STUDI TENTANG AKUNTABILITAS LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN DALAM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN: Pada LPMP Provinsi Riau.

(1)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

1. Hambatan Regulasi ... 3

2. Faktor Eselonisasi ... 6

B.Pengembangan Akuntabilitas LPMP ... 7

C.Fokus Penelitian ... 8

D.Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Manfaat Penelitian ... 10

G.Kerangka Pikir dan Asumsi Dasar ... 10

1. Tanggungjawab ... 12

2. Keberjawaban ... 12

3. Respon ... 13

H.Metode Penelitian ... 13

1. Lokasi Penelitian dan Unit Analisis ... 14

2. Rentang Waktu Penelitian ... 14

3.Jenis Data ... 14

4.Teknik Analisis Data ... 15

5. Keabsahan Data ... 16

BAB I KAJIAN TEORITIK ... 17

A. Tinjauan Umum PMP ... 17

1. Definisi Mutu ... 17

2. Penjaminan Mutu ... 20

B.PMP di Indonesia ... 23

1.Proses PMP ... 24


(2)

2.Konsep ... 33

E. Akuntabilitas Kinerja... 35

F. Penyebab Kegagalan Akuntabilitas Kinerja ... 37

G.Akuntabilitas di Bidang Pendidikan ... 40

H.Pengembangan Konsep Akuntabilitas LPMP ... 42

BAB III METODE PENELITIAN ... 44

A. Model Penelitian ... 44

B.Pemilihan Informan dan Unit Analisis ... 46

C.Sumber Data ... 48

1.Wawancara ... 50

2.Telaah Dokumen ... 52

D.Analisis Data ... 52

E. Validitas Data ... 55

F. Profil LPMP Provinsi Riau ... 56

G.Sumberdaya ... 58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 62

A.Deskripsi HASIL PENELITIAN ... 62

1. Bagaimana Pemahaman Stakeholder Terhadap Upaya LPMP Dalam Menjaga Kebermutuan Pelaksanaan Program dan Kegiatannya ... 62

2. Bagaimana Pemahaman Stakeholder Terhadap Upaya LPMP Dalam Menjaga dan Menigkatkan Kompetensi SDM ... 70

3. Bagaimana Pemahaman Stakeholder Terhadap Keterbukaan LPMP Berkaitan Dengan Pelaksanaan Tupoksi LPMP ... 77

4. Bagaimana Pemahaman Stakeholder Terhadap Pengembangan Saluran Komunikasi Berkaitan Dengan Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi LPMP 5. Bagaimana Pemahaman Stakeholder Terhadap Inovasi yang Dilakukan LPMP Dalam Mendorong Peningkatan Mutu Pendidikan di Daerah ... 79

B.Pembahasan ... 83

1. Bagaimana Pemahaman Stakeholder Terhadap Upaya LPMP Dalam Menjaga Kebermutuan Pelaksanaan Program dan Kegiatannya ... 83

2. Bagaimana Pemahaman Stakeholder Terhadap Upaya LPMP Dalam Menjaga dan Menigkatkan Kompetensi SDM ... 95

3. Bagaimana Pemahaman Stakeholder Terhadap Keterbukaan LPMP Berkaitan Dengan Pelaksanaan Tupoksi LPMP ... 99 4. Bagaimana Pemahaman Stakeholder Terhadap Pengembangan


(3)

5. Bagaimana Pemahaman Stakeholder Terhadap Inovasi yang Dilakukan LPMP Dalam Mendorong Peningkatan Mutu

Pendidikan di Daerah ... 102

C.Pembahasan Secara Umum ... 106

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 110

A.Kesimpulan ... 110

B.Rekomendasi ... 113

1. Membangun Saluran Komunikasi ... 113

2. Porsi Anggaran Berimbang ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 117

LAMPIRAN

Surat Izin Penelitian

Transcibing Hasil Wawancara Catatan Lapangan


(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 1:1 PP Nomor 19/2005 Terkait Penjaminan Mutu Pendidikan ... 12

Tabel 3:1 Gambara Informan ... 47

Tabel 3:2 Sumber Daya LPMP Riau ... 59

Tabel 3:3 Sebaran SDM per Seksi ... 59

Tabel 3:4 Sarana dan Fasilitas LPMP Riau ... 60

Tabel 4:1 Perbandingan Tanggungjawab pada Penjaminan Mutu Pendidikan berdasarkan PP 19/2005 antara LPMP, Pemda dan BAN ... 91


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1:1 Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan ... 2

Gambar 2:1 Proses Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan ... 25

Gambar 2:2 Model PMP ... 27

Gambar 2:3 Peran LPMP ... 28

Gambar 3:1 Organisasi LPMP Berdasarkan Permendiknas 07/2007 ... 57

Gambar 3:2 Organisasi LPMP Tatanan Operasional ... 60


(6)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan diyakini banyak pihak akan mempercepat penerapan penjaminan mutu pendidikan di Indonesia. Peraturan bertanggal 25 September 2009 tersebut, sampai Mei 2010 lalu telah disosialisasikan kepada 500 Bupati dan 1800 pejabat daerah terkait di bidang pendidikan (Kemdiknas,2010).

Penjaminan mutu pendidikan merupakan subsistem dari sistem pendidikan nasional yang secara definisi menurut Permendiknas No 63 tahun 2009 disebut sebagai sebuah kegiatan sistemik dan terpadu oleh satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah daerah, pemerintah, dan masyarakat untuk menaikkan tingkat kecerdasan kehidupan bangsa melalui pendidikan. Sementara mutu pendidikan didefinisikan sebagai tingkat kecerdasan kehidupan bangsa yang dapat diraih dari penerapan Sistem Pendidikan Nasional (SPN). Mengacu pada referensi tersebut Kemdiknas memandang semua pihak terlibat dalam hal mutu pendidikan, atau quality is everybody’s business.


(7)

Menurut Permendiknas tersebut, ada tiga faktor kunci yang berperan dalam sistem penjaminan mutu pendidikan, yakni adanya standar nasional pendidikan yang dijadikan acuan mutu, serta adanya pengumpulan data dan

analisis data terkait pencapaian acuan mutu tersebut. Keterhubungan tiga komponen tersebut dapat digambarkan seperti dibawah

Gambar 1:1 : Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (Kemdiknas:2010,cover)

Dilihat Permendiknas No 07 tahun 2007 tentang tugas organisasi dan tatakerja LPMP (Kemdiknas 07/2007), pada Bab I, pasal 2, disebutkan LPMP mempunyai tugas melaksanakan penjaminan mutu pendidikan dasar dan pendidikan menengah termasuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat di provinsi berdasarkan kebijakan Menteri Pendidikan Nasional. Pada pasal 4, dijelaskan penjaminan mutu pendidikan itu dilakukan melalui pelaksanaan fungsi pemetaaan mutu pendidikan, fasilitasi dan


(8)

supervisi serta pendataan dan updating data Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) termasuk melaksanakan fungsi administrasi.

Mengacu pada gambar I diatas, LPMP memiliki peran strategis dalam mekanisme penjaminan mutu pendidikan terutama pada faktor yang terkait dengan pengumpulan dan analisis data. Dalam konteks tupoksi LPMP, hasil dari proses pengumpulan data dan analisis data tersebut akan menghasilkan keluaran berbagai bentuk pemetaan, fasilitasi dan supervisi. Namun kalau dilihat lagi pada sejumlah aturan terkait lainnya seperti UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) dan Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang SPN, tidak mudah bagi LPMP melaksanakan tugas pokoknya. Karena sebagai lembaga penjaminan mutu pendidikan, LPMP tidak memiliki kewenangan yang setimpal dengan tanggungjawab yang dibebankan kepadanya. Ada satu esensi mendasar dalam mekanisme penjaminan mutu pendidikan yang tidak berada dalam kewenangan lembaga penjaminan mutu pendidikan ini, yakni menjustifikasi apakah satuan pendidikan ataupun penyelenggara pendidikan telah memenuhi kaidah penjaminan mutu pendidikan yang sesuai dengan SNP atau belum.

1. Hambatan Regulasi

LPMP tidak memiliki akses langsung hingga tingkat sekolah. Karena sistem pendidikan dasar dan menengah ini berada di bawah kewenangan pemerintah daerah. Dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang


(9)

pemerintahan daerah (UU 32/2004) ditegaskan pendidikan adalah kewenangan pemerintah daerah.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:

... ...

f. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; (UU 32/2004, pasal 13, huruf f)

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 (PP 19/2005), tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), LPMP disebut sebagai lembaga penjaminan mutu pendidikan dan bertugas membantu Pemerintah Daerah dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis pada satuan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan. Namun dalam PP 19/2005 ini tidak ada penegasan kepada Pemda untuk meminta bantuan kepada LPMP dalam melaksanakan penjaminan mutu pendidikan. Jelasnya dapat dilihat pada tabel I.1.

Tabel 1: 1 PP Nomor 19/2005 Terkait Penjaminan Mutu Pendidikan

Pemerintah daerah LPMP

Pasal 59, Butir 1, huruf d

Pemerintah Daerah menyusun rencana kerja tahunan bidang pendidikan dengan memprioritaskan program: penjaminan mutu

Pasal 1, butir 24,

Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan yang selanjutnya disebut LPMP adalah unit pelaksana teknis Departemen yang


(10)

pada satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah maupun masyarakat;

berkedudukan di provinsi dan bertugas untuk membantu Pemerintah Daerah dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar

Tabel 1:1 PP 19/2005 terkait Penjaminan Mutu Pendidikan (lanjutan)

Pemerintah daerah LPMP

Pasal 92, Butir 3

Pemerintah Provinsi mensupervisi dan membantu satuan pendidikan yang berada di bawah kewenangannya meyelenggarakan atau mengatur penyelenggaraannya dalam melakukan penjaminan mutu.

Pasal 92, Butir 3

BAN-S/M, BAN-PNF, dan BAN-PT memberikan rekomendasi penjaminan mutu pendidikan kepada program dan/atau satuan pendidikan yang diakreditasi, dan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Pasal 92, Butir 4

Pemerintah Kabupaten/Kota mensupervisi dan membantu satuan pendidikan yang berada di bawah kewenangannya untuk meyelenggarakan atau mengatur penyelenggaraannya dalam melakukan

dan menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan;

Pasal 92, Butir 6

LPMP mensupervisi dan membantu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dalam melakukan upaya penjaminan mutu pendidikan.

Pasal 92, Butir 7

Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), LPMP bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan


(11)

Ketidakjelasan kewenangan LPMP juga terlihat pada Permendiknas No 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Berbeda dengan PP no 19/2005, dalam Permendiknas ada ‘imbauan’ bagi pemerintah daerah untuk melibatkan LPMP dalam proses penjaminan mutu pendidikan di wilayahnya masing-masing, seperti yang terlihat dalam pasal 33 ayat 1. Supervisi, pengawasan, evaluasi, serta pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh pemerintah provinsi kepada satuan atau program pendidikan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dilakukan bekerjasama dan berkoordinasi dengan LPMP.

2. Faktor Eselonisasi

Persoalan lainnya yang membuat LPMP menjadi lembaga ‘serba tanggung’ yang tidak seimbang antara tanggungjawab dan kewenangan yang dimilikinya adalah faktor eselonisasi. LPMP diluar LPMP Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan LPMP Sulawesi Selatan memiliki eselonisasi yang lebih rendah dibanding mitra kerjanya dalam hal ini dinas pendidikan, baik untuk tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota. LPMP hanyalah sebuah UPT Kemdiknas yang memiliki tanggungjawab besar dengan eselonisasi hanya IIIa atau setara dengan seorang kepala bidang di dinas pendidikan atau dinas lainnya di daerah. Konsekuensinya, tak jarang dalam berbagai rapat koordinasi (Rakor) singkronisasi program yang diadakan LPMP dengan para dinas pendidikan tidak dihadiri langsung kepala dinas, namun diwakili pejabat yang menjadi bawahannya dan


(12)

tidak jarang hanya dihadiri staf. Akibatnya sejumlah kesepahaman yang diusulkan LPMP untuk mempercepat peningkatan mutu pendidikan di wilayah kerjanya menjadi sulit untuk ditindaklanjuti dalam bentuk aksi yang kongkrit. Padahal, kegiatan semacam ini bermakna strategis dalam kerangka meningkatkan sinergisitasi dalam upaya percepatan peningkatan mutu pendidikan melalui penjaminan mutu pendidikan.

B. Pengembangan Akuntabilitas LPMP

Menyikapi berbagai ketidakselarasan antara regulasi tersebut, maka LPMP perlu mengembangkan akuntabilitasnya kepada stakeholder. Agar posisi pasif yang dimiliki LPMP seperti yang terlihat pada PP 19/2005 bisa diminimalkan. Untuk itu LPMP perlu mengembangkan akuntabilitasnya kepada stakeholdernya di daerah. Namun akuntabilitas yang dikembangkan tersebut bukan dalam konteks akuntabilitas berdasarkan Instruksi Presiden Inpres No 07 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) (Inpres 07/1999).

Berdasarkan Inpres 07/1999, akuntabilitas dilakukan secara berjenjang. Kalau mengacu pada jalur birokrasi, akuntabilitas LPMP sesuai Permendiknas 07/2007 disampaikan kepada Dirjen PMPTK yang menjadi induk organisasinya. Dalam konteks akuntabilitas sesuai Inpres No 07 tahun 1999 tersebut akuntabilitas LPMP tidak perlu dipertanyakan lagi. Karena Kemdiknas merupakan instansi pemerintah yang berdasarkan penilaian Kementrian Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi pada tahun 2009 lalu adalah kementrian


(13)

yang paling akuntabel di republik ini. Artinya, sebagai bagian dari Kemdiknas LPMP juga akuntabel.

Namun akuntabilitas yang perlu dikembangkan oleh LPMP adalah konsep akuntabilitas yang berbasis pada stakeholdernya, sehingga dengan demikian stakeholder bisa melihat sejauh mana kualitas LPMP dalam melaksanakan tupoksinya. Karena kalau apa yang dilakukan LPMP dinilai akuntabel, tentu pemerintah daerah melalui instansi terkait akan merasa perlu melibatkan LPMP dalam upaya mendorong percepatan pendidikan di daerah.

C. Fokus Penelitian

Penelitian difokuskan pada pemahaman stakeholder terhadap

pelaksanaan akuntabilitas LPMP dalam melakukan penjaminan mutu pendidikan. Proses penjaminan mutu pendidikan yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah tugas pokok dan fungsi LPMP.

Akuntabilitas yang dimaksud dengan penelitian ini merujuk kepada konsep akuntabilitas yang disampaikan Callahan (2007:7) accountability is most often equated with such terms as responsibility, answerability, or responsiveness. Lebih rinci dirumuskan pada tiga ranah akuntabilitas berikut:

1. Pemahaman stakeholder atas tanggungjawab LPMP dalam menjaga dan mengembangkan kebermutuan pelaksanaan Tupoksinya.

2. Pemahaman stake holder atas keberjawaban LPMP dalam menanggapi atau memberikan akses informasi terkait pelaksanaan Tupoksinya.


(14)

3. Pemahaman stakeholder atas respon LPMP terhadap peningkatan mutu pendidikan di daerah sesuai dengan tupoksi yang diemban UPT Kemdiknas ini.

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pemahaman stakeholder terhadap upaya upaya LPMP dalam menjaga kebermutuan pelaksanaan program dan kegiatannya.

2. Bagaimana pemahaman stakeholder terhadap upaya LPMP dalam menjaga dan meningkatkan kompetensi sumber daya yang dimilikinya

3. Bagaimana pemahaman stakeholder terhadap keterbukaan yang dikembangkan LPMP berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.

4. Bagaimana pemahaman stakeholder terhadap pengembangan saluran komunikasi berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya

5. Bagaimana pemahaman stakeholder terhadap inovasi yang dilakukan LPMP dalam mendorong peningkatan mutu pendidikan di daerah.

E. Tujuan Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh gambaran berkaitan dengan pemahaman stakeholder terhadap pelaksanaan akuntabilitas LPMP Provinsi Riau dalam penjaminan mutu pendidikan sesuai dengan rumusan masalah sebagaimana yang dipaparkan diatas.


(15)

1. Mengetahui pemahaman stakeholder terhadap upaya LPMP dalam menjaga kebermutuan pelaksanaan program dan kegiatannya

2. Mengetahui pemahaman stakeholder terhadap upaya LPMP dalam menjaga dan meningkatkan kompetensi sumber daya yang dimilikinya

3. Mengetahui pemahaman stakeholder terhadap keterbukaan yang dikembangkan LPMP berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.

4. Mengetahui pemahaman stakeholder berkaitan dengan pengembangan saluran komunikasi yang dibangun LPMP dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya

5. Mengetahui pemahaman stakeholder berkaitan inovasi yang dilakukan LPMP dalam mendorong peningkatan mutu pendidikan di daerah.

F. Manfaat Penelitian

Pemahaman stakeholder atas pelaksanaan akuntabilitas seperti yang dirujuk dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan pihak yang berpentingan sebagai salah satu masukan bagi optimalisasi pelaksanaan tupoksi LPMP dalam mendorong peningkatan mutu pendidikan di daerah melalui mekanisme penjaminan mutu pendidikan. Pemahaman stakeholder tersebut juga bisa menjadi tahapan awal dalam mendesain suatu model akuntabilitas yang dapat memiminimalkan keterbatasan di bidang regulasi yang membatasi kiprah lembaga. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan teoritis dalam


(16)

bidang pengembangan teori berkenaan dengan akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan terutama di bidang yang terkait dengan pendidikan.

G. Kerangka Pikir Dan Asumsi Dasar

Seperti diuraikan sebelumnya sebagai UPT Kemdiknas yang memiliki tanggungjawab besar di bidang penjaminan mutu pendidikan, namun tidak diimbangi dengan kewenangan yang sesuai, sehingga dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, LPMP tidak menjadi aktor utama, bahkan cenderung berada dalam posisi pasif.

Dalam PP no 19 tahun 2005, LPMP jelas disebut sebagai lembaga penjaminan mutu pendidikan yang menjalankan tugasnya melalui fungsi pemetaan, fasilitasi dan supervisi serta pendataan. Namun tugas tersebut hanya dapat dilaksanakan LPMP dalam kerangka membantu pemerintah daerah. Sementara pemerintah daerah juga memiliki tugas yang sama dengan LPMP dan tidak berkewajiban meminta bantuan LPMP.

Meski demikian, dengan statusnya sebagai UPT Kemdiknas setiap tahun anggaran LPMP tetap mendapatkan alokasi dana untuk berbagai program kegiatan di wilayah kerjanya. Namun program dan kegiatan yang dilaksanakan tersebut sebagian besar adalah program dan kegiatan yang terkait dengan pencapaian prioritas pendidikan nasional dalam kontek NKRI dan tidak dalam konteks akselarasi dengan peningkatan pendidikan di daerah. Secara formal, sesuai dengan


(17)

PP 19/2005 kebijakan pendidikan di daerah harus mengacu pada kebijakan pendidikan nasional.

Dalam posisi seperti ini, percepatan peningkatan mutu pendidikan sulit dioptimalkan. Karena apa yang menjadi prioritas nasional tidak serta merta jadi prioritas pendidikan di daerah. Karena pemerintahan daerah, sesuai dengan UU 32/2004 tentu akan menyesuaikan prioritas Kemdiknas dengan kemampuan anggaran masing-masing, karena daerah juga memiliki sejumlah prioritas lainnya yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan prioritas pendidikan nasional. Sehingga yang terjadi saat ini adalah LPMP berjalan dengan programnya sendiri sesuai arahan Kemdiknas, dan daerah berjalan dengan kepentingan sendiri sesuai dengan kemampuan anggaran masing-masing di bidang pendidikan, meski UUD 45 mengiysaratkan harus mengalokasikan 20 persen anggarannya untuk pendidikan.

Dalam pemahaman seperti inilah mengapa LPMP perlu mengembangkan akuntabilitasnya pada stakeholder di daerah. Karena kalau lembaga ini sudah menjadi akuntabel di mata stakeholdernya, maka partisipasi mereka dalam mendorong percepatan pembangunan pendidikan otomatis akan berakselerasi dengan pembangunan pendidikan nasional.

Karena sesuai dengan konsep akuntabilitas yang dikembangkan melalui laporan ini, akuntabilitas tersebut terdiri terdiri atas tiga ranah utama, yaitu tanggungjawab, keberjawaban dan respon (Callahan,2007:7).


(18)

1. Tanggungjawab

Tanggungjawab dalam pengertian pelaksanaan tugas pokok dan fungsi LPMP adalah kewajiban LPMP untuk menjaga agar berbagai program dan kegiatan yang dilaksanakan bermutu, berkualitas dan mendorong percepatan pembangunan pendidikan di daerah. Artinya LPMP harus mampu memberikan penjelasan disertai bukti-bukti yang sesuai bahwa program dan kegiatan yang dilakukan LPMP telah mengacu pada standar mutu yang ditetapkan, serta memiliki kontribusi positif terhadap peningkatan mutu pendidikan.

2. Keberjawaban

Keberjawaban merupakan terjemahan bebas dari answerability yang memiliki pengertian kesediaan LPMP untuk memberikan akses kepada stakeholdernya untuk mengamati atau bahkan mempertanyakan pertanggungjawaban LPMP atas pelaksanaan program dan kegiatan yang dilakukannya, sehingga keluaran dari program tersebut memang merupakan suatu rangkaian proses untuk memenuhi atau melampaui standar pendidikan nasional. 3. Respon

Merupakan dapat dikatakan sebagai langkah preventif atau antisipatif yang dilakukan LPMP agar program dan kegiatan yang dilaksanakannya berkorelasi dalam mendorong peningkatan mutu pendidikan nasional di daerah atau bahkan dalam konteks mengakselerasi peningkatan mutu pendidikan di daerah sehingga


(19)

mempercepat rangkaian proses pencapaian ataupun pelampauan standar pendidikan nasional di daerah.

LPMP bisa memperlihatkan mengapa eksistensinya penting bagi peningkatan pendidikan di daerah, sesuai dengan tupoksi yang dibebankan kepada lembaga ini. Hal ini diharapkan akan berimplikasi meningkatnya kepercayaan daerah kepada LPMP..Accountability for performance means holding government responsible not only for its expenditures, the quantity of services provided, and the fulfillment of reporting requirements, but also for the results of its actions, Callahan (2007:133).

H. Metode Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan melalui metode deskriptif analitif dengan pendekatan kualitatif. Dengan pendekatan ini diharapkan didapat gambaran yang lebih komprehensif tentang pemahaman stakeholder terhadap akuntabilitas LPMP pada penjaminan mutu pendidikan. Menurut Satori dan Komariah (2010), pada pendekatan kualitatif deskripsi peristiwa, perilaku pada suatu keadaan digambarkan dalam bentuk narasi, sehingga dapat diperoleh sebuah kesimpulan yang lebih komprehensif.

1. Lokasi Penelitian dan Unit Analisis

Penelitian ini dilakukan di Kota Pekanbaru, karena kota ini adalah kota dimana LPMP Riau berada sesuai dengan Nomenklatur Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 07 Tahun 2007. Dengan demikian,


(20)

pemahaman stakeholder akan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi LPMP diperkirakan jauh lebih optimal dibanding 11 kabupaten/kota lainnya di wilayah provinsi ini.

Sementara yang menjadi unit analisisnya adalah LPMP Provinsi Riau, guru, dan kepala dinas, dan pengawas di jajaran dinas pendidikan Kota Pekanbaru. Pemilihan informan dilakukan melalui pemilihan informan bertujuan. Menurut Maleong, pemilihan informan dengan metode ini paling tepat digunakan untuk pendekatan penelitian kualitatif.

2. Rentang Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan sejak akhir Februari 2011 sampai dengan Pertengahan Mei 2011.

3. Jenis Data

Data yang diungkapkan dalam penelitian ini adalah hasil pengelolahan dari catatan lapangan yang berasal dari transcript wawancara baik secara mendalam, terstruktur dan terbuka sesuai dengan kesediaan waktu dari informan. Data lainnya berupa data tertulis yang mendukung fokus dan rumusan masalah penelitian seperti aturan perundang-undangan, SK Kepala LPMP Riau dan dokumen internal di LPMP Riau.

4. Sumber Data Penelitian


(21)

informan (informan) yang dapat terdiri atas kepala dinas pendidikan, kepala sekolah dan atau guru yang pernah mendapatkan supervisi ataupun fasilitasi yang dilakukan LPMP Riau, termasuk pimpinan dan staf LPMP yang dinilai relevan dengan fokus penelitian.

2. Unsur non manusia pendukung penelitian 5. Teknik Analisis Data

Analisis data yang akan digunakan adalah deskriptif naratif. Menurut Milles dan Hubermen (dalam Satori dan Komariah, 2010) diterapkan melalui tiga alur

Reduksi data

Pemilahan data hingga unit-unit terkecilnya sehingga data yang dipilah tersebut memiliki makna bila dikaitkan dengan fouksi dan masalah penelitian.

Penyajian Data

Mengkategorisasikan data sesuai dengan pokok permasalahan guna memudahkan untuk membuat pola hubungan satu data dengan data lainnya

Penarikan Kesimpulan

Menyimpulkan data yang sudah diproses atau ditransfer kedalam bentuk yang sesuai dengan pemecahan masalah yang dilakukan.


(22)

6. Keabsahan Data

Pengecekan keabsahan data akan dilakukan melalui :

Kredibilitas

Keabsahan suatu hasil penelitian yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti penambahan waktu dilapangan, triangulasi baik metode ataupun informan, melibatkan teman sejawat ataupun menggunakan referensi.

Defendabilitas

Audit trail atau komunikasi dengan pembimbing dan pakar lainnya dibidangnya guna membicarakan penelitian dan permasalahan yang ditemui.

Transperabilitas

Hasil penelitian dapat dipalikasikan oleh pemakai penelitian atau pembaca memperoleh gambaran dan pemahaman jelas tentang konteks dan fokus penelitian.


(23)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Model Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian yang berjudul Studi Tentang Akuntabilitas LPMP Dalam Penjaminan Mutu Pendidikan ini dilakukan melalui pendekatan deskriptif analisis menggunakan metode kualitatif. Sehingga melalui pendekatan diharapkan didapat gambaran yang komprehensif terkait hubungan antara pemahaman stakeholder atas pelaksanan akuntabilitas LPMP dalam Penjaminan Mutu Pendidikan (PMP) di wilayah kerjanya melalui proses penyimpulan induktif dan dipaparkan secara sistemik berdasarkan data dan fakta yang diperoleh tanpa mengubah latar alamiahnya. Dalam usaha memperoleh pemahaman, maka peneliti tidak mereduksi narasi dan data lain menjadi lambang angka dan berusaha menganalisis data yang ada dengan segala kekayaan maknanya sedekat mungkin dengan kenyataan.

Moleong (2010:iv) menegaskan penelitian kualitatif mencoba mendalami dan menerobosi gejalahnya dengan menginterprestasikan masalah atau menyimpulkan kombinasi dari berbagai arti permasalahan sebagaimana situasi alamiahnya. Peneliti tidak mereduksi narasi dan data lain menjadi lambang angka


(24)

dan berusaha menganalisis data yang ada dengan segala kekayaan maknanya sedekat mungkin dengan kenyataan.

Menurut Frankel (1998:379-402), Bogdan and Biklen (1982:27-29), dalam Satori (2009: 27-32) penelitian kualititafi memiliki karakteristik, yang secara ringkas antara lain :

1. Penelitian kualitatif memiliki latar (setting) alamiah (natural) dengan sumber data yang langsung dan instrumen kuncinya adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu pada penelitian ini penggalian data dilaksanakan pada suasana yang alami, berjalan apa adanya sehingga bisa ditangkap konteks dan bahkan gestures secara langsung dari para sumber informasi. Dan dengan demikian pula maka peneliti bertindak sebagai alat atau isntrument dalam hal memaknai segala sesuatu yang ditampilkan dan diucapkan oleh informan.

2. Penelitian bersifat deskriptif yang berarti narasi yang dihasilkan menggambarkan apa, mengapa dan bagaimana suatu fenomena terjadi. 3. Penelitian ini menjadikan fokus penelitian sebagai batas dari pembahasan.

Fokus penelitian kemudian dipecah lagi menjadi unit analisis, kategori, dan sub kategori yang dapat dijadikan patokan peneliti dalam mencari, menggali dan menganalisis data.

4. Desain awal penelitian ini bersifat tentatif dan verifikatif artinya desain bisa berubah sesuai dengan temuan data di lapangan.


(25)

Karena sangat menekankan pada aspek kealamiahan itu, makanya dalam penelitian kualititatif pengamatan, wawancara dan partisipasi langsung dan penelaahan dokumen, merupakan beberapa metode pengumpulan data yang sering dilakukan. Karena melalui pendekatan ini, peneliti dapat menangkap secara utuh kealamiah dari informan yang terlibat dalam penelitiannya, seperti perasaan, persepsi dan perilaku hingga dapat ditemukan suatu pemahaman mendalam tentang suatu fenomena sesuai dengan fokus penelitian. Melalui cara ini, Jane Richie salah seorang peneliti kualitatif dalam (Moleong, 2010:6) menjelaskan peneliti dapat menyajikan dunia sosial dan perspektifnya di dalam dunia, dari sisi konsep, perilaku, persepsi dan persoalan tentang informan penelitian.

Namun dalam tatanan penelitian yang dilakukan ini, partisipasi langsung memang tidak dilakukan. Karena yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah pemahaman stakeholder yang lebih mengarah pada persoalan persepsi mereka atas pelaksanaan akuntabilitas LPMP dalam penjaminan mutu pendidikan, sehingga wawancara baik dilakukan secara terstruktur dan mendalam menjadi referensi utama dalam menjaring pemahaman tersebut. Melalui pola pengumpulan data seperti ini diharapkan dapat diperoleh gambaran yang lengkap mengenai pelaksanaan akuntabilitas LPMP berdasarkan perspektif stakeholder baik internal yakni kalangan LPMP sendiri ataupun eksternal berdasarkan perspektif stakeholder yang diwakili informan yang terlibat dalam penelitian ini.


(26)

B. Pemilihan Informan dan Unit Analisis

Pada penelitian yang dilakukan ini, pemilihan informan dilakukan melalui pemilihan bertujuan (purposive sample). Menurut Maleong pemilihan bertujuan ini paling relevan digunakan pada pendekatan penelitian kualitatif, karena sangat berkaitan dengan faktor kontekstual. Bukan pada variasi pebedaan yang muncul yaang nantinya dikembangkan menjadi generalisasi. ”Pada penelitian kualitatif tidak ada sample acak tapi sample bertujuan”, Maleong (2010:224).

Pendekatan penelitian ini meski sample telah ditetapkan pada awal penilitian, namun itu tidak berarti bahwa sample tersebut sudah dipastikan akan menjadi sample yang relevan. Hal itu dilakukan karena persyaratan administrasi yang diminta oleh Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, untuk memberikan daftar siapa saja yang akan menjadi informan dalam penelitian ini. Namun dalam perkembangannya, lima dari enam nama yang diharapkan sebagai informan tersebut memang mendukung fokus penelitian yang dilakukan. Melalui teknik triangulasi yang dilakukan untuk mendapatkan validasi informasi, pada sample ke empat dan kelima telah terjadi kejenuhan data. Sehingga pengembangan jumlah informan untuk penelitian yang berfokus pada pemahaman stakeholder terhadap akuntabilitas LPMP pada PMP ini dianggap sudah terpenuhi. Pendekatan serupa juga dilakukan dalam pemilihan sample untuk kalangan internal LPMP. Berdasarkan fokus penelitian, melalui teknik triangulasi yang dilakukan telah didapat kejenuhan data melalui empat sample yang didapat.


(27)

orang-orang yang berada di sekitar pelaksanaan akuntabilitas LPMP pada PMP sesuai fokus penelitian. Tabel dibawah adalah sample yang terpilih dalam penelitian ini.

Tabel 3:1 Gambaran Informan

No Kode Informan Latar Belakang

1 G001 Guru (senior)

2 G002 Guru (senior)

3 G003 Guru

4 P001 Pengawas

5 P002 Pengawas (Senior)

6 DN001 Kabid/Mewakili Kadis

7 Kepala LPMP Riau Pejabat LPMP

8 SUII Staf (PJU) LPMP

9 SUYR Staf (PJU) LPMP

10 MSRM Staf (PJU) LPMP

11 MSAE Staf LPMP

12 PSNB Staf LPMP

C. Sumber Data

Data hasil dari wawancara tersebut masih berupa data mentah. Namun untuk dapat dianalisis data tersebut dipindahkan ke media tulisan.”Raw data (the scibbled field note,the dictate tape, the direct tape recording) must be processed before they are available for analysis, Milles and Huberman (1994,51). Data lainnya adalah data tertulis yang mendukung fokus dan rumusan masalah penelitian. Penelitian ini menggunakan data tertulis seperti aturan


(28)

perundang-Pada penelitian kualitatif data utamanya berupa kata-kata dan tindakan, sementara data lainnya seperti penelusuran dokumen tertulis, ataupun statistik dan lainnya hanya berperan sebagai data pendukung, (Lofland dan Lofland (Moleong,2010:157)). Karena itu, catatan penelitian tentang wawancara, pengamatan serta teknik penelitiannya yang berfokus untuk mendapatkan kata-kata dan tindakan menjadi alat pengumpulan data utama dalam penelitian kualitatif. Bahkan dalam perkembangan teknologi saat ini, alat perekam digital seperti kamera digital, camcorder atau media lainnya dapat dimanfaatkan sebagai wahana untuk merekam kata-kata dan tindakan yang diamati. Pencatatan tetap mendapatkan tempat utama dalam penelitian kualitatif, karena hasil rekaman tersebut sesuai dengan metodologi ini tetap harus dianalisis, karena itu Satori dan Komariah (2010) menegaskan catatan lapangan menjadi hati dari penelitian kualitatif.

Namun kata-kata dan tindakan seperti apa yang mesti dikumpulkan peneliti? dalam konteks inilah peneliti perlu untuk mengembangkan sebuah fokus penelitian. Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan tersebut adalah data-data yang memiliki korelasi dengan pemahaman stakeholder atas pelaksanaan akuntabilitas LPMP pada PMP.

Pembatasan masalah melalui fokus ini penting, karena kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit, tak hanya sekedar instrumen pengumpul data, peneliti sekaligus adalah perencana, analis, dan penafsir atas data yang telah


(29)

dilapangan mendapat point yang cukup tinggi, karena dengan interaksi tersebut dapat diperoleh perspektif emik yang sesungguhnya.

1. Wawancara

Ada berbagai kategori wawancara yang disampaikan para ahli, kalau Patton (Moleong, 2010:187) membaginya berdasarkan tingkat formalitasnya, penggunaan petunjuk wawancara serta berdasarkan kebakuannya, sementara Guba dan Lincoln (Moleong,2010:188) membaginya berdasarkan jumlah peserta wawancara dalam suatu waktu, teknik wawancara yang digunakan, wawancara riwayat dan sifatnya terbuka atau tertutup serta keterstrukturannya.

Pada penelitian ini, wawancara dilakukan secara formal. Informan mengetahui dengan pasti maksud dan tujuan dari wawancara tersebut dilangsungkan. Sementara mengenai bagaimana wawancara dilakukan, peneliti mengambil dua pendekatan berbeda. Untuk kalangan informan diuar LPMP Riau digunakan pendekatan wawancara terstruktur dan mendalam. Karena itu, kepada mereka tersebut penulis menggunakan panduan wawancara dan perkembangannya sesuai dengan topik yang sedang dibicarakan. Menurut Patton (Malleong, 187), pada konteks pewawancara tidak perlu membuat sebuah pertanyaan yang baku yang berlaku sama untuk semua informan, namun hanya membuat pokok-pokok dari persoalan yang akan dipertanyakan sesuai dengan kondisi informan. Sehingga urutan dan kata-kata yang digunakan tidak seragam.


(30)

a. Rapport

Bagaimana gambaran yang didapatkan tersebut sesuai dengan kondisi alamiahnya, dalam konteks ini peneliti memang berupaya untuk membangun rapport terutama dengan informan yang berasal dari kalangan luar LPMP. Karena kepercayaan mereka terhadap peneliti menjadi faktor penting dalam memaknai pemahaman mereka terhadap pelaksanaan akuntabilitas LPMP dalam penjaminan mutu pendidikan. Sesuai dengan paradigma yang dianut dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah salah satu instrumen.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengunjungi informan lebih dari satu kali. Pada kunjungan pertama, peneliti hanya memperkenalkan diri sekaligus memberikan gambaran singkat mengenai topik-topik yang akan didiskusikan bersama dengan informan tersebut, sekaligus untuk memahami gambaran umum dari respon yang disampaikan informan baik secara verbal ataupun non verbal. Pada kunjungan kedua, peneliti melakukan wawancara secara terstruktur dan mendalam namun berupaya untuk menjaga wawancara tersebut berjalan secara santai dan terkesan hanya sebagai sebuah diskusi sesuai dengan alokasi waktu yang disediakan. Pada pertemuan ketiga, peneliti mendiskusikan transcrib wawancara yang telah dilakukan dengan informan agar terjadi kesamaan pemahaman antara apa yang mereka sampaikan dengan apa yang telah dituangkan dalam bentuk tertulis.


(31)

b. Catatan Lapangan

Moleong (2010:210) mengungkapkan catatan lapangan terdiri atas informasi yang dijaring, waktu kegiatan dilaksanakan, tempat pengambilan data serta nama atau identitas dari informan. Kalau informan berkeberatan namanya ditulis secara terang, dapat saja nama tersebut disamarkan.

Isi catatan lapangan secara umum terdiri atas dua bagian, yakni bagian deskriptif dan bagian reflektif. Model catatan lapangan yang digunakan pada penelitian ini menggunakan model matrik. Dimana bagian deskriptif menggambarkan topik yang dibicarakan, sementara bagian reflektif menggambarkan pemaknaan yang dipahami peneliti serta eksplorasikan yang harus dilakukan. Secara umum, pada bagian reflektif ini termuat hal-hal terkait dengan sesuatu yang dipelajari, tema yang mulai muncul, pola umum dan gagasan atau pemahaman baru terkait penelitian yang dilakukan.

2. Telaah Dokumen

Telaah dokumen yang dimaksud adalah penggunaan data berupa tulisan dan catatan resmi, arsip-arsip, statistik, dan tabel yang telah ada dan dikumpulkan oleh pihak lain pada saat penelitan berlangsung. Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah aturan perundang-undangan yang terkait dengan pendidikan, SK dan SK Kepala LPMP Riau serta Database peserta kegiatan fasilitasi LPMP.


(32)

data yang sesunguhnya dilakukan setelah semua data yang diperlukan terkumpul. Patton (Moleong,2010:280) mendefinisikan analisis data sebagai proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya dalam sebuah pola, kategori dan satuan uraian dasar. Sementara menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 280) mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan hipotesis kerja. Namun dalam hal penafsiran data, dua pakar ini agak berbeda. Kalau Patton melihat secara berbeda antara analisis dengan penafsiran data, sementara Bogdan dan Taylor melihatnya dua hal tersebut tidak terpisahkan.

Alasan Patton membedakan tahapan analisis dengan penafsiran karena dia berpandangan perlunya data diorganisasikan sebelum ditafsirankan untuk diketahui maksud dan tujuan dari data tersebut, sehingga melalui penafsiran data dapat diberikan arti atas hasil analisis yang dilakukan dan mencari hubungan antara dimensi-dimensi uraian. Sementara Bogdan dan Taylor lebih fokus pada pemaknaan dari data, sehingga dia tak membagi secara tahapan pengorganisasian dengan penafsiran. Namun menurut Moleong (2010,280) pendekatan tersebut sama, karena itu dia menawarkan sebuah definisi yang mensintesiskan dua pendekatan, yakni analisis data disebut sebagai upaya untuk mengorganisasikan data guna menemukan hipotesis kerja ataupun tema. Karena menurut dia, analisis data dibimbing oleh upaya untuk menemukan tema dan hipotesis kerja (Moleong, 2010:153).


(33)

3. Penarikan kesimpulan atau penafsiran data

Reduksi data merupakan upaya membuat sebuah abstraksi dari data-data

hasil penelitian yang telah dilakukan. Didalam abstraksi ini termuat rangkuman inti, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga karena sangat berguna untuk mendukung fokus penelitian. Karena itu, kecermatan terhadap penelaan hasil catatan lapangan menjadi faktor penting dalam proses ini.

Setelah data diabstraksi tahapan selanjutnya adalah melakukan

kategorisasi atas data. Kategorisasi ini terdiri atas satuan-satuan informasi yang

dapat berdiri sendiri. Tahapan ini biasanya berlangsung secara paralel dengan proses pengkodean. Pada dasarnya satuan adalah sebuah upaya untuk menghaluskan pencatatan data. Menurut Patton (Moleong,2010:249) ada dua tipe satuan, yakni tipe asli dan tipe hasil konstruksi analisis. Tipe asli menggunakan perspektif emik. Tahap akhir dalam proses analisis adalah mengadakan pemeriksaan atas keabsahan data sebelum tahap berikutnya adalah penafsiran atas data. Meski ahli lainnya menyebutkan antara analisis data dan penafsiran atas data adalah satu hal yang sama.

Dalam penelitian ini, tahap reduksi dan tahap kategorisasi data telah dilakukan secara bersamaan pada catatan lapangan sebagaimana yang terlampir dalam laporan ini. Pada bagian laporan tersebut, data-data hasil penelitian langsung dikategorisasikan berdasarkan konsep akuntabilitasi yang dirujuk dalam penelitian ini, sementara pemaknaan atas data terlihat pada kolom makna yang


(34)

E. Validitas Data

Validatas data terkait dengan sejauh mana data-data yang dikumpulkan melalui penelitian ini dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pada metodologi penelitian kualitatif kriteria yang digunakan adalah

1. Derajat kepercayaan (credibility) 2. Keteralihan (Transferability) 3. Kebergantungan (Dependability)

Melalui uji derajat kepercayaan ini, peneliti harus mampu mendemonstrasikan bahwa metodologi penelitian dilaksanakan secara benar serta mendemonstrasikan bagaimana upaya yang telah dilakukannya sehingga hasil penelitian tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Pada uji ini diperlihatkan sejauh mana pengumpulan data dan analisis data hingga penafsiran data dilakukan berdasarkan kaidah penelitian kualitatif dilakukan, sehingga tidak ada lagi persoalan mengenai metodologi yang digunakan.

Teknik yang digunakan untuk menguji derajat kepercayaan ini melalui perpanjangan waktu penelitian, ketekunan pengamatan, triangulasi, pengecekan teman sejawat, kecukupan referensi, kajian kasus negatif dan pengecekan anggota. Pada penelitian ini, teknik yang digunakan adalah melalui trianggulasi serta melalui diskusi dengan pembimbing.


(35)

secara an sich diterapkan pada suatu populasi tertentu. Namun hal itu sangat terkait dengan kesamaan konteks antara dimana penelitian dilakukan dengan lokasi dimana penelitian akan diimplementasikan hasilnya.Karena itu, deskriptif menjadi kunci utama yang perlu dipertanggungjawabkan sehingga dapat diketahui dalam konteks seperti apa penelitian ini dilakukan.

Teknik pemeriksaan yang dilakukan dalam keteralihan ini adalah uraian rincian. Melalui pemeriksaan ini, peneliti harus dapat menyajikan data sedetil dan secermat mungkin yang dapat menggambarkan konteks dimana penelitian dilakukan. Temuan sendiri bukan menjadi fokus dalam keteralihan ini, namun bagaimana temuan tersebut dirinci sehingga tergambar konteks kejadian nyatanya itu yang sangat menentukan.

F. Profil LPMP Provinsi Riau

Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Riau berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 07 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja LPMP merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat yang bernaung dibawah Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.

Dalam Permendiknas tersebut, ditegaskan LPMP merupakan UPT dengan eselon IIIa yang terdiri atas satu orang kepala, satu orang kepala sub bagian umum ditambah tiga orang kepala seksi serta memiliki sejumlah tenaga fungsional yakni widyaiswara. Lebih rincinya struktur organisasi LPMP sesuai Permendiknas


(36)

Gambar 3:1 Organisasi LPMP Berdasarkan Permendiknas Nomor 07 Tahun 2007

Pada BAB I, Pasal 2 dan Pasal 3, Permendiknas yang ditandatangani pada tanggal 3 Februari 2007 tersebut disebutkan tugas pokok dan fungsi LPMP.

Pasal 2

LPMP mempunyai tugas melaksanakan penjaminan mutu pendidikan dasar dan pendidikan menengah termasuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat di provinsi berdasarkan kebijakan Menteri Pendidikan Nasional.

Pasal 3

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, LPMP menyelenggarakan fungsi:

Kepala Sub Bagian Umum Kepala LPMP

Kepala Program dan Pengembangan

sistem Informasi Kepala Seksi

Pemetaan Mutu dan Supervisi

Kepala Seksi Fasilitasi Sumber Daya Pendidikan


(37)

Pengembangan dan pengelolaan sistem informasi mutu pendidikan dasar dan menengah termasuk TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat;

Supervisi satuan pendidikan dasar dan menengah termasuk TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat dalam pencapaian standar mutu pendidikan nasional;

Fasilitasi sumberdaya pendidikan terhadap satuan pendidikan dasar dan menengah termasuk TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat dalam penjaminan mutu pendidikan; dan pelaksanaan urusan administrasi LPMP.

Dalam pengimplementasian tugas pokok dan fungsi tersebut, LPMP sejak tahun 2008 lalu telah menetapkan visi dan misi dari organisasi ini, sebagai salah satu upaya untuk mengoptimalkan pelaksanaan tupoksi.

VISI

Menuju Pencapaian Standar Nasional Pendidikan di Propinsi Riau Melalui Penjaminan Mutu Pendidikan.

MISI

1. Menciptakan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Secara Berkesinambungan

2. Mendorong Terciptanya Peraturan Daerah Mengenai Penjaminan Mutu Pendidikan Pada Tingkat Propinsi/Kabupaten/Kota

3. Mengembangkan Indikator-Indikator Capaian Dalam Memperkuat Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Termasuk Melalui Tim Pengujian LPMP (Examination Team)

4. Melaksanakan Pemetaan, Supervisi, Dan Fasilitasi Peningkatan Mutu Pendidikan Di Propinsi Riau

5. Membangun Partisipasi Masyarakat Serta Pemangku Kepentingan Dalam Pencapaian Mutu Pendidikan


(38)

mencapai 86 orang, yang terdiri atas 75 orang tenaga administrasi dan 11 orang widyaiswara, yang dapat disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 3:2 Sumber Daya Manusia LPMP Riau

Status

Pendidikan

Jumlah

SLTA D3 S1 Pasca

Sarjana

Tenaga

Administrasi 24 2 35 14 75

Widyaiswara - - 2 9 11

Berdasarkan sebaran per subbagian dan seksi yang ada yang di LPMP Provinsi riau, sebagian besar pegawai yang ada dikonsentrasikan pada sub bagian umum. Berdasarkan SK Kepala LPMP Riau no.024/F21/KP/2011, sebaran pegawai LPMP Riau seperti point dibawah :

Tabel 3: 3 Sebaran SDM per Seksi

No Subbagian/seksi Jumlah PJU Total Pegawai

1 Sub Bagian Umum 6 PJU 47

2. Seksi Data 2 PJU 9

3 Seksi PMS 2 PJU 9

4 Seksi FSDP 3 PJU 10

5 Widyaiswara 1 Koordinator 11

Total 86

Selain itu guna mengoptimalkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, LPMP Riau juga memiliki 16 orang tenaga honorer yang tanggungjawab mereka


(39)

dalam pelaksanaan tugas sehari-hari lembaga, di tiap subbagian dan seksi juga dibentuk struktur baru yang disebut Penanggungjawab Urusan yang tugas mereka adalah membantu kepala subbagian atau kepala seksi masing-masing dalam tatanan operasional. Lebih rinci dapat dilihat pada gambar dibawah :

Gambar 3: 2 Struktur Organisasi LPMP Riau

Fasilitas yang dimiliki LPMP Riau berdasarkan informasi dari Penanggungjawab Urusan Rumah Tangga dan Perlengkapan dapat dirinci dalam

Kepala LPMP Riau

Kasi Program dan Sistem Info.

Kasi PMS Kasi FSDP

Kasubbag Umum

PJU

Pengumpulan dan pengolahan

PJU Evaluasi, Peng. dan Pelaporan Data

PJU Pemetaan Mutu Pendidikan

PJU Supervisi Mutu Pendidikan

PJU Peningkatan Kompetensi PTK

PJU Pengelola sumber Daya Pendidikan

PJU

Kepegawaian

PJU Keuangan

PJU Perencanaan

PJU Fasilitasi Pembelajaran dan Evaluasi

PJU

Ketatausahaan dan Pengelola

PJU Rumah Tangga dan Perlengkapan


(40)

Tabel 3:4 Sarana dan Fasilitas LPMP Riau

No Sarana dan Prasarana Fungsi

1 Gedung utama Perkantoran/administrasi

2 Gedung Kantor II Perkantoran WI dan Klinik

3 Kantor III Perkantoran, ruang arsip

4 Ruang Belajar Sultan Syarif Kasim ruang kelas 5 Ruang Belajar Ali Haji ruang kelas

6 Ruang Belajar Hang Tuah ruang kelas

7 Ruang Belajar Hang Jebat ruang kelas

8 Ruang Belajar Tuanku Tambusai ruang kelas dan aula

9 Aula Ki Hajar Dewantara aula

10 Perpustakaan perpustakaan

11 Labor 8 kelas

12 Mess Tamu (2 gedung) Mess Tamu

13 Asrama 4 Unit Penginapan

14 Dapur Dapur

15 Sarana Lap Olahraga 5 jenis

17 Perumahan Pegawai 5 Unit


(41)

(42)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Secara umum, stakeholder hanya memahami akuntabilitas LPMP dalam pelaksanan fungsi fasilitasi, sementara fungsi lainnya mereka tidak memahami sama sekali. Kalau ada yang pernah mengetahui fungsi lain LPMP yang terkait dengan penjaminan mutu pendidikan, itu terkait fungsi supervisi yang dilakukan LPMP Provinsi Riau berkaitan dengan penyaluran program block grant yang disalurkan Kemdiknas melalui LPMP.

Munculnya ketimpangan antara apa yang dipahami stakeholder dengan apa yang dilakukan LPMP Riau, berdasarkan pembahasan yang dilakukan pada BAB IV sebelumnya terkait erat dengan luas wilayah yang menjadi tanggungjawab LPMP Riau, pola pengganggaran yang bersifat sentralistis dan besarnya jumlah PTK dibanding sumber daya yang ada. Pola pengganggaran yang bersifat sentralistis ini berpengaruh negatif terhadap perilaku yang terjadi dalam tatanan pelaksanaan program dan kegiatan. Sehingga yang terjadi adalah mengejar keterpenuhan administrasi dibanding dengan sasaran ideal yang diharapkan melalui program dan kegiatan yang dilangsungkan. Sehingga hubungan langsung antara LPMP dengan jajaran PTK sangat minim.


(43)

Faktor lainnya adalah ketiadaan kewenangan LPMP dalam memberikan tekanan kepada dinas pendidikan untuk menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan. Meski diakui kualitas rekomendasi yang diberikan LPMP sebagai sesuatu yang bagus, namun hampir tidak ada dinas pendidikan yang menindaklanjuti rekomendasi tersebut dalam bentuk aksi kongrit. Sehingga tidak terjadi akselerasi peningkatan mutu pendidikan antara LPMP dengan dinas pendidikan di daerah.

Berdasarkan rumusan penelitian maka disimpulkan sebagai berikut;

1. Stakeholde hanya memahami LPMP sebagai lembaga diklat. Untuk pelaksanaan program dan kegiatan terkait fungsi fasilitasi ini, LPMP dipahami telah melaksanakan secara bermutu, baik dilihat dari aspek relevansi antara materi dengan program dan kegiatan yang dilakukan, serta relevansi antara materi dengan pekerjaan sehari-hari peserta kegiatan, termasuk dalam hal kualitas layanan yang diberikan. Untuk program dan kegiatan yang terkait dengan fungsi-fungsi lainnya LPMP, seperti pemetaan, pendataan dan supervisi serta administrasi, stakeholder di jajaran PTK tidak memahami secara utuh. Hal ini karena secara organisasi tidak ada hubungan langsung antara LPMP dengan stakeholder jajaran PTK. Pemahaman terhadap pelaksanaan kebermutuan program dan kegiatan LPMP cenderung bersifat formal dan kelembagaan baik melalui kunjungan kerja yang dilakukan jajaran pimpinan LPMP ataupun melalui rapat koordinasi dan


(44)

pengakuan akan kebermutuan pelaksanaan program dan kegiatan LPMP sering disampaikan.

2. Stakeholder hanya memahami LPMP telah mengembangkan mekanisme peningkatan kompetensi staf melalui sebatas pada pelaksanan fungsi fasilitasi. Diluar fungsi tersebut mereka tidak mengetahui sama sekali. Argumen yang diberikan sama dengan diatas. Khusus untuk kompetensi staf di bidang pelaksanaan fungsi fasilitasi ini, LPMP dapat dikategorikan telah berpengalaman. Dari sekitar 86 pegawai LPMP, 84 orang diantaranya telah terbiasa dengan kegiatan fasilitasi. Faktor lainnya, dari sisi sebaran sumber daya manusia yang ada di LPMP sebagian besar sumber daya LPMP memang difokuskan untuk mendukung kegiatan fasilitas. Hal lainnya, sarana dan prasarana yang dimiliki LPMP memang relevan untuk mendukung pelaksanaan fungsi ini.

3. Sama dengan argumen sebelumnya, keterbukaan hanya dipahami stakeholder dalam konteks pelaksanan fungsi fasilitasi. Kehadiran panitia di ruang panitia serta kecepatan panitia dalam merespon permintaan peserta diklat dipandang sebagai wujud keterbukaan yang diterapkan LPMP. Namun dalam konteks keterbukaan secara kelembagaan, stakeholder tidak memahami sama sekali. Secara internal LPMP, hal ini juga terkait dengan pendekatan yang dilakukan secara formal melalui rakor yang diadadakan ataupun melalui seminar serta kegiatan lainnya seperti roadshow, jamuan delegasi serta ICT keliling.


(45)

fasilitasi. Buku panduan diklat yang disediakan LPMP dinilai sudah cukup efektif dalam pengembangan saluran komunikasi. Secara kelembagaan LPMP mengaku belum terlalu optimal dalam pengembangan saluran komunikasi ini, terutama melalui saluran komunikasi publik.

5. Pemahaman stakeholder terhadap inovasi yang dilakukan LPMP sebatas kegiatan diklat. Secara kelembagaan stakeholder tidak mengetahui. Argumennya sama dengan yang disampaikan diatas, inovasi tersebut cenderung dalam konteks formal. Selain faktor tersebut, LPMP juga sulit memberdayakan inovasi yang mereka lakukan, karena keterbatasan kewenangan dan dana yang dimilikinya. Padahal LPMP memiliki satu program unggulan yang bisa mendorong pengambilan kebijakan pendidikan berdasarkan data. Namun karena ketiadaan kewenangan, rekomendasi yang disampaikan tersebut hanya sebatas dipuji dan diakui kualitasnya, namun tidak ditindaklanjuti dalam bentuk aksi nyata oleh pemerintahan daerah.

B. Rekomendasi

1. Membangun Saluran Komunikasi

Berdasarkan sejumlah faktor yang disebutkan diatas, berdasarkan pada pendekatan akuntabilitas yang bertujuan untuk mendorong peningkatan partisipasi stakeholder ini, LPMP direkomendasikan membuka atau membangun suatu saluran komunikasi yang efektif kepada stakeholdernya. Karena melalui saluran komunikasi yang efektif ini, LPMP bisa mendorong transpransi dan akuntabilitas


(46)

Melalui pemanfaatan media komunikasi publik baik cetak dan online, LPMP bisa secara langsung berhubungan dengan kalangan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) jauh lebih maksimal. Karena ini akan sangat berperan dalam memotong jalur komunikasi dan birokrasi LPMP kepada PTK yang merupakan salah satu ujung tombak dalam mencapai keterpenuhan standar nasional pendidikan. Bahkan kalau dimanfaatkan secara maksimal, media komunikasi publik dapat diberdayakan sebagai salah satu upaya untuk mendorong munculnya „kelompok penekan‟ terhadap pemerintah daerah agar berbagai rekomendasi dan program kerja yang disampaikan dan dilakukan LPMP dapat lebih dioptimalkan guna percepatan peningkatan pencapaian standar nasional pendidikan dan sekaligus percepatan peningkatan mutu pendidikan di daerah.

Karena informasi yang disampaikan tersebut terkait dengan kualitas dan kinerja LPMP dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Seperti memberikan informasi yang terbuka dan transparan mengenai program dan kegiatan ICMP yang telah dilakukan LPMP provinsi Riau. Dengan demikian, stakeholder dan masyarakat yang peduli pendidikan mengetahui apa penting dan manfaatnya ICMP tersebut bagi pengembangan pendidikan di daerah.

Namun dalam tatanan ideal ini akan memiliki implikasi yang sangat besar bagi organisasi LPMP. Transparansi yang dikembangkan melalui pengembangan saluran komunikasi tersebut menuntut adanya perubahan di tingkat organisasi LPMP, mulai dari peningkatan kompetensi staf hingga perubahan budaya kerja.


(47)

Communicating the results of government programs is an integral part of any performance measurement system. Performance information that is communicated in a simple and straightforward manner has the potential to bring about improvements. (Callahan,2007)

Melalui optimalisasi pengembangan saluran komunikasi ini, LPMP bisa mereduksi sejumlah hambatan regulasi yang telah dipaparkan melalui laporan ini. Karena secara internal LPMP ini akan membawa perubahan dalam tatanan operasional LPMP, dimana setiap orang harus akuntabel bagi lainnya. Hal akan berpengaruh sangat signifikan dalam mendorong munculnya budaya berkualitas dan berorientasi pada hasil.

2. Porsi Anggaran Berimbang

Saran lainnya yang perlu disampaikan adalah memberikan porsi anggaran yang jauh lebih besar bagi LPMP untuk menjalankan program yang dirancang bersama pemerintah daerah, melalui melalui mekanisme dana pendamping. Dengan sejumlah anggaran yang telah dicantumkan dalam DIPA LPMP tersebut hanya bisa direalisasikan kalau LPMP dalam bentuk adanya kerjasama program dan kegiatan dengan pemerintah daerah.

Hal ini akan mendorong LPMP makin optimal menjalankan koordinasi dan sinergi dengan pemerintah daerah, sekaligus mendorong munculnya kreativitas di kalangan internal LPMP untuk merancang program yang relevan dengan kebutuhan daerah dan sejalan dengan prioritas program pendidikan nasional.


(48)

Kependidikan (Dirjen PMPTK) pada tahun 2007 lalu, pemahaman staf LPMP akan regulasi dan kebijakan terkait peraturan perundang-undangan yang ada dinilai cukup tinggi. “Jajaran LPMP Riau telah memiliki pemahaman tinggi terhadap kebijakan Pemerintah Riau dan dapat mengelobarasikan regulasi tersebut dalam penyusunan rencana strategis LPMP.” (Depdiknas 2007,12).


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Arifiyadi,T. (2008). Konsep tentang Akuntabilitas dan Implementasinya di

Indonesia, [online]. Tersedia

http://blogs.depkominfo.go.id/itjen/2008/12/19/ konsep-tentang-akuntabilitas-dan-implementasinya-di-indonesia/, [Tanggal 2-01-2011] Brundrett,M dan Rhodes,C (2011). Leadership for Quality and Accountability In

Education, Leadership for Learning Series, Routledge 2 Park Squaere, Milton Park Oxon, Canada.

Callahan, K. (2007), Elements of Effective Governance-- Measurement, Accountability and Participation,-- Taylor & Francis Group 6000 Broken Sound Parkway NW, Suite 300 Boca Raton, FL 33487-2742

Cambridge Universities Press 2003, Version I.O, Cambridge Advanced Learner Dictionary

Crosby, P.B. (1976), Quality Is Free: The Art of Making Quality Certain, McGraw-Hill, New York, NY.

Irawan,A (2010), Transparansi Dana BOS Rendah [Online]. tersedia di http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/11/09530331/Transparansi.Dana.B OS.Rendah

Instruksi Presiden Nomor 07 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

Kementrian Pendidikan Nasional (2010). Pedoman Pelaksanaan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP), Versi 02.04.2012 Jakarta.

Koslowski III,A,Fred (2006), ”Quality And Assessment In Context: A Brief Review”. Journal Quality Assurance in Education Vol. XIV (3), 2006, 277-288


(50)

Paat F Lodi (2009), Sertifikasi Tidak Menyentuh Peningkatan Kualitas Guru [online), tersedia http://edukasi.kompas.com/read/2009/11/24/19083627 / Sertifikasi.Tidak.Menyentuh.Peningkatan.Kualitas.Guru (26 Mei 2010 pukul 10:32)

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 07 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Poole,B (2010), ”Quality, Semantics And The Two Cultures”. Journal Quality Assurance in Education, XVII, (1), 2010, 6-18

Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan (BPKP), (2007). Akuntabilitas Instansi Pemerintah, Jakarta. Sallis,E. (2008), Total Quality Management In Education-Manajemen Mutu

Pendidikan, IRCiSoD,Jogjakarta.

Satori,D dan Komariah,A (2010), Metodelogi Penelitian Kualitatif (cetakan Ke-2) Alfabeta, Bandung

SK Kepala LPMP Riau, Nomor 024/F21/KP/2011 tentang Penanggungjawab Urusan Pada Subbagian Umum dan Seksi di Lingkungan LPMP Provinsi Riau.

Surapranata, S, Paparan Direktur Bindiklat Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (slide no 22), Hotel Bidakara, 24 Agustus 2010.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendikan Nasional Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Wikipedia (th Not Know), Akuntabilitas [online] tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Akuntabilitas


(1)

fasilitasi. Buku panduan diklat yang disediakan LPMP dinilai sudah cukup efektif dalam pengembangan saluran komunikasi. Secara kelembagaan LPMP mengaku belum terlalu optimal dalam pengembangan saluran komunikasi ini, terutama melalui saluran komunikasi publik.

5. Pemahaman stakeholder terhadap inovasi yang dilakukan LPMP sebatas kegiatan diklat. Secara kelembagaan stakeholder tidak mengetahui. Argumennya sama dengan yang disampaikan diatas, inovasi tersebut cenderung dalam konteks formal. Selain faktor tersebut, LPMP juga sulit memberdayakan inovasi yang mereka lakukan, karena keterbatasan kewenangan dan dana yang dimilikinya. Padahal LPMP memiliki satu program unggulan yang bisa mendorong pengambilan kebijakan pendidikan berdasarkan data. Namun karena ketiadaan kewenangan, rekomendasi yang disampaikan tersebut hanya sebatas dipuji dan diakui kualitasnya, namun tidak ditindaklanjuti dalam bentuk aksi nyata oleh pemerintahan daerah. B. Rekomendasi

1. Membangun Saluran Komunikasi

Berdasarkan sejumlah faktor yang disebutkan diatas, berdasarkan pada pendekatan akuntabilitas yang bertujuan untuk mendorong peningkatan partisipasi stakeholder ini, LPMP direkomendasikan membuka atau membangun suatu saluran komunikasi yang efektif kepada stakeholdernya. Karena melalui saluran komunikasi yang efektif ini, LPMP bisa mendorong transpransi dan akuntabilitas pada pelaksanaan tupoksinya.


(2)

114

Melalui pemanfaatan media komunikasi publik baik cetak dan online, LPMP bisa secara langsung berhubungan dengan kalangan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) jauh lebih maksimal. Karena ini akan sangat berperan dalam memotong jalur komunikasi dan birokrasi LPMP kepada PTK yang merupakan salah satu ujung tombak dalam mencapai keterpenuhan standar nasional pendidikan. Bahkan kalau dimanfaatkan secara maksimal, media komunikasi publik dapat diberdayakan sebagai salah satu upaya untuk mendorong munculnya „kelompok penekan‟ terhadap pemerintah daerah agar berbagai rekomendasi dan program kerja yang disampaikan dan dilakukan LPMP dapat lebih dioptimalkan guna percepatan peningkatan pencapaian standar nasional pendidikan dan sekaligus percepatan peningkatan mutu pendidikan di daerah.

Karena informasi yang disampaikan tersebut terkait dengan kualitas dan kinerja LPMP dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Seperti memberikan informasi yang terbuka dan transparan mengenai program dan kegiatan ICMP yang telah dilakukan LPMP provinsi Riau. Dengan demikian, stakeholder dan masyarakat yang peduli pendidikan mengetahui apa penting dan manfaatnya ICMP tersebut bagi pengembangan pendidikan di daerah.

Namun dalam tatanan ideal ini akan memiliki implikasi yang sangat besar bagi organisasi LPMP. Transparansi yang dikembangkan melalui pengembangan saluran komunikasi tersebut menuntut adanya perubahan di tingkat organisasi LPMP, mulai dari peningkatan kompetensi staf hingga perubahan budaya kerja. Karena stakeholder dan masyarakat juga akan menilai sejauh mana kualitas ICMP tersebut dilakukan.


(3)

Communicating the results of government programs is an integral part of any performance measurement system. Performance information that is communicated in a simple and straightforward manner has the potential to bring about improvements. (Callahan,2007)

Melalui optimalisasi pengembangan saluran komunikasi ini, LPMP bisa mereduksi sejumlah hambatan regulasi yang telah dipaparkan melalui laporan ini. Karena secara internal LPMP ini akan membawa perubahan dalam tatanan operasional LPMP, dimana setiap orang harus akuntabel bagi lainnya. Hal akan berpengaruh sangat signifikan dalam mendorong munculnya budaya berkualitas dan berorientasi pada hasil.

2. Porsi Anggaran Berimbang

Saran lainnya yang perlu disampaikan adalah memberikan porsi anggaran yang jauh lebih besar bagi LPMP untuk menjalankan program yang dirancang bersama pemerintah daerah, melalui melalui mekanisme dana pendamping. Dengan sejumlah anggaran yang telah dicantumkan dalam DIPA LPMP tersebut hanya bisa direalisasikan kalau LPMP dalam bentuk adanya kerjasama program dan kegiatan dengan pemerintah daerah.

Hal ini akan mendorong LPMP makin optimal menjalankan koordinasi dan sinergi dengan pemerintah daerah, sekaligus mendorong munculnya kreativitas di kalangan internal LPMP untuk merancang program yang relevan dengan kebutuhan daerah dan sejalan dengan prioritas program pendidikan nasional.

Berdasarkan hasil dari review kapasitas building LPMP Riau yang dilakukan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga


(4)

116

Kependidikan (Dirjen PMPTK) pada tahun 2007 lalu, pemahaman staf LPMP akan regulasi dan kebijakan terkait peraturan perundang-undangan yang ada dinilai cukup tinggi. “Jajaran LPMP Riau telah memiliki pemahaman tinggi terhadap kebijakan Pemerintah Riau dan dapat mengelobarasikan regulasi tersebut dalam penyusunan rencana strategis LPMP.” (Depdiknas 2007,12).


(5)

117

Roberto Leonardo, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu DAFTAR PUSTAKA

Arifiyadi,T. (2008). Konsep tentang Akuntabilitas dan Implementasinya di

Indonesia, [online]. Tersedia

http://blogs.depkominfo.go.id/itjen/2008/12/19/ konsep-tentang-akuntabilitas-dan-implementasinya-di-indonesia/, [Tanggal 2-01-2011] Brundrett,M dan Rhodes,C (2011). Leadership for Quality and Accountability In

Education, Leadership for Learning Series, Routledge 2 Park Squaere, Milton Park Oxon, Canada.

Callahan, K. (2007), Elements of Effective Governance-- Measurement, Accountability and Participation,-- Taylor & Francis Group 6000 Broken Sound Parkway NW, Suite 300 Boca Raton, FL 33487-2742

Cambridge Universities Press 2003, Version I.O, Cambridge Advanced Learner Dictionary

Crosby, P.B. (1976), Quality Is Free: The Art of Making Quality Certain, McGraw-Hill, New York, NY.

Irawan,A (2010), Transparansi Dana BOS Rendah [Online]. tersedia di http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/11/09530331/Transparansi.Dana.B OS.Rendah

Instruksi Presiden Nomor 07 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

Kementrian Pendidikan Nasional (2010). Pedoman Pelaksanaan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP), Versi 02.04.2012 Jakarta.

Koslowski III,A,Fred (2006), ”Quality And Assessment In Context: A Brief Review”. Journal Quality Assurance in Education Vol. XIV (3), 2006, 277-288

Maleong.Lexy.J. (2010). Metodelogi Penelitian Kualitatif (Edisi revisi), Rosda Bandung.


(6)

118

Paat F Lodi (2009), Sertifikasi Tidak Menyentuh Peningkatan Kualitas Guru [online), tersedia http://edukasi.kompas.com/read/2009/11/24/19083627 / Sertifikasi.Tidak.Menyentuh.Peningkatan.Kualitas.Guru (26 Mei 2010 pukul 10:32)

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 07 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Poole,B (2010), ”Quality, Semantics And The Two Cultures”. Journal Quality Assurance in Education, XVII, (1), 2010, 6-18

Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan (BPKP), (2007). Akuntabilitas Instansi Pemerintah, Jakarta. Sallis,E. (2008), Total Quality Management In Education-Manajemen Mutu

Pendidikan, IRCiSoD,Jogjakarta.

Satori,D dan Komariah,A (2010), Metodelogi Penelitian Kualitatif (cetakan Ke-2) Alfabeta, Bandung

SK Kepala LPMP Riau, Nomor 024/F21/KP/2011 tentang Penanggungjawab Urusan Pada Subbagian Umum dan Seksi di Lingkungan LPMP Provinsi Riau.

Surapranata, S, Paparan Direktur Bindiklat Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (slide no 22), Hotel Bidakara, 24 Agustus 2010.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendikan Nasional Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Wikipedia (th Not Know), Akuntabilitas [online] tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Akuntabilitas