Perbandingan Model Kooperatif Tipe The Power Of Two Dan Tipe Jigsaw Dalam Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Disposisi Matematis Siswa SMP.
PERBANDINGAN MODEL KOOPERATIF TIPE THE POWER OF TWO DAN TIPE JIGSAW DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN
PEMAHAMAN DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh:
SITI UMMU KULTSUM NIM. 1308099
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2015
(2)
PERBANDINGAN MODEL KOOPERATIF TIPE THE POWER OF TWO DAN TIPE JIGSAW DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN
PEMAHAMAN DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP
Oleh
Siti Ummu Kultsum
S.Pd. Universitas Pendidikan Indonesia, 2008
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Matematika
© Siti Ummu Kultsum 2015 Universitas Pendidikan Indonesia
Agustus 2015
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difotokopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.
(3)
LEMBAR PENGESAHAN TESIS
PERBANDINGAN MODEL KOOPERATIF TIPE THE POWER OF TWO DAN TIPE JIGSAW DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN
DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP
Oleh:
Siti Ummu Kultsum NIM. 1308099
disetujui dan disahkan Oleh:
Pembimbing,
Dr. Elah Nurlaelah, M. Si. NIM. 1964 11231991032002
Mengetahui:
Ketua Program Studi Pendidikan Matematika
Dr. H. Sufyani Prabawanto, M. Ed. NIP. 196008301986031003
(4)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional dalam bidang pendidikan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh agar terbentuk sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Sumber daya manusia yang berkualitas akan menentukan mutu kehidupan bangsa yang siap menghadapi segala persoalan dan tantangan di era globalisasi ini.
Menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3, fungsi pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berbagai upaya dilakukan demi tercapainya tujuan pendidikan nasional. Salah satunya adalah dengan dimasukkannya pelajaran matematika ke dalam kurikulum pendidikan. Dengan mempelajari matematika, siswa dilatih untuk berpikir secara logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, sesuai dengan salah satu karakteristik matematika sebagai ilmu yang terstruktur, sistematis dan mempunyai sifat keteraturan yang indah (Sumarmo, 2006).
Sejalan dengan karakteristik matematika di atas, Sumarmo (2006) menyatakan bahwa visi matematika mempunyai dua arah pengembangan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa datang. Pengembangan untuk masa kini diarahkan pada pembelajaran matematika untuk pemahaman konsep dan ide matematika yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika sendiri, dan ilmu pengetahuan lainnya. Sedangkan untuk masa datang pembelajaran matematika diarahkan pada pengembangan yang lebih luas, yaitu memberikan kemampuan bernalar yang logis, sistimatis, kritis, dan cermat,
(5)
menumbuhkan rasa percaya diri dan rasa keindahan terhadap keteraturan sifat matematika, serta mengembangkan sifat obyektif dan terbuka yang sangat diperlukan dalam menghadapi masa depan.
Berdasarkan Permendiknas No. 22 Tahun 2006, pembelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Tujuan nomor 1 sampai dengan 4 menunjukkan kompetensi atau kemampuan berpikir matematik, sedangkan tujuan nomor 5 menggambarkan ranah kompetensi afektif.
Sejalan dengan tujuan pembelajaran matematika di atas, Menurut Depdiknas (2006) kemampuan dasar matematika sekolah menengah, secara umum diklasifikasikan ke dalam lima kelompok, yaitu:
1. Mengenal, memahami, dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip, dan idea matematika.
2. Menyelesaikan masalah matematik (mathematical problem solving) 3. Bernalar mathematik (mathematical reasoning)
4. Melakukan koneksi matematik (mathematical connection)
5. Komunikasi matematik (mathematical communication)
Adapun NCTM (2000) mengklasifikan berpikir matematik berdasarkan jenisnya ke dalam lima ranah, yaitu:
1. Pemahaman matematik (mathematical understanding)
(6)
3. Komunikasi matematik (mathematical communication) 4. Koneksi matematik (mathematical connection), dan 5. Penalaran matematik (mathematical reasoning)
Penempatan kemampuan pemahaman pada butir pertama tujuan pembelajaran matematika, mengisyaratkan bahwa kemampuan pemahaman memiliki peranan yang cukup penting dan merupakan syarat untuk mencapai kemampuan matematik yang lainnya. Pentingnya aspek pemahaman matematis dalam pembelajaran matematika, tersirat pula dalam NCTM 2000, yang menyatakan bahwa dalam belajar matematika siswa harus disertai dengan pemahaman, hal ini merupakan visi dari belajar matematika. Dinyatakan pula dalam NCTM 2000 bahwa belajar tanpa pemahaman merupakan hal yang terjadi dan menjadi masalah sejak tahun 1930-an, sehingga belajar dengan pemahaman tersebut terus ditekankan dalam kurikulum.
Polya (dalam Sumarmo, 1987), membedakan empat jenis pemahaman: 1. Pemahaman mekanikal, yaitu dapat mengingat dan menerapkan sesuatu
secara rutin atau perhitungan sederhana.
2. Pemahaman induktif, yaitu dapat mencobakan sesuatu dalam kasus sederhana dan tahu bahwa sesuatu itu berlaku dalam kasus serupa.
3. Pemahaman rasional, yaitu dapat membuktikan kebenaran sesuatu.
4. Pemahaman intuitif, yaitu dapat memperkirakan kebenaran sesuatu tanpa ragu-ragu, sebelum menganalisis secara analitik.
Berbeda dengan Polya, Skemp (1976) membagi pemahaman menjadi dua tingkat, yaitu:
1. Pemahaman instrumental, yaitu hapal sesuatu secara terpisah atau dapat menerapkan sesuatu pada perhitungan rutin/sederhana, mengerjakan sesuatu secara algoritmik saja.
2. Pemahaman relasional, yaitu dapat mengkaitkan sesuatu dengan hal lainnya secara benar dan menyadari proses yang dilakukan.
Sejalan dengan Skemp, Pollatsek (dalam Sumarmo 1987) membagi pemahaman ke dalam dua kelompok, yaitu:
(7)
1. Pemahaman komputasional, yaitu dapat menerapkan sesuatu pada perhitungan rutin/sederhana, atau mengerjakan sesuatu secara algoritmik saja. 2. Pemahaman fungsional, yaitu dapat mengkaitkan sesuatu dengan hal lainnya
secara benar dan menyadari proses yang dilakukan.
Merujuk pada pemahaman Polya dan Skemp, Sumarmo (2013) mengelompokkan pemahaman menjadi dua bagian, yaitu pemahaman tingkat rendah seperti pemahaman mekanikal, komputasional, dan instrumental serta pemahaman tingkat tinggi seperti pemahaman relasional dan pemahaman rasional. NCTM (Riyanti, 2011) merinci pemahaman matematis meliputi kemampuan: mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan; membuat contoh dan non contoh; mempresentasikan suatu konsep dengan model, diagram dan simbol; mengubah suatu bentuk representasi ke bentuk representasi yang lain; mengenal berbagai makna dan interpretasi konsep; mengidentifikasi sifat-sifat suatu konsep dan mengenal syarat-syarat yang menentukan suatu konsep; membandingkan dan membedakan konsep-konsep.
Alfeld (dalam Oktavien, 2011) menyatakan bahwa seseorang dapat memahami matematika jika ia mampu menjelaskan konsep-konsep matematika dalam bentuk konsep-konsep yang lebih sederhana. Selanjutnya, ia dapat dengan mudah membuat koneksi logis diantara fakta dan konsep yang berbeda. Selain itu, dia juga dapat mengenali keterkaitan antara konsep yang baru dengan konsep sebelumnya yang sudah dipahami. Bila ketiga hal tersebut dapat dikuasai dengan baik,
maka ia dikatakan mempunyai kemampuan pemahaman matematis baik.’
Dari pernyataan Alfeld di atas, jelas bahwa pemahaman seseorang terhadap matematika belum sempurna jika ia baru mampu menjelaskan suatu konsep dalam bentuk yang lebih sederhana, tetapi ia harus mampu membuat koneksi antara fakta dan konsep yang berbeda, dan mengenali keterkaitan antara konsep baru dan konsep lama.
Selanjutnya Oktavien (2011) menyatakan bahwa suatu
pemahaman diperoleh siswa melalui suatu rangkaian proses yang dilalui oleh siswa saat belajar dan interaksi yang terjadi saat belajar bersama
(8)
orang lain, sehingga siswa dapat membentuk pengetahuan dan
pemahaman dari apa yang dialaminya.
Kemampuan pemahaman matematis sangat penting untuk dimiliki
siswa, karena kemampuan tersebut merupakan prasyarat untuk memiliki kemampuan matematis lain. Hal ini berarti bahwa untuk merintis berbagai kemampuan matematis, maka kemampuan pemahaman konsepnya harus ditanamkan terlebih dahulu. Hal tersebut senada dengan pendapat Sumarmo (2003) yang menyatakan bahwa pemahaman matematis penting dimiliki siswa karena diperlukan untuk menyelesaiakan masalah matematika, masalah dalam disiplin ilmu lain, dan masalah dalam kehidupan sehari-hari, yang merupakan visi pengembangan pembelajaran matematika untuk memenuhi kehidupan masa kini.
Berbagai penelitian tentang pemahaman telah dilakukan, namun beberapa di antaranya belum membuahkan hasil yang diharapkan. Penelitian Lestari (2008) menyatakan bahwa dari hasil deskripsi jawaban soal tampak siswa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal untuk pemahaman relasional. Studi yang dilakukan Priatna (2003) mengenai kemampuan pemahaman, diperoleh temuan bahwa kualitas kemampuan pemahaman konsep berupa pemahaman instrumental dan relasional masih rendah yaitu sekitar 50% dari skor ideal. Penelitian Sunardja (2009) menyebutkan bahwa kemampuan pemahaman siswa baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol belum tuntas secara klasikal.
Selain kemampuan pemahaman matematis juga diperlukan sikap positif terhadap matematika yang harus dimiliki oleh siswa, diantaranya adalah percaya diri dalam menyelesaikan matematika, fleksibilitas dalam mengeksplorasi ide-ide matematis dan mencoba berbagai metode alternatif untuk memecahkan masalah. Hal ini sejalan dengan pendapat Karlimah (2010) yang menyatakan bahwa dalam mempelajari matematika, bukan ranah kognitif saja yang perlu dikembangkan, tetapi siswa atau mahasiswa perlu menyelesaikan setiap masalah matematis antara lain dengan rasa ingin tahu, ulet, percaya diri, dan melakukan refleksi atas cara berpikir. Dalam matematika, hal tersebut disebut disposisi matematis.
(9)
Pentingnya disposisi matematis termuat pula dalam ranah afektif yang menjadi tujuan pendidikan matematika di SMP berdasarkan Kurikulum 2006,
yaitu, “peserta didik memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam
kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah” (Depdiknas, 2006).
NCTM dalam Standard 10 (1989) menyatakan bahwa disposisi matematis menunjukkan:
1. rasa percaya diri dalam menggunakan matematika, memecahkan masalah, mengkomunikasikan gagasan, dan memberikan alasan
2. fleksibilitas dalam menyelidiki gagasan matematik dan berusaha mencari metoda alternatif dalam memecahkan masalah
3. tekun mengerjakan tugas matematik
4. minat, rasa ingin tahu, dan daya temu dalam melakukan tugas matematik 1. cenderung memonitor dan merefleksikan kinerja dan penalaran mereka
sendiri
6. menilai aplikasi matematika ke situasi lain dalam bidang lainnya dan pengalaman sehari-hari; dan
7. penghargaan peran matematika dalam kultur dan nilai matematika, sebagai alat dan bahasa
Selanjutnya Sumarmo (2012) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki disposisi matematis yang tinggi akan membentuk individu yang tangguh, ulet, bertanggung jawab, memiliki motif berprestasi yang tinggi, serta membantu individu mencapai hasil terbaiknya. Menurut Begle (dalam Darhim, 2012) terdapat hubungan yang positif antara sikap terhadap matematika dengan prestasi matematika. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa kemampuan afektif dalam hal ini disposisi matematis, merupakan kemampuan yang harus dimiliki dan dikembangkan oleh setiap siswa. Karena dalam menyelesaikan dan mengeksplor masalah matematika akan lebih baik jika siswa memiliki ketertarikan, kepercayaan diri, dan kemauan yang tinggi.
(10)
Apakah ada hubungan antara kemampuan dan disposisi matematis? Mungkinkah seorang siswa yang memiliki disposisi tinggi juga memiliki kemampuan matematis yang tinggi? Menurut Maxwel (2001), kemampuan dan disposisi adalah dua hal yang berbeda. Bisa jadi, seorang siswa tidak memiliki kemampuan atau penguasaan terhadap suatu konsep, tetapi dia memiliki disposisi yang tinggi. Namun, ketika dua orang siswa memiliki kemampuan yang sama, tetapi tingkat disposisi mereka berbeda, kita bisa menduga bahwa keberhasilan mereka dalam menyelesaikan masalah akan berbeda. Siswa dengan tingkat disposisi yang tinggilah yang akan lebih gigih, berminat, tekun, dan memiliki kepekaan dalam menindaklanjuti dan menyelesaikan masalah.
Namun pada kenyataanya, mengembangkan kemampuan pemahaman dan disposisi matematis pada siswa bukanlah hal yang mudah. Hal ini dapat kita cermati dari hasil-hasil penelitian terdahulu. Pada penelitian yang dilakukan Gumanti (2014) diperoleh hasil rata-rata skor postes kemampuan pemahaman matematis siswa SMP melalui pembelajaran berbantuan Geogebra sebesar 44,27% dari skor ideal , begitu juga hasil penelitian Nindiasari (2013) menunjukkan bahwa rata-rata skor postes kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran Metakognitif sebesar 23,11% dari skor ideal.
Banyak teknik dan strategi pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru, misalnya ceramah, diskusi, ekspositori, penemuan, inquiry, permainan dan lain-lain. Akan tetapi dalam pelaksanaannya teknik dan strategi pembelajaran tersebut tidak dapat digunakan secara tunggal. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Suherman (2003) bahwa tidak ada belajar (tunggal) yang paling benar dan cara mengajar yang paling baik, setiap orang berbeda dalam kemampuan intelektual, sikap dan kepribadiannya, sehingga mereka mengadopsi pendekatan-pendekatan yang berbeda untuk belajar yang sesuai dengan karakteristik masing-masing. Dalam hal ini, guru dituntut untuk kreatif mengembangkan kegiatan pembelajaran matematika dengan memahami berbagai pendekatan pembelajaran yang efektif agar dapat membimbing siswa secara optimal.
Peran guru di dalam kelas turut mendukung dan menentukan keberhasilan siswa dalam pembelajaran. Paradigma teacher centered yang menempatkan guru
(11)
sebagai pusat aktifitas pembelajaran yang mendominasi kelas, harus segera diganti dengan proses pembelajaran yang dipusatkan pada aktifitas siswa. Guru harus berfungsi sebagai fasilitator dan motivator yang mengkondisikan siswa agar lebih aktif dalam belajar dan membantu siswa untuk memahami konsep-konsep matematis secara benar serta meluruskan pemahaman siswa yang kurang tepat. Guru seyogyanya mampu menciptakan sebuah kegiatan pembelajaran yang aktif, kreatif, nyaman, dan menyenangkan dengan menggunakan model pembelajaran yang bervariasi. guru tidak segan memberikan pujian, penghargaan, atau reward ketika siswa menunjukkan prestasi.
Salah satu model pembelajaran inovatif yang diduga dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan disposisi matematis siswa SMP adalah model pembelajaran kooperatif. Model kooperatif adalah model pembelajaran yang menganut faham konstruktivisme yang berpandangan bahwa siswa membina sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka miliki. Ide dari faham ini adalah siswa aktif membangun pengetahuannya sendiri.
Menurut Driver dan Bell (dalam Isjoni, 2014), prinsip-prinsip konstruktivisme dalam pembelajaran adalah:
1. Hasil pembelajaran tidak hanya tergantung dari pengalaman-pengalaman siswa di dalam kelas, tetapi melibatkan pengetahuan siswa sebelumnya. 2. Pembelajaran adalah mengkonstruksi konsep-konsep.
3. Mengkonstruksi konsep adalah proses aktif dalam diri pelajar.
4. Konsep-konsep yang telah dikonstruksi akan dievaluasi, untuk menentukan konsep tersebut diterima atau tidak
5. Siswalah yang paling bertanggung jawab terhadap hasil pembelajaran mereka.
6. Ada semacam pola tentang konsep-konsep yang dikonstruksi pelajar dalam struktur kognitifnya.
Model kooperatif adalah salah satu model dengan kelompok kecil yang terdiri dari sejumlah siswa dengan tingkat kemampuan yang heterogen. Dalam
(12)
menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota harus bediskusi dan bekerja sama dengan anggota lain untuk menyelesaikan suatu masalah.
Baroody (dalam Sulastri 2012) mengungkapkan bahwa diskusi merupakan sarana bagi seseorang untuk mengungkapkan dan merefleksikan pikiran-pikirannya. Belajar dalam diskusi kelompok mampu mendorong siswa untuk lebih aktif dan mandiri. Suryadi (dalam Wardani, 2002) mengemukakan bahwa secara keseluruhan suasana belajar siswa dalam kelompok kecil nampak relatif lebih hidup, siswa lebih aktif, siswa asyik berdiskusi dan bekerja sama menyelesaikan tugas yang dihadapinya dan terjadi interaksi di antara siswa. Ross (dalam Ratnaningsih, 2003) mengungkapkan bahwa perbedaan pendapat dan penjelasan dari anggota kelompok yang lain dalam belajar kooperatif dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Dalam model pembelajaran kooperatif siswa didorong untuk lebih banyak berinteraksi dengan teman sebayanya. Interaksi dengan teman sebaya dapat menghilangkan kecanggungan. Bahasa teman sebaya lebih mudah dipahami. Dengan teman sebaya tidak ada rasa enggan, rendah diri, malu untuk bertanya ataupun minta bantuan, dengan demikian diharapkan minat, kegigihan, dan kemauan untuk menemukan solusi terhadap matematika siswa akan tumbuh, sehingga disposisi matematisnyapun akan meningkat. Ketika disposisi matematis siswa mulai tumbuh, mereka akan melakukan apresiasi yang positif terhadap matematika, mereka akan menyelesaikan masalah dengan lebih gigih, tekun, dan penuh minat, sehingga kemampuan pemahaman matematisnyapun diduga akan turut meningkat.
Model pembelajaran kooperatif terdiri dari beberapa tipe, di antaranya tipe The Power of Two dan tipe Jigsaw. TPOT merupakan salah satu alternatif model pembelajaran yang diduga kuat dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan disposisi matematis siswa SMP. Hal ini dikarenakan proses belajar dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif lebih berpusat pada siswa, karena meskipun tetap dalam bimbingan guru, siswa mempelajari sendiri bersama anggota kelompoknya mengenai materi yang diberikan. Model pembelajaran kooperatif tipe The Power Of Two adalah salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif yang hanya beranggotakan dua orang dalam setiap kelompoknya
(13)
dengan proses berbagi pendapat dilakukan dengan membandingkan jawaban antar kelompok pasangan lain dan tidak berbagi kepada seluruh kelas (Isjoni, 2014). Dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe the power of two, maka diskusi dalam kelompok diharapkan akan lebih maksimal, karena dengan dua siswa dalam satu kelompok, meminimalisir adanya anggota kelompok yang mendominasi atau anggota yang kurang aktif melalui kegiatan diskusi, sehingga tidak akan ada yang merasa terabaikan.
Model pembelajaran kooperatif lain yang juga menarik dan inovatif adalah tipe Jigsaw. Berdasarkan model ini, materi yang akan dipelajari dibagi menjadi beberapa bagian. Kelebihan model ini adalah dapat melibatkan seluruh siswa dalam pembelajaran sekaligus mengajarkan kepada rekan-rekan sesamanya. Model pembelajaran Jigsaw berpusat pada siswa dengan menggunakan kelompok kecil yang terdiri dari empat hingga lima orang siswa dengan kemampuan heterogen yang membentuk kelompok ahli (expert team), melakukan eksplorasi masalah dan sharing dengan kelompok lain untuk menemukan solusi lalu kembali ke kelompok asal untuk saling berbagi dengan temannya tentang apa yang telah diperoleh dari kelompok lain.
Penelitian ini akan menerapkan dua buah model pembelajaran, yaitu model pembelajaran kooperatif tipe TPOT dan tipe Jigsaw. Kedua model ini, masing-masing akan diterapkan pada dua kelas eksperimen yang berbeda, namun mempunyai tingkat kemampuan yang relatif sama. Alasan peneliti memilih kedua model pembelajaran ini, karena keduanya merupakan bagian dari model kooperatif yang dipandang setara, sehingga tepat untuk dibandingkan.
Selain mengkaji perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman dan disposisi matematis siswa secara keseluruhan, untuk lebih mempertajam hasil perbandingan peningkatan kemampuan pemahaman dan disposisi matematis tersebut, penelitian ini juga mengkaji perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman dan disposisi matematis siswa ditinjau dari kemampuan awal matematis (KAM) siswa. Kemampuan awal matematis siswa adalah kemampuan yang telah dimiliki siswa sebelum ia mengikuti pembelajaran yang akan diberikan. Jadi selain membandingkan peningkatan kemampuan pemahaman dan
(14)
disposisi matematis antara siswa kelas Jigsaw dan Kelas TPOT, juga akan dibandingkan antara siswa kelompok atas, tengah, dan bawah pada kelas Jigsaw dan Kelas TPOT. Kemampuan awal (entry behavior) ini menggambarkan kesiapan siswa dalam menerima pelajaran yang akan disampaikan oleh guru.
Digunakannya tiga kelompok dalam penelitian ini, bertujuan agar semua kelompok dalam kelas terwakili sehingga kesimpulan yang didapatkan lebih representatif. Diduga KAM siswa (atas, tengah, dan bawah) tersebut turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa. Hal ini sesuai dengan penelitian Retnawati (2015) yang menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan pada kemampuan matematika dasar (kemampuan awal matematis) terhadap kemampuan pemahaman konsep dan kemampuan menyelesaikan soal dalam konteks/cerita.
Galton (Ruseffendi, 2010) menyatakan bahwa dari sekelompok siswa yang dipilih secara sebarang, akan selalu dijumpai siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah karena kemampuan siswa (termasuk kemampuan dalam matematika) menyebar membentuk distribusi normal. Menurut Ruseffendi (2010), perbedaan kemampuan siswa ini bukan semata-mata bawaan sejak lahir, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini berarti bahwa kemampuan siswa itu bisa terbentuk dari suatu proses pembelajaran yang diterapkan.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Perbandingan Model Kooperatif Tipe The Power of Two dan Tipe Jigsaw dalam Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Disposisi Matematis Siswa SMP.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini dijabarkan sebagai berikut :
1. Apakah terdapat perbedaan pencapaian kemampuan pemahaman siswa
antara yang memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe The Power of Two dan tipe Jigsaw secara keseluruhan?
(15)
antara yang memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe The Power of Two dan tipe Jigsaw secara keseluruhan?
3. Apakah terdapat perbedaan peningkatkan kemampuan pemahaman siswa antara yang memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe The Power of Two dan tipe Jigsaw ditinjau dari KAM siswa (atas, tengah, dan bawah)? 4. Apakah terdapat perbedaan disposisi matematis siswa antara yang
memperoleh pembelajaran dengan model kooperatif tipe The Power of Two dan tipe Jigsaw secara keseluruhan?
5. Apakah terdapat perbedaan disposisi matematis siswa antara yang memperoleh pembelajaran dengan model kooperatif tipe The Power of Two dan tipe Jigsaw ditinjau dari KAM siswa (atas, tengah, dan bawah)?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengkaji:
1. Perbedaan pencapaian kemampuan pemahaman siswa antara yang
memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe The Power of Two dan tipe Jigsaw ditinjau secara keseluruhan.
2. Perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman siswa antara yang
memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe The Power of Two dan tipe Jigsaw ditinjau secara keseluruhan.
3. Perbedaan peningkatkan kemampuan pemahaman siswa antara yang
memperoleh pembelajaran dengan kooperatif tipe The Power of Two dan tipe Jigsaw berdasarkan KAM siswa (atas, tengah, dan bawah).
4. Perbedaan disposisi matematis siswa antara yang memperoleh pembelajaran dengan model kooperatif tipe The Power of Two dan tipe Jigsaw secara keseluruhan.
5. Perbedaan disposisi matematis siswa antara yang memperoleh pembelajaran dengan model kooperatif tipe The Power of Two dan tipe Jigsaw berdasarkan KAM siswa (tinggi, sedang, rendah).
1.4 Manfaat Penelitian
(16)
Two dan tipe Jigsaw memberi peluang untuk berdiskusi, bekerjasama, bertukar pikiran, pendapat, gagasan, atau mengemukakan pertanyaan secara lisan maupun tulisan tanpa rasa sungkan karena mereka berkelompok dengan teman sebayanya, sehingga mereka lebih mudah mengkonstruksi kemampuan pemahaman dan disposisi matematisnya.
2. Bagi guru, pembelajaran dengan pendekatan kooperatif tipe The Power of Two dan tipe Jigsaw merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan dalam pembelajaran sehari-hari dalam kelas, selain pendekatan-pendekatan lain yang selama ini digunakan, untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan disposisi matematis siswa.
3. Bagi peneliti. Pembelajaran dengan model kooperatif tipe The Power of Two dan tipe Jigsaw, merupakan suatu pengalaman berharga yang dapat dijadikan momen untuk mengembangkan kemampuan meneliti, dan bagi peneliti lain (penelitian yang relevan) dapat dijadikan sebagai acuan/ referensi.
1.5 Definisi Operasional
Berikut akan disajikan definisi operasoinal dari beberapa komponen dalam penelitian ini:
1. Kemampuan pemahaman adalah kemampuan pemahaman yang mengacu
pada Skemp (1976) yang mencakup dua jenis pemahaman, yaitu:
a. Pemahaman instrumental, yaitu hafal sesuatu secara terpisah atau dapat menerapkan sesuatu pada perhitungan rutin/sederhana, mengerjakan sesuatu secara algoritmik saja.
b. Pemahaman relasional, yaitu kemampuan menyusun strategi penyelesaian yang dapat mengaitkan suatu konsep dengan konsep lainnya.
Adapun indikator untuk mengukur kedua kemampuan pemahaman di atas adalah:
a. Menyatakan ulang sebuah konsep dengan bahasa sendiri
b. Mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan konsepnya
(17)
c. Memberi contoh dan bukan contoh dari suatu konsep
d. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis
e. Menggunakan dan memanfaatkan serta memilih prosedur atau operasi tertentu
f. Mengaitkan berbagai konsep
2. Disposisi Matematis adalah kemauan siswa untuk berpikir dan bertindak
secara positif yang mencakup minat belajar, kegigihan serta kemauan untuk menemukan solusi dan apresiasi tehadap matematika. Indikator yang digunakan untuk mengukur disposisi matematis adalah:
a. Kepercayaan diri dalam menyelesaikan masalah matematika,
mengkomunikasikan ide-ide, dan memberi alasan.
b. Fleksibilitas dalam mengeksplorasi ide-ide matematis dan mencoba berbagai metode alternatif untuk memecahkan masalah.
c. Bertekad kuat untuk menyelesaikan tugas-tugas matematika.
d. Ketertarikan, keingintahuan, dan kemampuan untuk menemukan solusidal am mengerjakan matematika.
e. Kecenderungan untuk memonitor dan merefleksi proses berpikir dan kinerja diri sendiri.
f. Menilai aplikasi matematika dalam bidang lain dan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe The Power of Two (TPOT) adalah
model pembelajaran kooperatif yang terdiri dari dua orang dalam tiap kelompok. Prinsip model pembelajaran ini adalah berpikir berdua jauh lebih baik daripada berpikir sendiri, Langkah-langkah model TPOT adalah:
a. Guru memancing siswa untuk berpikir melalui pertanyaan yang disajikan dalam LKS.
b. Guru meminta siswa menyelesaikan atau melengkapi LKS secara individual Guru membagi siswa ke dalam kelompok (pasangan). Setiap kelompok beranggotakan dua orang dengan kemampuan yang heterogen.
c. Guru meminta siswa untuk berdiskusi atau bertukar jawaban dengan pasangannya kemudian membahas jawaban individual.
(18)
d. Guru meminta setiap pasangan untuk membuat jawaban baru, sesuai dengan hasil diskusi. Jawaban baru ini sekaligus memperbaiki jawaban individual jika ada yang salah.
e. Guru meminta beberapa kelompok mempresentasikan hasil diskusinya. f. Guru memberikan konfirmasi atas jawaban yang telah dibuat siswa
g. Guru bersama siswa membuat rangkuman
4. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw adalah model pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan menggunakan kelompok kecil empat hingga lima orang siswa dengan kemampuan heterogen yang
membentuk kelompok ahli (Expert team). Dalam tipe Jigsaw ini setiap
siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian dari permasalahan tersebut. Semua siswa dengan permasalahan yang sama, belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli. Dalam kelompok ahli siswa mendiskusikan bagian permasalahan yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal.
5. Kemapuan Awal Matematis (KAM) siswa adalah kemampuan
matematis yang dimiliki siswa sebelum mengikuti pembelajaran (sebelum diberi perlakuan).
(19)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode dan Desain Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengkaji perbandingan model pembelajaran kooperatif tipe The Power of Two (TPOT) dan tipe Jigsaw dalam meningkatkan kemampuan pemahaman dan disposisi matematis siswa. Kelas eksperimen-1 memperoleh pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe TPOT sedangkan kelas eksperimen-2 mendapatkan pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe Jigsaw. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian kuasi eksperimen. Pada kuasi eksperimen ini subjek tidak dikelompokkan secara acak tetapi peneliti menerima keadaan subjek seadanya (Ruseffendi, 1998). Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kelas yang ada telah terbentuk sebelumnya. Sehingga jika dilakukan lagi pengelompokkan secara acak maka akan menyebabkan kekacauan jadwal pelajaran yang telah ada.
Peningkatan kemampuan kedua kelas tersebut dilakukan dengan memperhatikan hasil pretes dan postes yang dilaksanakan pada kedua kelas yang diamati. Hal ini merujuk pada penggunaan the pretest-posttest two treatment design, yaitu kelas eksperimen-1 menerima perlakuan-1 , yaitu model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan kelas eksperimen-2 menerima perlakuan -2 , yaitu model kooperatif tipe TPOT (Cohen, dkk., 2007:278). Pada penelitian ini kelas eksperimen-1 menerima pembelajaran dengan model kooperatif tipe Jigsaw dan kelas eksperimen-2 menerima pembelajaran dengan model kooperatif tipe The Power of Two. Desain tersebut digambarkan sebagai berikut.
Kelas Eksperimen-1: R O1 X1 O2 Kelas Eksperimen-2: R O3 X2 O4
Keterangan :
R : pengambilan sampel secara acak (acak kelas) O1 : Pretes kelas Jigsaw.
(20)
O3 : Pretes kelas TPOT.
O4 : Postes kelas TPOT.
X1 : Perlakuan pada kelas eksperimen-1 (Jigsaw)
X2 : Perlakuan pada kelas eksperimen-2 (TPOT)
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VIII reguler SMP Negeri 2 Banjaran tahun pelajaran 2014/ 2015 yang terbagi menjadi 10 kelas paralel, yaitu kelas VIII-A sampai dengan VIII-J, yang secara umum berkemampuan sama. Sebab pembagian kelas yang dilakukan pada awal tahun pelajaran berdasarkan pada pemerataan nilai hasil ujian sekolah dan ujian nasional dari jenjang pendidikan sebelumnya. Adapun sampelnya terdiri atas dua kelas, yaitu kelas VIII-E sebagai kelas eksperimen-1 dan kelas VIII-H sebagai kelas eksperimen-2. Pemilihan sampel dilakukan dengan purposive sampling, yaitu sampel dipilih dengan pertimbangan tertentu (Sugiono, 2014).
3.3 Variabel Penelitian
Penelitian ini melibatkan dua jenis variabel, yaitu: variabel bebas (independen) dan variabel terikat (dependen).
3.3.1. Variabel bebas
Menurut Sugiyono (2013), variabel bebas atau variabel independen adalah variabel yang memengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat. Pada penelitian ini, variabel bebasnya adalah model pembelajaran kooperatif tipe The Power of Two dan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
3.3.2. Variabel terikat
Variabel terikat atau variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh keberadaan variabel bebas (Sugiyono, 2013). Pada penelitian ini variabel terikatnya adalah kemampuan pemahaman dan disposisi matematis siswa.
(21)
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis, yaitu instrumen tes dan nontes. Instrumen tes berupa seperangkat soal yang mengukur kemampuan pemahaman matematis siswa. Instrumen nontes berupa angket yang mengukur kemampuan disposisi matematis siswa.
3.4.1. Tes Kemampuan Pemahaman Matematis
Tujuan penyusunan tes kemampuan pemahaman matematis adalah untuk mengetahui kemampuan pemahaman matematis siswa. Tes tersebut berupa soal uraian yang disusun berdasarkan indikator pemahaman matematis yang hendak diukur. Penyusunan tes diawali dengan pembuatan kisi-kisi, kemudian penyusunan soal berdasarkan kisi-kisi yang telah disusun disertai dengan kunci jawaban, dan dilengkapi dengan pedoman pemberian skor.
Pedoman pemberian skor tes kemampuan pemahaman diadaptasi dari Holistik Scoring Rubrics yang dikemukakan oleh Cai, Lane, dan Jacobcsin (Rahmawati, 2013) seperti tertera pada tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1
Kriteria Penskoran Kemampuan Pemahaman Matematis
Skor Kriteria Jawaban dan Alasan
4 Menunjukkan pemahaman konsep dan prinsip terhadap soal
matematika secara lengkap, penggunaan istilah dan notasi matematika secara tepat, penggunaan algoritma secara lengkap dan benar.
3 Menunjukkan pemahaman konsep dan prinsip terhadap soal
matematika secara hampir lengkap, penggunaan istilah dan notasi matematika hampir benar, penggunaan algoritma secara lengkap, perhitungan secara umum benar, namun mengandung sedikit kesalahan.
2 Menunjukkan pemahaman konsep dan prinsip terhadap soal
matematika kurang lengkap dan perhitungan masih terdapat sedikit kesalahan.
(22)
Skor Kriteria Jawaban dan Alasan
1 Menunjukkan pemahaman konsep dan prinsip terhadap soal
matematika sangat terbatas dan sebagian besar jawaban masih mengandung perhitungan yang salah.
0 Tidak menunjukkan pemahaman konsep dan prinsip terhadap
soal matematika.
Instrumen tes kemampuan pemahaman matematis disusun dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1) Membuat kisi-kisi soal berdasarkan indikator kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis serta indikator hasil belajar siswa.
2) Menyusun soal tes.
3) Menilai kesesuaian antara materi, indikator, dan soal-soal tes untuk mengetahui kriteria alat ukur yang baik. Kriteria tersebut meliputi: validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda. Kesesuaian tersebut diperoleh melalui konsultasi dengan dosen pembimbing dan guru matematika.
4) Setelah semua kriteria di atas dipenuhi, selanjutnya penulis mengujicobakan soal tes tersebut pada siswa yang telah memperoleh materi Kubus dan Balok, yaitu siswa kelas IX. Uji coba dilakukan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran , dan daya pembeda soal tersebut.
3.4.1.1. Analisis Validitas Butir Soal
Suatu soal atau set soal dikatakan valid, bila soal-soal tersebut mengukur apa yang mestinya diukur. Pengujian validitas soal-soal penelitian ini menggunakan rumus product moment (Arikunto, 2012). Interpretasi koefisien korelasi validitas instrumen disajikan pada tabel 3.2 sebagai berikut.
(23)
Tabel 3.2
Klasifikasi Koefisien Korelasi Validitas Instrumen
Nilai Validitas Interpretasi
≤ 0,20 Validitas sangat rendah
≤ Validitas rendah
≤ Validitas cukup
≤ Validitas tinggi
≤ Validitas sangat tinggi
(Arikunto, 2012)
Uji validitas kemampuan pemahaman matematis dalam penelitian ini menggunakan MS. Excel 2010. Hasil rekapitulasinya dapat dilihat dalam tabel 3.3 berikut.
Tabel 3.3
Data Hasil Uji Validitas Butir Soal Kemampuan Pemahaman Matematis
Kemampuan Nomor Soal
Koefisien (rxy)
Kriteria Kategori Kesimpulan
Pemahaman
1a 0.753 Valid Tinggi Dipakai 1b 0.567 Valid Sedang Dipakai 1c 0.547 Valid Sedang Dipakai 2a 0.676 Valid Sedang Dipakai 2b 0.731 Valid Tinggi Dipakai 3 0.778 Valid Tinggi Dipakai 4a 0.422 Valid Sedang Dipakai 4b 0.827 Valid Tinggi Dipakai 5 0.830 Valid Tinggi Dipakai 6 0.879 Valid Tinggi Dipakai Hasil uji validitas pada tabel 3.3 menunjukkan bahwa soal kemampuan pemahaman matematis telah memenuhi karakteristik yang memadai untuk digunakan dalam penelitian, yaitu valid dengan kategori sedang dan tinggi.
3.4.1.2Analisis Reliabilitas Soal
Reliabilitas merupakan tingkat konsistensi atau keajegan data. Soal yang baik harus bisa memberikan hasil yang tetap sama (konsisten), jika diberikan kepada subjek yang sama, walaupun oleh orang yang berbeda, kapan pun dan di
(24)
mana pun. Reliabilitas tes esai dihitung dengan rumus Cronbach Alpha (Arikunto, 2012), yaitu:
Adapun interpretasi koefisien reliabilitas, akan digunakan kriteria Guilford (Suherman, 2003) sebagai berikut.
Tabel 3.4
Klasifikasi Interpretasi Koefisien Reliabilitas
Interval Interpretasi Reliabilitas
r ≤ 0,20 Sangat rendah
0,20 < r ≤ 0,40 Rendah
0,40 < r ≤ 0,60 Sedang
0,60 < r ≤ 0,80 Tinggi
0,80 < r ≤ 1,00 Sangat Tinggi
Uji validitas kemampuan pemahaman matematis dalam penelitian ini menggunakan MS. Excel 2010. Hasil rekapitulasinya dapat dilihat dalam tabel 3.5 berikut.
Tabel 3.5
Data Hasil Uji Reliabilitas Butir Soal Kemampuan Pemahaman Matematis
Kemampuan rhitung Kriteria Kategori
Pemahaman 0.873 Reliabel Tinggi
Hasil uji reliabilitas pada tabel 3.5 menunjukkan bahwa soal kemampuan pemahaman matematis telah memenuhi karakteristik yang memadai untuk digunakan dalam penelitian, yaitu reliabel dengan kategori tinggi.
3.4.1.3. Analisis Daya Pembeda
Analisis daya pembeda adalah kemampuan soal untuk dapat membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dan siswa yang berkemampuan rendah. Jika siswa yang pandai dapat mengerjakan sebuah soal dengan baik, sedangkan siswa yang kurang pandai tidak dapat mengerjakan soal dengan baik, maka soal tersebut dikatakan memiliki daya pembeda yang baik.
(25)
Untuk menghitung daya pembeda, siswa dikelompokkan menjadi dua; kelompok atas terdiri dari siswa-siswa yang tergolong pandai, dan kelompok bawah terdiri dari siswa-siswa yang tergolong kurang pandai.
Dalam penelitian ini, daya pembeda dihitung dengan menggunakan rumus Surapranata (2006). Hasil perhitungan klasifikasi daya pembeda dengan MS. Excel 2010, selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran C.3 dan diperoleh daya pembeda untuk setiap butir soal tes kemampuan pemahaman matematis seperti terlihat pada tabel 3.7.
Tabel 3.7 menunujukkan hasil daya pembeda uji coba soal tes kemampuan pemahaman matematis, memiliki interpretasi sangat baik, baik, dan cukup. Artinya soal-soal tersebut dapat digunakan untuk membedakan tingkat kemampuan pemahaman matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model kooperatif tipe The Power of Two dan tipe Jigsaw, baik secara keseluruhan, maupun berdasarkan kelompok kemampuan awal matematis (KAM) tinggi, sedang, dan rendah.
Tabel 3.6
Data Hasil Uji Daya Pembeda Soal Kemampuan Pemahaman Matematis
Kemampuan Nomor Soal Koefisien Daya
Pembeda Interpretasi
Pemahaman
1a 0.962 Sangat baik
1b 0.692 Baik
1c 0.538 Baik
2a 0.731 Sangat baik 2b 0.731 Sangat baik 3 0.712 Sangat baik 4a 0.231 Cukup 4b 0.885 Sangat baik
5 0.885 Sangat baik 6 0.865 Sangat baik
3.4.1.4. Analisisis Tingkat Kesukaran
Mutu soal pada suatu tes dapat diketahui dari taraf kesukaran masing-masing butir soal. Soal yang baik adalah soal yang mempunyai taraf kesukaran yang memadai, artinya tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar (Surapranata,
(26)
2006). Rumus tingkat kesukaran yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada rumus yang diajukan oleh Surapranata (2006)
Adapun klasifikasi tingkat kesukaran menurut Suherman (2003) adalah: Tabel 3.7
Kriteria Tingkat Kesukaran
Kriteria Tingkat Kesukaran Klasifikasi
IK = 0,00 Terlalu sukar
0,00 < IK ≤ 0,30 Sukar 0,30 < IK ≤ 0,70 Sedang 0,70 < IK < 1,00 Mudah
IK = 1,00 Terlalu Mudah
Hasil rekapitulasi perhitungan uji tingkat kesukaran soal kemampuan pemahaman matematis yang digunakan dalam penelitian ini tersaji dalam tabel 3.8 berikut.
Tabel 3.8
Data hasil uji tingkat kesukaran soal Kemampuan pemahaman matematis
Kemampuan Nomor Soal Koefisien Indeks
Kesukaran Interpretasi
Pemahaman
1a 0.457 Sedang
1b 0.348 Sedang
1c 0.283 Sukar
2a 0.326 Sedang
2b 0.304 Sedang
3 0.261 Sukar
4a 0.630 Sedang
4b 0.391 Sedang
5 0.375 Sedang
6 0.299 Sukar
Berdasarkan Tabel 3.8 diperoleh hasil bahwa tingkat kesukaran soal bervariasi antara sedang dan sukar. Secara keseluruhan berarti instrumen tes dapat digunakan dalam penelitian.
(27)
3.4.2. Angket Disposisi Siswa
Pembuatan angket siswa bertujuan untuk mengetahui disposisi matematis siswa terhadap pembelajaran dengan model kooperatif tipe TPOT dan tipe Jigsaw. Angket tersebut terdiri atas 15 pertanyaan positif, dan 15 pertanyaan negatif, dengan empat alternatif jawaban yang mengacu pada skala Likert yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS), tanpa pilihan netral dengan tujuan untuk menghindari keraguan siswa dalm menentukan pilihan yang diajukan dan mendorong siswa menunjukkan keberpihakan pada salah satu pernyataan yang diajukan. Sebelum dibuat pernyataan, terlebih dahulu dibuat kisi-kisi angket yang memenuhi validitas konstruk berdasarkan pertimbangan ahli, dalam hal ini dosen pembimbing.
3.4.3 Kemampuan Awal Matematis
Pada penelitian ini dikelompokkan pula kemampuan awal matematis (KAM) pada masing-masing kelas yang terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok atas, tengah, dan bawah. Pengelompokkan KAM ini dibuat berdasarkan hasil Ujian Akhir Semester ganjil Tahun Pelajaran 2014/ 2015.
Kategori KAM dalam penelitian ini didasarkan pada pengelompokan yang diajukan oleh Arikunto (2009) seperti yang tersaji pada tabel 3.8 di bawah ini.
Tabel 3.9
Kategori Kemampuan Awal Matematis (KAM) Siswa
Interval Skor Kategori
Xi ≥ rataan + standar deviasi Atas rataan - standar deviasi < Xi < rataan + standar deviasi Tengah
rataan - standar deviasi ≤ Xi Bawah
(Arikunto, 2009)
Berdasarkan aturan pengelompokan di atas, diperoleh pengelompokan siswa dalam penelitian ini sebagaimana disajikan pada lampiran D.1 dan D.2. Adapun rangkumannya disajikan pada tabel 3.9 di bawah ini.
(28)
Tabel 3.10
Hasil pengelompokan Siswa Berdasarkan Kategori KAM
Kategori Jumlah Siswa
Atas 14
Tengah 39
Bawah 14
Jumlah 67
3.4. Prosedur Penelitian
Secara garis besar, prosedur dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir.
3.5.1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan meliputi kegiatan sebagai berikut:
1) Melakukan kajian teoritis mengenai: pembelajaran dengan model kooperatif tipe TPOT dan tipe Jigsaw, kemampuan pemahamann dan disposisi matematis, melakukan studi pendahuluan, serta merumuskan masalah dan hipotesis.
2) Menyusun proposal dengan bimbingan PA, kemudian diseminarkan untuk memperoleh masukan dan saran dari tim penguji. Setelah diseminarkan, proposal diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan dari tim penguji, kemudian proposal disahkan oleh tim penguji.
3) Menyusun instrumen dengan bimbingan dosen pembimbing. Setelah
mendapat persetujuan dari dosen pembimbing, instrumen diujicobakan di kelas yang pernah memperoleh materi Sistem Persamaan Linear Satu Variabel, yaitu kelas VIII..
4) Memvalidasi, menganalisis, dan memperbaiki instrumen sebelum digunakan dalam penelitian.
5) Mengembangkan rencana pembelajaran dan LKS untuk kedua kelas
(29)
3.5.2. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan, meliputi kegiatan sebagai berikut.
a. Melakukan pemilihan sampel, dengan memilih dua kelas dari sepuluh kelas VIII yang ada di SMP Negeri 2 Banjaran untuk dijadikan kelas eksperimen 1 (kelas Jigsaw) dan ekspeimen 2 (kelas TPOT).
b. Memberikan pretes pada kelas Jigsaw dan kelas TPOT, untuk mengetahui kemampuan pemahaman siswa.
c. Melaksanakan pembelajaran dengan model kooperatif tipe TPOT dan tipe Jigsaw.
d. Memberikan postes pada Kelas Jigsaw dan Kelas TPOT untuk mengetahui kemampuan pemahaman matematis siswa dan melakukan pengisian angket untuk mengetahui disposisi matematis siswa setelah diberi perlakuan.
3.5.3. Tahap Pembuatan Laporan
Pada tahap akhir ini peneliti melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
a. Mengolah dan menganalisis hasil pretes, postes, dan angket siswa untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelum penelitian.
b. Mengkaji temuan-temuan yang diperoleh selama penelitian dan membuat kesimpulan dari penelitian.
c. Menyusun laporan.
3.6. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini terdiri atas dua macam data, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang diperoleh dari hasil tes kemampuan pemahaman matematis. Sedangkan data kualitatif adalah data yang diperoleh dari hasil angket disposisi matematis. Data ini digunakan untuk melihat perbedaan disposisi matematis siswa pada kedua kelas eksperimen setelah diberi perlakuan.
(30)
3.6.1. Data Tes Kemampuan Pemahaman Matematis
Data hasil tes kemampuan pemahaman matematis digunakan untuk mengkaji pencapaian dan peningkatan kemampuan pemahaman siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model kooperatif tipe Jigsaw dibandingkan dengan yang memperoleh pembelajaran dengan model kooperatif tipe The Power of Two. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan bantuan software MS Excel 2010 dan IBM SPSS Statistics 22. Berikut akan diuraikan secara lebih rinci, langkah-langkah pengolahan data tersebut.
1) Memberikan skor pada jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan pedoman penskoran yang telah ditentukan sebelumnya.
2) Menghitung skor N-Gain kemampuan pemahaman matematis.
Peningkatan kemampuan pemahaman matematis sebelum dan setelah pembelajaran dihitung dengan menggunakan rumus gain ternormalisasi (Meltzer, 2002), yaitu:
<g> = %<G> / %<G>max = (%<Sf> - %<Si>)/(100 %<Si), Keterangan:
<Sf> = Skor postes
<Si>) = Skor pretes
Hasil perhitungan N-Gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi dari Hake (Meltzer, 2002) sebagai berikut.
Tabel 3.7
Klasifikasi Gain Ternormalisasi
Besarnya Gain Klasifikasi
g ≥ 0,70 Tinggi
0,30 ≤ g < 0,70 Sedang
g < 0,30 Rendah
3) Menyajikan Deskripsi Statistik Skor Pretes, Postes, dan N-Gain
Data yang disajikan meliputi skor terendah ( Xmin), skor tertinggi ( Xmax), rata-rata ( ̅), dan standar deviasi (Sd ).
(31)
4) Uji Normalitas Data Pretes, Postes, dan N-Gain
Uji normalitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah data dari kedua kelas berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji statistik Shapiro-Wilk, dengan taraf signifikansi 0,05. Uji normalitas dilakukan terhadap data pretes, postes, dan data gain ternormalisasi (N-Gain). Rumusan hipotesisnya adalah:
H0 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal H1 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal. Adapun kriteria ujinya adalah:
Jika nilai Sig. (p-value) < α, maka H0 ditolak. Jika nilai Sig. (p-value) ≥α, maka H0 diterima.
Hasil dari uji normalitas ini akan menentukan jenis statistik yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya. Apabila data berdistribusi normal maka uji statistik yang digunakan selanjutnya adalah uji statistik parametrik, tetapi apabila hasilnya tidak normal maka uji statistik yang digunakan adalah uji statistik nonparametrik, yaitu uji Mann-Whitney.
5) Uji Homogenitas Data Pretes, Postes dan N-Gain
Tujuan dilakukannya uji homogenitas adalah untuk mengetahui apakah kedua kelompok eksperimen mempunyai variansi yang sama atau tidak. Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan uji Homogenity of Variance (Levene Statistics). Hipotesis statistik yang akan diuji adalah:
H0 : =
Varians siswa kedua kelas homogen H1 : ≠
Varians siswa kedua kelas tidak homogen Keterangan:
:
Varians siswa kelas Jigsaw:
Varians siswa kelas TPOT Kriteria ujinya adalah:(32)
Jika nilai Sig. (p-value) < α (α = 0,05), maka H0 ditolak. Jika nilai Sig. (p-value) ≥α (α = 0,05), maka H0 diterima.
6) Uji Kesamaan Dua Rata-Rata Skor Pretes
Apabila data dari kedua kelas eksperimen berdistribusi normal dan variansinya homogen, selanjutnya dilakukan uji kesamaan dua rata-rata untuk data pretes dengan menggunakan uji t. Tetapi apabila data normal tetapi tidak homogen, maka pengujian selanjutnya menggunakan uji t’. Sedangkan apabila salah satu atau kedua data tidak normal, maka digunakan uji non parametrik Mann-Whitney.
Data pretes diolah menggunakan uji kesamaan dua rata-rata untuk mengetahui kesetaraan kemampuan pemahaman siswa dari kedua kelas eksperimen sebelum mendapat perlakuan. Rumusan hipotesisnya adalah:
H0 : µ1 = µ2
Tidak terdapat perbedaan rata-rata skor pretes kemampuan pemahaman antara kelas Jigsaw dan kelas TPOT
H1: µ1 ≠ µ2
Terdapat perbedaan rata-rata skor pretes kemampuan pemahaman antara kelas Jigsaw dan kelas TPOT
Keterangan:
µ1 : Rata-rata skor pretes kelas Jigsaw µ2 : Rata-rata skor pretes kelas TPOT Kriteria pengujian hipotesisnya adalah:
Jika nilai Sig. (2-tailed) < α (α = 0,05), maka H0 ditolak. Jika nilai Sig. (2-tailed) ≥ α (α = 0,05), maka H0 diterima.
7) Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Data Skor Postes
Hipotesis I: Terdapat perbedaan pencapaian kemampuan pemahaman
matematis siswa antara yang memperoleh pembelajaran dengan model koopetratif tipe The Power of Two dan tipe Jigsaw.
Untuk menguji hipotesis I, dilakukan uji perbedaan dua rata-rata skor postes dengan taraf signifikansi α = 0,05. Adapun rumusan hipotesisnya adalah: H0 : µ1 = µ2
(33)
Tidak terdapat perbedaan rata-rata skor postes kemampuan pemahaman antara kelas Jigsaw dan kelas TPOT
H1: µ1 ≠ µ2
Terdapat perbedaan rata-rata skor postes kemampuan pemahaman antara kelas Jigsaw dan kelas TPOT
Keterangan:
µ1 : Rata-rata skor postes kelas Jigsaw µ2 : Rata-rata skor postes kelas TPOT Kriteria pengujian hipotesisnya adalah: Jika nilai Sig. (2-tailed) < α, maka H0 ditolak. Jika nilai Sig. (2-tailed) ≥ α, maka H0 diterima.
Sebelum dilakukan uji perbedaan dua rata-rata, dilakukan uji asumsi normalitas dan homogenitas. Jika data normal dan homogen, maka uji perbedaan dua rata-rata, dilakukan dengan uji-t. Jika data normal tetapi tidak homogen, maka uji selanutnya menggunakan uji –t’. Jika salah satu atau kedua data tidak normal, , maka uji perbedaan dilakukan dengan uji nonparametrik Mann-Whitney.
8) Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Data Gain Ternormalisasi (N-Gain) Berdasarkan Model dan KAM (Atas, Tengah, Bawah)
Uji perbedaan dua rata-rata terhadap skor gain ternormalisasi dengan α = 0,05, dilakukan untuk melihat apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman pada kedua kelas eksperimen setelah memperoleh pembelajaran dengan model kooperatif tipe TPOT dan tipe Jigsaw berdasarkan model pembelajaran (secara keseluruhan) dan berdasarkan kemampuan awal siswa (KAM).
Jika data normal dan homogen, maka uji statistik yang digunakan adalah uji-t. Jika data berasal dari populasi yang berdiatribusi normal tetapi variansinya tidak homogen, maka uji statistik yang digunakan adalah uji t’, sedangkan jika salah satu, atau kedua data berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal, maka uji statistik menggunakan uji non-parametrik Mann-Whitney.
(34)
3.6.2. Data Angket Disposisi
Angket disposisi ditujukan untuk mengetahui perbedaan disposisi siswa dalam matematika. Langkah-langkah dalam menganalisis angket disposisi adalah sebagai berikut.
1) Data yang diperoleh dari siswa dianalisis dengan menghitung jumlah siswa yang memilih sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).
2) Skala kualitatif ditransfer ke dalam skala kuantitatif. Pemberian skor untuk pernyataan positif (favorable) adalah 1 (STS), 2 (TS), 4 (S), dan 5 (SS). Sebaliknya untuk skor pernyataan negatif (unfavorable) adalah 1 (SS), 2 (S), 4 (TS), dan 5 (STS) (Suherman, 2003).
3) Data yang diperoleh dari masing-masing siswa dijumlahkan.
4) Karena data merupakan data ordinal yang berasal dari kelompok sampel yang berbeda, maka untuk menguji perbedaannya akan digunakan uji non-parametrik Mann-Whitney (Reksoatmojo, 2009).
5) Hipotesis yang diuji adalah:
Ho: µ1 = µ2 Tidak terdapat perbedaan disposisi matematis siswa antara yang memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw dan yang memperoleh pembelajaran model kooperatif tipeTPOT.
H1: µ1 ≠ µ2 Terdapat perbedaan disposisi matematis siswa antara yang memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw dan yang memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe TPOT.
Kriteria pengujiannya adalah:
Jika nilai Sig. (2-tailed) < α (α = 0,05), maka H0 ditolak. Jika nilai Sig. (2-tailed) ≥ α (α = 0,05), maka H0 diterima.
(1)
3.5.2. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan, meliputi kegiatan sebagai berikut.
a. Melakukan pemilihan sampel, dengan memilih dua kelas dari sepuluh kelas VIII yang ada di SMP Negeri 2 Banjaran untuk dijadikan kelas eksperimen 1 (kelas Jigsaw) dan ekspeimen 2 (kelas TPOT).
b. Memberikan pretes pada kelas Jigsaw dan kelas TPOT, untuk mengetahui
kemampuan pemahaman siswa.
c. Melaksanakan pembelajaran dengan model kooperatif tipe TPOT dan tipe
Jigsaw.
d. Memberikan postes pada Kelas Jigsaw dan Kelas TPOT untuk mengetahui
kemampuan pemahaman matematis siswa dan melakukan pengisian angket untuk mengetahui disposisi matematis siswa setelah diberi perlakuan.
3.5.3. Tahap Pembuatan Laporan
Pada tahap akhir ini peneliti melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
a. Mengolah dan menganalisis hasil pretes, postes, dan angket siswa untuk
menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelum penelitian.
b. Mengkaji temuan-temuan yang diperoleh selama penelitian dan membuat
kesimpulan dari penelitian.
c. Menyusun laporan.
3.6. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini terdiri atas dua macam data, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang diperoleh dari hasil tes kemampuan pemahaman matematis. Sedangkan data kualitatif adalah data yang diperoleh dari hasil angket disposisi matematis. Data ini digunakan untuk melihat perbedaan disposisi matematis siswa pada kedua kelas eksperimen setelah diberi perlakuan.
(2)
3.6.1. Data Tes Kemampuan Pemahaman Matematis
Data hasil tes kemampuan pemahaman matematis digunakan untuk mengkaji pencapaian dan peningkatan kemampuan pemahaman siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model kooperatif tipe Jigsaw dibandingkan dengan yang memperoleh pembelajaran dengan model kooperatif tipe The Power of Two. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan bantuan software MS Excel 2010 dan IBM SPSS Statistics 22. Berikut akan diuraikan secara lebih rinci, langkah-langkah pengolahan data tersebut.
1) Memberikan skor pada jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban
dan pedoman penskoran yang telah ditentukan sebelumnya.
2) Menghitung skor N-Gain kemampuan pemahaman matematis.
Peningkatan kemampuan pemahaman matematis sebelum dan setelah pembelajaran dihitung dengan menggunakan rumus gain ternormalisasi (Meltzer, 2002), yaitu:
<g> = %<G> / %<G>max = (%<Sf> - %<Si>)/(100 %<Si),
Keterangan:
<Sf> = Skor postes
<Si>) = Skor pretes
Hasil perhitungan N-Gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi dari Hake (Meltzer, 2002) sebagai berikut.
Tabel 3.7
Klasifikasi Gain Ternormalisasi
Besarnya Gain Klasifikasi
g ≥ 0,70 Tinggi
0,30 ≤ g < 0,70 Sedang
g < 0,30 Rendah
3) Menyajikan Deskripsi Statistik Skor Pretes, Postes, dan N-Gain
Data yang disajikan meliputi skor terendah ( Xmin), skor tertinggi ( Xmax), rata-rata ( ̅), dan standar deviasi (Sd ).
(3)
4) Uji Normalitas Data Pretes, Postes, dan N-Gain
Uji normalitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah data dari kedua kelas berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji statistik Shapiro-Wilk, dengan taraf signifikansi 0,05. Uji normalitas dilakukan terhadap data pretes, postes, dan data gain ternormalisasi (N-Gain). Rumusan hipotesisnya adalah:
H0 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
H1 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal.
Adapun kriteria ujinya adalah:
Jika nilai Sig. (p-value) < α, maka H0 ditolak.
Jika nilai Sig. (p-value) ≥α, maka H0 diterima.
Hasil dari uji normalitas ini akan menentukan jenis statistik yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya. Apabila data berdistribusi normal maka uji statistik yang digunakan selanjutnya adalah uji statistik parametrik, tetapi apabila hasilnya tidak normal maka uji statistik yang digunakan adalah uji statistik nonparametrik, yaitu uji Mann-Whitney.
5) Uji Homogenitas Data Pretes, Postes dan N-Gain
Tujuan dilakukannya uji homogenitas adalah untuk mengetahui apakah kedua kelompok eksperimen mempunyai variansi yang sama atau tidak. Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan uji Homogenity of Variance (Levene Statistics). Hipotesis statistik yang akan diuji adalah:
H0 : =
Varians siswa kedua kelas homogen
H1 : ≠
Varians siswa kedua kelas tidak homogen Keterangan:
:
Varians siswa kelas Jigsaw:
Varians siswa kelas TPOT(4)
Jika nilai Sig. (p-value) < α (α = 0,05), maka H0 ditolak.
Jika nilai Sig. (p-value) ≥α (α = 0,05), maka H0 diterima.
6) Uji Kesamaan Dua Rata-Rata Skor Pretes
Apabila data dari kedua kelas eksperimen berdistribusi normal dan variansinya homogen, selanjutnya dilakukan uji kesamaan dua rata-rata untuk data pretes dengan menggunakan uji t. Tetapi apabila data normal tetapi tidak
homogen, maka pengujian selanjutnya menggunakan uji t’. Sedangkan apabila
salah satu atau kedua data tidak normal, maka digunakan uji non parametrik Mann-Whitney.
Data pretes diolah menggunakan uji kesamaan dua rata-rata untuk mengetahui kesetaraan kemampuan pemahaman siswa dari kedua kelas eksperimen sebelum mendapat perlakuan. Rumusan hipotesisnya adalah:
H0 : µ1 = µ2
Tidak terdapat perbedaan rata-rata skor pretes kemampuan pemahaman antara kelas Jigsaw dan kelas TPOT
H1: µ1 ≠ µ2
Terdapat perbedaan rata-rata skor pretes kemampuan pemahaman antara kelas Jigsaw dan kelas TPOT
Keterangan:
µ1 : Rata-rata skor pretes kelas Jigsaw
µ2 : Rata-rata skor pretes kelas TPOT
Kriteria pengujian hipotesisnya adalah:
Jika nilai Sig. (2-tailed) < α (α = 0,05), maka H0 ditolak.
Jika nilai Sig. (2-tailed) ≥ α (α = 0,05), maka H0 diterima.
7) Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Data Skor Postes
Hipotesis I: Terdapat perbedaan pencapaian kemampuan pemahaman
matematis siswa antara yang memperoleh pembelajaran dengan model koopetratif tipe The Power of Two dan tipe Jigsaw.
Untuk menguji hipotesis I, dilakukan uji perbedaan dua rata-rata skor
postes dengan taraf signifikansi α = 0,05. Adapun rumusan hipotesisnya adalah:
(5)
Tidak terdapat perbedaan rata-rata skor postes kemampuan pemahaman antara kelas Jigsaw dan kelas TPOT
H1: µ1 ≠ µ2
Terdapat perbedaan rata-rata skor postes kemampuan pemahaman antara kelas Jigsaw dan kelas TPOT
Keterangan:
µ1 : Rata-rata skor postes kelas Jigsaw
µ2 : Rata-rata skor postes kelas TPOT
Kriteria pengujian hipotesisnya adalah: Jika nilai Sig. (2-tailed) < α, maka H0 ditolak.
Jika nilai Sig. (2-tailed) ≥ α, maka H0 diterima.
Sebelum dilakukan uji perbedaan dua rata-rata, dilakukan uji asumsi normalitas dan homogenitas. Jika data normal dan homogen, maka uji perbedaan dua rata-rata, dilakukan dengan uji-t. Jika data normal tetapi tidak homogen, maka uji selanutnya menggunakan uji –t’. Jika salah satu atau kedua data tidak normal, , maka uji perbedaan dilakukan dengan uji nonparametrik Mann-Whitney.
8) Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Data Gain Ternormalisasi (N-Gain)
Berdasarkan Model dan KAM (Atas, Tengah, Bawah)
Uji perbedaan dua rata-rata terhadap skor gain ternormalisasi dengan α = 0,05, dilakukan untuk melihat apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman pada kedua kelas eksperimen setelah memperoleh pembelajaran dengan model kooperatif tipe TPOT dan tipe Jigsaw berdasarkan model pembelajaran (secara keseluruhan) dan berdasarkan kemampuan awal siswa (KAM).
Jika data normal dan homogen, maka uji statistik yang digunakan adalah uji-t. Jika data berasal dari populasi yang berdiatribusi normal tetapi variansinya tidak homogen, maka uji statistik yang digunakan adalah uji t’, sedangkan jika salah satu, atau kedua data berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal, maka uji statistik menggunakan uji non-parametrik Mann-Whitney.
(6)
3.6.2. Data Angket Disposisi
Angket disposisi ditujukan untuk mengetahui perbedaan disposisi siswa dalam matematika. Langkah-langkah dalam menganalisis angket disposisi adalah sebagai berikut.
1) Data yang diperoleh dari siswa dianalisis dengan menghitung jumlah siswa yang memilih sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).
2) Skala kualitatif ditransfer ke dalam skala kuantitatif. Pemberian skor untuk pernyataan positif (favorable) adalah 1 (STS), 2 (TS), 4 (S), dan 5 (SS). Sebaliknya untuk skor pernyataan negatif (unfavorable) adalah 1 (SS), 2 (S), 4 (TS), dan 5 (STS) (Suherman, 2003).
3) Data yang diperoleh dari masing-masing siswa dijumlahkan.
4) Karena data merupakan data ordinal yang berasal dari kelompok sampel yang
berbeda, maka untuk menguji perbedaannya akan digunakan uji non-parametrik Mann-Whitney (Reksoatmojo, 2009).
5) Hipotesis yang diuji adalah:
Ho: µ1 = µ2 Tidak terdapat perbedaan disposisi matematis siswa antara
yang memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw dan yang memperoleh pembelajaran model
kooperatif tipeTPOT.
H1: µ1 ≠ µ2 Terdapat perbedaan disposisi matematis siswa antara yang
memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw dan yang memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe TPOT.
Kriteria pengujiannya adalah:
Jika nilai Sig. (2-tailed) < α (α = 0,05), maka H0 ditolak.