PEMANFAATAN KOMUNIKASI PEMASARAN BERBASI (1)

PEMANFAATAN KOMUNIKASI PEMASARAN BERBASIS DIGITAL
TERHADAP BRAND IMAGE MELALUI MEDIA SOSIAL

Oleh:
Wahyu Setiyaningrum

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2017
0

Daftar Isi

Bab I Pendahuluan.................................................................................................. 2
Bab II Telaah Pustaka..............................................................................................6
1.1
Citra Merk (Brand Image)...............................................................6
1.2
Perilaku Konsumen..........................................................................7
1.3

Komunikasi Pemasaran Berbasis Digital.......................................10
Bab III Pembahasan...............................................................................................12
1.4
Menangkal
Informasi
Negatif
Terhadap
Brand
Image..............................12
1.5
Meningkatkan
Brand

Image

Melalui

Melipatkandakan

Informasi.........................................................................................................14

Bab IV Kesimpulan................................................................................................15
Daftar Pustaka........................................................................................................16

Bab I
Pendahuluan

1

Media sosial adalah sebuah alat untuk mengembangkan sebuah bisnis yang
mampu menjangkau pelanggan dan calon pelanggan secara cepat dengan ruang
lingkup yang sangat luas. Pengguna internet di dunia saat ini mencapai 3,773
milyar dan pengguna sosial media telah mencapai 2,789 milyar dan untuk di
Indonesia telah mencapai 132 juta pengguna internet aktif dan pengguna media
sosial 106 juta, (Kominfo, 2017). Kondisi ini menjadikan media sosial menjadi
sangat penting untuk dijadikan fokus dalam membangun citra merk perusahaan.
Dari 106 juta pengguan media sosial di Indonesia jumlah pengguna
youtube menempati pengguna tertinggi sebesar 49%, selanjutnya pengguna
facebook sebesar 48%, disusul instagram sebesar 39%, twitter 38%, whatsapp
38%, google 38%, selanjunya data lengkap pengguna media sosial disajikan pada
tabel berikut ini:


No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Tabel 1
Tabel Pengguna Media Sosial di Indonesia
%
Media Sosial
Pengguna

Youtube
49%
Facebook
48%
Instagram
39%
Twitter
38%
Whatsapp
38%
Google
36%
FB Messenger
31%
Line
30%
Linkedin
28%
BBM
26%

Pinterest
22%
WeChat
21%

Data diatas menggambarkan betapa pesatnya pertumbuhan pengguna
internet di Indonesia. Hal ini merupakan peluang bagi perusahaan yang bergerak

2

dalam industri apapun baik barang maupun jasa. Apabila dahulu pemasaran dan
promosi dilakukan secara offline, untuk saat perlu juga di buat perubahan atau
bahkan divisi khusus untuk mengelola akun sosial maupun website perusahaan.
Karena website maupun akun sosial yang di kelola dengan sungguh – sungguh
dan secara profesional akan menghasilkan perubahan yang signifikan bagi
pertumbuhan omset penjualan maupun citra merk perusahaan tersebut. Seperti
contohnya divisi marketing komunikasi saat ini sudah banyak perusahaan yang
memasukkan marketing plan di dalam sosial media kedalam job desk marcomm.
Bahkan banyak perusahaan yang mengadakan interaksi guna membina hubungan
baik dengan konsumen melakukan serangkaian kuis yang diadakan dalam sosial

media seperti facebook, instagram, maupun twitter.
Sosial media juga sangat efektif dalam penyampaian informasi secara
massal. Perusahaan dapat menginformasikan segala promosi maupun kegiatannya
melalui akun sosial media yang mereka miliki. Seperti saat perusahaan
mengadakan kegiatan CSR donor darah. Untuk menginformasikan adanya
kegaiatan donor darah dan ajakan kepada pelanggan maupun non pelanggan untuk
donor darah dengan mudahnya mereka dapat menulisnya di dalam sosial media.
Mereka juga dapat berinteraksi dengan para audience melalui komentar –
komentar yang dituliskan. Hal ini sangat efektif sekali karena perusahaan dapat
membidik segmennya secara luas. Mereka juga dapat memilih atau menyeleksi
segmen yang diinginkan.
Inovasi baru dalam berpromosi di era digital saat ini juga dapat dilakukan
dengan berpromosi melalui game online. Melalui game online perusahaan dapat

3

memunculkan promosi atau menautkan website perusahaan melalui pop up.
Promosi melalui game online ini juga sangat efektif dalam membangun brand
image suatu perusahaan. Segmentasi yang diinginkan juga dapat diseleksi karena
kita akan memiliki data konsumen lewat game online tersebut.

Internet sangat mudah diakses kapanpun, dimanapun, dan oleh siapapun.
Berbagai informasi dan berita di dapatkan dalam waktu sedetik. Hal ini yang
kemudian menjadikan masyarakat sekarang sangat cerdas dan sulit untuk kita
bohongi. Perubahan perilaku konsumen yang sangat dinamis membuat tuntutan
terhadap para pemilik perusahaan harus meninggalkan cara lama dalam
membangun brand image dan beralih ke era yang baru, era yang sangat cepat dan
praktis yaitu era digital. Dalam era digital membangun brand image dapat
dilakukan melalui berbagai sosial media seperti twitter, facebook, instagram, path.
Hampir setiap orang di dunia saat ini sangat gemar mengunggah aktivitas
sehari – hari mereka ke dalam sosial media layaknya selebriti. Bahkan saat
mereka sedang makan berada di restaurant seringkali melakukan ritual foto
makanan kemudian di unggah ke media sosial mereka dengan tidak lupa
mencatumkan nama dan posisi restaurant tersebut. Hal ini tentu saja sangat
menguntungkan bagi penciptaan brand image suatu perusahaan. Tidak perlu
mengeluarkan banyak biaya promosi, hanya mendesain tema resturant seunik
mungkin,dengan presentasi makanan yang menarik serta yang paling penting
menjaga kualitas rasa, maka secara otomatis para pelanggan terutama segmen
anak muda akan langsung mencari restaurant tersebut dan menyebar luaskannya
di jejaring media sosial.


4

Hal ini berlaku untuk perusahaan apapun tidak hanya yang bergerak di
bidang kuliner saja, pariwisata seperti museum, hotel, atau tempat bermain dapat
memanfaatkan anemo masyarakat yang gemar sekali mengunggah kegiatan
mereka di media sosial. Tidak hanya konsumen, dalam era digital saat ini terdapat
pula para blogger yang dapat menjadi perpanjangan tangan perusahaan untuk
berpromosi dan pembentukan brand image perusahaan. Cukup dengan
memberikan complimentary kepada mereka untuk menikmati fasilitas bisnis yang
kita jual, mereka akan merekam, memotret, menulis dan mengunggahnya ke
dalam media sosial.
Namun perusahaan juga harus sangat berhati – hati, karena perkembangan
digital yang sangat pesat ini menjadikan para konsumen menjadi lebih sensitif.
Kebebasan berpendapat menjadikan mereka dengan mudahnya dapat berkomentar
positif maupun negatif. Tentunya mereka akan menuliskan komentar positif saat
merasa puas dengan rasa maupun pelayanan suatu tempat wisata atau kuliner, dan
sebaliknya mereka akan berkomentar negatif atau sekedar memberikan kritikan
saat mereka tidak mendapatkan kepuasaan dalam mengkonsumsi suatu hal yang
disajikan oleh perusahaan tersebut. Hal ini dapat merugikan perusahaan dalam
jangka panjang apabila tidak segera di tangani secara optimal.

Penanganan komentar negatif pada media sosial sangat berbeda dengan
penanganan komentar negatif terhadap perusahaan secara offline. Pada media
sosial komentar negatif sangat cepat menyebar secara masiv atau sering disebut
viral. Apabila komentar negatif tersebut telah menjadi viral maka penanganannya

5

akan membutuhkan strategi khusus agar counternya atas komentar negatif dapat
sampai kepada audience yang diinginkan.

Bab II
Telaah Pustaka
Telaah pustaka dalam tulisan ini dijelaskan dalam tiga bagian, pertama
membahas tentang citra merk, kedua tentang perilaku konsumen, dan yang
terakhir adalah komunikasi pemasaran berbasis digital. telah pustaka ini
dirumuskan menggunakan literatur dari jurnal dan sumber lain yang relevan
terhadap pembahasan masing-masing topik.

1.1


Citra Merk (Brand Image)
Citra merk telah lama dikenal dalam konsep penting pemasaran, K. L.

Keller (1998). Situs web dan internet branding efektif dalam mentransfer citra
merk dan hubungan dengan pelanggan potensial dan calon pelanggan dari suatu
perusahaan, Chen and Barnes (2007). Menurut Mao (2010), citra merk memegang
peranan penting dalam membangun sebuah merk.Farquhar (45) menunjukkan tiga
elemen penting dalam membenagun merk yang kuat dengan konsumen, Antara
lain : 1. Evaluasi merk positif, 2. Citra merk positif, 3. Citra merk yang konsisten.
Terdapat pendapatan lain terhadap citra merk dalam literatur ilmiah.
Definisi citra merk menurut K L Keller (1993) adalah persepsi tentang
merk adalah cerminan dari asosiasi merk yang dimiliki dalam benak konsumen.
Leone et al. (2006) mendefinisikan citra merk sebagai persepsi organisasi yang
tercermin dalam asosiasi yang ada dalam benak konsumen. Juga didefinisikan

6

sebagai kombinasi antara persepsi konsumen dan kepercayaan tentang merk,
Campbell (1993). Sedangkan Aaker (1991) mendefinisikan citra merk sebagai
kumpulan asosiasi merk yang terkait dengan ingatan terhadap merk, biasanya

dengan cara yang berarti. Dan dapat pula didefinisikan sebagai persepsi tentang
merk yang tercermin dari kumpulan asosiasi yang konsumen hubungkan ke nama
merk dalam benak atau ingatan mereka. disisi lain Kotler and Armstrong (1996)
mendefinisikan citra merk sebagai seperangkat keyakinan yang dimiliki tentang
merk tertentu. Bivainiené (2007) mendefinisikan citra merk sebagai seperangkat
rangkaian berwujud dan tidak berwujud yang multifungsi, yang memungkinkan
konsumen untuk mengidentifikasi produk.

1.2

Perilaku Konsumen.
Menurut Mowen and Minor (2001) perilaku kosumen didefinisikan

sebagai studi tentang unit pembelian (buying units) dan proses pertukaran yang
melibatkan perolehan, konsumsi, dan pembuangan barang, jasa, pengalaman, serta
ide – ide. Sedangkan Solomon, Bamossy, Askegaard, and perspective (2010)
mendefinisikan perilaku konsumen sebagai studi tentang proses yang terlibat saat
individu atau kelompok memilih, membeli, menggunakan, atau membuang
produk, layanan, gagasan atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan
keinginan.
Definisi diatas mengandung sejumlah konsep penting. Yang pertama yaitu
“pertukaran”, Seorang konsumen tidak dapat mengelak dari proses pertukaran
(exchange process) dimana segala sumber daya di transfer diantara kedua belah

7

pihak. Menurut Mowen and Minor (2001) pertukaran merupakan unsur mendasar
dari

perilaku

konsumen.

pertukaran

terjadi

antara

perusahaan

dengan

konsumennya, disamoing itu juga dapat terjadi di antara perusahaan pada situasi
pembelian industrial. Akhirnya pertukaran juga terjadi di antara konsumen sendiri.
Yang kedua yaitu “buying unit” dalam definisi diatas Mowen menggunakan istilah
buying unit daripada istilah konsumen. Hal ini karena pembelian oleh kelompok
maupun individu.
Definisi kita tentang perilaku konsumen juga menyatakan bahwa proses
pertukaran melibatkan serangkaian langkah-langkah, dimulai dengan tahap
perolehan atau akuisisi (acquisition phase), lalu ke tahap konsumsi (consumption
phase), dan berakhir dengan tahap disposisi (disposition phase) produk atau jasa.
Dalam tahap perolehan ini para peneliti menganalisis faktor – faktor yang
mempengaruhi pilihan produk dan jasa.
Salah satu faktor yang berkaitan dengan pencarian dan penyeleksian
barang serta jasa adalah simbolisme produk (product symbolism), yaitu orang
biasanya ingin mencari sebuah produk untuk mengekspresikan diri mereka kepada
orang lain tentang ide – ide tertentu dan arti diri mereka. Tahap konsumsi dan
disposisi dari proses pertukaran hanya sedikit sekali memperoleh perhatian dari
para peneliti perilaku konsumen. Dalam tahap konsumsi para peneliti
menganalisis bagaimana para konsumen sebenarnya menggunakan produk atau
jasa dan pengalaman yang dilalui mereka saat menggunakannya. Pengalaman
konsumsi merupakan bagian yang paling penting pada industri jasa. Pada
beberapa industri seperti restaurant, taman hiburan, dan promosi konser musik,

8

pengalaman konsumsi merupakan alasan untuk melakukan pembelian. Tahap
disposisi mengacu pada apa yang dilakukan oleh seorang konsumen ketika
mereka telah selesei menggunakannya. Hal ini juga dapat menunjukkan tingkat
kepuasan konsumen setelah melakukan pembelian barang atau jasa.
Konsumen dalam melakukan pembelian memiliki beberapa faktor dalam
pengambilan keputusannya yaitu, faktor emosional yaitu kondisi konsumen
mengambil keputusan tanpa melalui logika rasional yang kuta, selanjutnya faktor
situasi yaitu konsumen dalam mengambil keputusan pembelian didasari oleh
situasi sosial disekitarnya, selanjutnya adalah faktor nilai ekonomis yaitu manfaat
dan keuntungan yang diperoleh konsumen dan yang terakhir adalah faktor, inovasi
yaitu nilai kebaruan dari sebuah produk dibandingkan dengan produk lain,
Peranginangin (2016).
Seperti layaknya ilmu sosial, perilaku konsumen juga menggunakan
metode seta prosedur riset dari psikologi, sosiologi, ekonomi, dan antropologi.
Untuk menggeneralisasikan riset perilaku konsumen di lakukan berdasarkan tiga
perspekstif

riset

yang

bertindak

sebagai

pedoman

pemikiran

dan

pengidentifikasian faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku perolehan
(akuisisi) konsumen. ketiga perspektif tersebut adalah 1. Perspektif pengambilan
keputusan, 2. Perspektif pengalaman. Dan 3. Perspektif pengaruh perilaku.
Perubahan perilaku konsumen sedikit banyaknya juga diengaruhi oleh
perubahan media sosial. Beberapa penyebabnya antara lain masyarakat dapat
dengan cepat mengakses sumber informasi dan sumber informasi tersebut dapat
pula dengan cepat diakses oleh masyarakat. Hal ini yang kemudian dapat

9

membawa perubahan perilaku bagi konsumen yang berdampak pada keputusan
pembelian. Yang kedua adalah akibat akumulasi informasi yang sejenis (informasi
berlimpah dnegan keragaman yang terbatas) sikap terhadap sesuatu yang baik atau
yang buruk dapat dengan sangat cepat terbentuk. Yang ketiga masyarakat tidak
mengutamakan informasi dari otoritas produksi, namun mengandalkan jejaring
sesama konsumen. Perolehan informasi dengan cara ini yang sangat sensitif dan
harus diperhatikan oleh perusahaan. Karena dengan mengandalkan jejaring
sesama konsumen yang

biasa kita sebut dengan WOM ini berbasis pada

pengalaman yang didapat oleh konsumen. sedangkan pengalaman tersebut bersifat
subyektif dan tidak sama antara satu dengan yang lain. Untuk antisipasi artinya
perusahaan harus semaksimal mungkin menjaga konsumen untuk tidak komplain
atau memastikan konsumen memperoleh kepuasan dnegan produk dan jasa kita.
Yang keempat akibat membanjirnya informasi, masyarakat menyukai informasi
yang dikemas dalam bentuk hiburan seperti narasi, fantasi drama, sehingga
mengemas komersial pun harus mempertimbangkan logika hiburan. Yang kelima
masyarakat terekspos lebih dari 1 account media sosial dan medium digital
lainnya, sehingga produsen perlu mempertimbangkan ini dengan konsep
integrated sosial media management.

1.3

Komunikasi Pemasaran Berbasis Digital
Komunikasi pemasaran berbasis digital memiliki signifikansi yang cukup

kuat terhadap audiens yang dijangkaunya. Komunikasi pemasaran berbasis digital
mampu masuk kedalam ruang pribadi pelanggan dan potensial pelanggan yang

10

selanjutnya akan mencerna informasi yang diterima menjadi dasar-dasar dalam
mengambil keputusan pembelian.
Konsep komunikasi pemasaran berbasis digital atau sering menjadi sangat
penting karena melalui komunikasi pemasaran berbasis digital perusahaan mampu
melakukan pencatatan dan melakukan analisis tentang perilaku konsumen
(profiling), Corniani (2006). Dengan kemampuan perusahaan melakukan profiling
konsumen maka perusahaan dapat melakukan stratgei yang tepat dalam
melakukan rekayasa perilaku untuk kepentingan perusahaan.
Komunikasi pemasaran berbasis digital yang efektif akan mampu
melipatgandakan informasi secara cepat dan akurat, konsep ini sering di sebut
dengan Electronic Word of Mouth, (E-WOM). Efektifitas E WOM dalam
perusahaan

sangat

bergantung

terhadap

sumber

informasinya,

bauran

informasinya, dan volume informasi yang diberikan kepada konsumen, López and
Sicilia (2014).
Selain sisi positif dari pemasaran berbasis digital, ada juga sisi negatifnya
atau sering disebut sebagai Negative E-WOM. terjadinya Negative E-WOM akibat
dari adanya ketidakpuasan terhadap produk dan layanan perusahaan. Selain
ketidakpuasan terhada produk dan layanan E WOMnegatif juga dapat muncul
dari komentar media ekternal perusahaan, Ozboluk and Dursun (2016).
East, Hammond, and Lomax (2008), menyatakan bahwa positif E Wom
terjadinya karena adanya kesamaan, perbuatan baik yang dilakukan, dan integritas
yang dapat dipercaya, sedangkan negative E Wom terjadi karena adanya
ketidaksesuaian antara pesan yang disampaikan dan pesan yang diterima sehingga

11

memberikan negative E WOM yang terus menyebar dan sangat sulit untuk
dibendung.

Bab III
Pembahasan
Dalam bab 3 pembahasan dibagi menjadi dua bagian yaitu sub bab 3.1
untuk menjawab pertnyaan “Jelaskan berdasarkan pemahaman Anda, bagaimana
komunikasi pemasaran berbasis digital dapat dimanfaatkan untuk menangkal
”informasi menular” yang tak menguntungkan bagi brand image, yang tersebar
luas melalui jaringan social media” dan sub bab 3.2 untuk menjawab pertanyaan
“Jelaskan pula, bagaimana melipatgandakan ”informasi menular”, yang dapat
melejitkan brand image yang positif ?”

3.1

Menangkal Informasi Negatif Terhadap Brand Image
Berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan pada bab 2 bahwa penggunaan

komunikasi pemasaran dapat dilakukan untuk menangkal informasi negatif
terhadap brand image perusahaan. Menangkal informasi negatif yang terjadi pada
perusahaan dapat dilakukan dengan memberikan informasi yang seimbang
berdasarkan pengalaman yang dimiliki perusahaan. Menangkal informasi yang
negatif

dapat

dilakukan

menggunakan

media

internal

perusahaan

dan

menggunakan media eksternal perusahaan. Keduanya berjalan beriringan dibawah

12

pengawasan perusahaan sehingga target untuk meningkatkan kembali citra merk
dapat cepat terwujud.
Perusahaan harus mampu memantau dan mengontrol media sosial agar
penyebaran negative e WOM dapat cepat terdeteksi. Menangkal informasi negatif
juga dapat dilakukan dengan menggunakan orang yang menjadi panutan dalam
dunia digital (online opinion leader), Zhang (2015). online opinion leader adalah
orang yang pendapatnya memiliki pengaruh terhadap perubahan perilaku orang
lain. online opinion leader dapat muncul dari eahlian seseorang atau muncul dari
kharisma yang dimiliki baik secara agama maupun secara sosial.
Pada umumnya pengguna sosial memiliki komunitas-komunitas diskusi
yang sesuai dengan minat masing-masing penggunanya. Pada komunitas ini
perusahaan dapat masuk baik secara langsung, menggunakan media eksternal, dan
menggunakan opinion leader untuk mempengaruhi komunitas-komunitas diskusi.
Kemampuan

meyakinkan

anggota

komunitas

–komunitas

diskusi

akan

memberikan dampak yang sangat luas karena melalui komunitas-komunitas ini
nantinya akan melahirkan Postive E WOM yang akan menguntungkan
perusahaan.
Munculnya komunitas-komunitas diskusi yang akan menjadi advocate atau
embela perusahaan akan meningkatkan citra perusahaan. Peningkatan citra
perusahaan secara digital harus segera dibarengi dengan peningkatan kualitas
produk dan layanan perusahaan. Menangkal informasi negatif terhadap citra merk
perusahaan dilakukan secara simultan mengganakan online dan offline strategi.

13

3.2

Meningkatkan Brand Image Melalui Melipatkandakan Informasi
Meningkatkan citra merk perusahaan melalui melipatgandakan informasi

atau sering disebut positive electronic word of mouth (Positive E WOM). Positive
e WOM

dapat berjalan efektif karena adanya pengalaman yang positif yang

dialami oleh konsumen atau pihak lain yang berhubungan dengan produk ataupun
layanan perusahaan, Pourabedin and Migin (2015). Pengaalaman positif yang
yang dialami oleh konsumen ataupun stakeholder perusahaan akan disebarluaskan
secara sukarela secara online, hal ini akan menjadi viral dan menyebar secara
masive, kondisi ini akan sangat menguntungkan perusahaan.
e WOM positif dicerminkan oleh peningkatan nilai positif dalam diri,
adanya manfaat sosial, menoong perusahaan, melepaskan hal negatif, perhatian
terhadap konsume lainnya, dan pencarian informasi positif, Praharjo, Wilopo, and
Kusumawati (2016). Positive e WOM adalah salah satu cara yang sangat
berpengaruh dalam meningkatkan persepsi konsumen dan secara efektif
meningkatkan pengetahuan merk (brand knowledge) dan selanjutnya akan
meningkatkan citra merk perusahaan.
Meningkatkan citra merk juga dapat dilakukan melalui Online Customers
Review (OCR), konsep OCR dikemukakan oleh Dac, Carson, and Moore (2013)
dimana dalam meningkatkan citra merk perusahaan dapat menggunakan telaah
yang dilakukan oleh konsumen terhadap produk dan layanan perusahaan. Telaah
konsumen online dilipatgandakan menggunakan mesin pembangkit pengguna
online yang dapat ditemui secara online baik yang bebayar maupun yang gratis.
Telaah konsumen online merupakan pengalaman yang dimiliki konsumen

14

terhadap produk dan layanan perusahaan sehingga kesimpulan yang diperoleh dari
telaah tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan dapat diandalkan sebagai
sebuah informasi yang akurat.

Bab IV
Kesimpulan
Komunikasi pemasaran berbasis digital memiliki banyak keunggulan
dimana keceatan, akurasi, dan daya jangkau pesan yang disampaikan akan masuk
langsung ke wilayah pribadi konsumen dan potensial konsumen, akan tetapi tetap
memiliki kelemahan yang tentunya dapat menjadi ancaman bagi citra merk
perusahaan secara khusus dan mampu mengancap keberlangsungan perusahaan
dalam jangka panjang.
Penggunaan saluran digital dalam melakukan komunikasi pemasaran sudh
tidak dapat dihindarkan lagi, perusahaan harus masuk kedalamnya dan memiliki
kapabilitas yang baik agar mampu bersaing dengan kompetitor yang secara masiv
masuk kedalam digitalisasi perusahaan. Perusahaan harus meliki kemampuan
menangkap (Seizing Capability) dan meradar (sensing capability) setiap informasi
yang muncul dalam media sosial yang berhubungan dengan perusahaan.
Kemampuan yang dimiliki perusahaan dalam bidang digital disegala
bidang akan menjadi keunggulan perusahaan yang sulit ditiru yang akan
memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan loyalitas konsumen dan
tentunya keinginan konsumen untuk terus melakukan transaksi pembelian dengan
perusahaan. Keunggulan dalam bidang teknologi digital akan menjadikan

15

perusaan sustain dalam jangka waktu yang lama, karena masa depan dunia digital
akan terus berkembang seiring perkembangan bisnis saat ini.

Daftar Pustaka
Aaker, D. A. (1991). Managing Brand Equity: Capitalizing on the Value of a
Brand Name. New York: The Free Press.
Bivainiené, L. (2007). Brand image conceptualization: The role of marketing
communication. Economics and Management, Volume 12, pp. 304-310.
Campbell, K. (1993). Researching brands. The Service Industries Journal, Volume
29, Number 12, pp. 1687-1706.
Chen, Y. H., & Barnes, S. (2007). Initial Trust and Online Buyer Behavior.
Industrial Management & Data, Volume 107, pp. 4-8.
Corniani, M. (2006). Digital Marketing Communication. Emerging Issues in
Management, Volume 2.
Dac, N. N. H., Carson, S. J., & Moore, W. L. (2013). The Effect of Positive and
Negative Online Customer Reviews: Do Brand Strenght and Category
Maturity Matter? . Journal of Marketing.
East, R., Hammond, K., & Lomax, W. (2008). Measuring The Impact of Positive
and
Negative Word of Mouth On Brand Purchase Probability.
International Journal of Research in Marketing, Vol. 25, pp. 215-224.
Keller, K. L. (1993). Conceptualizing Measuring and Managing Customer-Based
Brand Equity. Journal of Marketing, Volume 57, pp. 1-22.
Keller, K. L. (1998). Strategic Brand Management: Building, Measuring, and
Managing Brand Equity. New Jersey: Prentice Hall.
Kominfo. (2017). Data Pengguna Internet.
Kotler, P., & Armstrong, G. (1996). Principles of Marketing. Upper Saddle River,
New York: Prentice Hall.
Leone, R. P., Rao, V. R., Keller, K. L., Luo, A. M., McAlister, L., & Srivastavar,
R. (2006). Linking brand equity to customer equity. Journal of Service
Research, Volume 9, Number 2, pp. 125-138.
López, M., & Sicilia, M. (2014). Determinants of E-WOM Influence: The Role of
Consumers’ Internet Experience. Journal of Theoretical and Applied
Electronic Commerce Research, Vol 9 / Issue 1, pp. 28-43.
Mao, J. (2010). Customer brand loyalty. International Journal of Business and
Management, Volume 5, Number 7, pp. 213-217.
Mowen, J. C., & Minor, M. (2001). Consumer Behavior (5 ed.). United State:
Harcourt College.
Ozboluk, T., & Dursun, Y. (2016). Negative E-WOM As A Response to Brand
Failure: Evidence rom An Online Brand Community. Proceedings of 22nd
Research World International Conference.
16

Peranginangin, J. (2016). The Handbook of Sales People : Konsep dan Aplikasi
Manajemen Penjualan Sidoarjo: JP Publishing.
Pourabedin, Z., & Migin, M. W. (2015). Hotel Experience and Positive Electronic
Word of Mouth (e WOM). International Business Management, Volume 9,
Number 4, pp. 596-600.
Praharjo, A., Wilopo, & Kusumawati, A. (2016). The Impact of Electronic Word
of Mouth On Repurchase Intention Mediated By Brand Loyalty and
Perceived Risk. South East Asia Journal of Contemporary Business,
Economics and Law, Volume 11(Issue 2).
Solomon, M. R., Bamossy, G., Askegaard, S., & perspective, M. K. H. C. b. A. E.
(2010). Consumer behaviour: A European perspective. Harlow: Financial
Times Prentice Hall.
Zhang, R. M. (2015). The Power Of Online Opinion Leader In Negative E WOM
Dissemination. (MBA), Auckland University of Technology, Auckland.

17