Murabah dalam praktik perbankan saat ini

Murabahah dalam Praktik Perbankan Syariah Saat ini
BAB I
Pendahuluan
Jual beli merupakan aktifitas yang biasa kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari baik untuk kebutuhan daruriyah, hajatiah maupun tahsiniyah. Transaksi jual-beli
selalu melibatkan pihak penjual dan pembeli, yang mana masing-masing dari mereka dalam
melakukan suatu transaksi bertujuan untuk memperoleh apa yang mereka butuhkan atau
harapkan, penjual mengharapkan keuntungan dari barang dagangannya dan pembeli
membutuhkan sesuatu untuk dinikmati kegunaannya. Harapan dan kebutuhan mereka
berbeda-beda misalnya berkenanan dengan harga sebagian penjual mungkin mengharapkan
harga yang tinggi atas barang dagangannya sedangkan sebagian pembeli mungkin
mengharapkan harga yang rendah untuk barang yang ingin dibeli. Karena perbedaan inilah
akhirnya harga yang terjadi dalam suatu transaksi jual beli harus mewakili kemaslahatan
masing-masing pihak yaitu antara penjual dan pembeli dan tidak memudharatkan salah satu
pihak. Allah Swt pernah berfirman :

‫يِاَ ْأ نيِهاَ ْاَل لذيِن ْآمنواَ ْل ْتأ مك ككلواَ ْأ ن‬
‫م ْب ني من نك مك‬
‫واَل نك مك‬
‫م‬
‫م‬

‫ن‬
‫ذ ن ن ك‬
‫ن ين‬
‫م ن‬
‫باَل مباَطل ْإل ْأ ن‬
‫ك‬
‫م ْنول‬
َ‫را‬
‫ت‬
ْ ‫ن‬
‫ع‬
ْ ‫ة‬
‫ر‬
َ‫جا‬
‫ت‬
ْ ‫ن‬
‫كو‬
‫ت‬
ْ ‫ن‬
‫ن‬

‫ة‬
‫ذ‬
‫ض ْ ذ‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫م‬
‫من مك ك م‬
‫م ن‬
‫ن‬
‫ذ ن ذ ذ ذ‬
‫ض‬
‫ه ْ ن‬
َ‫ما‬
‫قت ككلواَ ْأ نن م ك‬
‫تن م‬
‫م ْنر ذ‬
‫كاَ ن‬
‫م ْإ ذ ل‬

‫ف ن‬
‫حي ة‬
‫ن ْب ذك ك م‬
‫ن ْاَلل ل ن‬
‫سك ك م‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa [4]:29 )
Berdasarkan dalil Al-Qur’an diatas maka jelas bagi kita bahwa dalam melakukan
suatu transaksi khususnya jual-beli harus dilakukan atas dasar suka sama suka serta tidak ada
kebathilan yang terjadi.
Ekonomi islam mengenal bentuk jual-beli yang dikenal dengan istilah Murabahah.
Jual-beli ini merupakan jual beli yang terjadi berdasarkan atas kesepakatan harga antara
penjual dengan pembeli. Praktik jual beli murabahah ini sudah umum digunakan oleh

perbankan islam saat ini. Pada makalah ini kami akan menguraikan lebih lanjut tentang jual
beli

Murabahah


dari

bagaimana

murabahah

dalam

literature

klasik,

bagaimana

persyaratannya hingga permasalahan-permasalahan dalam transaksi Murabahah.
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Murabahah
Salah satu konsep fiqh muamalah yang banyak dipraktikan oleh perbankan

Syariah adalah akad jual beli murabahah. Akad ini banyak diminati oleh perbankan
Syariah dikarenakan faktor keamanan dan minimnya bagi bank Syariah di banding
akad mudlarabah dan musyarakah. Murabahah merupakan jenis jual beli dengan
ketentuan yang lebih spesifik dibanding dengan jual beli pada umumnya. Ada
beberapa karakteristik tertentu yang membedakan antara jual beli pada umumnya
dengan akad murabahah.
Pengertian murabahah secara lafdzi berasal dari masdar ribhun (keuntungan).
Murabahah adalah masdar dari Rabaha- Yurabihu- Murabahatan (member
keuntungan). Sedangkan secara istilahi Wahbah al-Zuhaily mengutip beberapa
definisi yang diberikan oleh para imam mujtahid. Diantaranya: Ulama Hanafiyah
mengatakan, murabahah adalah memindahkan hak milik seseorang kepada orang lain
sesuai dengan transaksi dan harga awal yang dilakukan pemilik awal ditambah
keinginan yang diinginkan. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat murabahah
adalah jual beli yang dilakukan seseorang dengan mendasarkan pada harga beli
penjual ditambah keuntungan dengan syarat harus sepengetahuan kedua belah pihak.
Sedangkan Wahbah al-Zuhaily sendiri mendifinisikan murabahah adalah jual
beli yang dilakukan sesorang dengan harga awal ditambah dengan keuntungan.
Penjual menyampaikan harga beli kepada pembeli ditambah permintaan keuntungan
yang dikehendaki penjual kepada pembeli. Seperti ungkapan penjual kepada pembeli:
“saya menjual barang ini kepada anda dengan harga beli sepuluh dinar. Mohon anda

memberi kami keuntungan satu dirham”.1

1 M. Yazid Afandi,2009,Fiqih Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan
Syariah,Yogyakarta:Logung Pustaka.

Murabahah( penjualan “cost-plus”) adalah akad jual beli atas suatu barang,
dengan harga yang disepakati antara penjual dan pembeli, setelah sebelumnya penjual
menyebutkan dengan sebenarnya harga perolehan atas barang tersebut dan besarnya
keuntungan yang di perolehnya.

2

Sedangkan dalam dalam buku “Money Islamic

Banks and the Real Economy” Bay’ al-Murabahah can be defined as a contract
between a buyer and a seller under which the seller sells specific goods allowed
under sharia principles and the law of the lnd to be buyer at a cost plus agreed profits
payable in cash on any fixed future date in a lump sum or by installments.
From the Islamic banking point of view, the customer will first identify the
goods to be financed. The bank will then secure the goods, add the mark up profit,

deliver the goods and collect the payment from the costumer-usually in deferred
terms. The mark-up profit is a percentage of cost or purchase price of the goods or a
lump sum payment.3
Yang jika kita terjemahkan yaitu “Jual-beli murabahah dapat didefinisikan
sebagai suatu kontrak antara pembeli dan penjual yang mana penjual menjual
barang tertentu yang sesuai dengan prinsip syariah, dan hukum terhadap pinjaman
(pembayaran tunda) kepada pembeli atas biaya tambahan yang disepakati yang
dapat dibayar di waktu mendatang seluruhnya atau secara cicilan.
Berdasarkan sudut pandang Bank islam, nasabah pertama-tama akan
mengidentifikasi barang yang akan dibayarkan. Kemudian Bank akan menjamin
barang tersebut, menambahkan keuntungan (mark-up) mengantarkan barang dan
mengumpulkan pembayaran dari nasabah sesuai ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Mark-up keuntungan adalah persentase dari biaya atau harga beli barang atau
jumlah pembayaran
Walaupun terdapat bamyak definisi tentang pengertian murabahah, tetapi pada
intinya secara subtansial memberikan pengertian yang sama meskipun diungkapkan
dalam redaksi yang berbeda. Hal yang paling pokok, bahwa murabahah adalah jenis
jual beli. Sebagaimana jual beli pada umumnya yaitu tentang adanya barang yang di
jual. Di samping itu akad murabahah akad jual beli yang memiliki spesifikasi tertentu.
Yaitu keharusan adanya penyampaian harga semula secara jujur oleh penjual kepada

calon pembeli sekaligus keuntungan yangdi ingikan oleh penjual. Keuntungan yang di

2 Veithzal rivai dan Andria Permata Veithzal,2008, Islamic Financial Managemen,Jakarta:Rajawali Pers.
3 Abdul Ghofar Ismail,2010, Money Islamic Banks and the Real Economy, Singapore : Cangeage Learing

inginkan oleh penjual tersebut harus atas kesepakatan kedua belah pihak. Hal spesifik
inilah yang membedakan murabahah dengan jual beli pada umumnya.
B. Murabahah dalam Literatur Klasik
Murabahah diturunkan dari kata Ribh, yang berarti perolehan, keuntungan dan
tambahan. Dalam murabhah, penjual harus mengungkapkan biayanya dan kontrak
(akad) terjadi dengan margin keuntungan yang di setujui. Kontrak (akad) ini di
praktikan pada zaman sebelum islam. Imam Malik menyebut penjualan ini dalam AlMuwattha

kitab pertama yang secara formal mencatat berbagai hadis Nabi

Muhammad saw. Fuqaha Hanafi yang terkenal, Al-Marginani, mendifinisikan
murabahah sebagai “penjualan barang apa pun pada harga pembelian yang ditambah
dengan jumlah yang tetap sebagai keuntungan”, Ibn Qudama, fuqaha Hanbali,
mendefinisikannya sebagai “penjualan pada biaya modal ditambah dengan
keuntungan yang diketahui, pengetahuan biaya modal adalah persyaratan atasnya”,

oleh karena itu, penjual akan mengatakan : “Biaya modal saya yang terkait dalam
transaksi ini adalah sekian atau pembelian barang ini menghabiskan uang saya sebesar
100 miliar dan saya menjualnya ke anda pada biaya ini di tambah keuntungan sebesar
10 miliar”. Hal ini sah secara hukum tanpa adanya kontrofersi sedikit pun di antara
para fuqaha.
Menurut Imam Malik, Murabahah dilakukan dan diselesaikan dengan
pertukaran barang dengan harga, termasuk margin keuntungan yang telah di setujui
bersama pada saat itu dan pada tempat itu pula. Penting pula untuk mengamati bahwa
bagi Imam Malik, tidak ada kredit dalam murabahah. Para penganut Malik secara
keseluruhan tidak menyukai penjualan ini karena ia menuntut banyak persyaratan
yang pemenuhannya sangatlah sulit. Akan tetapi, mereka juga tidak melarangnya.
Imam Syafi’i dalam Kitabal-umm memperluas konsep ini sehingga mencakup
transaksi kredit. Ia didefinisikan dalam kata-kata yang serupa dalam kitab-kitab fiqh
lainnya. Berdasarkan definisinya, ia merupakan dasar bahwa agar kontrak (akad)
murabahah bersifat sah, pembeli harus mengetahui harga orisinal, biaya tambahan jika
ada, dan jumlah keuntungannya. Oleh sebab itu, murabahah adalah kontrak (akad)
yang berdasarkan kepercayaan. 4

4 Muhammad Ayub,2009, Understanding Islamic Financial A-Z Keuangan syariah,Jakarta:Kompas Gramedia.


Berdasarkan definisi-definisi diatas, hal penting yang perlu kita garis bawahi
yaitu dalam transaksi murabahah ialah pembeli harus mengetahui harga pembelian
barang dan adanya kesepakatan atas keuntungan yang diperoleh penjual.

Misalnya, si fulan membeli unta 30 dinar, biaya-biaya yang dikeluarkan 5
dinar, maka ketika ia menawarkan untanya, ia mengataka : “Saya jual unta ini 50 dnar,
saya mengambil keuntungan 15 dinar.”5

C. Persyaratan Spesifik Dalam Murabahah

Cukup jelas bahwa transaksi yang berada dalam murabahah harus memenuhi
semua persyaratan umum yang juga diterapkan pada penjualan biasa. Persyaratan
spesifik berkenaan dengan transaksi murabahah yang sah berkenaan dengan barang
yang terkena peraturan murabahah, harga orisinal yang dibayarkan oleh penjual,
tambahan biaya apapun untuk menghitung total biaya yang akan menjadi dasar dari
murabahah, dan marjin keuntungan yang ditambahkan pada biaya yang telah
ditetapkan.6
Sedangkan syarat-syarat murabahah adalah sebagai berikut:

1. Harga awal yang harus dimengerti oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli).

Dalam akad murabahah, penjual wajib menyampaikan secara transparan harga
beli pertama dari barang yang akan ia jual kepada pembeli. Sedangkan pembeli
mempunyai hak untuk mengetahui harga beli barang. Persyaratan ini juga berlaku
bagi jual beli yang sejenis,seperti al-isyrak, al-tauliyah, al-wadli’ah.

5 Ir. Adimarwan A Karim, 2013, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
6 Ibid.hlm.339-340.

2. Besarnya keuntungan harus diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak,
penjual wajib menyampaikan keuntungan yang diinginkan dan pembeli
mempunyai hak untuk mengetahui bahkan menyepakati keuntungan yang akan
diperoleh oleh penjual. Jika salah satu dari kedua belah pihak tidak sepakat
terhadap keuntungan penjual, maka akad murabahah tidak terjadi.

3. Harga pokok dapat diketahui secara pasti satuannya. Seperti satu dirham, satu
dinar, seratus ribu rupiah, satu kilogram gandum, satu kwintal beras dan lain-lain.
Sebab dalam murabahah, dan dalam jual beli amanah lainnya, yang dikehendaki
adalah adanya transparasi antara harga pokok dan kemungkinan harga yang akan
diperoleh. Jika barang yang akan ditransaksikan tidak diketahui satuannya, maka
akan sulit menentukan keuntungan yang akan diperoleh. Sehingga murabahahpun
tidak terjadi.

4. Murabahah tidak bisa dicampur dengan transaksi ribawi. Pada jual beli barter
misalnya, sebuah barang yang dibeli dengan timbagan atau takaran tertentu
kemudian dibeli oleh orang lain dengan jenis barang yang sama dengan pembelian
pertama tetapi dengan takaran yang lebih banyak, maka hal tersebut disebut
dengan riba. Dalam transaksi murabahah kelebihan bukan disebut dengan
keuntungan, tetapi tetap dikatakan sebagai riba. Lain halnya jika barang tersebut
dibeli dengan mata uang kemudian dijual lagi dengan tambahan keuntungan. Atau
dibeli dengan barang dengan jenis tertentu, kemudian dibeli lagi oleh orang lain
dengan barang yang tidak sejenis. Maka ia tida diebut dengan riba.

5. Akad pertama dalam murabahah harus shahih. Jika pada pembelian pertama tidak
dilakukan dengan cara yang shahih, maka transaksi murabahah dianggap batal.
Senada dengan beberapa persyaratan di atas, Syafi’I Antonio menetapkan
persyaratan murabahah sebagai berikut:

1. Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah.
2. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
3. Kontrak harus bebas dari riba.
4. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang
sesudah pembelian.
5. Penjual harus menyampakan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,
misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.7

D. Struktur Murabahah

Pilihan-pilihan untuk melakukan murabahah akan dibahas secara singkat
sebagai berikut:

1. Perdagangan Langsung dengan pengelolaan bank
Perdagangan langsung oleh para pejabat bank adalah pilihan yang paling ideal
mengingat pemenuhan sifat dasar murabahah, tetap melibatkan bankir dalam bisnis
perdagangan ritel dapat menuntun ke permasalahan manajerial dan membuka
peluang yang besar untuk korupsi. Permasalahan ini dapat diselesaikan melalui
pengenalan kontrol internal yang efektif.

2.

Bank membeli melalui pihak ketiga/agen
Satu pilihan diantaranya adalah bagi bank untuk membeli barang melalui agen
pihak ketiga untuk mempertahankan persediaan atau membeli berdasarkan
permintaan nasabah atas kegiatan murabahah. Struktur murabahah ini lebih besar

7 M. Yazid Afandi,2009,Fiqih Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan
Syariah,Yogyakarta:Logung Pustaka

kemungkinannya untuk memenuhi tuntunan Syariah atas pengambilan kepunyaan
dan resiko komersial oleh bank untuk periode antara pembelian asset dari pemasok
dan penjualannya kepada nasabah murabahah.

3. Murabahah melalui nasabah sebagai wakil
Struktur perdagangan melalui nasabah sebagai wakil bank adalah cara yang
paling aman bagi bank untuk menghindari risiko-risiko yang berbasiskan
komoditas dan permasalahan-permasalahan terkait. Akan tetapi, perjanjian yang
demikian ini kemungkinan besar dapat menjadikan transaksi murabahah sebagai
pintu belakang bagi bunga dan karenanya diperlukan perhatian lebih untuk
menjaganya agar sesuai dengan syari’ah. Tuntutan yang paling utama adalah
barang berada dalam kepemilikan bank dan risikonya ditanggung pula oleh bank.
Selain itu, nasabah juga harus menjelaskan kepada pemasok perihal statusnya
sebagai wakil bank. Jika dalam “Murabahah” bank tidak membeli dan memiliki
barang serta hanya melakukan pembayaran untuk barang apa pun yang dibeli dan
diterima secara langsung oleh nasabah oleh pemasok/vendor, hal ini merupakan
pengiriman sejumlah uang atas nama nasabah, yang akan menjadi pinjaman
baginya dan keuntungan atas jumlah tersebut hanya akan menjadi bunga. Karena
bank islami pada umumnya menggunakan struktur ini.8

E. Permasalahan dalam murabahah

Pada umumnya murabahah diadopsi untuk memberikan kemudahan bagi
nasabah untuk melakukan suatu transaksi jual beli. Murabahah sebagaimana yang
digunakan dalam perbankan syariah pada prinsipnya didasarkan atas harga barang
serta berapa tambahan keuntungan yang diperoleh penjual (mark-up). Artinya
pembeli harus mengetahui tentang biaya-biaya terkait dan harga asli barang. Berbeda
dengan transaksi murabahah dalam literature klasik yang sifatnya masih sederhana,
dalam transaksi murabahah yang dilakukan perbankan syariah terdapat banyak
8 Muhammad Ayub,2009, Understanding Islamic Financial A-Z Keuangan syariah, Jakarta:Kompas Gramedia.

pertanyaan yang perlu kita diskusikan seperti : Bagaimana hukumnya pembiayaan
murabahah dengan tunda atau cicilan ? Bolehkah Bank mengambil denda bagi
nasabah yang terlambat membayar ? dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang perlu
didiskusikan .

1. Pembayaran dengan Tunda atau Cicilan

Para fuqaha tidak mempersoalkan keabsahan jual beli dengan pembayaran
tunda atau cicilan pada harga tunai. Perbedaan pendapat ulama terjadi pada harga
cicilan yang lebih tinggi dalam jual beli dengan pembayaran tunda. Para tokoh
fuqaha awal, seperti Malik dan Syafi’I, tidak menyetujui harga jual yang lebih
tinggi untuk jual beli dalam pembayaran tunda dan harga yang lebih rendah untuk
pembayaran tunai .9

Meskipun para ulama generasi awal tidak menyetujui harga yang lebih tinggi
pada jual beli dengan pembayaran tunda, para pengikut mazhab Hanafi, Syafi’I
dan beberapa penganut mazhab lain berpandangan bahwa kenaikan pada harga
jual beli dengan pembayaran tunda adalah boleh. Alasannya ialah pertama karena
tidak adanya dalil-dalil syariah yang melarangnya, kedua ada perbedaan antara
uang yang tersedia sekarang dengan uang yang tersedia di masa depan . dan ketiga
yaitu sebagai kenaikan harga tersebut sebagai biaya adiministrasi yang
dikeluarkan oleh pihak Bank.

Kemudian jika ditanyakan apakah ada batasan jumlah tambahan harga dalam
jual-beli secara tunda ?, maka jawabannya ialah jual beli secara tunai maupun
cicilan telah ditetapkan syariat dan tidak ada larangan. Hukum asal dalam
penetapan harga adalah tidak ada batasan , baik jual beli itu secara tunai maupun

9 Veithzal rivai dan Andria Permata Veithzal, op.cit., hlm 160.

cicilan.10 Namun, pihak bank hendaklah dalam menetapkan tambahan harga
(mark-up) menyesuaikan dengan harga barang serta biaya-biaya yang dkeluarkan
bank ditambah dengan tingkat keuntungan yang diharapkan tanpa adanya unsur
kezhaliman terhadap nasabah.

2. Uang Muka

Sebagian ulama berpendapat bahwa janji yang dilakukan pembeli kepada
penjual bahwa ia akan membeli suatu barang itu bersifat mengikat, karena itu
tidak diperlukan lagi uang muka dari pembeli sebagai tanda jadi.

Sebagian lagi beranggapan karena murabahah itu jual beli, maka penjual
(bank) dapat mensyaratkan sejumlah uang muka kepada pembeli (nasabah)
apabila ingin membeli barang. Jika transaksi ini jadi dilaksanakan, maka uang
muka ini menjadi sebagian dari harga yang dibayar. Tetapi, jika transaksinya batal,
maka uang akan dikembalikan kepada nasabah setelah diperhitungkan biaya
administrasi dan kerugian yang mungkin akan diderita bank akibat pembatalan
itu.11

3. Denda ketika terdapat kelalaian nasabah

Perbedaan penting dalam hal nasabah yang lalai dalam melakukan
pembayaran pada perbankan konvensional biasanya nasabah dikenakan sanksi
bunga tambahan entah nasabah bisa membayar atau tidak. Dalam perbankan
Syariah nasabah harus diberi waktu toleransi untuk melunasi jika ia tidak mampu,
sebagaimana firman Allah Swt :
10 Syekh Abdurrahaman As Sa’di, dkk, 2008, Fiqih al-bay’ wa asy-syira, Arab Saudi : Maktabah Madinah
11 Dr. Muliaman D. Hadad, 2011, Belajar Mudah Ekonomi Islam : Catatan Kritis Terhadap Dinamika
Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, Banten : Shuhuf Media Insani.

‫ن‬
‫ن ْ ن‬
‫ن‬
‫ة ْفنن نظ ذنر ة‬
‫سنر ض‬
‫سنر ض‬
‫ة ْونأ م‬
‫كاَ ن‬
‫ونإ ذ م‬
‫مي م ن‬
‫ن ْكذو ْع ك م‬
‫ة ْإ ذنلىَ ْ ن‬
‫ن‬
‫صد لكقواَ ْ ن‬
‫مو ن‬
‫م ْإ ذ م‬
‫م ْت نعمل ن ك‬
‫ن ْك كن مت ك م‬
‫خي مةر ْل نك ك م‬
‫تن ن‬
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai
dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih
baik bagimu, jika kamu mengetahui.”(Qs. Al-Baqarah : 280)

Penundaan semacam ini harus dilakukan, tanpa menambahkan beban
tambahan kepada nasabah. Namun, pada praktik transaksi murabahah yang terjadi
diperbankan syariah jika terdapat nasabah yang lalai dalam melakukan
pembayaran maka akan dikenakan denda. Hal ini disebabkan karena pihak bank
beranggapan hal ini nanti bisa menyebabkan celah bagi nasabah yang tidak ingin
membayar walaupun nasabah bisa melunasinya. Sanksi denda yang diberikan oleh
Bank Syariah merefleksikan kerugian yang diderita bank akibat tidak terbayarnya
utang tepat waktu.

Dalam kontrak murabahah Faisal Islamic Bank of Egypt (FIBE) dikatakan:
“Karena bank ini tidak berurusan dengan bunga, semua penundaan dalam
pembayaran anggsuran ketika harus dilunasi sesuai dengan kesepakatan tentu
mengakibatkan kerugian yang serius pada pihak bank, yang kemudian menuntut
kompensasi. Adalah berdasarkan aturan syariah bahwa tidak boleh ada kerugian
terjadi pada pihak mana pun (dalam kontrak), yang ini merupakan dasar
transaksi- transaksi.12 Oleh karena itu, kedua pihak harus sepakat bahwa dalam
hal penunggakan oleh pihak kedua dalam pemabayaran semua angsuran saat harus
dilunasi, maka Bank memiliki hak, untuk meminta kompensasi atas segala
kerugian yang diakibatkan oleh penunggakan ini.
Bahkan, Dewan Syariah Nasional mendukung adanya sangsi bagi nasabah
yang mampu namun sengaja memeprlambat pembayaran atau malah menunggak.
12 Veithzal rivai dan Andria Permata Veithzal, op.cit., hlm 159.

Tapi Dewan Syariah Nasional tidak setuju jika sangsi yang bersifat financial ini
menjadi milik bank, melainkan diberikan kesejahteraan social.
4. Khiyar dalam Penjualan Kembali

Bank wajib mememberikan barang kepada nasabah dalam kondisi yang
baik. Nasabah berhak menolak barang-barang yang cacat, kurang jumlahnya atau
tidak sesuai apa yang diharapkan.
Beberapa Bank menentukan dalam kontrak (akad) bahwa kecacatan apa
pun merupakan kewajiban pembeli jika ia memeriksanya sendiri, atau jika barangbarang tersebut didiskripsikan kepada pembeli (sedemikian rupa) guna
menghilangkan ketidaktahuan (mengenai barangnya) yang dapat menggiring
keperselisihan.13 Dalam kasus ini pembeli berhak untuk memperoleh pengurangan
harga atas kekurangan barang tersebut atau berhak untuk membatalkan akad.
Oleh sebab itu, dari sudut pandang hukum, jika barangnya cacat atau tidak
sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan, Khiyar al-Aib dan Khiyar Al-Wasf
akan tersedia bagi nasabah, dan jika ia menolak barang tersebut karena kualitas
yang lebih rendah sebelum pelaksanaan transaksi murabahah, barangnya dapat
dikembalikan ke pemasok dan barang berkualitas sesungguhnya dapat diperoleh
melalui kontrak (akad) Murabahah yang sama atau yang baru.
5. Mark-up versus Bunga
Berbeda dengan kontrak pinjmanan bank konvensional, mark-up pada
murabahah merupakan kontrak penjualan. Pada kontrak pinjaman bank
konvensional, ketika seseorang ingin membeli sebuah mesin untuk suatu usaha,
dia bisa meminjam uang kepada pihak bank dengan tingkat bunga tertentu untuk
membeli mesin tersebut atau meminta bank untuk membeli mesin tersebut dan
membayar kepada bank di waktu mendatang.
Permasalahan mark-up pada murabahah terletak pada imbalan kepada bank.
Jika hal itu adalah upah pinjaman maka hal tersebut sama dengan bunga. Pada sisi

13 Muhammad Ayub, op.cit, hlm 360-361

yang lain, jika hal tersebut adalah remunerasi 14 untuk jasa pelayanan yang
diberikan atau risiko yang ditanggung, hal tersebut dapat diterima. 15
Mengenai hal ini Nidal Alsayyed menyatakan “ We find the arrangement
per se does not contain any element of interest. Islam does not grant a time value
for money in contracts if money were exchanged for money that is the basis of
banning interest”16. Yang artinya, “Kami menemukan bahwa peraturan murabaha
semata tidak mengandung unsur bunga. Islam tidak memberikan nilai waktu uang
dalam kontrak jika uang yang ditukar dengan uang yang merupakan dasar dari
pelarangan bunga.
Murabahah digunakan untuk membantu seseorang untuk melakukan
pembelian. Di dalam prinsip Murabahah, bank membeli barang atas nama klien
dan kemudian menjualnya kembali pada harga yang lebih tinggi untuk menutup
biaya pembelian dan risiko kepemilikan pada saat periode transisi. 17 Pembeli dapat
melakukan pembayaran dengan cicilan maupun dengan melunasi diakhir periode.
Mark-up ini diberikan sebagai pertimbangan keuntungan yang didapat. Maka dari
itu hal yang paling membedakan antara bunga pinjaman dengan mark-up adalah
pada bank konvensional penetapan tingkat bunga tidak didasarkan atas nilai dan
biaya dari pekerjaan yang dilakukan pihak bank. Sedangkan pada murabahah,
mark-up sangat ditentukan dari harga barang serta biaya-biaya yang dikeluarkan
bank dan ditambah nilai keuntungan yang diharapkan pihak bank.

BAB III

14 Remunerasi = Imbalan
15 Ibrahim Warde, 2000, Islamic Finance Keuangan Islam dalam Perekonomian Global , Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
16 Nidal Alsayyed, 2010, The Uses and Misuses of Commodity Murabaha: Islamic Economic Perspective,
Malaysia : The Global University In Islamic Finance (INCEIF)17 Prof.Dr.H. Vethzal Rivai dkk, 2010, Islamic Financial Manajemen : Teori,konsep, dan Aplikasi, Bogor : Ghalia
Indonesia

Penutup
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat kita pahami bahwa murabahah adalah jual
beli yang menyatakan harga beli barang serta berapa keuntungan yang diperoleh. Jual beli
murabahah ini merupakan jual beli yang sudah umum digunakan pada masa klasik (abad
pertengahan), dan sekarang juga digunakan pada perbankan Islam. Transaksi murabahah pada
literature klasik dengan transaksi murabahah yang dilakukan perbankan memiliki beberapa
perbedaan, seperti pada proses transaksi, pada masa klasik penjual membeli barang dari
produsen, kemudian penjual menjual barang ke pembeli, sedangkan pada perbankan islam,
bank selaku penjual dapat mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari produsen
untuk dijual kembali kepada nasabah tersebut. Kemudian terkait status kepemilikan barang
pada masa klasik barang telah dimiliki penjual saat akad jual-beli dilakukan, sedangkan pada
praktik perbankan syariah barang belum jelas dimilki penjual saat akad jual beli dilakukan.
Meskipun praktik jual-beli murabahah klasik dengan praktik jual beli murabahah saat
ini memiliki beberapa perbedaan, pada hakikatnya perbankan islam sudah berusaha untuk
menerapkan prinsip syariah dalam perekonomian Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa
hadirnya perbankan islam di Indonesia bertujuan untuk menghapuskan praktik riba di
masyarakat.

Daftar Pustaka

-Affandi ,M. Yazid, 2009, Fiqih Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan
Syariah,Yogyakarta:Logung Pustaka.
- A Karim, Adimarwan, 2013, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada
- As Sa’di , Abdurrahaman, dkk, 2008, Fiqih al-bay’ wa asy-syira, Arab Saudi :
Maktabah Madinah
- Al sayyed ,Nidal, 2010, The Uses and Misuses of Commodity Murabaha: Islamic Economic
Perspective, Malaysia : The Global University In Islamic Finance (INCEIF)
- Ayub Muhammad, 2009, Understanding Islamic Financial A-Z Keuangan syariah,Jakarta :
Kompas Gramedia.
- Hadad, Muliaman D., 2011, Belajar Mudah Ekonomi Islam : Catatan Kritis Terhadap
Dinamika Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, Banten : Shuhuf Media
Insani.
- Ismail , Abdul Ghofar,2010, Money Islamic Banks and the Real Economy, Singapore :
Cangeage Learing
-Rivai, Veithzal dan Andria Permata Veithzal,2008, Islamic Financial Management, Jakarta
: Rajawali Pers.
- Rivai ,Vethzal dkk, 2010, Islamic Financial Manajemen : Teori,konsep, dan Aplikasi,
Bogor : Ghalia Indonesia
-Warde Ibrahim, 2000, Islamic Finance Keuangan Islam dalam Perekonomian Global ,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Fiqih Muamalat
Murabahah dalam Praktik Perbankan Syariah Saat ini

Dedy Rahmatullah (13810018)
Faizatun Masruroh (13810034)
Kholik Sofio Noto C (13810076)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015