Filsafat manusia menurut muhammadiyah II

MODUL PERKULIAHAN

Filsafat
Manusia
Titik Tolak Filsafat
Manusia dan Teori-teori
Filsafat Manusia (Metode,
Aliran dan Corak
Pemikiran
Fakultas

Program Studi

Psikologi

Psikologi

Tatap Muka

Kode MK


Disusun Oleh

02

MK10230

Ahmad Sabir, M.Phil.

Abstract

Kompetensi

Titik tolak sebagai landasan pemikiran
filsafat manusia serta teori-teori yang
muncul di dalamnya, yang bisa dilihat
dari berbagai metode, aliran dan cork
pemikiran para filsuf tentang manusia

Mahasiswa dapat memahami ltitik tolak
filsafat manusia dan pemikiran filsafati

yang terkandung di dalamnya

Titik Tolak Filsafat Manusia
Landasan Filsafat Manusia
Fisafat selalu tergantung dari konteks kebudayaan dimana dia berkembang, namun
dia tetap merupakan sesuatu yang sama sekali berlainan dengan jumlah atau perpaduan
segala pengetahuan dari suatu zaman. Filsafat tidak dituntut untuk mempergunakan
kesimpulam-kesimpulan sebagai titik tolak yang wajib bagi pemikirannya. Maka filsafat
manusia seharusnya bertolak dari pengetahuan dan pengalaman manusia, serta dunia yang
secara wajar ada pada setiap individu yang dimiliki oleh semua orang secara bersamasama.
Filsafat manusia pada dasarnya tidak mampu menemukan fakta-fakta baru, tidak
memberikan informasi baru mengenai manusia. Cuma filsafat manusia berusaha
memberikan ‘insight’ radikal mengenai fenomen-fenomen yang telah diketahui dengan
cukup pasti. Oleh karena itu, filsafat selalu bersifat refleksi (Gabriel Marcel:reflexion
seconde). Refleksi ialah pengetahuan manusia jika melengkungkan diri kembali kepada diri
sendiri dan merenungkan kesadaran mengenai diri, mengenai kegiatannya, dan mengenai
objeknya.
Berhubungan dengan sifat rekleksi itu, sesaatpu filsafat manusia tidak boleh dan
tidak dapat lepas dari fenomen-fenomen. Selalu berefleksi mengenai kenyataan manusiawi
dan mengenai manusia seluruhnya. Satu gejalapun tidak boleh diabaikan. Tidak ada jalan

lain untuk menemukan inti realitas dan pengalaman dasar daripada melalui pengamatan,
atau apa yang disebut Merleu Ponty sebagai la perception. Dan tidak ada hal lain yang mau
dijelaskan kecuali realitas kehidupan manusia yang konkret.
Di dalam filsafat manusia, refleksi itu dilaksanakan menurut bermacam-macam
metode. Masing-masing metode sebenarnya juga memiliki latar belakang filosofis,
setidaknya menghasilkan suatu filsafat pengetahuan atau epistemologi sendiri, bahkan
kebanyakan malah mengembangkan suatu gaya filsafat sistematis yang lengkap. Itu karena
metode dan objek dalam ilmu pengetahuan mana saja tidak dapat dipisahkan dan saling
ditentukan. Hanya diajukan beberapa metode pokok, tanpa menyinggung filsafat yang
melatarbelakanginya. Oleh sebab itu, untuk lebih memahami titik tolak filsafat manusia dapat
juga kita lihat dari beragam metode yang dipakai (kebanyakan) dalam refleksi filsafati
masing-masing pemikiran filsafat terhadap kenyataan dari pengamatan sejauh yang
dihayati.

201
2

2

Nama Mata Kuliah dari Modul

Dosen Penyusun

Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

Metode-metode filsafat manusia
Untuk merefleksikan kenyataan tentang manusia dan kehidupannya, bagaimanapun
tetap membutuhkan metode (jalan/cara) agar abstraksi filsafat dapat dipertanggung
jawabkan dan dan dikomunikasikan sebagai sebuah jalan filsafat. Karena keluasan dan
kedalaman objeknya, refleksi filsafati tentang manusia akhirnya memunculkan banyak
ragam disamping karena penghayatan yang berbeda-beda dalam setiap pikiran reflektif
tentang manusia.
Ada banyak metode yang muncul dalam penghayatan, refleksi dan pemikiran filsafati
tentang manusia dalam upaya menguak hakikat dan inti manusia, terlebih karena subjek
(sebagai pemikir filsafat) sendiri adalah manusia yang harus juga berhadapan dengan
dirinya. Kebanyakan dari metode yang muncul dalam filsafat manusia sangatlah subjektif
sifatnya. Berikut ini akan di deskripsikan sedikit tentang beragam metode yang pernah ada
dalam filsafat manusia (tidak menutup kemungkinan untuk munculnya metode baru).
A. Metode Kritis (Negatif)
Kritis berarti tidak menerima segala sesuatu dengan begitu saja sebelum diselidiki

dan kemudian dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak bisa dipertahankan. Metode kritis
bertolak dari pendapat filsuf-filsuf lain, atau juga dari teori-teori ilmu-ilmu lain, atau pula dari
keyakinan-keyakinan sehari-hari yang agak sentral. Berbagai refleksi yang pernah ada, ilmuilmu atau keyakinan-keyakinan itu diselidiki konsistensinya apakah unsur-unsurnya dapat
disesuaikan satu-sama lain atau tidak, atau jika mungkin ditunjukkan berbagai kontradiksikontradiksi di dalamnya. Atau diperlihatkan bahwa jika jalan demikian dilangsungkan dengan
konsekuen, akan dicapai kesimpulan-kesimpulan yang terang-terangan absurd. Atau juga
dibuktikan bahwa pandangan tersebut tidak dapat dicocokkan dengan data-data lain.
Sehingga dengan jalan demikian disusun suatu pemahaman sendiri yang lebih memuaskan.
Pada umumnya, metode ini tidak membawa orang ke arah pemahaman yang benarbenar positif. Kesimpulan-kesimpulan hanya tercapai karena pemecahan-pemecahanlain
disingkirkan satu-persatu, dengan metode eliminasi.
B. Metode Analitika Bahasa (Linguistic Analysis)
Metode analitika bahasa bertitik tolak dari bahasa sehari-hari (the ordinary
language), menyelidiki hubungan antara bahasa dan pikiran, dan guna bahasa bagi ilmu
pengetahuan dan filsafat. Sebagai metode, analitika bahasa terutama meneliti bermacammacam ’permainan bahasa’ (language game) yang de facto dipergunakan orang di berbagai
bidang. Lalu berusaha membahas cara pemakaian bahasa itu; dan membersihkan darinya
kekaburan, unsur dwiarti dan metaforis, dan semua corak bukan logis. Sampai akhirnya
201
2

3


Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Penyusun

Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

berusaha pula menyusun ’bahasa’ buatan yang serba logis yaitu ’logika terformalisir’ dan
logika simbolik (matematical atau simbolic logic).
Bahaya metode ini adalah membekukan bahasa yang sudah ada, dengan tidak
mengizinkan atau mengakui perkembangan pengungkapan dan pemahaman yang baru dan
kreatif. Apalagi pengertian ’apakah yang logis itu’ pada umumnya terlalu ditentukan oleh
gaya ilmu eksakta. Padahal setiap ilmu memiliki logikanya sendiri-sendiri.
C. Metode Fenomenologis
Metode fenomenologis dirintis oleh Husserl (1859-1938) dengan semboyan ”zuruck
zu den Sachen selbst“ artinya ’kembali kepada hal-hal itu sendiri’ atau kepada ’apa adanya’ ,
tanpa mulai dengan salah satu interpretasi apriori. Perincian metode ini berlain-lainan dan
tergantung pada filsuf yang mempergunakannya. Bentuk yang paling berpengaruh adalah
seperti yang sekarang dipakai oleh mazhab ’fenomenoloi eksistensial’ yang diusung oleh
para filsuf seperti Heidegger, Merleu Ponty, Sartre dll.
Setiap pengungkapan jelas, entah sehari-hari entah ilmiah, semua disebut oleh

Merleu Ponty sebagai suatu expression seconde, yang semuanya akhirnya berakar di dalam
suatu pengalaman langsung yang bersifat pra-ilmiah dan pra-reflektif. Pengalaman yang asli
itu isinya utuh dan kaya, tetapi dalam pengungkapannya baik secara biasa maupun ilmiah
hanya muncul secara sempit dan cacat.
Fenomenologi pada Husserl berawal dari motif Zu den Sachen Selbst (kembali
kepada bendanya sendiri). Pada motif ini Husserl hendak berupaya mendekati fenomen
semurni mungkin. Dengan fenomenologi, Husserl meneruskan proyek epistemologi
Cartesian sekaligus mengoreksi dan memadukan dengan empirisme Hume dan kritisisme
Kant. Ia hendak mewujudkan filsafat sebagai ilmu rigorus, yaitu sebuah filsafat tanpa
pengandaian. Untuk itu, filsafat harus bertolak dari kesadaran. Tetapi, berbeda dengan
Descartes yang memandang cogito sebagai sesuatu yang tertutup, kesadaran dipahami
Husserl sebagai bersifat intensional, yakni mendarat kepada sesuatu yang ’menampak’
dihadapan dan membiarkannya ’berbicara’ sendiri. Ia juga menolak pembedaan noumenon
dan phainomenon yang dibuat Kant. Keseluruhan realitas terberi dalam kesadaran manusia
dan tak ada yang tersembunyi. Pengetahuan absolut dapat diperoleh dengan reduksi, yaitu
menyisihkan unsur kontingen yang berupa sikap alamiah dalam pengalaman dan hanya
menyisakan unsur yang niscaya, yaitu apa yang benar-benar ditampilkan dalam kesadaran
(Bertens 2002:109-115).
Metode fenomenologis berusaha menemukan kembali pengalaman asli dan
fundamental itu melalui beberapa langkah atau penjabaran tertentu;

(a) Gejala atau fenomen hanya diselidiki sejauh disadari secara langsung
dan spontan sebagai yang laindari kesadaran sendiri.
201
2

4

Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Penyusun

Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

(b) Fenomen itu hanya diselidiki sejauh merupakan bagian dunia yang
dihidupi sebagai keseluruhan (lived-world), dan bukan menjadi objek
bidang ilmiah yang terbatas.
Maka segala gejala dan pengungkapannya, entah ilmiah entah sehari-hari, dianalisis
menurut prinsip-prinsip tadi. Lalu dibersihkan dari segala penyempitan dan interpretasi yang
berat sebelah dan terlalu dangkal, sampai akhirnya ditemukan dasar asali untuk gejalagejala itu. Dengan proses penyelidikan itu lama-kelamaan tampaklah kembali susunan dunia
manusiawi yang benar, yang selalu telah dialami.

Pada Heidegger dan Sartre metode fenomenologis itu diperluas dan dikembangkan
menjadi metode yang sungguh-sungguh metafisis.
D. Metode Transendental (Metafisik)
Metode ini bertitik tolak dari fakta kegiatan berbicara dan berpikir di dalam manusia.
Di dalam setiap pernyataan termuat pengandaian-pengandaian yang ikut menentukan
secara operatif (dengan aktif bekerja), dan walaupun hanya hadir secara implisit saja,
pengandaian-pengandaian itu ikut di-ia-kan di dalam setiap pengungkapan. Maka, analisis
transendental menyelidiki pengandaian-pengandaian operatif yang implisit itu, dan mencari
syarat-syarat apriori (the apriori conditions) yang mutlak perlu untuk memungkinkan kegiatan
atau pernyataan seperti itu, baik pada pihak manusia sendiri yang berbicara, maupun pada
pihak objek yang dinyatakan. Dengan demikian, ditemukan dan di-eksplisitasikan strukturstruktur hakiki di dalam manusia dan dunianya yang merupakan akar mutlak-konstitutif untuk
kegiatan manusia itu. Tahap ini disebut ’reduksi transendental’.
Tahap kedua adalah ’pemutarbalikan’ (retortion), sebagai pembuktian keharusan
mutlak yang berlaku untuk syarat-syarat apriori tadi. Setiap pengingkaran atau

201
2

5


Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Penyusun

Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

Bagian Sampul

201
2

6

Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Penyusun

Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

Bagian Isi


Plagiarism
201
2

7

Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Penyusun

Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

Daftar Pustaka
201
2

8

Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Penyusun

Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

201
2

9

Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Penyusun

Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id