Perkembangan liberalisme di Indonesia Pa

Perkembangan liberalisme di Indonesia Pada
Masa Kolonialisme Belanda
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang
didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum,
liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi
para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan
agama. Liberalisme menghendaki adanya pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang
mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan
yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu.
Paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme. Proses
berlakunya politik liberal diawali dengan penghapusan tanam paksa pada tahun 1865.
Pemberlakuan politik liberal ditandai dengan adanya kebebasan usaha berupa penanaman modal
swasta yang ditanamkan pada perusahaan perkebunan dan pertambangan. Dengan banyaknya
modal swasta yang ditanamkan di perkebunan dan pertambangan berarti berlaku Politik Pintu
Terbuka di Hindia Belanda, artinya pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi
pihak swasta untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dalam masa ini, kepemilikan kekayaan
alam Indonesia bukan 100% oleh pemerintah Belanda, melainkan dimiliki oleh enterpreneurenterpreneur dari banyak negara. Hal ini merupakan suatu bentuk sistem Neo-Liberal yang kita
anut sekarang pada masa kolonial Belanda.


1.2. Rumusan Masalah
1.

Bagaimana gagasan liberalisme?

2.

Apa yang melatarbelakangi diberlakukannya system ekonomi politik liberal?

3.

Bagaimana pelaksanaan system ekonomi politik liberal?

4.

Bagaimana dengan sarana penunjang pelaksanaan system ekonomi liberal?

5.


Bagaimana liberalisme di Jawa?

6.

Bagaimana akibat liberalisme?

1.2. Tujuan Penulisan
1.

Mengetahui gagasan liberalisme

2.

Mengetahui apa yang melatarbelakangi diberlakukannya system ekonomi politik
liberal.

3.

Mengetahui sarana penunjang pelaksanaan system ekonomi liberal.


4.

Mengetahui liberalisme di Jawa.

5.

Mengetahui akibat liberaliame.

6.

Mengetahui pertumbuhan masyarakat kristen di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Gagasan Liberalisme
Sesudah tahun 1850 kaum liberal memperoleh kemenangan politik di Negeri Belanda.
Golongan ini mempunyai suara yang kuat untuk mempengaruhi jalannnya pemerintahan.
Mereka juga ingin menerapkan asas-asas liberalisme di tanah air jajahan. Sebagian besar
bermodal yang pada masa-masa sebelumnya tidak memiliki kesempatan untuk ikut ambil bagian
dalam menarik keuntungan dari tanah jajahan. Pada masa lampau mereka tidak memiliki

kedudukan politik yang kuat di pemerintahan. Pemegang kekuasan politik lebih banyak dipegang
oleh kaum bangsawan dan keluarga raja, yang berpegang pada paham konservatif.
Oleh sebab itulah maka sesudah sistem tanam paksa dihapuskan, kaum liberal
menghendaki agar diganti dengan usaha swasta. Untuk itu perlu adanya kebebasan bekerja bagi
kaum pengusaha dan disediakannya kesempatan untuk menggunakan tanah bagi usaha-usahanya.
Sesungguhnya tujuan pokok mereka bukanlah ingin mengatur tanah jajahan sebaik-baiknya.
Yang penting adalah bagaimana mengatur tanah jajahan agar dapat menghasilkan uang. Untuk
itulah maka mereka berusaha keras agar memperoleh tempat di Indonesia.
2.2. Latar Belakang Diberlakukannya Sistem Ekonomi Liberal
Sistem ekonomi liberal kolonial dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut:
1.

Pelaksanaan system tanam paksa telah menimbulkan penderitaan rakyat pribumi, tetapi

memberikan keuntungan besar bagi Pemerintah Kerajaan Belanda.
2.

Berkembangnya paham liberalism sebagai akibat dari Revolusi Perancis dan Revolusi

Industri sehingga system tanam paksa tidak sesuai lagi untuk diteruskan.

3.

Kemenangan Partai Liberal dalam Parlemen Belanda yang mendesak Pemerintah

Belanda menerapkan system ekonomi liberal di negeri jajahannya (Indonesia). Hal itu
dimaksudkan agar para pengusaha Belanda sebagai pendukung Partai Liberal dapat menanamkan
modalnya.
4.

Adanya Traktat Sumatra pada tahun 1871 yang memberikan kebebasan bagi Belanda

untuk meluaskan wilayahnya ke Aceh. Sebagai imbalannya, Inggris meminta Belanda

menerapkan sistem ekonomi liberal di Indonesia agar pengusaha Inggris dapat menanamkan
modalnya di Indonesia.
Seiring dengan pelaksanaan politik ekonomi liberal, Belanda melaksanakan Pax
Netherlandica, yaitu usaha pembuatan negeri jajahannya di Nusantara. Hal itu dimaksudkan agar
wilayahnya tidak diduduki bangsa Barat lainnya. Lebih-lebih setelah dibukanya Terusan Suez
(1868) yang mempersingkat jalur pelayaran antara Eropa dan Asia.
Pelaksanaan politik ekonomi liberal itu dilandasi dengan beberapa peraturan antara lain

sebagai berikut:
1. Reglement op het belied der Regering in Nederlansch-Indie (RR) (1854).
Berisi tentang tata cara pemerintahan di Indonesia. Perundangan baru ini menunjukkan
kekuatan kaum liberal-borjuis terus berkembang. RR memungkinkan tanah disewa oleh pihak
swasta. Pasal 62 dari peraturan ini berbunyi:[2]
a.

Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.

b.

Larangan ini tidak termasuk bidang-bidang tanah yang kecil untuk maksud perluasan

kota-kota atau desa-desa.
c.

Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah berdasarkan undang-undang yang nanti

akan dikeluarkan. Ini tidak meliputi tanah-tanah yang diakui milik orang Indonesia asli atau
tanah milik bersama dan tanah lain milik desa.Pada tahun 1926, RR diganti dengan Wer op de

Staatsinrichting van Nederlandsch Indie yang biasa.
Pasal 62 Regering Reglement tidak memuaskan para pemilik modal sebab peraturan yang
dihasilkan memang mengijinkan tanah untuk disewa tetapi untuk tidak lebih dari dua puluh
tahun. Jangka waktu tersebut dipandang tidak cukup untuk tanah sewa agar dapat digunakan
sebagai jaminan pinjaman. Lagi pula, tanah yang tersedia terletak di wilayah pedalaman dimana
tenaga kerja tidak cukup tersedia. Kaum pemodal meneruskan usaha mereka untuk memperoleh
tanah dengan menciptakan hukum agraria yang baru.

2.

Indische Compatibiliteit (1867)

Berisi tentang perbedaharaan negara Hindia-Belanda yang menyebutkan bahwa dalam
menentukan anggaran belanja Hindia-Belanda harus ditetapkan dengan undang-undang yang
disetujui oleh Parlemen Belanda.
3.

Suiker Wet
Undang-undang gula yang menetapkan bahwa tanaman tebu adalah monopoli pemerintah


yang secara berangsur-angsur akan dialihkan kepada pihak swasta.
4.

Agrarische Wet (Undang-undang Agraria 1870)
Isi pokok dari Agrarische Wet adalah sebagai berikut:
a.

Tanah di Indonesia dibedakan menjadi tanah rakyat dan tanah pemerintah. Tanah

pemerintah adalah tanah yang idak bisa dibuktikan oleh pihak lain disebut juga domeinverklaring (pernyataan tentang tanah milik pemerintah).
b.

Tanah rakyat dibedakan atas tanah milik yang bersifat bebas dan tanah desa yang bersifat

tidak bebas. Tanah tidak bebas adalah tanah yang dapat disewakan kepada pengusaha swasta.
c.

Tanah rakyat tidak boleh dijual kepada orang lain.

d. Tanah pemerintah dapat disewakan kepada pengusaha swasta sampai jangka waktu 75

tahun.
Agrarische Wet 1870 kemudian menjadi Pasal 51 the wet op Staatsinrichting van
Nedherlands Indie (konstitusi Hindia Belanda), yang berbunyi sebagai berikut:
a.

Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.

b.

Larangan ini tidak berlaku terhadap bidang-bidang tanah sempit untuk perluasan kota

atau desa atau penggunaan tanah untuk pendirian perusahaan perushaan komersial (bukan
pertanian dan kerajinan).
c.

Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah sesuai dengan Undang-Undang. Hak ini

tidak berlaku terhadap tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli atau terhadap tanah yang
biasanya digunakan untuk pengembalaan atau yang meliputi wilayah perbatasan desa untuk
maksud-maksud lain.

d. Sewa menurut hukum dapat sampai masa 75 tahun.

e.

Dalam memberikan hak sewa sedemikian itu, Gubernur Jenderal akan menghormati hak-

hak tanah penduduk asli.
f.

Gubernur Jenderal tidak dapat menguasai tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli,

atau tanah yang biasa digunakan untuk pengembalaan, atau tanah yang termasuk wilayah
perbatasan desa yang digunakan untuk tujuan-tujuan lain, kecuali: untuk tujuan-tujuan
kepentingan umum yang didasarkan pada Pasal 133; dan untuk pendirian perkebunan atas suatu
perintah atasan, ganti rugi yang wajar dapat diberikan.
g.

Tanah-tanah yang dimiliki oleh penduduk asli dapat diberikan pada mereka berdasarkan

hak eigendom (hak milik), termasuk hak untuk menjual kepada pihak lain, penduduk asli atau

bukan penduduk asli.
h.

Sewa tanah oleh penduduk asli kepada bukan penduduk asli harus dilakukan sesuai

dengan Undang-Undang.
Undang-undang Agraria 1870 memuat 3 bagian dari Pasal 62 Regering Reglement (1854)
ditambah lima bab baru, yang meletakkan prinsip-prinsip dasar mengenai kebijaksanaan
pertanahan. Undang-Undang ini menggambarkan kemenangan untuk Partai Liberal dengan
beberapa konsesi yang diberikan kepada Partai Konservatif. Diakui bahwa modal swasta
diperlukan untuk perushaan-perusahaan perkebunan, tetapi kepentingan-kepentingan penduduk
pribumi akan terancam jika pengalihan tanah tetap tidak dibatasi.
Agrarische Wet tahun 1870 menghilangkan kesulitan-kesulitan berkenaan dengan
pemberian tanah berdasarkan peraturan tahun RR 1854, dengan mengijinkan para pemilik modal
untuk memperoleh hak sewa turun temurun (erpacht) dari pemerintah untuk periode sampai
dengan 75 tahun dan juga menyewa tanah dari penduduk pribumi. Pada saat yang sama undangundang tersebut menjamin kepemilikan penduduk pribumi atas hak-hak adat mereka yang telah
ada atas tanah, dan memungkinkan pula mereka mendapatkan hak milik pribadi.
Namun, pada prakteknya hampir tidak ada tanah rakyat yang tidak disewakan, mereka
tidak dapat menikmati tanahnya sendiri, karena pihak swasta memaksa bahkan menipu dengan
berbagai muslihat agar penduduk pribumi mau menyewakan tanah pada mereka, yang pada
hakekatnya tidak ada bedanya dengan memindahkan hak milik pribumi ke pihak swasta.[4]

5.

Agrarische Besluit (1870)
Jika Agrarische Wet ditetapkan dengan persetujuan parlemen, Agrarische Belsuit

ditetapkan oleh Raja Belanda. Agrarische Wet hanya mampu mengatur hal-hal yang bersifat
umum tentang agraria, sedangkan Agrarische Besluit mengatur hal-hal yang lebih rinci,
khususnya tentang hak kepemilikan tanah dan jenis-jenis hak penyewaan tanah oleh pihak
swasta.
2.3. Pelaksanaan Sistem Ekonomi Liberal
Sesuai dengan tuntutan kaum liberal, maka pemerintah kolonial segera memberikan
peluang kepada usaha dan modal swasta untuk sepenuhnya menanamkan modal mereka dalam
berbagai usaha dan kegiatan di Indonesia, terutama di daerah perkebunan besar di Jawa maupun
di luar Jawa. Dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria tahun 1870, Indonesia memasuki
zaman penjajahan baru. Sejak tahun 1870 di Indonesia telah diterapkan opendeur politiek, yaitu
politik pintu terbuka terhadap modal-modal swasta asing. Selama periode tahun 1870 dan 1900
Indonesia terbuka bagi modal swasta Barat, karena itulah maka masa ini sering disebut zaman
liberalisme. Hal itu berarti Indonesia dijadikan tempat untuk berbagai kepentingan, anatara lain
berikut ini:
1.

Tempat mendapatkan bahan mentah atau bahan baku industri di Eropa.

2.

Tempat mendapatkan tenaga kerja yang murah.

3.

Menjadi tempat pemasaran barang-barang produksi Eropa.

4.

Menjadi tempat penanaman modal asing.
Di samping modal swasta Belanda sendiri, modal swasta asing lain juga masuk ke

Indonesia, misalnya modal dari Inggris, Amerika, Jepang, dan Belgia. Modal-modal asing
tersebut tertanam pada sector-sektor pertanian dan pertambangan, antara lain karet, teh, kopi,
tembakau, tebu, timah dan minyak. Akibatnya perkebunan-perkebunan dibangun secara luas dan
meningkat pesat. Misalnya, perkebunan tebu sejak tahun 1870 mengalami perluasan dan
kenaikan produksi yang pesat, khususnya di Jawa. Demikian pula perkebuunan teh dan tembakau
mengalami perkembangan yang pesat. Sejak semula tembakau telah ditanam di daerah
Yogyakarta dan Surakarta. Sejak tahun 1870 perkebunan itu diperluas sampai ke daerah Besuki
(Jawa Timur) dan daerah Deli (Sumatra Timur). Hasil-hasil bumi penting yang lainnya adalah

kina, kakao, kapas, minyak sawit, gambir, minyak serai, karet, dll. lalu dibuka pula
pertambangan mas, timah, dan minyak.
Perkebunan-perkebunan milik Belanda yang dibangun:
1.

Perkebunan tebu: Jawa Tengah dan Timur.

2.

Perkebunan tembakau: Surakarta, Yogyakarta, Deli, Sumatera Utara.

3.

Perkebunan teh: Jawa Barat, Sumatera Utara.

4.

Perkebunan kina: Jawa Barat.

5.

Perkebunan karet: Sumatera Utara, Jambi, Palembang.

6.

Perkebunan kelapa sawit: Sumatera Utara.
Pembukaan perkebunan-perkebunan swasta di daerah luar Jawa, khususnya di Sumatra

Timur menemui masalah kekurangan tenaga kerja. Pemerintah banyak mendatangkan pekerja
dari Jawa yang dilakukan secara kontrak sehingga disebut kuli kontrak. Untuk menjamin para
kuli tidak melarikan diri sebelum masa kontraknya habis, pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan peraturan yang disebut Koeli Ordomantie. Peraturan tersebut berisi antara alian
ancaman hukuman bagi para pekerja perkebunan yang melanggar dengan ketentuan Poenale
Sanctie.
Harapan kaum liberal untuk membuka tanah jajahan bagi para perkembangan ekonomi
Hindia Belanda ternyata tercapai. Perkebunan-perkebunan gula, kopi, tembakau dan tanamantanaman perdagangan lainnya dibangun secara luas dan meningkat secara pesat. Misalnya
perkebunan gula semenjak tahun 1870 mengalami perluasan dan kenaikan produksi yang pesat,
terutama di daerah Jawa.
2.4. Sarana Penunjang Pelaksanaan Sistem Ekonomi Liberal
Untuk melancarkan perkembangan produksi tanaman ekspor itu maka pemerintah Hindia
Belanda membangun waduk-waduk dan saluran-saluran irigasi. Irigasi dibangun demi
kelancaran usaha perkebunan gula dan memperoleh manfaatnya dengan dasar giliran dari pihak
perkebunan. Selain irigasi juga dibangun jalan-jalan raya, jembatan-jembatan dan jalan kereta
api. Pembangunan jalan itu dimaksudkan untuk menunjang kelancaran pengangkutan hasil-hasil

perusahaan perkebunan itu dari daerah pedalaman ke daerah pantai atau pelabuhan yang akan
meneruskan ke dunia luar. Jalan kereta api yang pertama kali dibangun adalah antara SemarangYogyakarta, lalu Batavia-Bogor, Surabaya-Malang dan pada tahun 1873. Jalan kereta api tersebut
dibangun ke arah pusat-pusat perkebunan atau atas dasar pertimbangan ekonomi. Baru akhir
abad ke-19 jalan kereta api dibangun di Sumatra untuk daerah yang ingin atau telah dikuasai
seperti Aceh. Selain itu pembangnan jalan kereta api juga untuk kepentingan politik, militer, dan
pertambangan seperti di Sumatra Barat.
Pembangunan jalan-jalan, jembatan dan jalan kereta api itu dilakukan dengan melalui
pengerahan tenaga rakyat secara paksa. Pengerahan kerja rodi untuk pembangunan jalan-jalan,
jembatan, jalan kereta api, irigasi, benteng-benteng selama masa abad ke 19 telah membawa
penderitaan bagi penduduk Indonesia. Perlu diketahui pula bahwa pengangkutan laut juga
mengalami peningkatan yang cepat pula. Perhubungan laut di Kepulauan Indonesia dikuasai oleh
perusahaan pengangkutan yaitu KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij).
2.5. Liberalisme di Jawa
Selama perang Jawa berlangsung pihak Belanda memikirkan berbagai rencana untuk
Jawa. Semuanya memiliki sasaran umum, yaitu bagaimana memperoleh keuntungan dari daerah
tropis seperti Jawa dalam jumlah dan harga yang tepat. Pemikiran orang-orang Belanda sejak
keberangkatan pelayaran mereka yang pertama pada tahun 1595. Pada tahun 1829 Johannes van
den Bosch (1780-1844) menyampaikan pada raja Belanda usulan-usulan yang kelak akan disebut
cultuurstelsel (sistem penanaman). Bulan Januari 1830 van den Bosch tiba di Jawa sebagai
Gubernur Jenderal yang baru. Rencana van den Bosch ialah bahwa setiap desa harus
menyisihkan sebagian tanahnya guna di tanami komoditi ekspor (khususnya kopi,tebu, dan nila)
untuk dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang pasti. Dalam teorinya setiap pihak
akan memperoleh keuntungan dari sistem ini. Desa masih memiliki tanah yang cukup luas untuk
kegunaannya sendiri dan akan mendapatkan penghasilan dalam bentuk tunai.
Dampak cultuurstelsel terhadap orang-orang Jawa dan Sunda di seluruh Jawa sangat
beraneka ragam, sedangkan bagi kaum elit bangsawan di seluruh Jawa zaman ini benar-benar
menguntungkan. Kedudukan mereka menjadi aman dan penggantian secara turun temurun untuk

jabatan-jabatan resmi menjadi norma, tetapi mereka tergantung secara langsung kepada kekuasan
Belanda untuk kedudukan dan penghasilan mereka.
Upaya menentang Cultuurstelsel kini muncul di negeri Belanda. Pemerintah mulai
menjadi bimbang apakah sisitem ini masih dapat dipertahankan lebih lama lagi. Pada tahun 1848
untuk pertama kalinya konstitusi liberal memberikan parlemen Belanda (Staten-Generaal)
peranan yang berpengaruh dalam urusan-urusan penjajahan. Mereka mendesak di adakannya
suatu pembaharuan liberal: pengurangan peranan pemerintah dalam perekonomian kolonial
secara drastis, pembebasan terhadap pembatasan-pembatasan perusahaan swasta di Jawa dan
Sunda. Pada tahun 1860 Eduard Douwes Dekker menerbitkan buku berjudul Max Havelaar.
Akan tetapi, kaum Liberal menghadapi suatu dilema, mereka ingin dibebaskan dari cultuurstelsel
tetapi bukan dari keuntungan-keuntungan yang di peroleh bangsa Belanda dari Jawa. Akhirnya
diputuskan untuk dihapuskannya cultuurstelsel dari sedikit demi sedikit. Penghapusan di mulai
dari komuditi yang paling sedikit mendatangkan keuntungan yaitu lada, kemudian cengkih, nila,
teh, dan seterusnya.
Pembebasan petani secara berangsur-angsur dari penanaman komoditi-komoditi ekspor
yang sifatnya paksaan hanya menimbulkan sedikit perbaikan, karena pajak tanah dan bentukbentuk pembayaran lainnya tetap harus diserahkan kepada pemerintah tetapi sumber penghasilan
untuk membayar pajak-pajak tersebut telah dihapuskan. Tanpa adanya pemaksaan terhadap
tenaga kerja atau upah yang menarik, hasil kopi merosot. Akhirnya, untuk membayar pajak-pajak
dan mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka harus berpaling kepada lintah darat. Elit kerajaan
Jawa kini tergeser dari urusan politik. Pemberontakan benar-benar ditinggalkan sejak 1830.
Karena tidak adanya peluang atau hasrat yang sunguh-sungguh untuk menjalankan siasat politik,
maka kalangan elit kerajaan mengalihkan perhatian mereka kebidang budaya. Pakubuwana V
memerintahkan menyusun Serat Centhini tentang mistik Jawa. Raden Ngabei Ronggawarsita
menulis karya-karya berbentuk prosa yaitu Pustakaraja Purwa, Wedatama dan Paramayoga. Di
bidang seni rupa Raden Saleh menjadi seorang pelukis istana yang terkenal. Diantara semua
Istana Kerajaan, Mangunegaralah yang paling berhasil menyesuaikan diri dengan keadaan baru
pada masa kekuasaan Belanda. Dan merupakan satu-satunya istana dimana tradisi-tradisi militer
bangsawan jawa tetap hidup, sekalipun dibawah kekuasaan Belanda.

Kalangan elit daerah yang tinggi, yang merupakan landasan kekuasaan Belanda di luar
kerajaan-kerajaan juga mengalami perubahan dalam kedudukan mereka di bawah liberalisme.
Ketika semangat baru bagi di selenggarakannya pembaharuan sosial memasuki kebijakan
pemerintah penjajahan. Elit bangsawan daerah tertinggi tingkatannya itu mulai dilampaui.
Kekayaan para bupati dan kesempatan mereka untuk melakukan penyelewengan-penyelewengan
juga terkikis. Pada tahun 1867 mereka di cabut apnagenya dan sebagai gantinya diberikan gaji
yang sering kali di katakan tidak memadai. Ketika cultuurstelsel dihapus mereka kehilangan
persentase yang di peroleh dari hasil bumi kepada pemerintah. Namun semua itu hanya sedikit
menghasilkan perbaikan sedikit bagi penduduk desa. Kewajiban mereka untuk bekerja diubah
menjadi pajak kepala secara tunai, yang mungkin bahkan merupakan beban yang lebih berat.
Pada tahun 1900 Jawa berada dalam keadaan peralihan dengan zaman lama yang telah berakhir
tetap bentuk zaman baru belum jelas.
2.6. Akibat Liberalisme Terhadap Kehidupan Rakyat Indonesia
Pelaksanaan politik liberal membawa akibat sebagai berikut:
1.

Bagi Belanda
a.

Memberikan keuntungan yang sangat besar kepada kaum swasta Belanda dan

pemerintah kolonial Belanda.
b.

Hasil-hasil produksi perkebunan dan pertambangan mangalir ke negeri Belanda.

c.

Negeri Belanda manjadi pusat perdagangan hasil dari tanah jajahan.

2.

Bagi rakyat Indonesia
a.

Kemerosotan tingkat kesejahteraan penduduk. Pendapatan penduduk Jawa pada awal

abad ke-20 setiap keluarga untuk satu tahun sebesar 80 gulden. Dari jumlah tersebut masih
dikurangi untuk membayar pajak kepada pemerintah sebesar 16 gulden. Penduduk hidup dalam
kemiskinan.
b.

Krisis perkebunan tahun 1885 akibat jatuhnya harga kopi dan gula berakibat buruk bagi

penduduk. Krisis ini juga mengakibatkan perusahaan-perusahaan mengadakan penghematan,
misalnya dengan jalan menekan uang sewa tanah dan upah kerja di perkebunan dan pabrikpabrik.
c.

Sistem perpajakan yang sangat memberatkan penduduk.

d.

Dalam mengurusi pemerintahan di daerah luar Jawa selama abad ke 19, pemerintah

Belanda mengerahkan beban dan keuangannya dari daerah Jawa, sehingga tidak secara langsung
Jawa harus menanggung beban kekurangan untuk pembiayaan pemerintah Belanda terutama
dalam perang-perang kolonial untuk menguasai daerah tersebut.
e.

Adanya pertambahan penduduk yang meningkatnya dalam abad ke 19. Sementara itu

jumlah produksi pertanian menurun.
f.

Menurunnya usaha kerajinan rakyat karena kalah bersaing dengan banyak barag-barang

impor dari Eropa.
g.

Pengangkutan dengan gerobak menjadi merosot penghasilannya setelah adanya kereta

h.

Rakyat menderita akibat diterapkannya kerja rodi dan adanya hukuman berat (Poenale

api.
Sanctie).
Secara umum dapatlah dikatakan bahwa masa kebijaksanaan kolonial liberal telah banyak
membawa perubahan terhadap kehidupan penduduk Indonesia. Diantaranya yang terasa pada
masa tersebut adalah mulai meresapnya ekonomi uang ke lingkungan penduduk pedesaan dalam
kehidupan sehari-hari. Selain itu mulailah muncul sistem kerja upahan. Banyak yang mulai
meninggalkan pekerjaan di tanah pertaniannya dan bekerja di pabrik-pabrik sebagai buruh.
Selain itu perkembangan ini juga membawa pertumbuhan kota-kota baru di sekitar perusahaan.
Usaha-usaha untuk sedikit memperbaiki nasib rakyat Indonesia baru dilaksanakan pda
peralihan abad 19-abad 20. Kebijaksanan yang melandasinya dikenal dengan Politik Etis.
Kebijaksanan itu didasarkan atas gagasan-gagasan Golongan Etis, yang menyatakan bahwa tanah
jajahan perlu perbaikan dalam bidang pertanian, yaitu pembangunan dalam soal irigasi,
peningkatan pendidikan atau edukasi dan mengadakan pemindahan penduduk ke daerah lain
yang masih kosong tanahnya yakni transmigrasi.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sesudah tahun 1850 kaum liberal memperoleh kemenangan politik di Negeri Belanda.
Golongan ini mempunyai suara yang kuat untuk mempengaruhi jalannnya pemerintahan. Oleh
sebab itulah maka sesudah sistem tanam paksa dihapuskan, kaum liberal menghendaki agar
diganti dengan usaha swasta. Pelaksanaan politik ekonomi liberal itu dilandasi dengan beberapa
peraturan antara lain sebagai berikut Reglement op het belied der Regering in Nederlansch-Indie
(RR) (1854), Indische Compatibiliteit (1867), Suiker Wet, Agrarische Wet (Undang-undang
Agraria 1870), dan Agrarische Besluit (1870).
Dalam pelaksanaan sistem ekonomi liberal, Indonesia dijadikan tempat untuk berbagai
kepentingan, antara lain yaitu tempat mendapatkan bahan mentah atau bahan baku industri di
Eropa, tempat mendapatkan tenaga kerja yang murah, menjadi tempat pemasaran barang-barang
produksi Eropa, dan menjadi tempat penanaman modal asing.Hasil-hasil bumi penting
adalah tebu, tembakau, kina, kakao, kapas, minyak sawit, gambir, minyak serai, karet, dll. lalu
dibuka pula pertambangan mas, timah, dan minyak. Untuk menunjang pelaksanaan sistem
ekonomi liberal, pemerintah Hindia-Belanda membangun waduk sebagai irgasi, jalan-jalan,
jembatan dan jalan kereta api itu dilakukan dengan melalui pengerahan tenaga rakyat secara
paksa.
Akibat pelaksanaan sistem ekonomi liberal, rakyat Indonesia mengalami kemerosotan
tingkat kesejahteraan penduduk, akibat krisis perkebunan tahun 1885 yangmengakibatkan
perusahaan-perusahaan menekan uang sewa tanah dan upah kerja di perkebunan dan pabrikpabrik, lalu sistem perpajakan yang sangat memberatkan penduduk, adanya pertambahan
penduduk yang meningkatnya dalam abad ke 19. Sementara itu jumlah produksi pertanian
menurun, menurunnya usaha kerajinan rakyat karena kalah bersaing dengan banyak baragbarang impor dari Eropa, pengangkutan dengan gerobak menjadi merosot penghasilannya setelah
adanya kereta api, dan rakyatsemakin menderita akibat diterapkannya kerja rodi dan adanya
hukuman berat (Poenale Sanctie). Salah satu perkembangan penting dalam abad ke 19 adalah

pertumbuhan masyarakat Kristen di beberapa tempat di kepulauan Indonesia. Agama Kristen
yang dikenal di Indonesia adalah dalam bentuk seperti yang telah berkembang di Eropa Barat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ricklefs, H.C. 1981. Sejarah Indonesia Modern, diterjemahkan oleh Dharmono Hardjowidjono.
Yogyakata: Gajah Mada Univesity Press.
2. Notosusanto, Nugroho dan Yusmar Basri. 1980. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta:
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
3. Pane, Sanusi. Sejarah Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
4. Rajagukguk, Erman. INDONESIA: HUKUM TANAH DI ZAMAN PENJAJAHAN.

1.

Notosusanto, Nugroho dan Yusmar Basri. 1980. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta:
Dinas, hal: 185-186.

2.

Rajagukguk, Erman. Indonesia: Hukum Tanah di Zaman Penjajahan, hal: 6.

3. Rajagukguk, Erman. Indonesia: Hukum Tanah di Zaman Penjajahan, hal: 8-9.
4.

Pane, Sanusi. Sejarah Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka., hal: 147.

5.

Notosusanto, Nugroho dan Yusmar Basri. 1980. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta:
Dinas, hal: 186-188.

6. Pane, Sanusi. Sejarah Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka., hal: 148.
7. Notosusanto, Nugroho dan Yusmar Basri. 1980. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta:
Dinas, hal: 189.
8. Ricklefs, H.C. 1981. Sejarah Indonesia Modern, diterjemahkan oleh Dharmono
Hardjowidjono. Yogyakata: Gajah Mada Univesity Press.