Awalnya Hamparan Kebun Karet.

~:"~~)Pikiran
o Selasa

4

0

5
20

OMar

6
21
OApr

Rakyat

o Sabtu

Rabu

0 Kamis 0 Jumat
7
8
9
10
11
22
23
~4
25
26

12

OMei

OSep

8Jun


QJul

0 Ags

o Minggu

13
27

28

_.-

OOkt

14

29

~ 30


ONov

16

31

ODes

llwaln,a Ramllaran KlJllunKafIJI
ENENGOKsejarah beberapa puluh tahun lalu, Jatinangor belum penuh sesak
seperti sekarang. Dalam literatur
Wildpedia, nama Jatinangor sendiri
sebenarnya berasal dari sebuah blok
perkebunan di kaki Gunung
Manglayang yang kemudian dijadikan
kompleks kampus sejumlah perguruan
tinggi di sana, termasuk Universitas
Padjadjaran (Unpad). Belakangan nama Jatinangor kemudian diambil menjadi nama kecamatan di daerah itu,
menggantikan Cikeruh.

Sebelum berdirinya kampus beberapa perguruan tinggi, kawasan Jatinangor masih berupa perkebunan karet
dan teh. Perkebunan seluas 962 hektar
yang dibangun sejak 1841oleh orang
Belanda bernama W.A Baron Baud itu
terkenal dengan nama "Cultur Ondernemingen Van Maatschapij Baud".
peninggalan yang terkenal dari
perkebunan tersebut adalah Menara
Loji di lahan kampus Universitas
Winaya Mukti (Unwim). Lonceng di
atas menara itu berfungsi memberi
tanda pada buruh untuk mulai bekerja
dan selesai bekerja. Sayang, sekitar
tahun 1980, lonceng di menara tersebut dicuri orang tidak bertanggung
jawab.
Menurut mantan Kepala Desa
Sayang, Kec. Jatinangor, Dedep Hambali, sekitar tahun 1960-1980an,
kawasan Jatinangor masih terbilang
sepi. "Yah namanya perkebunan. Pedagang juga hanya seminggu sekali ramai
saat bayaran buruh perkebunan,"
ujarnya.

Mata pencaharian penduduk asli
Jatinangor pada waktu itu hampir seluruhnya di bidang agraris. Kalau tidak
bertani sendiri, biasanya jadi buruh di
perkebunan.
Pusat pemukiman penduduk yang
menjadi buruh perkebunan, kata
Dedep terletak di kawasan yang kini
menjadi pusat pelatihan dan pendidikan milik Lembaga Administrasi
Negara (LAN), di d~kat bumi perkemahan Kiara Payung. "Ada lagi pemukiman di daerah Warung Kalde dan beberapa daerah lain, hanya dulu terpencar. Pemukiman hanya tertumpuk di
daerah tertentu, sementara di daerah
lain kosong," ujarnya.
Sekitar tahun 1980-an, kata Dedep,
mulai ada rencana pembangunan sebuah perguruan tinggi oleh pemerintah
pusat. "Awalnya kita tidak percaya
meski di pinggir jalan sudah dipampang plang bahwa akan dibangun kampus Akademi Pemerintahan Dalam
Negeri (APDN) yang kemudian berganti nama menjadi Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan
kemudian menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)," katanya
menjelaskan.
Pada 1986-1987, baru1ah rencana
tersebut berjalan. "Pada masa itu mulai

ada penebangan pohon-pohonbekas

M

"

.

<

,.

.~

.;/~

';;, 'L.(7'~:-

"


.\""'.~
' \7t,.,.",,;"~
.'%.."..,. '" ".\
.
,L.>;,\..~. -:;;;. .. . '. i

.

,

'~,~.'

'IL"

~H'''~~~~":_,\''':,,

DOK./'PR'

MENARA Loji di lahan kampus Universitas Winaya Mukti (Unwim). Lonceng di


menara tersebut dicuri orang sekitar tahun 1980.*
perkebunan dan mulai dilakukan perataan tanah, karena dulu kan masih
berupa bukit," kata Dedep.
Setelah APDN berdiri, lanjut Dedep,
menyusul kemudian kampus Unpad,
Unwim, dan Ikopin. "Kawasan pendidikan sendiri dicetuskan pemerintah
Provinsi Jabar setelah masuknya Unpad ke Jatinangor," ujar Dedep.
Sekarang, wajah Jatinangor sudah
jauh berubah. Sekarang Jatinangor sudah ramai oleh pendatang. Namun
sayang penataan yang dilakukan masih
menimbulkan masalah.
**

MENURUf Ery Supriyadi dari Pokja Forum Jatinangor, pertumbuhan
wilayah yang bersifat alami sebenarnya
tidak ada salahnya, sejauh proses dan
produk pembangunannya mengikuti
kaidah yang mengacu padakepentingan bersama. Artinya semua komponen pelaku perkembangan kota memahami prinsip
~...dasar membangun
-


-

-

kawasan dengan tatanan nilai sosial,
ekonomi, lingkungan yang sinergi.
"persoalannya, berbagai kepentingan
dan perilaku setiap komponen pelaku
pembangunan tidak sinkron. Ditambah
lagi upaya menjembatani pemenuhan
kepentingan relatif kurang berjalan
lancar, sehingga gangguan komunikasi
pembangunan antar pelaku, antar kepentingan, atau antar fungsi kegiatan
seringkali terjadi. Bahkan terdapat sejumlah kasus yang membuahkan konflik tisik, misalnya kasus yang pernah,
terjadi di IPDN," katanya.
Ia menjelaskan, kota akademis membutuhkan sejumlah areal yang cukup
luas. Paling tidak diusahakan daerah
seluas radius 5 km dari titik pusat kota.
Di kota itu tersedia lokasi lembagalembaga pendidikan, penelitian dan

pengabdian masyarakat yang didukung
fasilitas-fasilitas penunjang lainnya,
seperti ruang umum, fasilitas umum,
dan lahan permukiman.

Demikian pula infrastruktur jalan,
tempat parkir, terminal, jaringan
listrik, gas dan air bersih, telekomunikasi perlu dibangun sebagai komponen prasarana kota. Fasilitas umum sebagaimana sebuah kota, seperti pusat
a~istrasi,
kantor, polisi, stasiun
pemdam kebakaran, pusat kebudayaan/rekreasi, sekolah (dasar dan
menengah), rumah sakit atau
pelayanan kesehatan lain, tempat
ibadah, pertokoan, pasar, tempat pembuangan sampah dan sebagainya. Selain itu disediakan pula wilayah permukiman berupa lahan untuk tempat
tinggal, perumahan pribadi, asrama,
hotel dan lainnya sebagai penunjang.
"Jika dikaitkan dengan fenomena universitas, maka Jatinangor seharusnya
mengacu pada fungsi kegiatan di atas,"
ujar Ery.
Sebagai kota pendidikan sekaligus

rekreatif, seharusnya Jatinangor
berkembang menjadi daerah yang tenang, nyaman, tentram dan asri. Pada
kenyataannya, Jatinangor berkembang
ke arah yang tidak terkendali. Hubungan kampus dan masyarakat lokaJJrurang harmonis, serta teIjadi degnidasi
lingkungan. Indikasi yang muncul
berupa urban sprawl, kemacetan
transportasi, konflik sosial, masalah
etika dan pergaulan, turunnya air
tanah permukaan dan air tanah dalam,
banjir, kekurangan air dan polusi
lingkungan.
Berbagai hal itulah yang membutuhkan perencanaan secara detail dan
menyeluruh. Selama ini sebetu1nya
telah banyak kajian-kajian guna
mengembangan kawasan Jatinangor.
Namun ironisnya, langkah operasionalisasinya beIjalan lamban.
Keberadaan pengembangan kampus
di Jatinangor semula diharapkan dapat
mengubah nasib masyarakat lokal ke
arah yang lebih baik melalui tambahan
pekeIjaan dengan menyediakan jasa
bagi mahasiswa. Namun demikian,
masyarakat seolah tidak menyangka jika perkembangan di Jatinangor
demikian pesatnya. Kesemrawutan saat
ini teIjadi karena masyarakat tidak siap
mengikuti perkembangan di Jatinangor.
"Jika ingin kemajuan ini berdampak
positif bagi masyarakat, kata kuncinya
adalah pemahaman, sikap, dan tindakan dari masyarakat setempat, pemerintah, industri, serta perguruan
tinggi dalam menyelesaikan perkembangan Jatinangor secara konsisten
dan bersama," kata Ery.
Ia menjelaskan, jejaring ABGC (Academic. Business, Government, Community) diharapkan mampu membuka
akses bagi masyarakat kepada kampus
dan lembaga lain di luar kawasan Jatinangor. Kebersamaan semua komponen tersebut sangat penting untuk
mengatasi masalah ekonomi dan sosial.
(Catur Ratna Wulandari/Handri
Handri~ah/"PR")***