KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMIDANAAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DAN PENGGUNA JASANYA.

(1)

vi ABSTRAK

Kebijakan hukum pidana itu menentukan bagaimana hukum pidana itu dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat perundangan dimana menentukan suatu perbuatan yang sebelumnya tidak dilarang menjadi terlarang yang lzimnya disebut kriminalisasi. Kriminalisasi yang menarik adalah mengenai fenomena prostitusi yang diatur dalam kodifikasi hukum pidana (KUHP) dan pada perda masing-masing daerah. KUHP melalui Pasal 296 hanya mengatur sanksi pidana terhadap mucikari (penyedia jasa). Beberapa perda mengatur sanksi pidana terhadap mucikari (pimp) dan wanita tuna susila (prostitute) bahkan terdapat perda yang mengenakan sanksi pidana terhadap penggunanya (client). telah terjadi kekosongan norma mengenai tindak pidana prostitusi terhadap Pekerja Seks Komersial (PSK) dan pengguna jasa PSK yang belum diatur dalam KUHP, sehingga nantinya melalui kebijakan hukum pidana diharapkan dapat mengkriminalisasi tindak pidana prostitusi yang dilakukan PSK dan pengguna jasa PSK bukan hanya untuk mucikari saja, sehingga rumusan masalah yang dapat dikemukakan terkait dengan fenomena hukum tersebut yaitu: 1)Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam mengatur Pekerja Seks Komersial (PSK) dan pengguna jasa PSK pada saat ini, dan 2)Bagaimana idealnya kebijakan hukum pidana dalam mengatur Pekerja Seks Komersial (PSK) dan pengguna dimasa yang akan datang (ius constituendum).

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan perundang-undangan (statute approach). Sumber bahan penelitian yang digunakan antara lain adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Tekhnik pengumpulan bahan penelitian ini adalah dengan membagi perda ke dalam dua golongan yaitu perda yang merupakan delegasi Undang-undang serta Perda yang merupakan inisiatif daerah. Sumber bahan hukum yang diperoleh kemudian dianalisa menggunakan beberapa tekhnik antara lain: tekhnik deskriptif, interpretatif, evaluuatif dan argumentatif.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Bahwa kebijakan hukum pidana terhadap Pekerja Seks Komersial dan pengguna jasa PSK pada peraturan perundang-undangan sekarang di Indonesia tidak sinkron antara peraturan perundangan nasional dan daerah sehingga masih terjadinya kekosongan norma. Pada rancangan KUHP sekarang juga masih tidak adanya keseragaman antara pengaturan mengenai Pekerja Seks Komersial (PSK) dan pengguna jasa PSK hanya mengatur mengenai Pekerja Seks Komersial (PSK) saja sedangkan pengguna jasanya masih belum diatur sehingga masih tidak terpenuhinya rasa keadilan dalam masyarakat.


(2)

vii ABSTRACT

Criminal law policy that determines how the criminal law was formulated properly and provide guidance to the manufacturer legislation which determines an act previously banned be called the criminalization of illicit lzimnya. Criminalization of interest is the phenomenon of prostitution is regulated in the codification of the criminal law (KUHP) and the regulations of each region. Through Article 296 KUHP only regulates criminal sanctions against pimps (service providers). Some of the regulations set criminal sanctions against pimps (pimp) and prostitutes (prostitute) there are even regulations that impose sanctions against its criminal (client). there has been a vacancy norms concerning the crime of prostitution to prostitutes (SLUT) and service users SLUT is not regulated in the KUHP, so that later through criminal law policy is expected to criminalize the crime of prostitution do SLUT and service users SLUT is not just for pimps only, so that the formulation of the problem that could be addressed related to legal phenomena are: 1) How do criminal law policy in arranging prostitutes (SLUT) and service users SLUT at this time, and 2) How is ideally criminal law policy in arranging a prostitute (SLUT) and the future (ius constituendum).

This research is a normative legal research. Approach legislation (statute approach). Source material used in this study include the primary legal materials, secondary and tertiary. This research material collection techniques is to divide regulations into two groups, namely regulations that are delegates legislation and regulation which is a regional initiative. Sources of legal materials were then analyzed using several techniques, among others: descriptive technique, interpretive, evaluuatif and argumentative.

These results indicate that the policy that the criminal law against prostitutes and service users SLUT on the legislation now in Indonesia is not synchronized between the national and regional legislation that is still a vacuum in the norm. In the draft Penal Code, there is still lack of uniformity between the arrangements regarding prostitutes (SLUT) and service users SLUT only governs the prostitutes (SLUT) SLUT alone while service users are still not regulated so it is still not fulfilled a sense of justice in society.


(3)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Konstitusi Negara Republik Indonesia, menyatakan bahwa:” Indonesia adalah

negara berdasarkan hukum”, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang

Dasar Tahun 1945. Sebagai negara hukum, di dalam menjalankan pemerintahan suatu negara dan perlindungan hak asasi manusia haruslah berdasarkan hukum. Keadaan ini menyebabkan peraturan perundang-undangan memegang peranan yang sangat strategis sebagai landasan dan strategi negara untuk mencapai tujuan sebagai mana yang telah ditentukan.1

Menentukan suatu perbuatan yang dilarang atau tindak pidana dalam suatu peraturan perundangan perlu mempergunakan kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana itu, menentukan bagaimana hukum pidana itu dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legeslatif), kebijakan aplikatif (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif) dalam hal proses kriminalisasi. Kebijakan legeslatif merupakan tahapan yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena pada saat perundang-undangan pidana hendak dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju dengan dibuatnya undang-undang tersebut atau perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana.2 Suatu perbuatan yang sebelumnya tidak dilarang, kemudian menjadi perbuatan yang dilarang lazim

1 Satjipto Rahardjo, 2011, Negara Hukum, Cet. IV, Universitas Diponegoro, Semarang, hlm.27. 1

2 Barda Nawawi Arief, 2009, Kebijakan Legeslatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana, Cet.ke-III, Universitas Diponegoro, Semarang, hlm.2-3.


(4)

disebut kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut Sudarto, dapat diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses itu diakhiri dengan terbentuknya undang-undang, dimana perbuatan itu diancam dengan sanksi berupa pidana.3 Hal ini, ternyata semakin banyak digunakan dan diandalkan dalam rangka mengatur dan menertibkan masyarakat melalui peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan daerah (selanjutnya dibaca Perda). Salah satu perbuatan yang dilarang sebagai penyakit masyarakat yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan tersebut adalah masalah prostitusi yang menjadi momok untuk moral masyarakat/bangsa Indonesia, sehingga sulit bagi pemerintah untuk menghapus kegiatan prostitusi.

Prostitusi adalah masalah hukum dan masalah sosial yang telah ada sejak dahulu. Bahkan dikatakan sebagai profesi yang sangat tua dalam peradaban kehidupan manusia. Profesi ini merupakan salah satu bentuk dari eksploitasi seksual selain perdagangan orang dan pornografi. Menurut James A. Inciardi, sebagaimana dikutif oleh Topo Santoso, prostitusi adalah penawaran hubungan seksual untuk memproleh uang atau keuntungan lainnya. Dalam prostitusi terlibat tiga komponen penting, yakni pelacur (prostitute), mucikari (pimp), dan penikmat/penggunanya (client).4 Prostitusi di dalam kehidupan masyarakat dapat mengganggu ketertiban umum dan merusak generasi muda sebagai penerus bangsa, jika dibiarkan masalah prostitusi akan semakin tidak terkontrol dan menimbulkan pro dan kontra. Bagi yang pro akan mengkaitkan dengan hak ekonomi pelaku bisnis prostitusi, sedangkan yang kontra menganggap lokalisasi sebagai

3 Sudarto, 1983, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 39-40.

4 Dewi Bunga, 2011, Prostitusi Cyber (Diskursus Penegakan Hukum Dalam Anatomi Kejahatan Transnasional), Udayana University Press, hlm.11.


(5)

bentuk legalisasi bisnis haram yang bertentangan dengan aspek moralitas dan agama di dalam masyarakat, seperti yang terjadi dalam proses penutupan lokalisasi Dolly tanggal 18 Juni 2014 yang lalu menimbulkan kontra karena mengganggu moral masyarakat sekitar dan pro dari berbagai pihak baik Pekerja Seks Komersial (PSK) atau pelacur, mucikari, maupun warga sekitar berupa kehilangan mata pencahariannya.5

Prostitusi tidak hanya melibatkan orang dewasa sebagai PSK/pelacur, tetapi belakangan ini berkembang suatu trend yang melibatkan anak-anak dibawah umur. Prostitusi anak ini bermula dari adanya perdagangan manusia (human trafficking) yang berkembang hampir diseluruh dunia. Masalah trafficking merupakan ancaman keamanan multinasional yang merugikan kaum prempuan dan anak-anak, karena dianggap sebagai obyek yang lemah untuk di eksploitasi. Pelaku trafficking biasanya menggunakan upaya dengan cara menipu, mengancam, dan melakukan tindakan kekerasan untuk menjerumuskan korban ke dalam pekerjaan mirip perbudakan atau ke dalam prostitusi. Sebagai salah satu modus operandi yang digunakan adalah penipuan, dalam hal ini ada kalanya anak-anak ini tidak mengetahui kalau dirinya akan dijadikan obyek perkosaan dan kemudian diperdagangkan (dimasukan ke tempat-tempat pelacuran). Dari modus operandi itu anak-anak tersebut yang awalnya enggan untuk menjadi pelacur, namun terpaksa karena telah terlanjur terjerat akhirnya menjadi kebiasaan seolah-olah tidak ada masalah dengan perbuatan tersebut. Anak-anak atau perempuan dewasa yang dijadikan sebagai obyek komoditas (perdagangan) atau pemuas nafsu bejat (animalistik) dari seseorang atau kelompok tertentu yang menjalankan bisnis seksual guna meraih keuntungan berlipat ganda. Keuntungan berlipat ganda yang


(6)

diperoleh mucikari dalam bisnis prostitusi, karena efisiensi modal yang kecil yang dikeluarkan oleh mucikari, yakni hanya menyediakan tempat dan wanita (anak-anak) saja.6

Tempat yang biasanya digunakan untuk menemukan para pekerja seks anak adalah warung pinggir jalan dan warung-warung tenda khusus yang berada didekat keramaian, seperti alun-alun, terminal di pinggir jalan umum, trotoar dan taman-taman tidak sesuai fungsinya dan sebagainya. Selain itu tempat-tempat umum yang disebutkan di atas, pelanggan dalam mendapatkan pekerja seks dengan melalui berbagai media, seperti koran dan majalah yang bernuansa pornografi menawarkan pekerja seks secara terselubung, juga bisa melalui media telepon, dan media internet yang menyebabkan orang semakin mudah mengakses situs-situs ponografi yang menawarkan berbagai website secara murah bahkan gratis.7

Menurut Soerjono Soekanto, penyebab pelacuran (prostitusi) harus ditelaah dari dua sisi, yakni faktor endogen dan eksogen. Diantara endogen (dalam) dapat disebutkan nafsu kelamin yang besar, sifat malas dan keinginan yang besar untuk hidup mewah, sedangkan faktor eksogen (luar) yang utama adalah faktor ekonomis.8 Faktor ekonomi yang sulit menyebabkan orang-orang berani melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, beberapa diantaranya ingin menghasilkan uang banyak melalui jalan pintas tanpa mempertimbangkan dampaknya. Selain itu faktor kurangnya perhatian dan pengawasan dari orang tua, keluarga, orang-orang terdekat dan

6 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap KorbanKekerasan Seksual, Refika Adtama, Bandung, hlm.8.

7 Yayasan Setara, 2002, Menegakkan Hak-Hak Anak – “Separo Anak Jalanan Menjadi Pelacur” diakses tanggal 18 April 2015, URL : http//yayasansetara.org/separo-anak-jalanan-menjadi-pelacur-suara-merdeka-2002. 8 Dewi Bunga, Op.cit., hlm.32.


(7)

lingkungan pendidikan serta pengaruh lingkungan yang buruk semakin memudahkan mereka untuk mencari jati dirinya, mereka akan mencontoh segala hal seperti perilaku seks bebas, bahkan dalam penyalahgunaan narkotika. Sehingga para Anak Baru Gede (ABG) terjerumus dengan sendirinya kepada dunia prostitusi. Hal ini mengakibatkan menurunnya moral dan etika masyarakat Indonesia yang masih kental dengan budaya timur karena prostitusi harus diberantas dengan pengaturan yang lebih intensif.9

Pengaturan mengenai prostitusi pun sudah diatur di dalam berbagai peraturan-perundangan yang berlaku atau hukum positif Indonesia. Pengaturan yang demikian itu, tidak selalu adanya kesamaan bahkan terjadi ketidak sinkronan antara peraturan perundang-undangan yang dibawah dengan peraturan perundangan yang diatasnya. Artinya ada kekosongan norma, karena tidak sinkron tersebut. Hal ini terjadi pada Hukum Pidana Kodifikasi atau KUHP dengan Perda, sebagai contoh KUHP yang tidak melarang prostitusi tetapi KUHP hanya melarang mucikari.10 Ini berarti untuk apa ada pelarangan terhadap mucikari tapi disisi lain pekerja seks komersial dan pengguna/penikmat jasa pekerja seks komersial masih ada. Pengaturan mengenai prostitusi di dalam KUHP hanya menyangkut mucikari saja, yaitu dalam Pasal 296, yang menentukan:

”Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.

9 Sudarsono, 2008, Kenakalan Remaja, Renika Cipta, Jakarta, hlm.67.


(8)

Sedangkan Perda yang mengatur mengenai sanksi bagi PSK/pelacur dan mucikari seperti dalam Perda Kota Denpasar Nomor 2 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 1993 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, pada Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi:”Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000. (Lima Juta Rupiah).

Isi dari Pasal 2 menyatakan:”Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tuna

susila atau pelacuran dalam Daerah Kota Denpasar”, ini lebih menekankan bagi PSK,

lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1) , menyatakan: Setiap orang atau Badan Hukum dilarang:

a. Menyediakan rumah atau tempat kegiatan perbuatan tuna susila dan atau pelacuran;

b. Menjadi tuna susila atau pelacur dalam daerah;

c. Mendatangkan tuna susila dan atau pelacur dari luar daerah;

d. Melindungi atau menjadi pelindung perbuatan tuna susila dan atau pelacuran di daerah;

e. Menjadi germo atau mucikari bagi tuna susila atau pelacur.

Dengan melihat Pasal 3 ayat (1), maka sanksi pidana hanya diancam atau dijatuhkan kepada germo, pelacur (PSK), dan perantara-perantara lainnya. Selain itu hal yang sama terdapat dalam Perda Kabupaten Jembrana Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pembrantasan Pelacuran di Kabupaten Jembrana pada Pasal 6 ayat (1) menyatakan:

a) Barang siapa melakukan perbuatan cabul atau pelacuran diancam pidana kurungan paling lama 3(tiga) bulan atau denda sebesar-besarnya Rp.5.000.000,- (Lima Juta Rupiah);


(9)

b) Barang siapa menyediakan tempat-tempat pelacuran atau menampung pelacuran di Kabupaten Jembrana diancam pidana kurungan 3 (tiga) bulan atau denda sebesar-besarnya Rp.5.000.000,- (Lima Juta Rupiah).

Perda ini hanya pelacur dan mucikari saja yang terkena sanksi pidana, terlihat dalam Pasal 6 (1), yang menyatakan:”Pelacur adalah mereka yang melakukan pelacuran”. Sedangkan dalam pasal 6 ayat (2), sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku prostitusi lainya yaitu mucikari. Terlihat dari unsurnya yaitu “menyediakan tempat-tempat pelacuran atau menampung pelacur.” Dengan melihat kedua perda tersebut tercermin kekurangan dalam Perda Kota Denpasar dan Jembrana dengan tegas tidak mencantumkan sanksi pidana bagi pengguna/penikmat jasa prostitusi.

Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum, justru ketiga komponen penting dalam prostitusi tersebut sudah mengatur mengenai sanksi pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) yang berbunyi :

(2) Setiap orang dilarang :

a. Menjadi penjaja seks komersil/WTS/pelacur

b. Menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersil

c. Memakai jasa penjaja seks komersil.

Pengaturan prostitusi diatas, terlihat kelebihan dari pengaturan sanksi pidana dibandingkan dengan pengaturan sanksi pidana pada Perda Kota Denpasar dan Perda Kabupaten Jembrana, dimana bahwa pada Pasal 42 ayat (2) huruf (a) sanksi dikenakan


(10)

pada PSK, huruf (b) kepada Mucikari sebagaimana juga diatur dalam Pasal 296 KUHP dan huruf (c) sanksi pidana yang dikenakan kepada para pengguna atau penikmat jasa PSK itu. Dengan melihat kedua Perda tersebut ternyata belum seluruh Perda di Indonesia yang mengatur sanksi pidana bagi pengguna jasa PSK/pelacur saja. Pengaturan sanksi pidana pada Perda ini hanya cendrung dikenakan bagi PSK dan mucikari.

Apabila melihat pengaturan prostitusi diatas pada saat ini, lebih banyak dilakukan dengan menertibkan dan menangkap mucikari dan PSK sedangkan bagi para pengguna jasa PSK tidak pernah atau luput dari aparat penegak hukum. Cara penertiban seperti ini menunjukan bahwa belum memenuhi rasa keadilan sehingga inilah menjadi penyebab sulitnya dalam penegakan hukum bagi prostitusi di masyarakat.

Bertolak dari hal tersbut diatas, seharusnya pemerintah juga ikut menghukum para pengguna/penikmat jasa PSK/pelacur, karena ketika tidak ada lagi pengguna atau penikmat jasa PSK ini dengan sendirinya pratek prostitusi ini akan menurun bahkan menghilang dari masyarakat, namun ketidaktegasaan aparat penegak hukum untuk memberikan sanksi kepada pengguna jasa atau penikmat jasa PSK ini disebabkan tidak adanya pengaturan sanksi pidana yang jelas dan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional seperti dalam KUHP. Hal inilah yang menyebabkan para pengguna jasa atau penikmat PSK dan pelaku seks/prostitusi masih dapat dengan leluasanya melampiaskan hasrat seksualnya tanpa takut akan dikenakan sanksi pidana.

Terkait dengan masalah pengaturan sanksi pidana bagi pengguna atau penikmat PSK dan pelaku seks/prostitusi yang belum diatur secara nasional dalam KUHP ini,


(11)

maka harus dilakukannya suatu bentuk pembaharuan hukum (Law reform) yang merupakan bagian dari pembangunan nasional. pembaharuan hukum nasional sebagai bagian dari rangkaian pembangunan nasional ini dilakukan secara menyeluruh dan terpadu baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi dan juga meliputi hukum formil maupun materiilnya.

Bertolak dari uraian tersebut diatas, telah terjadi konflik norma mengenai tindak pidana prostitusi terhadap PSK dan pengguna jasa PSK yang belum diatur dalam KUHP, sehingga nantinya melalui kebijakan hukum pidana diharapkan dapat mengkriminalisasi tindak pidana prostitusi yang dilakukan PSK/pelacur dan penggunanya bukan hanya untuk mucikari saja. Hal ini yang mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian ini akan dituangkan dalam suatu karya tulis ilmiah dengan

judul: ”Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemidanaan Terhadap Pekerja Seks

Komersial Dan Pengguna Jasa Pekerjanya”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar tersebut diatas, dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam mengatur Pekerja Seks Komersial dan pengguna jasanya pada saat ini?

2. Bagaimana idealnya kebijakan hukum pidana dalam mengatur Pekerja Seks komersial dan penggunanya dimasa yang akan datang (ius constituendum).?


(12)

Suatu karya ilmiah kiranya wajib ditentukan secara tegas batasan materi yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Hal ini dilakukan untuk mencegah agar materi atau isi uraiannya tidak menyimpang dari pokok permasalahan, sehingga permasalahan yang dibahas dapat diuraikan secara sistimatis. Materi yang akan dibahas dalam tesis ini dibatasi tentang: “”Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemidanaan Terhadap Pekerja Seks Komersial Dan Pengguna Jasanya”, dengan perincian sebagai berikut: kebijakan hukum pidana dalam mengatur pekerja seks komersial dan penggunanya dewasa ini serta idealnya hukum pidana dimasa yang akan datang terhadap pekerja seks komersial dan penggunanya.

1.4.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu :

1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan hukum pidana dalam pemidanaan terhadap Pekerja Seks Komersial dan penggunanya;

1.4.2. Tujuan khusus

1. Mengetahui dan menganalisis kebijakan hukum pidana dalam mengatur pekerja seks komersial pada saat ini;

2. Mengetahui dan menganalisis idealnya hukum pidana dimasa yang akan datang dalam mengatur pekerja seks komersial dan penggunanya dalam pembaharuan hukum pidana.


(13)

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian ini dapat dibagi dua, yaitu : a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka pengembangan studi hukum, khususnya dibidang hukum pidana mengenai pekerja seks komersial dan penggunanya.

b. Manfaat Praktis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai masukan bagi praktisi dan pemerintah/pembuat kebijakan hukum pidana dalam hal ini Rancangan KUHP, agar sesuai dengan aspirasi masyarakat bahwa selama ini masalah prostitusi dalam KUHP hanya mengatur tentang germonya saja, sedangkan pekerja seks komersial dan penggunanya belum diatur. Hal tersebut, berakibat belum dipenuhinya rasa keadilan di dalam masyarakat.

1.6. Orisinalitas Penelitian

Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian dengan judul”Kebijakan Kriminalisasi Dalam Rangka Sinkronisasi Pengaturan Prostitusi”, belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya di lingkungan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Udayana. Akan tetapi, permasalahan dan pembahasan yang berkaitan dengan judul di atas telah diteliti oleh beberapa orang, untuk menunjukan orisinalitas penelitian dari tesis ini, maka dapat dibandingkan dengan tesis-tesis lainnya. Adapun tesis-tesis yang membahas tentang kebijakan kriminalisasi yang ada kaitannya dengan kebijakan dalam hukum pidana, yaitu :


(14)

1) Tesis dengan judul:”Kebijakan Kriminalisasi Prostitusi Terselubung (Salon Plus) dan Alternatif Penanggulangannya di Kabupaten Sleman”, ditulis oleh Kantinoko Kurniawan, dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Tahun 2012, dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kebijakan Kriminalisasi Pemerintah Daerah dalam penanggulangan prostitusi di Kabupaten Sleman?;

2. Apakah kendala kebijakan Pemerintah Daerah dalam menanggulangi prostitusi di Kabupaten Sleman?.

Penelitian tesis ini mengkaji masalah pokok pertama, tentang kebijakan kriminalisasi pemerintah Kabupaten Sleman dalam menanggulangi prostitusi adalah dengan melakukan regulasi Peraturan Daerah Sleman Nomor 3 Tahun 2001 tentang Ketrtiban Umum dan Pemberantasan Prostitusi, melarang dan memberikan sanksi tegas pada praktek prostitusi diwilayahnya, dengan penertiban prostitusi yang terselubung (salon plus) dengan pendekatan persuasif dan rahasia terhadap tempat-tempat yang telah dicurigai melakukan praktek prostitusi. Kedua, kendalanya sebagian besar masyarakat sekitar menolak penertiban, dengan alasan ekonomi dan menghilangkan mata pencahariannya.

2) Tesis dengan judul:”Kondisi Prostitusi Dibawah Umur di Prancis Pada Kurun

Waktu 1995-2008”, ditulis oleh Amanda Marcella, Universitas Indonesia, 2010, dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kebijakan kriminalisasi pemerintah Perancis terhadap kondisi prostitusi dalam rangka penanggulangannya?;


(15)

2. Apakah kendala yang dihadapi dalam kebijakan kriminalisasi prostitusi oleh Pemerintah Perancis?.

Penelitian ini mengkaji masalah pertama tentang kondisi prostitusi yang hampir sama dengan kondisi di Indonesia, namun tidak diatur secara tegas di dalam peraturan perundang-undangannya. Kedua kendalanya bukan masalah ekonomi, melainkan hak asasi warga terhadap prostitusi.

3) Tesis dengan judul:”Kebijakan Kriminalisasi Dalam Upaya Penanganan Wanita

Tuna Susila (WTS) Jalanan di Kabupaten Ngawi”, ditulis oleh Rohmatul H.,Titik, dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2005, dengan rumusan masalah, sebagai berikut:

1. Bagaimana kebijakan kriminalisasi dalam upaya penanganan WTS jalanan di Kabupaten Ngawi?;

2. Apa saja kendala kebijakan kriminalisasi dalam upaya penanganan WTS jalanan di Kabupaten Ngawi?.

Penelitian tesis ini mengkaji masalah pertama, tentang pengaturan tindak pidana WTS belum diatur secara tegas di dalam peraturan daerah. Oleh karena itu didalam penertibannya sering dilakukan dengan berpedoman pada peraturan daerah tentang ketertiban umum. Kedua, kendala yang dihadapi adalah masalah ekonomi, pemerintah belum mampu menanggung masyarakat yang terlibat dalam WTS jalanan, kecuali dengan pembinaan dinas kementrian sosial.

4) Tesis dengan judul:”Kebijakan Kriminalisasi Dalam Rangka Penanggulangan

Prostitusi di Kota Surakarta”, ditulis oleh David Kurniawan, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Tahun 2010, dengan rumusan masalah sebagai berikut:


(16)

1. Bagaimana pengaturan prostitusi dalam hukum yang berlaku di Indonesia? 2. Bagaimana Kebijakan Kriminalisasi dalam perspektif hukum yang akan

datang/ius constituendum?.

Penelitian tesis ini mengkaji pertama pengaturan prostitusi dalam peraturan daerah Kota Surakarta telah diatur dengan tegas dalam mencegah dan membrantas prostitusi serta dengan sanksi pidana yang tegas. Kedua, regulasi prostitusi kedepannya akan disesuaikan dalam rancangan KUHP Tahun 2008/2009 telah mengatur prostitusi, namun tidak mengatur pelanggannya.

Kebijakan kriminalisasi yang diangkat dalam beberapa tesis tersebut di atas, telah disesuaikan dengan perkembangan dinamis hukum pidana seiring dengan berkembangnya masyarakat. Perkembangan hukum pidana semakin banyak digunakan dan diandalkan untuk mengatur dan menertibkan masyarakat melalui peraturan perundang-undangan. Dinamika hukum ini dapat dilihat dari adanya kebijakan penggunaan sanksi pidana melalui pencantuman bab “ketentuan sanksi pidana”pada bagian akhir sebagaian besar produk peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pencantuman bab tentang ketentuan sanksi pidana tersebut tidak hanya terlihat pada produk peraturan perundang - undangan pusat yang berbentuk “undang - undang”, melainkan dapat terlihat pula dalam produk perundang-undangan daerah yang berbentuk Perda. Sejak diperlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 diperbaharui lagi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 (selanjutmnya dibaca Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014) tentang “Pemerintahan Daerah”,ternyata banyak disikapi tiap-tiap daerah berlomba-lomba untuk membuat Peraturan Daerah mengatur daerahnya sendiri,


(17)

masalah pengaturan prostitusi ada diatur tersendiri dan ada juga digabung di dalam Perda Ketertiban Umum.

1.7. Landasan Teoritis Dan Kerangka Berpikir

Menurut Dupont, seperti dikutip oleh Komariah Emong Sapardjaja: “Het legalitertsbeginse is een van de meest fundamentele beginselen van he strafrecht”.11

(Asas legalitas adalah suatu asas yang paling penting dalam hukum pidana).

Dikatakan selanjutnya bahwa asas ini dikenal dengan adegiurn “nullum delictum noella poene praevia sine lege paenali”.Secara singkat: nullum crimen sine lege berarti tidak ada tindak pidana tanpa undang-undang, dan nulla poene sine lege berarti tidak ada pidana tanpa undang-undang. Jadi undang-undang menetapkan dan membatasi perbuatan mana dan pidana (sanksi) mana yang dapat dijatuhkan kepada pelanggarnya.

Asas ini mengandung makna asas perlindungan, yang secara historis merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan penguasa di zaman Ancien Regime serta jawaban atas kabutuhan fungsional terhadap kepastian hukum yang menjadi keharusan di dalam suatu negara hukum. Sekarang pun keterikatan negara-negara hukum modern terhadap asas ini mencerminkan keadaan bahwa tidak ada suatukekuasaan negara yang tanpa batas terhadap rakyatnya dan kekuasaan negara pun tunduk pada aturan-atucan hukum yang telah ditetapkan.12

11

Komaeriah Emong Supardjaja, 2002, Ajaran Melawan Hukum Matereil dalam Hukum Pidana Indonesia (Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannuya dalam Yurisprudensi), Alumni, Bandung, hlm. 6

12


(18)

Menurut Groenhuijsen, ada empat makna yang terkandung dalam asas legalitas. Dua dari yang pertama ditujukan kepada pembuat undang-undang(de wetgevende macht), dan dua lainya merupakan pedoman bagi hakim.Pertama, bahwa pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan, dan keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi.13

Perlu pula untuk menjadi perhatian bahwa menurut Moeljatno asas legalitas ini sendiri mengandung tiga makna yaitu: pertama, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang, kedua adalah untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, dan ketiga adalah aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.14

Secara teoritis di dalam hukum pidana asas legalias memiliki dua fungsi yaitu : 1. fungsi melindungi, yang dapat diartikan bahwa undang - undang pidana

melindungi rakyat terhadap kekuasaaan pemerintah tanpa batas, karena dengan adanya keharusan untuk menentukan perbuatan-perbuatan apa yang dilarang di dalam suatu undang-undang, maka pemerintah tidak bisa dengan keinginannya menyatakan bahwa tindakan rakyat merupakan tindakan yang terlarang sehingga

13M.S. Groenhuijsen, Straf en wet, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana pada Universitas Katolik Brabant, Jum’at, 6 November 1987, Goude Quint Amhem, hlm. 15.

14

Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Airlangga, Jakarta, 2009, hlm.9


(19)

dia dijatuhi hukuman. Rakyat diberi perlindungan dalam bentuk penentuaan perbuatan-perbuatan yang secara tegas dilarang dalam suatu undang-undang. 2. fungsi instrument, yang dapat diartikan bahwa dalam batas-batas yang ditentukan

dalam undang-undang, pelaksana kekuasaan oleh pemerintah tegas-tegas diperbolehkan. Pemerintah hanya boleh menjalankan kekuasaannya termasuk dalam hal ini adalah menyatakan bahwa perbuatan rakyat terlarang dan menjatuhkan hukuman kepadanya atas dasar ketentuan undang-undang yang dengan tegas menyatakan hal itu, tanpa itu tindakan pemerintah masuk dalam kategori tindakan sewenang-wenang dan tanpa dasar hukum.15

Selain fungsi yang dijabarkan di atas, asas legalitas memiliki kegunaan bagi hukum pidana yaitu berkaitan dengan tiga hal yaitu :

1. Asas legalitas sangat penting keberadaaanya karena dapat menjadi sarana utama untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa dalam pemidanaan.

2. Asas legalitas berguna karena dapat menjadi sarana utama untuk mewujudkan jaminan kepastian hukum bagi rakyat atau warga negara dalam menerima tindakan dari siapapun, terutama negara.

3. Eksistensi asas legalitas sangatlah penting karena dapat menjadi sarana utama untuk mencegah terjadinya kejahatan (prevention of crime)16

Adapun teori yang dipergunakan dalam penelitian ini akan dijabarkan sebagai berikut :

1.7.1.1. Teori Keadilan

15

Ibid

16


(20)

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai "tiga ide dasar hukum" atau "tiga nilai dasar hukum".17 Diantara ketiga asas tersebut sulit untuk ditegakkan secara bersamaan, karena untuk menegakkan yang satu, harus mengalahkan/mengorbankan yang lainnya. Pendapat Gustav Radbruch sejalan dengan diungkapkan oleh Bismar Siregar yang menyatakan: untuk menegakkan keadilan, saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu, karena hukum hanyalah sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan18.

Seiring menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman

menyebutkan bahwa : ”In terms of law, justice will be judged as how law treats people

and how it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini juga Friendman menyatakan bahwa "Every function of law, general or specific, is allocative,"19. Keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum disebutkan oleh banyak hakim sebagai suatu tujuan hukum. Persoalanya sebagai tujuan hukum, baik Radbrunch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Dalam kenyataan di masyarakat, ketiga kompenen ini sering terjadi benturan. contohnya, dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya "adil" menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfataan bagi masyarakat

luas, demikian sebaliknya.”20

17

Gustav Radbrunch, Legal philosophy, in the legal philosophy of Lask, Radbrunch and Dobin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetss, 1950, hlm. 107. Lihat juga Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta, 1996, hlm. 95

18

Dardji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Cetakan Keempat, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm 154

19

Peter Mahmud Marzuki, The need for the Indonesian Economic Legal Framework, dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, Agustus, 1997, hlm 28

20


(21)

keadilan menurut Aristoteles adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Keadilan artinya berbuat kebajikan, atau dengan kata lain keadilan merupakan kebajikan yang utama. Aristoteles menyatakan : justice consists intreating equals equaly and unequals unequally, in proportion to their inequality.21

Prinsip ini beranjak dari asumsi untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama secara proposional. Aristoteles membagi keadilan menjadi dua bentuk, yaitu :

Pertama, Keadilan distribusi adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proposional. Kedua, Keadilan korektif yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi, dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan illegal. fungsi korektif keadilan pda prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti atas miliknya yang hilang.22

Selanjutnya di kemukakan oleh Thomas Aquinas adalah:

Keadilan distributif pada dasarnya merupakan penghormatan terhadap person manusia (acceptio personarum) dan keluhurannya (dignitas). Dalam kontek keadilan distributive, keadilan dan kepatutan (equitas) tidak tercapai semata-mata dengan penetapan nilai yang aktual, melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal dengan hal yang lainnya (acqualitas rei ad rem). Ada dua bentuk kesamaan

21

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, hlm. 36

22


(22)

yaitu 1) kesamaan proposional (acqualitas proportionis); dan 2) kesamaan kuantitas atau jumlah (acqualitas quantitas)23.

John Rawls berpendapat: keadilan sebagai fairness yang subjek utamanya adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerjasama sosial.24

Keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak), sedangkan disisilain, perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur manfaat).

Keadilan itu sesungguhnya berhubungan dengan hati nurani, bukan hanya sekedar definisi dan juga bukan soal formal-formalan. ia berhubungan erat dengan praksis kehidupan sehari-hari dari manusia. Sehingga tepatlah apa yang dikemukkan oleh Gustav Radbruch : "Summum ius summa inuiria" , bahwa keadilan tertinggi itu adalah hati nurani. Orangyang terlalu mematuhi hukum secara apa adanya seringkali justru merugikan keadilan.25

Dalam hal ini selanjutnya, Radbruch mengajarkan, bahwa:”kita harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan,

kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum”.26

23

E. Sumaryono, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm. 90-91

24

John Rawls, A Theory Of Justice; Teori Keadilan, Cetakan kedua, Pustaka Setia, 2011, hlm 7 25

Jeremies Lemek, Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia,

Galang Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 25 26Ibid.


(23)

Bertolak dari uraian diatas, penulis memilih teori keadilan yang digunakan oleh Aristoteles pada Keadilan korektif yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi, dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan illegal. fungsi korektif keadilan pda prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti atas miliknya yang hilang.

1.7.1.2. Teori Kepastian Hukum

Kepastian memiliki arti "ketentuan, ketetapan", sedangkan jika kata kepastian digabungkan dengan kata hukum menjadi kepastian hukum, memiliki arti perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara27. Pada tahun 1748 Moentesquieu menulis buku De iesprit des lois (The Spirit of laws) sebagai reaksi terhadap kesewenang-wenangan kaum monarki, karena kepala kerajaann amat menentukan sistem hukum peradilan pada saat itu secara nyata menjadi pelayanan monarki28.

Pada tahun 1764 seorang pemikir hukum Italia yang bernama Gesare Beccaria menulis buku yang berjudul De delliti e delle pene , yang menerapkan gagasan Moentesquieu dalam bidang hukum pidana. Baginya seorang dapat dijatuhkan hukuman jika tindakannya telah diputuskan oleh legislative sebelumnya, dan oleh sebab itu eksekutif dapat menindak dan menghukum apabila terdapat seseorang yang melanggar apa yang telah diputuskan oleh pihak legislative. Gagasan ini kemudian dikenal dengan asas nullum crimen sine legi, yang tujuannya memberikan

27

Anton M. dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2008 28

E. Utrecht dan Moh. Saleh J. Jindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Iktiar baru dan Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hlm. 388


(24)

perlindungan hukum bagi setiap warga negara terhadap kesewenang-wenangan negara29.

Menurut Radbruch seperti yang dikutip oleh Theo Huijbers :

Pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai. Aspek yang pertama ialah keadilan dalam arti yang sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas, aspek ini menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati30

Selanjutnya Peter Mahmud Marzuki juga memberikan pendapatnya mengenai kepastian hukum yang dapat dijabarkan sebagai berikut;

Bahwa kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya kosnsitensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputus31.

Kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakkan hukum. Sudikno Mertokusumo mengartikan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan

29

E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2007, hlm 93

30

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan 14, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 163

31

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm.158


(25)

sewenang-wenang, berati bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu32.

Bertolak dari uraian diatas, penulis memilih untuk menggunakan teori kepastian hukum dari Peter Mahmud Marzuki yang mengatakan bahwa kepastian hukum membuat individu mengetahui perbuatan yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan merupakan keamanan hukum bagi individu kesewenang-wenangan pemerintah termasuk konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan yang lainnya umtuk kasus serupa yang telah diputus.

1.7.1.3. Teori Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi juga tahap pemberiaan sanksi dalam hukum pidana. Kata “Pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum.

Sedangkan “Pemidanaan” dapat diartikan sebagai penghukum.33

Sistem pemidaaan di Indonesia mencakup beberapa teori pemidanaan.34 Berdasarkan teori pidana dan pemidanaan terdapat berbagai pemikiran yang pada umumnya dapat dibagi ke dalam tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu:

1. Teori absolut atau teori pembalasan (Vergeldings Theorien); 2. Teori Relative atau Teori Tujuan (Doel Theorien);

3. Teori Gabungan (Verenigings Theorien).

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan ( Vergeldings Theorien )

Pidana dijatuhkan semata-mata dikarenakan orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kant dan Hegel. Tuntutan

32

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm. 145 33 Mahrus Ali, 2011, Dasar- Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.194


(26)

keadilan yang absolut ini terlihat jelas disampaikan oleh Immanuel Kant yang menyatakan pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan lain, baik bagi si pelaku maupun bagi masyarakat pada umumnya, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Bahkan walaupun seluruh anggota dalam masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri ( membubarkan masyarakat), pembunuh terakhir yang masih berada dalam penjara harus dipidana mati sebelum terjadinya suatu revolusi dalam masyarakat itu. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuataannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut serta dalam pembunuhan itu yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap keadilan umum35. Tokoh lain dari penganut teori absolut yang terkenal ialah Hegel, mengeluarkan teori yang dikenal dengan quashimathematic, yaitu :

- Wrong Being ( crime ) is the negation of right ; and - Punishment is the negation of that negation.

Dalam teori tersebut, Hegel berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsenkuensi dari adanya kejahatan. Karena kejahatan adalah bentuk dari pengingkaran terhadap ketertiban umum atau ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan dari cita susila, maka pidana merupakan Negation der Negation ( Peniadaan atau pengikaran terhadap pengingkaran ). 36 Menurut teori absolut, pidana adalah suatu hal mutlak harus dijatuhkan terhadap suatu kejahatan. Pidana adalah hal yang tidak

35 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana , Alumni Bandung, hlm. 6 36 Ibid, hlm.12


(27)

mengenal kompromi untuk diberikan sebagai bentuk pembalasan terhadap suatu kejahatan. Pada teori absolut ini memandang bahwa sangsi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu bentuk kejahatan yang menimbulkan adanya akibat mutlak sehingga memunculkan suatu bentuk pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sangsi itu memiliki tujuan untuk memuaskan rasa keadilan. Nampak jelas bahwa yang dimaksudkan Pidana pada teori absolut ialah suatu tuntutan etika, dimana seseorang yang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana akan memperoleh hukuman yang merupakan suatu keharusan yang bersifat merubah etika jahat menjadi etika baik.37

2. Teori Relatif atau Tujuan ( Doel Theorien )

Pokok pemikiran dasar pada teori ini, bahwa pidana adalah alat bantu yang digunakan untuk menegakkan tata tertib atau hukum dalam masyarakat. Teori ini memiliki perbedaan dalam dasar pemikiran dengan teori absolut dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku suatu kejahatan atau tindak pidana haruslah mempunyai tujuan tertentu, misalnya sebagai bahan revolusi mental bagi pelaku kejahatan sehingga nantinya dapat kembali pada masyarakat. Teori relatif ini berasaskan pada tiga tujuan utama dalam pemidanaan yaitu Preventif, Detterence, dan Reformatif. Tujuan preventif untuk dapat melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan secara terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti ( Detterence ), agar dapat menimbulkan suatu efek jera bagi pelaku kejahatan sehingga tidak akan mengulangi perbuataannya maupun bagi anggota masyrakat lain sebagai bahan pembelajaran perbuatan pelaku termasuk kejahatan. Sementara itu, Tujuan perubahan (Reformatif ) mempunyai tujuan


(28)

untuk dapat merevolusi mental si pelaku kejahatan atau tindak pidana hingga nantinya dapat kembali menjadi manusia “baru” yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyrakat..

3. Teori Gabungan / Modern ( Vereningings Theorien )

Pada teori gabungan atau teori modern ini mempunyai pandangan bahwa tujuan pemidanaan itu bersifat plural, dikarenakan pada teori ini mengabungkan antara prinsip – Prinsip pada teori relatif (tujuan) dan teori absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan maka teori ini mempunyai karakteristik ganda, dimana pemidanaan dapat mengandung bentuk pembalasan apabila pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah (kejahatan). Sedangkan jika dilhat dari karateristik tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu bentuk perubahan sikap bagi pelaku kejahatan di kemudian hari.

Teori gabungan/modern ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, Van list dengan pandangan sebagai berikut :

1. Tujuan terpenting pidana adalah memberantas kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat.

2. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis.

3. Pidana ialah suatu dari yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah untuk memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satu-satunya sarana, oleh


(29)

karena itu pidana tidak boleh digunakan tersendiri akann tetapi harus digunakan dalam bentuk kombinasi dengan upaya sosialnya. 38

Dari pandangan diatas menunjukan bahwa teori ini mengisyaratkan agar pemidanaan itu selain memberikan pembalasan pada fisik maupun psikis juga dapat menberikan suatu bentuk revolusi mental pada pelaku kejahatan agar dapat menjadi

manusia “baru” yang sesuai dengan nilai-nilai pada masyarakat. Dari uraian mengenai

teori pemidanaan diatas dapat disimpulkan pemidanaan hendaknya memiliki tujuan untuk dapat memperbaiki sifat dalam diri manusia atau yang melakukan kejahataan-kejahataan terutama perbuatan atau delik ringan sementara itu memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan pada perbuatan atau delik-delik tertentu yang dianggap dapat merusak tatanan sosial masyarakat.

1.7.1.4. Konsep Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan penggunaan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah (Perda) pada

hakikatnya cepat dikatakan pula sebagai bagian “politik criminal” atau “criminal

policy”. Menurut Marc Ancel, “criminal policy” dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by society.

Definisi politik criminal tersebut tidak berbeda dengan pendapat G. Peter Hoefnagels yang menyatakan bahwa criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime.39Berarti bahwa “politik kriminal” dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penyelesaian tindak pidana.

38 Djoko Prakoso, 1988, Hukum Penitensir Di Indonesia, Armico, Bandung, hlm 47. 39


(30)

Politik criminal atau kebijakan hukum pidana tersebut dapat mencakup ruang

lingkup yang cukup luas. Hal tersebut bahwa “politik criminal” dapat dirumuskan

sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam membrantas tindak pidana. Marc Ancel, berpendapat bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, melainkan juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah satu Komponen dari model criminal science disamping criminology dan criminal law.40

Sudarto berpendapat bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.Dalam kesempatan lain dikemukakan pula, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” mempunyai arti sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.41

Bertolak dari uraian tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa kebijakan penggunaan sanksi pidana dalam Perda pada hakikatnya termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy), yang didalamnya terkandung makna tentang “bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu peraturan perundang-undangan pidana yang baik”, dalam hal ini Perda yang memuat ketentuan (ancaman) pidana.

40Ibid.

41


(31)

Dalam hubungannya dengan masalah kriminalisasi, Muladi mengingatkan mengenai beberapa ukuran yang secara doctrinal harus diperhatikan sebagai pedoman, yaitu sebagai berikut :

1. Kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan “overkriminalisasi” yang

masuk kategori the misuse of criminal sanction; 2. Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc;

3. Kriminalisasi harus mengandung unsur korban (victimizing) baik actual maupun potensial;

4. Kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan prinsip ultimatum remedium;

5. Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang enforceable; 6. Kriminalisasi harus mampu memperoleh dukungan publik;

7. Kriminalisasi harus mengandung unsur “subsosialitet” (mengakibatkan bahaya

bagi masyarakat, sekalipun kecil sekali);

8. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu.42

Mengingat pentingnya tahap formulasi dalam fungsionalisasi atau operasionalisasi kebijakan hukum pidana (penal policy), maka kebijakan penggunaan sanksi pidana dalam Perda sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy) sudah seharusnya memperhatikan ukuran atau kriteria iersebut di atas. Dasar Pertimbangan adanya kebijakan penggunaan sanksi pidana dalam Perda melalui pencantuman ketentuan (ancaman) pidana seharusnya tidak boleh melepaskan dari ukuran atau kriteria dalam kebijakan kriminalisasi. Pembentuk peraturan tidak hanya menetapkan tentang perbuatan-perbuatan yang dapat dikenai hukum pidana, tetapi juga menunjuk macam-macam sanksi yang dapat diterapkan; begitu pula maksimum ukuran pidana.43

42Muladi, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cet.ke-III, Alumni, Bandung, hlm. 56.


(32)

Penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar mempunyai hubungan yang erat dengan sistern pidana dan pemidanaan. Sistem pidana dan pemidanaan tersebut dapat mencakup ruang lingkup yang cukup luas.

Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh L.H.C. Hulsman, bahwa “the sentencing

sistem is the statutory rules relating to penal sanctions and punishment” (sistem pemidanaan adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan). Sistem pidana dan pemidanaan tersebut dapat mencakup beberapa sub-sistem pidana dan pemidanaan. Sub-sistem pidana dan pemidanaana tersebut yaitu dapat dilihat dari masalah jenis sanksi pidana, masalah perumusan sanksi pidana dan masalah jumlah atau lamanya ancaman pidananya.44

1.7.2. KERANGKA BERPIKIR

Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan kerangka berpikir sebagai berikut :

44L.H.C. Hulsman, 1978, The Dutch Criminal Justice Sistem Frrom A Comparative Legal Perspective, di dalam D.C.Fokkema (ed), Introduction to Dutch Law For Foreign Lawyers, Kluwer Deventer, The Nederlands, hlm. 320.

Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Wanita Tuna Susila Dan Penggunanya Dalam Pembaharuan Hukum Pidana


(33)

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

Peraturan pidana yang memberi sanksi/pidana terhadap prostitusi di Indonesia tidak sinkron dan ada konflik norma, seperti dalam KUHP hanya Pasal 296 untuk mucikari/germo saja; Perda Nomor 2 Tahun 2000 Kota Denpasar dan Perda Nomor 3 Tahun 2003 Kabupaten Jembrana hanya untuk mucikari dengan PSK/WTS/pelacur, akan tetapi justru Perda DKI Nomor 8 Tahun 2007, sudah lengkap member sanksi/pidana terhadap prostitusi, yaitu: mucikari, PSK/WTS/pelacur dan penggunanya/penikmatnya.

Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam mengatur wanita tuna susila dan penggunanya pada saatini

Bagaimana idealnya kebijakan hukum pidana dalam mengatur wanita tuna susila dan penggunanya di masa yang akan datang (ius constituendum)

Simpulan :

- Bahwa kebijakan hukum dalam mengatur wanita tuna susila dan penggunanya pada peraturan perundang-undangan sekarang di Indonesia tidak sinkron antara peraturan perundangan nasional dan daerah sehingga masih terjadinya konflik norma.

- Pada rancangan KUHP sekarang juga masih tidak adanya keseragaman antara pengaturan mengenai wanita tuna susila dan penggunanya, hanya mengatur mengenai wanita tuna susila/pekerja seks komersial saja sedangkan penggunanya masih belum diatur sehingga masih tidak terpenuhinya rasa keadilan dalam masyarakat.

Saran :

- Agar dalam perumusan rancangan KUHP ke depan dilakukan revisi lagi dengan menambahkan rumusan mengenai sanksi pidana terhadap pengguna wanita tuna susila/pekerja seks komersial seperti pada Perda DKI Jakarta, sehingga rasa keadilan dapat terpenuhi karena baik mucikari, WTS/PSK maupun penggunanya adalah tiga komponen dari tindak pidana prostitusi dan juga tidak akan ada lagi kekosongan norma antar peraturanperundang-undangan mengenai hal ini di Indonesia

Teori Keadilan

Teori Kepastian Hukum

Konsep Kebijakan Hukum Pidana Teori pemidanaan


(34)

Penulisan usulan proposal ini, dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ialah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian ini mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap sinkronisasi vertical dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.45

1.8.2. Jenis Pendekatan

Sesuai dengan jenis penelitiannya, yaitu penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan peraturan perundang-undangazn (statute approach) dilakukan dengan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini, kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang akan dibahas. Sedangkan pendekatan konsep (conceptual approach) dilakukan dengan beranjak dari peraturan perundang-undangan yang ada dan merujuk pada konsep-konsep hukum, serta pendekatan perbandingan (comparative approach) dilakukan dengan perbandingan system hukum yang berlaku dimasyarakat.46

1.8.3.Sumber Bahan Penelitian

Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam tesis ini, dibagi ke dalam tiga jenis, yakni sebagai berikut :

45Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tijauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13-15.


(35)

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri atas (untuk Indonesia):

a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);

b. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

c. Undang-undang Nomer 22. Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; yang diperbaharuhi dengan Undang-undang Nomor 32tahun 2004, dan diperbaharui lagi dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014;

d. Undang - undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011;

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu rancangan KUHP, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, yurisprudensi, buku-buku dan hasil karya dari kalangan pakar hukum, yang berhubungan dengan penelitian ini;

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan penjelasan atau petunjuk mengenai bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan ensikiopedia.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Penelitian

Dalam kegiatan pemilihan Perda yang menjadi objek kajian dengan mengkualifikasikan Perda menjadi dua: Pertama, Perda yang merupakan delegasi undang-undang, dan yang kedua, Perda yang tidak ada delegasi undang-undang, dimana inisiatif pembuatannya adalah daerah. Mengetahui alasan kebijakan kriminalisasi prostitusi dalam Perda, maka penulis mengambil sampel dari Perda yang di buat oleh Provinsi/kabupaten/kota yang mempunyai karakteristik tertentu oleh daerah Provinsi/Kabupaten/Kota di Bali dan DKI Jakarta. Sehingga dapat diketahui apakah


(36)

Pemerintah Daerah dalam merumuskan Perda untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan diatasnya.

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, setelah bahan hukum terkumpul maka bahan hukum tersebut dianalisis untuk mendapatkan konklusi/kesimpulan, bentuk dalam analisis bahan hukum adalah teknik deskriptif, interpretatif, evaluatif, dan argumentatif. Masing - masing teknik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Teknik deskriptif, maksudnya adalah gambaran dari uraian-uraian secara apa adanya tersebut suatu kondisi atau posisi dari proposisi hukum ataupun non hukum.

b. Teknik Interpretatif, Teknik ini digunakan dengan cara menjelaskan penggunaan penafsiran dalam ilmu hukum terhadap norma yang ada baik sekarang maupun diberlakukan dimasa mendatang. Teknik interpretatif yang digunakan adalah secara gramatical interpretatie yaitu interpretasi atau penafsiran menurut arti kata dan sitematiche interpretatie yaitu penafsiran yang dilakukan dengan mencari penjelasan dalam pasal demi pasal dari perundang-undangan.

c. Teknik Evaluatif, yaitu dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap suatu pandangan, pendapat, pernyataan, atau perumusan norma baik dari sumber primer, maupun dari sumber hukum sekunder dan terteir.

d. Teknik Argumentatif, yaitu teknik analisis yang dilakukan berdasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam permasalahan-permasalahan


(37)

hukum yang dikaji makin dalam argumennya berarti semakin dalam penalaran hukumnya.47


(38)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEBIJAKAN HUKUM PIDANA,

WANITA TUNA SUSILA, PENGGUNANYA, DAN PEMBAHARUAN

HUKUM PIDANA

2.1. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

2.1.1 Pengertian Kebijakan Hukum Pidana

Secara terminology kebijakan berasal dari istilah”policy”(inggris) atau “politiek”(Belanda). Terminologi tersebut dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (termasuk penegak hukum) dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan public, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dalam suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahtraan dan kemakmuran masyarakat (warga Negara).1 Sutan Zanti Arbi

dan Wayan Ardana, menterjemahkan “policy” juga dengan kebijakan, yaitu suatu keputusan

yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif.2

Bertolak dari kedua istilah asing tersebut diatas, maka istilah “kebijakan Hukum Pidana” dapat pula disebut dengan istilah”politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing

istilah”politik Hukum Pidana”sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain ”penal

1 Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rapai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktik, PT. Alumni Bandung, hlm. 389.

2 Barda Nawawi Arief, 2009, Kebijakan Legeslatif Dalam Penanggulngan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit UNDIP Semarang, hlm.59.,


(39)

policy”, “criminal law policy” atau “strafrerechtspolitiek”.3 Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik criminal.

Menurut Soedarto, politik hukum adalah :

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;

2. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.4

Bertolak dari pengertian diatas, kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum).

Konskwensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik dengan “pembaharuan perundang

-undangan hukum pidana”, namun sebenarnya pengertian kebijakan hukum pidana tersebut dalam arti sempit. Hal ini dapat dijelaskan bahwa, hukum pidana sebagai suatu system hukum yang terdiri dari budaya (culture), struktur (structural), dan substansi (substantive) hukum. Karena undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum, maka pembaharuan hukum pidana, disamping memperbaharui perundang-undangan, juga mencakup pembaharuan ide dasar dan ilmu hukum pidana.5

Dikaji dari persfektif politik hukum, pada dasarnya politik hukum pidana berusaha membuat dan merumuskan perundang-undangan pidana yang baik. Menurut Marc Ancel, penal policy merupakan ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Peraturan hukum positif disini diartikan sebagai peraturan perundang-undangan hukum pidana. Atas dasar itu, menurut Mac Ancel

3 Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cet.III, PT. Citra Bakti, Bandung, hlm.24.

4 Soedarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung, hlm. 159. 5 Lilik Mulyadi, Opcit., hlm. 390.


(40)

sebaiknya hukum positif dirumuskan secara lebih baik agar dapat menjadi pedoman bukan hanya untuk pembuat undang-undang saja, tetapi juga untuk pengadilan yang menerapkan undang-undang dan kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Karena itu istilah penal policy, menurut Ancel sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana.6 Menurut Mahmud Mulyadi, politik hukum pidana merupakan upaya menentukan kearah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia di masa yang akan datang dengan melihat penegakkannya saat ini.7

Di sisi lain, kebijakan hukum pidana (penal policy) menurut wisnubroto merupakan tindakan yang berhubungan dengan hal – hal :

a. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana;

b. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat;

c. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyrakat dengan hukum pidana;

d. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.8

Melaksanakan politik hukum pidana berarti didalamnya terkandung upaya yang mengarah pada perubahan, perbaikan dan pembaharuan hukum pidana tidak hanya untuk saat ini, melainkan juga kearah masa depan. Oleh karena itu membicarakan politik hukum pidana termasuk di dalammya termasuk prospek serta upaya antisipasi dalam rangka membuat peraturan hukum pidana yang lebih baik. Mengenai prospek kebijakan hukum pidana mencakup persoalan kebijakan hukum pidana yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) dan kebijakan hukum pidana untuk masa depan atau hukum yang dicita-citakan

6 Ibid.

7 Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy:Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, hlm. 66.

8


(41)

(ius constitutuendum) yang berupa pemecahan faktor-faktor yang menjadi penghambat secara umum, di dalamnya meliputi faktor substantif atau materi, faktor struktural, dan faktor budaya hukum, fungsi antisipatif dan terlebih fungsi adiktif. Dari suatu peratruran perundang-undangan terutama hukum pidana merupakan prasyarat keberhasilan pencegahan dan penanggulangan tindak pidana pada umumnya. Kebijakan pemerintah menetapkan peraturan perundang-undangan yang memeuat ketentuan hukum pidana ditujukan dalam rangka menciptakan ketertiban sosial.

Menurut A. Mulder, dalam Strafrechtpolitiek ditentukan garis—garis kebijakan tentang :

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diperbaiki; 2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

3. Cara bagaimana penyidik, pengusutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

Definisi mulder diatas bertolak belakang dari pengertian “system hukum pidana” menurut Marc Ancel yang menyatakan bahwa, tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari :

a. Peraturan –peraturan hukum pidana dan sanksinya; b. Suatu prosedur hukum pidana, dan

c. Suatu mekanisme pelaksanaan (pidana)9

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang lebih baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan kata lain,

9


(42)

jika dilihat dari sudut pandang politik criminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.

2.1.2 Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana

Dalam pengertian praktis, kebijakan hukum pidana merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi pembentukan undang-undang dan aktifitas aparat penegak hukum yang sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Pada akhirnya kebijakan hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri, karena berhubungan dengan penegakan hukum baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi. Ruang lingkup kebijakan hukum pidana sebenarnya lebih luas daripada pembaharuan hukum pidana. hal ini disebabkan karena kebijakan hukum pidana melalui tahap - tahap konkretisasi / operasionalisasi / fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari :

a. Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini disebut tahap kebijakan legislative;

b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana in conreto oleh aparat penegak hukum mulai dari tahap penyelidikan (polisi) sampai ke pengadilan. Tahap ini disebut tahap yudikatif;

c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana, tahap ini disebut dengan tahap kebijakan eksekutif atau admisnistratif.10

Tahap Formulasi merupakan tahap yang paling strategis dalam keseluruhan proses kebijakan untuk dapat menerapkan dan mengoperasionalkan sanksi pidana dan pemidanaan. Tahapan ini diawali dengan merumuskan aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diharuskan, sehingga menjadi pedoman dalam menentukan garis kebijakan

10

Muladi, 2002, Kapita Selekta Hukum Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm.13


(43)

bagi tahapan berikutnya yaitu tahapan penerapan pidana oleh badan peradilan (tahapan aplikasi yang merupakan proses peradilan / judicial, sehingga disebut juga tahapan yudikasi), dan tahapan pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksanaan pidana. kesalahan/kelemahan kebijakan legislative merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.11

Selain itu, tahapan formulasi/legislasi dianggap tahapan yang penting menurut G.P. Hoefnagels, karena merupakan tahapan dalam menentukan kebijakan dalam hukum penitensier (hukum pemidanaan) atau sentencing policy. Namun pada akhirnya, seluruh tahapan dalam kebijakan hukum pidana baik tahapan formulasi/legislasi, aplikasi/yudikatif, dan eksekusi, semuanya merupakan suatu kebijakan penanggulangan hukum pidana, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, akan dapat tercapai apabila proses dan mekanismenya dijalankan sesuai prosedur.12

Pada hakikatnya usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering kali pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement). Disamping itu, usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian intergral dari usaha kesjahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik social (social policy).

11

Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.73

12

Henny Nuraeny, 2011, Tindak Pidana Perdagangan Orang ( Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahaan nya), Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 61


(44)

Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesjahteraan masyarkat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk kebijakan, maka penggunaan (hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Untuk mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya tersebut, Negara Indonesia telah menetukan kebijakan sosial (social policy) yang berupa kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan memberikan perlindungan sosial (social defence policy).13

Kebijakan untuk memberikan perlindungan sosial (social defence policy) salah satunya dengan upaya-upaya pencegahaan dan penanggulangan tindak pidana atau kejahatan yang actual maupun potensial terjadi. Segala upaya untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana/ kejahatan ini termasuk dalam wilayah kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) dan oleh karena itu termasuk bagian dari (penal policy).14 Upaya untuk menanggulangi semua bentuk kejahatan senantiasa terus diupayakan, kebijakan hukum pidana yang ditempuh selama ini tidak lain merupakan langkah yang terus menerus digali dan dikaji agar upaya penanggulangan kejahatan tersebut mampu mengantisipasi secara maksimal tindak pidana yang secara faktual terus meningkat.

Penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk melindungi masyarakat dari ancaman maupun gangguan kejahatan sebenarnya merupakan masalah politik kriminal yaitu usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan hukum pidana dalam pelaksanaannya dapat dilakukan melalui berbagai strategi, sesuai dengan kebijakan pembangunan masyarakat yang mengacu pada kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), diantaranya yaitu :

13

Ibid, hlm. 74 14


(45)

1. Strategi dasar/pokok penanggulangan kejahatan, ialah meniadakan factor-faktor penyebab / kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan;

2. Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus ditempuh dengan kebijakan intergral/sistemik;

3. Perlu memperhatikan beberapa kejahatan-kejahatan tertentu yang sifatnya transnasional, regional, dan internasional, yang berhubungan dengan kejahatan modern;

4. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas aparat penegak hukum;

5. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas institusi dan managemen organisasi / managemen data;

6. Perlu disusunnya Guidelines, Basic Principle, Rules, Standard Minimum Rules (SMR);

7. Perlu ditingkatkan kerja sama internasional dan bantuan teknis, dalam rangka memperkukuh the rule of law dan management of criminal justice system.15

Berdasarkan dimensi diatas, maka ruang lingkup kebijakan hukum pidana sebenarnya berhubungan dengan pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh yaitu mencakup kebijakan di bidang hukum pidana materiil (substantive), di bidang hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan di bidang hukum pelaksanaan pidana.16 Kebijakan yang termuat dalam hukum pidana materiil mengatur prinsip-prinsip yang berkaitan dengan perumusan delik, unsur pidana dan pertanggungjawaban pidana, perumusan pidana dan pemidanaan. Sedangkan, kebijakan yang termasuk ke dalam hukum pidana formil erat kaitannya dengan sistem peradilan pidana seperti halnya pengaturan tentang penyidik, penyidikan dan wewenang penyidikan, pengaturan tentang penuntut umum, penuntutan, dan kewenangan penuntutan dan pengaturan tentang peradilan atau pemeriksaan di persidangan. Dan yang terakhir kebijakan yang terkait dengan hukum pelaksanaan pidana berhubungan dengan eksekusi (pelaksanaan putusan pengadilan).

Pelaksanaan kebijakan hukum pidana dapat dilakukan oleh badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki, yang dapat diperkirakan, yang dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat, dan untuk

15

Henny Nuraeny, Op.cit.,hlm. 65 16


(1)

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/ perundangan dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana

5. waktu, tempat dan keadaan (unsur obyektif lainnya)

Kelima unsur tersebut dikategorikan menjadi dua unsur, yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Yang termasuk unsur subyektif adalah subyek dan kesalahan. Sedangkan yang termasuk unsur obyektif adalah sifat melawan hukum, tindakan yang dilarang serta diancam dengan pidana oleh undang-undang dan faktor-faktor obyektif lainnya. Terdapat dua pandangan dalam hukum pidana yaitu pandangan monistis dan dualitis. Menurut pandangan monistis keseluruhan syarat untuk adanya pidana dianggap melekat pada perbuatan pidana termasuk didalamnya perbuatan pidana (criminal act) maupun pertanggungjawaban pidana (criminal responbility), sedangkan menurut pandangan dualistis keseluruhan syarat untuk adanya pidana tidak melekat pada pidana, oleh karena dalam pergertian perbuatan pidana/tindak pidana hanya menyangkut criminal act tidak mencakup criminal responbility sehingga memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana.

Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa pokok pikiran tentang “tindak pidana” dalam konsep KUHP baru, meliputi:

1. Sumber/Dasar Hukum Ditetapkannya Tindak Pidana

a. Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya suatu perbuatan, konsep bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum yang utama adalah Undang-undang/Hukum yang tertulis (perwujudan dari asas legalitas formal). Berbeda dengan konsep KUHP dengan memperluas perumusan secara material bahwa Pasal 1 ayat (3) dalam Konsep KUHP menyatakan


(2)

disamping berdasarkan Undang-undang yang tertulis itu tidak mengurangi”hukum yang masih hidup” dalam masyarakat, walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundamng-undangan; b. Konsep tidak lagi membedakan tindak pidana dalam kwalifikasi berupa

“kejahatan” dan “pelanggaran”, melainkan dengan kwalifikasi bobot delik, yakni”sangat ringan”, “berat”, dan “sangat berat”/”sangat serius”. Karakteristik akibat hukum dari delik yang sangat ringan:”percobaan atau pembantuan yang diancam pidana denda katagori I, tidak dipidana.

2. Pengertian dan Sifat Hakiki Tindak Pidana

a. Tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan melawan hukum (walaupun tidak diatur secara tegas dalam Undang-undang);

b. Setiap tindak pidana dianggap selalu bertentangan dengan hukum (menurut ukuran formal/ukuran obyektif), oleh karena itu harus diuji dengan secara materiil, apakah ada alas an pembenar atau tidak, dan apakah perbuatan itu betul-betul bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila perbuatan secara materiil tidak bersifat melawan hukum, maka tidak dapat dikatakan ada tindak pidana, dan oleh karena itu tidak dapat dipidana. Disini Nampak adanya asas keseimbangan antara patokan formal (melawan hukum formal/kepastian hukum) dan patokan materiil (melawan Hukum materiil/nilai keadilan);

c. Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP (WvS) hanya ada asas legalitas yang

merupakan alasan “yuridis”untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai


(3)

pengertian/batasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana.

3. Pemikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana

a. Bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan monodualistik, konsep memandang bahwa asas kesalahan (culpabilitas) merupakan pasangan dari asas legalitas yang harus dirumuskan secara eksplisit dalam Undang-undang. Oleh karena itu ditegaskan dalam konsep KUHP (Pasal 35), bahwa”asas tiada pidana tanpa kesalahanmerupakan asas yang sangat fundamental dalam mempertanggungjawabkan pembuat yang telah melakukan tindak pidana”.

b. Walaupun prinsipnya bertolak dari “pertanggungjawaban pidana berdasarkan

kesalahan (“liability based on fault”), namun dalam hal-hal tertentu konsep

juga memberikan kemungkinan adanya”pertanggungjawaban yang

ketat”(“strictliability”) dalam Pasal 37, dan “pertanggungjawaban

pengganti”(“Vicarious liability”) dalam Pasal 38 Konsep KUHP.

c. Unsur sengaja tidak perlu lagi dicantumkan dalam perumusan delik, karena sengaja bukan unsure delik tetapi unsure kesalahan/pertanggungjawaban pidana.

d. Dalam hal ada “kesesatan” (“error”), baik “error facti” maupun “error

iuris”, Konsep berpendirian bahwa pada prinsipnya si pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan dan oleh karena itu tidak dipidana. Namun demikian, apabila kesesatannya itu (keyakinannya yang keliru itu) patut dicelakan/dipersalahkan kepadanya, maka si pembuat tetap dapat dipidana.


(4)

e. Walaupun pada prinsipnya seseorang sudah dapat dipidana apabila telah terbukti melakukan tindak pidana dan kesalahannya, namun dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu konsep member kewenangan kepada hakim untuk member maaf atau pengampunan kepada si pembuat tanpa menjatuhkan pidana atau tindakan apapun.

f. Pada prinsipnya seseorang dapat tidak dipertanggungjawabkan atau tidak dipidana karena adanya alasan penghapus pidana, konsep member kewenangan/kemungkinan kepada hakim untuk tidak memberlakukan alasan

penghapus pidana tertentu berdasarkan asas “culpa in causa, yaitu apabila

terdakwa sendiri patut dicela/dipersalahkan menyebabkan terjadinya keadaan atau situasi darurat yang sebenarnya dapat menjadi dasar adanya alas an penghapus pidana tersebut.

4. Pemikiran tentang Pidana dan Pemidanaan

a. Pada hakikatnya pidana hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka konsep pertama-pertama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam hal ini konsep bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu

“perlindungan masyarakat” dan “perlindungan/pembinaan individu pelaku

tindak pidana;

b. Konsep juga bertolak dari pemikiran keseimbangan mono-dualistik antara factor obyektif dan factor subyektif. Oleh karena itu, syarat pemidanaan juga bertolak dari dua pilar yang sangat fundamental di dalam hukum pidana, yaitu “asas legalitas” (yang merupakan “asas kemasyarakatan”) dan “asas kesalahan/asas culpabilitas” (yang merupakan “asas kemanusiaan”);


(5)

c. Pemikiran yang lebih menitik beratkan pada perlindungan kepentingan masyarakat, maka wajar konsep masih tetap mempertahankan jenis-jenis sanksi pidana yang berat, yaitu pidana mati dan pidana penjara seumur hidup. Namun pidana mati di dalam konsep tidak dimasukkan dalam deretan”pidana pokok”, dan ditetapkan tersendiri sebagai jenis pidana yang bersifat kusus atau eksepsional. Oleh karena itu di dalam konsep ada ketentuan mengenai”penundaan pelaksanaan pidana mati” atau “pidana mati bersyarat” dengan masa percobaan selama 10 tahun;

d. Aspek lain ari perlindungan masyarakat adalah perlindungan terhadap korban dan pemulihan keseimbangan nilai yang terganggu di dalam masyarakat. Untuk memenuhi aspek ini, konsep menyediakan jenis sanksi berupa “pembayaran ganti kerugian” dan”pemenuhan kewajiban adat”. Kedua jenis sanksi ini dimaksudkan sebagai jenis pidana tamabahan, karena dalam kenyataan sering terungkap, bahwa penyelesaian masalah secara yuridis formal dengan menjatuhkan sanksi pidana pokok saja kepada terdakwa belum dirasakan oleh warga masyarakat sebagai penyelesaian masalah secara tuntas;

e. Pemidanaan harus juga berorientasi pada factor “orang” (pelaku tindak

pidana), maka ide “individualisasi pidana” juga melatar belakangi aturan umum pemidanaan di dalamBuku I Konsep.

f. Sisi lain dari ide “individualisasi pidana” dalam konsep adalah

adanyaketentuanmengenai”modifikasi/perubahan/penyesuaian/peninjauan


(6)

didasarkanpertimbangan karena adanya “perubahan/perkembangan/perbaikan pada si terpidana itu sendiri”.

g. Aspek lain dari “individualisasi pidana”ialah perlu adanya keleluasaan bagi

hakim dalam memilih dan menentukan sanksi apa (pidana/tindakan) yang sekiranya tepat untuk individu/pelaku tindak pidana yang bersangkutan. Jadi diperlukan adanya”fleksibilitas atau elastisitas pemidanaan”. Walaupun tetap dalam batas-batas kebebasan menurut undang-undang.37