BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI ELEKTRONIK SEBAGAI BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN MAYANTARA (CYBER CRIME) DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Tinjauan Umum Tentang Penggunaan

BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI KEJAHATAN MAYANTARA (CYBER CRIME) DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Tinjauan Umum Tentang Penggunaan Alat Bukti Berupa Informasi Elektronik

1. Alat Bukti

  Pemeriksaan perkara pidana di muka pengadilan, maka hakim secara aktif memeriksa guna menemukan kebenaran materil sebagaimana apa yang menjadi tujuan hukum acara pidana itu sendiri di lain pihak sebagaimana diketahui bahwa di dalam proses pemeriksaan perkara perdata hakim secara pasif dalam pemeriksaan acara perdata tersebut yaitu hanya menilai apa yang dikemukakan oleh para pihak yakni antara penggugat dan tergugat.

  Wirjono Projodikoro, menulis: “Maka suatu soal yang amat penting, tetapi juga amat sukar ialah bagaimana hakim dapat menetapkan hal adanya kebenaran itu. Soal ini adalah mengenai pembuktian dari hal sesuatu. Kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan yang tertentu yang sudah lampau. Makin lama waktu lampau itu, makin sukar untuk hakim untuk mengetahui kebenaran atas keadaan-keadaan itu. Oleh karena roda pengalaman di dunia tidak mungkin diputarbalikkan lagi, maka kepastian seratus persen bahwa apa yang akan diyakini oleh hakim tentang suatu keadaan betul-betul suatu kebenaran tidak mungkin dicapai. Maka acara pidana sebetulnya hanya dapat mewujudkan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran yang sejati. Untuk mendapat keyakinan ini, hakim membutuhkan alat-alat guna menggambarkan lagi keadaan-keadaan yang sudah lampau itu. Bagi gambaran ini perlu tanda-tanda yang ditinggalkan oleh keadaan-keadaan itu. Tanda-tanda itu mungkin berwujud suatu barang, benda yang masih dapat dilihat oleh hakim atau berada dalam ingatan orang-orang yang mengalami keadaan itu. Ingatan orang-orang ini harus diberitahukan

   kepada hakim”.

  Sistem HIR maupun dalam sistem KUHAP tidak diatur secara jelas tentang soal pembuktian, jika dibandingkan dengan ketentuan Hukum Acara Perdata, seperti yang terlihat dalam pasal 163 HIR sebagai berikut :

  “Barang siapa yang mendalilkan mempunyai sesuatu hak atau mengajukan sesuatu peristiwa (feit) untuk memperoleh haknya atau untuk membatalkan adanya hak orang lain haruslah membuktikan adanya hak atau peristiwa

   tersebut”.

  Seperti yang telah dikemukakan bahwa yang menjadi persoalan penting dalam proses perkara pidana adalah untuk menemukan kebenaran materil atau kebenaran yang sesungguhnya. Sumber utama di dalam menemukan kebenaran materil tersebut ialah adanya pembuktian yang menghendaki agar semua alat bukti yang diperlukan guna mendapatkan suatu kebenaran yang sesungguhnya dapat ditampilkan sedemikian rupa di muka pengadilan agar supaya hakim dapat memperoleh gambaran secara jelas tentang adanya suatu tindak pidana.

  Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang No.8 tahun 1981 pada pasal 84 ayat 1 menyebutkan tentang alat-alat bukti yakni: a. Keterangan saksi;

  b. Keterangan ahli;

  c. Surat;

  d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.

65 Wirjono Projodikoro, 1985. Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Penerbit Sumur

  Bandung, Cetakan Keduabelas, hal. 108

  Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa

  1. Keterangan saksi Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu mengacu kepada pemeriksaan saksi. Setidaknya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian

   dengan alat bukti keterangan saksi.

  Untuk menilai keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, keterangan tersebut harus saling berhubungan antara satu dengan yang lain, sehingga dapat membentuk keterangan yang menerangkan dan membenarkan atas adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Dalam menilai dan mengkonstruksi kebenaran keterangan dari saksi hakim harus dituntut kewaspadaanya. Dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP disebutkan bahwa dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan : a.

  Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain.

  b.

  Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.

  c.

  Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu.

  d.

  Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

  Kekuatan pembuktian dari keterangan saksi dapat dijelaskan sebagai

   a.

  Bahwa keterangan saksi tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya.

  b.

  Bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, dapat dibantah oleh terdakwa dengan alat bukti yang lain berupa saksi yang meringankan maupun dengan keterangan ahli atau alibi.

  2. Keterangan ahli Dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

  Pasal 184 ayat (1) KUHAP menetapkan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Menempatkan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, dapat dicatat sebagai salah satu kemajuan dalam pembaruan hukum. Mungkin pembuat undang-undang menyadari dan sudah tidak dapat dimungkiri lagi, bahwa pada saat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin berkembang pesat saat ini, keterangan ahli memiliki dan memegang peranan dalam penyelesaian kasus pidana. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sedikit banyak membawa dampak terhadap metode kejahatan, yang memaksa kita untuk mengimbanginya dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan

   pengetahuan dan keahlian. Mengenai nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti pembuktian yang mengikat dan menentukan. Jadi nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli adalah sama dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi. Sehingga nilai kekuatan pembuktian yang

  

  melekat pada alat bukti keterangan ahli adalah: a.

  Mempunyai nilai kekuatan pembuktian ”bebas” atau ”vrij bewijskracht”.

  Tidak melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Halim mempunyai kebebasan untuk menilainya.

  b.

  Bahwa keterangan seorang ahli saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Jadi apabila keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa, maka harus disertai lagi dengan alat bukti yang lain.

  Keterangan ahli sebagai alat bukti pada umumnya, tidak menyangkut pokok perkara pidana yang diperiksa. Sifatnya lebih ditujukan untuk menjelaskan sesuatu hal yang masih kurang jelas tentang hal atau suatu keadaan.

  3. Surat Dalam Pasal 187 KUHAP, surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang adalah : a.

  Surat yang dibuat atas sumpah jabatan.

  b.

  Surat yang dikuatkan dengan sumpah.

  Dalam Pasal tersebut telah diperinci secara luas mengenai surat-surat yang

   a.

  ”Berita acara” dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, dengan syarat, isi berita acara dan surat resmi yang dibuat pejabat umum yang berwenang itu harus berisi: 1)

  Memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialami pejabat itu sendiri.

2) Disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.

  Jadi, surat yang termasuk alat bukti surat yang disebutkan di sini adalah ”surat resmi” yang dibuat ”pejabat umum” yang berwenang untuk membuatnya, tetapi agar surat resmi yang bersangkutan dapat bernilai sebagai alat bukti dalam perkara pidana, surat resmi itu harus memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh si pejabat, serta menjelaskan dengan tegas alasan keterangan yang dibuatnya.

  b.

  Surat yang berbentuk ”menurut ketentuan perundang-undangan” atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya, dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu kejadian.

  c.

  Surat ”keterangan dari seorang ahli” yang memuat pendapat berdasar keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya. d.

  ”Surat lain” yang dapat berlaku apabila ada hubungannya dengan isi dari alat alat bukti petunjuk.

  Mengenai nilai kekuatan pembuktian pada alat bukti surat. Dalam Pasal 187 huruf a dan b KUHAP, surat dinilai sebagai alat bukti yang ”sempurna”, dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang ”mengikat” bagi hakim. Sepanjang hal itu tidak dilumpuhkan dengan ”bukti lawan”.

  Oleh karena alat bukti surat resmi atau otentik merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat (volledig en beslissende bewijskracht), hakim tidak bebas lagi untuk menilainya, dan terikat kepada pembuktian surat tersebut dalam mengambil putusan perkara perdata yang bersangkutan. Demikian secara ringkas gambaran dari kekuatan pembuktian surat resmi atau otentik yang diatur dalam hukum acara perdata.

  Untuk menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti surat dalam hukum acara pidana seperti yang telah diatur dalam KUHAP. Maka dapat ditinjau dari segi teori serta menghubungkannya dengan beberapa prinsip

  

pembuktian yang diatur dalam KUHAP.

  a) Ditinjau dari segi formal Alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti ”sempurna”. Karena, bentuk surat-surat yang disebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan oleh peraturan perundang- undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formal dalam pembuatannya, serta dibuat dan berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang, dan ditinjau dari segi formal alat bukti surat seperti yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b dan c adalah alat bukti yang bernilai ”sempurna”. Oleh karena itu, alat bukti surat resmi mempunyai nilai ”pembuktian formal yang sempurna”.

  b) Ditinjau dari segi materiil Dari sudut materiil, semua alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187, ”bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Pada alat bukti surat itu tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan ala bukti keterangan ahli, yaitu sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat ”bebas”. Tanpa mengurangi sifat kesempurnaan formal alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 huruf a, b dan c, sifat kesempurnaan formal tersebut tidak dengan sendirinya mengandung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat.

  Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya. Hakim dapat mempergunakan atau menyingkirkannya. Dasar alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat tersebut berdasarkan pada beberapa asas, antara lain : (1) Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil atau ”kebenaran sejati”, bukan mencari kebenaran formal.

  Dengan asas ini, hakim bebas menilai kebenaran yang terkandung pada alat bukti surat. Walaupun dari segi formal, alat bukti surat telah benar dan sempurna, namun kebenaran dan kesempurnaan formal tersebut

  ”dapat” disingkirkan demi untuk mencari kebenaran materiil. Kebenaran sejati.

  (2) Asas keyakinan hakim, asas ini terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, yang menganut ajaran sistem pembuktian ”menurut undang-undang secara negatif”. Berdasarkan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila kesalahannya telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan atas keterbuktian itu hakim ”yakin”, terdakwalah yang bersalah melakukannya. (3) Asas batas minimum pembuktian. Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat resmi (otentik) berbentuk surat yang dikeluarkan berdasar ketentuan undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaan yang melekat pada alat bukti surat tidak mendukung untuk berdiri sendiri. Alat bukti surat masih tetap memerlukan dukungan dari alat bukti lainnya.

  Artinya, sifat kesempurnaan formalnya harus tunduk pada asas ”batas minimum pembuktian” yang telah ditentukan Pasal 183, dimana Pasal tersebut menyatakan bahwa sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah. Berdasar dari asas batas minimum pembuktian, bagaimanapun sempurnanya ”satu” alat bukti surat, kesempurnaannya tidak dapat berdiri sendiri. Dan harus dibantu lagi dengan dukungan paling sedikit ”satu” alat bukti yang lain untuk memenuhi apa yang telah ditentukan oleh asas batas

  

  4. Petunjuk Dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya.

  Rumusan Pasal tersebut, agak sulit ditangkap dengan mantap. Barangkali rumusan tersebut dapat dituangkan dengan cara menambah beberapa kata ke dalamnya. Dengan penambahan kata-kata itu dapat disusun dalam kalimat berikut: Petunjuk ialah suatu "isyarat" yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan di mana isyarat itu mempunyai "persesuaian" antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut "melahirkan" atau "mewujudkan" suatu petunjuk yang "membentuk kenyataan" terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.

  Dalam Pasal 188 ayat (2) "membatasi" kewenangan hakim dalam cara memperoleh alat bukti petunjuk. Hakim tidak boleh sesuka hati mencari petunjuk dari segala sumber. Sumber yang dapat dipergunakan mengkonstruksi alat bukti petunjuk, terbatas dari alat-alat bukti yang secara "limitatif" ditentukan dalam Pasal 188 ayat (2). Menurut Pasal 188 ayat (2), petunjuk hanya dapat diperoleh dari: a. Keterangan saksi, c. Keterangan terdakwa.

  Petunjuk sebagai alat bukti, baru mungkin dicari dan ditemukan jika telah ada alat bukti yang lain. Persidangan pengadilan tidak mungkin terus melompat mencari dan memeriksa alat bukti petunjuk, sebelum sidang pengadilan memeriksa alat bukti yang lain, sebab petunjuk sebagai alat bukti, bukan alat bukti yang memiliki bentuk "substansi tersendiri". Dia tidak mempunyai "wadah" sendiri jika dibandingkan dengan alat bukti yang lain. Alat bukti keterangan saksi misalnya, jelas mempunyai bentuk objektif atau wadah sendiri, yaitu orang yang memberikan keterangan itu. Demikian juga alat bukti surat. Mempunyai bentuk wadah sendiri yakni surat yang bersangkutan. Tidak demikian halnya dengan alat bukti petunjuk. Dia tidak mempunyai bentuk wadah sendiri. Bentuknya sebagai alat bukti adalah "asessor" (tergantung) pada alat bukti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sebagai sumber yang dapat melahirkannya, dan hanya boleh diambil dan diperoleh dari ketiga alat bukti yang lain tersebut. Kalau alat bukti yang menjadi sumbernya tidak ada diperiksa dalam persidangan pengadilan, dengan sendirinya tidak akan pernah ada alat bukti petunjuk.

  Mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa sifat dan kekuatannya dengan alat bukti yang lain. Alat bukti petunjuk kekuatan pembuktiannya sama dengan alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti surat, yaitu hanya mempunyai sifat kekuatan pembuktian "yang bebas". a) Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh sebagai upaya pembuktian.

  b) Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain.

  

  5. Keterangan terdakwa Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1). Penempatannya pada urutan terakhir ini merupakan salah satu alasan yang digunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi.

  Dalam Pasal 189 ayat (1) menjelaskan tentang pengertian dari alat bukti keterangan terdakwa. Pasal ini menjelaskan bahwa keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri.

  

2. Alat Bukti Berupa Informasi Elektronik Dalam Undang-Undang RI

No.11 tahun 2008

  Menurut Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic

  

mail) , telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses,

  

oleh orang yang mampu memahaminya.

  Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah diatur mengenai apa saja kriteria tentang alat bukti elektronik. Di dalam pasal-pasal undang-undang tersebut telah jelas menyebutkan dan mendefinisikan mengenai alat-alat bukti elektronik. Walaupun masih belum semuanya diatur mengenai perumusan-perumusan tentang alat bukti elektronik, akan tetapi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut merupakan payung hukum bagi penegakan Cyber Law di Indonesia.

  Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut dijelaskan mengenai penggunaan alat bukti elektronik yang dapat digunakan sebagai bukti dalam persidangan. Dalam pasal tersebut dinyatakan sebagai berikut :

  1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

  2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

  3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila Undang-Undang ini.

  4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a) surat yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b) surat beserta dokumennya yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

  Perumusan pasal tersebut merupakan sebuah regulasi yang setidaknya Indonesia. Di Indonesia sendiri tindak pidana cyber crime itu banyak sekali dapat menjadi payung hukum terhadap tindak pidana cyber crime yang ada, antara lain:

  

  1. Unauthorized Access to Computer System and Service (akses yang tidak berkepentingan/tidak sah ke sistem komputer dan sistem pelayanan).

  Kejahatan ini dilakukan dengan memasuki atau menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa ijin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik jaringan komputer yang dimasukinya. Motifnya bisa bermacam-macam, antara lain adalah sabotase, pencurian data dan sebagainya. Sebagai contoh adalah pada tahun 2004, website milik Komisi Pemilihan Umum dirusak oleh seorang hacker.

  2. Illegal Contents (muatan tidak sah). Kejahatan ini dilakukan dengan benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Contohnya adalah pornografi, pemuatan berita bohong, agitasi termasuk juga delik politik dapat dimasukkan dalam kategori ini bila menggunakan media ruang maya (cyber).

  3. Data Forgery (pemalsuan data). Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless

  document melalui internet.

  4. Cyber Espionage (mata-mata). Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen atau datanya tersimpan dalam suatu sistem yang computeraized.

  5. Cyber Sabotage and Extortion (sabotase dan pemerasan). Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung ke internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu virus, trojan, atau backdoor, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku.

  6. Offence Againts Intellectual Property (penyerangan terhadap kekayaan intelektual). Kejahatan ini ditujukan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual

  7. Infringements of Piracy (pelanggaran pembajakan). Kejahatan ini ditujukan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan secara computeraized. Yang apabila diketahui orang lain maka dapat merugikan korban secara materiil maupun immaterial, seperti nomor PIN (personal identity number) ATM, nomor kartu kredit dan sebagainya.

  Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 menyatakan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”. Apa yang dimaksud dengan informasi elektronik tersebut adalah sebagai berikut :

  Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

  Pengertian mengenai informasi elektronik tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Dalam Pasal tersebut telah dijelaskan secara jelas mengenai bukti elektronik berupa informasi elektronik. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1) juga diterangkan mengenai dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah.

  Pengertian dokumen elektronik itu telah dijelaskan dengan jelas pada berikut : Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Akan tetapi, tidak sembarang informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Menurut Undang-Undang Nomor

  11 Tahun 2008 tersebut, suatu informasi elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tersebut, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:

  

  1. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;

  2. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

  3. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam

  4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan 5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

B. Tindak Pidana Kejahatan Mayantara (Cyber crime)

  Kejahatan mayantara (Cyber crime) merupakan bentuk kejahatan yang relatif baru apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kejahatan lain yang sifatnya konvensional (street crime). Cyber crime muncul bersamaan dengan lahirnya revolusi teknologi informasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Ronni R.

  Nitibaskara bahwa : Interaksi sosial yang meminimalisir kehadiran secara fisik, merupakan ciri lain revolusi teknologi informasi. Dengan interaksi semacam ini, penyimpangan hubungan sosial yang berupa kejahatan (cyber), akan

   menyesuaikan bentuknya dengan karakter baru tersebut”.

  Beberapa literatur sering mengidentikkan cyber crime sebagai computer

  crime . The U.S. Department of Justice memberikan pengertian Computer Crime

  sebagai: "… any illegal act requiring knowledge of Computer technology for its

  

perpetration, investigation, or prosecution" . Pengertian lainnya diberikan oleh

78 Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, 2001. Ketika Kejahatan Berdaulat: Sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi , Peradaban, Jakarta, hal. 38.

  

Organization of European Community Development , yaitu: "any illegal, unethical

transmission of data" . Kejahatan komputer dapat diartikan juga sebagai tindak

  pidana apa saja yang dilakukan dengan memakai komputer (hardware dan

  

software ) sebagai sarana/alat atau komputer sebagai objek, baik untuk

  memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain, atau tindakan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer yang

  

  canggih. Andi Hamzah dalam bukunya Aspek-aspek Pidana di Bidang

  

Komputer (1989) mengartikan cyber crime sebagai: “kejahatan di bidang

  komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara illegal.” Sedangkan menurut Eoghan Casey “Cyber crime is used throughout this

  

text to refer to any crime that involves computer and networks, including crimes

   that do not rely heavily on computer“.

  Kejahatan mayantara (cyber crime) dapat diartikan sebagai kegiatan ilegal dengan perantara komputer yang dapat dilakukan melalui jaringan elektronik global. Perbedaannya dengan kejahatan konvensional dapat dilihat dari kemampuan serbaguna yang ditampilkan akibat perkembangan informasi dan teknologi komunikasi yang semakin canggih. Sebagai contoh, komunikasi yang melalui internet membuat pelaku kejahatan lebih mudah beraksi melewati batas wilayah Negara untuk melakukan kejahatannya tersebut. Internet juga membuat kejahatan semakin terorganisir dengan tersedianya teknik yang semakin canggih 80 Eddy Djunaedi Kartasudirdja, ibid. guna mendukung dan mengembangkan jaringan untuk perdagangan obat, para hacker keadaan ini memberikan ruang yang cukup luas untuk

   mengaplikasikan keahlian komputer yang dimilikinya.

  Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-10 mengenai Pencegahan kejahatan dan penanganan Pelaku Tindak Pidana, yang membahas isu mengenai kejahatan yang berhubungan dengan jaringan komputer, membagi cyber crime dalam arti luas. Cyber crime menjadi dua kategori yaitu cyber crime dalam arti sempit dan cyber crime dalam arti luas. Cyber crime dalam arti sempit (kejahatan komputer: computer crime) adalah setiap perilaku ilegal yang ditunjukkan dengan sengaja pada operasi elektronik yang menargetkan sistem keamanan komputer dan data yang diproses oleh sistem komputer tersebut. Cyber crime dalam arti luas (kejahatan yang berkaitan dengan komputer: adalah setiap perilaku ilegal yang dilakukan dengan maksud atau berhubungan dengan sistem komputer atau jaringan, termasuk kejahatan pemilikan, penawaran atau distribusi dari komputer sistem atau jaringan. Tentu saja definisi ini sangat kompleks. Perbuatan yang dianggap ilegal di

   suatu negara belum tentu dianggap ilegal di negara lain.

  Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya istilah cyber crime berbeda- beda, ada yang menggunakan istilah kejahatan komputer, kejahatan mayantara dan lain-lain. Sedikitnya terdapat dua kelompok para ahli yang memberikan pendapat mengenai istilah ataupun definisi mengenai kejahatan komputer, kejahatan yang 82 Steven Furnell, 2002. Cyber crime Vandalizing The Information Society. United States of America: Pearson Education Limited, hal. 3. berkaitan erat dengan komputer, atau penyalahgunaan komputer. Ada yang menggunakan keahlian khusus pada komputer atau jaringan. Ada pula yang mengartikan dalam arti luas yaitu semua kejahatan yang berhubungan dengan komputer.

a. Pengertian Cyber crime dalam Arti Luas

  Ada beberapa pengertian kejahatan komputer oleh berbagai ahli sebagaimana dikutip dalam (Kartasudirja, 1999). Menurut Comer, cyber crime adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan itikad buruk untuk tujuan keuangan yang melibatkan komputer. Menurut Mandel mendefinisikan pengertian cyber

  

crime meliputi : penggunaan komputer untuk tujuan melaksanakan perbuatan

  penipuan, pencurian atau penyembunyian yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan keuangan, keuntungan bisnis, kekayaan atau pelayanan; ancaman terhadap komputer itu sendiri, seperti pencurian perangkat keras atau lunak, sabotase dan pemerasan. Kemudian menurut Kespersen, cyber crime adalah setiap perbuatan melawan hukum yang secara langsung mengganggu proses program komputer yang telah dirancang. Sedangkan Ulrich Sieber mendefinisikan kejahatan komputer menjadi; penipuan dengan memanipulasi komputer; mata-mata dengan komputer dan pembajakan perangkat lunak; sabotase komputer, pencurian data, memasuki Dual Processor System (DP system) tanpa otoritas dan hacking dan

   komputer sebagai alat untuk melakukan kejahatan.

85 Menurut Kartasudirja (1999) , dalam pengertian luas, cyber crime adalah

  dan software) sebagai sarana atau alat, komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan pihak lain.

  2. Pengertian Cyber crime dalam Arti Sempit

  Para ahli yang menganut pandangan yang sempit memberikan pengertian atau definisi kejahatan komputer sebagai tindak pidana yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi canggih, tanpa penguasaan ilmu mana tindak pidana tidak mungkin dapat dilaksanakan. (…any illegal act for which knowledge of computer

   technology is essential for its perpetration ).

  Pakar hukum komputer, Don Parker dan Nycum, memberikan pengertian kejahatan komputer dalam arti sempit yaitu setiap perbuatan hukum yang menjadikan pengetahuan khusus mengenai teknologi komputer sangat penting untuk pelaksanaan, penyidikan dan penuntutan. Menurut Kartasudirja, dalam pengertian sempit, cyber crime adalah tindak pidana yang dilakukan dengan

   menggunakan teknologi komputer yang canggih.

  3. Karakteristik Cyber crime

  Ada beberapa karakteristik yang membedakan cyber crime dengan tindak pidana konvensional. Karakteristik cyber crime dibandingkan tindak pidana lain

  

  menurut Nitibaskara ada empat yaitu : 85 86 Ibid, hal. 2. 87 Ibid, hal. 2.

  Ibid, hal. 3.

  1. Penggunaan TI dalam modus operandi; Korban cyber crime dapat menimpa siapa saja mulai dari perseorangan sampai negara;

  3. Cyber crime bersifat non violence (tanpa kekerasan); 4.

  Karena tidak kasat mata maka fear of crime (ketakutan atas kejahatan) tidak mudah timbul.

  Cyber crime berbeda dengan kejahatan komputer lainnya. Hal ini

  mempengaruhi dengan adanya kecepatan cyberspace sehingga terjadi perubahan mendasar mengenai kejahatan ini. Pertama, karena kecanggihan cyberspace, kejahatan dapat dilakukan dengan cepat bahkan dalam hitungan detik. Kedua, karena cyberspace yang tidak terlihat secara fisik maka interaksi baik individu maupun kelompok terjadi sehingga pemikiran yang dianggap ilegal di luar dunia

  

cyber dapat disebarkan ke masyarakat melalui dunia cyber. Ketiga, karena dunia

cyber yang universal memberikan kebebasan bagi seseorang mempublikasikan

  idenya termasuk yang ilegal seperti muncul bentuk kejahatan baru seperti

  

cyberterrorism . Keempat, karena cyberspace tidak dalam bentuk fisik maka

  konsep hukum yang digunakan menjadi kabur. Misalnya konsep batas wilayah Negara dalam sistem penegakan hukum suatu negara menjadi berkurang karena keberadaan dunia cyber dimana setiap orang dapat berinteraksi dari berbagi

   tempat di dunia.

  Keberadaan dunia cyber, sekarang ini menjadi urusan dunia internasional bukan domestik suatu negara lagi. Karena pengaruh yang ditimbulkan dapat menimpa siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Sebagai contoh yang yang meluas di luar perkiraan sebelumnya. Virus ini adalah salah satu virus pertama yang menjangkiti kurang lebih 45 sistem jaringan di dunia dan membuat kerugian sekitar 10 milyar dollar US. Setelah diselidiki, pelakunya adalah seorang mahasiswa suatu universitas komputer di Filipina yaitu Onel de Guzman yang beralasan itu semua dilakukan dalam rangka proyek penelitian kampus. Karena pada tahun tersebut Filipina belum ada aturan yang mengatur hacking maka aparat

   penegak hukum membatalkan semua tuduhan terhadapnya.

  Hal ini menandakan bahwa cyber crime bersifat global dalam artian akibat yang ditimbulkan tidak terbatas dalam satu wilayah suatu negara saja. Dengan menggunakan teknologi komputer dan komunikasi, dalam hal ini jaringan komputer melalui media internet, cyber crime dapat dilakukan dalam berbagai tempat yang terpisah dengan korbannya. Bahkan, korban dan pelaku cyber crime dapat berasal dari negara yang berbeda. Sehingga cyber crime sering kali bersifat

  

borderless (tanpa batas wilayah) bahkan transnasional (lintas batas negara). Di

  samping itu, cyber crime tidak meninggalkan jejak berupa catatan atau dokumen fisik dalam bentuk kertas (paperless), akan tetapi semua jejak hanya tersimpan dalam komputer jaringannya tersebut dalam bentuk data atau informasi digital

   (log files).

90 R. Schmidt. 2006, Scence of the Cybercrime, United States of America: Syngress

  Dalam dunia maya, masalah keamanan merupakan suatu hal yang sangat hukum dalam hal pengamanan dan penanganan kasus cyber crime ini, menyebabkan semakin maraknya kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam dunia

  

cyber tersebut. Ditambah lagi kecilnya kemungkinan ditangkapnya pelaku dan

  kemajuan teknologi yang mempermudah aksi mereka. Seseorang yang melakukan kejahatan jenis ini, terkadang tidak memiliki motif untuk meraup keuntungan ekonomis, tetapi juga karena unsur lain seperti tantangan, hobby dan bahkan membuktikan tingkat intelijen yang dimilikinya dan kebolehan teknis yang terlibat di dalamnya. Yang pada intinya, pelaku menggunakan kekreativitasnya

   untuk melakukan aksinya tersebut.

  Dibalik dari semua itu, tidak semua cyber crime dapat disebutkan sebagai tindak kejahatan dalam arti yang sesungguhnya. Dimana, cyber crime sebagai kejahatan yang murni kriminal seperti pencurian data, penipuan, penyebaran virus dan material bajakan dan lain sebagainya. Sedangkan cyber crime sebagai kejahatan abu-abu yaitu dalam hal pengintaian guna untuk mengumpulkan data dan informasi sebanyak-banyaknya demi kepentingan pengintaian, termasuk sistem pengintaian baik secara terbuka maupun tertutup. Kejahatan seperti ini disebut sebagai probing atau portscaning. Seperti layaknya dalam komunitas dunia internasional pada umumnya, kebebasan dalam penggunaan internet memerlukan suatu aturan yang jelas dan melindungi setiap penggunaannya dan menghindari kekacauan yang sangat mudah terjadi di dalam dunia cyber ini dimana batasan territorial suatu negara beserta juridiksi hukumnya menjadi tidak menjadi semakin kompleks karena ruang lingkupnya yang sangat luas. Cyber

  

crime kini telah menjadi isu internasional, dimana tindak kejahatan ini sangat sulit

untuk ditanggulangi hingga saat ini.

  Aktivitas cyber crime dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, tidak hanya di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Yang patut diperhatikan dan dikhawatirkan adalah bahwa aktivitas cyber crime justru banyak terjadi dan berasal dari negara-negara berkembang seperti Ukraina, Pakistan dan Indonesia sendiri, yang tidak lain disebabkan karena hukum yang lemah dan kurangnya perhatian terhadap masalah ini di negara tersebut dalam mengatur penggunaan

   akses informasi global tersebut. Dalam hal ini cyber law dan cyber policy.

  

C. Pengaturan Hukum Pidana Dalam Undang-Undang RI No. 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

  Negara Indonesia telah membuat kebijakan yang berhubungan dengan hukum teknologi informasi (law of information technology) setelah diundangkannya Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tanggal 21 April 2008 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Produk hukum yang berkaitan dengan ruang siber (cyber

  

space) atau mayantara ini dianggap oleh pemerintah perlu untuk memberikan

  keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Kritik masyarakat baik dari akademisi, aparat penegak hukum, para bloggers terutama hackers pada saat Karena dalam merumuskan peraturan hukum dewasa ini harus mempertimbangkan secara komprehensif beragam dimensi persoalan. Di sini orang akan mempersoalkan hak-hak warga seperti kebebasan berekspresi, kebebasan media, dan masalah-masalah HAM seperti : persoalan privasi, hak untuk memperoleh informasi, dan sebagainya yang saat ini sangat diperhatikan dalam legislasi positif nasional. Di sinilah relevansi persoalan hak dan kewajiban menjadi penting.

  Penanggulangan kejahatan mayantara tidak terlepas dari kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah ”politik kriminal” menurut Sudarto politik kriminal merupakan suatu usaha yang rasional

   dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.

  Oleh karena itu tujuan pembuatan UU ITE tidak terlepas dari tujuan politik kriminal yaitu sebagai upaya untuk kesejahteraan sosial dan untuk perlindungan masyarakat. Evaluasi terhadap kebijakan di dunia mayantara tetap diperlukan sekiranya ada kelemahan kebijakan hukum pidana dalam perundang- undangan tersebut.

  Menurut Barda Nawawi Arief, evaluasi atau kajian ulang ini perlu dilakukan, karena ada keterkaitan erat antara kebijakan hukum pidana perundang- undangan dengan kebijakan penegakan hukum dan kebijakan pemberantasan/ penanggulangan kejahatan. Kelemahan kebijakan hukum pidana, akan berpengaruh pada kebijakan penegakan hukum pidana dan kebijakan

95 Perumusan tindak pidana dalam UU ITE selalu diawali dengan kata-kata

  ”setiap orang” yang menunjukkan kepada pengertian orang. Namun dalam Pasal 1 sub 21 UU ITE ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan ”orang” adalah orang, perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum. Penegasan dalam pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum juga terdapat dalam penjelasan Pasal 2 UU ITE yang menyatakan badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia merupakan subjek tindak pidana UU ITE. Demikian pula dalam Bab XI tentang Dilihat dari perspektif hukum pidana maka kebijakan hukum pidana harus memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang berlaku saat ini. Tidaklah dapat dikatakan terjadi harmonisasi/sinkronisasi apabila kebijakan hukum pidana berada di luar sistem hukum pidana yang berlaku saat ini.

  

C.1. Subjek Tindak Pidana dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

  Perumusan tindak pidana dalam UU ITE selalu diawali dengan kata-kata ”setiap orang” yang menunjukkan kepada pengertian orang. Namun dalam Pasal 1 sub 21 UU ITE ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan ”orang” adalah orang, perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum. Penegasan dalam pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum juga terdapat dalam penjelasan Pasal 2 UU ITE yang menyatakan badan hukum merupakan subjek tindak pidana UU ITE. Demikian pula dalam Bab XI tentang ketentuan pidana, dalam Pasal 52 ayat (4) yang mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi. Dengan demikian subjek tindak pidana (yang dapat dipidana) menurut UU ITE dapat berupa orang perorangan maupun korporasi.

  Pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi mengenai ketentuan terhadap kapan korporasi dikatakan telah melakukan tindak pidana dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan tidak diatur secara jelas dan khusus dalam UU ITE, tetapi Penjelasan Pasal 52 ayat (4) memberikan persyaratan terhadap subjek pertanggungjawaban korporasi untuk dikenakan sanksi pidana adalah yang dilakukan oleh korporasi dan/ atau oleh pengurus dan/ atau staf korporasi.

  

C.2. Perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

  Dalam UUITE ini disebutkan dalam BAB VII tentang perbuatan yang dilarang yang terdapat dalam pasal 27 sampai dengan pasal 37. Tetapi di dalam prakteknya, pasal demi pasal ini dianggap rancu oleh masyarakat. Karena pasal-pasal ini tidak menerangkan dengan pasti maksud dari penjelasan pasal tersebut.

  1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar 2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian. 3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik.

  4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

  Pada ayat 1, dilarang untuk mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya suatu data (dalam hal ini data tersebut berbentuk informasi elektronik dan dokumen elektronik) yang memuat unsur-unsur asusila, definisinya pada

  pasal 1 UU ITE, yaitu :

  1. Informasi Elektronik : merupakan satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

  2. Dokumen Elektronik : setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, elektromagnetik, optikal, dan sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi, yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

   memahaminya.

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS FACEBOOK SEBAGAI ALAT BUKTI DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM TINDAK PIDANA PENGHINAAN”

0 6 17

ANALISIS YURIDIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA JUDI ONLINE BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (Putusan Nomor : 831/Pid.B/2013/PN.Sda)

4 25 63

IMPLEMENTASI PASAL 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK MENGENAI PEMBERLAKUAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH

0 12 114

IMPLEMENTASI PASAL 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK MENGENAI PEMBERLAKUAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH

0 6 18

IDENTIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008)

0 5 16

IDENTIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008)

1 12 77

IDENTIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

0 3 2

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKT

0 6 20

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKT

0 8 66

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PROSTITUSI ONLINE SEBAGAI TINDAK PIDANA PELACURAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)

8 71 86