Pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe FSLC (Formulate-Share-Listen-Create) terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis siswa

(1)

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN

KOOPERATIF TIPE FSLC (Formulate-Share-Listen-Create)

TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF

MATEMATIS SISWA

(Penelitian Quasi Eksperimen di Kelas VII SMPN 3 Kota Tangerang Selatan)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Disusun Oleh:

Siti Hasanah

108017000060

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

i

ABSTRAK

Siti Hasanah (108017000060). “Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe FSLC (Formulate-Share-Listen-Create) Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa (Penelitian Kuasi Eksperimen di SMPN I Tangerang Selatan).Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2013.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe FSLC terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Penelitian dilakukan di SMP Negeri 3 Kota Tangerang Selatan pada siswa kelas VII tahun ajaran 2012/2013. Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan rancangan penelitian two group randomized subject post test only. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan tehnik cluster random sampling yaitu memilih dua kelas secara acak dari 9 kelas. Sampel penelitian pada kelas eksperimen berjumlah 45 siswa yaitu pada kelas VII-6 dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe FSLC. Sampel pada kelas kontrol berjumlah 45 siswa yaitu pada kelas VII-7 dengan menggunakan model pembelajaran konvensional. Berdasarkan hasil tes kemampuan berpikir kreatif yang diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol menghasilkan nilai rata-rata kelas kontrol 64,17 dan kelas eksperimen 73. Berdasarkan analisis dengan uji t, diperoleh nilai thitung

yaitu sebesar 3,35 lebih besar dibandingkan dengan nilai ttabel dengan derajat

kebebasan (dk) = 88dan taraf signifikansi (α) = 0,05 yaitusebesar 1,99 (3,35 > 1,99), maka ditolak dan diterima, yang artinya rata-rata kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe FSLC lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran konvensional. Dengan demikian, penerapan model pembelajaran kooperatif tipe FSLC berpengaruh positif terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

Kata Kunci: Model Pembelajaran kooperatif tipe FSLC, Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis


(6)

ii

Student (Quasi-Experiments in SMPN 3 South Tangerang City).Skripsi of Mathematic Education Department, Faculty of Tarbiyah and Teachers Training, State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.

This research aims to find the influence of Cooperative Learning with FSLC type to mathematical creative thinking ability of student. The research was conducted at SMP State 3 South Tangerang city class VII student of the school year 2012/2013. The research method used was quasi experimental research design two group randomized subject post test only. Samples were taken by using the technique cluster random sampling that is randomly selecting two classes from 9 classes. The research sample in the experimental class numbered 45 students that is in class VII- 6 using the cooperative learning with FSLC type. The sample in control classes totaling 45 students that is in the class VII-7 using conventional learning. Based on result of creative thinking ability test that give to experiment class and control class value obtained is equal to 64,17 for control class and 73 for experiment class. Based on the analysis by t test, t value obtained is equal to 3.35 greater than the value of t tables with degrees of freedom (df) = 88 and a significance level (α)= 0.05 is equal to 1.99 (3.35> 1.99), it H0 rejected and H1 accepted, which means an average of

mathematical creative thinking abilities of students taught using cooperative learning with FSLC type to teaching higher than the average of students' mathematical creative thinking abilities are taught using conventional teaching. Thus, the implementation of cooperative learning with FSLC type to learning a positive effect on students' mathematical creative thinking ability.

Key Words: Cooperative Learning with FSLC Type, Mathematical Creative Thinking Ability.


(7)

iii

KATA PENGANTAR ﻢﯾﺤرﻟاﻦﻣﺤرﻟاﷲاﻢﺳﺑ

Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji bagi Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya serta memberikan kemudahan dan kekuatan bagi penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Salawat dan salam senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan para pengikutnya sampai akhir zaman.

Selama penulisan skripsi ini penulis menyadari cukup banyak kesulitan yang dihadapi, sehingga membuat penulis merasa berat untuk menyelesaikannya. Selain itu juga keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis membuat penulis harus lebih banyak belajar agar skripsi ini dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya. Dorongan, semangat, bimbingan dari berbagai pihak pun mempunyai peranan yang sangat penting dalam memotivasi penulis untuk terus berusaha menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. NurlenaRifa’i, MA.,Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Maifalinda Fatra, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak. Otong Suhyanto, M.Si., Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dr. Tita Khalis Maryati, M. Kom, selaku Dosen Penasehat Akademik yang penuh kesabaran, bimbingan, waktu, arahan dan semangat dalam membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan.

5. Ibu Dra. Afidah Mas’ud sebagai Dosen Pembimbing I dan Ibu Maifalinda Fatra, M. Pd sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, waktu, saran, dan motivasi kepada penulis selama ini dengan penuh kesabaran dan kesungguhan. Semoga Ibu selalu berada dalam kemuliaan dan lindungan-Nya.


(8)

iv

berikan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.

7. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam menyediakan serta memberikan pinjaman literatur yang dibutuhkan.

8. Staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Staf Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi kemudahan dalam pembuatan surat-surat serta sertifikat.

9. Kepala SMPN 3 Kota Tangerang Selatan Bapak Maryono,S.E.M.M.Pd yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

10. Seluruh dewan guru SMPN 3 Kota Tangerang Selatan, khususnya Ibu Lendra, S.Pd selaku guru mata pelajaran dan Bapak Drs. Sholeh Fathoni selaku Wakasek Kurikulum yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian ini. Serta siswa dan siswi SMPN 3 Kota Tangerang Selatan, khususnya kelas VII-6 dan VII-7.

11. Orang Tua tercinta Mamah Hikah A.M, S.Pd dan Almarhum Bapak Damanhuri Syam, A. Md yang selalu menjadi inspirasi dalam mengejar cita-cita serta selalu mendoakan, menyayangi, dan memberikan semangat moril-materil pada peneliti. Alm. Abah H. Sairun, Umi, Amang Dowi, Uwa, Bibi. Kakak-kakakku yang tersayang Aa Holid dan Aa Rasyid serta Adik-adikku yang tersayang Santi, Niar, dan dede Mira yang selalu memberikan senyum, canda dan semangat pada peneliti, serta seluruh keluarga yang menjadi kekuatan bagi penulis untuk tetap semangat dalam mengejar dan meraih cita-cita.

12. Sahabat-sahabat tercintaku Maspupah, Ekamara Kinasih, Siti Rusdiah, Indah Sari, Marlani Alfanta, dan Maria Urfa. Terima kasih telah memberikan dukungan, perhatian, dan keceriaan selama masa kuliah sampai saat ini.


(9)

v

13. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Matematika angkatan 2008 kelas B dan A, terimakasih atas kebersamaannya selama dibangku perkuliahan dan juga ketersediannya dalam memberikan perhatian dan kasih sayangnya kepada penulis.

14. Sahabat-sahabatku di Muchsin Family : Mince, Mbak’e Emma, Nissa, Nela, Nana, Atu, dan Ka Rara.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis meminta kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan di masa yang akan datang. Akhir kata semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Jakarta, September 2013

Penulis Siti Hasanah


(10)

vi

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR BAGAN... viii

DAFTAR TABEL ... ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II DESKRIPSI TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Deskripsi Teoritis 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis... 10

a. Pengertian Berpikir Kreatif Matematis... 11

b. Indikator Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 13

2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe FSLC ... 18

a. Model Pembelajaran Kooperatif dalam Pembelajaran Matematika………... 18

b. Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif………... 21

c. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe FSLC…….……... 24

d. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Kooperatif tipe FSLC……….... 27


(11)

vii

B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 32

C. Kerangka Berpikir ... 34

D. Hipotesis Penelitian ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

B. Metode dan Desain Penelitian... 37

C. Populasi dan Sampel ... 38

D. Teknik Pengumpulan Data... 39

E. Instrumen Penelitian………... 39

F. Teknik Analisis Data……… 47

G. Hipotesis Statistik ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 54

1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Kelas Eksperimen 54 2. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Kelas Kontrol ... 57

3. Perbandingan KBKM Siswa pada Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol………..62

B. Hasil Pengujian Persyaratan Analisis... 63

C. Hasil Pengujian Hipotesis………... 65

D. Pembahasan Penelitian... . 67

1. Proses Pembelajaran di Kelas ... 67

2. Hasil Postes Kemampuan Berpikir Kreatif matematis……... 69

E. Keterbatasan Penelitian ... . 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 82

B. Saran... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 85


(12)

(13)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Indikator Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis……….... 16

Tabel 3.1 Agenda Penelitian………... 37

Tabel 3.2 DesainPenelitian……… 38

Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis... 39

Tabel 3. 4 Pedoman Penskoran Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis... 40

Tabel 3.5 Pedoman Penskoran Tes KBKM Materi Segiempat... 42

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa Kelompok Eksperimen... 55

Tabel 4.2 Nilai Statistik Kelas Eksperimen…... 57

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa Kelas Kontrol... 57

Tabel 4.4 Nilai Statistik Kelas Kontrol... 59

Tabel 4.5 Perbandingan KBKM Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok kontrol... 60 Tabel 4.6 Nilai Rata-rata Indikator Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol…... 62

Tabel 4.7 Hasil Perhitungan Uji Normalitas... 64

Tabel 4.8 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas……….... 65


(14)

x

Kreatif Matematis Kelompok Eksperimen... 56

Gambar 4.2 Grafik Ogive Distribusi Frekuensi Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Kelompok Kontrol ... 58

Gambar 4.3 Kurva Perbandingan Nilai Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ... 61

Gambar 4.4 Nilai Rata-rata Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol... 63

Gambar 4.5 Kurva Uji Perbedaan Data Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ... 66

Gambar 4.6 Aktifitas Siswa Saat Melakukan Model Pembelajaran Kooperatif tipe FSLC pada tahapShare... 68

Gambar 4.7 Aktifitas Siswa Saat Pembelajaran dengan Model Pembelajaran Konvensional 69... 69

Gambar 4.8a Gambar 4.8b Gambar 4.8c Gambar 4.8d Jawaban Soal no.1 yang benar pada Kelas Eksperimen... Jawaban Soal no.1 yang salah pada Kelas Eksperimen... Jawaban Soal no.1 yang benar pada Kelas Kontrol... Jawaban Soal no.1 yang salah pada Kelas Kontrol... 70 70 71 71 Gambar 4.9a Jawaban soal no 3 yang benar pada Kelas Eksperimen... 73

Gambar 4.9b Jawaban soal no 3 yang salah pada Kelas Eksperimen... 73

Gambar 4.9c Jawaban soal no 3 yang benar pada Kelas Kontrol... 74

Gambar 4.9d Jawaban soal no 3 yang salah pada Kelas Kontrol ... 74

Gambar 4.10a Jawaban soal no 4a yang benar pada Kelas Eksperimen... 75

Gambar 4.10b Jawaban soal no 4a yang salah pada Kelas Eksperimen... 76

Gambar 4.10c Jawaban soal no 4a yang benar pada Kelas Kontrol ... 76

Gambar 4.10d Jawaban soal no 4a yang salah pada Kelas Kontrol... 77


(15)

xi

Gambar 4.11b Jawaban soal no 5 yang salah pada Kelas Eksperimen... 78 Gambar 4.11c Jawaban soal no 5 yang benar pada Kelas Kontrol... 79 Gambar 4.11d Jawaban soal no 5 yang salah pada Kelas Kontrol... 79


(16)

xii

Lampiran 3 LKS Kelas Eksperimen ... 96

Lampiran 4 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Sebelum Validitas ...117

Lampiran 5 Soal Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis...119

Lampiran 6 Kunci Jawaban Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 121

Lampiran 7 Hasil Uji Validitas Instrumen ... 126

Lampiran 8 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen ... 127

Lampiran 9 Hasil Uji Taraf Kesukaran ... 129

Lampiran 10 Hasil Uji Daya Beda Soal Instrumen ... 131

Lampiran 11 Langkah-Langkah Perhitungan Validitas, Reliabilitas, dan Taraf Kesukaran ... 131

Lampiran 12 Rekapitulasi Hasil Uji Validitas, Reliabilitas, dan Taraf Kesukaran ... 135

Lampiran 13 Soal Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis.... 136

Lampiran 14 HasilPost TestKelas Eksperimen ... 138

Lampiran 15 HasilPost TestKelas Kontrol ... 140

Lampiran 16 Distribusi Frekuensi Kelas Eksperimen ... 142

Lampiran 17 Distribusi Frekuensi Kelas Kontrol... 146

Lampiran 18 Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Eksperimen ... 150

Lampiran 19 Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Kontrol ... 151

Lampiran 20 Penghitungan Uji Homogenitas... 152

Lampiran 21 Perhitungan Uji Hipotesis Statistik ... 153

Lampiran 22 Lembar Uji Referensi ... 154

Lampiran 23 Harga Kritik KorelasiProduct Momen Person... 158


(17)

xiii

Lampiran 25 Nilai Kritis Distribusi Kai Kuadrat (Chi Square) ... 160

Lampiran 26 Nilai Kritis Distribusi Kai Kuadrat (lanjutan) ... 161

Lampiran 27 Tabel Nilai Kritis Distribusi F... 162

Lampiran 28 Tabel Nilai Kritis Distribusi F (lanjutan) ... 163

Lampiran 29 Tabel Nilai Kritis Distribusi t... 164


(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu proses untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan menjadikan manusia melalui proses pembelajaran dimana yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu dan sebelumnya tidak bisa menjadi bisa. Pentingnya pendidikan sudah dapat terlihat sejak zaman dahulu. Para filsuf terdahulu yaitu Al Ghazali dan Plato dalam Al Jumhuriyyah serta Aristoteles dalam Al Siyasah mengatakan bahwa perbaikan masyarakat hanya dapat dilakukan dengan perbaikan sistem pendidikan.1

Selain hal di atas dalam Al-qur’an pun banyak ayat yang mengutarakan bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan sangatlah penting. Salah satu ayat yang membahas keutamaan ilmu dan pendidikan yaitu dalam firman Allah pada QS. Az-Zumar ayat 9:

“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan

orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat

menerima pelajaran”.

Ayat tersebut menyatakan bahwa seseorang yang dapat menerima pelajaran atau pengetahuan ialah orang yang berakal. Sehingga untuk dapat lebih mudah menerima pengetahuan kita harus sering mengasah akal kita dengan selalu belajar. Salah satu cara untuk selalu belajar yaitu menempuh pendidikan sampai akhir hayat.

1


(19)

2

Hal lain yang menunjukkan pentingnya pendidikan bagi suatu bangsa adalah seperti yang tertuang dalam UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003 pasal 3 yaitu

“Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi

manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab”.2

Berdasarkan undang-undang tersebut jelas terlihat bahwa Indonesia sangat mementingkan pendidikan karena dengan pendidikan masyarakat Indonesia dapat menjadi insan yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan.

Berdasarkan UU Sisdiknas di atas salah satu tujuan pendidikan adalah menjadikan siswa manusia yang kreatif. Hal ini dikarenakan dengan kemampuan berpikir kreatif seseorang bisa menciptakan sesuatu yang bisa berguna untuk kehidupan. Dunia kerja saat ini sangat membutuhkan kreativitas yang tinggi karena dengan kreativitas seseorang dapat menghasilkan suatu inovasi yang berguna bagi kehidupan. Dunia dengan semua keajaiban teknologinya ada karena kreativitas. Kreativitas menghasilkan benda-benda yang dapat membantu meringankan pekerjaan manusia. Oleh karena itu, kemampuan berpikir secara kreatif perlu dimiliki oleh pelajar saat ini. Karena pelajar-pelajar inilah yang akan mengukir dunia di masa yang akan datang. Sehingga pelajaran-pelajaran yang ada di sekolah pun seharusnya dapat mengasah kemampuan berpikir kreatif para siswa. Kemampuan berpikir kreatif merupakan hal yang sangat penting dimiliki oleh seseorang bukan hanya untuk dapat membuat benda-benda yang membantu pekerjaan manusia tetapi juga membantu menyelesaikan masalah-masalah kehidupan yang kompleks.

Berpikir kreatif merupakan salah satu tingkat kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thingking skill). FJ.King, dkk mengatakan bahwa “Kemampuan berpikir tingkat tinggi meliputi kritis, logis, reflektif, metakognitif, dan berpikir

kreatif”. Kemampuan berpikir kreatif secara operasional menurut Munandar

dapat dirumuskan sebagai “kemampuan yang mencerminkan kelancaran,

keluwesan (fleksibilitas), dan orsinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk

2


(20)

mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci) suatu gagasan.” 3 Sehingga untuk mempunyai kemampuan berpikir kreatif yang tinggi bukan hal yang mudah, karena kemampuan berpikir kreatif memiliki banyak indikator.

Dewasa ini perkembangan pendidikan matematika memiliki peranan yang sangat penting. Matematika tidak hanya sebagai mata pelajaran yang dapat mencerdaskan siswa tetapi juga dapat melatih siswa dalam menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan. Selain melatih siswa untuk berpikir logis matematis juga dapat melatih siswa untuk berpikir kreatif. Seperti yang tercantum dalam Permendiknas Nomor 14 tahun 2007 bahwa matematika diperlukan untuk melatih kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar siswa dapat memiliki kemampuan memperoleh mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.4

Berpikir kreatif merupakan salah satu kemampuan yang dapat diasah melalui pembelajaran matematika. Kemampuan ini dapat terasah jika guru mendorong siswa untuk berpikir divergen dengan cara memberikan siswa masalah-masalah yang memungkinkan siswa untuk menemukan banyak solusi dari suatu masalah. Selain itu kemampuan ini juga dapat berkembang jika pembelajaran di kelas didesain sedemikian rupa sehingga mendorong siswa untuk mengeluaran potensi kreatifnya. Tentu hal ini tidak bisa didapat jika pembelajaran yang dilakukan di kelas masih menggunakan metode yang konvensional dan monoton. Guru masih menggunakan model pembelajaran yang menjadikan siswa sebagai objek pembelajaran. selain itu guru juga masih terpaku pada soal yang tertutup (mempunyai jawaban tunggal). Sehingga siswa tidak terlatih untuk menggunakan kemampuan berpikir kreatifnya karena guru yang seharusnya dapat mendorong semua potensi yang ada dalam diri siswa tidak merancang proses pembelajaran yang inovatif.

3

S. C. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, (Jakarta: Grasindo, 1999), h. 50

4

Permendikas No.14, Standar Isi untuk Program paket A, paket B, dan program paket C,(Jakarta : Depdiknas, 2007), h.82


(21)

4

Metode yang digunakan guru dalam proses pembelajaran pun monoton. Seperti metode ceramah, guru menjelaskan materi kepada siswa hanya dengan tipe komunikasi satu arah. Siswa dibiarkan untuk mendengarkan dengan seksama apa yang guru jelaskan. Tetapi guru terkadang tidak pernah mengetahui sampai sejauh mana siswa dapat menerima materi yang guru jelaskan. Dengan tipe komunikasi yang hanya satu arah siswa menjadi pasif dalam belajar. Hal ini menjadikan siswa tidak berkembang dalam segala potensi yang dimiliki, termasuk potensi mereka untuk berpikir kreatif. Tentu keadaan semacam ini tidak dapat terus dibiarkan. Guru sebagai ujung tombak keberhasilan tercapainya tujuan pembelajaran harus melakukan suatu inovasi dan reformasi dalam kegiatan belajar.

Selain masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas, masalah lain yang juga menjadi batu sandungan di kelas adalah terlalu banyaknya materi yang harus diajarkan kepada siswa tetapi waktu pembelajaran yang ada hanya sedikit. Sehingga gurupun terpaksa menjelaskan materi dengan terburu-buru tanpa memperdulikan kualitas pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan. Akibatnya potensi-potensi yang dimiliki oleh siswa pun termasuk potensi berpikir kreatifnya tidak tergali karena model dan stategi yang digunakan tidak memfasilitasi siswa untuk mengembangkannya.

Salah satu cara yang dapat dilakukan guru untuk dapat menggali segala potensi yang siswa miliki ialah dengan merubah metode yang digunakan dalam pembelajaran di kelas yang semula monoton menjadi inovatif dan menyenangkan. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan Djamarah bahwa pembelajaran matematika yang selama ini terjadi di sekolah-sekolah harus mengalami perubahan paradigma yaitu dari teacher centered menjadi learner centered.5 Learner centered atau student centered merupakan paradigma baru dalam dunia pendidikan yang dianggap mempunyai kelebihan dibandingkan dengan teacher centered. Paradigma ini memberikan ruang yang lebih luas kepada siswa untuk

5Gelar Dwirahayu, “Strategi Pembelajaran Berorientasi Aktivitas siswa untuk meningkatkan prestasi Belajar Siswa SMP”, Algoritma Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, (Jakarta: CeMED, 2007), Vol. 2 No. 2, h. 220.


(22)

berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya, karena siswa tidak pasif di kelas tetapi siswa didorong untuk menggali sendiri pengetahuannya, berinteraksi dengan temannya di kelas, berdiskusi, presentasi di depan kelas.

Selain model pembelajaran di kelas yang monoton, ketakutan siswa terhadap pelajaran matematika juga mempengaruhi proses pembelajaran. Hampir pada setiap jenjang pendidikan, siswa merasa takut dan jenuh dengan matematika karena bahasanya yang formal. Guru biasanya memulai pelajaran dengan dasar teori, pernyataan-pernyataan yang mengandung simbol-simbol atau definisi-definisi. Padahal teori-teori atau konsep formal tidak harus diberikan di awal materi, pada awal materi guru bisa memaparkan materi menjadi sebuah cerita yang menarik.6 Sehingga dari awal siswa tidak merasa takut ataupun jenuh justru sebaliknya siswa jadi tertarik untuk mengetahui materi dengan bertanya kepada gurunya ataupun berdiskusi dengan siswa lain. Rasa takut dan jenuh terhadap pelajaran ini mempengaruhi motivasi belajar siswa yang akhirnya membuat siswa jadi malas belajar dan tidak merespon apa yang guru jelaskan.

Kekeliruan-kekeliruan dalam proses pembelajaran dapat menyebabkan rendahnya kemampuan matematis siswa mulai dari pemahaman konsep, komunikasi matematis, penalaran, kemampuan dalam pemecahan masalah dan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa seperti kemampuan berpikir kreatif dan kritis siswa. Beberapa fakta yang menunjukkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang rendah ditemukan penulis. Pertama, penulis melakukan tes kemampun berpikir kreatif matematis tingkat rendah kepada 41orang siswa di sebuah SMP di daerah Tangerang Selatan. Soal yang digunakan mengukur indikator berpikir lancar (fluency). Hasilnya menunjukkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswanya rendah, yaitu dari 41 siswa hanya ada 9% siswa yang dapat menjawab soal yang diberikan dengan banyak jawaban. Rata-rata nilai indikator fluency hanya mencapai 39. Fakta lainnya yang menunjukkan rendahnya

6Gaguk Margono, “Keterkaitan antara

Problem Solving dengan kreativitas dalam Pembelajaran Matematika”, Algoritma Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, (Jakarta: CeMED, 2007), Vol. 2 No. 1, h. 49.


(23)

6

kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yaitu ditemukan pada penelitian Intan Jatiningrum, rata-rata kemampuan berpikir kreatif matematis dari 36 siswa yang ada pada kelas kontrol sebesar 47, 39, tentu nilai ini masih rendah dan masih perlu ditingkatkan.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka sudah seharusnya guru matematika melakukan suatu reformasi dalam pembelajaran. Guru sebaiknya tidak menggunakan metode yang membiarkan siswa hanya pasif mendengarkan penjelasan dari guru. Tetapi lebih ditekankan pada metode pembelajaran yang menstimulus siswa untuk lebih aktif membangun pemahamannya sendiri. Hal ini sejalan dengan teori belajar konstruktivisme. Tugas guru matematika adalah memotivasi dan menstimulus perkembangan setiap individu di dalam kelas untuk bereksplorasi, mengajukan pertanyaan, dan menguatkan kompetensi matematika siswa dalam kemampuan berpikir kreatifnya.

Model pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruksivisme diantaranya adalah pembelajaran kooperatif, yaitu suatu pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, sehingga siswa dapat belajar bersama-sama, saling membantu dan melengkapi satu dengan yang lainnya dalam menyelesaikan tugas atau permasalahan yang diberikan oleh guru. Dengan menerapkan pembelajaran kooperatif, setiap siswa dapat mendiskusikan pendapat, bertanya, belajar dari pendapat orang lain, memberikan kritik dan menyimpulkan penemuan mereka, sehingga mendapatkan pemahaman yang lebih baik daripada dengan mempelajarinya secara individu.

Kreativitas merupakan produk berpikir kreatif seseorang. Berpikir kreatif merupakan suatu proses yang digunakan ketika kita mendatangkan atau memunculkan suatu ide baru. Hal itu menggabungkan ide-ide yang sebelumnya yang belum dilakukan.7 Pernyataan tersebut sesuai dengan tahapan dalam salah satu tipe dalam model pembelajaran kooperatif yaitu FSLC. Tahap yang sesuai

7

Tatag Yuli Eko Siswono dan Abdul Haris Rosyidi, Menilai Kreativitas Siswa dalam Matematika, Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika “Peranan

Matematika dan terapannya dalam meningkatkan Mutu Sumber Daya Manusia Indonesia”, (Surabaya : Matematika FMIPA UNESA, 2005), h.2


(24)

dengan pernyataan di atas yaitu formulate dan create. Formulate dalam konteks ini yaitu merumuskan atau memformulasikan jawaban dari permasalahan yang guru berikan secara individual. Sedangkan create yang berarti membuat sebuah jawaban baru yang menggabungkan ide-ide terbaik.

Peneliti memilih model pembelajaran kooperatif tipe FSLC (Formulate-Share-Listen-Create) untuk menjadi solusi dari permasalahan telah dipaparkan di atas. Hal ini disebabkan karena FSLC dapat mengakomodasi kepentingan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dalam penelitian ini peneliti mengambil judul yaitu :“Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe FSLC (Formulate-Share-Listen-Create) terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan juga berdasarkan pengalaman peneliti selama melakukan praktek mengajar di salah satu sekolah maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut :

a. Kemampuan berpikir kreatif matematis siswa masih rendah.

b. Siswa di kelas hanya pasif mendengarkan uraian materi dari gurunya, menerima, menghafal ilmu atau informasi dari guru.

c. Guru masih menggunakan model pembelajaran yang monoton sehingga siswa cenderung jenuh ketika proses belajar berlangsung.

d. Siswa merasa takut belajar matematika karena bahasa matematika yang formal dan dipenuhi dengan simbol-simbol dan definisi yang abstrak. e. Motivasi belajar matematika dari siswa masih rendah

f. Rendahnya prestasi belajar siswa dalam pelajaran matematika.

g. Terlalu banyak materi yang harus siswa pelajari sehinggga guru terkadang terburu-buru dalam menjelaskan materi.

C. Pembatasan Masalah

Agar penelitian lebih terarah dan mengingat permasalahan yang ada cukup luas maka perlu dilakukan pembatasan masalah. Masalah untuk penelitian ini akan dibatasi pada:


(25)

8

1. Kemampuan berpikir kreatif matematis yang akan diteliti adalah kemampuan berpikir kreatif dengan indikator berpikir lancar (fluency), berpikir luwes (flexibility), berpikir orisinil (originality), dan berpikir rinci (elaboration) pada pokok bahasan Segiempat.

2. Model pembelajaran yang akan digunakan pada penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe FSLC (Formulate – Share – Listen – Create) yang meliputi tahap memformulasikan jawaban, membagi jawaban dengan teman sekelompok, mendengarkan jawaban dari kelompok lain, membuat jawaban baru yang menggabungkan ide-ide terbaik dari semua kelompok.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain :

1. Bagaimana kemampuan berpikir kreatif siswa yang melakukan pembelajaran dengan model kooperatif tipe FSLC?

2. Bagaimana kemampuan berpikir kreatif siswa yang melakukan pembelajaran secara konvensional?

3. Apakah kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe FSLC lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran model pembelajaran konvensional?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis dan mendeskripsikan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe FSLC.

2. Menganalisis dan mendeskripsikan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional.

3. Mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe FSLC dengan siswa yang diajar model pembelajaran konvensional.


(26)

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis, siswa, dan guru pada umumnya. Manfaat yang didapat diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Manfaat bagi penulis

a. penelitian ini dapat menambah wawasan penulis dalam bidang pendidikan matematika, khususnya tentang metode pembelajaran yang efektif dalam pembelajaran matematika.

b. Dapat menambah pengalaman dalam dunia pendidikan dan bidang ilmiah.

2. Manfaat bagi guru

Guru dapat melakuan perubahan dalam menggunakan metode pembelajaran di kelas. Jika sebelumnya guru lebih sering menggunakan metode konvensional, maka dengan adanya penelitian ini guru dapat menggunakan metode yang lebih inovatif dan efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran serta suasana belajar yang aktif dan menyenangkan.

3. Manfaat bagi sekolah

Penelitian ini akan meningkatkan kualitas prestasi belajar siswa di sekolah khususnya untuk pelajaran matematika. Dengan meningkatnya prestasi belajar siswa maka kualitas sekolah secara umum juga akan meningkat di mata masyarakat.


(27)

10

BAB II

DESKRIPSI TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR

DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A.Deskripsi Teoritis

1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis a. Pengertian Berpikir Kreatif Matematis

Manusia diciptakan oleh Allah swt dengan berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk Allah lainnya. Salah satu kelebihan yang manusia miliki yang tidak makhluk lain miliki adalah akal. Akal ini yang digunakan oleh manusia untuk berpikir dan memahami kebesaran-kebesaran Allah yang tersebar di dunia ini. Manusia juga menggunakan kemampuannya berpikir untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan dan untuk menciptakan hal-hal baru yang akan bermanfaat untuk kehidupan.

Plato mendefinisikan bahwa berpikir adalah berbicara dalam hati.1 Sedangkan Bigot et al mendefinisikan berpikir dengan menekankan pada tujuan berpikir, yaitu berpikir adalah meletakkan hubungan antara bagian-bagian pengetahuan kita, dimana pengetahuan kita mencakup segala sesuatu yang telah kita ketahui, dapat berupa pengertian-pengertian dalam batas tertentu ataupun tanggapan-tanggapan.2 Pendapat tersebut menyatakan bahwa berpikir merupakan aktivitas menghubungkan segala sesuatu yang kita ketahui sehingga pengetahuan-pengetahuan tersebut menjadi mempunyai koneksi satu sama lain.

Berbeda dengan pendapat di atas Ruggiero mengartikan berpikir sebagai suatu aktivitas mental untuk membantu memformulasikan atau memecahkan suatu masalah, membuat suatu keputusan, atau memenuhi hasrat keingintahuan. Pendapat ini menunjukkan bahwa ketika seseorang merumuskan dan memecahkan

1

Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Grafindo, 2008), h. 54 2


(28)

masalah, ataupun ingin memahami sesuatu, maka ia dapat dikatakan sedang melakukan aktivitas berpikir.3

Berdasarkan pada beberapa pengertian berpikir di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir adalah proses pengolahan pengetahuan yang berupa konsep, gagasan, dan pengertian yang dimiliki oleh seseorang untuk meletakkan hubungan-hubungan antara pengetahuan-pengetahuan tersebut demi tercapainya pemahaman yang lebih baik dan sesuatu pengetahuan baru yang digunakan untuk memecahkan suatu masalah.

Kreativitas (berpikir kreatif atau berpikir divergen) menurut Utami adalah

“kemampuan (berdasarkan informasi yang tersedia) menemukan banyak jawaban terhadap suatu masalah, di mana penekanannya adalah pada kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman jawaban.”4 Jadi, terdapat tiga aspek yang harus diperhatikan yaitu kuantitas jawaban, yaitu siswa bisa menemukan jawaban lebih dari satu. Selanjutnya aspek ketepatgunaan, yaitu siswa tidak hanya menemukan banyak jawaban tetapi juga jawaban-jawaban yang diberikan sesuai dengan permasalahan yang ada. Kemudian aspek keragaman jawaban, yaitu terdapat banyak jawaban yang tidak sejenis.

Selanjutnya Wirawan mendefinisikan “berpikir kreatif yaitu berpikir untuk menemukan hubungan-hubungan baru antara berbagai hal, menemukan sistem

baru, menemukan bentuk artistik baru dan sebagainya.”5

Sedangkan menurut Isakson et al, berpikir kreatif merupakan proses mengkonstruksi ide yang menekankan pada aspek kelancaran(fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), dan keterincian (elaboration) dalam berpikir.6 Sejalan dengan pendapat di atas Utami menyatakan pengertian kreativitas secara operasional

adalah “Kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibilitas),

3

Tatag Yuli Eko Siswono, Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif, (Surabaya:Unesa University Press, 2008), h. 13

4

S. C. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 48.

5

Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi,(Jakarta: Bulan Bintang,2000), cet. 8, h. 47.

6

Grieshober, Continuing A Dictionary of Creativity Terms and Definitions), 2012, h. 31, (http://www.buffalostate.edu/orgs/cbir/readingroom/theses/Grieswep.pdf )


(29)

12

dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi

(mengembangkan, memperkaya, memperinci) suatu gagasan.”7

Sehingga dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki kreativitas berarti seseorang yang dapat berpikir secara lancar, luwes, orisinil, dan teperinci dalam menyampaikan gagasannya.

Berbeda dengan pendapat di atas Rhodes mendefinisikan kreativitas dalam empat dimensi yang dikenal dengan istilah Four P’s of Creativity, keempat dimensi tersebut yaitu Person, Process, Press dan Product. Person (Pribadi) yaitu setiap pribadi mempunyai potensi untuk kreatif. Process (proses) yaitu kreativitas dapat dirumuskan sebagai suatu bentuk pemikiran di mana individu berusaha untuk menemukan jawaban, metode baru dalam menghadapi suatu permasalahan. Press (pendorong) yaitu kreativitas sebagai pendorong yang datang dari diri sendiri berupa hasrat dan motivasi yang kuat untuk berkreasi. Sedangkan definisi kreativitas dari segi Product (hasil) seperti pendapat Baron yaitu kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru kedalam kehidupan.8

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan definisi kemampuan berpikir kreatif matematis adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika dengan memberikan jawaban atau gagasan yang banyak (berpikir lancar), memberikan berbagai macam penafsiran terhadap suatu gambar, situasi, cerita atau masalah dan dapat melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang (berpikir luwes), mampu memberikan gagasan atau jawaban yang baru, unik tetapi tetap sesuai dengan permasalahan yang diajukan (berpikir orisinil), serta dapat menguaraikan masalah matematika dengan menjawabnya melalui langkah-langkah yang terperinci (berpikir terperinci).

7

S. C. Utami Munandar, Op. Cit., h. 50. 8

Monty P. Satiadarma dan Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003), h. 107-108


(30)

b. Indikator Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Utami menguraikan beberapa indikator kemampuan berpikir kreatif matematis meliputi definisi dan perilaku siswa yang mengindikasikan kemampuan berpikir kreatifnya. Beberapa indikator tersebut diuraikan sebagai berikut:9

1. Kemampuan berpikir lancar (fluency) adalah mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah atau pertanyaan, memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal, selalu memikirkan lebih dari satu jawaban. Kemampuan ini ditunjukkan dengan perilaku siswa seperti mengajukan banyak pertanyaan, jika ada pertanyaan siswa menjawab dengan sejumlah jawaban, mempunyai banyak gagasan mengenai suatu masalah, lancar dalam mengemukakan gagasannya, bekerja lebih cepat dan melakukan lebih banyak daripada anak-anak lain, dapat dengan cepat kesalahan atau kekurangan pada suatu objek ataupun situasi.

2. Kemampuan berpikir luwes (flexibility) adalah menghasilkan ide, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda, mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda, mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran. Kemampuan ini ditunjukkan oleh perilaku siswa seperti memberikan berbagai macam penggunaan yang tidak lazim terhadap suatu objek, memberikan macam-macam interpretasi terhadap suatu gambar, cerita, atau masalah, menerapkan suatu konsep atau asas dengan cara yang berbeda-beda, memberikan pertimbangan yang berbeda dari yang diberikan orang lain terhadap situasi, dalam membahas atau mendiskusikan suatu masalah selalu mempunyai posisi yang berbeda dari orang lain berikan atau bertentangan dengan mayoritas kelompok, memikirkan berbagai macam cara yang bervariasi untuk menyelesaikan suatu masalah, menggolongkan hal-hal menurut kategori yang berbeda-beda, mampu mengubah arah berpikir secara spontan.

3. Kemampuan berpikir orisinil (originality) adalah mampu menghasilkan ungkapan yang baru dan unik, memikirkan cara yang tidak lazim untuk

9


(31)

14

mengungkapkan diri, mampu membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur. Kemampuan ini ditandai dengan adanya perilaku siswa seperti memikirkan masalah-masalah atau hal-hal yang tidak pernah terpikirkan oleh orang lain, mempertanyakan cara-cara lama dan berusaha untuk menemukan cara-cara baru, memilih untuk menggambar atau membuat desain sesuatu yang asimetris, memiliki cara berpikir yang lain dari yang lain, mencari pendekatan yang baru dari yang stereotip, setelah mendengar atau membaca gagasan-gagasan berusaha untuk menemukan penyelesaian baru, lebih senang mensintesis daripada menganalisa situasi.

4. Kemampuan berpikir terperinci (elaboration) adalah mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk, menambahkan atau memperinci detail-detail dari suatu objek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik. Kemampuan ini ditunjukkan dengan perilaku siswa seperti mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban atau pemecahan masalah dengan melakukan langkah-langkah yang terperinci, mengembangkan atau memperkaya gagasan orang lain, mencoba atau menguji detail-detail untuk melihat arah yang akan ditempuh, mempunyai rasa estetis yang kuat sehingga tidak puas dengan penampilan yang kosong atau sederhana, menambahkan garis-garis, warna-warna, dan detail-detail terhadap gambarnya sendiri ataupun gambar orang lain.

5. Kemampuan menilai (mengevaluasi) adalah menentukan patokan penilaian sendiri dan menentukan apakah suatu pertanyaan benar, suatu rencana sehat, atau suatu tindakan bijaksana atau tidak, mampu mengambil keputusan terhadap situasi yang terbuka, tidak hanya mencetuskan gagasan tetapi juga melaksanakannya. Kemampuan menilai ini ditunjukkan oleh perilaku siswa seperti memberi pertimbangan atas dasar sudut pandangnya sendiri, menentukan pendapat sendiri mengenai suatu hal, menganalisis maslah atau penyelesaian secara kritis dengan selalu menanyakan

“mengapa?”,mempunyai alasan yang rasional dan dapat


(32)

rencana kerja dari gagasan-gagasan yang tercetus, pada saat tertentu tidak menghasilkan gagasan tetapi menjadi peneliti atau penilai yang kritis, menentukan pendapat dan dapat mempertahankannya.

Sedangkan menurut Mahmudi aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif matematis yang diukur adalah kelancaran, keluwesan, kebaruan (orisinil), dan keterincian. Aspek-aspek atau indikator kemampuan berpikir kreatif matematis tersebut yaitu:

1. Kelancaran meliputi kemampuan (a) menyelesaikan masalah dan memberikan banyak jawaban atas masalah tersebut; atau (b) memberikan banyak contoh atau pertanyaan terkait dengan konsep atau situasi tertentu. 2. Keluwesan meliputi kemampuan (a) menggunakan beragam strategi

penyelesaian masalah; atau (b) memberikan beragam contoh atau pernyataan terkait konsep atau situasi matematis tertentu.

3. Kebaruan meliputi kemampuan (a) menggunakan strategi yang bersifat baru, unik, atau tidak biasa untuk menyelesaikan masalah; atau (b) memberikan contoh atau pernyataan yang bersifat baru, unik, atau tidak biasa.

4. Keterincian meliputi kemampuan menjelaskan secara terperinci, runtut, dan koheren terhadap prosedur matematis, jawaban, atau situasi matematis tertentu dengan menggunakan konsep, representasi, istilah, atau notasi matematis yang sesuai.10

Sedangkan Olson menyatakan bahwa berpikir kreatif terdiri dari dua unsur yaitu kefasihan dan keluwesan. Kefasihan ini ditunjukkan dengan kemampuan seseorang menghasilkan banyak gagasan untuk memecahkan masalah secara lancar dan cepat. Keluwesan mengacu pada kemampuan menghasilkan gagasan yang berbeda-beda dan luar biasa untuk memecahkan masalah. Indikator kemampuan berpikir kreatif ini sejalan dengan yang dinyatakan Munandar, yaitu

10 Ali Mahmudi, “Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis”, Makalah

disampaikan pada Konferensi Nasional Matematika XV, UNIMA, Manado, 30 Juni – 3 Juli 2010, h. 5


(33)

16

tidak menekankan kriteria "baru" atau originality sebagai sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Kebaruan ini lebih ditunjukkan dengan keberagaman gagasan yang dihasilkan.11 Ide yang dihasilkan mungkin tidak baru bagi orang lain tetapi setidaknya baru bagi orang yang mencetuskan ide tersebut.

Williams mengemukakan pendapat yang hampir sama dengan Mahmudi. Indikator kemampuan berpikir kreatif menurut Williams yaitu terdiri dari kefasihan, fleksibilitas, orisinalitas, dan elaborasi. Kefasihan adalah kemampuan untuk menghasilkan pemikiran atau pertanyaan dalam jumlah yang banyak. Fleksibilitas adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak macam pemikiran, dan mudah berpindah dari jenis pemikiran satu ke jenis pemikiran lain. Orisinalitas adalah kemampuan untuk berpikir dengan cara baru atau dengan ungkapan yang unik, dan kemampuan untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran yang tidak lazim. Elaborasi adalah kemampuan untuk menambah atau memerinci hal-hal yang detil dari suatu objek, gagasan , atau situasi.12

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa indikator kemampuan berpikir kreatif terdiri dari berpikir lancar, berpikir luwes, berpikir orisinil, berpikir terperinci, dan menilai. Namun pada penelitian ini indikatornya akan dibatasi pada empat indikator yaitu berpikir lancar, berpikir keluwesan, berpikir orisinil, dan berpikir terperinci. Penelitian ini menggunakan indikator yang dikemukakan oleh Mahmudi. Indikator tersebut akan diuraikan pada tabel di bawah ini

Tabel 2. 1

Indikator Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Indikator Perilaku

Berpikir Lancar (Fluency):

 Mencetuskan banyak jawaban, gagasan, dan penyelesaian

 Menghasilkan banyak jawaban dan gagasan dari suatu permasalahan  Dapat dengan cepat melihat

11

Tatag Yuli Eko Siswono, Op. cit., h. 18. 12


(34)

masalah. kesalahan dan kekurangan dari suatu objek dan situasi.

Berpikir Luwes (flexibility):

 Menghasilkan gagasan atau jawaban yang bervariasi.

 Memberikan berbagai macam penafsiran pada suatu gambar..  Memikirkan bermacam-macam cara

yang berbeda-beda untuk menyelesaikan suatu masalah yang diberikan.

Berpikir Orisinil (Originality):  Mampu memodifikasi atau

membuat kombinasi baru dari bagian-bagian atau unsur-unsur.

 Memilih cara berpikir yang lain daripada yang lain.

 Mempertanyakan cara-cara lama dan memikirkan cara-cara baru. Bepikir terperinci (elaboration):

 Menambahkan atau memperinci detail-detail dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga menjadi lebih baik.

 Menjelaskan jawaban dari masalah yang diberikan secara terperinci, runtut, dan koheren terhadap prosedur matematis

Seseorang siswa yang mempunyai kemampuan berpikir kreatif yang baik tidak hanya ditunjukkan dalam kemampuan kognitif tetapi juga mempunyai ciri-ciri afektif. Ciri-ciri-ciri afektif tersebut diantaranya:

1. rasa ingin tahu yang mendorong individu lebih banyak mengajukan pertanyaan, ingin mencari pengalaman-pengalaman baru, selalu memperhatikan orang, objek dan situasi serta membuatnya lebih peka dalam pengamatan dan ingin mengetahui atau meneliti;

2. tertarik terhadap tugas-tugas majemuk yang dirasakan sebagai tantangan; tidak senang terhadap tugas-tugas yang rutin dan tidak menantang.

3. berani mengambil resiko untuk membuat kesalahan atau untuk dikritik oleh orang lain, tidak mudah putus asa.


(35)

18

4. menghargai keindahan dan memiliki imajinasi yang hidup, yakni kemampuan memperagakan atau membayangkan hal-hal yang belum pernah terjadi dan mempunyai rasa humor.

5. dapat menghargai bakat diri sendiri maupun orang lain.13

Berdasarkan uraian ciri-ciri afektif tersebut dapat disimpulkan siswa yang mempunyai kemampuan berpikir kreatif yang baik akan terlihat dari perilakunya sehari-hari di kelas dan dalam pembelajaran. Tetapi guru tidak bisa mengetahui potensi siswa jika pembelajaran yang dilakukan hanya menggunakan model pembelajaran konvensional. Oleh karena itu untuk mengetahui potensi berpikir kreatif siswa yang belum tergali guru harus menggunakan model pembelajaran yang memicu siswa untuk menampilkan potensinya. Salah satu model pembelajaran yang dapat memicu dan menggali potensi siswa yaitu model pembelajaran kooperatif. Tetapi, dalam penelitian ini peneliti tidak melihat kemampuan berpikir siswa dari ciri-ciri afektifnya tetapi dari hasil belajarnya.

2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe FSLC

a. Model Pembelajaran Kooperatif dalam Pembelajaran Matematika Pembelajaran yang dilakukan di kelas harus mempunyai acuan ataupun suatu pedoman. Sehingga pada saat pembelajaran berlangsung guru tidak melenceng dari rencana pelaksanaan pembelajaran. Mills berpendapat bahwa

“model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang

memungkinkan seseorang yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang

mencoba bertindak berdasarkan model tersebut”.14

Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penemuan para ahli pendidikan berdasarkan teori psikologi pendidikan dan teori belajar. Sedangkan menurut

Joyce (1992) “model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang

digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat

13

S. C. Utami Munandar, Op.cit, h. 51 14

Agus Suprijono, Cooperative Learning,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), Cet. XI, h. 45


(36)

pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain.”15

Pendapat lain dikatakan Soekamto dkk yaitu model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.16 Berdasarkan uraian di atas maka kita dapat mengetahui bahwa model pembelajaran yang digunakan sangat berpengaruh terhadap tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus selektif dan harus memperhatikan model pembelajaran yang dipilih.

Model pembelajaran mengarahkan guru untuk mendesain pembelajaran yang dapat membantu siswa lebih memahami materi sehingga tujuan pembelajaran pun tercapai. Namun, model pembelajaran yang digunakan selama ini di kelas mengarahkan siswa untuk individualis, siswa seoalah-olah diajarkan untuk mengganggap teman sekelasnya sebagai kompetitor atau saingan. Setiap siswa berusaha secara individu untuk mendapatkan posisi ranking satu di kelasnya. Hal ini memberikan dampak yaitu menjadikan siswa tidak dapat bekerja secara kooperatif dalam kelompoknya.

Jika hal ini dibiarkan terus menerus maka siswa akan mengalami kesulitan ketika masuk ke dunia kerja yang menuntutnya untuk dapat bekerja sama dengan rekan kerjanya. Oleh karena itu, model pembelajaran yang mengarahkan siswa bersikap individual harus segera dirubah dengan model pembelajaran yang dapat memfasilitasi dan mengembangkan kemampuan siswa dalam bekerja sama, karena hasil pemikiran dari beberapa orang akan lebih baik daripada hanya satu orang. Model pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam bekerja sama salah satunya ialah model pembelajaran kooperatif.

Model pembelajaran kooperatif ini menggunakan sistem pengelompokan atau tim kecil, yaitu kelompok berjumlah maksimal enam orang yang mempunyai

15

Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta: Pretasi Pustaka, 2007), h. 5

16 Ibid.,


(37)

20

latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen). Sistem penilaian dilakukan terhadap kelompok dan setiap kelompok memperoleh penghargaan (reward) sesuai dengan hasil kerjanya. Jika kelompok mampu menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan. Maka setiap anggota kelompok akan membutuhkan satu sama lain. Hal tersebut memunculkan tanggung jawab individu terhadap kelompok. 17 Hal ini membuat siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran dan lebih peduli terhadap siswa lain sehingga siswa tidak diajarkan untuk menjadi sosok yang individualistis. Sehingga baik untuk perkembangan kehidupan sosialnya. Selain itu siswa terlatih untuk dapat menjelaskan dengan baik hal-hal yang mereka pahami kepada siswa lain. Dengan demikian kemampuan siswa untuk berkomunikasi dengan baik pun akan berkembang.

Model pembelajaran kooperatif adalah suatu rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan siswa dalam kelompok tertentu untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.18

Menurut Roger, dkk. (1992) pembelajaran kooperatif merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi secara sosial di antara kelompok-kelompok pembelajar yang di dalamnya setiap pembelajar bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-anggota lain.19

Sejalan dengan Roger dkk., Johnson dan Johnson (1998) mendefinisikan pembelajaran kooperatif namun dalam kalimat yang lebih ringkas. Johnson dan Johnson berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif berarti working together to accomplish shared goals (bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama).20 Begitu pula dengan Artz dan Newman (1990) mengartikan dengan bahwa pembelajaran kooperatif adalah kelompok kecil pembelajar atau siswa yang bekerja sama dalam

17

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Pendidikan, (Jakarta : Kencana Frenada Media, 2006), h. 242

18

Ibid .,h. 241. 19

Miftahul Huda, Cooperative Learning Metode, Teknik, Struktur dan Model Penerapan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), h. 29

20


(38)

satu tim untuk memecahkan suatu masalah, menyelesaikan sebuah tugas, atau mencapai suatu tujuan bersama).21

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran yang membentuk siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen, masing-masing anggota kelompok berusaha bekerja sama dan memaksimalkan potensi individu, kemudian memadukannya ke dalam kelompoknya untuk mencapai tujuan bersama dalam pembelajaran.

b. Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk menjadi individu yang tidak indivualistis. Model pembelajaran ini mengajarkan siswa untuk peduli terhadap temannya yang kesulitan dalam memahami pelajaran. Sehingga kemungkinan siswa yang tidak memahami materi yang sedang dipelajari akan semakin kecil, tentunya dengan memperhatikan unsur-unsur pembelajaran kooperatif yang baik. Menurut Roger dan David Johnson tidak semua belajar kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Hasil yang maksimal akan tercapai jika unsur-unsur pembelajaran kooperatif diterapkan. Ada lima unsur yang harus diterapkan, yaitu :

1. Positive interdependence (saling ketergantungan positif). 2. Personal responsibility (tanggung jawab perseorangan). 3. Face to face promotive interaction (interaksi promotif). 4. Interpersonal skill (komunikasi antaranggota).

5. Group processing (pemrosesan kelompok).22

Positive interdependence (saling ketergantungan positif) merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kooperatif agar pembelajaran yang dilakukan berjalan efektif. Masing-masing anggota kelompok harus memahami bahwa mereka mempunyai prinsip dalam kelompok yaitu

“tenggelam dan berenang bersama” (sink and swim together) artinya siswa mempunyai tanggung jawab terhadap kelompoknya untuk maju bersama. Siswa

21

Ibid, h. 32 22


(39)

22

sama sekali tidak dianjurkan untuk bersikap individualis, menonjolkan diri sendiri tanpa memperhatikan teman sekelompoknya. Dalam pembelajaran kooperatif siswa harus bertanggung jawab pada dua hal, pertama mempelajari materi yang ditugaskan, dan yang kedua memastikan bahwa semua anggota kelompoknya juga mempelajari dan memahami materi tersebut.

Rasa saling ketergantungan positif ini muncul ketika siswa menyadari bahwa mereka tidak bisa menyelesaikan tugas dengan sukses apabila mereka mengerjakannya sendirian atau jika ada anggota lain yang tidak berhasil mengerjakannya (begitu pula sebaliknya).23 Untuk menciptakan suasana tersebut, guru perlu merancang struktur dan tugas-tugas kelompok yang memungkinkan siswa untuk belajar, mengevaluasi dirinya dan teman sekelompoknya dalam penguasaan dan kemampuan memahami materi pelajaran. Kondisi seperti ini memungkinkan siswa untuk memiliki rasa saling ketergantungan positif dalam mempelajari materi dan menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab individu maupun kelompok, dan juga memotivasi siswa untuk peduli terhadap teman sekelompoknya. Selain itu juga mendorong setiap anggota kelompok untuk saling bekerja sama.24

Personal responsibility, yaitu tanggung jawab pribadi individual atau perseorangan. Pertanggungjawaban ini muncul jika dilakukan pengukuran terhadap keberhasilan kelompok. Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk membentuk semua anggota kelompok menjadi pribadi yang kuat. Tanggung jawab individu merupakan kunci untuk menjamin semua anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama. Sehingga setelah mengikuti kegiatan kelompok, masing-masing anggota kelompok harus dapat menyelesaikan tugas yang sama.25 Adanya rasa tanggung jawab individual ini akan membuat siswa bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan kelompoknya. Sehingga siswa tidak akan melakukan kegiatan kelompok dengan tidak serius.

23

Miftahul Huda, Op. cit., h. 46-47 24

Isjoni, Cooperative Learning: Mengembangkan Kemampuan Belajar Berkelompok, (Bandung : Alfabeta, 2007), h. 42

25


(40)

Tanggung jawab individual ini dapat ditumbuhkan dengan beberapa cara yaitu (a) kelompok belajar yang dibentuk jangan terlalu besar; (b) melakukan assesmen terhadap setiap siswa; (c) memberi tugas kepada siswa , yang dipilih secara acak untuk mempresentasikan hasil kelompoknya kepada guru maupun kepada seluruh siswa di depan kelas; (d) mengamati setiap kelompok dan mencatat frekuensi individu dalam membantu kelompok; (e) menugasi seorang siswa dalam setiap kelompok untuk menjadi pemeriksa di kelompoknya; (f) menugasi siswa untuk mengajar temannya26

Face to face promotive interaction, yaitu interaksi antara siswa yang terjadi secara langsung (tanpa ada perantara). Dalam interaksi ini tidak ada penonjolan kekuatan individu, yang ada hanya pola interaksi dan perubahan yang bersifat verbal diantara siswa yang ditingkatkan oleh adanya hubungan saling timbal balik yang positif sehingga mempengaruhi hasil pembelajaran.27

Menurut Lie setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi. Kegiatan ini akan mendorong siswa untuk membentuk sinergi yang saling menguntungkan. Hasil pemikiran beberapa orang akan lebih baik daripada hasil pemikiran hanya satu orang. Dalam proses Face to face promotive interaction siswa memiliki kesempatan untuk saling bertukar pendapat, mengetahui hal yang sebelumnya tidak diketahui melalui interaksi dengan teman sekelompoknya. Hasil kerja sama dari beberapa orang akan lebih baik daripada hasil kerja dari masing-masing anggota.

Inti dari sinergi ini yaitu menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan dari masing-masing anggota kelompok. Perbedaan yang dimiliki oleh setiap anggota seperti perbedaan latar belakang pengalaman, keluarga, dan sosial-ekonomi akan menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya antaranggota kelompok. Lie juga menyatakan bahwa sinergi yang baik tidak mungkin didapatkan dalam waktu singkat, tetapi harus melalui proses yang cukup panjang. Oleh karena itu siswa perlu diberikan kesempatan untuk

26 Ibid., 27


(41)

24

saling mengenal dan menerima anggota lain dalam kegiatan tatap muka (Face to face promotive interaction) dan interaksi pribadi.

Interpersonal skill, yaitu keterampilan komunikasi yang harus dimiliki setiap anggota untuk dapat berkomunikasi dengan teman sekelompoknya. Keterampilan ini tidak dimiliki oleh semua siswa, untuk itu sebelum diskusi dilaksanakan guru sebaiknya memberikan pengarahan tentang cara-cara berkomunikasi yang baik dalam berdiskusi. Hal ini penting karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka.28 Keterampilan berkomunikasi antaranggota ini juga memerlukan proses yang panjang. Siswa tidak bisa diharapkan langsung menjadi seorang yang mempunyai interpersonal skill yang tinggi dalam waktu sekejap.

Group processing (pemrosesan kelompok) merupakan unsur yang tidak kalah penting demi tercapainya tujuan pembelajaran kooperatif. Kerja kelompok yang efektif dipengaruhi oleh sejauh mana kelompok tersebut merefleksikan proses kerja sama mereka. Pemrosesan dapat mengandung arti menilai. Melalui pemrosesan kelompok dapat diidentifikasi dari urutan, tahapan kegiatan kelompok dan kegiatan dari masing-masing anggota kelompok. Sehingga terlihat anggota mana yang memberikan kontribusi dan mana yang tidak memberikan kontribusi terhadap kelompoknya. Tujuan dari pemrosesan kelompok adalah meningkatkan efektivitas anggota dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan bersama.29

c. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe FSLC

Pembelajaran kooperatif memiliki banyak variasi model pembelajaran kooperatif dengan berbagai tipe. Salah satu model pembelajaran kooperatif yang ditemukan oleh ahli ialah think-pair-share (TPS). TPS pertama kali dikembangkan oleh Frank Lyman dan koleganya di Universitas Maryland sesuai dengan yang dikutip oleh Arends (1997), yang menyatakan bahwa TPS

28

Anita Lie, Cooperative Learning (Jakarta:Grasindo, 2010), Cet. VII, h. 34 29


(42)

merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi di kelas.30 Prosedur yang digunakan dalam TPS dapat memberikan lebih banyak waktu untuk siswa berpikir, untuk merespon dan saling membantu dalam kelompoknya.

Walaupun strategi TPS sudah cukup baik, tetapi para ahli selalu mengembangkan strategi yang ada. TPS dikembangkan oleh Robert T. Johnson, David W. Johnson dan Karl A. Smith menjadi sebuah strategi baru yang disebut dengan Formulate-Share-Listen-Create (FSLC). FSLC diharapkan dapat mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh TPS dan dapat menutupi kekurangan dari TPS. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Ledlow bahwa :

A further variation on Think-Pair-Share was developed by Johnson, Johnson,

and Smith (1991). It’s called Formulate-Share-Listen-Create, and it’s a good strategy for use with problems or questions that could be addressed in a variety of ways. The “create” step gets students to synthesize their ideas and come up with the best solution to a problem.31

Johnson, Johnson dan Holubec menganjurkan FSLC untuk digunakan dalam situasi berpasangan. Para ahli ini menyatakan bahwa “to begin, each student formulates an answer to a question or problem posed by the teacher. Then, each student shares his or her thoughts with a partner. It is important that each student listen carefully to what the partner has articulated so that together, they can create a response that is better than either of the individual responses.”32

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui langkah-langkah dari model pembelajaran kooperatif tipe formulate-share-listen-create terdiri dari:

1. Formulate

Setiap siswa memformulasikan jawaban untuk menjawab permasalahan yang guru berikan.

30

Trianto, Op. cit., h. 126 31

Susan Ledlow, Using Think-Pair-Share in the College Classroom (Arizona: Arizona State University, 2001), h. 2 www.hydroville.org/system/files/team_thinkpairshare.pdf

32

R. Bruce Williams, Cooperative Learning :A Standard for High Achievement,(California: Corwin Press, 2002), h. 51


(43)

26

2. Share

Setiap siswa membagi/menjelaskan jawabannya kepada teman sekelompoknya atau pasangannya dalam kelompok.

3. Listen

Setiap teman dalam satu kelompok mendengarkan dengan seksama penjelasan atau jawaban dari pasangannya. Kemudian mencatat setiap persamaan dan perbedaan dari jawaban mereka.

4. Create

Setelah setiap siswa mendengarkan jawaban dari pasangan/teman sekelompoknya masing-masing maka mereka membuat jawaban baru yang didapat dari penggabungan ide-ide atau jawaban-jawaban terbaik dari masing-masing anggota kelompok. Sehingga didapat jawaban yang lebih baik dari sebelumnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui langkah-langkah dari model pembelajaran kooperatif tipe formulate-share-listen-create dikelas terdiri dari:

1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran, inti materi dan penjelasan secara singkat tentang LKS yang dibagikan kepada setiap siswa.

2. Dalam kegiatan pembelajaran ini guru menggunakan media pembelajaran yang menarik atau menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS).

3. Guru menyampaikan langkah-langkah kegiatan kelompok (pembelajaran kooperatif tipe FSLC), yaitu:

a. Formulate: guru memberikan tugas kepada masing-masing siswa untuk mempelajari, mengerjakan dan menjawab pertanyaan yang ada di LKS. Dalam tahap ini siswa mtentang enuliskan bebagai jawaban yang diminta dalam soal.

b. Share: setiap siswa berpasangan untuk saling berbagi dan mendiskusikan tentang jawaban yang mereka temukan


(44)

c. Listen: setiap pasangan saling mendengarkan pendapat dan jawaban dari pasangannya masing-masing kemudian mencatat persamaan dan perbedaan jawabannya.

d. Create: membuat jawaban baru yang merupakan gabungan dari ide-ide terbaik dari semua kelompok.

4. Beberapa kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok.

5. Guru memberikan soal latihan kepada setiap individu untuk melihat kemampuan masing-masing siswa.

d. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Kooperatif tipe FSLC

Terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan pada model pembelajaran kooperatif tipe FSLC. Kelebihannya yaitu :

1. Pembelajaran kooperatif yang beranggotakan 2-3 orang akan lebih cepat dibentuknya.

2. Lebih banyak kesempatan untuk masing-masing anggota kelompok berkontribusi dan menyampaikan ide pada kelompoknya.

3. Interaksi antaranggota akan lebih mudah dan nyaman karena jumlah anggota lebih sedikit tapi waktu yang diberikan lebih banyak.

4. Kerja kelompok lebih teratur karena jumlah anggota yang sedikit sehingga lebih mudah mengontrolnya.

5. Pada tahap formulate siswa tidak hanya memikirkan jawaban secara individual tetapi juga memformulasikan dan menuliskan berbagai kemungkinan jawaban dari permasalahan yang diberikan.

6. Dengan adanya tahap create, siswa diberikan kesempatan untuk membuat jawaban baru yang dihasilkan dari sintesis ide-ide terbaik dari kelompoknya dan juga dari kelompok lain.

Sedangkan kekurangan dari model pembelajaran kooperatif tipe FSLC, yaitu: 1. Banyak kelompok yang perlu di monitor, dan kemungkinan banyak

juga kelompok yang melapor kepada guru tentang kendala-kendala dalam kelompoknya.


(45)

28

2. Lebih sedikit ide yang dihasilkan karena kelompok hanya terdiri dari 2-3 orang.

3. Jika kelompok terdiri dari 2 orang tidak ada penengah bila ada perselisihan antaranggota kelompok.

3. Teori Belajar dan Pembelajaran yang Mendukung FSLC a. Teori Konstruksivisme

Teori konstruktivisme dikembangkan oleh seorang ahli bernama Piaget pada pertengahan abad 20. Teori ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri pemahamannya terhadap suatu materi. Dalam paham ini guru tidak selalu

:menyuapi” siswa dengan semua materi-materi pelajaran yang seharusnya mereka

pahami, siswa duduk diam mendengarkan guru berceramah tentang materi yang sedang dipelajari kemudian setelah itu guru memberikan tugas kepada siswa.

Sedangkan dalam teori konstruktivisme seorang guru tidak mengajarkan bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresentasikan masalah dan mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan masalah tersebut. Ketika siswa memberikan jawaban, guru tidak langsung mengatakan jawaban itu benar atau salah. Tetapi guru mendorong siswa lainnya untuk memberikan pendapat terhadap jawaban temannya, setuju atau tidak setuju kepada jawaban atau ide temannya. Kemudian siswa saling bertukar pendapat sampai persetujuan dicapai oleh siswa dalam satu kelompok .33 Pengetahuan yang diperoleh siswa dari hasil transfer pengetahuan akan diingat hanya dalam waktu singkat setelah itu pengetahuan tersebut dilupakan, sedangkan pengetahuan yang didapat dari konstruksi sendiri akan menjadi pengetahuan yang melekat dan bermakna bagi siswa.

Menurut Wayan, “belajar menurut pandangan ini lebih sebagai proses regulasi diri dalam menyelesaikan konflik kognitif yang sering muncul melalui

33

Erman Suherman, dkk., Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pendidikan Alam Universitas Pendidikan Indonesia, 2002), h. 75


(46)

pengalaman konkrit, wacana kolaboratif, dan interpretasi.”34 Jadi menurut Wayan belajar merupakan proses pengaturan diri untuk dapat menyelesaikan konflik kognitif yang muncul pada saat siswa mengalami sesuatu yang nyata, bekerja sama dengan orang lain dan dalam menginterpretasikan suatu hal.

Secara umum terdapat lima prinsip dasar yang melandasi kelas yang berbasis konstruktivistik, yaitu:

1. Meletakkan permasalahan yang relevan dengan kebutuhan siswa; 2. Menyusun pembelajaran di sekitar konsep-konsep utama;

3. Menghargai pandangan siswa;

4. Materi pembelajaran menyesuaikan terhadap kebutuhan siswa; 5. Menilai pembelajaran secara kontekstual.

Teori konstruktivisme menekankan bahwa siswa harus belajar untuk membangun pengetahuannya sendiri dan mengembangkan kemampuan mereka dengan tidak hanya mengandalkan penerimaan pengetahuan dari guru. Sehingga pembelajaran haruslah dikemas sedemikian rupa agar dapat mendorong siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran. Dalam paham ini siswa menjadi subjek pembelajaran, bukan sebagai objek yang pasif.

Berdasarkan uraian di atas dapat terlihat bahwa teori belajar konstruktivisme sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif, karena dalam pembelajaran kooperatif siswa dituntut untuk aktif dalam belajar dengan membangun pemahamannya sendiri. Jadi, secara umum teori pembelajaran konstruktivisme ini mendukung semua tipe yang ada dalam model pembelajaran kooperatif termasuk FSLC.

b. Teori Kognitif Piaget

Teori dari Piaget yang patut untuk diketahui terutama oleh guru matematika yaitu bahwa perkembangan kogntif siswa sangat bergantung kepada

34

I Wayan Santyasa, Model-model Pembelajaran Inovatif,( Universitas Pendidikan Ganesha : Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Universitas Pendidikan Ganesha, 2007), h.1


(47)

30

seberapa jauh siswa dapat memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannnya. Piaget menyatakan bahwa struktur kognitif sebagai skemata (schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema.35 Terdapat tiga aspek pada perkembangan kognitif seseorang, yaitu struktur, isi, dan fungsi kognitifnya. Struktur kognitif inilah yang disebut dengan skemata (schema), merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada saat siswa berinteraksi dengan lingkungannya. Isi kognitif merupakan pola tingah laku siswa yang tercermin pada saat ia merespon berbagai masalah. Sedangkan fungsi kognitif merupakan cara yang digunakan siswa untuk memajukan tingkat intelektualnya.36 Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kognitif seseorang dipengaruhi oleh empat hal, yaitu sebagai berikut:37

1. Kematangan (maturation) otak dan sistem syaraf dari seseorang itu. 2. Pengalaman (experience) yang terdiri atas:

a. Pengalaman fisik (physical experience), yaitu interaksi manusia dengan lingkungannya.

b. Pengalaman logiko-matematis (logico-mathematical experience), yaitu kegiatan-kegiatan pikiran yang dilakukan manusia.

c. Transmisi sosial (social transmission), yaitu interaksi dan kerjasama yang dilakukan oleh manusia dengan orang lain.

3. Penyeimbangan (equilibration), suatu proses sebagai akibat ditemuinya pengalaman(informasi) baru.

Selain teori mengenai tahap proses kognitif, faktor yang mempengaruhi, Piaget juga mengemukakan teori mengenai implikasi dalam model pembelajaran dari teori Piaget, yaitu:

a. Memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak, tidak hanya pada hasilnya. Tetapi, guru juga harus memahami bagaimana siswa dapat mendapatkan jawaban tersebut.

b. Memperhatikan peranan siswa dalam berinisiatif, mempunyai keterlibatan aktif dalam pembelajaran. Kelas yang menggunakan konsep

35

Erman Suherman, dkk., loc. Cit., h. 36 36

Fadjar Shadiq , Aplikasi Teori Belajar, (Yogyakarta: PPPPTK Matematika,2006), h. 9 37


(48)

ini, penyajian pengetahuan yang sudah jadi tidak ditekankan, tetapi siswa lebih didorong menemukan sendiri pengetahuan itu.

c. Memaklumi adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori ini menganggap bahwa semua siswa melalui tahap perkembangan yang sama, namun masing-masing siswa memerlukan waktu yang berbeda-beda dalam melewati setiap tahapnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Teori kognitif dari Piaget ini relevan dengan model pembelajaran kooperatif khususnya tipe FSLC karena teori ini memusatkan perhatian kepada berpikir atau proses mental anak, yang tidak hanya dilihat hasilnya tetapi juga proses siswa samapi pada hasil tersebut. Teori ini juga mengutamakan peran siswa dalam kegiatan pembelajaran dan memaklumi perbedaan dari tiap individu mengenai kemajuan perkembangan.

3. Teori Vygotsky

Pembelajaran menurut Vygotsky merupakan suatu perkembangan pengertian. Pengertian menurut Vygotsky dibedakan enjadi dua yaitu pengertian spontan dan pengertian ilmiah. Pengertian spontan adalah pengertian yang didapatkan anak dari pengalamannya sehari-hari. Sedangkan pengertian ilmiah adalah pengertian yang diperoleh dari ruangan kelas, atau dari pelajaran sekolah. Kemudian Suparno menjelaskan kedua konsep tersebut saling berhubungan secara berkesinambungan. Pengertian yang didapat dari sekolah akan mempengaruhi perkembangan konsep yang ia peroleh dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya.38

Selain itu, Vygotsky juga menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang dipengaruhi oleh interaksi sosialnya. Interaksi sosial adalah interaksi seseorang dengan orang lain dalam lingkungannya. Pembelajaran terjadi pada saat anak berada dalam zona perkembangan proksimal (zone of proximal development). Zona perkembangan proksimal adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat ini. Selanjutnya Nur dan

38


(49)

32

Sammi mengemukakan yang dimaksud dengan zona perkembangan proksimal adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya dengan tingkat perkembangan potensial.39

Tingkat perkembangan sesungguhnya adalah kemampuan seseoarang untuk memecahkan masalah secara mandiri. Sedangkan tingkat perkembangan potensial adalah kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa melalui bekerja sama dengan teman sebaya yang kemampuannya lebih baik.40 Oleh karena itu, tingkat perkembangan potensial ini dapat dikembangkan melalui pembelajaran dengan model kooperatif.

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa dalam teori Vygotsky ini, terdapat hubungan antara domain kognitif dengan sosial budaya. Kemampuan berpikir siswa dibangun di dalam ruangan kelas, sedangkan aktivitas sosialnya berkembang melalui kerja sama dengan siswa lainnya yang kemampuannya berbeda-beda di bawah bimbingan guru. Sehingga dapat terlihat bahwa teori Vygotsky relevan dengan model pembelajaran kooperatif tipe FSLC.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Berikut ini merupakan beberapa penelitian yang relevan dengan judul penelitian yang penulis ambil.

1. Elih Solihat (2010), Pengaruh Pendekatan Open-ended terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa dalam Belajar Matematika (Penelitian Quasi Eksperimen di MTsN Model Babakan Sirna). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pendekatan Open-ended terhadap terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa dalam belajar matematika.

2. Fithriaini (2010), Upaya meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa melalui pendekatan pemecahan Masalah (Penelitian Tindakan Kelas di SMP Negeri 3 Depok). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan pemecahan masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa terlihat dari hasil tes akhir siklus I dan siklus II yang nilai rata-ratanya

39 Ibid., 40


(50)

meningkat. Pada siklus I rata-rata nilai tes akhir siklus sebesar 44,45 dan pada siklus II sebesar 81,825.

3. Intan Jatiningrum (2012), Pengaruh Pendekatan Metakognitif terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis siswa yang diajar dengan pendekatan Metakognitif lebih tinggi dari kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional.

4. Isneni Fitri (2012), Pengaruh Pendekatan Kontekstual tehadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa KBKM siswa yang pembelajarannya diterapkan pendekatan kontekstual strategi REACT lebih tinggi daripada siswa yang pembelajarannya diterapkan pendekatan konvensional (pendekatan ekspositori).

5. Risnanosanti (2011), Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dan Self Efficacy terhadap Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam Pembelajaran Inkuiri. Hasil penelitian ini menunjukkan Perkembangan KBKM siswa yang memperoleh pembelajaran inkuiri lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa pada setiap kelompok PAM (atas, tengah dan bawah).

6. Ade Emay (2011), Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Menggunakan Pembelajaran Kooperatif Tipe Formulate-Share-Listen-Create (FSLC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe FSLC lebih baik daripada peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. 7. A. T. Prayitno, dkk. (2012) Pembelajaran Kooperatif Tipe Formulate Share

Listen And Create Bernuansa Konstruktivisme Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perangkat secara praktis dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis berdasarkan respon siswa dan guru yang positif. Selain itu, kemampuan komunikasi matematis kelas eksperimen mencapai ketuntasan


(51)

34

proporsi lebih baik daripada kelas kontrol. Aktivitas dan motivasi berpengaruh positif terhadap kemampuan komunikasi matematis mereka dan ada peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen.

C. Kerangka Berpikir

Model pembelajaran kooperatif tipe Formulate-Share-Listen-Create (FSLC) merupakan salah satu strategi pembelajaran yang dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami materi yang diberikan dan juga agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Dalam proses pembelajaran yang ada pada FSLC terdapat tahap formulate, dimana siswa diminta untuk menuliskan, merumuskan jawaban dan pendapatnya. Pada tahap ini juga siswa diminta mencari jawaban lebih dari satu ataupun menjawab soal dengan banyak cara. Sehingga kemampuan berpikir kreatifnya dapat terasah terutama pada indikator berpikir lancar (fluency) dan berpikir luwes (flexibility). Pada saat menuliskan jawaban pun siswa dilatih untuk menuliskan jawaban secara rinci dan lengkap dengan demikian siswa terlatih untuk berpikir kreatif terutama pada indikator berpikir rinci (elaboration). Indikator berpikir rinci pun digali pada tahap share. Hal ini dikarenakan pada tahap share siswa dilatih untuk menjelaskan jawaban yang didapatnya kepada teman sekelompoknya dengan rinci dan jelas.

Selain itu, pada tahap create siswa diminta untuk membuat jawaban baru yang dihasilkan dari sintesa ide-ide terbaik dari semua kelompok. Tahap kegiatan ini secara logika teori dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa terutama salah satu indikatornya yaitu, berpikir orisinil. Kemampun berikir orisinil berarti mampu memodifikasi atau membuat kombinasi baru dari bagian-bagian atau unsur-unsur hal ini sesuai dengan tahap create. Create berarti membuat atau menciptakan bukan berarti harus menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru, tetapi bisa juga sesuatu hasil modifikasi dari berbagai hal yang sudah ada dengan melakukan perbaikan dan penambahan hal yang lain sehingga menjadi yang lebih baik. Pada saat proses listen pun kemampuan berpikir orisinil dipengaruhi, karena pada saat itu siswa menerima ide


(52)

orang lain yang mungkin lebih baik sehingga siswa dapat memodifikasi jawaban menjadi lebih baik.

Berdasarkan uraian di atas diduga bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Formulate-Share-Listen-Create dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Ledlow yang

dinyatakan sebelumnya yaitu “It’s called Formulate-Share-Listen-Create, and it’s a good strategy for use with problems or questions that could be addressed in a variety of ways”. Jadi menurut Ledlow FSLC merupakan strategi yang baik untuk digunakan dalam memecahakan masalah dengan jawaban atau cara yang bervariasi. Sehingga kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe FSLC lebih baik dengan yang diajar model pembelajaran konvensional. Kerangka berpikir tersebut dapat disajikan dalam bentuk bagan sebagai berikut:

Berpengaruh positif

Bagan 2. 1 Kerangka Berpikir Penelitian

Formulate

Fluency

Flexibility

Elaboration

Share

Elaboration

Listen

Originality

Create

Originality

Kemampuan Berpikir

Kreatif Matematis


(53)

36

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan deskripsi dan kerangka berpikir yang dikemukakan di atas, maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

“Kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe FSLC lebih tinggi dari kemampuan berpikir kreatif matematis yang diajarkan dengan model


(1)

Lampiran 25


(2)

Lampiran 26


(3)

Lampiran 27

Nilai Kritis Distribusi F


(4)

Lampiran 28


(5)

Lampiran 29


(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh model pmbelajaran Search, Solve, Create and Share (SSCS) terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis siswa

3 13 162

Pengaruh pembelajaran Formulate-Share-Listen-Create (FSLC) terhadap kemampuan representasi visual matematis siswa

4 21 185

Penerapan model pembelajaran kooperatif informal tipe Formulate-Share-Listen-Create (FSLC) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa

11 55 158

PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS DAN SELF-CONCEPT SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE FORMULATE-SHARE-LISTEN-CREATE (FSLC).

4 13 49

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE FORMULATE-SHARE-LISTEN-CREATE (FSLC) DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN INDUKTIF MATEMATIK SISWA SMP.

7 43 33

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DENGAN MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE FORMULATE-SHARE-LISTEN-CREATE (FSLC).

0 3 46

PROFIL KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DALAM PEMBELAJARAN MODEL KOOPERATIF TIPE FORMULATE-SHARE-LISTEN-CREATE (FSLC) DITINJAU DARI PENALARAN MATEMATIS SISWA DI SMPIT AT-TAQWA SURABAYA.

0 2 168

PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS DAN SELF-CONCEPT SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE FORMULATE-SHARE-LISTEN-CREATE (FSLC) - repository UPI T MAT 1201409 Title

0 1 3

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF INFORMAL TIPE FORMULATE SHARE LISTEN CREATE (FSLC) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS PESERTA DIDIK SMPN 19 BANDAR LAMPUNG - Raden Intan Repository

0 0 122

PENGARUH PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE FORMULATE SHARE LISTEN CREATE (FSLC) TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 PURWOJATI

0 0 16