen dikonsultasikan dengan ahlinya, dalam hal ini dosen pembimbing. Sedangkan untuk mengetahui validitas empiris dan reliabilitasnya, instrumen diujicobakan terlebih dahulu. Uji coba dilakukan terhadap siswa kelas IX SMPN Kabupaten Cirebon tahun pelajaran 2009/2010.
Data yang diperoleh dari uji coba ini selanjutnya dianalisis agar diketahui kualitasnya. Hal ini dilakukan dengan menghitung validitas, reliabilitas, dan daya pembedanya. Tujuannya adalah agar diperoleh
(35)
instrumen skala disposisi berpikir kritis dengan butiran pernyataan yang baik. Uraian analisisnya sebagai berikut.
a. Validitas Skala Disposisi Berpikir Kritis
Validitas item instrument skala disposisi berpikir kritis ditentukan dengan mengkorelasikan skor tes pada tiap item soal dengan skor total. Hal ini dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi antara skor pada tiap item dengan skor total siswa. Rumus yang digunakan untuk mencarinya adalah rumus produk momen dari Pearson. Rumus untuk jenis skala minimal interval (Ruseffendi, 1993)Rumusnya sebagai berikut:
r = ∑ . ∑ ∑
∑ ∑ ∑ ∑
dengan: r = koefisien korelasi nilai X dengan nilai Y X = skor per item soal
Y = skor total
Dengan menggunakan SPSS 16, korelasi tersebut nampak sebagai berikut:
Tabel 13
Hasil Analisis Validitas Dispoisi Berpikir Kritis
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10
Total Pearson Correlation 0,468** 0,515** 0,454** 0,596** 0,487** 0,562** 0,535** 0,443** 0,480** 0,592**
Sig. (2-tailed) 0,006 0,002 0,008 0,000 0,004 0,001 0,001 0,010 0,005 0,000
N 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33
Keterangan valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid
X11 X12 X13 X14 Total Pearson
Correlation 0,502
** 0,506** 0,580** 0,576**
Sig. (2-tailed) 0,003 0,003 0,000 0,000
N 33 33 33 33
(36)
Dengan melihat nilai signifikansi korelasinnya pada taraf signifikansi 0,01, nampak bahwa nilainya setiap butir soal kurang dari 0,01. Hal ini berarti bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara skor tiap item butir soal dengan skor totalnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa semua butir tes adalah valid. Perhitungan lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran B.8.
b. Reliabilitas Skala Disposisi Berpikir Kritis
Reliabilitas tes kemampuan ditentukan melalui perhitungan koefisien korelasi dengan menggunakan rumus Cronbach-Alpha. Rumus ini digunakan mengingat jawaban siswa bervariasi dan bukan hanya benar atau salah. Adapun rumusnya sebagai berikut:
r = x ∑
dengan r = koefisien reliabilitas n = banyak soal
S = variansi skor soal tertentu (soal ke-i)
∑ S = jumlah varians skor seluruh soal menurut skor soal tertentu
S = varians skor seluruh soal menurut skor siswa perorangan
Tabel 14
Hasil Uji Reliabilitas Skala Disposisi Berpikir Kritis Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
(37)
Dari perhitungan dengan menggunakan SPSS 16 diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,731 yang menurut tabel tersebut bahwa instrument kemampuan berpikir kritis memiliki derajat reliabilitas yang tinggi. Perhitungan lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran B.9.
c. Daya Pembeda Skala Disposisi berpikir kritis
Daya pembeda setiap butir pernyataan skala disposisi kritis dianalisis dengan menggunakan uji signifikansi daya pembeda butir pernyataan. Yang diuji adalah signifikansi perbedaan rerata skor untuk kelompok atas dengan rerata skor kelompok bawah (Subino, 1987). Butir pernyataan yang daya pembedanya signifikan berarti pernyataan tersebut mampu membedakan secara signifikan antara kelompok atas dan kelompok bawah.
Untuk menganalisisnya, dipisahkan terlebih dahulu kelompok atas dan kelompok bawah. Kedua kelompok ini diperoleh dengan mengurutkan terlebih dahulu skor total seluruh siswa dari yang terbesar ke yang terkecil. Dari pengurutan skor, kemudian diambil 25% skor sebelah atas yang selanjutnya disebut kelompok atas dan 25% skor sebelah bawah yang selanjutnya disebut kelompok bawah.
Uji signifikansi daya pembedanya menggunakan uji-t. adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
t = " " #$% $% dengan
(38)
X" = rerata skor kelompok atas
X" = rerata skor kelompok bawah
S = varians skor kelompok atas
S = varians skor kelompok bawah
n = jumlah siswa kelompok atas
n = jumlah siswa kelompok bawah
Harga-harga X" dan S untuk masing-masing pernyataan diperoleh dari tabel 21 sedangkan harga-harga X" dan S untuk masing-masing pernyataan diperoleh dari Tabel 22. Melalui substitusi harga-hargaX" , X" , S , danS pada rumus di atas, dapat diperoleh harga t setiap pernyataan. Selanjutnya harga t ini dibandingkan dengan ttabel pada taraf nyata α dan dk = (n ' 1) + (n ' 1). Kriteria
pengujiannya: “Bila thitung > ttabel, daya pembeda butir pernyataan
dikatakan signifikan”.
Untuk keperluan pengujian ini, harga ttabel yang digunakan
untuk keperluan pengujian ini pada taraf nyata α = 0,05. Harga ttabel
pada α = 0,05 dan dk = (9 – 1) + (9 – 1) = 16 adalah 2,12. Hasil perhitungan dan pengujian signifikansi daya pembeda butir pernyataan disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 15
Hasil Analisis Signifikansi Daya Pembeda Skala Disposisi Nomor
Pernyataan Harga t Harga tαααα=0,05
Klasifikasi daya pembeda
1 2,530 2,12 Signifikan
2 3,464 2,12 Signifikan
3 2,530 2,12 Signifikan
4 4,009 2,12 Signifikan
5 3,207 2,12 Signifikan
(39)
Nomor
Pernyataan Harga t Harga tαααα=0,05
Klasifikasi daya pembeda
7 3,050 2,12 Signifikan
8 2,121 2,12 Signifikan
9 2,334 2,12 Signifikan
10 2,646 2,12 Signifikan
11 3,677 2,12 Signifikan
12 3,780 2,12 Signifikan
13 2,971 2,12 Signifikan
14 2,449 2,12 Signifikan
Berdasarkan hasil analisis, diketahui seluruh pernyataan skala disposisi daya pembedanya signifikan pada taraf nyata α = 0,05. Hasil perhitungan lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran B.10.
D. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah yang ditempuh untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan sampel penelitian
Sampel dipilih dua kelas dari seluruh kelas VIII yang ada di SMPN Kabupaten Cirebon secara acak menurut kelas dengan pertimbangan kemampuan kelas relatif sama. Hasilnya, terpilih kelas VIII A dan kelas VIII B sebagai sampel penelitian.
2. Penentuan kelas eksperimen dan kelas kontrol
Satu dari dua kelas terpilih, ditentukan secara acak menurut kelas sebagai kelompok eksperimen dan lainnya sebagai kelompok kontrol. Dari pemilihan secara acak, kelas VIII A terpilih sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII B sebagai kelas control.
(40)
Ukuran sampel kedua kelas tersebut adalah 72 siswa, dengan perincian 36 siswa kelas eksperimen dan 36 siswa kelas kontrol.
3. Pemberian tes awal dan skala disposisi awal
Sebelum diberi perlakuan kedua kelompok memperoleh tes awal. Tujuannya agar diketahui kemampuan berpikir kritis siswa masing-masing kelompok sebelum diberi perlakuan. Selain itu, sebelum perlakuan, diberikan pula skala disposisi awal. Tujuan pemberiannya agar diketahui disposisi kritis siswa masing-masing kelompok sebelum diberi perlakuan.
4. Pemberian pembelajaran matematika realistik seperti sintaks di atas pada kelas eksperiman dan pembelajaran biasa pada kelas kontrol.
5. Pemberian tes akhir dan Skala disposisi akhir.
Setelah diberi perlakuan kedua kelompok memperoleh tes akhir. tujuannya agar diketahui kemampuan berpikir kritis siswa masing-masing kelompok setelah diberi perlakuan. Selain itu, setelah perlakuan, diberikan pula skala disposisi akhir. Tujuan pemberiannya agar diketahui disposisi kritis siswa masing-masing kelompok sesudah diberi perlakuan. E. Teknik Analisis Data
Analisis data yang dilakukan terdiri dari 3 bagian yaitu analisis kemampuan berpikir kritis, analisis disposisis berpikir kritis, dan analisis peningkatan kemampuan berpikir kritis. Setiap bagiannya dimaksudkan untuk menguji hipotesis penelitian yang bersesuaian dengannya. Analisis kemampuan berpikir kritis dimaksudkan untuk melihat ada atau tidaknya
(41)
perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Analisis disposisi berpikir kritis dimaksudkan untuk melihat ada tidaknya perbedaan disposisi berpikir kritis antara siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol baik sebelum maupun sesudah pembelajaran. Analisis peningkatan kemampuan berpikir kritis dimaksudkan untuk melihat ada tidaknya perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara kelompok siswa pandai, sedang, dan kurang pada kelas eksperimen.
Data yang dianalisis adalah data yang diperoleh dari instrumen tes kemampuan berpikir kritis dan skala disposisi berpikir kritis. Hasil tes kemampuan berpikir kritis berupa data skor tes awal dan skor tes akhir, sedangkan hasil skala disposisi berpikir kritis adalah data skor skala disposisi awal dan skor skala disposisi akhir. Skor tes awal dan tes akhir berturut-turut menunjukkan kemampuan berpikir kritis siswa sebelum dan sesudah pembelajaran. Sedangkan skor skala disposisi awal dan skala disposisi akhir berturut-turut menunjukkan disposisi berpikir kritis siswa sebelum dan sesudah pembelajaran.
Skor tes memiliki nilai maksimum dan minimum semu, jarak antara dua skor tes yang berdekatan sama. Skor tes termasuk jenis skala interval (Ruseffendi, 1991b). Karena itu, ada tidaknya perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat diketahui melalui uji perbedaaan rerata dengan menggunakan uji-t. Namun, uji-t ini tidak dilakukan. Alasannya karena normalitas data yang disyaratkan oleh uji-t tidak
(42)
dipenuhi. Sebagai gantinya digunakan uji non parametrik Mann-Whitney (uji-U) karena kedua sampel saling bebas.
Skor skala Likert memiliki nilai maksimum dan minimum semu, jarak antara dua skor skala disposisi yang berdekatan sama. Skor skala disposisi menggunakan skala Likert termasuk jenis skala interval (Ruseffendi,1991). Berdasarkan jenis skala interval ini, pemeriksaan mengenai ada tidaknya perbedaan disposisi berpikir kritis antara siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilakukan melalui uji-t. Namun, penggunaan uji-t mensyaratkan kedua data yang dibandingkan berdistribusi normal dan variansi keduanya homogen. Karena itu sebelum dilakukan uji perbedaan rerata dengan uji-t, perlu dilakukan uji normalitas dan homogen terlebih dahulu. Uji normalitas dimaksudkan untuk memeriksa apakah data dari kelas eksperimen dan data dari kelas kontrol berdistribusi normal atau tidak. Bila tidak berdistribusi normal maka digunakan uji non parametrik Mann-Whitney (uji-U) karena kedua sampel saling bebas. Pengujian normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Sedangkan uji homogenitas varians dimaksudkan untuk memeriksa homogen atau tidaknya varians data kelas eksperimen dan varians data kelas kontrol. Bila tidak homogen maka uji rerata menggunakan uji-t’. Uji homogenitas varians ini menggunakan uji Levene.
Uji perbedaan rerata dilakukan untuk data yang berasal dari skor tes awal, tes akhir, skala disposisi awal, dan skala disposisi akhir. Uji perbedaan rerata berupa: (1) uji perbedaan rerata kemampuan berpikir kritis kelas
(43)
eksperimen dan kelas kontrol sebelum pembelajaran, (2) uji perbedaan rerata kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen dan kelas kontrol sesudah pembelajaran, (3) uji perbedaan rerata disposisi berpikir kritis kelas eksperimen dan kelas kontrol sebelum pembelajaran, dan (4) uji perbedaan rerata disposisi berpikir kritis kelas eksperimen dan kelas kontrol sesudah pembelajaran. Analisis kemampuan berpikir kritis dilakukan melalui uji perbedaan rerata nomor (1) dan (2) sedangkan analisis disposisi berpikir kritis dilakukan uji perbedaan rerata nomor (3) dan (4).
Selanjutnya, ada tidaknya perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa kemampuan pandai, sedang, dan kurang pada kelas eksperimen diperiksa. Untuk maksud ini, digunakan uji ANOVA satu jalur yang dilanjutkan uji Scheffe. Menurut Glass dan Hopkins (dalam Ruseffendi, 1998), uji Scheffe kurang sensitif terhadap normalitas. Oleh karena itu, di sini, tidak dilakukan pemeriksaan normalitas data peningkatan kemampuan berpikir kritis dari siswa kelompok pandai, sedang, dan kurang.
ANOVA satu jalur digunakan untuk melihat ada tidaknya perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara ketiga kelompok siswa. Sedangkan uji Scheffe digunakan untuk melihat letak perbedaan itu. Uji Scheffe ini menelusuri letak perbedaan yang ada dengan memeriksa ada tidaknya perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa kelompok pandai dengan kelompok sedang, kelompok pandai dengan kelompok kurang, dan kelompok sedang dengan kelompok kurang.
(44)
Sebelum ANOVA satu jalur, terlebih dahulu dilakukan pengelompokan siswa kelompok eksperimen dan pengujian homogenitas varians gain seluruh kelompok siswa. Pengelompokan siswa ini memisahkan siswa kelas eksperimen menurut kemampuannya (pandai, sedang, dan kurang) dengan mengacu pada kriteria yang dikemukakan oleh Suherman dan Kusumah (1990). Di sini juga dihitung peningkatan skor tes (gain tes) untuk masing-masing kelompok siswa. Kemudian dilakukan pengujian homogenitas varians melalui uji Levene dengan 3 sampel bebas. Uji Levene ini dilakukan untuk menguji kehomogenan varians gain tes ketiga kelompok siswa. Proses analisis data tersebut dapat digambarkan dalam flowchart yang diadaptasi dari Ruseffendi (1993) berikut.
Gambar 5 Proses Analisis Data
YA
TIDAK
KEDUA-DUANYA
DIKETAHUI DIASUMSIKAN SAMA TIDAK DIKETAHUI, TIDAK DIKETAHUI
ALUR ANALISIS PRETEST ALUR ANALISIS POSTEST
ALUR ANALISIS ANGKET AWAL DAN AKHIR
NORMAL RERATA DUA VARIABEL
UJI-t BEBAS
VARIANSI POPULASI
UJI-t’
UJI-z
UJI-t UJI MANN-WHITNEY
(45)
Mengingat kesimpulan atau temuan yang dihasilkan dari penelitian ini ada dalam bidang pendidikan, taraf nyata yang digunakan dalam semua pengujian statistiknya ditetapkan pada α = 0,05.
(46)
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data, dan hasil temuan yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bawa:
1. Siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik mengalami peningkatan kemampuan kognitif berpikir kritis yang lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.
2. Siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada disposisi berpikir kritis dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Walaupun demikian, disposisi berpikir kritis sampel siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi daripada sampel siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.
3. Peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa kelompok pandai, sedang, dan kurang pada kelas yang memperoleh pembelajaran matematika realistik tidak berbeda secara signifikan.
B. Implikasi
Melalui penelitian ini terungkap bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa Sekolah Menengah Pertama yang memperoleh pembelajaran matematika realistik lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
(47)
biasa. Pembelajaran matematika realistik dapat dipilih sebagai pendekatan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa SMP.
C. Saran-saran 1. Untuk di Lapangan
a. Hasil penelitian ini menunjukkan pembelajaran matematika realistik dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Untuk itu disarankan kepada guru supaya pembelajaran matematika realistik dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan pembelajaran di dalam kelas.
b. Pembelajaran matematika realistik perlu disosialisasikan dan dilatihkan pembuatan bahan ajarnya kepada guru-guru di sekolah yang difasilitasi oleh instansi terkait seperti dinas pendidikan di kabupaten, propinsi, bahkan pusat.
2. Untuk Penelitian Lanjut
Kemampuan yang diteliti dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir kritis siswa SMP kelas VIII pada materi bangun ruang sisi datar, untuk itu bagi para peneliti selanjutnya dapat menerapkan pembelajaran matematika realistik pada kelas dan materi yang berbeda serta aspek kemampuan yang lain.
(48)
DAFTAR PUSTAKA
Ali, D.S. (2007). Pembelajaran Matematika Realistik dalam Kelompok Kecil
untuk Mengembangkan Kemampuan Siswa SMP dalam Pemecahan Masalah. Tesis. Bandung: UPI.
Alter, F. (2009). Understanding The Role of Critical Thinking and Creative Thinking in Australian Primary School Visual Arts Education.
International Art in Early Childhood Research Journal. Vol. 1.
Alwi, H., dkk. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Arifin, Z. (2008). Meningkatkan Motivasi Berprestasi, Kemampuan Pemecahan
Masalah, dan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SD melalui Pembelajaran Matematika Realistis dengan Strategi Kooperatif di Kabupaten Lamongan. Disertasi. Bandung: SPs UPI.
Asmida. (2009). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi
Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pendekatan Realistik. Tesis. Bandung: SPs UPI.
Barnes, H. (2004). Realistic Mathematics Education: Eliciting Alternative Mthematical Conceptions of Learners. African Journal of Research
in SMT Education. Vol. 8 (1): 53-64.
Cobb, P., Zhao, Q., & Visnovska, J. (2008). Learning from and Adapting The Theory of Realistic Mathematics Education. Education &Didactique. 2(1): 105-124.
Dahlan, J.A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman
Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama melalui Pendekatan Pembelajaran Open-Ended. Disertasi. Bandung: PPS
UPI.
Darhim. (2004). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual terhadap Hasil
Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal dalam Matematika. Disertasi. Bandung: PPS UPI.
Darhim. (2005). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual terhadap Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar. Mimbar Pendidikan. No. 3/XXIV. Depdiknas. (2006). Peraturan Menteri No. 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan. Jakarta: Depdiknas.
Dickinson, P., Eade, F., Gough, S., & Hough, S. (2010). Using Realistic Mathematics Education with Low to Middle Attaining Pupils in
(49)
Secondary Schools. Proceedings of the British Congress for
Mathematics Education.
Duron, R., dkk. (2006). Critical Thinking Framework for Any Discipline.
International Journal of Teaching and Learning in Higher Education. Vol. 17:160-166.
Ennis, R.H. (1996). Critical Thinking Dispositions: Their Nature and Assessability. Informal Logic. Vol. 18, Nos. 2 & 3.
Eriadi. (2009). Penerapan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis. Bandung: SPs UPI.
Ernest, P. (1991) The Phylosophy of Mathematic Education. Inggris: The Falmer Press.
Facione, P.A., Giancarlo, C.A., & Facione, N.C. (1995). The Disposition Toward Critical Thinking. Journal of General Education. Volume 44, Number(1). 1-25.
Fauzan, A. (2002). Applying Realistic Mathematics Education (RME) in Teaching
Geometry in Indonesian Primary School. Disertasi. Enschede:
PrintPartner Ipskamp.
Fauzan, A., Slettenhaar, D., & Plomp, T. (2002). Traditional Mathematics Education vs. realistic Mathematics Education. Proceedings of The
3rdInternational Mathematics Education and Society
Conference.Copenhagen: Centre for Research inLearning
Mathematics.
Glazer, E. (2001). Using Web Sources to Promote Critical Thinking in High
School Mathematics. [Online]. Tersedia: http://www.arches.uga.edu
/~eglazer/nime2001b.pdf.
Gonzales, P., Williams, T., Jocelyn, L., Roey, S., Kastberg, D., and Brenwald, S. (2008). Highlights From TIMSS 2007: Mathematics and Science
Achievement of U.S. Fourth- and Eighth-Grade Students in an International Context. Washington,DC: U.S. Department of
Education.
Gokhale, A.A. (1995). Collaborative Learning Enhances Critical Thinking.
Journal Technology Education.Vol. 7. No. 1.
Gravemeijer, Koeno. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: CD-β Press.
(50)
Gulo, S.F. (2009). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa
SMP dalam Matematika melalui Pendekatan Advokasi.Tesis.
Bandung: SPs UPI.
Hashemi, A.S., Naderi,E., Shariatmadari, A., Naraghi, M.S., & Mehrabi, M. (2010). Science Production in Iranian Educational System by The Use of Critical Thinking. International Journal of Instruction. Vol. 3. Herwati. (2007). Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi
Matematis Siswa melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Realistik Dalam Kelompok Kecil. Tesis. Bandung: SPs UPI.
Hidayat, E. (2009). Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematik dan
Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Menggunakan Pendekatan Matematika Realistik. Tesis. Bandung:
SPs UPI.
Husen, T. dan Postletwaite, T. N. (1988). The International Encyclopedia of
Education, Research, and Studies. Oxford: Pergamon.
Innabi, H. & El Sheikh, O. (2006). The Change in Mathematics Teachers’ Perceptions of Critical Thinking After 15 Years of Educational Reform in Jordan. Educational Studies in Mathematics. 64: 45-68. Johnson, E.B. (2006). Contextual Teaching and Learning. Bandung: MLC.
Kesumawati, N. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman, Pemecahan
Masalah dan Disposisi Matematis Siswa SMP melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Disertasi. Bandung: SPs UPI.
Kusumah, Y. S. (2008). Konsep, Pengembangan, dan Implementasi
Computer-Based Learning dalam Meningkatkan Kemampuan High-Order Mathematical Thinking. Pidato pengukuhan guru besar. Universitas
Pendidikan Indonesia: Bandung.
de Lange, J. (1987). Mathematics, Insight, and Meaning. Belanda, Utrecht: OW &OC.
Le, T.A. (2006). Applying Realistic Mathematics Education in Vietnam: Teaching
Middle School Geometry. Disertasi. Belanda: Universitas Postdam.
Maulana. (2007). Alternatif Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan
Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa PGSD. Tesis. Bandung: SPs UPI.
Mayadiana, D. (2005). Pembelajaran dengan Pendekatan Diskursif untuk
Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa Calon Guru SD. Tesis. Bandung: SPs UPI.
(51)
Mulyana, T. (2008). Pembelajaran Analtik Sintetik untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi. Bandung: SPs UPI.
Nelissen, J. & Tomic, W. (1993). Learning Through Processes in Realistic Mathematics Instruction. Curiculum and Teaching. Vol. 8, No. 1. Nitko, A.J. & Brookhart, S.M. (2007). Educational Assesment of Student. New
Jersey: Prentic Hall.
Novikasari. (2007). Realistic Mathematics Education (RME): Pendekatan Pendidikan Matematika dalam Konsep dan Realitas. Jurnal
Pemikiran Alternatif Pendidikan. 12, 93 – 106.
Oleinik, T. (2002). Development of Critical Thinking in Mathematics Courses.
Proceedings of the 3rd International Mathematics Education and Society Conference, 1-3.
Olson. (1996). The Arts, Critical Thinking, Reform: Classroom of The Future. [Online]. Tersedia: http://horizon.unc.edu/projects/HSJ/Olson.html. [12 Januari 2010].
Perkins, C. & Murphy, E. (2006). Identifying and Measuring Individual Engagement in Critical Thinking in Online Discussions: An Exploratory Case Study. Educational Technology & Society. 9 (1), 298-307.
Priatna, N. (2003). Kemamampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika
Siswa Kelas III SLTP di Kota Bandung. Disertasi. Bandung: SPs UPI.
Presseisen, B.Z. (1985). Thinking Skill: Meanings and Models. Dalam Costa, A.L. (editor). Developing Minds. A Resource Book for Teaching Thinking. Virginia: ASCD.
Ricketts, J.C. & Rudd, R. (2004). The Relationship between Critical Thinking Dispositions and Critical Thinking Skills of Selected Youth Leaders in the National FFA Organization. Journal of Southern Agricultural
Education Research. Volume 54, Number 1.
Rimiene, V. (2002). Assessing and Developing Students’ Critical Thinking.
Psychology Learning and Teaching. 2(1), 17-22.
Rochaminah, S. (2008). Pengaruh Pembelajaran Penemuan terhadap
Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa Calon Guru. Disertasi.
(52)
Rohaeti, E.E. (2008). Pembelajaran dengan Pendekatan Eksplorasi untuk
Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi. Bandung: SPs UPI.
Rohayati, A. (2005). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dalam
Matematika melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual.
Tesis. Bandung: SPs UPI.
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. (a)
Ruseffendi, E.T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa
Khususnya dalam Pengajaran Matematika. Bandung: tidak
diterbitkan. (b)
Ruseffendi, E.T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ruseffendi, E.T. (1998). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang
Non-eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.
Sabandar, J. (2001). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Model. Kumpulan makalah pada Seminar Nasional Sehari: Penerapan Pendidikan Matematika Realistik pada Sekolah dan Madrasyah. Medan.
Saleh. (2007). Pembelajaran Matematika Realistik untuk Topik Persegipanjang dan Persegi di Kelas VII SMP Negeri 9 Kendari. Jurnal Mathedu. Vol. 2.
Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi
Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi. Bandung: SPs UPI.
Sembiring, R.K., Hadi, S., & Dolk, M. (2008). Reforming Mathematics Learning in Indonesian Classrooms Through RME. ZDM Mathematics
Education.40: 927-939.
Snyder, L.G. & Snyder, M.J. (2008). Teaching Critical Thinking and Problem Solving Skills. The Delta Pi Epsilon Journal. Volume I, No. 2. Subino. (1987). Konstruksi dan Analisis Tes. Suatu Pengantar kepada Teori Tes
dan Pengukuran. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
(53)
Suherman, E dan Kusumah,Y.S. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan
Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijaya Kusumah.
Sulastri, Y.L. (2009). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis melalui
Pembelajaran dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Siswa Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Bandung. Tesis.
Bandung: SPs UPI.
Sumarmo, U. (2001). Kecenderungan Pembelajaran Matematika pada Abad 21. Makalah pada pelatihan Guru MI dan MTs, Bandung.
Suriasumantri, J. (2003). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung Serta
Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi. Bandung: SPs UPI.
Syaban, M. (2008). Menumbuhkembangkan Daya dan Disposisi Matematis Siswa
Sekolah Menenah Atas melalui Model Pembelajaran Investigasi.
Disertasi. Bandung: SPs UPI.
Syukur, M. (2004). Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMU
Melalui Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Open-Ended.
Tesis Magister pada PPS UPI. Bandung: PPS UPI.
Turmudi, Hidayat, A.S., Prabawanto, S., & Aljupri. (2009). Pemodelan
Matematika (Mathematical Modelling) Berbasis Realistik di SMP dan SMA. Laporan Penelitian. Bandung: Jurusan Pendidikan
Matematika UPI.
Usdiyana, D., Purniati, T., Yulianti, K., & Harningsih, E. (2009). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Logis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Matematika Realistik. Jurnal Pengajaran MIPA. Vol. 13 No. 1. Uzel, D. (2006). Attitudes of 7th Class Student Toward Mathematics in Realistic
Mathematics Education. International Mathhematical Forum. No. 39: 1951-1959.
Wahab, A.A. (1996). Pendidikan PKN. Jakarta: Depdikbud.
Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan
Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi. Bandung: PPS
UPI.
Widjaya, Y.B., & Heck, A. (2003). How a Realistic Mathematics Education Approach and Microcomputer-Based Laboratory Worked in Lessons
(54)
on Graphing at an Indonesian Junior High School. Journal of
Science and Mathematics Education in Southeast Asia. Vol. 26. No.
2: 1-51.
Yuwono, I. (2007). Pembelajaran Matematika Realistik. Malang: UM Press. Zulkardi. (2001). Realistic Mathematics Education (RME). Teori, Contoh
Pembelajaran dan Teman Belajar di Internet. Makalah yang
disampaikan pada Seminar Nasional pada tanggal 4 April 2001 di UPI: Tidak diterbitkan.
(1)
Secondary Schools. Proceedings of the British Congress for Mathematics Education.
Duron, R., dkk. (2006). Critical Thinking Framework for Any Discipline. International Journal of Teaching and Learning in Higher Education. Vol. 17:160-166.
Ennis, R.H. (1996). Critical Thinking Dispositions: Their Nature and Assessability. Informal Logic. Vol. 18, Nos. 2 & 3.
Eriadi. (2009). Penerapan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis. Bandung: SPs UPI.
Ernest, P. (1991) The Phylosophy of Mathematic Education. Inggris: The Falmer Press.
Facione, P.A., Giancarlo, C.A., & Facione, N.C. (1995). The Disposition Toward Critical Thinking. Journal of General Education. Volume 44, Number(1). 1-25.
Fauzan, A. (2002). Applying Realistic Mathematics Education (RME) in Teaching Geometry in Indonesian Primary School. Disertasi. Enschede: PrintPartner Ipskamp.
Fauzan, A., Slettenhaar, D., & Plomp, T. (2002). Traditional Mathematics Education vs. realistic Mathematics Education. Proceedings of The 3rdInternational Mathematics Education and Society Conference.Copenhagen: Centre for Research inLearning Mathematics.
Glazer, E. (2001). Using Web Sources to Promote Critical Thinking in High School Mathematics. [Online]. Tersedia: http://www.arches.uga.edu /~eglazer/nime2001b.pdf.
Gonzales, P., Williams, T., Jocelyn, L., Roey, S., Kastberg, D., and Brenwald, S. (2008). Highlights From TIMSS 2007: Mathematics and Science Achievement of U.S. Fourth- and Eighth-Grade Students in an International Context. Washington,DC: U.S. Department of Education.
Gokhale, A.A. (1995). Collaborative Learning Enhances Critical Thinking. Journal Technology Education.Vol. 7. No. 1.
Gravemeijer, Koeno. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: CD-β Press.
(2)
Gulo, S.F. (2009). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP dalam Matematika melalui Pendekatan Advokasi.Tesis. Bandung: SPs UPI.
Hashemi, A.S., Naderi,E., Shariatmadari, A., Naraghi, M.S., & Mehrabi, M. (2010). Science Production in Iranian Educational System by The Use of Critical Thinking. International Journal of Instruction. Vol. 3. Herwati. (2007). Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi
Matematis Siswa melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Realistik Dalam Kelompok Kecil. Tesis. Bandung: SPs UPI.
Hidayat, E. (2009). Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Menggunakan Pendekatan Matematika Realistik. Tesis. Bandung: SPs UPI.
Husen, T. dan Postletwaite, T. N. (1988). The International Encyclopedia of Education, Research, and Studies. Oxford: Pergamon.
Innabi, H. & El Sheikh, O. (2006). The Change in Mathematics Teachers’ Perceptions of Critical Thinking After 15 Years of Educational Reform in Jordan. Educational Studies in Mathematics. 64: 45-68. Johnson, E.B. (2006). Contextual Teaching and Learning. Bandung: MLC.
Kesumawati, N. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman, Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematis Siswa SMP melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Disertasi. Bandung: SPs UPI. Kusumah, Y. S. (2008). Konsep, Pengembangan, dan Implementasi
Computer-Based Learning dalam Meningkatkan Kemampuan High-Order Mathematical Thinking. Pidato pengukuhan guru besar. Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung.
de Lange, J. (1987). Mathematics, Insight, and Meaning. Belanda, Utrecht: OW &OC.
Le, T.A. (2006). Applying Realistic Mathematics Education in Vietnam: Teaching Middle School Geometry. Disertasi. Belanda: Universitas Postdam. Maulana. (2007). Alternatif Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan
Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa PGSD. Tesis. Bandung: SPs UPI.
Mayadiana, D. (2005). Pembelajaran dengan Pendekatan Diskursif untuk Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa Calon Guru SD. Tesis. Bandung: SPs UPI.
(3)
Mulyana, T. (2008). Pembelajaran Analtik Sintetik untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi. Bandung: SPs UPI.
Nelissen, J. & Tomic, W. (1993). Learning Through Processes in Realistic Mathematics Instruction. Curiculum and Teaching. Vol. 8, No. 1. Nitko, A.J. & Brookhart, S.M. (2007). Educational Assesment of Student. New
Jersey: Prentic Hall.
Novikasari. (2007). Realistic Mathematics Education (RME): Pendekatan Pendidikan Matematika dalam Konsep dan Realitas. Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan. 12, 93 – 106.
Oleinik, T. (2002). Development of Critical Thinking in Mathematics Courses. Proceedings of the 3rd International Mathematics Education and Society Conference, 1-3.
Olson. (1996). The Arts, Critical Thinking, Reform: Classroom of The Future. [Online]. Tersedia: http://horizon.unc.edu/projects/HSJ/Olson.html. [12 Januari 2010].
Perkins, C. & Murphy, E. (2006). Identifying and Measuring Individual Engagement in Critical Thinking in Online Discussions: An Exploratory Case Study. Educational Technology & Society. 9 (1), 298-307.
Priatna, N. (2003). Kemamampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa Kelas III SLTP di Kota Bandung. Disertasi. Bandung: SPs UPI. Presseisen, B.Z. (1985). Thinking Skill: Meanings and Models. Dalam Costa, A.L. (editor). Developing Minds. A Resource Book for Teaching Thinking. Virginia: ASCD.
Ricketts, J.C. & Rudd, R. (2004). The Relationship between Critical Thinking Dispositions and Critical Thinking Skills of Selected Youth Leaders in the National FFA Organization. Journal of Southern Agricultural Education Research. Volume 54, Number 1.
Rimiene, V. (2002). Assessing and Developing Students’ Critical Thinking. Psychology Learning and Teaching. 2(1), 17-22.
Rochaminah, S. (2008). Pengaruh Pembelajaran Penemuan terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa Calon Guru. Disertasi. Bandung: SPs UPI.
(4)
Rohaeti, E.E. (2008). Pembelajaran dengan Pendekatan Eksplorasi untuk Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi. Bandung: SPs UPI. Rohayati, A. (2005). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dalam
Matematika melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual. Tesis. Bandung: SPs UPI.
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. (a)
Ruseffendi, E.T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam Pengajaran Matematika. Bandung: tidak diterbitkan. (b)
Ruseffendi, E.T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ruseffendi, E.T. (1998). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.
Sabandar, J. (2001). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Model. Kumpulan makalah pada Seminar Nasional Sehari: Penerapan Pendidikan Matematika Realistik pada Sekolah dan Madrasyah. Medan.
Saleh. (2007). Pembelajaran Matematika Realistik untuk Topik Persegipanjang dan Persegi di Kelas VII SMP Negeri 9 Kendari. Jurnal Mathedu. Vol. 2.
Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi. Bandung: SPs UPI.
Sembiring, R.K., Hadi, S., & Dolk, M. (2008). Reforming Mathematics Learning in Indonesian Classrooms Through RME. ZDM Mathematics Education.40: 927-939.
Snyder, L.G. & Snyder, M.J. (2008). Teaching Critical Thinking and Problem Solving Skills. The Delta Pi Epsilon Journal. Volume I, No. 2. Subino. (1987). Konstruksi dan Analisis Tes. Suatu Pengantar kepada Teori Tes
dan Pengukuran. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sudarsono. (1993). Kamus Filsafat dan Psikologi. Jakarta: Rineka Cipta.
(5)
Suherman, E dan Kusumah,Y.S. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijaya Kusumah. Sulastri, Y.L. (2009). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis melalui
Pembelajaran dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Siswa Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Bandung. Tesis. Bandung: SPs UPI.
Sumarmo, U. (2001). Kecenderungan Pembelajaran Matematika pada Abad 21. Makalah pada pelatihan Guru MI dan MTs, Bandung.
Suriasumantri, J. (2003). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung Serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi. Bandung: SPs UPI.
Syaban, M. (2008). Menumbuhkembangkan Daya dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah Menenah Atas melalui Model Pembelajaran Investigasi. Disertasi. Bandung: SPs UPI.
Syukur, M. (2004). Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMU Melalui Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Open-Ended. Tesis Magister pada PPS UPI. Bandung: PPS UPI.
Turmudi, Hidayat, A.S., Prabawanto, S., & Aljupri. (2009). Pemodelan Matematika (Mathematical Modelling) Berbasis Realistik di SMP dan SMA. Laporan Penelitian. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika UPI.
Usdiyana, D., Purniati, T., Yulianti, K., & Harningsih, E. (2009). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Logis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Matematika Realistik. Jurnal Pengajaran MIPA. Vol. 13 No. 1. Uzel, D. (2006). Attitudes of 7th Class Student Toward Mathematics in Realistic
Mathematics Education. International Mathhematical Forum. No. 39: 1951-1959.
Wahab, A.A. (1996). Pendidikan PKN. Jakarta: Depdikbud.
Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi. Bandung: PPS UPI.
Widjaya, Y.B., & Heck, A. (2003). How a Realistic Mathematics Education Approach and Microcomputer-Based Laboratory Worked in Lessons
(6)
on Graphing at an Indonesian Junior High School. Journal of Science and Mathematics Education in Southeast Asia. Vol. 26. No. 2: 1-51.
Yuwono, I. (2007). Pembelajaran Matematika Realistik. Malang: UM Press. Zulkardi. (2001). Realistic Mathematics Education (RME). Teori, Contoh
Pembelajaran dan Teman Belajar di Internet. Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional pada tanggal 4 April 2001 di UPI: Tidak diterbitkan.