Kebermaknaan Hidup pada Pekerja Seks Komersil

(1)

KEBERMAKNAAN HIDUP PADA PEKERJA SEKS KOMERSIL (PSK)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

oleh

WEILLON CHAIDIR

101301123

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2014/2015


(2)

(3)

Kebermaknaan Hidup pada Pekerja Seks Komersil (PSK)

Weillon Chaidir dan Josetta Maria R. Tuapattinaja

ABSTRAK

Selama ini masyarakat selalu beranggapan bahwa pelacur adalah makhluk hina dan buruk, tanpa berusaha untuk mau mengenal mereka dengan lebih empatik. Pada dasarnya pelacur memiliki kehidupan yang sama dengan masyarakat pada umumnya, yang membedakan adalah justifikasi masyarakat terhadap mereka yang menganggapnya sebagai warga yang terpinggirkan. Setiap manusia bahkan PSK sekalipun menginginkan kehidupan yang bermakna sehingga apapun hal yang dilakukan pada akhirnya adalah untuk menjalani kehidupan yang dirasakan penting, berharga, dan bahagia. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dinamika kehidupan yang dijalani PSK dalam proses pencarian makna hidup melalui tahapan pencapaian kebermaknaan hidup Frankl (dalam Bastaman, 2006), yakni: tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna, tahap realisasi makna, dan tahap kehidupan bermakna. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis dengan jumlah responden sebanyak 2 orang yang diperoleh berdasarkan kriteria tertentu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika pencarian makna hidup pada responden 1 berawal dari tahap derita. Dalam menjalani kehidupan sebagai PSK memperoleh social support dan melakukan vicarious learning sehingga mampu mencapai tahap penerimaan diri yang kemudian menuju ke tahap penemuan makna hidupnya setelah menyadari adanya hal yang penting dan berharga. Pada tahap realisasi makna, responden 1 menetapkan tujuan hidupnya melalui experiential value dan attitudinal value yang dimiliki. Dalam usaha menumbuhkan semangat dan komitmen, dia menggunakan parallel system dalam perwujudannya, dan pada akhirnya mencapai tahap kehidupan bermakna dan merasakan kebahagiaan. Sedangkan responden 2 yang juga pada awalnya berada pada tahap derita, akan tetapi responden belajar dari kegagalannya dan memilih untuk menerima keadaan diri, namun ketika responden 2 mulai sadar bahwa ada hal yang penting dan berharga pada tahap penemuan makna dengan dimilikinya creative value malah muncul perasaan ragu-ragu dan takut untuk mengambil langkah ke depan yang pada akhirnya membuat responden 2 mempertanyakan tujuan hidupnya, dan kembali ke tahap derita.


(4)

Meaningful Life on Sex Worker

Weillon Chaidir and Josetta Maria R. Tuapattinaja

ABSTRACT

So far, people always assume that prostitutes are despicable creatures and bad, without trying to get to know them more empathetically. Basically prostitutes have the same life with the community at large, the difference is the public justification of those who regard it as marginalized citizens. Every human being even prostitutes want a meaningful life so that anything they done in the end is to live a life that is considered important, valuable, and happy. This research aims to understand the dynamics lives of sex worker in the process of finding the meaning of life through the achievement of the stage of meaningfulness life from Frankl (in Bastaman, 2006), namely: the stage of suffering, self-acceptance stage, meaning discovery stage, the stage of realization of meaning, and the stage of meaningful life. This research used a phenomenological qualitative approach with the number of the respondents as many as 2 respondents obtained based on certain criteria. The result showed that the dynamics of searching for meaning of life on the 1st respondent started from the stage of suffering. In her life as a prostitute, she obtain social support and perform vicarious learning so as to reach the stage of self-acceptance and then headed to the discovery meaning of his life after the discovery phrase aware that there are important and valuable. At the stage of realization of meaning, 1st respondent set a goal of her life through experiential value and attitudinal value owned. In an effort to foster the spirit and commitment, she uses a parallel system to realize it, and finally reached the stage of meaningful life and be happy. While the 2nd respondent that was also originally located at the stage of suffering, but she learnt from the failure and choose to accept the state of being, but when 2nd respondent began to realize that there are things that are important and valuable in the discovery phrase of her meaning with creative value owned, feelings of doubts and fear appear to be an obstacle to take a step forward, which in turn make the 2nd respondent question her purpose of life, and return to the stage of suffering.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberi berkat, kekuatan, dan kasih-Nya yang melimpah dalam penyelesaian skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah Kebermaknaan Hidup pada Pekerja Seks Komersil. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi USU, 2. Ibu Josetta Maria R. Tuapattinaja, M.Si, psikolog selaku dosen

pembimbing penelitian ini,

3. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog dan Ibu Juliana Saragih, M.Psi., psikolog selaku dosen penguji dalam penelitian ini,

4. Kedua responden yang telah bersedia membantu dan menjadi responden dalam penelitian ini. Semoga semua harapannya dikabulkan oleh Tuhan, 5. Kedua orang tua yang selalu memberi kasih sayang, perhatian, semangat,

dukungan materi, serta doa yang tiada henti sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Semoga selalu diberkati oleh Tuhan,

6. Seluruh murid-murid peneliti yang turut memberikan doa dan menyemangati terkhusus selama mengerjakan skripsi ini,

7. Kent International (kursus Bahasa Asing) terutama Miss Rohani yang juga memberikan doa, dan memberi perhatian selama penyelesaian skripsi ini, 8. Seluruh teman-teman mahasiswa angkatan 2010 di Fakultas Psikologi USU

khususnya Sri Riski Amanda, Vera Gandhi, Irene, Nurul Mukhlisah, Efriyanti, Khairunnisah, Febri Inka, Mona, Selvia, Yohanti, Mayritza,


(6)

Vivian, Johan, Dede, Wieny, Shella, Lili, dan Anggun yang telah memberi dukungan dan kritik dalam menyelesaikan skripsi ini,

9. Seluruh teman-teman KMB USU (Keluarga Mahasiswa Buddhis USU) yang juga turut menyemangati dan berdoa agar diberi kekuatan untuk menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.

Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan mohon maaf jika ada kesalahan yang ditemukan pada skripsi ini. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati semua pembaca. Terima kasih.

Medan, 4 November 2014


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ---i

DAFTAR ISI ---iii

BAB I PENDAHULUAN --- 1

A. LATAR BELAKANG MASALAH --- 1

B. RUMUSAN PERMASALAHAN --- 16

C. TUJUAN PENELITIAN --- 17

D. MANFAAT PENELITIAN --- 17

E. SISTEMATIKA PENULISAN--- 19

BAB II LANDASAN TEORI --- 20

A. MAKNA HIDUP --- 20

I. DEFINISI --- 20

II. KARAKTERISTIK MAKNA HIDUP --- 21

III. SUMBER-SUMBER MAKNA HIDUP --- 22

IV. ASPEK-ASPEK MAKNA HIDUP --- 25

V. TAHAPAN PENCAPAIAN MAKNA HIDUP --- 27

VI. KOMPONEN YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN MERAIH HIDUP BERMAKNA --- 28

VII. HIDUP BERMAKNA --- 32

B. PEKERJA SEKS KOMERSIL --- 34

1. DEFINISI --- 34

2. ALASAN MENJADI PSK --- 35

C. PARADIGMA BERPIKIR --- 37


(8)

A. PENDEKATAN KUALITATIF --- 38

B. RESPONDEN PENELITIAN --- 39

C. METODE PENGAMBILAN DATA --- 40

D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA --- 40

E. PRODESUR PENELITIAN --- 41

BAB IV HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN --- 48

A. HASIL ANALISA DATA --- 48

I. RESPONDEN #1 --- 48

I.1. IDENTITAS DIRI ---48

I.2. JADWAL PENGUMPULAN DATA ---49

I.3. HASIL OBSERVASI ---49

I.4. KEBERMAKNAAN HIDUP RESPONDEN ---55

I.5. GAMBARAN KEBERMAKNAAN HIDUP RESPONDEN ---72

I.6. DINAMIKA KEHIDUPAN YANG DIJALANI RESPONDEN ---73

I.7. REKAPITULASI DATA RESPONDEN ---75

II. RESPONDEN #2 ---81

II.1. IDENTITAS DIRI ---81

II.2. JADWAL PENGUMPULAN DATA ---81

II.3. HASIL OBSERVASI ---82

II.4. KEBERMAKNAAN HIDUP RESPONDEN ---87

II.5. GAMBARAN KEBERMAKNAAN HIDUP RESPONDEN --105

II.6. DINAMIKA KEHIDUPAN YANG DIJALANI RESPONDEN ---106


(9)

III. ANALISA INTER RESPONDEN ---114

B. PEMBAHASAN ---118

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ---133

A. KESIMPULAN ---133

B. SARAN ---136

B.1. SARAN PENELITIAN LANJUTAN ---136

B.2. SARAN PRAKTIS ---136

DAFTAR PUSTAKA ---139

LAMPIRAN ---141

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Pedoman wawancara ---142


(10)

Kebermaknaan Hidup pada Pekerja Seks Komersil (PSK)

Weillon Chaidir dan Josetta Maria R. Tuapattinaja

ABSTRAK

Selama ini masyarakat selalu beranggapan bahwa pelacur adalah makhluk hina dan buruk, tanpa berusaha untuk mau mengenal mereka dengan lebih empatik. Pada dasarnya pelacur memiliki kehidupan yang sama dengan masyarakat pada umumnya, yang membedakan adalah justifikasi masyarakat terhadap mereka yang menganggapnya sebagai warga yang terpinggirkan. Setiap manusia bahkan PSK sekalipun menginginkan kehidupan yang bermakna sehingga apapun hal yang dilakukan pada akhirnya adalah untuk menjalani kehidupan yang dirasakan penting, berharga, dan bahagia. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dinamika kehidupan yang dijalani PSK dalam proses pencarian makna hidup melalui tahapan pencapaian kebermaknaan hidup Frankl (dalam Bastaman, 2006), yakni: tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna, tahap realisasi makna, dan tahap kehidupan bermakna. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis dengan jumlah responden sebanyak 2 orang yang diperoleh berdasarkan kriteria tertentu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika pencarian makna hidup pada responden 1 berawal dari tahap derita. Dalam menjalani kehidupan sebagai PSK memperoleh social support dan melakukan vicarious learning sehingga mampu mencapai tahap penerimaan diri yang kemudian menuju ke tahap penemuan makna hidupnya setelah menyadari adanya hal yang penting dan berharga. Pada tahap realisasi makna, responden 1 menetapkan tujuan hidupnya melalui experiential value dan attitudinal value yang dimiliki. Dalam usaha menumbuhkan semangat dan komitmen, dia menggunakan parallel system dalam perwujudannya, dan pada akhirnya mencapai tahap kehidupan bermakna dan merasakan kebahagiaan. Sedangkan responden 2 yang juga pada awalnya berada pada tahap derita, akan tetapi responden belajar dari kegagalannya dan memilih untuk menerima keadaan diri, namun ketika responden 2 mulai sadar bahwa ada hal yang penting dan berharga pada tahap penemuan makna dengan dimilikinya creative value malah muncul perasaan ragu-ragu dan takut untuk mengambil langkah ke depan yang pada akhirnya membuat responden 2 mempertanyakan tujuan hidupnya, dan kembali ke tahap derita.


(11)

Meaningful Life on Sex Worker

Weillon Chaidir and Josetta Maria R. Tuapattinaja

ABSTRACT

So far, people always assume that prostitutes are despicable creatures and bad, without trying to get to know them more empathetically. Basically prostitutes have the same life with the community at large, the difference is the public justification of those who regard it as marginalized citizens. Every human being even prostitutes want a meaningful life so that anything they done in the end is to live a life that is considered important, valuable, and happy. This research aims to understand the dynamics lives of sex worker in the process of finding the meaning of life through the achievement of the stage of meaningfulness life from Frankl (in Bastaman, 2006), namely: the stage of suffering, self-acceptance stage, meaning discovery stage, the stage of realization of meaning, and the stage of meaningful life. This research used a phenomenological qualitative approach with the number of the respondents as many as 2 respondents obtained based on certain criteria. The result showed that the dynamics of searching for meaning of life on the 1st respondent started from the stage of suffering. In her life as a prostitute, she obtain social support and perform vicarious learning so as to reach the stage of self-acceptance and then headed to the discovery meaning of his life after the discovery phrase aware that there are important and valuable. At the stage of realization of meaning, 1st respondent set a goal of her life through experiential value and attitudinal value owned. In an effort to foster the spirit and commitment, she uses a parallel system to realize it, and finally reached the stage of meaningful life and be happy. While the 2nd respondent that was also originally located at the stage of suffering, but she learnt from the failure and choose to accept the state of being, but when 2nd respondent began to realize that there are things that are important and valuable in the discovery phrase of her meaning with creative value owned, feelings of doubts and fear appear to be an obstacle to take a step forward, which in turn make the 2nd respondent question her purpose of life, and return to the stage of suffering.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Setiap orang menginginkan dirinya menjadi orang yang bermartabat dan berguna bagi dirinya, keluarga, lingkungan kerja, masyarakat sekitar, dan berharga di mata Tuhan (Frankl, 1984). Setiap orang pasti menginginkan bagi dirinya suatu cita-cita dan tujuan hidup yang penting dan jelas yang akan diperjuangkan dengan penuh semangat, sebuah tujuan hidup yang menjadi arahan segala kegiatannya. Dan setiap orang juga pasti mendambakan dapat menjadi orang yang bertanggungjawab untuk dirinya sendiri, serta menjadi orang yang mampu menentukan sendiri apa yang akan dilakukan dan apa yang paling baik bagi dirinya dan lingkungannya (Bastaman, 2006).

Manusia hidup di dunia ini memiliki makna hidup tersendiri yang sifatnya unik dan personal (Frankl, 1984). Makna hidup mempunyai arti yang berbeda pada setiap individu tergantung dari sudut pandang mana ia melihatnya dan mengartikannya (Frankl, 1984). Setiap individu mempunyai keinginan untuk meraih hidup bermakna, seperti yang dikemukakan Frankl (dalam Bastaman, 2006), bahwa dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun kehidupan ini selalu mempunyai makna, di mana hidup secara bermakna merupakan motivasi utama setiap orang. Dalam batas-batas tertentu manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi untuk memilih dan menemukan makna dan tujuan hidupnya. Makna dan tujuan hidup merupakan sesuatu yang


(13)

tidak dapat dipisahkan (Frankl dalam Bastaman, 2006). Ketika seseorang menemukan makna hidup maka ia akan menentukan tujuan hidup yang pada akhirnya akan membuat segala kegiatan menjadi lebih terarah (Bastaman, 2006).

Kebermaknaan hidup merupakan perasaan subjektif bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri subjek mempunyai dasar kokoh dan penuh arti atau dengan kata lain subjek merasa bahwa dirinya benar, beres dan tepat (Erikson dalam Cremers, 1989). Benar, beres dan tepat dalam mengambil tindakan atau keputusan baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri maupun orang lain akan menimbulkan rasa penuh makna. Rasa penuh makna tersebut tercapai ketika subjek merasa telah menyesuaikan diri secara memadai dengan tata nilai yang menjadi kerangka orientasi hidupnya (Koeswara, 1992). Bastaman (2006) mengatakan bahwa orang yang menghayati hidupnya bermakna menunjukkan kehidupan yang penuh gairah dan optimis, terarah, dan bertujuan, mampu beradaptasi, luwes dalam bergaul dengan tetap menjaga identitas diri dan apabila dihadapkan pada suatu penderitaan ia akan tabah dan menyadari bahwa ada hikmah di balik penderitaan (Bastaman, 2006).

Berdasarkan fenomena yang dialami manusia di atas, kebermaknaan hidup dapat diraih atau dicapai oleh setiap umat manusia, termasuk wanita yang memilih bekerja sebagai pekerja seks komersil. PSK sendiri menunjuk pada sesosok perempuan penjaja seks yang merupakan prostitusi, membiarkan diri berbuat cabul dan melakukan perzinaan secara bebas (Kartono, 2005). Para wanita yang menjadi pelacur dengan menjual diri melakukan hubungan seks dengan lelaki liar sebagai mata pencaharian (Kartono, 2005). Alasan seorang wanita memilih


(14)

menjadi PSK dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, baik faktor eksternal; kondisi keuangan keluarga yang memburuk, terbukanya peluang, tekanan yang datang dari teman pergaulan, atau dijual oleh keluarga sendiri, sedangkan faktor internal; sakit hati karena pasangan, sebagai sarana penyaluran nafsu, memiliki keinginan untuk cepat kaya, atau tidak memiliki kompetensi (Vansenbeeck, 2001). Akan tetapi, walaupun dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun internal, para PSK memiliki kebebasan memilih lapangan pekerjaan yang tersedia yang tidak mengharuskan mereka untuk terjun dalam dunia prostitusi (Koentjoro, 1996). Namun, pada kenyataannya PSK tidak menyadari kehidupan yang dijalani dan tidak siap menerima penderitaan tak terelakan yang dialami (Frankl, 1984) sehingga mereka berusaha mengatasinya dengan memilih hidup sebagai PSK adalah solusinya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pengakuan PSK berikut ini:

“Yaa masuk kerja sini karna laki-laki...sakit hati, disiksa terus sama suamiku...karna gak tahan aku cerai setelah melahirkan 2 hari.. jadi PSK karna kebutuhan ekonomi gak cukup…karna lakiku aku jadi seperti ini...aku tak mikir panjang…mumpung bisa dapet duit untuk membiayai sekolah adik-adikku…”

(Komunikasi personal, 4 April 2014)

“Masuk jadi PSK karna dikenalin teman…putusin masuk sini karna aku merasa tertekan berada dalam keluarga…bapakku sendiri tak peduli sama aku…seperti tak ada aku dalam keluarga…mau jam berapa pulang pun gak pernah ditanyai.. sepertinya saya tak pernah dianggap anak oleh keluarga.. sebelumnya kerja di pabrik roti, tapi karna terbakar tutup..aku tak punya kerjaan..jadi untuk menghidupi anakku..aku terpaksa kerja di sini...”

(Komunikasi personal, 4 April 2014)

“Karna ekonomi kurang, sekaligus untuk menghibur hati sebab perceraian dengan suami...sebelumnya pernah kerja jadi pembantu rumah tangga, jualan, pabrik buruh, tapi itu semua gak cukup


(15)

menafkahi anak dan ibuku..jadi temanku kenalin pelacuran ini..saya tidak mikir panjang..jadi aku kerjalah di sini..walau jijik, tapi demi bertahan hidup…mau gimana tak punya keahlian khusus juga...”

(Komunikasi personal, 27 Maret 2014)

Beberapa pengakuan di atas menunjukkan bahwa kebanyakan alasan perempuan menjadi pekerja seks komersil karena dipaksa oleh kondisi lingkungan, adanya kekecewaan karena percintaan gagal, kurangnya kesempatan kerja di pasar kerja, atau adanya kebutuhan yang mendesak untuk mendapatkan pendapatan agar bisa membiayai diri sendiri dan keluarga. Ini semua terkait dengan tuntutan hidup, yakni faktor ekonomilah yang menjadi alasan utama seseorang bersedia melakukan apapun termasuk menjadi PSK, sekalipun itu adalah perbuatan yang “rendah” atau “hina” di mata masyarakat umum dan agama.

Wanita yang telah masuk dalam dunia prostitusi, ada yang merasa nyaman ataupun tidak nyaman atas pilihan yang mereka jalani sebagai pekerja seks komersil. Bagi wanita yang tidak nyaman berada di dalam dunia prostitusi, akan mempengaruhi kondisi psikologis mereka sebab mereka merasa bersalah, malu, marah, dan jijik. Walaupun mereka mengetahui benar apa yang mereka lakukan, namun untuk bertahan hidup mereka memilih jalan hidup mereka di dunia prostitusi (Koentjoro, 2004). Beberapa pengakuan PSK dalam menjalani pekerjaannya juga merasa tidak nyaman, terpaksa, menyesal, dan bersalah pada keluarga, antara lain:

“Gak ada enaknya, awalnya pingin pulang saja... jijik, marah, kesal dengan segala yang aku alami di rumah…jadi di sini bisa


(16)

melepaskan segalanya..kalo punya modal cukup pingin cepat-cepat keluar...tapi saat ini aku masih butuh duit tuk bertahan hidup..”

(Komunikasi personal, 4 April 2014)

“Aku merasa terpaksa kerja di sini..kalo bukan karna tak memiliki ketrampilan khusus..ditambah dengan biaya hidup semakin mahal dan untuk menenangkan hati yang masih terbayang suami yang kucintai menganiaya diriku… aku harus berbohong pada ibu dan anak.. bersalah dan menyesal melanda hingga saat ini..”

(Komunikasi personal, 27 Maret 2014)

“aku di sini karna bisa dapet duit dan bisa membiayai keluargaku.. kalo bisa keluar dan dapat pekerjaan yang lebih baik.. aku juga memilih keluar.. di sini aku sempat merasa lebih tenang..karna merasa teman-teman di sini rata-rata alasannya sama karna laki-laki dan keadaan ekonomi yang krisis..”

(Komunikasi personal, 4 April 2014)

Beberapa pengakuan di atas menunjukkan bahwa perempuan yang masuk dalam prostitusi merasa tidak nyaman dan terpaksa menekuninya karena semata-mata ingin bertahan hidup. Selain itu, mereka juga tidak memiliki keterampilan khusus yang dapat memberikan penghasilan agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Hal lain yang turut memicu mereka memilih jalan hidup sebagai PSK karena mantan suami mereka yang menganiaya, menyakiti, dan mengecewakan mereka. Mereka yang dulu mungkin pernah mengalami kehidupan bermakna, tetapi pada saat suatu peristiwa tragis menimpa diri mereka, maka seakan-akan hidup mereka hampa dan tidak bermakna lagi karena berpegang teguh pada suatu nilai tunggal, yaitu keutuhan keluarga.

Bagi wanita yang menjadi PSK karena terpaksa, cepat atau lambat akan merasa bersalah atau berdosa kepada Tuhannya karena pada hakikatnya mereka


(17)

tahu bahwa apa yang dilakukan adalah perbuatan yang tercela dan tidak dapat diterima di kalangan agama manapun (Koentjoro, 1996). Meskipun disadari, mereka tetap tidak dapat menghentikan pekerjaannya demi kelangsungan hidupnya. Di satu sisi rasa bersalah tersebut terus menghantui, sementara di sisi lain mereka harus memikirkan kelangsungan hidupnya. Sangat sulit untuk menyeimbangkan dua tekanan yang kekuatannya berlawanan. Semakin lama tekanan tersebut terjadi, maka batin para PSK akan semakin tepuruk, dan akhirnya bisa mengakibatkan jiwa mereka terganggu. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Erbe Sentanu (dalam Quantum Ikhlas, 2009), yang intinya membahas tentang negative feeling yang dialami manusia ketika berhadapan dengan nilai-nilai yang bertentangan atau berlawanan antara hati dan pikirannya.

Koentjoro (1996) juga mengemukakan bahwa wanita pekerja seks komersial selalu mengalami konflik dalam dirinya, baik konflik kepentingan antara rasa membutuhkan uang dan perasaan berdosa, atau juga yang berkaitan dengan karena adanya perasaan tidak aman akan statusnya sebagai pekerja seks komersial dalam masyarakat.

Menurut Hutabarat (2004) dalam penelitiannya ditemukan bahwa adanya keinginan untuk tidak diasingkan dari lingkungan menyebabkan wanita pekerja seks komersil menutupi statusnya sebagai wanita pekerja seks komersil dengan berpura-pura menjadi anggota masyarakat biasa sehingga interaksi dengan lingkungan sekitar tetap terjaga. Selain berpura-pura menjadi masyarakat biasa, wanita pekerja seks komersil terpaksa membohongi keluarganya karena apabila


(18)

statusnya terbuka seluruh keluarganya akan didiskriminasi oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan dari beberapa PSK berikut ini:

“yaa keluargaku gak tau kalo aku kerja di tempat ini..aku terpaksa bohong lah.. yang mereka tau aku kerja di café… klo sempat keluarga tau yaa terpaksalah aku keluar, malu pada mereka dan pasti jadi ocehan masyarakat sekitar..”

(Komunikasi personal, 4 April 2014)

“aku gak bisa jujur pada mereka…karna itu akan berimbas pada anakku…masa depan anakku pasti tak bisa menerima kalo mamanya seorang pelacur…mereka dibesarkan dari duit haram ini…rasa menyesal dan bersalah terus menghantui hingga saat ini, namun untuk bertahan hidup.. aku harus bersabar..”

(Komunikasi personal, 27 Maret 2014)

“kalo statusku ketahuan, aku malu pada keluargaku di kampung.. dan orang-orang kampung pasti mendiskriminasi keluargaku… tapi kalo keluargaku yang disini..mau aku pulang pagi…pulang tengah malam…mereka tak peduli... hidup ato gaknya diriku tak dipedulikan lagi... dan yang paling penting sekarang di Medan..aku hanya mengkhawatirkan anakku...dia tak boleh bernasib sama denganku… (Komunikasi personal, 4 April 2014)

Berdasarkan pengakuan di atas, maka diketahui bahwa wanita pekerja seks komersil mengetahui konsekuensi yang akan diterima, namun mereka tetap berada di dalam karena keterpaksaan; terpaksa disetujui suami, ditelantarkan suami atau ditinggal suami sehingga berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan anak, dan orang tua, sebagaimana pengakuan para PSK bahwa sebenarnya jika mereka memiliki keterampilan dan ekonomi yang cukup, maka mereka tidak ingin terus bertahan sebagai pekerja seks komersil.

Secara umum, masyarakat menolak keberadaan wanita pekerja seks komersil. Masyarakat menganggap mereka adalah sampah masyarakat.


(19)

Masyarakat cenderung menghina, mencela, dan mengolok-olok keberadaan mereka. Mereka didiskriminasi oleh masyarakat karena para pekerja seks komersil dianggap orang yang tidak bermoral karena bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat (Koentjoro, 1996). Hal ini tidak hanya berdampak pada wanita pekerja seks komersil, akan tetapi seluruh keluarganya akan mendapat perlakuan diskriminasi dan mempermalukan keluarga sendiri. (Koentjoro, 1996).

Tidak mendapatkan social support dari siapapun menyebabkan para PSK membentuk kelompok sendiri, yang kemudian semakin menjauhkan diri mereka dari masyarakat umum seperti masuk dalam suatu lokalisasi. Akibat penolakan dan sikap negatif masyarakat serta label-label yang diberikan kepada para PSK, mereka semakin menarik diri, mengalami berbagai hambatan dalam penyesuaian sosial dan pengembangan diri. Sikap masyarakat yang demikian dapat menimbulkan masalah psikologis bagi kaum wanita pekerja seks komersil (Koentjoro, 1996).

Fenomena yang dialami PSK ini, memberikan gambaran mengenai bagaimana PSK hidup di bawah tekanan yang diperolehnya dari lingkungan sekitar, baik dari lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat, serta harus menerima berbagai macam stereotipe negatif yang ditujukan pada PSK. PSK yang secara sadar maupun tidak sadar juga ingin diakui selayaknya manusia yang memiliki kebutuhan dasar serta keinginan seperti manusia lain pada umunya, yaitu manusia pasti ingin hidup bahagia sehingga apapun yang dilakukan pada akhirnya hanyalah untuk membuat hidupnya bahagia (Kartono, 2005).


(20)

Selama ini masyarakat selalu beranggapan bahwa PSK adalah manusia yang hina dan buruk, tanpa berusaha untuk mengenal mereka dengan lebih empatik (Koentjoro, 1996). Pada dasarnya PSK memiliki kehidupan PSK sama dengan masyarakat pada umumnya, yang membedakan mereka adalah justifikasi masyarakat itu sendiri terhadap mereka yang menganggapnya sebagai warga yang terpinggirkan Kartono, 2005). Hidup dengan penuh tekanan memperoleh stereotype negatif, diskriminasi, dan justifikasi masyarakat, ada beberapa PSK yang tidak sanggup menahan semuanya, namun ada juga yang memilih bertahan dan melanjutkan kehidupan sebagai PSK. Beberapa PSK yang bertahan inilah yang menarik perhatian peneliti akan bagaimana mereka memaknai hidup mereka sebagai seorang PSK. Para wanita yang memilih menjadi PSK juga ingin seperti manusia lainnya, ingin hidup mereka bermakna, mempunyai suatu kebutuhan yang bersifat unik, spesifik, dan personal, yaitu suatu kebutuhan akan makna hidup. Penghayatan akan kehidupan bagi mereka yang bertahan dan rela hidup sebagai seorang PSKlah menjadi hal yang unik, spesifik, dan personal yang dapat dikatakan seseorang dapat menyadari makna hidup dibalik penderitaan yang dialami atau Meaning in Suffering (Frankl, 1994). Frankl (2004) mengartikan makna hidup sebagai kesadaran akan adanya suatu kesempatan atau kemungkinan yang dilatarbelakangi oleh realitas atau menyadari apa yang bisa dilakukan pada sutuasi tertentu. Apabila seseorang berhasil memaknai hidupnya, maka kehidupannya dirasakan penting dan berharga, dengan demikian akan menimbulkan penghayatan bahagia (Bastaman, 2006). Adanya kebutuhan akan makna hidup, manusia memiliki pedoman hidup untuk melakukan hal-hal yang


(21)

seakan-akan menantang dan mengundang seseorang untuk memenuhinya (Bastaman, 2006). Seperti halnya dalam beberapa pengakuan PSK berikut:

“Seandainya aku punya keterampilan dan modal yang cukup, aku ingin membuka usaha…jika beruntung aku ingin ada pria yang sungguh-sungguh tulus mencintaiku apa adanya...aku ingin seperti wanita lain yang memiliki keluarga yang harmonis..”

(Komunikasi personal, 4 April 2014)

“berada di sini memang bisa mengurangi tekanan yang aku rasakan di keluargaku yang di Medan..karna mereka sama sekali tidak ngomong, tidak peduli dan menganggapku tak ada di keluarga itu.. sikap dan perilaku mereka seakan mendiskriminasi.. aku memilih tak pulang jika mau..tapi karna aku masih punya anak..aku harus mengurus mereka..kalo aku tak ada..anakku pasti gak dipedulikan.. jika aku punya modal cukup, aku bisa hidup sendiri dengan anakku..kalo Tuhan masih memberiku kesempatan, aku ingin ada seseorang bisa memberiku kebahagiaan seperti wanita lainnya..”

(Komunikasi Personal, 4 April 2014)

“Walau harus berbohong…tidak lagi menjadi beban pikiranku..yang penting aku tak harus mengemis, mencuri ato merampok untuk makan 3 kali sehari… nyesel sih nyesel.. merasa bersalah juga… aku tak penting sama ada pasangan ato tidak..yang penting aku punya modal buat beli rumah sendiri agar keluargaku semua bisa hidup bersama..itu sudah cukup.. karna smapi sekarang aku masih tidak bisa percaya sama namanya laki-laki..”

(Komunikasi personal, 27 Maret 2014)

Berdasarkan pengakuan di atas, maka perlu diketahui bahwa proses penemuan makna hidup bukanlah suatu perjalanan yang mudah bagi seorang PSK, perjalanan untuk dapat menemukan apa yang dapat mereka berikan dalam hidup mereka, apa saja yang dapat diambil dari perjalanan mereka selama ini, serta bagaimana sikap mereka terhadap nasib mereka sendiri, yang semuanya tidak


(22)

lepas dari hal-hal yang diinginkan selama menjalani kehidupan serta kendala-kendala yang dihadapi dalam mencapai makna hidup yang dimulai dengan pikiran yang tenang dan kesadaran untuk meraih makna hidupnya (Bastaman, 2006).

Dalam proses penemuan makna hidup, dituntut adanya keaktifan dan tanggung jawab PSK untuk memenuhinya. Makna hidup yang dicari tidak hanya ditemukan dalam keadaan yang menyenangkan, namun juga dapat ditemukan pada saat mengalami penderitaan hidup. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Frankl (2004) bahwa adanya nilai-nilai yang harus dipahami manusia agar dapat menemukan makna hidup, yaitu creative value mengacu pada pekerjaan yang ditekuni dan dikerjakan dengan sebaik-baiknya, experiental value mengacu pada pengalaman yang telah dilalui dan hikmah yang dapat diambil, dan attitudinal value mengacu pada ketabahan dalam menerima segala bentuk penderitaan yang tidak dapat dihindarkan (Frankl, 2004).

Dengan kesabaran dan ketabahan, PSK akan dapat menemukan makna hidup mereka atas pilihan dan tanggung jawab yang mereka pikul sampai saat ini yang akan berdampak di masa mendatang. Berhasil atau tidaknya mengambil hikmah dari pengalaman yang dialami dengan penuh kesabaran dan ketabahan serta tanggung jawab yang dipikul mereka turut menentukan apakah menemukan insight atas kehidupan mereka sendiri serta tercapainya penghayatan hidup bermakna atau penghayatan hidup tidak bermakna. (Frankl, 2004).

Berdasarkan teori Frankl, Bastaman (2006) mengajukan suatu proposisi mengenai urutan pengalaman dan tahap-tahap kegiatan seseorang dalam mengubah penghayatan hidup dari kondisi tidak bermakna (meaningless) menjadi


(23)

bermakna (meaningfull). Tahapan tersebut diawali dengan individu mengalami peristiwa tragis atau berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan dalam hidupnya sehingga beranggapan bahwa hidupnya tidak bermakna, tahap ini dsebut tahap derita. Wanita yang memilih bekerja sebagai PSK, hidupnya benar-benar berubah menjadi tidak menyenangkan atau bahkan lebih menderita dari kehidupan sebelumnya dan masih menganggap hidup mereka tidak bermakna. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pengakuan berikut ini:

“bertemu dengan laki-laki yang gak bertanggung jawab adalah nasibku..aku berkorban demi suami ketika dia jatuh..dan gak membalas ketulusanku.. dan malah menyiksa diriku.. aku cerai dan bawa kedua anakku agar gak mempengaruhi perkembangannya yang masih kecil..kebahagiaan serasa sudah terampas..dan aku gak bisa lagi percaya pada laki-laki pada saat itu..karna laki-lakilah aku jadi pelacur..menyimpan rasa sakit sendirian dan menjadi lonte untuk menghibur diri…”

(Komunikasi personal, 27 Maret 2014)

“tamat sekolah aku ke Malaysia dengan tujuan untuk menggapai cita-cita dan mendapatkan pasangan yang bisa membuatku bahagia..tapi malah bertemu lelaki bejat tak bertanggung jawab.. aku hamil sudah 7 bulan..dia tega menendang aku hingga jatuh...syukurlah aku gak keguguran..aku ninggalin dia barulah aku cari kerja di café, tempat karoke dan terakhir di perlontean ini..”

(Komunikasi personal, 4 April 2014)

Apabila PSK sanggup bertahan, menerima segala konsekuensi, serta sadar bahwa inilah jalan yang mereka pilih, maka mereka akan beranjak ke tahap selanjutnya yaitu tahap penerimaan diri. Pada tahap ini, muncul kesadaran diri untuk mengubah kondisi diri menjadi lebih baik lagi. Munculnya kesadaran dalam diri PSK dapat melalui perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pandangan dari seseorang, hasil doa dan ibadah, belajar dari pengalaman orang


(24)

lain atau peristiwa-peristiwa tertentu yang secara dramatis mengubah hidupnya selama ini. PSK yang berhasil mencapai tahap ini akan lebih memahami diri dan hidupnya sehingga mengubah sikap terhadap apa yang dialaminya (Bastaman, 1996).

Menyadari adanya nilai-nilai berharga atau hal-hal yang sangat penting dalam hidup, yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan hidup, individu telah berhasil mencapai tahap penemuan makna hidup. Pada tahap inilah individu menyadari nilai-nilai yang sangat penting dalam hidup, antara lain creative value, experiential value, dan attitudinal value. Nilai-nilai yang dianggap berhaga dan penting bagi PSK membuat mereka menentukan tujuan hidup mereka ke depan (Bastaman, 1996).

Tujuan hidup yang telah ditetapkan akan berusaha direalisasikan ketika para PSK mendapat dukungan dan bersemangat serta berkomitmen untuk melakukan kegiatan yang lebih terarah (Warren, 2002). Pada tahap ini, muncul keinginan dan kehendak untuk memenuhi tujuan hidup (will to meaning) sehingga PSK berusaha merealisasikan apa yang menjadi makna hidup bagi dirinya. Bastaman menyebut tahap ini sebagai tahap realisasi makna. Tujuan hidup yang telah ditetapkan akan diusahakan dan diupayakan semaksimal mungkin serta berkomitmen penuh untuk melaksanakannya hingga tujuan hidupnya tercapai (Bastaman, 1996). Berkaitan dengan hal realisasi makna, manusia terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok orang yang masih mencari makna hidup dan kelompok orang yang telah menemukan makna hidupnya.


(25)

Kelompok orang yang masih dalam pencarian makna hidup terdiri dari orang yang aktif dalam mencari makna hidup mereka dan orang yang terhambat dalam pencarian makna hidup mereka (Frankl, 1984). Bagi mereka yang aktif dalam pencarian makna hidup, tentu tidak akan kebingungan dan mempersepsi kehidupan mereka secara positif sehingga tidak akan mengalami kehampaan hidup (Lukas, 1985). Namun, bagi mereka yang terhambat dalam pencarian makna hidup, kehidupan ini dirasakan dangat membingungkan dan mempersepsikannya secara negatif. Mereka pada dasarnya sedang mencari tujuan hidup untuk dipenuhi, mendambakan suatu ideologi untuk diyakini dan menginginkan adanya kewajiban sosial yang dapat mereka jalani dengan penuh gairah, karena sadar bahwa mereka sebenarnya mengalami kehampaan hidup. Mereka yang terhambat dalam pencarian makna hidup disebut juga manusia dalam keraguan / people in doubt (Lukas, 1985).

Dalam hal ini, manusia yang sudah menemukan makna hidup juga dibedakan antara orang yang mengorientasikan diri pada sistem nilai yang piramidal dengan orang yang mengorientasikan diri pada sistem nilai yang paralel (Kratochvil, 1968). Orang – orang yang mendapatkan rasa aman dalam sistem nilai paralel adalah merka yang sekaligus memiliki beberapa nilai yang bobotnya sama kuat dan sama-sama bermakna dalam hidup mereka. Contohnya: seseorang yang sekaligus mencintai pekerjaan dan keluarganya, mempunyai teman-teman dan lingkungan pergaulan yang menyenangkan, dan dia pun tidak melupakan hobi-hobinya serta mendapatkan keimanan dalam agama yang diyakininya. Semua itu merupakan nilai-nilai yang bobotnya setara dan sejalan serta pada


(26)

waktu bersamaan mengorientasikan seseorang untuk memenuhi makna hidupnya dan jika tidak terpenuhinya satu nilai tertentu akan lebih mudah digantikan oleh nilai-nilai lainnya yang setara sehingga dia tidak akan pernah merasa bingung dan kehilangan orientasi dalam hidupnya (Kratochvil, 1968).

Adapun orang-orang yang mendapatkan rasa aman melalui nilai-nilai yang piramidal adalah mereka yang semata-mata mengorientasikan diri pada nilai tunggal yang dianggapnya tertinggi, sedangkan nilai-nilai lainya ditempatkan pada peringkat yang jauh lebih rendah atau bahkan diabaikan. Dengan demikian, sistem nilai mereka secara keseluruhan seakan-akan membentuk piramidal tunggal. Contohnya: seseorang yang menemukan makna hidupnya semata-mata dari pekerjaannya dan mengabaikan kegiatan-kegiatan lainya; seorang ibu yang membaktikan seluruh hidupnya untuk suami dan anak-anaknya, tetapi mengabaikan kepentingan sendiri dan hal-hal lainnya, atau seorang rohaniawan yang menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk berdoa dan mengisolasi diri dari tugas-tugas kemasyarakatan (Kratochvil, 1968). Mereka yang pernah mengorientasikan diri untuk memenuhi nilai-nilai tunggal tersebut, dan pernah pula berhasil menjalani kehidupan yang bermakna, tetapi waktu nilai-nilai tersebut gagal dipenuhi, maka nilai-nilai lainnya tidak lagi berarti sehubungan dengan suatu peristiwa tragis tertentu yang mereka alami. Berkaitan dengan hal tersebut, maka manusia yang berorientasi pada sistem nilai piramidal disebut manusia dalam keputusasaan / people in despair (Lukas, 1986).

Berhasilnya merealisasikan tujuan hidupnya, akan timbul perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan mengembangkan penghayatan hidup bermakna


(27)

dengan kebahagiaan sebagai hasil dari upaya mereka merealisasikan tujuan hidup mereka (Bastaman, 1996). Namun, ketidakberhasilan menghayati makna hidup biasanya menimbulkan frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang ditandai dengan hilangnya minat, berkurangnya insiatif, munculnya perasaan absurd dan hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa tidak berarti, serta bosan dan apatis yang apabila berlangsung secara intensif dan berlarut-larut tanpa penyelesaian tuntas dapat menjelma menjadi sejenis gangguan neurosis yang ditemukan Frankl (Crumbaugh dalam Bastaman, 1996).

Berdasarkan fenomena di atas, adanya beberapa PSK selama menjalani kehidupan sadar akan pandangan negatif yang diperoleh dari lingkungan sekitar, tetapi beberapa diantaranya masih tetap mampu mempertahankan apa yang dipercayai, diyakini, dihayati dan sebagian dari mereka juga tetap menjalankan kehidupan dengan penuh keyakinan tanpa terpengaruh pendapat ataupun opini dari orang-orang yang memandang negatif dirinya. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti kehidupan yang dijalani PSK dalam proses pencarian makna hidup.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN

Peneliti hendak memahami kebermaknaan hidup PSK dengan menjawab pertanyaan penelitian berikut: Bagaimana dinamika yang dialami PSK dalam proses pencarian makna hidupnya selama menjalani kehidupan sebagai PSK?


(28)

C.TUJUAN PENELITIAN

C.1. Tujuan teoritis

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memahami dinamika kehidupan PSK dalam proses pencarian dan penemuan makna hidup. Dengan menelusuri kehidupan PSK, mulai dari latar belakang, value yang dimiliki, kualitas diri, serta motivasi menjadi PSK akan mampu menjelaskan bagaimana PSK menghayati kehidupannya.

C.2. Tujuan praktis

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk lebih memahami dan mengerti pentingnya kehidupan diri sendiri, apapun pilihan yang dihadapkan pada PSK pasti memiliki maknanya bila setiap PSK mampu mengambil hikmah dari pengalaman yang dilalui dan berani menghadapi tantangan hidup untuk meraih hidup yang bermakna.

D. MANFAAT PENELITIAN

D.1. Manfaat teoritis

Dengan adanya penelitian ini, akan mempermudah untuk mendalami kehidupan yang dijalani PSK dalam proses pencarian makna hidupnya walaupun berada dalam kondisi yang menderita.


(29)

D.2. Manfaat praktis

Dengan adanya penelitian ini akan memberi manfaat pada:

1. PSK

Memberi semangat dan motivasi bagi para PSK bahwa selama mereka masih hidup, maka hidup mereka pasti bermakna ketika mampu menyadari hikmah dibalik segala pengalaman yang telah dialami dan menemukan makna dalam hidup mereka. 2. Keluarga

- Memberi dukungan dan semangat pada PSK agar mereka merasa masih dibutuhkan dan dicintai yang akan membuat mereka berani menyusun rencana hidup ke depan, tidak lagi terikat dengan masa lalu sehingga mampu menemukan makna hidup dan menetapkan tujuan hidupnya.

- Memberikan motivasi bagi mereka untuk mempelajari keterampilan baru agar dapat hidup lebih baik dan memiliki tujuan hidup ke depan.

- Semakin mendekatkan diri pada Tuhan bahwa dengan bimbingan dan perlindungannya akan memberikan kekuatan bagi para PSK untuk menghadapi tantangan hidup.


(30)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah: BAB I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan tentang tinjaun teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian, diakhiri dengan pembuatan paradigma penelitian.

BAB III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data serta prosedur penelitian.


(31)

BAB II

LANDASAN TEORI A. MAKNA HIDUP

A.I. Definisi Makna Hidup

Istilah makna hidup dikemukakan oleh Victor Frankl, seorang dokter ahli penyaki saraf dan jiwa yang landasan teorinya disebut logoterapi. Kata logoterapi berasal dari kata”logos” yang artinya makna (meaning) atau rohani (spiritually), sedangkan ”terapi” adalah penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi secara umum mengakui adanya dimensi kerohanian pada manusia selain dimensi jiwa dan raga, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningfull life) yang didambakan (Sahakian dalam Bastaman, 1972).

Makna hidup adalah hal-hal yang dipandang penting, dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidup (Bastaman, 1996). Makna hidup bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan biasanya individu yang menemukan dan mengembangkannya akan terhindar dari keputusasaan (Bastaman, 1996). Makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, baik dalam keadaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, keadaan bahagia, dan penderitaan. Bila hasrat ini dapat


(32)

dipenuhi maka kehidupan akan dirasakan berguna, berharga dan berarti (meaningfull) akan dialami. Sebaliknya bila hasrat ini tidak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna (meaningless), hampa dan tidak berguna (Bastaman, 2007)

Makna hidup merupakan bagian dari kenyataan hidup yang dapat dijumpai di dalam setiap kehidupan. Oleh karena itu, makna hidup dapat berubah-ubah sewaktu-waktu. Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun, tetapi hanya dapat dipenuhi jika dicari dan ditemukan oleh diri sendiri (Frankl, 1984). Individu dalam mencapai makna hidupnya harus menunjukkan tindakan dari komitmen yang muncul dalam dirinya. Melalui komitmen tersebut seseorang akan menjawab tantangan yang ada dan memberikan sesuatu kepada hidup individu yang mencarinya (Koeswara, 1992).

Berdasarkan beberapa pengertian makna hidup, maka dapat disimpulkan bahwa makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta diyakini benar dan memberikan nilai khusus bagi diri sehingga menjadikannya sebagai tujuan hidup yang apabila dapat dipenuhi, maka kehidupan akan terasa bermakna, namun jika tidak terpenuhi, maka kehidupan akan terasa tidak bermakna.


(33)

A.II. Karakteristik Makna Hidup

Menurut Bastaman (1996), untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai makna hidup perlu diungkapkan mengenai karakteristik makna hidup, yaitu:

1) Unik dan Personal

Bagi seseorang sesuatu yang dianggap berarti belum tentu juga berarti bagi orang lain. Bahkan sesuatu dianggap penting dan berarti bagi seseorang pada saat ini, belum tentu sama pentingnya di waktu yang lain. Dalam hal ini, makna hidup seseorang dan apa yang bermakna bagi dirinya biasanya bersifat khusus, berbeda dengan orang lain dan mungkin dapat berubah setiap waktu.

2) Spesifik dan Konkrit

Makna hidup dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari. Makna hidup tidak selalu harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan idealistis, prestasi-prestasi akademis yang tinggi, atau hasil-hasil renungan filosofis yang kreatif.

3) Memberi Pedoman dan Arah

Makna hidup sifatnya memberikan pedoman dan arah terhadap kegiatankegiatan yang dilakukan sehingga makna hidup seakan-akan menantang dan mengundang seseorang untuk memenuhinya. Jika makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, maka seseorang akan terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya. Selain itu juga akan


(34)

membuat kegiatan-kegiatan yang dilakukan seseorang menjadi lebih terarah.

A.III. Sumber-Sumber Makna Hidup

Menurut Frankl (1984), nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidupnya, antara lain:

a. Nilai-nilai kreatif (Creative Values)

Merupakan salah satu dari cara yang dikemukakan oleh logoterapi dalam memberikan arti bagi kehidupan yaitu dengan “melihat apa yang dapat diberikan bagi kehidupan ini (what we give to life). Melalui tindakan-tindakan kreatif dan menciptakan suatu karya seni, menekuni suatu pekerjaan dan meningkatkan keterlibatan pribadi terhadap tugas serta berusaha untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya (Frankl dalam Bastaman 2007). Tingkah laku konkrit: Pemahaman Diri artinya individu mengenali beberapa aspek kepribadian dan corak kehidupannya, yaitu mengenali keunggulan dan kelemahan pribadi serta kondisi lingkungannya, menyadari keinginan masa kecil, masa muda dan sekarang serta memahami kebutuhan yang mendasari keinginan-keinginan tersebut, merumuskan dengan jelas dan nyata hal-hal yang diinginkan untuk masa yang akan datang serta menyusun rencana yang realistis untuk mencapainya.


(35)

b. Nilai-nilai penghayatan (Experiental Values)

Cara kedua adalah dengan melihat ”apa yang dapat kita ambil dari dunia ini” (what we take from the world). Dengan mengalami sesuatu, melalui kebaikan, kebenaran dan keindahan, dengan menikmati alam dan budaya atau dengan mengenal manusia lain dengan segala keunikannya. Selain itu cinta kasih dapat menjadikan seseorang menghayati perasaan berarti dalam kehidupannya. Dengan mencintai dan merasa dicintai seseorang akan merasakan hidupnya penuh dengn pengalaman hidup yang membahagiakan (Frankl, dalam Bastaman 2007). Tingkah laku konkrit: Pengakraban hubungan artinya membina hubungan yang akrab dengan orang tertentu seperti anggota keluarga, teman ataupun rekan kerja. Hal ini penting sebab dalam hubungan pribadi yang akrab seseorang merasa benar-benar dibutuhkan dan membutuhkan orang lain, dicintai dan mencintai orang lain tanpa mementingkan diri sendiri. Seseorang akan merasa dirinya berharga dan bermakna, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Tingkah laku konkrit lain: Ibadah artinya menjalankan ibadah secara khidmat agar menimbulkan perasaan tenteram, mantap dan tabah, serta menimbulkan perasaan seakan-akan mendapat bimbingan dalam melakukan tindakan-tindakan penting dan berguna dalam mencapai hidup yang bermakna.


(36)

c. Nilai-nilai bersikap (Attitudinal Values)

Cara ketiga adalah “sikap yang diambil untuk tetap bertahan terhadap penderitaan yang tidak dapat dihindari” (the attitude we take toward unavoidable suffering), Yaitu menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi. Dalam hal ini yang diubah bukan keadaan namun sikap yang dapat diambil dalam menghadapi keadaan itu. Tingkah laku konkrit: Bertindak Positif artinya menekankan pada tindakan nyata yang mencerminkan pikiran dan sikap yang baik dan positif. Memilih tindakan nyata yang benar-benar dapat dilakukan secara wajar tanpa terlalu memaksakan diri, waktu yang digunakan fleksibel dari yang berlangsung selama beberapa detik hingga jangka panjang yang berkesinambungan, citra diri yang akan dicapai benar-benar diinginkan dan realistis, memperhatikan reaksi-reaksi spontan dari lingkungan terhadap usaha untuk bertindak positif, dan ada kemungkinan untuk bertindak positif pada awalnya dirasakan sebagai tindakan berpura-pura namun jika dilakukan secara konsisten, serius dan dihayati akan menjadi kebiasaan.

A.IV. Aspek-aspek Makna Hidup

Frankl (Bastaman, 1996) menyebutkan tiga aspek dari kebermaknaan hidup yang saling terkait satu sama lainnya, yaitu:


(37)

• Kebebasan berkehendak

Kebebasan yang dimaksud tidak bersifat mutlak dan tidak terbatas. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi biologis, psikologis, sosiokultural dan kesejarahannya, namun harus diimbangi dengan tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenangan. Kualitas diatas menunjukkan bahwa manusia adalah individu yang dapat mengambil jarak dari kondisi dari luar dirinya (sosiokultural dan kesejarahannya) dan kondisi yang datang dari dalam dirinya (biologis dan psikologis).

• Kehendak hidup bermakna

Kehendak untuk hidup bermakna merupakan keinginan manusia untuk menjadi orang yang berguna dan berharga bagi dirinya, keluarga, dan lingkungan sekitarnya yang mampu memotivasi manusia untuk bekerja, berkarya dan melakukan kegiatan-kegiatan penting lainnya agar hidupnya berharga dan dihayati secara bermakna, hingga akhirnya akan menimbulkan kebahagiaan dan kepuasan dalam menjalani kehidupan

• Makna hidup

Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus dicari dan ditemukan sendiri. Dalam makna hidup terkandung pula tujuan hidup, yaitu hal-hal yang ingin dicapai dan dipenuhi dalam hidup.


(38)

A.V. Tahapan Pencapaian Makna Hidup

Proses keberhasilan seseorang dalam mencapai makna hidup adalah urutan pengalaman dan tahap-tahap kegiatan seseorang dalam mengubah penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna. Proses keberhasilan merupakan suatu konstruksi teoritis dimana realitasnya tidak mungkin mengikuti suatu urutan tertentu secara tepat. Bastaman (1996) menguraikan tahapan dalam penemuan makna hidup berdasarkan urutannya, yaitu:

a. Tahap derita (peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna)

Individu merasakan emosi negatif dan menghayati hidup tidak bermakna, karena mengalami peristiwa tragis atau kondisi hidup yang tidak menyenangkan dalam hidup.

a. Tahap penerimaan diri (pemahaman diri, pengubahan sikap)

Muncul kesadaran dalam diri untuk mengubah kondisi diri menjadi lebih baik lagi. Munculnya kesadaran diri ini disebabkan banyak hal, misalnya perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pandangan dari seseorang, hasil doa dan ibadah, belajar dari pengalaman orang lain atau peristiwa-peristiwa tertentu yang secara dramatis mengubah hidupnya selama ini.

b. Tahap penemuan makna hidup (penemuan makna dan penentuan tujuan hidup)

Menyadari adanya nilai-nilai berharga atau hal-hal yang sangat penting dalam hidup, yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan hidup.


(39)

Hal-hal yang dianggap penting dan berharga itu mungkin saja berupa nilai-nilai kreatif, seperti berkarya, nilai-nilai penghayatan seperti penghayatan keindahan, keimanan, keyakinan dan nilai-nilai bersikap yakni menentukan sikap yang tepat dalam menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan tersebut.

c. Tahap realisasi makna (keikatan diri, kegiatan terarah dan pemenuhan makna hidup)

Semangat hidup dan gairah kerja meningkat, kemudian secara sadar membuat komitmen diri untuk melakukan berbagai kegiatan nyata yang lebih terarah. Kegiatan ini biasanya berupa pengembangan bakat, kemampuan dan keterampilan.

d. Tahap kehidupan bermakna (penghayatan bermakna, kebahagiaan) Pada tahap ini timbul perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan mengembangkan penghayatan hidup bermakna dengan kebahagiaan sebagai hasil sampingnya.

A.VI. Komponen yang mempengaruhi Keberhasilan Meraih Hidup Bermakna

Menurut Bastaman (1996) ada beberapa komponen / kualitas diri yang diperlukan individu untuk meraih hidup bermakna, yaitu:

1. Pemahaman Pribadi

Pemahaman pribadi pada dasarnya membantu memperluas dan mendalami beberapa aspek kepribadian dan corak kehidupan seseorang.


(40)

Misalnya seperti mengenali keunggulan dan kelemahan pribadi serta kondisi lingkungannya, menyadari keinginan masa kecil, masa muda dan sekarang serta memahami kebutuhan yang mendasari keinginan-keinginan tersebut, merumuskan dengan jelas dan nyata hal-hal yang diinginkan untuk masa yang akan datang serta menyusun rencana yang realistis untuk mencapainya.

Dalam hal pemahaman diri, konsep Locus of Control (Rotter dalam Schultz, 1954) dapat menjelaskan pemahaman pribadi seorang individu dalam memahami diri sendiri, kondisi lingkungan serta hal-hal yang mendasari keinginannya, yakni: Internal Locus of Control dan External Locus of Control. Individu yang memiliki Internal Locus of Control memahami bahwa dengan kemampuan dan usaha sendiri dia dapat mengubah hidupnya menjadi lebih baik atau lebih buruk, dengan demikian, dia memiliki kontrol penuh atas kehidupannya sendiri sehingga dapat menyusun rencana hidup yang nyata dan memiliki keyakinan dapat mencapainya. Berbeda dengan individu yang memiliki External Locus of Control, mereka yang tidak yakin dengan kemampuan sendiri dan memahami bahwa hidup mereka ditentukan oleh nasib, hal-hal baik yang terjadi karena kebetulan atau bantuan orang lain, hal-hal buruk karena memang nasib dan takdir mereka sehingga mereka cenderung takut dan ragu untuk berubah karena tidak memiliki kontrol atas hidupnya sendiri.


(41)

2. Bertindak Positif

Tindakan positif menekankan pada tindakan nyata yang mencerminkan pikiran dan sikap yang baik dan positif. Untuk menerapkan metode bertindak positif, perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu memilih tindakan nyata yang benar-benar dapat dilakukan secara wajar tanpa terlalu memaksakan diri, waktu yang digunakan fleksibel dari yang berlangsung selama beberapa detik hingga jangka panjang yang berkesinambungan, citra diri yang akan dicapai benar-benar diinginkan dan realistis, memperhatikan reaksi-reaksi spontan dari lingkungan terhadap usaha untuk bertindak positif, dan ada kemungkinan untuk bertindak positif pada awalnya dirasakan sebagai tindakan berpura-pura namun jika dilakukan secara konsisten, serius dan dihayati akan menjadi kebiasaan.

Dalam hal bertindak positif haruslah diawali dengan adanya sikap yang positif pada hal yang positif sehingga kecenderungan individu untuk bertindak positif semakin besar dan kuat. Hal ini dapat dijelaskan melalui konsep social learning, yang terdiri dari behavior potential, expectancy, reinforcement value, dan psychological situation (Rotter dalam Schultz, 1954). Ke-4 konsep di atas berhubungan satu sama lain sehingga membuat seseorang bertindak positif atau negatif. Expectancy berperan sebagai harapan dan keinginan individu, reinforcement value berperan dalam hal bobot nilai yang akan diperoleh jika harapan dan keinginan tersebut terpenuhi, dan psychological situation yang dialami individu pada saat itu


(42)

sehingga menentukan behavior potential individu untuk mewujudkan harapannya atau menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yang diawali dengan changing attitude. Changing attitude yang positif dan internal akan mengarahkan perilaku ke hal-hal yang positif dan mengarah pada pemenuhan tujuan, sedangkan changing attitude yang eksternal akan mengarahkan perilaku ke hal-hal di luar diri yang sifatnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan tanpa berusaha untuk menghadapinya.

3. Pengakraban hubungan

Pengakraban hubungan menganjurkan agar seseorang membina hubungan yang akrab dengan orang tertentu seperti anggota keluarga, teman ataupun rekan kerja. Hal ini penting sebab dalam hubungan pribadi yang akrab seseorang merasa benar-benar dibutuhkan dan membutuhkan orang lain, dicintai dan mencintai orang lain tanpa mementingkan diri sendiri. Seseorang akan merasa dirinya berharga dan bermakna, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Dalam hal pengakraban hubungan, konsep positive regard (Rogers dalam Schultz, 1995), terutama mengenai unconditional positive regard dan conditional positive regard. Individu yang memperoleh unconditional positive regard dari orang tua atau orang-orang terdekat akan senantiasa merasa dibutuhkan dan dicintai dalam menjalankan segala aktivitas dan kegiatannya, namun individu yang memperoleh conditional positive regard dari orang tua akan senantiasa


(43)

berperilaku yang sesuai dan menghindari perilaku yang tidak sesuai agar memperoleh cinta dan kasih dari orang tua atau orang terdekatnya.

4. Pendalaman Tri-nilai

Pendalaman Tri-nilai berarti nilai-nilai yang menjadi sumber makna hidup (creative value, experiential value, dan attitudinal value) yang dimiliki, dipahami dan dimengerti agar dapat menemukan makna hidup dan menetapkan tujuan hidup yang ingin diraih serta melakukan kegiatan yang mengarah kepada pemenuhan tujuan hidup.

5. Ibadah

Beribadah berarti menjalankan ibadah secara khidmat agar menimbulkan perasaan tenteram, mantap dan tabah, serta menimbulkan perasaan seakan-akan mendapat bimbingan dalam melakukan tindakan-tindakan penting.

A.VII. Hidup Bermakna

Individu yang menghayati hidup bermakna menunjukkan corak kehidupan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tujuan hidup, baik tujuan jangka panjang maupun jangka pendek akan lebih jelas terlihat dan kegiatan individu tersebut akan menjadi terarah (Frankl dalam Bastaman 2007). Menurut Schultz (1991) kehidupan baru terasa bermakna dan mengandung suatu arti ketika berhadapan dengan situasi yang penuh dengan penderitaan. Individu yang berhasil


(44)

menghayati hidup bermakna akan menjalankan kehidupan sehari-hari dengan penuh gairah dan semangat serta jauh dari perasaan hampa, walaupun dalam situasi yang tidak menyenangkan atau dalam penderitaan (Budiraharjo, 1997).

Frankl (Bastaman, 2005) mengemukakan bahwa orang yang menemukan kebermaknaan hidupnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Kehidupannya penuh semangat atau optimis

2) Memiliki tujuan hidup jelas yang berorientasi pada masa depan 3) Memiliki kebebasan memilih tindakan mereka

4) Bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya dan kontrol diri yang sadar 5) Kegiatan yang mereka lakukan lebih terarah

6) Tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya 7) Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan

8) Luwes dalam bergaul tetapi tidak sampai terbawa-bawa atau kehilangan identitas diri

9) Dapat menemukan arti kehidupan yang cocok

10)Tabah apabila dihadapkan pada suatu penderitaan dan menyadari bahwa ada hikmah dibalik penderitaan

11)Komitmen terhadap pekerjaan

12)Mampu memberi dan menerima cinta

13)Mampu mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai pengalaman atau nilai-nilai sikap.


(45)

B. Pekerja Seks Komersil

B.I. Definisi

Pelacur adalah seseorang yang melacur di dunia pelacuran (Koentjoro, 2004). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), pelacur adalah perempuan yang melacur. Istilah pelacur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) berkata dasar lacur yang berarti malang, celaka, gagal, sial atau tidak jadi. Pelacur menurut Pheterson (1996) mengacu kepada mereka yang secara terbuka menawarkan dan menyediakan seks, adalah sebuah status sosial yang telah terstigmasi dan bersifat kriminal.

Selain pelacur, muncul istilah baru yakni Pekerja Seks Komersial (PSK) sebagaimana kerap dipakai oleh para pakar (Koentjoro, 2004). Istilah PSK ditolak oleh pemerintah, terutama berkenaan dengan statistik tenaga kerja. Dengan menggunakan PSK, berarti sama dengan memasukkan sektor pelacuran kedalam ruang lingkup lapangan pekerjaan yang sah, sehingga mereka harus didata dan dimasukkan kedalam statistik tenaga kerja (Wagner & Yatim, 1997).

Selain pelacur dan PSK, kemudian berkembang istilah WTS (wanita tuna susila) karena menganggap bahwa perempuan yang melacurkan diri tidak menuruti aturan susila yang berlaku di masyarakat. Secara legal, pemerintah Indonesia mengeluarkan surat Keputusan Menteri Sosial No. 23/HUK/96 (dalam Koentjoro, 2004) yang menyebut pelacur dengan istilah WTS. Namun menurut Koentjoro (2004) upaya pemerintah saat itu sebenarnya tidak lain untuk melebihhaluskan istilah pelacur.


(46)

Secara lebih tegas, Koentjoro (2004) menolak istilah WTS atau PSK dan memilih untuk menggunakan pelacur. Hal ini disebabkan karena (1) arti pelacur baik secara denotatif maupun konotatif lebih lengkap dan lebih spesifik (2) istilah pekerja seks berlaku terlalu luas, tidak spesifik dan bermakna ganda (3) istilah pekerja seks dapat diartikan sebagai pengakuan bahwa melacur merupakan pekerjaan.

Berdasarkan semua definisi diatas Koentjoro (2004) mengatakan bahwa seorang pelacur adalah seorang yang berjenis kelamin wanita/perempuan yang digunakan sebagai alat untuk memberi kepuasan seks kepada kaum laki-laki. Perempuan berperan sebagai budak dan dibayar oleh laki-laki atas jasa seks mereka.

B.II. Alasan menjadi PSK

Koentjoro (2004) mengatakan bahwa secara umum terdapat sembilan alasan yang paling mempengaruhi dalam menuntun seorang perempuan/wanita menjadiseorang pelacur, adalah:

1) Materialisme

Materialism atau aspirasi untuk mengumpulkan kekayaan merupakan sebuah orientasi yang mengutamakan hal-hal fisik dalam kehidupan. Orang yang hidupnya berorientasi materi akan menjadikan banyaknya


(47)

jumlah uang yang bisa dikumpulkan dan kepemilikan materi yang dapat mereka miliki sebagai tolak ukur keberhasilan hidup.

2) Modelling

Modelling adalah salah satu cara sosialisasi pelacuran yang mudah dilakukan dan efektif. Terdapat banyak pelacur yang telah berhasil mengumpulkan kekayaan di komunitas yang menghasilkan pelacur sehingga masyarakat dapat dengan mudah menemukan model.

3) Dukungan Orang tua;

Support dari orang tua dan suami menggunakan anak perempuan/istri mereka sebagai sarana untuk mencapai aspirasi mereka akan materi.

4) Faktor ekonomi; keterdesakan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari mengakibatkan individu mencari segala cara untuk mendapatkan uang yang banyak dalam waktu singkat agar dapat bertahan hidup.

5) Pendapatan dan pendidikan rendah 6) Tidak memiliki keterampilan 7) Pengangguran

8) Kesenangan; memilih menjadi PSK adalah untuk mencari sensasi / kesenangan. Dengan kata lain, mencoba hal-hal yang ingin diketahui dan merasa ketagihan hingga timbul kesenangan dan kenikmatan.

9) Pelampiasan; yang dimaksud biasanya adalah rasa sakit hati terhadap pasangan dan melacurkan diri untuk mengobati rasa sakit tersebut.


(48)

C. PARADIGMA BERPIKIR

Hidup Bermakna Hidup Tidak Bermakna

Happiness Despair /

Doubt

Tahap Kehidupan Bermakna (Meaning of Life)

Terpenuhi Tidak Terpenuhi

Pyramidal system: menetapkan satu nilai tertinggi yang ingin diwujudkan.

Parallel system: memiliki beberapa alternatif nilai yang setara

Will to Meaning

Tahap realisasi makna Kegiatan yang terarah, komitmen dan pemenuhan makna

Tahap Penerimaan Diri Pemahaman diri dan pengubahan sikap dari (-) => (+): muncul kesadaran untuk

mengubah kondisi diri menjadi lebih baik

Tahap penemuan makna

Menyadari adanya hal-hal berharga atau penting yang ditetapkan sebagai tujuan hidup, seperti Creative value,Experiential value, andAttitudinal value

Searching for meaning Eksternal Internal

Tahap derita Emosi dan pikiran negatif: sedih, kesal, kecewa, cemas, takut,

rasa bersalah, tertekan, menderita, stress, pikiran bunuh diri. Pilihan Hidup

Pekerja Seks Komersil KEHIDUPAN MANUSIA

Faktor Eksternal: Kesulitan memenuhi kebutuhan, pergaulan, masyarakat

Freedom of Will

Faktor Internal : (-) keterampilan, keinginan sendiri, mengobati luka hati


(49)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. PENDEKATAN KUALITATIF

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang lebih jelas serta mendalam berkaitan dengan bagaimana makna hidup pada PSK atas segala masalah yang dialaminya.

Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Poerwandari (2009), dimana melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti dapat memperoleh pemahaman menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti sehingga dapat melihat permasalahan dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi responden penelitian.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) juga mengatakan bahwa salah satu kekuatan dari penelitian kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana responden mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri responden dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.

Dalam penelitian mengenai makna hidup pada PSK ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif, karena sesuai dengan tujuan penelitian, peneliti perlu memahami kehidupan PSK secara spesifik, mendalam, dan menyeluruh.


(50)

39

B. RESPONDEN PENELITIAN 1. Karakteristik Responden

Pemilihan responden penelitian didasarkan pada karakteristik tertentu, yaitu:

a. Wanita Pekerja Seks Komersil

Hal ini sesuai dengan latar belakang penelitian dan rumusan permasalahan yang ingin dijawab peneliti.

b. Usia berada pada masa dewasa

Hal ini didasarkan pada pendapat kepakaran yang mengemukakan bahwa pada usia dewasa perkembangan kognitif dan psikososial telah matang dan mereka akan mencari tujuan hidup serta mulai menghayati kehidupan dengan lebih konkrit, detail, dan mendalam.

2. Jumlah Responden

Penelitian ini mengambil responden sebanyak 2 (dua) orang dikarenakan peneliti ingin berfokus untuk mendalami responden secara menyeluruh dan tidak banyaknya responden yang bersedia jika dimintai keterangan mengenai keadaannya sebagai PSK dan mengenal kisah hidupnya.


(51)

40

3. Prosedur Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan responden yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu sampel dipilih dengan kriteria yang ditentukan berdasarkan fenomena penelitian, dan berfokus untuk mendalami kasus mendalam dan menyeluruh (Patton, dalam Poerwandari, 2009).

C. METODE PENGAMBILAN DATA

Penelitian ini menggunakan metode pengambilan data melalui wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (guided interview) sebagai alat utama penelitian.

D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Alat perekam (tape recorder)

Alat perekam digunakan adalah handphone atau telepon genggam. b. Lembar observasi yang dilampirkan secara umum

Observasi yang dilakukan adalah observasi partisipatif yang menggunakan teknik narasi.

c. Alat tulis dan kertas untuk mencatat

Pencatatan dilakukan untuk menunjang data yang terekam melalui perekam dan kertas untuk mencatat berfungsi sebagai data kontrol dan jalannya wawancara dan observasi.


(52)

41

E. PROSEDUR PENELITIAN

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, yaitu sebagai berikut: a. Mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan dengan meaningful life dan pekerja seks komersil serta faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi PSK. b. Menyusun pedoman wawancara

Penyusunan pedoman wawancara dimulai terlebih dahulu dengan menyusun landasan teori yang digunakan. Berdasarkan landasan teori tersebut disusunlah sejumlah pertanyaan yang menjadi pedoman wawancara. Setelah pedoman wawancara disusun, pedoman wawancara tersebut di-professional judgement oleh dosen pembimbing serta mencoba pertanyaan ke beberapa orang mahasiswa psikologi untuk menilai efektifitas pedoman wawancara sekaligus mengecek kembali apakah tujuan yang ingin dicapai telah terpenuhi. Selanjutnya, hasil akhir dari pedoman wawancara yang tersusun dan disetujui oleh dosen pembimbing dapat dibaca pada lampiran.

c. Membuat informed consent

Pernyataan ini dibuat sebagai bukti bahwa responden telah menyepakati bahwa dirinya akan berpartisipasi sebagai responden


(53)

42

dalam penelitian ini tanpa adanya paksaan dari siapapun. Peneliti menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya.

d. Mempersiapkan alat-alat penelitian

Alat-alat yang dipersiapkan agar mendukung proses pengumpulan data seperti tape recorder, alat pencatat (kertas dan alat tulis) serta pedoman wawancara yang telah tersusun.

e. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

f. Membangun Rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, melalui ditandatanganinya surat pernyataan kesediaan oleh responden (informed consent), peneliti kemudian bertemu dengan responden untuk membangun rapport. Setelah itu, peneliti dan responden penelitian menentukan dan menyepakati waktu dan lokasi bertemu selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:


(54)

43

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu, peneliti mulai melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya.

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim.

Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang


(55)

44

diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2009).

d. Melakukan analisa data

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara. Peneliti membagi penjabaran analisa data responden ke dalam faktor-faktor dan proses dalam pemilihan pasangan. e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian.

3. Tahap Pencatatan Data

Dalam pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti


(56)

45

meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan dengan tape recorder. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara yang dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.

4. Prosedur Analisa Data

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2009), yaitu :

a. Koding

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Pada akhirnya, penelitilah yang berhak (dan bertanggung jawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya (Poerwandari, 2009).

b. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2009) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :

1. Memperoleh data yang baik,


(57)

46

3. Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

c. Analisis Tematik

Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.

d. Tahapan Interpretasi/analisis

Kvale (dalam Poerwandari, 2009) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan Kvale (dalam Poerwandari, 2009), yaitu : pertama, konteks interpretasi pemahaman diri (self understanding) terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk yang lebih padat (condensed) apa yang oleh subjek


(58)

47

penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandang peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman diri subjek penelitian, dilihat dari sudut pandang dan pengertian subjek penelitian tersebut. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis (criticial commonsense understanding) terjadi bila peneliti berpijak lebih jauh dari pemahaman diri subjek penelitiannya. Peneliti mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas daripada kerangka pemahaman subjek, bersifat kritis terhadap apa yang dikatakan subjek, baik dengan memfokuskan pada “isi” pernyataan maupun pada subjek yang membuat pernyataan. Meski demikian semua itu tetap dapat ditempatkan dalam konteks penalaran umum: peneliti mencoba mengambil posisi sebagai masyarakat umum dalam mana subjek penelitian berada. Ketiga, konteks interpretasi pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini, kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri subjek ataupun penalaran umum.


(59)

48

BAB IV

HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi uraian hasil analisa wawancara setiap responden dalam bentuk narasi dan pembahasan data yang diperoleh dengan menggunakan teori pada bab II dan beberapa teori tambahan tokoh lain yang berhubungan. Hasil wawancara akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi per-responden sehingga memudahkan pembaca dalam memahami hasil penelitian ini. Kutipan setiap bagian analisa akan diberikan kode-kode tertentu. Contoh kode yang digunakan adalah N.W1.R1.Li10, makna dari kode ini adalah kutipan pada wawancara pertama pada responden 1 pada jawaban verbatim ke-10.

A. HASIL ANALISA DATA I. RESPONDEN #1

1.1. IDENTITAS RESPONDEN

Nama : Linda (nama samaran)

Usia : 38 tahun

Tempat tinggal : Rumah sewa daerah Simpang Mabar dekat Belawan

Anak ke : 1 dari 1 bersaudara

Status : Janda dengan 2 orang anak Menjadi PSK : 13 tahun


(60)

49

1.2. JADWAL PENGUMPULAN DATA

A) Pertemuan pertama : 14 Maret 2014; pukul 14:00 s/d 15:00. B) Pertemuan kedua : 21 Maret 2014; pukul 16:00 s/d 18:00. C) Pertemuan ketiga : 30 Maret 2014; pukul 16:30 s/d 19:00. D) Pertemuan keempat : 4 April 2014; pukul 15:00 s/d 16:00.

1.3. HASIL OBSERVASI 1.3.1. Secara umum

Pada awalnya Linda yang agak canggung dan enggan untuk melakukan kontak mata dengan peneliti, akhirnya dapat merasa nyaman dalam melakukan proses wawancara setelah peneliti tidak memaksakan kehendak untuk terus menanyakan hal-hal yang masih enggan dijawab sebelum membangun rapport yang lebih dekat. Reaksi yang agak duduk bersandar ke belakang perlahan menjadi agak condong ke depan dan mempertahankan kontak mata dengan peneliti serta Linda juga ekspresif dan detail dalam menyampaikan ceritanya. Terkadang Linda juga dapat memberikan pandangannya terhadap perempuan lain yang hidupnya normal. Linda terlihat senang ketika dapat berkumpul dengan kedua anak dan ibunya, terlihat senyum bahagia dari cara Linda menyampaikan kedatangan putra pertama dan cucunya untuk menemuinya.

Selama perbincangan, Linda juga tidak pernah mengeluh dan menyampaikan dengan semangat pada peneliti. Linda juga terlihat


(61)

50

tenang dan santai dalam menyampaikan kehidupannya sebagai PSK kepada peneliti. Linda terlihat bersemangat dan bahagia dengan hidupnya yang sederhana bersama dengan keluarga yang dianggap penting dan berharga baginya.

1.3.2. Pertemuan Pertama

Linda sering terlihat menunjukkan reaksi yang enggan seperti kontak mata dengan peneliti sangat jarang, dan posisi duduk Linda yang agak bersandar ke belakang dengan kedua tangan merangkul di depan dadanya. Reaksi ini sering dimunculkan ketika hendak menjawab pertanyaan mengenai masa lalunya. Linda cukup kooperatif dalam memberikan jawabannya dan tidak terlalu bertele-tele. Jawaban yang diberikan jelas dan detail.

Peneliti mengawali dengan pertanyaan sederhana yang terbuka seperti menanyakan keadaan Linda saat ini, dan pekerjaan yang ditekuninya. Ketika Linda menjawab pertanyaan yang sederhana ini, ekspresi wajah Linda datar. Akan tetapi, ketika hendak menjawab pertanyaan mengenai keluarganya terutama apakah mereka mengetahui statusnya, Linda sempat memberikan jedah selama beberapa detik, melihat ke atas, barulah kemudian menjawab dengan cukup lugas. Bola mata berkaca-kaca ketika Linda menceritakan tentang perasaan dan pikirannya selama bekerja sebagai PSK dan menutupi statusnya pada keluarga sendiri. Linda hampir meneteskan air mata, namun berhasil menahan diri. Linda


(62)

51

menawarkan diri untuk melanjutkan pembicaraan di waktu lain karena di tempat kerja dia enggan mengutarakannya, apalagi Linda hampir menangis. Karena tidak ingin mengundang perhatian wawancara pun dihentikan dan dilanjutkan ke pertemuan berikutnya di tempat yang menjadi kesepakatan bersama dengan Linda.

1.3.3. Pertemuan Kedua

Linda menyambut kedatangan dengan hangat dan menghidangkan air putih untuk peneliti. Pembicaraan pun dimulai dengan percakapan sederhana dan menanyakan kabar dan perasaan Linda hari ini. Linda tampak lebih ceria pada saat itu dan peneliti bertanya mengenai rasa senangnya Linda, Linda langsung menjawab dengan girangnya dan mengatakan bahwa anak pertama, Hendy bersama dengan istri dan cucuakan mengunjunginya minggu depan.

Bermula dari perasaan senangnya Linda, peneliti bertanya seputar anaknya. Linda mengatakan bahwa anaknya adalah harapan dan alasan dirinya sanggup melewati ini semua. Kemudian Linda menceritakan bagaimana dirinya dengan susah payah membesarkan kedua anaknya. Ekspresi wajah Linda terlihat lebih ceria dan suasana percakapan menjadi lebih terbuka dan santai. Dari nada bicaranya sepertinya suasana hati Linda sangat baik. Setelah itu, Linda mengutarakan betapa dirinya mencintai dan menyayangi kedua anaknya. Peneliti menanyakan mengapa kedua anaknya menjadi alasan dan harapannya untuk hidup. Linda


(1)

Koeswara, E. (1992). Logotherapy : Psikoterapi Victor Frankl. Yogyakarta : Kanisus.

Kratochvil, Stanislav. 1968. Pyramidal and paralel: Ways to meaningful life.

Lukas, E (1986). Meaningfull Living. A Logotherapy Guide to Health. New York : Grove Press/Institute of Logotherapy Press Book.

Maslows, Abraham. 1970. Motivation and Personality: The Hierarchy of Needs.

Moleong, Prof. DR. (2005) Metode Penelitian Kualitatif ed Revisi. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

Papalia, D.E, Sally, W. O, et.al. 2008. Human Development. 9th ed. The McGraw Hill Companies.

Pheterson, Gail. (1996). The Prostitution Prism. Amsterdam : Amsterdam University Press.

Poerwandari, E.K. 2007. Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta : LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Rogers, Carl. 1961. Development of the Self in Childhood: Positive regard and Condition of Worth.

Rotter, Julian. 1954. Social Learning and Clinical Psychology: Social Learning Theory.

Sahakian, William S. 1972. Logotherapy as a Personality Theory: The Israel Annals of Psychiatry and Related Disciplines X.

Sentanu, Erbe.2009. Quantum Ikhlas. PT. Elex Media Komputindo. Vansenbeeck. 2001. Motivasi dan Latar Belakang Menjadi PSK. PT Gramedia Pustaka.

Schultz & Schultz, D.1993. Theory of Personality 5th ed. Wadsworth,Inc. Callifornia.

Vansenbeeck. 2001. Motivasi dan Latar Belakang Menjadi PSK. PT Gramedia Pustaka.

Wagner, Lola&Yatim, Danny I.1997. Seksualitas di Pulau Batam. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.


(2)

(3)

I. IDENTITAS DIRI RESPONDEN

PEDOMAN WAWANCARA SKRIPSI

a. Nama

b. Jenis Kelamin c. Tempat tinggal d. Anak ke e. Status f. Suku

II. LATAR BELAKANG RESPONDEN

a. Bagaimana pengalaman responden dulunya dalam keluarga? b. Bagaimana hubungan responden dengan anggota keluarga?

c. Bagaimana perasaan dan pikiran responden mengenai masa lalu responden?

III. KEHIDUPAN RESPONDEN SEBAGAI PSK a. Mengapa memilih hidup sebagai PSK? b. Bagaimana proses terjadinya atau ceritanya?

c. Bagaimana perasaan dan pikiran responden mengenai pekerjaannya?

d. Sudah berapa lama dan alasan bertahan selama itu?

IV. KEBERMAKNAAN HIDUP RESPONDEN A. TAHAP DERITA

1. Penyebab utama responden hidup menderita pada awalnya

2. Bagaimana perasaan responden terhadap pengalaman menyakitkan tersebut?

3. Mengapa responden bisa merasakan demikian? • Searching for meaning

1. Bagaimana responden mampu melewati pengalaman menyakitkan tersebut?


(4)

2. Hal apakah yang membuat responden sadar akan perilaku responden yang meratapi masa lalunya?

B. TAHAP PENERIMAAN DIRI

1. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa menerima keadaan diri?

2. Bagaimana responden memandang keadaan dirinya setelah mampu menerima kenyataan?

3. Apakah ada perubahan yang ingin dilakukan? Dan mengapa memilih untuk berubah?

C. TAHAP PENEMUAN MAKNA

1. Apakah ada tujuan hidup yang ingin diraih? 2. Mengapa ingin meraih tujuan tersebut?

3. Bagaimana hubungan responden dengan lingkungan setelah mampu menerima diri?

4. Apakah ada hal-hal yang penting dan berharga dalam hidup? 5. Mengapa hal-hal tersebut penting dan berharga?

a. Creative value

1. Adakah rencana untuk berkarya atau bekerja selain sebagai PSK?

2. Bagaimana pandangan responden mengenai pekerjaannya saat ini?

b. Experiential Value

1. Bagaimana responden menghayati (perasaan dan pikiran) keadaan hidupnya saat ini dengan semua pengalaman yang dialami?

2. Manfaat apa yang dapat diambil responden mengenai kehidupan yang sudah dijalani?

c. Attitudinal value


(5)

b. Bagaimana responden mengatasinya?

c. Bagaimana pandangan responden mengenai pengalaman hidup yang dialaminya?

D. TAHAP REALISASI MAKNA

1. Apa rencana hidup responden ke depan?

2. Hal-hal apa yang menjadi harapan responden untuk meraih tujuan hidup?

3. Bagaimana responden akan mewujudkan harapan tersebut?

4. Bagaimana upaya yang dilakukan responden untuk meraih tujuan hidup?

5. Bagaimana perasaan dan pikiran responden dengan adanya tujuan hidup yang bermakna dalam menjalani kehidupan?

E. TAHAP KEHIDUPAN BERMAKNA 1. Apakah arti hidup menurut responden?

2. Apakah responden merasa bahagia dengan adanya tujuan hidup? 3. Bagaimana responden memandang kehidupan responden yang


(6)

INFORMED CONSENT

Judul penelitian : Kebermaknaan Hidup Pada PSK Peneliti : Weillon Chaidir

NIM : 101301123

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tanpa unsur paksaan dari siapapun, bersedia untuk berperan serta dalam penelitian ini. Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam penelitian mengenai kebermaknaan hidup pada PSK.

. Peneliti telah menjelaskan tentang tujuan dan manfaat dari penelitiannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, Juni 2014