PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SIKLUS BELAJAR (LEARNING CYCLE) 5E UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN GENERALISASI MATEMATIS SISWA SMP: Penelitian Quasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VII di Salah Satu SMP Negeri di Kabupaten Bandung Barat.

(1)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR DIAGRAM ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 10

B.Rumusan Masalah ... 10

C.Batasan Masalah ... 10

D.Tujuan Penelitian ... 10

E. Manfaat Penelitian ... 11

F. Definisi Operasional ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 13

A.Kemampuan Generalisasi Matematis ... 13

B.Model Pembelajaran Siklus Belajar (Learning Cycle) 5E ... 15

C.Hubungan antara Model Pembelajaran Siklus Belajar (Learning Cycle) 5E dengan Kemampuan Generalisasi Matematis ... 21

D.Model Pembelajaran Konvensional ... 23

E. Penelitian yang Relevan ... 25

F. Hipotesis Penelitian ... 27

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

A.Populasi dan Sampel Penelitian ... 29 Halaman


(2)

B.Perangkat Pembelajaran ... 30

C.Instrumen Penelitian ... 35

D.Uji Coba Instrumen ... 39

E. Prosedur Penelitian ... 51

F. Teknik Analisis Data ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 67

A.Hasil Penelitian ... 68

1. Analisis Data Kuantitatif ... 68

2. Analisis Data Kualitatif ... 78

B.Pembahasan Hasil Penelitian ... 94

BAB V PENUTUP ... 99

A.Kesimpulan ... 99

B.Implikasi ... 100

C.Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 102 LAMPIRAN


(3)

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya fakta bahwa kemampuan generalisasi matematis di Indonesia masih tergolong rendah. Kemampuan generalisasi matematis dapat menunjang ketepatan pemahaman konsep dalam membantu siswa berpikir sistematis untuk menemukan kesimpulan dari pembelajaran. Model pembelajaran yang diharapkan dapat menunjang peningkatan kemampuan generalisasi matematis adalah model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E. Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini diberi judul “Penerapan Model Pembelajaran Siklus Belajar (Learning Cycle) 5E

untuk Meningkatkan Kemampuan Generalisasi Matematis Siswa SMP”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan generalisasi matematis antara siswa SMP yang menggunakan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E dan siswa SMP yang menggunakan model pembelajaran konvensional. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan untuk melihat respons siswa terhadap kegiatan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas VII di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Bandung Barat. Pokok bahasan yang dijadikan bahan ajar penelitian adalah materi bangun datar trapesium. Metode penelitian yang dipilih adalah quasi eksperimen dengan teknik analisis data kuantitatif dan kualitatif. Instrumen penelitiannya berupa tes (berupa tes uraian) dan non-tes (berupa angket, lembar observasi, dan jurnal harian siswa). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa SMP yang menggunakan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E lebih tinggi daripada kemampuan generalisasi matematis siswa SMP yang menggunakan model pembelajaran konvensional. Selain itu, kegiatan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E mendapatkan respons positif dari siswa.


(4)

ABSTRACT

The fact shows that the mathematical generalization skills in Indonesia is weak. The mathematical generalization skills can increase the comprehension concept appropriate that can help the students have systematically thinking to inquire the conclusion of learning. Model of learning that wished can support mathematical generalization skills is learning cycle 5E models. In order of that, the title of this research is “Implementation of Learning Cycle 5E Models to Increase Mathematical Generalization Skills for Junior High School”. The purpose of this research is to know increased differentiation of mathematical generalization skills between the students of junior high school who using learning cycle 5E models and the students of junior high school who using conventional learning models. Beside that, this research is also to show student responses of mathematic learning which using learning cycle 5E models. This research applied for seventh grade in one of junior high school at West Bandung Regency. Subject matter of this research is about trapezoid. This research used quasi experiment method with quantitative and qualitative analysist. Instrument of this research are test instrument (such as essay test) and non-test instrument (such as quisioner, observation sheet, and student daily journals). The result of this research showed that the mathematical generalization skills of students in junior high school which using learning cycle 5E models has higher increased than the mathematical generalization skills of students in junior high school which using conventional learning model. Beside that, mathematic learning which using learning cycle 5E models get positive responses from students.


(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saat ini, kemampuan bersaing dalam dunia pendidikan sangat diutamakan sebagai tolok ukur perkembangan negara-negara maju. Persaingan yang sportif dalam pendidikan sangat penting dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan masing-masing negara yang bersangkutan dalam rangka mempererat hubungan yang dijalin negara-negara tersebut, khususnya dalam bidang pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan dapat ditempuh dengan cara memberikan kesempatan bagi anak-anak agar mendapatkan pendidikan yang layak sebagai generasi penerus bangsa. Pendidikan yang diberikan memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) agar dapat memanfaatkan dan mengolah Sumber Daya Alam (SDA) yang tersedia. Menurut Tirtarahardja (Bramapurnama, 2011: 1), pendidikan menduduki posisi sentral dalam pembangunan karena sasaran pendidikan adalah peningkatan kualitas SDM. Hal ini sejalan dengan pendapat Gaffar (Larasati, 2011: 1) bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibina dan dikembangkan melalui proses pendidikan. Dengan tingginya jenjang pendidikan yang ditempuh, maka diharapkan kualitas dan produktivitas masyarakat akan meningkat dalam memecahkan berbagai macam persoalan yang timbul di masyarakat, khususnya permasalahan di bidang pendidikan.

Perkembangan zaman di era globalisasi saat ini menuntut manusia untuk berpikir kritis dan praktis dalam memenuhi semua kebutuhan, termasuk kebutuhan belajar yang sangat berkaitan dengan dunia pendidikan. Kebutuhan belajar sangat penting disosialisasikan kepada siswa dalam rangka menanamkan sikap tanggap untuk menerima dan memahami materi pelajaran yang diberikan di lembaga pendidikan seperti sekolah. Sikap tanggap tersebut dapat ditanamkan pada diri siswa, apabila kesadaran siswa dalam menggali


(6)

kemampuan berpikir dan bernalar terus ditingkatkan untuk menunjang ketepatan pemahaman konsep dalam proses belajar. Dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan untuk terus belajar, maka rasa ingin tahu pun akan selalu timbul dalam diri siswa. Rasa ingin tahu yang besar dalam diri siswa akan merangsangnya untuk berpartisipasi aktif dalam memecahkan berbagai macam persoalan yang timbul, salah satunya persoalan dalam mata pelajaran matematika.

Menurut Departemen Pendidikan dan Budaya (Anggraeni, 2012: 2), tujuan pendidikan matematika bagi pendidikan dasar dan menengah adalah mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan kedalam kehidupan dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif, dan efisien, serta mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Untuk membantu menciptakan tujuan pendidikan matematika tersebut, maka siswa sebagai generasi penerus bangsa dengan pendidikan yang diperolehnya di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah diharapkan dapat mempelajari mata pelajaran matematika dengan baik dan bersungguh-sungguh.

Dalam proses pemecahan masalah pada mata pelajaran matematika dibutuhkan ketepatan pemahaman konsep terhadap materi-materi yang diberikan. Pemahaman konsep yang tepat tersebut akan menunjang tercapainya kompetensi pemahaman terhadap materi selanjutnya. Sebaliknya, pemahaman konsep yang rendah akan menghambat siswa untuk memahami konsep pada materi selanjutnya. Permasalahan yang sering timbul saat ini mengenai pemahaman konsep adalah penyampaian materi oleh guru yang tidak sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai pada kegiatan pembelajaran serta rendahnya kesadaran guru dalam memberikan bimbingan kepada siswa, baik di dalam kelas maupun di luar kelas mengenai mata pelajaran yang bersangkutan. Banyak guru yang menganggap tugasnya sebagai guru hanya cukup menyampaikan materi di dalam kelas dan tidak


(7)

bertanggungjawab apabila siswa tersebut tidak memahami materi yang telah dijelaskan dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Akibatnya, kondisi pembelajaran di dalam kelas kurang menyenangkan karena tidak terjalinnya komunikasi dua arah antara guru dan siswa tentang mata pelajaran yang bersangkutan. Pembelajaran yang kurang menyenangkan pun akan ikut mempengaruhi ketepatan siswa dalam memahami konsep yang telah diberikan dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Pemahaman konsep yang tidak tepat akan berdampak negatif pada prestasi belajar siswa yang nantinya akan berakibat buruk pula pada pandangan siswa terhadap mata pelajaran terkait, dalam hal ini adalah mata pelajaran matematika. Russefendi (Larasati, 2011: 4) menyatakan bahwa “Banyak anak yang setelah belajar matematika bagian sederhana pun tidak dapat dipahami, banyak konsep yang dipahami secara keliru, sehingga matematika dianggap sebagai ilmu yang sukar dan ruwet.” Pandangan negatif inilah yang harus dihilangkan dan diganti dengan pandangan positif terhadap mata pelajaran matematika yaitu dengan menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan di dalam kelas. Penciptaan proses pembelajaran yang menyenangkan harus menjadi perhatian bagi guru yang bertugas tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendidik bagi siswa dalam rangka penanaman karakter bangsa yang tidak mudah menyerah dalam menerima mata pelajaran yang dalam pemahaman materinya membutuhkan waktu yang tidak sedikit, salah satunya adalah mata pelajaran matematika.

Menurut Gagne (Anggraeni, 2012: 1), pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang sengaja diciptakan dengan maksud untuk memudahkan terjadinya proses belajar. Proses pembelajaran yang menyenangkan akan membantu guru untuk menanamkan sikap senang pada mata pelajaran yang diajarkan. Proses pembelajaran yang dilakukan harus efektif dengan tujuan membantu siswa dalam proses berpikir untuk memahami materi yang diberikan oleh guru di dalam kelas. Penyampaian materi itulah yang menentukan kepekaan siswa dalam menyerap dan menuangkan ide-ide yang didapat dari materi yang telah diberikan kedalam bentuk pemahaman yang


(8)

sesuai dengan apa yang telah siswa mengerti, tentunya dengan bimbingan yang secara bertahap dilakukan oleh guru. Pemberian bimbingan terhadap siswa akan membantu siswa untuk menggunakan konsep-konsep matematika yang telah dipelajari sebelumnya sebagai prasyarat untuk melanjutkan materi berikutnya. Menurut Effendi (2009), pembelajaran matematika yang dirumuskan oleh National Council of Teachers of Mathematics atau NCTM (2000) menggariskan bahwa siswa harus mempelajari matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Dalam hal ini, siswa dituntut untuk mengingat kembali konsep matematika pada materi yang telah ia pelajari dan membuat kesimpulan akan materi-materi yang telah dimengerti menurut pemikiran siswa, dengan tujuan siswa dapat mengkonstruksi pemahamannya sendiri.

Kemampuan yang dibutuhkan siswa dalam memahami konsep matematika adalah kemampuan penalaran. Depdiknas (Nadia, 2012: 4) menyatakan bahwa “Materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika”. Berdasarkan pendapat tersebut, kemampuan penalaran dan materi matematika saling berkaitan dan menunjang satu sama lain dalam kegiatan pembelajaran matematika.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Dwi, 2012), penalaran didefinisikan sebagai berikut:

a. Cara (perihal) menggunakan nalar; pemikiran atau cara berpikir logis; jangkauan pemikiran.

b. Hal yang mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan dengan perasaan atau pengalaman.

c. Proses mental dengan mengembangkan pikiran dari beberapa fakta atau prinsip.

Suriasumantri (Dwi, 2012) mengemukakan secara singkat bahwa penalaran adalah suatu aktivitas berpikir dalam pengambilan suatu simpulan yang berupa pengetahuan. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa penalaran adalah kemampuan berpikir logis


(9)

menggunakan nalar dengan mengembangkan pikiran berdasarkan fakta atau prinsip yang diperoleh untuk melakukan penarikan kesimpulan yang berupa suatu pengetahuan.

Ada dua jenis penalaran, yaitu penalaran deduktif dan penalaran induktif (Paskah, 2011). Penalaran deduktif adalah penalaran yang dilakukan dengan cara mengamati data yang bersifat umum lalu menuju pada data yang bersifat khusus. Sedangkan, penalaran induktif adalah penalaran yang dilakukan dengan cara mengamati data yang bersifat khusus menuju pada data yang bersifat umum. Data yang bersifat umum ini berupa kesimpulan yang ditarik berdasarkan data yang bersifat khusus sebagai penjelasan dari kesimpulan yang telah diperoleh sebagai pengetahuan baru. Kemampuan penalaran yang diharapkan dapat dimiliki siswa adalah kemampuan penalaran induktif karena dalam penalaran induktif, siswa diberi kesempatan untuk mengamati data-data yang ada dengan cara berpikir masing-masing siswa dengan tujuan untuk memperoleh kesimpulan berdasarkan fakta yang diperoleh dari data-data tersebut. Ada tiga jenis penalaran induktif yaitu generalisasi, analogi, dan hubungan kausalitas (Paskah, 2011). Dari ketiga jenis penalaran induktif tersebut, generalisasi dipilih sebagai kemampuan yang akan ditingkatkan dalam menunjang ketepatan pemahaman konsep pada siswa dalam kegiatan pembelajaran matematika. Ward dan Hardgrove (Nadia, 2012: 5) mengemukakan bahwa salah satu aspek yang penting dalam matematika adalah penalaran induktif generalisasi. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Vinner et al (Nadia, 2012: 6) mengemukakan bahwa kesalahan siswa dalam memahami konsep matematika disebabkan karena penggeneralisasian (penalaran) yang tidak tepat. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, kemampuan generalisasi perlu ditingkatkan agar dapat meminimalisir kesalahan pemahaman konsep dalam mempelajari matematika. Kemampuan generalisasi inilah yang akan membantu siswa dalam menemukan inti dari materi yang disampaikan oleh guru. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Priatna (Nadia, 2012: 6), mengenai kemampuan penalaran dan pemahaman matematika siswa SLTP kelas 3 yaitu


(10)

bahwa kualitas kemampuan penalaran (analogi dan generalisasi) dan pemahaman matematik rendah karena skor masing-masing hanya 49% dan 50% dari skor ideal. Kemudian, Priatna (Nadia, 2012: 6) menyimpulkan berdasarkan hasil penelitiannya bahwa kualitas kemampuan penalaran dan pemahaman matematika siswa SMP di Kota Bandung belum memuaskan. Hal ini didukung pula berdasarkan pengalaman penulis dalam memberikan pembelajaran matematika kepada beberapa siswa kelas VII di Kota Bandung dan kepada siswa kelas VII pada saat kegiatan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di tempat penelitian yaitu di SMP Negeri 2 Lembang. Pada kenyataannya, siswa kelas VII masih mengalami kesulitan dalam penyimpulan materi yang dipelajari karena masih rendahnya kesadaran siswa dalam memahami setiap urutan langkah pengerjaan untuk menemukan suatu kesimpulan mengenai materi yang dijelaskan. Dengan demikian, kemampuan generalisasi ini yang dipilih sebagai kemampuan yang akan ditingkatkan dalam penelitian dengan tujuan agar siswa SMP dapat lebih memahami konsep matematika dengan baik dan siswa dapat dengan mudah menemukan inti dari kegiatan pembelajaran matematika yang dilakukan.

Untuk melakukan proses generalisasi ini, siswa bebas mencari jalan mana yang ditempuh untuk menemukan kesimpulan yang ditarik berdasarkan pemahaman konsep yang telah dimilikinya. Proses untuk menemukan kesimpulan tersebut tidaklah mudah, karena walaupun siswa bebas menentukan jalan untuk menemukan kesimpulan, siswa pun harus kerja keras berpikir dan berkreasi sesuai dengan ide-ide siswa dan data yang telah diberikan sebelumnya oleh guru. Guru juga berperan penting yaitu harus selalu mengawasi siswa dalam proses generalisasi tersebut agar tidak terjadi miskonsepsi yang nantinya akan mempengaruhi pemahaman siswa terhadap materi yang sudah dimengerti.

Model pembelajaran pun berperan penting untuk menunjang keberhasilan proses pembelajaran yang dilakukan guru di dalam kelas. Saat ini, masih sering dijumpai model pembelajaran konvensional yaitu pembelajaran yang belum berpusat pada siswa dan guru sebagai subjek yang


(11)

aktif memegang peranan utama dalam proses pembelajaran yaitu menyampaikan informasi kepada siswa tentang materi pelajaran. Model pembelajaran konvensional dirasakan kurang efektif untuk meningkatkan kemampuan penarikan kesimpulan siswa dalam menemukan pemecahan berbagai persoalan khususnya dalam mata pelajaran matematika. Model pembelajaran yang belum berpusat pada siswa akan menghambat kreativitas siswa dalam mengkonstruksi materi yang telah diterima sesuai dengan apa yang dipahami oleh siswa tersebut. Siswa pun hanya bisa menerima dan mengikuti semua materi yang disampaikan tanpa bisa mengeksplorasi pemahamannya sendiri. Komunikasi antarsiswa untuk saling bertukar pendapat mengenai materi pelajaran yang bersangkutan akan terhambat karena dalam proses pembelajaran dibutuhkan komunikasi antarsiswa agar terjadi penambahan pengetahuan dari siswa satu ke siswa yang lain. Hal ini akan mengakibatkan tidak meratanya pengetahuan yang didapat oleh semua siswa, karena daya serap terhadap materi pelajaran dari setiap siswa tidak sama. Oleh karena itu, diperlukan model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) agar terjalin komunikasi yang baik antara guru dan siswa, serta antara siswa satu dengan siswa yang lain mengenai materi pelajaran yang bersangkutan. Model pembelajaran yang dipilih sesuai dengan pembahasan mengenai penguasaan konsep dalam kemampuan generalisasi adalah model pembelajaran siklus belajar (learning cycle).

Pengertian model siklus belajar (learning cycle) menurut Karplus dan Their (1988) (Fajaroh dan Dasna, 2007) yaitu suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered), yang merupakan rangkaian tahapan-tahapan kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan aktif. Menurut Santoso (Yasin, 2011), model pembelajaran siklus belajar merupakan model pembelajaran yang diawali dengan perencanaan yang matang oleh guru kemudian diikuti dengan pengaksesan, penyelidikan, penjelasan, perincian tentang pengetahuan siswa dan diakhiri dengan pengevaluasian terhadap materi yang diberikan dalam


(12)

proses pembelajaran. Berdasarkan pengertian di atas, model pembelajaran siklus belajar adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa yang berisi rangkaian tahapan-tahapan kegiatan yang diterapkan dalam proses pembelajaran.

Menurut Herron (Bramapurnama, 2011: 9), model siklus belajar (learning cycle) merupakan salah satu strategi mengajar yang menerapkan model konstruktivis. Model siklus belajar (learning cycle) mengacu pada teori belajar konstruktivisme yang mengarahkan siswa agar dapat mengkonstruksi pemahamannya sendiri tentang materi yang diperoleh tentunya dengan bantuan guru dalam pencapaian penyimpulan materi. Teori belajar konstruktivisme adalah teori belajar yang dalam pengaplikasiannya siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai bagi siswa. Hal ini bertujuan agar siswa dapat benar-benar memahami dan menerapkan pengetahuan karena sebelumnya siswa harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya dan berusaha dengan susah payah menggunakan ide-ide untuk menyelesaikan permasalahan dalam pembelajaran yang diberikan di dalam kelas.

Karplus dan Their (Anggraeni, 2012: 21) mengemukakan bahwa model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) pada mulanya terdiri dari tiga tahapan yaitu exploration (mengidentifikasi), invention (menemukan), dan

discovery (penemuan kembali). Ketiga tahapan tersebut mengalami

perkembangan hingga Lawson (Anggraeni, 2012: 21) mengemukakan bahwa ada tiga tahapan dalam model pembelajaran siklus belajar yang kemudian istilahnya diganti dengan exploration (menjelajahi), concept introduction (pengenalan konsep) dan concept application (aplikasi konsep). Walaupun istilah yang digunakan untuk ketiga tahapan ini berbeda, akan tetapi tujuan dan proses pembelajarannya masih tetap sama. Model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) tersebut selanjutnya dikembangkan dan dirinci lagi oleh Rodger Bybee (Anggraeni, 2012: 22) menjadi lima tahapan yang dikenal


(13)

dengan sebutan model 5E yaitu engagement (mengikutsertakan), exploration (menyelidiki), explanation (menjelaskan), elaboration (memperluas), dan

evaluation (evaluasi). Einskraft (Bramapurnama, 2011: 13) mengembangkan

model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E menjadi model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 7E. Perkembangan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E menjadi 7E, yaitu tahapan

engagement berkembang menjadi dua tahapan yaitu elicit dan engage,

demikian juga pada tahapan elaboration dan evaluation berkembang menjadi tiga tahapan, yaitu elaborate, evaluate dan extend. Sehingga, ketujuh tahapan dalam model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 7E terdiri atas tahapan elicit, engage, explore, explain, elaborate, evaluate dan extend.

Model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) yang dipilih dalam penelitian ini adalah model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E karena pada kelima tahapan tersebut tahapan-tahapan pembelajarannya sudah cukup menunjang ketepatan pemahaman konsep untuk meningkatkan kemampuan generalisasi matematis siswa. Model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E diharapkan tepat untuk diterapkan dalam mempelajari materi yang banyak melibatkan konsep dan perhitungan yang sistematis. Penerapan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E akan menjadikan siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Setiap tahapan pada model pembelajaran ini saling berkaitan sehingga dapat mempermudah siswa dalam memahami setiap materi yang diberikan dan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan generalisasi siswa dengan rangkaian kegiatan pembelajaran yang dilakukan berdasarkan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Penerapan Model Pembelajaran Siklus Belajar (Learning

Cycle) 5E untuk Meningkatkan Kemampuan Generalisasi Matematis Siswa


(14)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di muka, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa SMP yang menggunakan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E lebih tinggi daripada kemampuan generalisasi matematis siswa SMP yang menggunakan model pembelajaran konvensional?

2. Bagaimana respons siswa terhadap kegiatan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E?

C. Batasan Masalah

Agar permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini tidak meluas, maka masalah dalam penelitian ini perlu dibatasi yaitu:

1. Subjek populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 2 Lembang Kabupaten Bandung Barat tahun ajaran 2012/ 2013. 2. Topik yang diteliti adalah bangun datar segiempat dengan fokus materi

bangun datar trapesium.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa SMP yang menggunakan model pembelajaran siklus belajar (learning

cycle) 5E lebih tinggi daripada kemampuan generalisasi matematis siswa

SMP yang menggunakan model pembelajaran konvensional.

2. Mengetahui respons siswa terhadap kegiatan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E.


(15)

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan masukan bagi berbagai pihak, yaitu:

1. Bagi Siswa

Manfaat penelitian ini bagi siswa yaitu agar siswa dapat lebih termotivasi dan aktif berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran matematika serta untuk meningkatkan kemampuan generalisasi siswa pada mata pelajaran matematika melalui penerapan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E.

2. Bagi Guru

Manfaat penelitian ini bagi guru yaitu memberikan informasi tentang penerapan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E untuk meningkatkan kemampuan generalisasi matematis siswa.

3. Bagi Sekolah

Manfaat penelitian ini bagi sekolah yaitu sebagai wawasan dan pengetahuan bagi warga sekolah dalam mengenal model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E dan sebagai sarana untuk bertukar pendapat antar warga sekolah dalam memberikan kritik dan sarannya tentang pelaksanaan kegiatan pembelajaran matematika.

F. Definisi Operasional

1. Kemampuan Generalisasi Matematis

Kemampuan generalisasi matematis adalah kemampuan siswa dalam proses penarikan kesimpulan dengan memeriksa keadaan khusus menuju kesimpulan umum yang mencakup pengamatan contoh-contoh khusus dan menemukan pola atau aturan yang umum dengan menggunakan prosedur matematis yang benar dan tepat. Kemampuan dalam proses generalisasi tersebut terbagi kedalam empat tahapan, yaitu mempersepsi/ mengenal sebuah aturan/ pola (perception of generality), menguraikan sebuah aturan/ pola (expression of generality), memformulasikan keumuman


(16)

secara simbolis (symbolic expression of generality), dan menerapkan aturan/ pola umum pada permasalahan (manipulation of generality).

2. Model Pembelajaran Siklus Belajar (Learning Cycle) 5E

Model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E adalah model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) yang pelaksanaannya berisi tahapan-tahapan kegiatan (fase) yaitu engagement,

exploration, explanation, elaboration, dan evaluation yang dirancang

sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan cara berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran.

3. Model Pembelajaran Konvensional

Model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) dengan guru sebagai subjek yang aktif dan memegang peranan utama untuk menyampaikan informasi kepada siswa dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas.


(17)

BAB III

METODE PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya, penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah pembelajaran dengan model siklus belajar (learning cycle) 5E dapat meningkatkan kemampuan generalisasi matematis siswa lebih tinggi daripada pembelajaran dengan model konvensional. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui penerapan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E dalam upaya peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa SMP. Metode penelitian yang dilakukan berupa quasi eksperimen yaitu penelitian yang dilakukan dengan melihat hubungan sebab akibat. Perlakuan dilakukan terhadap variabel bebas dan hasilnya dapat dilihat pada variabel terikat. Pada penelitian quasi eksperimen ini, sampel penelitian yang akan dibandingkan sudah ada, sehingga peneliti dapat langsung mengambil beberapa kelompok untuk dijadikan sampel penelitian (Ruseffendi, 2005: 35-36).

Berdasarkan metode yang dipilih, maka penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan sebab akibat antara pembelajaran menggunakan model siklus belajar (learning cycle) 5E dengan kemampuan generalisasi matematis siswa SMP. Ada dua buah variabel pada penelitian ini, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E dan variabel terikat dalam penelitian ini yaitu kemampuan generalisasi matematis siswa SMP.

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kelompok kontrol non-ekivalen (nonequivalent control group design) (Ruseffendi, 2005: 52-53). Desain penelitian tersebut digambarkan sebagai berikut:

O X O

O

O


(18)

Keterangan :

O : Pretest dan Posttest tentang materi bangun datar trapesium.

X : Pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E.

A. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 2 Lembang Kabupaten Bandung Barat tahun ajaran 2012/ 2013. Populasi ini dipilih dengan mempertimbangkan bahwa siswa kelas VII berada pada tahapan perkembangan kognitif operasional formal yang menurut Piaget (Komalasari, 2003: 20) yaitu anak pada kisaran umur 12 sampai 18 tahun mampu berpikir abstrak dan logis, melakukan penarikan kesimpulan, menafsirkan, dan mengembangkan hipotesis. Salah satu kemampuan yang dimiliki siswa pada tahapan operasional formal ini adalah kemampuan dalam melakukan penarikan kesimpulan yang ditunjang dengan cara berfikir secara prosedural yang tahapan-tahapan pembelajaran materinya disusun secara sistematis agar dapat dimengerti bagaimana awal mulanya penjelasan materi pelajaran, penyelesaian dari masalah yang berhubungan dengan materi pelajaran hingga proses penarikan kesimpulan mengenai materi pelajaran yang diberikan di dalam kelas. Dengan mempertimbangkan alasan tersebut, maka kemampuan generalisasi siswa berpotensi untuk ditingkatkan.

Pada penelitian ini, kelas-kelas yang dibandingkan sudah ada dengan tidak merubah kelas-kelas yang sudah terbentuk dan masing-masing kelas memiliki kemampuan serupa, sehingga peneliti langsung mengambil dua kelas dari sembilan kelas secara acak untuk dijadikan sampel penelitian. Sehingga, terambil dua kelas yaitu kelas VII D dan VII E. Kedua kelas tersebut terdiri dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen yang dimaksud pada penelitian ini adalah kelas yang mendapatkan pembelajaran dengan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E, yaitu kelas VII D. Sedangkan kelas kontrol adalah kelas yang mendapatkan pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional yaitu kelas VII E.


(19)

B. Perangkat Pembelajaran

1. Silabus

Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan atau kelompok mata pelajaran atau tema tertentu yang terdiri dari standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, proses penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar (Suryantoro, 2011). Silabus dibuat dan disusun oleh setiap guru dari masing-masing mata pelajaran yang berisi penjabaran dari beberapa standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ingin dicapai pada setiap bab dalam tiap semester pembelajaran.

Menurut Budianto (2011), silabus disusun berdasarkan Standar Isi, yang di dalamnya berisikan Identitas Mata Pelajaran, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), Indikator, Materi Pokok, Kegiatan Pembelajaran, Alokasi Waktu, Sumber Belajar, dan Penilaian. Dengan demikian, silabus pada dasarnya menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Kompetensi apa saja yang harus dicapai siswa sesuai dengan yang dirumuskan oleh Standar Isi (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar).

2. Materi pokok apa sajakah yang perlu dibahas dan dipelajari peserta didik untuk mencapai Standar Isi.

3. Kegiatan pembelajaran yang bagaimanakah yang seharusnya diskenariokan oleh guru sehingga peserta didik mampu berinteraksi dengan objek belajar.

4. Indikator apa sajakah yang harus ditentukan untuk mencapai Standar Isi.

5. Bagaimanakah cara mengetahui ketercapaian kompetensi berdasarkan indikator sebagai acuan dalam menentukan jenis dan aspek yang akan dinilai.

6. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai Standar Isi tertentu.

7. Sumber belajar apa sajakah yang dapat diberdayakan untuk mencapai Standar Isi tertentu.


(20)

Menurut Budianto (2011), ada beberapa prinsip pengembangan silabus yaitu sebagai berikut:

1. Ilmiah

Keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

2. Relevan

Cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spiritual peserta didik.

3. Sistematis

Komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi.

4. Konsisten

Ada hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi dasar, indikator, materi pokok, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan sistem penilaian.

5. Memadai

Cakupan indikator, materi pokok, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi dasar.

6. Aktual dan Kontekstual

Cakupan indikator, materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi.

7. Fleksibel

Keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi variasi peserta didik, pendidikan, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan tuntutan masyarakat. Sementara itu, materi ajar ditentukan berdasarkan dan atau memperhatikan kultur daerah masing-masing. Hal ini dimaksudkan agar kehidupan peserta didik tidak tercabut dari lingkungannya.

8. Menyeluruh

Komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif, afektif, psikomotor).

9. Desentralistik

Pengembangan silabus ini bersifat desentralistik. Maksudnya bahwa kewenangan pengembangan silabus bergantung pada daerah masing-masing, atau bahkan sekolah masing-masing. Silabus yang disusun pada penelitian ini ditujukan untuk kedua kelas penelitian, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol yang mengarah pada


(21)

model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E dan model pembelajaran konvensional.

2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam Standar Isi dan telah dijabarkan dalam silabus (Suryantoro, 2011). RPP dibuat dan disusun oleh setiap guru dari masing-masing mata pelajaran yang disesuaikan dengan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang ingin dicapai pada setiap pertemuan pembelajaran.

Menurut Yunanta (2011), RPP mencakup tiga bagian, yaitu:

a. Identifikasi kebutuhan, bertujuan untuk melibatkan dan memotivasi peserta didik agar kegiatan belajar dirasakan oleh mereka sebagai bagian dari kehidupannya dan mereka merasa memilikinya.

b. Perumusan kompetensi dasar, bertujuan agar kompetensi yang harus dipelajari dan dimiliki peserta didik dapat dinilai dan agar peserta didik mengetahui tujuan belajar, dan tingkat-tingkat penguasaan yang akan digunakan sebagai kriteria pencapaian secara eksplisit. Dalam pembelajaran yang dirancang berdasarkan kompetensi, penilaian tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan yang bersifat subyektif.

c. Penyusunan program pembelajaran, akan memberikan arah pada suatu program dan membedakannya dengan program lain.

Menurut Asep (2012), sedikitnya terdapat dua fungsi RPP dalam proses pengembangannya. Fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Fungsi perencanaan, yaitu RPP hendaknya dapat mendorong guru lebih siap melakukan kegiatan pembelajaran dengan perencanaan yang matang.

2. Fungsi pelaksanaan, yaitu penyusunan RPP dimaksudkan untuk mengefektifkan proses pembelajaran sesuai dengan apa yang sudah direncanakan.

Menurut Asep (2012), ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam melakukan pengembangan RPP, yaitu:

a. Kompetensi yang dirumuskan dalam RPP harus jelas.

b. RPP harus sederhana dan fleksibel, serta dapat dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran, dan pembentukan kompetensi peserta didik.


(22)

c. Kegiatan yang disusun dan dikembangkan dalam RPP harus menunjang dan sesuai dengan kompetensi dasar yang akan diwujudkan

d. RPP yang dikembangkan harus utuh dan menyeluruh, serta jelas penyampaiannya.

e. Harus ada koordinasi antara komponen pelaksanaan program di sekolah, terutama apabila pembelajaran dilaksanakan secara tim atau dilaksanakan di luar kelas, agar tidak mengganggu jam-jam pelajaran yang lain.

Ada dua RPP yang disusun pada penelitian ini, yaitu RPP untuk kelas eksperimen yang tahapan kegiatan pembelajarannya mengarah pada model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E dan RPP untuk kelas kontrol yang tahapan kegiatan pembelajarannya mengarah pada model pembelajaran konvensional. RPP yang dibuat untuk kelas eksperimen terdiri atas kegiatan awal, inti, dan akhir. Kegiatan awal terdiri atas orientasi dan pengungkapan materi yang akan dipelajari. Kegiatan inti terdiri atas langkah-langkah penerapan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E. Kegiatan akhir yaitu refleksi atau pengulasan kembali materi yang telah dipelajari.

3. Lembar Kegiatan Siswa (LKS)

Menurut Azhar (Yasin, 2011), Lembar Kegiatan Siswa (LKS) merupakan lembar kerja bagi siswa, baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun kokurikuler untuk mempermudah pemahaman terhadap materi pelajaran yang telah diperoleh. Trianto (Andre, 2012) pun menyatakan bahwa Lembar Kegiatan Siswa (LKS) adalah panduan siswa yang digunakan untuk melakukan kegiatan penyelidikan dan pemecahan masalah. Dengan demikian, LKS merupakan lembar kegiatan bagi siswa yang berisi panduan tentang materi yang dipelajari dengan tujuan agar siswa lebih memahami materi yang dipelajari pada saat kegiatan pembelajaran.

LKS merupakan salah satu sarana untuk membantu dan mempermudah kegiatan pembelajaran sehingga akan terbentuk interaksi yang efektif antara siswa dengan guru, serta akan meningkatkan aktivitas siswa dalam peningkatan prestasi belajar. LKS pun termasuk salah satu


(23)

perangkat pembelajaran matematika yang cukup penting dan diharapkan mampu membantu siswa dalam menemukan serta mengembangkan konsep pada mata pelajaran matematika. Penggunaan LKS sebagai alat bantu pengajaran akan dapat mengaktifkan siswa dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Tim Instruktur Pemantapan Kerja Guru (PKG) (Yasin, 2011) yang menyatakan bahwa salah satu cara membuat siswa aktif adalah dengan menggunakan LKS. Jadi, dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa LKS adalah salah satu perangkat pembelajaran yang membantu siswa dalam memahami dan mengembangkan konsep mengenai materi pelajaran dengan tujuan mengaktifkan siswa pada kegiatan pembelajaran di dalam kelas.

Menurut Tim Instruktur PKG (Yasin, 2011), tujuan Lembar Kerja Siswa (LKS), antara lain:

(a) Melatih siswa berfikir lebih mantap dalam kegiatan belajar mengajar.

(b) Memperbaiki minat siswa untuk belajar, misalnya guru membuat LKS lebih sistematis, berwarna serta bergambar untuk menarik perhatian dalam mempelajari LKS tersebut.

Menurut Tim Instruktur PKG (Yasin, 2011), manfaat Lembar Kerja Siswa (LKS), antara lain:

(a) Sebagai alternatif guru untuk mengarahkan pengajaran atau memperkenalkan suatu kegiatan tertentu.

(b) Dapat mempercepat proses belajar mengajar dan hemat waktu mengajar.

(c) Dapat mengoptimalkan alat bantu pengajaran yang terbatas karena siswa dapat menggunakan alat bantu secara bergantian. Berdasarkan Rembuk Nasional (Rembuknas) tahun 2007 (Yasin, 2011), langkah-langkah penulisan LKS adalah sebagai berikut:

(a) Melakukan analisis kurikulum: standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, dan materi pembelajaran,

(b) Menyusun peta kebutuhan LKS, (c) Menentukan judul LKS,

(d) Menulis LKS,


(24)

Rembuknas tahun 2007 (Yasin, 2011) pun menyatakan bahwa struktur LKS secara umum adalah sebagai berikut:

(1) Judul, mata pelajaran, semester, dan tempat (2) Petunjuk belajar

(3) Kompetensi yang akan dicapai (4) Indikator

(5) Informasi pendukung

(6) Tugas-tugas dan langkah-langkah kerja (7) Penilaian

LKS yang disusun pada penelitian ini ditujukan untuk kedua kelas penelitian, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol yang mengarah pada model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E dan model pembelajaran konvensional. Penyusunan LKS disesuaikan dengan kemampuan yang diukur yaitu kemampuan generalisasi matematis yang bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan generalisasi siswa setelah diterapkan kedua model pembelajaran yang berbeda.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang dibuat bertujuan untuk mengetahui kemampuan generalisasi matematis siswa pada masing-masing kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol, serta untuk mengetahui respons siswa terhadap kegiatan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E. Beberapa instrumen yang digunakan untuk memperoleh data selama penelitian adalah sebagai berikut. 1) Instrumen Tes

Penyusunan instrumen tes bertujuan untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap materi pelajaran setelah dilakukannya kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain, instrumen tes tersebut dikenal dengan sebutan evaluasi. Davies (Fuad, 2011) menyatakan bahwa evaluasi merupakan proses untuk memberikan atau menetapkan nilai kepada sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, orang, maupun objek. Menurut Wand dan Brown (Fuad, 2011), evaluasi merupakan suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Sudjana (Fuad, 2011) pun


(25)

menyatakan bahwa pengertian evaluasi sebagai proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu. Norman E. Gronlund (Suherman dan Kusumah, 1990: 1) menyatakan bahwa “evaluation may be defined as a systematic process of determining the extent to which instructional objectives are achieved by pupils.”

Evaluasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses sistematik dalam menentukan tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh siswa. Edwin Wand dan Gerald W. Brown (Suherman dan Kusumah, 1990: 2) pun menyatakan bahwa “…evaluation refer to the act or process to determining the value of something…”. Evaluasi berkenaan dengan

kegiatan atau proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.

Evaluasi dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan melalui soal pilihan ganda maupun soal uraian. Penyajian soal berbentuk pilihan ganda hanya dapat menunjukkan kemampuan siswa secara singkat. Dalam hal ini, siswa bisa saja tidak memahami materi yang diujikan, hanya mencoba keberuntungan dalam menjawab soal pilihan ganda tersebut. Penyajian dalam bentuk pilihan ganda pun tidak mampu mengidentifikasi kesalahpahaman konsep yang siswa miliki, jika terjadi kesalahan dalam menjawab soal tersebut. Sedangkan penyajian dalam soal uraian dapat menunjukkan sejauhmana kemampuan siswa dalam menyusun jawaban dengan sistematika yang benar dan tepat. Hal ini bertujuan agar kesalahan pengerjaan soal dapat diketahui dan dapat diperbaiki pada evaluasi berikutnya.

Kaidah-kaidah penyusunan soal uraian (Saleh, 2011) antara lain: 1. Soal yang dibuat disesuaikan dengan indikator,

2. Batasan pertanyaan dan jawaban yang diharapkan sudah sesuai, 3. Materi yang ditanyakan sesuai dengan tujuan pengukuran dan

target pencapaian,

4. Isi materi yang ditanyakan sesuai dengan jenjang jenis sekolah atau tingkat kelas,

5. Menggunakan kata tanya atau perintah yang menuntut jawaban dalam bentuk uraian,

6. Terdapat petunjuk yang jelas tentang cara pengerjaan soal, 7. Terdapat pedoman penskoran yang jelas,


(26)

8. Tabel, gambar, grafik, peta, atau yang sejenisnya disajikan dengan jelas dan terbaca,

9. Rumusan kalimat pada soal bersifat komunikatif,

10. Pertanyaan pada butir soal menggunakan bahasa Indonesia yang baik, benar, dan baku,

11. Tidak menggunakan kata/ ungkapan yang menimbulkan penafsiran ganda atau salah pengertian (ambigu),

12. Tidak menggunakan bahasa yang berlaku setempat/ tabu,

13. Rumusan soal tidak mengandung kata atau ungkapan yang dapat menyinggung perasaan siswa.

Adapun kriteria pemberian skor untuk instrumen tes yang mengarah pada kemampuan generalisasi matematis yang berpedoman pada rubrik penskoran kemampuan generalisasi matematis dengan mengadopsi kriteria penilaian penalaran matematis dari holistic scoring rubrics (Cai, Lane dan Jakabcsin, dalam Maarif: 2012). Alasan mengadopsi kriteria penilaian penalaran adalah yaitu karena kemampuan generalisasi merupakan bagian dari kemampuan penalaran induktif. Kaidah pemberian skor kemampuan generalisasi matematis dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.1

Kaidah Pemberian Skor Kemampuan Generalisasi Matematis

Skor Kriteria

4 Dapat menjawab semua aspek pertanyaan tentang generalisasi dan dijawab dengan benar dan jelas atau lengkap

3 Dapat menjawab hampir semua aspek pertanyaan tentang generalisasi dan dijawab dengan benar

2 Dapat menjawab hanya sebagian aspek pertanyaan tentang generalisasi dan dijawab dengan benar

1 Menjawab tidak sesuai atas aspek pertanyaan tentang generalisasi atau menarik kesimpulan salah

0 Tidak ada jawaban

Instrumen tes yang dibuat berupa tes tulis tipe uraian yang diberikan pada awal dan akhir pembelajaran matematika di dua kelas berbeda dengan masing-masing model pembelajaran yang berbeda yaitu model siklus belajar (learning cycle) 5E dan model konvensional. Tes awal sebelum penerapan model pembelajaran disebut pretest dan tes akhir setelah penerapan model pembelajaran disebut posttest. Soal yang dibuat ditujukan untuk mengetahui kemampuan generalisasi matematis siswa.


(27)

2) Lembar Observasi

Lembar observasi adalah lembaran yang berisi berbagai macam pernyataan yang mengarah pada seluruh kegiatan yang dilakukan oleh guru dan siswa pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Lembar observasi dipakai untuk mengamati aktivitas guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran sehingga pelaksanaan observasi terarah pada aspek yang direncanakan sebelumnya. Peristiwa pembelajaran yang dapat diobservasi pada penelitian ini, diantaranya adalah proses-proses pembelajaran yang disesuaikan dengan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E yang mendukung terhadap peningkatan kemampuan generalisasi matematis pada siswa.

Menurut Suherman dan Kusumah (1990: 76), data yang diisikan pada lembar observasi ini bersifat relatif karena dapat dipengaruhi oleh keadaan dan subjektivitas pengamat (observer). Pada penelitian ini, lembar observasi diisi oleh observer diluar peneliti dan diisi ketika kegiatan pembelajaran berlangsung untuk mengetahui kesesuaian pembelajaran dengan rancangan pembelajaran yang telah direncanakan.

3) Angket

Menurut Suherman dan Kusumah (1990: 70), angket adalah sebuah daftar pertanyaan atau pernyataan yang harus dijawab oleh orang yang akan dievaluasi (responden). Angket memiliki fungsi sebagai alat pengumpul data yang berupa keadaan atau data diri, pengalaman, pengetahuan, sikap, maupun pendapat mengenai suatu hal. Angket merupakan bagian dari instrumen non-tes yang digunakan untuk mengukur sikap serta tanggapan siswa terhadap model pembelajaran yang digunakan. Pengisian angket pada penelitian kali ini dilakukan pada saat akhir penelitian yaitu setelah siswa melakukan posttest yang dilakukan pada hari yang sama dengan pelaksanaan posttest. Angket yang dibuat adalah angket tertutup yang disusun untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E dimana perhitungannya menggunakan skala Likert.


(28)

4) Jurnal Harian Siswa

Jurnal adalah karangan siswa tentang pelaksanaan pembelajaran yang diikutinya. Karangan ini sifatnya subjektif yang berisi tentang gambaran mengenai pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas, kesan dan pesan siswa kepada guru. Jurnal dapat dipergunakan untuk mengoreksi dan merevisi pelaksanaan pembelajaran, sehingga kualitas proses dan hasil pembelajaran dapat ditingkatkan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Pada penelitian ini, jurnal diberikan pada siswa diakhir setiap pertemuan setelah dilaksanakan pembelajaran matematika menggunakan model siklus belajar (learning cycle) 5E.

D. Uji Coba Instrumen

Pelaksanaan uji coba instrumen dilakukan pada tanggal 10 Mei 2013 di kelas VIII C SMP Negeri 2 Lembang. Instrumen yang diujicobakan berupa soal uraian yang terdiri dari delapan butir soal, dengan rincian 1.a, 1.b, 1.c, 1.d, 2.a, 2.b, 2.c, dan 2.d. Instrumen tersebut digunakan sebagai alat evaluasi untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap materi bangun datar trapesium.

Menurut Suherman dan Kusumah (1990: 134), untuk mendapatkan hasil evaluasi yang baik diperlukan alat evaluasi yang kualitasnya baik pula. Untuk mendapatkan hasil evaluasi yang kualitasnya baik perlu diperhatikan beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Alat evaluasi yang baik perlu ditinjau dari hal-hal berikut.

1) Validitas Butir Soal

Menurut Suherman dan Kusumah (1990: 135), suatu alat evaluasi disebut valid (absah atau sahih), apabila alat tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi. Oleh karena itu, keabsahannya bergantung pada sejauh mana ketepatan alat evaluasi itu dalam melaksanakan fungsinya. Dengan demikian, suatu alat evaluasi disebut valid, jika ia dapat mengevaluasi dengan tepat sesuatu yang dievaluasi itu. Validitas butir soal dari suatu tes dapat diketahui dengan menggunakan rumus kolerasi produk momen memakai angka kasar (raw score). Besarnya


(29)

koefisien kolerasi tersebut dapat diperoleh dengan rumus (Suherman dan Kusumah, 1990: 154):

r = N ∑ XY − ∑ X ∑ Y

√ N ∑ X − ∑ X N ∑ Y − ∑ Y

Keterangan:

rxy = koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y X = skor total tiap butir soal

Y = skor total tiap siswa N = banyak subyek

Nilai (r ) diartikan sebagai koefisien validitas sehingga kriteria validitasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini (Suherman dan Kusumah, 1990: 147).

Tabel 3.2

Interpretasi Validitas Butir Soal

Nilai rxy Kriteria

0,80 < rxy 1,00 Sangat Tinggi 0,60 < rxy 0,80 Tinggi 0,40 < rxy 0,60 Sedang 0,20 < rxy 0,40 Rendah 0,00 < rxy 0,20 Sangat Rendah rxy 0,00 Tidak Valid

Untuk memudahkan perhitungan, maka perhitungan koefisien validitas dilakukan menggunakan program ANATESV4. Hasil analisis uji validitas tiap butir soal dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut.

Tabel 3.3

Hasil Analisis Uji Validitas Tiap Butir Soal Butir Soal Koefisien Validitas Kriteria

1.a 0,595 Sedang

1.b 0,657 Tinggi

1.c 0,753 Tinggi

1.d 0,797 Tinggi

2.a 0,126 Sangat Rendah

2.b 0,584 Sedang

2.c 0,462 Sedang


(30)

Data hasil analisis uji validitas tiap butir soal selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran C.5. Setelah nilai validitas tiap butir soal diperoleh, kemudian harus dilakukan uji keberartian terhadap tiap butir soal tersebut untuk menguji apakah soal-soal yang akan digunakan dalam instrumen penelitian berarti atau tidak.

Perumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut: H0 : Validitas tiap butir soal tidak berarti

H1 : Validitas tiap butir soal berarti

Statistik uji yang digunakan (Sudjana, 2005: 380): t = √ −

√ − 2

dengan kriteria pengujian:

H0 diterima, jika  t(1 /2); (n  2) < t < t(1 /2); (n  2). Keterangan :

t = statistik uji keberartian butir soal r = validitas butir soal

n = banyak subyek

 = taraf nyata

Hasil analisis uji keberartian butir soal dapat dilihat pada penjelasan berikut ini:

Untuk butir soal nomor 1.a, perumusan hipotesisnya sebagai berikut. H0 : Butir soal nomor 1.a tidak berarti

H1 : Butir soal nomor 1.a berarti Statistik Uji:

t = ,595√ 9−

√ − ,5952 = 3,846 Kriteria Pengujian:

Dengan mengambil taraf nyata  = 5%, maka dari Tabel Distribusi t diperoleh t0,975;27 = 2,05. Karena pada penghitungan keberartian butir soal nomor 1.a diperoleh t = 3,846 dan nilai t hasil penghitungan tersebut tidak termasuk kedalam kriteria pengujian  2,05 < t < 2,05, maka H0 ditolak.


(31)

Kesimpulan:

Pada taraf nyata  = 5%, ternyata butir soal nomor 1.a berarti.

Dengan menggunakan cara perhitungan yang sama seperti di atas, maka hasil pengujian keberartian tiap butir soal dapat dilihat pada Tabel 3.4 berikut.

Tabel 3.4

Hasil Analisis Uji Keberartian Tiap Butir Soal

Butir Soal Validitas t (hitung) t (tabel) Kesimpulan

1.a 0,595 3,846 2,05 Berarti

1.b 0,657 4,528 2,05 Berarti

1.c 0,753 5,947 2,05 Berarti

1.d 0,797 6,856 2,05 Berarti

2.a 0,126 0,660 2,05 Tidak Berarti

2.b 0,584 3,738 2,05 Berarti

2.c 0,462 2,707 2,05 Berarti

2.d 0,614 4,043 2,05 Berarti

Data hasil perhitungan uji keberartian selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran C.7.

2) Reliabilitas Tes

Menurut Ruseffendi (Rahmayani, 2011: 31), reliabilitas instrumen atau alat evaluasi adalah ketetapan alat evaluasi dalam mengukur atau ketetapan siswa dalam menjawab alat evaluasi itu. Reliabilitas suatu tes berhubungan dengan kepercayaan suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan tinggi, jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap. Reliabilitas suatu alat ukur atau alat evaluasi dimaksudkan untuk menjadikan alat evaluasi tersebut memberikan hasil yang relatif sama (konsisten), jika pengukurannya diberikan kepada subyek yang sama meskipun dilakukan oleh orang yang berbeda, waktu yang berbeda, dan tempat yang berbeda pula. Pengukuran tersebut tidak dipengaruhi oleh pelaku, situasi, dan kondisi. Istilah relatif sama dimaksudkan tidak tepat sama, tetapi mengalami perubahan yang tak berarti (tidak signifikan) dan bisa diabaikan. Alat ukur yang reliabilitasnya tinggi disebut alat ukur yang reliabel.


(32)

Nilai reliabilitas dari suatu tes dapat ditentukan dengan menentukan koefisien reliabilitas. Teknik yang digunakan untuk menentukan reliabilitas adalah dengan menggunakan rumus (Suherman dan Kusumah, 1990: 194):

r = n − 1 1 − n ∑ ss i

Keterangan:

r = koefisien reliabilitas perangkat tes n = banyak butir soal (item)

∑ si = jumlah varians skor tiap item s = varians skor total

Dengan rumus varians:

Si = ∑ Xi − ∑ X i n n

Keterangan:

Si2 = varians skor tiap item N = banyak subyek

∑ Xi = jumlah kuadrat skor tiap item

∑ Xi = kuadrat jumlah skor tiap item

Guilford (Suherman dan Kusumah, 1990: 177) menyatakan bahwa kriteria untuk menginterpretasikan koefisien reliabilitas adalah sebagai berikut.

Tabel 3.5

Interpretasi Reliabilitas 11

r Kriteria

0,80 < r11  1,00 Sangat Tinggi 0,60 < r11  0,80 Tinggi 0,40 < r11  0,60 Cukup 0,20 < r11  0,40 Rendah r11  0,20 Sangat Rendah

Dengan menggunakan program ANATESV4 diperoleh koefisien reliabilitasnya 0,87. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan soal yang dibuat memiliki koefisien reliabilitas yang termasuk kategori sangat


(33)

tinggi. Data hasil analisis uji reliabilitas butir soal dapat dilihat pada Lampiran C.1.

3) Daya Pembeda

Menurut Arikunto (Yuni, 2011: 46), daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pintar (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang bodoh (berkemampuan rendah). Seluruh peserta yang mengikuti tes dikelompokan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pandai atau kelompok atas (upper group) dan kelompok bawah (lower group). Ada dua kategori kelompok dalam menentukan bagaimana menghitung daya pembeda, yaitu kelompok kecil dan kelompok besar. Untuk kelompok kecil yaitu kelompok yang jumlah peserta tesnya kurang dari atau sama dengan 30 subyek (n  30), seluruh pengikut tes dibagi dua bagian sama besar, 50% kelompok atas dan 50% kelompok bawah. Sedangkan untuk kelompok besar yaitu kelompok yang jumlah peserta tesnya lebih dari 30 subyek (n  30), diambil 27% dari kelompok atas dan 27% dari kelompok bawah. Daya pembeda dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Suherman dan Kusumah, 1990: 201):

DP =J −JJS atau DP =J −J

JS

Keterangan:

DP = daya pembeda satu butir soal tertentu

JBA = jumlah siswa kelompok atas yang menjawab soal dengan benar atau jumlah benar untuk kelompok atas

JBB = jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar atau jumlah benar untuk kelompok bawah

JSA = jumlah siswa kelompok atas (upper group) JSB = jumlah siswa kelompok bawah (lower group)

Untuk menginterpretasikan daya pembeda, dapat dilihat kriteria daya pembeda pada tabel berikut ini (Suherman dan Kusumah, 1990: 202).


(34)

Tabel 3.6

Interpretasi Daya Pembeda Daya Pembeda (DP) Kriteria

DP  0,00 Sangat Jelek 0,00  DP  0,20 Jelek 0,20  DP  0,40 Cukup 0,40  DP  0,70 Baik 0,70  DP  1,00 Baik Sekali

Untuk memudahkan perhitungan, maka perhitungan daya pembeda dilakukan menggunakan program ANATESV4. Hasil analisis uji daya pembeda tiap butir soal dapat dilihat pada Tabel 3.7 berikut.

Tabel 3.7

Hasil Analisis Uji Daya Pembeda Tiap Butir Soal

Butir Soal Daya Pembeda Kriteria

1.a 0,29 Cukup

1.b 0,29 Cukup

1.c 0,10 Jelek

1.d 0,46 Baik

2.a 0,00 Sangat Jelek

2.b 0,06 Jelek

2.c 0,06 Jelek

2.d 0,18 Jelek

Data hasil analisis uji daya pembeda tiap butir soal selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran C.5.

4) Indeks Kesukaran

Suatu instrumen tes atau alat evaluasi dikatakan memiliki indeks kesukaran yang baik, apabila instrumen (soal) yang diujikan tidak terlalu mudah dan tidak pula terlalu sukar. Soal yang terlalu mudah tidak memberikan tantangan kepada siswa dalam menyelesaikan soal tersebut, sedangkan soal yang terlalu sukar pun akan membuat siswa menjadi tidak bersemangat untuk memecahkan soal tersebut.

Derajat kesukaran suatu butir soal dinyatakan dengan bilangan yang disebut indeks kesukaran (difficulty index). Tingkat kesukaran suatu soal dapat dihitung dengan rumus (Suherman dan Kusumah, 1990: 213):


(35)

Keterangan:

IK = Indeks Kesukaran

JBA = Jumlah siswa kelompok atas yang menjawab soal dengan benar atau jumlah benar untuk kelompok atas

JBB = Jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar atau jumlah benar untuk kelompok bawah

JSA = Jumlah siswa kelompok atas (upper group) JSB = Jumlah siswa kelompok bawah (lower group)

Untuk menginterpretasikan indeks kesukaran, dapat dilihat kriteria indeks kesukaran pada tabel berikut ini (Suherman dan Kusumah, 1990: 213).

Tabel 3.8

Interpretasi Indeks Kesukaran Indeks Kesukaran (IK) Kriteria

IK = 0,00 Terlalu Sukar 0,00  IK  0,30 Sukar 0,30  IK  0,70 Sedang 0,70  IK < 1,00 Mudah

IK = 1,00 Terlalu Mudah

Untuk memudahkan perhitungan, maka perhitungan indeks kesukaran dilakukan menggunakan program ANATESV4. Hasil analisis uji indeks kesukaran tiap butir soal dapat dilihat pada Tabel 3.9 berikut.

Tabel 3.9

Hasil Analisis Uji Indeks Kesukaran Tiap Butir Soal Butir Soal Indeks Kesukaran Kriteria

1.a 0,85 Mudah

1.b 0,27 Sukar

1.c 0,22 Sukar

1.d 0,35 Sedang

2.a 0,88 Mudah

2.b 0,28 Sukar

2.c 0,12 Sukar

2.d 0,26 Sukar

Data hasil analisis uji indeks kesukaran tiap butir soal selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran C.4.


(36)

Adapun hasil rekapitulasi keseluruhan analisis data butir soal hasil uji instumen dapat dilihat pada Tabel 3.10 berikut.

Tabel 3.10

Hasil Rekapitulasi Analisis Data Butir Soal Hasil Uji Instrumen Nomor Soal Validitas Daya Pembeda Indeks Kesukaran

1.a 0,595 0,29 0,85

Keterangan Sedang Cukup Mudah

1.b 0,657 0,29 0,27

Keterangan Tinggi Cukup Sukar

1.c 0,753 0,10 0,22

Keterangan Tinggi Jelek Sukar

1.d 0,797 0,46 0,35

Keterangan Tinggi Baik Sedang

2.a 0,126 0,00 0,88

Keterangan Sangat rendah Sangat Jelek Mudah

2.b 0,584 0,06 0,28

Keterangan Sedang Jelek Sukar

2.c 0,462 0,06 0,12

Keterangan Sedang Jelek Sukar

2.d 0,614 0,18 0,26

Keterangan Tinggi Jelek Sukar

Kesimpulan setiap butir soal hasil perolehan jawaban pada saat uji coba instrumen akan disajikan dalam penjelasan secara deskriptif beserta persentase yang menggambarkan ketercapaian jawaban siswa dengan jawaban ideal yang diinginkan. Persentase yang diperoleh ditafsirkan berdasarkan kriteria yang dikemukakan Hendro (Bramapurnama, 2011: 46) dan disajikan dalam Tabel 3.11 berikut ini.

Tabel 3.11

Kriteria Interpretasi Kategori Persentase

Persentase (p) Interpretasi

p = 0% Tak seorang pun 0% < p < 25% Sebagian kecil 25%  p < 50% Hampir setengahnya

p = 50% Setengahnya 50% < p < 75% Sebagian besar 75%  p < 100% Hampir seluruhnya


(37)

Kesimpulan setiap butir soal hasil perolehan jawaban siswa pada saat uji coba instrumen dijelaskan sebagai berikut:

(1) Pada pengerjaan soal nomor 1.a, siswa yang dapat mengerjakan soal sesuai dengan jawaban ideal yang diinginkan yaitu sebanyak 17 siswa dengan persentase ketercapaian sebesar 58,62%. Hal ini berarti bahwa sebagian besar siswa dapat mengerjakan soal dengan baik, karena siswa dapat memperoleh gambaran pengerjaan soal melalui gambar yang telah disediakan.

(2) Pada pengerjaan soal nomor 1.b, siswa yang dapat mengerjakan soal sesuai dengan jawaban ideal yang diinginkan yaitu sebanyak 8 siswa dengan persentase ketercapaian sebesar 27,59%. Hal ini berarti bahwa hampir setengah dari seluruh siswa dapat mengerjakan soal dengan baik, karena siswa dapat mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya sesuai gambaran dari hasil jawaban pada soal nomor 1.a.

(3) Pada pengerjaan soal nomor 1.c, siswa yang dapat mengerjakan soal sesuai dengan jawaban ideal yang diinginkan yaitu sebanyak 4 siswa dengan persentase ketercapaian sebesar 13,79%. Hal ini berarti bahwa hanya sebagian kecil siswa yang dapat mengerjakan soal dengan baik. Sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam memahami apa yang dimaksud soal. Sebagian besar siswa tersebut bingung dalam pengkonstruksian bangun datar trapesium menjadi beberapa bentuk bangun datar segitiga yang susunannya masih berbentuk trapesium. Masih perlu bimbingan dalam menjelaskan gambaran cara menjawab soal tersebut dengan tepat.

(4) Pada pengerjaan soal nomor 1.d, siswa yang dapat mengerjakan soal sesuai dengan jawaban ideal yang diinginkan yaitu sebanyak 5 siswa dengan persentase ketercapaian sebesar 17,24%. Hal ini berarti bahwa hanya sebagian kecil siswa yang dapat mengerjakan soal dengan baik. Sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam memahami apa yang dimaksud soal. Sebagian besar siswa tersebut masih keliru dalam menghitung luas bangun datar segitiga, seperti kesulitan dalam mencari


(38)

tinggi pada segitiga yang dimaksud sehingga siswa akan mengalami kesulitan untuk menemukan luas segitiga hasil konstruksi dan rumus luas bangun datar trapesium. Masih perlu bimbingan dalam menjelaskan pengkonstruksian bangun datar trapesium ke dalam susunan bentuk bangun datar segitiga untuk menemukan rumus luas trapesium dengan pendekatan luas bangun datar segitiga.

(5) Pada pengerjaan soal nomor 2.a, siswa yang dapat mengerjakan soal sesuai dengan jawaban ideal yang diinginkan yaitu sebanyak 26 siswa dengan persentase ketercapaian sebesar 89,66%. Hal ini berarti bahwa hampir seluruh siswa dapat mengerjakan soal dengan baik. Siswa dapat dengan mudah menjawab pertanyaan karena siswa dapat mengidentifikasi jenis dari bangun datar trapesium yang dimaksud dengan mengetahui panjang sisi-sisinya.

(6) Pada pengerjaan soal nomor 2.b, siswa yang dapat mengerjakan soal sesuai dengan jawaban ideal yang diinginkan yaitu sebanyak 2 siswa dengan persentase ketercapaian 6,90%. Hal ini berarti bahwa hanya sebagian kecil siswa yang dapat mengerjakan soal dengan baik. Sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam memahami apa yang dimaksud soal. Sebagian besar siswa tersebut masih terpengaruh dengan pengerjaan pada bagian sebelumnya yaitu nomor 1.c sehingga dalam pengonstruksian masih dominan membentuk bangun datar segitiga. Siswa kurang teliti dalam membaca soal yang memberi petunjuk untuk mengonstruksi bangun datar trapesium tersebut kedalam bentuk bangun datar lain yaitu tidak hanya kedalam bentuk segitiga saja tetapi kedalam bentuk bangun datar lainnya.

(7) Pada pengerjaan soal nomor 2.c, siswa yang dapat mengerjakan soal sesuai dengan jawaban ideal yang diinginkan yaitu sebanyak 3 siswa dengan persentase ketercapaian 10,34%. Hal ini berarti bahwa hanya sebagian kecil siswa yang dapat mengerjakan soal dengan baik. Pada kenyataannya, sebagian besar siswa dapat memahami dengan baik jenis bangun datar yang membentuk trapesium setelah dikonstruksi pada soal


(39)

bagian 2.b. Akan tetapi, sebagian besar siswa tersebut masih keliru dan tidak teliti dalam menentukan banyaknya jenis bangun datar pembentuk trapesium yang merupakan hasil konstruksi siswa sehingga jawaban yang diberikan siswa tidak sesuai dengan jawaban yang diminta pada soal. (8) Pada pengerjaan soal nomor 2.d, siswa yang dapat mengerjakan soal

sesuai dengan jawaban ideal yang diinginkan yaitu sebanyak 12 siswa dengan persentase ketercapaian sebesar 41,38%. Hal ini berarti bahwa hampir setengah dari seluruh siswa dapat mengerjakan soal dengan baik. Pada kenyataannya, siswa telah memahami cara pengerjaan soal dengan mengingat kembali rumus penghitungan luas berbagai bangun datar sesuai dengan hasil konstruksi trapesium kedalam bentuk bangun datar lain dan rumus penghitungan luas trapesium berdasarkan rumus trapesium yang telah ditemukan berdasarkan pengerjaan pada nomor soal sebelumnya yaitu nomor 1.d.

Berdasarkan hasil uji coba instrumen, dapat disimpulkan bahwa secara umum masih banyak siswa yang tidak teliti dalam menjawab soal-soal yang diberikan karena beberapa kendala, salah satunya yaitu siswa yang mengalami kesulitan untuk mengingat kembali rumus luas bangun datar trapesium dan rumus luas bangun datar lainnya. Untuk menjawab soal-soal, sebagian besar siswa memerlukan bimbingan dalam memahami bagaimana cara membaca soal yang benar dan tepat agar dalam menjawab soal-soal tersebut tidak terjadi kekeliruan karena akan mempengaruhi perolehan skor dari jawaban yang diberikan. Sehingga, siswa diberi bimbingan dengan tujuan meminimalisir terjadinya kesalahan dalam menjawab soal-soal.

Setelah diperoleh gambaran secara keseluruhan mengenai analisis data hasil uji instrumen, peneliti yang telah mendisukusikan data hasil uji instrumen dengan dosen pembimbing dapat mempertimbangkan kembali soal-soal yang harus diganti atau ditiadakan dan soal-soal yang dapat langsung digunakan untuk dijadikan instrumen penelitian. Untuk soal nomor 1.a dilakukan perbaikan dalam bahasa yang digunakan dan penyajian pertanyaan agar lebih dimengerti oleh siswa yang sebelumnya telah


(40)

dikomunikasikan dengan dosen pembimbing dan telah mendapatkan jastifikasi dari dosen pembimbing. Untuk soal nomor 2.a ditiadakan dengan alasan soal tersebut tidak berarti dan tidak layak untuk digunakan dalam instrumen penelitian. Untuk soal nomor 1.b, 1.c, 1.d, 2.b, 2.c, dan 2.d tetap digunakan dalam instrumen penelitian. Dengan demikian, total banyaknya butir soal yang digunakan dalam instrumen penelitian yaitu tujuh butir soal yang telah mendapat jastifikasi dan persetujuan dari dosen pembimbing untuk diujikan dalam penelitian.

E. Prosedur Penelitian

a. Tahapan Persiapan

Tahapan persiapan yang dimaksud adalah tahapan dalam menyiapkan segala sesuatu yang akan diperlukan selama melakukan penelitian ini. Pada tahapan ini, peneliti melakukan beberapa kegiatan seperti menyusun rancangan proposal penelitian, mengkaji teori pendukung penelitian, menentukan metode dan desain penelitian, membuat surat perizinan penelitian, melakukan pengujian instrumen penelitian, dan melakukan analisis data hasil uji instrumen penelitian. b. Tahapan Pelaksanaan

Tahapan pelaksanaan yang dimaksud adalah tahapan dalam menerapkan pembelajaran dengan dua model pembelajaran yang akan dibandingkan peningkatan kemampuan generalisasinya. Pada tahapan ini, dilakukan pembelajaran dengan model pembelajaran berbeda pada dua kelas. Satu kelas mendapatkan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E dan kelas lainnya menggunakan model pembelajaran konvensional. Sebelum menerapkan masing-masing model pembelajaran pada dua kelas berbeda, peneliti melakukan pengujian tes tulis dalam bentuk pretest. Saat pelaksanaan penerapan masing-masing model pembelajaran, dilakukan pengisian lembar observasi oleh observer dan pengisian jurnal harian siswa setiap selesai dilakukannya pembelajaran menggunakan model pembelajaran


(41)

siklus belajar (learning cycle) 5E. Setelah menerapkan masing-masing model pembelajaran pada dua kelas berbeda dalam waktu yang telah ditentukan, peneliti melakukan pengujian tes tulis dalam bentuk posttest, dengan soal tes yang sama pada saat melakukan pengujian soal pretest. Siswa juga diberikan angket sebagai bahan evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran siklus belajar

(learning cycle) 5E. c. Tahap Penyusunan

Setelah dilakukannya tahap pelaksanaan, peneliti akan memperoleh berbagai data yang diperlukan untuk penyusunan laporan penelitian. Pada tahapan ini, semua data yang telah diperoleh dari pelaksanaan penelitian diolah dan dianalisis dengan teknik pengujian alat evaluasi dan teknik analisis data yang telah ditentukan oleh peneliti sehingga keseluruhan hasilnya dapat diketahui dari penelitian yang telah dilakukan.

Prosedur penelitian di atas disajikan dalam diagram sebagai berikut:

Diagram 3.1 Prosedur Penelitian

Tahap Persiapan 1. Peneliti menyusun rancangan proposal penelitian. 2. Peneliti mengkaji teori pendukung penelitian. 3. Peneliti menentukan metode dan desain penelitian. 4. Peneliti membuat surat perizinan penelitian.

5. Peneliti melakukan pengujian instrumen penelitian.

6. Peneliti melakukan analisis data hasil uji instrumen penelitian.

Tahap Pelaksanaan 1. Peneliti melakukan pengujian tes tertulis (pretest).

2. Peneliti menerapkan model pembelajaran siklus belajar (learning

cycle) 5E dan model pembelajaran konvensional.

3. Peneliti memberikan jurnal harian siswa pada kelas yang menggunakan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E. 4. Peneliti melakukan pengujian tes tertulis (posttest).

5. Peneliti memberikan angket pada kelas yang menggunakan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E.

Tahap Penyusunan

Peneliti melakukan analisis terhadap keseluruhan data yang diperoleh dari hasil penelitian untuk penyusunan laporan penelitian.


(42)

F. Teknik Analisis Data

Pengambilan dan pengumpulan data pada penelitian dilakukan melalui pemberian tes, yaitu pretest dan posttest berupa soal uraian, pengisian lembar observasi, angket dan jurnal harian siswa. Berdasarkan pengambilan dan pengumpulan data tersebut, maka data yang diperoleh pada penelitian ini berupa data kuantitatif dan kualitatif. Analisis terhadap data kuantitatif dan kualitatif tersebut masing-masing dijelaskan sebagai berikut:

1. Analisis Data Kuantitatif

Data kuantitatif tersebut berupa data hasil pretest, posttest, dan indeks gain siswa dari kelas yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E dan model pembelajaran konvensional.

Langkah-langkah yang ditempuh untuk melakukan pengujian terhadap data pretest adalah sebagai berikut:

a. Menguji normalitas dari masing-masing kelompok dengan menggunakan Shapiro-Wilk.

b. Jika kedua kelompok berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji homogenitas varians pada kedua kelompok.

c. Jika kedua kelompok berdistribusi normal dan homogenitas varians terpenuhi, maka selanjutnya untuk menguji kesamaan dua rata-rata digunakan uji t.

d. Jika kedua kelompok berdistribusi normal tetapi homogenitas varians tidak terpenuhi, maka selanjutnya untuk menguji kesamaan dua rata-rata digunakan uji t dengan varians yang berbeda.

e. Jika salah satu atau kedua kelompok berdistribusi tidak normal, maka tidak dilakukan uji homogenitas varians, tetapi langsung dilakukan uji statistika non parametrik yaitu dengan menggunakan uji Mann-Whitney.


(1)

penyampaian materi sifat-sifat bangun datar trapesium dengan kegiatan pembelajaran yang menuntut siswa untuk aktif mencari tahu melalui pengetahuan yang dimilikinya yaitu menggunakan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E. Kemudian, pada pertemuan kedua, materi yang diberikan tentang keliling bangun datar trapesium. Media yang digunakan pada pertemuan kedua yaitu gambar berbagai jenis bangun datar trapesium, pita kain, gunting, dan mistar yang digunakan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana cara menghitung keliling bangun datar trapesium. Siswa yang hadir saat pembelajaran ada yang memberikan respons positif dan ada pula yang memberikan respons negatif. Akan tetapi, siswa yang hadir saat pembelajaran lebih banyak memberikan respons positif daripada respons negatif terhadap pembelajaran di kelas karena siswa mudah memahami penyampaian materi keliling bangun datar trapesium dengan bantuan media penunjang pembelajaran tentunya dengan bimbingan guru agar tidak terjadi miskonsepsi. Selanjutnya, pada pertemuan ketiga, materi yang diberikan tentang luas bangun datar trapesium. Media yang digunakan pada pertemuan ketiga yaitu gambar berbagai jenis bangun datar trapesium, buku berpetak, dan mistar yang digunakan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana cara menghitung luas bangun datar trapesium. Siswa yang hadir saat pembelajaran ada yang memberikan respons positif dan ada pula yang memberikan respons negatif. Siswa yang memberikan respons negatif memberikan pernyataan bahwa pembelajaran mengenai luas bangun datar trapesium membuat siswa pusing dengan tugas pembelajaran yang diberikan dan menuntut siswa untuk aktif menyelesaikan permasalahan mengenai luas bangun datar trapesium. Akan tetapi, pada pertemuan ketiga tetap lebih dominan siswa yang memberikan respons positif dibandingkan siswa yang memberikan respons negatif terhadap pembelajaran luas bangun datar trapesium dengan model siklus belajar (learning cycle) 5E.

Peningkatan kemampuan generalisasi matematis pada dasarnya tidak hanya terjadi di kelas eksperimen saja, tetapi juga di kelas kontrol. Akan


(2)

98

lebih signifikan terjadi di kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E. Oleh karena itu, diperoleh kesimpulan bahwa penerapan model pembelajaran siklus belajar (learning

cycle) 5E dapat meningkatkan kemampuan generalisasi matematis siswa

SMP, karena dalam model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E terdapat tahapan-tahapan pembelajaran dimana siswa dapat mengembangkan pengetahuan yang dimiliki dengan kegiatan pembelajaran yang membuat siswa aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Siswa dapat menemukan pengetahuan baru secara bermakna dengan mengeksplorasi kemampuan yang dimilikinya secara maksimal dalam mengaitkan antara pengetahuan lama yang dimiliki dengan pengetahuan baru yang dipelajari untuk melatih diri dalam rangka meningkatkan kemampuan generalisasi matematis siswa.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Akmecia, Miftahul Hasanah. (2011). Penerapan Model Pembelajaran Siklus

Belajar (Learning Cycle) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI

Bandung: Tidak Diterbitkan.

Alimuddin, Fahmi. (2013). Model Pembelajaran Learning Cycle 7E (Siklus

Belajar). [Online]. Tersedia: http://berbagi-ilmu-ibadah.blogspot.com/2013/07/model-pembelajaran-learning-cycle-7e.html [25 Oktober 2013]

Andre. (2012). Pengertian Lembar Kerja Siswa (LKS). [Online]. Tersedia: http://lenterakecil.com/pengertian-lembar-kerja-siswa-lks/

[28 Februari2012]

Anggraeni, Rhahma. (2012). Pengaruh Implementasi Model Pembelajaran

Learning Cycle terhadap Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa.

Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Asep. 2012. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. [Online]. Tersedia: http://www.scribd.com/doc/16446228/RENCANA-PELAKSANAAN-PEMBELAJARAN-asep [27 Mei 2012]

Bramapurnama, Topan. (2011). Penerapan Model Pembelajaran Siklus Belajar

(Learning Cycle) untuk Meningkatkan Kompetensi Penalaran Matematik Siswa SMP. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI

Bandung: Tidak Diterbitkan.

Budianto, Heru. (2011). Silabus RPP Berkarakter. [Online]. Tersedia: http://herubudianto.com/silabus-rpp/pengertian-silabus.html [27 Mei 2012]

Dadan. (2012). Silabus dan RPP Matematika SMP Berkarakter Terbaru. [Online]. Tersedia: http://dadannatural.wordpress.com/2012/05/19/silabus-dan-rpp-smp-berkarakter-terbaru/ [27 Mei 2012]

Dwi, Rati. (2012). Definisi Penalaran. [Online]. Tersedia: http://ratidwi.blogspot.com/2012/03/definisi-penalaran.html?m=1


(4)

103

Effendi, Jafar. (2009). Fobia Matematika. [Online]. Tersedia: http://mjafareffendi.wordpress.com/2009/11/10/fobia matematika/

[24 Oktober 2013]

Fajaroh, Fauziatul dan Dasna, I Wayan. (2007). Pengembangan dengan Model

Siklus Belajar (Learning Cycle). [Online]. Tersedia: http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/20/pembelajaran-dengan-model-siklus-belajar-learning-cycle/ [28 Februari 2012]

Fuad. 2011. Instrumen Evaluasi Hasil Belajar. [Online]. Tersedia: http://fuadmje.wordpress.com/2011/11/05/instrumen-evaluasi-hasil-belajar/ [27 Mei 2012]

Herdi. (2010). Kemampuan Generalisasi Matematis. [Online]. Tersedia:

http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-generalisasi-matematis/ [26 Februari 2012]

Hilman, Muhamad. (2011). Meningkatkan Kemampuan Generalisasi Matematik

Siswa SMA melalui Pembelajaran dengan Model Investigasi Kelompok.

Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Juliantara, Ketut. (2009). Pendekatan Pembelajaran Konvensional . [Online].

Tersedia:http://edukasi.kompasiana.com/2009/12/20/pendekatan-pembelajaran-konvensional-40376.html [28 Februari 2013]

Kholik, Muhammad. (2011). Evaluasi Pembelajaran . [Online]. Tersedia: http://muhammadkholik.wordpress.com/2011/11/08/evaluasi-pembelajaran/ [28 Februari 2013]

Komalasari, K. (2013). Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: PT Refika Aditama.

Larasati, Ana Rahayu. (2011). Pengaruh Penerapan Model Learning Cycle dalam

Pembelajaran Matematika terhadap Hasil Belajar Siswa SMP. Skripsi

Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Maarif, S. (2012). Meningkatkan Kemampuan Analogi dan Generalisasi

Matematis Siswa SMP Menggunakan Pembelajaran dengan Metode

Discovery. [Online]. Tersedia:

http://respository.upi.edu/operator/upload/s_mat_1007000_chapter2.pdf [28 Februari 2013]


(5)

Nadia, Nihal. (2012). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

dengan Pendekatan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Generalisasi Matematis Siswa. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika

FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Nugroho, Septian. (2010). Perbandingan Pembelajaran Konvensional. [Online].

Tersedia:http://tiannugros.blogspot.com/2010/07/perbandingan-pembelajaran-konvensional.html [28 Februari 2013]

Paskah, Claudia. (2011). Macam-macam Penalaran. [Online]. Tersedia: http://claudiapaskah.wordpress.com/2011/10/20/macam-macam-penalaran/ [25 Oktober 2013]

Rahmayani, Lina. (2011). Penerapan Model Learning Cycle 5e dalam

Pembelajaran Matematika melalui Pendekatan Keterampilan Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Logis Siswa SMA. Skripsi

Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Riyanti. (2012). Pembelajaran Konvensional. [Online]. Tersedia: http://sin-riyanti.blogspot.com/2012/10/pembelajaran-konvensional_5536.html [28 Februari 2013]

Rokhim, Amru. (2012). Pembelajaran Konvensional. [Online]. Tersedia: http://coffeebreak45.blogspot.com/2012/03/pembelajaran-konvensional. html [28 Februari 2013]

Ruseffendi. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Non-Eksakta

Lainnya. Bandung: Tarsito Bandung.

Saleh, Abdul Rahman. 2011. Kaidah Penulisan Soal Uraian. [Online]. Tersedia: http://www.abdulrahmansaleh.com/2011/06/kaidah-penulisan-soaluraian .html [27 Mei 2012]

Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: TARSITO.

Suherman, Erman dan Kusumah, Sukjaya Yaya. (1990). Evaluasi Pendidikan

Matematika. Bandung: WIJAYAKUSUMAH.

Suryantoro, Darwis. (2011). Cara Lengkap Langkah-langkah Menyusun Silabus. [Online]. Tersedia: http://suryantara.wordpress.com/tag/definisi-silabus/ [20 Maret 2013]

Suryantoro, Darwis. 2011. Pengertian RPP. [Online]. Tersedia: http://suryantara.wordpress.com/tag/pengertian-rpp/ [27 Mei 2012]


(6)

105

Uyanto, Stanislaus S. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Yasin, Sanjaya. (2011). LKS (Lembar Kerja Siswa). [Online]. Tersedia: http://www.sarjanaku.com/2011/02/lks-lembar-kerja-siswa.html

[27 Mei 2012]

Yasin, Sanjaya. (2011). Pendekatan Siklus Belajar. [Online]. Tersedia: http://www.sarjanaku.com/2011/04/pendekatan-siklus-belajar.html

[27 Mei 2012]

Yunanta, Rina. 2011. Pembuatan RPP Berbasis KTSP. [Online]. Tersedia: http://rinayunanta.blogspot.com/2011/12/pembuatan-rpp-berbasis-ktsp.html [27 Mei 2012]

Yuni, Yatha. (2011). Pengaruh Pembelajaran Penemuan Terbimbing terhadap

Kemampuan Generalisasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama.


Dokumen yang terkait

Pengaruh model pembelajaran learning cycle 5e terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa: penelitian quasi eksperimen di salah satu SMP di Tangerang.

6 24 248

Pengaruh model learning cycle 5e terhadap hasil belajar siswa pada konsep sistem ekskresi (penelitian kuasi eksperimen pada Kelas XI MAN 11 Jakarta)

0 4 269

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Time Token Arends Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam Pembelajaran IPS Terpadu (Quasi Eksperimen di SMPN 87 Jakarta)

0 8 204

PERBANDINGAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS ANTARA SISWA YANG MENDAPATKAN MODEL DISCOVERY LEARNING DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING: Penelitian Eksperimen terhadap Siswa Kelas VII di salah satu SMP di Bandung Barat.

0 1 28

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL GUIDED DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP : Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VIII pada Salah Satu SMP Di Kabupaten Bandung Barat.

1 4 29

PENERAPAN TEKNIK PROBING - PROMPTING DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KO NEKSI MATEMATIS SISWA SMP: Studi Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VII pada Salah Satu SMP Negeri di Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.

3 9 47

PENERAPAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN STRATEGI REACT DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP: Penelitian kuasi eksperimen terhadap siswa kelas VIII disalah satu SMP Negeri di Kabupaten Bandung Barat.

0 0 43

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING DAN MODEL PEMBELAJARAN LANGSUNG TERHADAP KEMAMPUAN GENERALISASI MATEMATIS SISWA SMP: Penelitian kuasi eksperimen terhadap siswa kelas VII pada salah satu SMP di Kota Cimahi.

0 1 40

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN INTEGRATIF DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP: Suatu Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VII di Salah Satu SMP Negeri di Kabupaten Bandung.

1 3 51

PENERAPAN MODEL LEARNING CYCLE 5E UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN FISIKA.

0 0 38