IMPLEMENTASI PASAL 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK MENGENAI PEMBERLAKUAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH
ABSTRAK
IMPLEMENTASI PASAL 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK MENGENAI
PEMBERLAKUAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH
Oleh
Magfiroh
Perkembangan teknologi saat ini sangat pesat dan kejahatan melalui media elektronik atau cybercrime juga merajalela dan sangat merugikan. CyberCrime merupakan bentuk perkembangan kejahatan transnasional yang cukup mengkhawatirkan saat ini. Pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi saat ini merupakan dampak dari semakin kompleksnya kebutuhan manusia akan informasi itu sendiri. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya di sebut UU ITE) dan dengan penerapan Pasal 5 UU ITE diharapkan mampu untuk mencegah perkembangan kejahatan teknologi informasi (TI) khususnya di bidang informasi dan transaksi elektronik dengan menggunakan sistem komputer melalui media internet yang lebih luas dan bisa memperkuat alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah implementasi pasal 5 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai pemberlakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti sah dan bagaimanakah kekuatan alat bukti elektronik.
Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan masalah berupa pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer, yaitu wawancara langsung dengan responden yang telah ditentukan dengan pokok bahasan dalam skripsi ini dan data sekunder yang berasal dari kepustakaan. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan berdasarkan hasil analisis kemudian ditarik kesimpulan melalui metode induktif.
(2)
serta bisa mewakili dari masalah yang diteliti.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, yakni setelah berlakunya UU ITE maka penerapan pasal 5 UU ITE ini di implementasikan dalam hukum positif di Indonesia, dan disosialisasikan ke masyarakat luas, walau belum maksimal dalam penerapannya, pembuktian alat bukti elektronik mempunyai kepastian hukum yang sama dengan alat bukti yang ada dalam KUHAP. Dalam pengungkapan suatu perkara tindak pidana, paling tidak ada tiga hal yang tidak dapat dipisahkan karena menyangkut keabsahan atau kevalidan suatu putusan pengadilan, yaitu sistem pembuktian yang di anut oleh hukum acara, alat bukti, dan kekuatan pembuktian serta barang bukti yang akan memperkuat alat bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan. Sehingga membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Baik dalam hukum acara perdata maupun hukum acara pidana. Karena pembuktian memegang peranan yang sangat sentral. Begitu pula dengan Dokumen Elektronik yang terdapat dalam Pasal 5 UU ITE yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti lain pada umumnya.
Pada bagian akhir penulisan ini yang menjadi saran penulis adalah melakukan revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan segera dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tentang UU ITE, agar UU ITE ini berjalan dengan baik dan berkesinambungan.
(3)
Perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi seperti internet, maka manusia dapat mengetahui apa yang terjadi didunia dalam hitungan detik, dapat berkomunikasi dan mengenal orang dari penjuru dunia tanpa harus berjalan jauh dan bertatap muka secara langsung. Inilah yang dikenal orang dengan sebutan dunia maya atau Cyber Space. Perkembangan teknologi informasi ini banyak manfaat yang positif dalam memudahkan umat manusia untuk melakukan kegiatan melalui dunia maya atau Cyber Space, seperti: e-travel yang berhubungan dengan pariwisata, e-banking yang berhubungan dengan perbankan electronic mail atau e-mail, e-commerce yang berhubungan dengan perniagaan.
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi disamping memberi manfaat kemaslahatan bagi masyarakat, disisi lain memiliki peluang digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan. Kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dapat terjadi pada kejahatan biasa maupun yang secara khusus menargetkan kepada sesama infrastruktur dan komunikasi sebagai korbannya, dimana dampak dari kejahatan yang muncul dari penggunaan teknologi informasi dan komunikasi secara negatif dapat menyebabkan runtuhnya sistem tatanan sosial, lumpuhnya perekonomian nasional suatu negara, lemahnya sistem pertahanan dan keamanan serta juga dapat memiliki peluang untuk digunakan sebagai alat teror.
Dampak negatif pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi tersebut sesungguhnya dewasa ini dan pada masa yang akan datang patut mendapat perhatian kita dengan seksama, khususnya dengan mencermati kejahatan dunia maya baik kejahatan yang bersifat konvensional yang difasilitasi oleh teknolgi
(4)
canggih maupun muncul dan berkembangnya kejahatan baru dengan teknologi tersebut.
Kemunculan internet dapat dikatakan merupakan hasil dari revolusi informasi yang sangat mengagumkan, membanggakan oleh karena secara mendasar mengandung ciri praktis dan memudahkan, baik untuk penggunaan secara orang perorangan maupun organisasi atau institusional, dalam berbagai aspek kehidupan.maka patut dicermati bahwa penyalahgunaan internet membawa dampak negatif dalam bentuk munculnya jenis kejahatan baru seperti:
a. hackers membobol komputer milik bank dan memindahkan dana secara melawan hukum;
b. pelaku mendistribusikan gambar pornografi;
c. teroris menggunakan internet untuk merancang dan melaksanakan serangan;
d. penipu menggunakan kartu kredit milik orang lain untuk berbelanja di internet.
Kejahatan menggunakan sarana internet memiliki karakteristik tidak hanya lingkup nasional namun bersifat global, oleh karena itu dapat menembus ruang dan waktu, tidak ada batas negara, tidak mengenal yuridiksi, dan dapat dilakukan dari mana saja dan kapan saja. Mencermati perkembangan pesat kejahatan yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi seperti halnya dengan menggunakan internet, kita dihadapkan suatu kenyataan bahwa hukum sepatutnya mampu mengimbangi pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi khususnya kejahatan dengan menggunakan internet.
(5)
Secara umum yang dimaksud dengan kejahatan komputer atau kejahatan di dunia siber adalah upaya memasuki dan atau menggunakan fasilitas komputer atau jaringan komputer tanpa ijin dan dengan melawan hukum, dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut ( M. Arief dan Elisatris Gultom, 2005:8).
Pembuktian di era teknologi informasi sekarang ini menghadapi tantangan yang besar yang memerlukan penangan serius, khususnya dalam kaitan pemberantasan kejahatan dunia maya (cyber crime). Hal ini ini muncul karena sebagian pihak jenis-jenis alat bukti yang selama ini dipakai sangat sulit dalam menjerat pelaku-pelaku kejahatan di dunia maya (cyber crime), mengingat bahwa luasnya kausa dan motif berkembangnya jenis kejahatan yang berbasis teknologi informasi.
Pembuktian merupakan satu aspek yang memegang peranan sentral dalam suatu proses peradilan. Pada kasus pidana, nasib terdakwa akan ditentukan pada tahap ini, jika tidak cukup alat bukti, terdakwa akan dinyatakan tidak bersalah dan harus dibebaskan, begitupun sebaliknya. Sedangkan pada kasus perdata, dalam tahap pembuktian ini para pihak diberikan kesempatan untuk menunjukkan kebenaran terhadap fakta-fakta hukum yang merupakan titik pokok sengketa. Sehingga, hakim yang memeriksa dan memutus perkara akan mendasarkan pada alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa.
Hukum pidana, Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) telah menentukan secara ’limitatif’ alat bukti yang sah menurut UU, yaitu keterangan saksi (harus 2 orang saksi); keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan alat bukti yang lain
(6)
dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip minimal pembuktian dalam hukum pidana - seperti telah diatur dalam pasal 183 KUHAP - menyatakan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia (hakim) memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pada tataran implementasi, ketentuan ini dapat menyulitkan penyidik jika ternyata alat bukti yang ada sangat minim. Sehingga, seringkali penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) maupun Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) bahkan putusan bebas jika perkara sudah dimejahijaukan
Hukum perdata, pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) maupun pasal 164 ketentuan Hukum Acara Perdata (Het Herziene Indonesisch Reglement/HIR dan pasa! 284 Rechtsreglement Buitengewesten/Rbg) mengatur bahwa alat pembuktian meliputi bukti tertulis; bukti saksi; persangkaan; pengakuan; dan sumpah. Hal ini menimbulkan permasalahan yang terjadi pada bidang keperdataan, karena transaksi elektronik untuk kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (electronic commerce) telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional. Kenyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang teknologi informasi, media, dan informatika (telematika) berkembang terus tanpa dapat dibendung, seiring dengan ditemukannya perkembangan baru di bidang teknologi informasi, media, dan komunikasi. Dalam kondisi perkembangan teknologi yang semakin maju, ketentuan dalam regulasi yang ada saat ini memang belum memadai. Apalagi ketentuan warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda seperti KUHPer dan HIR/Rbg. Oleh karena itu,
(7)
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjawab kelemahan ini dengan membentuk Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Materi penting dalam UU ITE adalah pengakuan terhadap perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Perluasan yang dimaksud adalah pengakuan terhadap informasi elektronik sebagai alat bukti. Artinya, kini telah bertambah satu lagi alat bukti yang dapat digunakan di pengadilan.
Informasi elektronik dapat menjadi alat bukti yang dapat berdiri sendiri sebagaimana ditegaskan di dalam pasal 5 ayat (1) UU ITE, bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Informasi Elektronik merupakan satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, elektronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (pasal 1 angka 1 UU ITE).
Dalam perkembangannya, informasi yang dapat berwujud elektronik (elecrtonic based) semakin diakui keefesienannya, baik dalam hal pembuatan, pengolahan, maupun penyimpanan informasi elektronik tersebut. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa bentuk tertulis dari suatu informasi merupakan salah satu sarana pemenuhan banyak ketentuan hukum di Indonesia, walaupun pada beberapa aspek hukum tidak disyaratkan adanya suatu bentuk tertulis dari suatu informasi.
(8)
Namun, tidak dinafikan bahwa persepsi umum bentuk tertulis dari suatu informasi menjadi suatu bukti yang lebih kuat dalam suatu hubungan hukum. Hal inilah yang meletakkan bentuk tertulis di atas kertas tersebut seakan-akan menjadi hal yang sangat penting (Edmon Makarim, 2004 : 415).
Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang lnformasi danTransaksi Elektronik ditegaskan, alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Dokumen elektronik dirumuskan, setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau se-jenisnya,yang dapat dilihat,ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik.
Kesulitan mendasar penggunaan alat bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara pidana, khususnya mengenai tindak pidana dengan menggunakan komputer yaitu tidak adanya patokan atau dasar penggunaan bukti elektronik ini dalam perundang-undangan kita. Padahal dalam kejahatan dengan menggunakan komputer bukti yang akan mengarahkan suatu peristiwa pidana adalah data-data elektronik baik yang berada di dalam komputer itu sendiri (hardisk/floopy disc) atau yang merupakan hasil print out, atau dalam bentuk lain berupa jejak (path) dari suatu aktivitas penggunaan komputer (Edmon Makarim, 2004 : 423).
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik mengadakan penelitian dan menuangkannya dalam karya tulis berjudul: Implementasi pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Mengenai Pemberlakuan Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Sah
(9)
B. Pokok Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahan yang akan dibahas yaitu: 1. Bagaimanakah Implementasi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai pemberlakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti sah?
2. Bagaimanakah kekuatan alat bukti Elektronik?
2. Ruang lingkup
Agar penulisan skripsi ini tidak terlalu luas, maka pokok bahasan hanya dibatasi pada Implementasi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, lingkup penelitian dibatasi pada wilayah hukum Polda Lampung.
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1.Tujuan penulisan
Berdasarkkan permasalahan dan ruang lingkup permasalahan di atas maka penulisan skripsi bertujuan untuk mengetahui : Implementasi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Mengenai Pemberlakuan Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Sah.
2. Kegunaan Penulisan a. Kegunaan Teoritis
Kegunaan teoritis dari hasil penelitian ini untuk memberikan sumbangan Pengetahuan bagi perkembangan ilmu hukum khususnya tentang Dokumen
(10)
Elektronik dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE).
b. Kegunaan Praktis
Kegunaan Praktis dari penelitian ini adalah sebagai acuan dan referensi bagi pendidikan dan penelitian hukum, sumber bacaan bidang hukum khususnya pemberlakuan alat dokumen eletronik sebagai alat bukti sah pada pasal 5 Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
D. Kerangka Teoritis dan konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang di anggap revelan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 123).
Saat ini telah lahir suatu hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (Internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis
(11)
sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.
Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan yang bersifat tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik yang pada awalnya sulit dikategorikan sebagai delik pencurian tetapi akhirnya dapat diterima sebagai perbuatan pidana. Kenyataan saat ini yang berkaitan dengan kegiatan siber tidak lagi sesederhana itu, mengingat kegiatannya tidak lagi bisa dibatasi oleh teritori suatu negara, aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku internet maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun misalnya dalam pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet.
Di samping itu masalah pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat data elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia, tetapi dalam kenyataannya data dimaksud juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Sehingga dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian cepat. Teknologi infomasi telah menjadi instrumen efektif dalam perdagangan global (31 Mei 2005).
(12)
Keberadaan alat bukti sangat penting terutama untuk menunjukkan adanya peristiwa hukum yang telah terjadi. Menurut PAF Lamintang, orang dapat mengetahui bahwa adanya dua alat bukti yang sah itu adalah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi seseorang. Tetapi dari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi.
Adanya alat bukti yang sah sangat penting bagi hakim pidana dalam meyakinkan dirinya membuat putusan atas suatu perkara. Alat bukti ini harus sah (wettige bewijsmiddelen). Hanya terbatas pada alat-alat bukti sebagaimana di sebut dalam Undang-undang (KUHAP atau Undang-undang lain). UU ITE melalui pasal 5 ayat (1) dan (2) ternyata memberikan 3 buah alat bukti baru yaitu; Informasi elektornik, dokumen elektronik dan hasil cetak dari keduanya, merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Dalam pasal 184 KUHAP hanya mengenal 5 alat bukti yang dapat dipersidangkan dipengadilan yaitu alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Akan tetapi dalam RUU KUHAP alat bukti yang sah dipersidangan berubah menjadi alat bukti barang bukti, surat-surat, alat bukti elektronik, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan pengamatan hakim.
Pesatnya kemajuan di bidang komunikasi dan informasi, yang notabene memanfaatkan komputer sebagai media tentunya, tidak selalu berdampak positif melainkan juga negatif. Saat ini penguasaan informasi dalam jaringan dunia
(13)
(global network) merupakan suatu keharusan jika kita tidak ingin menjadi objek didalamnya. Dalam dunia maya (cyberspace) telah terjadi perubahan paradigma, terutama dalam pemanfaatan informasi sebagai suatu aset untuk menguasai dunia. Banyak hal dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer, informasi, dan komunikasi yang bermuara pada jaringan internet sebagai wujud perpaduan tiga bidang teknologi tersebut ( Edmon Makarim, 2005:428).
Perkembangan teknologi dibidang komputer dengan sistem jaringan telah diaplikasikan kedalam berbagai sektor kehidupan manusia. Sistem jaringan yang dibentuk telah menciptakan suatu yang disebut cyber space. Pemanfaatan cyber space ini dalam perkembangananya menuntut regulasi tersendiri, mengingat banyak dijumpai penyalahgunaan terhadap fasilitas yang ada dalam cyber space tersebut.
Kompilasi permasalahan dalam cyber space ini tentu saja memutar pembenahan terhadap sistem hukum secara menyeluruh baik mengenai kultur hukum dan substansi hukum khususnya hukum pidana. Dengan demikian kebijakan hukum pidana (penal pollicy) menduduki posisi yang strategis dalam perkembangan hukum pidana modern (Barda Nawawi Arif, 1996:23-24).
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti (Soerjono Soekanto, 1986:32).
a. Implementasi adalah pelaksanaan; penerapan;pertemuan kedua ini bermaksud mencari bentuk (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1990:327).
(14)
b. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisaan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf; tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (Pasal 1 Ayat (2) UU ITE).
c. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya (Pasal 1 Ayat (3) UU ITE).
d. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisa dan menyebarkan informasi (Pasal 1 Ayat (3) UU ITE).
e. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterina, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/ atau Komputer atau sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancanga., foto atau sejeninya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminyaa. (Pasal 1 Ayat (4) UU ITE)
e. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi (Pasal 1 Ayat (5) UU ITE).
(15)
f. komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sisitem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan (Pasal 1 Ayat (14) UU ITE).
g. Alat Bukti adalah alat bukti yang terdapat dalam pasal 184 KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam memahami skripsi ini secara keseluruhan maka sistematika penulisan disusun sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan skripsi dengan judul Implementasi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengenai Pemberlakuan Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Sah, kemudian dalam bab ini memuat perumusan masalah dan pembatasan ruang lingkup masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, serta uraian mengenai kerangka teoritis dan konseptual serta sistem penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan pemahaman mengenai pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan implementasi pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengenai pemberlakuan dokumen elektronik sebagi alat bukti sah.
(16)
III. METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan metode-metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu tentang langkah-langkah yang digunakan penulis dalam melakukan pendekatan masalah, yaitu dalam hal memperoleh dan mengklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan dan pengolahan data. Kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis dengan bentuk uraian.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memuat pembahasan, yaitu mengenai implementasi pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transakasi Elektronik mengenai pemberlakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti sah serta pengaturan penggunaan alat bukti sah yang berupa dokumen elektronik dalam hukum acara pidana.
V. PENUTUP
Bab ini merupakan kesimpulan secara ringkas dari hasil perubahan serta beberapa saran dari penulis berhubungan dengan pemecahan permasalahan yang dibahas.
(17)
dicurigai terhadap alat bukti yang dipalsukan, persidangan Acara Perdata akan menunggu diputuskannya dulu kasus pidana tersebut. Dalam Hukum Acara Perdata, pembuktian formil yang dimaksud pada pokoknya adalah untuk cukup membuktikan adanya suatu peristiwa hukum yang memperlihatkan hubungan hukum dari para pihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara Pidana adalah: (a) surat; (b) keterangan saksi; (c) petunjuk; (d) keterangan ahli; (e) sumpah. Sementara itu, untuk Hukum Acara Perdata Pasal 164 HIR (Herzien Inlands Reglement) atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaraui) Staatsblaad 1941 No. 44 dan KUHPerdt adalah: (a) surat; (b) pengakuan; (c) persangkaan; (d) keterangan saksi; dan (e) sumpah.
Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana sangat penting karena merupakan bagian yang paling utama serta menyangkut seluruh sistem yang di sebut Criminal justice system, yang di mulai dari penyelidikan. penyidikan, penuntutan, dan puncaknya adalah persidangan, di mana terdapat tiga pihak yang berperan : Jaksa. Hakim, dan Penasihat Hukum. Indonesia mengenal kodifikasi hukum pembuktian yang merupakan dari hukum acara pidana, termuat dalam KUHAP, namun disamping itu pengaturannya juga diluar kodifikasi, yaitu pada Undang-Undang Tindak Pidana diluar kodifikasi-kodifikasi yang sekaligus memuat hukum pidana materiil.
Hukum pembuktian dikenal dengan istilah notoire feiten notorious (generally known)
yang berarti setiap hal yang “sudah umum diketahui” tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Hal ini sudah tercantum dalam pasal 184 ayat
(18)
Menurut Yahya Harahap, mengenai pengertian “hal yang secara umum sudah diketahui” ditinjau dari segi hukum, tiada lain daripada “perihal” atau “keadaan
tertentu” atau omstandigheiden atau circumstances, yang sudah sedemikian mestinya atau kesimpulan atau resultan yang menimbulkan akibat yang pasti demikian”.
B. Sistem Pembuktian
Pada hakekatnya, pembuktian dimulai sejak adanya suatu peristiwa hukum. Apabila ada unsur-unsur pidana (bukti awal telah terjadinya tindak pidana) maka barulah dari proses tersebut dilakukan penyelidikan (serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini), dan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dalam pasal 1 angka 13, penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Sistem Pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara untuk meletakan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Ada empat sistem hukum pembuktian hukum acara pidana, yaitu:
1. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Belaka (Conviction Intime)
Dalam sistem ini hakim tidak terikat oleh suatu peraturan hukum dan alat-alat bukti apapun. Putusan diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Hakim diberikan kebebasan untuk mencari dasar putusannya itu berdasarkan keyakinan hakim belaka dan tidak
(19)
diwajibkan mengemukakan alasan-alasan hukum yang dipakai sebagai dasar putusannya. Namun apabila hakim dalam putusannya menyebut alat bukti yang dipakai, maka hakim bebas menunjuk alat bukti itu, meskipun alat bukti itu sulit diterima dengan akal. Penilaian dari sistem ini benar-benar tergantung penilaian subjektif hakim tersebut. Dasar-dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan terhadap keputusan yang tidak dikemukakan dan tidak diketahui mengakibatkan sulit sulitnya pengawasan terhadap putusan hakim. Maka dari itu putusan hakim yang berdasarkan sisitem ini sudah tidak diterima lagi dalam kehidupan hukum di Indonesia.
Keyakinan hakim yang dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakina hakim semata. Keyakinan hakimlah yang menentukan kebenaran sejati.
Menurut Wirjono Prodjodikoro (Andi Hamzah, 1995:230)
“ Sistem peradilan ini pernah di anut di Indonesia yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinan hakim menyebut apa saja yang
menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.”
2. Sistem Pembuktian Bebas (Vrije Bewijstheorie)
Pada sistem ini alat-alat bukti dan cara pembuktian tidak ditentukan oleh undang-undang. Keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah
(20)
atau tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam pembuktian ini faktor keyakinan hakim dibatasi. Keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinnya atas kesalahan terdakwa.Hakim tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti yang terdapat dalam undang-undang, melainkan hakim tersebut secara bebas diperkenankan memakai alat-alat lain.
3. Sistem Pembuktian Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk )
Dalam sistem ini undang-undang mengatur jenis alat-alat bukti dan cara-cara mempergunakannya atau menentukan kekuatan pembuktian. Dengan alat yang ditentukan undang-undang dan dipergunakan sesuai undang-undang, maka hakim berwenang untuk menetapkan terbukti atau tidaknya suatu perkara yang diperiksanya, meskipun belum yakin atau bahkan betentangan dengan keyakinan hakim itu sendiri. Sistem ini hanya menurut ketentuan undang-undang yang meninggalkan nilai kepercayaan diri hakim sebagai sumber keyakinanya, hingga akan menggoyahkan kehidupan hukum karena kurangnya dukungan dalam masyarakat sebagai akibat dari putusan–putusan yang tidak dapat mencerminkan kehendak masyarakat yang akan tercermin dalam pribadi hakim.
Hal ini sesuai dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro (Andi Hamzah, 1995;230) yang menolak teori pembuktian ini, menurutnya :
“ Bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan pada keyakinanya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang
(21)
jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan
masyarakat.”
4. Sistem Pembuktian Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk )
Dalam sistem ini hakim dibatasi dalam mempergunakan alat-alat bukti tertentu yang telah ditentukan oleh undang-undang dan hakim tidak diperkenankan mempergunakan alat bukti yang lain. Cara penilaian dalam mempergunakan alat-alat bukti yang diatur oleh undang-undang dengan adannya keyakinan seorang hakim atas adanya kebenaran.
Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut.
“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.”
Sebelum KUHAP, HIR juga menyebutkan dalam pasal 294 bahwa:
1. Tidak seorangpun dapat dikenakan pidana, kecuali apabila hakim dengan mempergunakan alat bukti yang termuat dalam undang-undang mendapat keyakinan sungguh-sungguh terjadi suatu peristiwa. 2. Tidak seorangpun dapat dikenakan hukum pidana berdasarkan
persangkaan belaka atau suatu pembuktian yang tidak sempurna.
Alat-alat bukti yang secara limitatief dalam undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya serta disertai dengan keyakinan hakim, hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang sehingga dapat terjamin suatu kesatuan dalam peradilan dan kepastian hukum dalam masyarakat.
(22)
Mengenai sistem pembuktian mana yang digunakan dalam hukum acara pidana di Indonesia dapat terlihat pada Pasal 183 KUHAP yang menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, suatu tindak pidana terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan demikian dapat disimpulkan sistem pembuktian di Indonesia menggunakan teori undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori).
C. Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana
Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti terdiri dari : 1. Keterngan saksi
2. Keterngan Ahli 3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa
1. Keterngan Saksi
Pengertian Keterngan saksi tercantum dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP yang berbunyi:
“ Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar sendiri, lihat sendiri
dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”
Menjadi saksi adalah kewajiban setiap orang, orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pegadilan untuk memberikan keterangan tetapi menolak untuk memberikan keterngan maka ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku.
(23)
2. Keterangan Ahli
Pengertian keterangan ahli secara umum dijelaskan dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP yang menyatakan bahwa :
“ Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang mempunyai
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan.”
Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli adalah apa yang seorang ahli katakan di pengadilan. Pada pasal tersebut tidak dinyatakan siapa yang disebut ahli, dalam penjelasannya pun tidak dijelaskan mengenai hal ini, disebutkan bahwa :
“ Keterangan seorang ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan
oleh penyidik atau penuntut umumyang dituangkan dalam suatu bentuk lapora dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau jaksa penuntut umum maka pemeriksaan di sidang diminta untuk diberikan setelah
mengucap sumpah atau janji di depan hakim.”
Peranan seorang ahli dalam cyber merupakan sesuatu yang tidak bisa di tawar-tawar lagi mengingat pembuktian dengan alat bukti elektronik sangat riskan penggunaannya didepan pengadilan. Disinilah pentingnya kedudukan seorang ahli, yaitu untuk memberikan keyakinan kepada hakim.
3. Alat Bukti Surat
Dalam KUHAP hanya ada satu pasal yang mengatur tentang alat bukti surat yaitu Pasal 187. Surat yang dibuat di atas sumpah jabatan yang dikuatkan dengan sumpah adalah :
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan
(24)
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu. b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu keadaan;
c. Surat keterngan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Dalam hal alat bukti surat yang ini, hanya akte autentik yang dapat dipertimmbangkan, sedangkan surat dibawah tangan seperti dalam hukum perdata tidak dipakai lagi dalam hukum acara pidana.
Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c KUHAP merupakan alat bukti yang sempurna karena bentuk surat-surat tersebut didalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan.
Ditinjau dari segi materiil, semua alat bukti yang disebut Pasal 187 KUHAP, bukan merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat, sama halnya dengan kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan
pembuktiannya bersifat bebas. Merujuk pada terminologinya, “ surat” dalam kasus
cybercrime mengalami perubahan dari bentuknya yang tertulis menjadi tidak tertulis dan bersifat on-line. Alat bukti dalam sistem komputer yang telah di disertifikasi ada dua kategori. Pertama bila sebuah sistem komputer yang telah disertifikasi oleh badan yang berwenang, maka hasil print out komputer dapat dipercaya keotentikannya.
(25)
Kedua, bukti sertifikasi dari badan yang berwenang tersebut dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat, karena dibuat oleh dan pejabat yang berwenang. Meskipun
penggunaan kedua alat bukti surat ini mengalami kendala dari segi pengertian “ pejabat yang berwenang” dimana di dalam perundang-undangan yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah notaris.
4. Alat Bukti Petunjuk
Petunjuk disebut dalam Pasal 184 KUHAP sebagai alat bukti, mengikuti Pasal 295 HIR. Ini berbeda dengan Ned. Sv. Yang baru maupun Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1950 yang menghapus petunjuk sebagai bukti. Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai berikut:
“ Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya,
baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.
Dalam cybercrime, pengumpulan alat bukti secara fisik akan sulit dipenuhi. Yang paling mudah dalam melakukan pengumpulan alat bukti-bukti adalah mencari petunjuk–petunjuk yang mengindentifikasikan telah adanya suatu niat jahat berupa akses secara tidak sah. Mewujudkan suatu alat bukti petunjuk dari bukti-bukti yang ditemukan dalam cybercrime akan sulit jika hanya mendasarkan pada keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa saja meskipun hal tersebut mungkin saja diterapkan. Akan tetapi apabila hakim dapat petunjuk yang diajukan dalam persidangan adalah alat bukti elektronik (yang disertai keterangan ahli), maka petunjuk ini akan bersifat
(26)
lebih kuat dan memberatkan terdakwa dibandingkan dengan petunjuk-petunjuk lainnya.
5. Keterangan Terdakwa
Pasal 184 KUHAP menyebutkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti, berbeda dengan peraturan lama yaitu HIR. Disayangkan bahwa KUHAP tidak menjelaskan
apa perbedaan antara “ keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dengan “ pengakuan Terdakwa” sebagai alat bukti.
Pengertian keterangan terdakwa menjelaskan dalam Pasal 189 ayat (1) yang berbunyi:
“ Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.”
Jadi, keterangan terdakwa sebagai alat bukti harus dinyatakan dalam sidang pengadilan. Keterangan terdakwa yang diberikan di ruang sidang tersebut dapat dipergunakan untuk membantu sebagai alat bukti di sidang, dengan syarat keterangan itu di dukung oleh suatu alat bukti yang sah mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadannya, melainkan harus dengan alat bukti yang lain.
Dalam penggunaan alat-alat bukti konvensional atas kejahatan cyber, hakim memegang peranan penting dalam penyelesaian perkara dengan wajib menggali hukum yang hidup dalam maasyarakat. Keyakinan hakim untuk menerima alat bukti di persidangan menjadi hal yang signifan adanya. Begitu pentingnya peran hakim
(27)
dalam kasus cyber, hakim harus mempunyai kemampuan dalam ilmu teknologi informasi dan pandangan yang luas dalam penafsiran hukum.
D. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
1. Dokumen Elektronik sebagai alat bukti
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode Akses, simbolatau porforasi yang memiliki makna dan arti atau dapat dipahami oleh semua orang yang mampu memahaminya (Pasal 1 ayat (4) UU ITE). Pasal 5 (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Menurut Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, alat-alat bukti yang sah terdiri dari bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Sedangkan menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, alat-alat bukti yang sah terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, alat bukti menurut hukum
(28)
acara di atas yang dibuat dalam bentuk informasi elektronik/dokumen elektronik, dan informasi elektronik/dokumen elektronik itu sendiri, merupakan alat bukti yang sah menurut UU ITE. Tidak sembarang informasi elektronik/dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Menurut UU ITE, suatu informasi elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
1. dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
2. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
3. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
4. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
5. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
(29)
Kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sedemikian pesatnya. Perkembangan akhir-akhir ini menunjukan adannya korelasi adanya kemajuan teknologi dan modus operandi dalam melakukan kejahatan, yakni berupa penggunaan sarana teknologi canggih dibidang kejahatan. Umpamanya penggunaan komputer dalam tindak pidana dibidang perbankan. Pembajakan hak cipta dengan reproduksi secara elektronik, pembajakan hak buku-buku dengan sarana grafika modern dan sebagainya. Ditinjau dari segi hukum pembuktian, apakah KUHAP telah mempersiapkan sarana Pembuktian bagi tindak pidana bermodus operandi teknologi canggih tersebut. Seiring dengan kemajuan di bidang teknologi, terlihat pula perkembangan pada modus operandi dalam melakukan kejahatan dengan melibatkan sarana berteknologi tersebut. Karena itu A. Hamzah mengatakan bahwa kejahatan-kejahatan yang memakai sarana teknologi canggih termasuk komputer telah melanda negara-negara maju, dan pada tahun-tahun terakhir ini telah menampakkan dirinya di negara-negara berkembang di Indonesia (A. Hamzah, 1987:5)
2. Pengaturan Alat Bukti Elektronik Menurut Undang-Undang
Dalam hukum Acara Perdata dan Pidana tidak mengenal pengaturan mengenai bukti elektronik. Namun dalam aturan materiil ternyata ditemukan pengaturan bukti elektronik yang dapat dijadikan alat bukti hanya saja peraturan itu tersebar dibeberapa Undang-Undang.
a.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
Pasal 12 Undang-undang tersebut berusaha memberikan pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai
(30)
tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen atau ditranformasikan) dapat dijadikan sebagai alat bukti.
b. Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan Undang-undang ini, ada perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Berdasarkan KUHAP, alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat keterangan terdakwa tetapi menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2001 bukti petunjuk dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, ataupun disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa denga itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronik data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, faksimil dan dari dokumen, yakni setiap rekaman atau informasi yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan suara, gambar, peta, foto, huruf, tanda, angka, atau porforasi yang memiliki makna.
c. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Pasal 27 Alat bukti pemeriksaan Tindak Pidana Terorisme meliputi: 1. alat bukti sebagaimana di atur dalam Hukum Acara Pidana;
2. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu;
(31)
3. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu saran, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada : (a) tulisan, suara, atau gambar (b) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, (d) huruf, tanda, angka, simbol, atau porforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh semua orang yang mampu membaca atau memahaminya.
d. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang
Pasal 38 huruf (b), yaitu “alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu”.
e. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pasal 29 mengatur mengenai alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam KUHAP, dapat pula berupa :
a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu dan
b. Data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan denegan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada : (1) Tulisan, suara atau gambar (2) Peta, rancangan,
(32)
foto atau sejenisnya (3) Huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
f. Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi Dalam undang-undang ini juga di atur mengenai alat bukti
a. tanpa hak, tidak sah, memanipulasi akses kejaringan telekomunikasi (Pasal 22 jo Pasal 50).
b. Menimbulakan gangguan fisik elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi (Pasal 38 jo. Pasal 55).
c. Menyadap informasi melalui jaringan telekomunikasi (Pasal 40 jo Pasal 56).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan undang-undang yang ditunggu implementasinya baik oleh dunia teknologi informasi, masyarakat umum, maupun pemerintahan. UU ITE mengakui Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tandatangan konvesional (tinta basah dan materai), alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP. UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
(33)
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari studi lapangan melalui wawancara dengan pihak yang mengetahui persoalan yang sedang diteliti, yaitu dengan mengadakan wawancara terhadap pihak yang terkait langsung yaitu Penyidik Polisi Daerah Lampung dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan cara, membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus dan literatur lain yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas (Rianto Andi, 2004: 57) yang terdiri dari:
a. Data sekunder berupa bahan hukum primer, yaitu terdiri dari:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan 5. Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(34)
6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang.
8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
b. Data sekunder berupa bahan hukum sekunder anatara lain meliputi peraturan pelaksanaan, Rancangan Undang-Undang, Keputusan Menteri dan Peraturan Pemerintah.
c. Data tersier berupa bahan bacaan lain berupa karya ilmiah, literatur-literatur, hasil penelitian yang akan berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.
C. Penentuan Populasi dan sampel
Populasi yaitu jumlah keseluruhan dari unit analisa yang dapat diduga-diduga. Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama (Soerjono Soekanto, 1986:172). Populasi dalam penelitian ini adalah Penyidik Polisi Daerah Lampung dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Sampel merupakan sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi. Pada sampel penelitiannya diambil dari beberapa orang populasi secara purposive sampling atau penarikan sampel yang bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek berdasarkan pada tujuan tertentu (Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, 1987:152).
(35)
Dalam penelitian ini responden sebanyak 4 orang, yaitu:
1. Penyidik Polisi Daerah Lampung : 2 orang
2. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung : 2 orang +
4 Orang
D. Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data yang dilakukan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan
Metode ini dilakukan dengan cara melakukan serangkaian kegiatan seperti membaca, mencatat dan membuat ulasan bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan para responden yang telah direncanakan sebelumnya.
(36)
2. Pengolahan Data
Setelah data terkumpul maka dilakukan pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut (Abdulkadir Muhammad, 2004:126).
a. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai/relevan dengan masalah. b. Penandaan data (coding), yaitu memberi catatan atau tanda yang menyatakan
jenis sumber data (responden, buku, literatur, perundang-undangan, atau dokumen).
c. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyususn ulang data secara teratur, berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan dinterpretasikan.
d. Sistematisasi data (sistematizing), yaitu menempatkan data menurut kerangka, sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah, sehingga memudahkan analisis data.
E. Analisis Data
Data yang diperoleh lalu diolah kemudian dianalisis secara kulitatif, yaitu menguraiakan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis. Uraian kalimat dan penjelasan berdasarkan hasil pembahasan kemudian diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
(37)
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden
Sebelum penulis menguraikan hasil penelitian dan pembahasan, dan untuk menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis melakukan studi pustaka dan wawancara kepada responden yaitu 4 (empat) orang yang dianggap mengerti dan dapat mencapai tujuan dari penulisan skripsi ini, adapun responden dalam penelitian adalah:
1. Nama : Ketut Suryana, S.H. Umur : 28 tahun
Pendidikan : SI
Pekerjaan/Pangkat : Polisi/Briptu
Alamat : Teluk Betung, Bandar Lampung
2. Nama :Tb. Beni Sandera Umur : 47 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan/Pangkat : Polisi/ Briptu
(38)
Umur : 48 Tahun Pendidikan : S2
Pekerjaan : PNS/Dosen Unila
Alamat : Fakultas Hukum Unila, Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro Nomor 1 Bandar Lampung
4. Nama : Dr I Gede AB. Wiranata, S.H., M.H Umur : 47 Tahun
Pendidikan : S3
Pekerjaan : PNS/Dosen Unila
Alamat : BTN III Jl. Damar Nomor 11 Bandar Lampung
B. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Dan Informasi Elektronik mengenai Pemberlakuan Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Sah
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memang sangat ditunggu-tunggu implementasinya, baik oleh masyarakat maupun pemerintahan. Materi dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu pengakuan terhadap perluasana alat bukti yang sah yang sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan wawancara penulis dengan penyidik polisi Daerah Lampung Ketut Suryana, bahwa menurutnya jika suatu Undang-Undang sudah
(39)
sehingga apabila terjadi permasalahan dibidang IT masyarakat akan bingung dan bertanya karena mereka belum pernah mendengar sebelumnya. Informasi elektronik dapat menjadi alat bukti yang dapat berdiri sendiri sebagaimana ditegaskan di dalam pasal 5 ayat (1) UU ITE bahwa Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik dana/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, sedangkan menurut Tb. Beni Sandera sudah diterapkan namun Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang ITE belum keluar, dan kasus yang ada di kepolisiian Daerah lampung tentang alat bukti elektronik belum begitu banyak, dikarenakan masih sulit dalam mengungkap identitas pelaku kejahatan dunia maya,serta mengingat belum lengkapnya ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan komputer, internet, dan teknologi informasi. Berhadapan dengan kasus cybercime pembuktian menjadi masalah pelik, seringkali penegak hukum di Indonesia mengalami kesulitan saat menjerat pelaku cybercrime karena masalah pembuktian.
Menurut Erna Dewi dan I Gede AB. Wiranata setelah berlakunya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik secara otomatis telah diterapkan dan memperlebar konsep dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenai alat bukti dokumen elektronik yang sama kedudukannya dengan alat bukti pada umumnya yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dan setelah Undang-Undang berlaku maka harus diterapkan dan disosialisasikan kepada masyarakat luas tentang alat bukti elektronik. Munculnya kejahatan dengan mempergunakan media internet sebagai alat bantunya, lebih banyak disebabkan oleh faktor keamanan si pelaku dalam melakukan
(40)
cybercrime serta sulit untuk mengungkap pelaku kejahatan dunia maya (cybercrime).
Lebih lanjut dalam konteks pidana, maka perihal pembuktian merupakan bagian yang paling esensial untuk membuktikan atau menyatakan bahwa seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Pada hakekatnya dalam pembuktian suatu perkara pidana telah dilakukan semenjak diketahuinya ada peristiwa, peristiwa yang dimaksud adalah peristiwa hukum, suatu peristiwa hukum mengandung unsur pidana, untuk itu perlu dibuktikan bahwa suatu peristiwa hukum dinyatakan sebagai tindak pidana, setelah diketemukan bukti awal bahwa suatu peristiwa dinyatakan sebagai suatu tindak pidana barulah dapat dilakukan penyelidikan.
Pembuktian dokumen elektronik adalah salah satu penyelesaian yang menguatkan seorang hakim untuk menguatkan argumentnya untuk memberikan sangsi kepada pelaku kejahatan dunia maya. Menurut Ketut Suryana dalam KUHAP yang dikatakan sebagai alat bukti yang sah apabila alat bukti tersebut berkaitan dengan suatu perkara atau tindak pidana, begitu juga dengan UU ITE, apabila bukti dokumen elektronik berkaitan dengan tindak pidana, maka dokumen tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti sah dalam pembuktian maupun di persidangan nanti, sedangkan menurut Tb. Sandera jika suatu alat bukti berkaitan dengan elektronik bisa dijadikan alat bukti yang kuat dalam persidangan. Menurutnya dengan kasus di atas untuk pembuktiannya yaitu dengan melacak data
transaksi telepon, surat, sms, atau bukti yang di datangkan dari keterangan ahli, namun masih sulit untuk melacak pelakunya.
(41)
UU ITE mengenai alat bukti elektronik, menurutnya KUHAP dan ITE sangat erat kaitannya dalam pembuktian alat bukti. Erna Dewi menyatakan alat bukti elektronik bisa dihubungkan dengan surat atau petunjuk yang terdapat dalam KUHAP, sehingga sangat berkaitan satu sama lain. Didalam lapangan hukum Pidana sebenarnya pengakuan data elektronik sebagai alat bukti yang sah sudah diakui walaupun tidak secara seluruhnya dipahami, sebagai contoh Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, di mana surat termasuk dalam salah satu alat bukti; didalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat berupa alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronis; serta didalam Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menegaskan bahwa alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa informasi yang disimpan secara elektronis atau yang terekam secara elektronis; hal ini menunjukan bahwa sesungguhnya data elektronik telah diterima sebagai alat bukti yang sah didalam pengadilan di Indonesia walaupun dalam hal pencarian pembuktiannya di perlukan keterangan ahli yang ahli dalam bidang tersebut untuk menguatkan suatu pembuktian yang menggunakan data elektronik tersebut.
Alat bukti yang di atur oleh Hukum Acara Pidana terdapat dalam pasal 184 KUHAP yaitu:
(42)
d. petunjuk
e. keterangan terdakwa
Kelima alat bukti tersebut tidak selamanya harus ada, dalam suatu tindak pidana, karena berdasarkan Pasal 184 KUHAP, minimal alat bukti yang diperlukan dalam menentukan nasib seorang terdakwa bersalah terhadap suatu tindak pidana adalah dua alat bukti, dan dari dua alat bukti tersebut hakim dapat memperoleh keyakinan benar terdakwa yang melakukan tindak pidana tersebut. Sedangkan pasal 5 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjelaskan bahwa:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam
bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Bahwa semua kesepakatan berupa surat atau dokumen telah diatur merupakan bukti yang sah maka setiap kegiatan yang berhubungan dengan internet adalah memiliki bukti hukum yang sah. Maka harus disadari bahwa banyaknya aktifitas yang menggunakan alat elektronik merupakan kegiatan yang saha secara hukum baik transaksi dagang atau niaga,
(43)
Pidana, menurut Ketut UU ITE masih mengacu pada KUHAP, karena jika terjadi suatu tindak pidana maka alat bukti akan mengarah kepada KUHAP, namun jika terjadi dalam suatu tindak pidana yang terkait dengan Elektronik, maka alat bukti mengacu pada UU ITE dan harus disesuaikan dengan KUHAP, karena sampai saat ini KUHAP belum di rubah. Dalam RUU KUHAP tahun 2008 (selanjutnya disebut RUU KUHAP) yaitu dalam hal alat bukti yang dipakai dalam persidangan. Saat ini, pasal 184 KUHAP mengenal 5 macam alat bukti yang dapat dipergunakan di persidangan, yaitu alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Akan tetapi dalam RUU KUHAP 2008 alat bukti yang sah di persidangan berubah menjadi alat bukti barang bukti, surat-surat, alat bukti elektronik, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan pengamatan hakim.
Menurut Ketut bukti elektronik yang dapat dijadika alat bukti yang sah antara lain:
a) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
b) Hasil cetak Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik juga sah apabila berasal dari system elektronik sesuai UU ITE. Sedangkan menurut Tb.Beni Sandera semua alat bukti elektronik bisa dijadikan alat bukti dalam setiap persidangan, namun semuanya perlu pembuktian yang lebih dalam terkait kasus yang ada.
(44)
berupa Tampilan Situs yang Terkena Deface (yang dirubah tampilan website-nya) dan Log-log File (waktu terjadinya perbuatan tersebut) serta Internet Protocol (IP) yang dijadikan “Tanda Bukti Diri” yang dapat mendeteksi pelaku Kejahatan Dunia Maya dan dapat menunjukkan keberadaan pengguna komputer itu sendiri. Dengan meneliti dan memeriksa pemilik nomor IP akan dapat diketahui lokasi pengguna IP tersebut.
Menurut I Gede AB. Wiranata dan Erna Dewi untuk bisa dijadikan alat bukti dalam sidang pengadilan antara lain:
a. apa yang dikeluarkan dari produk elektronik tersebut dapat dijadikan alat bukti b. print out
c. hasil penyadapan ( rekaman )
d. semua pemaknaan yang dihasilkan secara prinsipil dari produk elektronik e. email
Berdasarkan wawancara penulis dengan responden, dalam hal alat bukti elektronik masih sangat sulit untuk di buktikan di persidangan karena terhambat dengan identitas pelaku, serta lemahnya penegakan hukum dalam mengungkap kejahatan cybercrime. Permasalahan alat bukti elektronik kerap membawa kesulitan baik lembaga Kepolisian selaku penyidik, lembaga Kejaksaan selaku penuntut maupun lembaga Peradilan dalam memeriksa dan memutus perkara. Alat bukti yang ada sekarang dirasa sangat terbatas mengingat perubahan yang cukup pesat dalam masyarakat. Selain itu, dalam lapangan hukum pidana penafsiran, baik tentang duduk perkara maupun tentang alat bukti hanya
(45)
peranan yang sangat penting. Hukum Pembuktian mengenal salah satu alat ukur yang menjadi teori pembuktian, yaitu penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan (bewijsvoering). Dalam persidangan, bukti digital akan diuji keotentikannya dengan cara mempresentasikan bukti digital tersebut untuk menunjukkan hubungan bukti digital yang diketemukan tersebut dengan kasus kejahatan dunia maya yang terjadi. Dikarenakan proses penyidikan, penuntutan sampai dengan proses pemeriksaan di pengadilan memerlukan waktu yang relatif cukup panjang, maka sedapat mungkin bukti digital tersebut masih asli dan sepenuhnya sama (origin) dengan pada saat pertama kalinya diidentifikasi dan dianalisa oleh penyidik. Untuk menangani kejahatan dunia maya (cybercrime) di Indonesia, Polisi telah melakukan tindakan-tindakan penegakan hukum, pendekatan, dan telah menyusun strategi penanggulangan dan penanganan kejahatan dunia maya tersebut, yakni melaksanakan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana mayantara (cybercrime) terutama kegiatan yang berhubungan dengan teknologi informasi : teknologi komputer, teknologi komunikasi, teknologi elektronika, dan teknologi penyiaran dan menyelenggarakan fungsi laboratorium komputer forensik dalam rangka memberikan dukungan teknis proses penyidikan kejahatan dunia maya.
Penyalahgunaan teknologi informasi yang merugikan kepentingan pihak lain sudah menjadi realitas sosial dalam kehidupan masyarakat modern sebagai dampak dari pada kemajuan teknologi yang tidak dapat dihindarkan lagi bagi bangsa-bangsa yang telah mengenal budaya teknologi (the culture of technology). Teknologi memegang peran
(46)
keresahan sosial bagi masyarakat luas, implementasi hukum di dalam kehidupan masyarakat modern yang memakai teknologi tinggi harus mampu untuk mengurangi perilaku yang dapat merugikan kepentingan bagi orang atau pihak lain, meskipun adanya hak dan kebebasan individu dalam mengekspresikan ilmu atau teknologinya dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks.
Perkembangan teknologi merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan kejahatan, sedangkan kejahatan itu telah ada dan muncul sejak permulaan zaman sampai sekarang ini dan masa akan datang yang tidak mungkin untuk diberantas tuntas.. Suatu hal yang patut diperhatikan adalah bahwa kejahatan sebagai gejala sosial sampai sekarang belum diperhitungkan dan diakui untuk menjadi suatu tradisi atau budaya yang selalu mengancam dalam setiap saat kehidupan masyarakat. Di sini perlu ada semacam batasan hukum yang tegas di dalam menanggulangi dampak sosial, ekonomi dan hukum dari kemajuan teknologi modern yang tidak begitu mudah ditangani oleh aparat penegak hukum di negara berkembang seperti halnya Indonesia yang membutuhkan perangkat hukum yang jelas dan tepat dalam mengantisipasi setiap bentuk perkembangan teknologi dari waktu ke waktu. Globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan yang berkenaan dengan pengelolaan informasi dan transaksi elektronik di tingkat nasional maupun internasional. Di dalam lapangan hukum pidana, perubahan masyarakat dan teknologi membawa pengaruh yang sangat besar dalam perubahan hukum, baik hukum pidana materiil yang diimplementasikan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(47)
dibuat sedang disusun dan dibahas draft perubahan baik KUHP maupun KUHAP. Rangkaian proses beracara dalam hukum pidana telah dimulai ketika ada suatu peristiwa hukum yang terjadi, adapun rangkaian proses acara pidana setelah diketahui adanya suatu tindak pidana yaitu dimulainya proses penyelidikan sebagai suatu cara atau metode yang mendahului tindakan lain. Proses beracara dalam hukum pidana, pengaturannya secara umum telah ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
C. Kekuatan Alat Bukti Elektronik
Pembuktian di era teknologi dan informasi sekarang ini menghadapi tantangan yang Besar dan membutuhkan penanganan yang serius dalam pemberantasan kejahatan dunia, hal ini muncul karena sebagian pihak-pihak jenis alat bukti selama ini dipakai untuk menjerat pelaku tindak pidana tidak lagi mampu dipergunakan dalam menjerat pelaku kejahatan dunia maya. Hambatan klasik sulitnya menghukum pelaku kejahatan komputer (cyber crime) adalah karena belum legkapnnya ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan komputer, internet dan teknologi informasi (cyber crime) dan belum diterimanya dokumen elektronik (misalnya file komputer) sebagai alat bukti oleh konsep yang dianut KUHAP.
Berdasarkan penelitian dan wawancara penulis dengan responden Ketut Suryana dan Tb. Deni Sandera, menurut keduanya alat bukti elektronik mempunyai kekuatan yang sama dengan alat bukti yang ada pada umumnya, sehingga tidak ada alasan lagi bagi pelaku
(48)
Dalam KUHAP memang belum mengatur mengenai alat bukti elektronik, menurut Ketut dalam RUU KUHAP harus atur alat bukti elektronik, karena dalam KUHAP sendiri belum mengatur alat bukti elektronik apabila terjadi permasalahan dibidang ITE, maka akan muncul kesulitan dalam penanganan alat bukti elektronik karena belum dimasukan kedalam KUHAP, sedangkan penyidikannya dan pelaksanaannya mengacu pada KUHAP. Sedangkan menurut I Gede AB., dan Erna dewi pengaturan alat bukti secara otomatis harus mengacu pada KUHAP dan tidak perlu ada perubahan yang signifikan namu hanya ada sedikit revisi dari KUHAP yang telah ada, namun dalam revisi itu juga harus atur alat bukti Elektronik seiring perkembangan zaman.
Di dalam KUHAP mempunyai keterbatasan dalam pembuktian alat bukti yaitu:
a) keterbatasan dalam pengaturan mengenai jenis tindak pidana, hal ini sangaat
wajar terhadap mengenai “ suasana” yang mempengaruhi pada saat penyusunan
KUHP kita jauh bebeda dengan kondisi sekarang yang sarat dengan kemajuan IT. b) Keterbatasan dan pengaturan mengenai pelaku tindak pidana dalam era teknologi
informasi seperti sekarang ini, penentuan siapa yang dapat dikualifikasi sebagai pelaku tindak pidana lebih komplek sifatnya selain keterbatasan jangkauan pada pengaturan dalam KUHP dan cybercrime, system pembuktian juga mengalami keterbatasan bila berkaitan dengan Hukum Pembuktian dalam prosese perdilan baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata. Kemajuan teknologi informasi memunculkan persoalan tersendiri mengenai apakah hukum
(49)
khususnya catatan/dokumen elektronik masih menjadi perdebatan mengenai bagaimana kedudukannya sebagai alat bukti yang sah dipersidangan.
Pembuktian dalam hukum pidana merupakan sub system kebijakan kriminal sebagai science of response yang mencakup berbagai disiplin ilmu. Hal ini disebabkan oleh luasnya kausa dan motif berkembangnya jenis kejahatan yang berbasis teknologi informasi.
Dalam pengungkapan suatu perkara tindak pidana, paling tidak ada tiga hal yang tidak dapat dipisahkan karena menyangkut keabsahan atau kevalidan suatu putusan pengadilan, yaitu sistem pembuktian yang di anut oleh hukum acara, alat bukti, dan kekuatan pembuktian serta barang bukti yang akan memperkuat alat bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan. Sehingga membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Baik dalam hukum acara perdata maupun hukum acara pidana. Karena pembuktian memegang peranan yang sangat sentral.
(50)
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, tentang implementasi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, maka dapat disimpulkan dalam skripsi ini bahwa penerapan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 telah diimplementasikan dan di sosialisasikan kepada masyarakat luas tentang alat bukti elektronik, Undang-Undang ITE ini sudah berjalan dengan baik walau belum memberikan hasil yang maksimal dalam hal pembuktian karena dikarenakan masih sulit dalam mengungkap identitas pelaku kejahatan dunia maya. Berhadapan dengan kasus cybercime pembuktian menjadi masalah pelik, seringkali penegak hukum di Indonesia mengalami kesulitan saat menjerat pelaku cybercrime karena masalah pembuktian. Kelemahan perangkat hukum dalam penegakan hukum pidana khususnya perkara Cyber Crime banyak memiliki keterbatasan. Hal demikian dapat dirasakan seperti apabila kejahatan yang terjadi aparat penegak hukumnya belum siap bahkan tidak mampu (gagap teknologi) untuk mengusut pelakunya dan alat-alat bukti yang dipergunakan dalam hubungannya dengan bentuk kejahatan yang sulit terdeteksi seperti cybercrime.
(51)
B. Saran
Melakukan revisi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, khususnya mengenai alat bukti yang digunakan dalam persidangan. Diharapkan dalam revisi KUHAP tersebut, bukti elektronik akan dimasukkan sebagai alat bukti yang dapat dipergunakan dalam persidangan, dengan adanya Undang-undang ITE diharapkan dari pihak penyelenggara sistem elektronik untuk selalu menjaga agar sistemnya senantiasa andal, aman, dan berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga apabila suatu waktu diperlukan bukti yang diperoleh dari sistem elektronik, bukti tersebut bernilai sebagai alat bukti yang sah, dengan UU ITE ini bisa lebih baik lagi dan bisa diterima oleh masyarakat luas dan segera dikeluarkan Peraturan Pemerintah untuk melengkapi UU ITE ini serta Undang-Undang yang khusus mengatur mengenai kejahatan cyber crime dengan ketentuan mengenai pembuktian dalam upaya penjeratan terhadap pelaku kejahatan tindak pidana cybercrime.
(52)
dicurigai terhadap alat bukti yang dipalsukan, persidangan Acara Perdata akan menunggu diputuskannya dulu kasus pidana tersebut. Dalam Hukum Acara Perdata, pembuktian formil yang dimaksud pada pokoknya adalah untuk cukup membuktikan adanya suatu peristiwa hukum yang memperlihatkan hubungan hukum dari para pihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara Pidana adalah: (a) surat; (b) keterangan saksi; (c) petunjuk; (d) keterangan ahli; (e) sumpah. Sementara itu, untuk Hukum Acara Perdata Pasal 164 HIR (Herzien Inlands Reglement) atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaraui) Staatsblaad 1941 No. 44 dan KUHPerdt adalah: (a) surat; (b) pengakuan; (c) persangkaan; (d) keterangan saksi; dan (e) sumpah.
Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana sangat penting karena merupakan bagian yang paling utama serta menyangkut seluruh sistem yang di sebut Criminal justice system, yang di mulai dari penyelidikan. penyidikan, penuntutan, dan puncaknya adalah persidangan, di mana terdapat tiga pihak yang berperan : Jaksa. Hakim, dan Penasihat Hukum. Indonesia mengenal kodifikasi hukum pembuktian yang merupakan dari hukum acara pidana, termuat dalam KUHAP, namun disamping itu pengaturannya juga diluar kodifikasi, yaitu pada Undang-Undang Tindak Pidana diluar kodifikasi-kodifikasi yang sekaligus memuat hukum pidana materiil.
Hukum pembuktian dikenal dengan istilah notoire feiten notorious (generally known)
yang berarti setiap hal yang “sudah umum diketahui” tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Hal ini sudah tercantum dalam pasal 184 ayat
(1)
3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku sekretaris bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung sekaligus dosen pembimbing I.
4. Bapak J.P Widodo, S.H., M.H. selaku Pembimbing I yang telah memberikan segala bantuan, tenaga, waktu, motivasi dan pikiran untuk menyempurnakan skripsi ini mksh ya dan sukses buat S3 na ya pak.
5. Bapak Heni Siswanto, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang dengan sabar membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mksh banyak ya Pak.
6. Bapak Deni Ahmad, S.H. selaku pembahas II yang telah memberi masukan, saran dan krtiknya yang membangun dalam penulisan skripsi.
7. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberi masukan, kritik dan saran serta memberikan sebagian pengetahuan dan ilmunya selama penulis kuliah dan skripsi.
8. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat.
9. Seluruh Staff dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung atas segala bantuan yang diberikan.
10.Kepolisia Daerah Lampung dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak membantu kepada penulis selama penelitian.
11.Abah, Teteh (Ibu) tercinta yang telah membesarkanku dengan penuh kasih sayang dan kesabaran serta senantiasa berdoa untuk keberhasilanku. Terima kasih Abah Teteh yang selama ini membiayai sekolahku, dan mendidik ku agar kelak menjadi seorang Profesional yang tangguh di Bidang Hukum. Insya Allah dengan gelar kesarjanaan yang telah Magfiroh raih ini dapat menjadi modal awal untuk
(2)
menjadi seorang yang Professional. Menjadi Sarjana adalah awal dari perjuanganku dan Insya Allah Magfiroh bisa membuat Abah Teteh bangga. 12.Kakak dan Teteh tercinta, Kak Nursai, Teh Suhaeti, Kak Ade, Teh Salsiah, Teh
Kamisah, Teh Eva dan kakak ipar (Kak Amir, Kak Misnan, Kak Saden, Teh arsiti, Teh Yiyin) yang telah membantu dan mendukungku dalam setiap langkah perjuangan untuk mencapai keberhasilanku, karena tanpa kalian Magfiroh takkan seperti ini, haturnuhun pisannya..^_^..
13.Adik-adik tersayang dan keponakan terimakasih atas motivasinya selama ini. 14.Orang yang penulis sayangi dan cintai, gank ZmuTe and E3A (Reni Ceu, S.H.,
Mami Rahmi, S.H., Yunda Esti, S.H., Cing Silvy S.H., Bang Eka, S.H., Waang Nando, S.H., Bang Egie, S.H., Bang Ari Zendra, S.H., Myu_lely, Gina S.H.) yang selalu menjadi sahabat sekaligus keluarga terbaik, membantu, memotivasi penulis di saat penulis susah & senang terima kasih untuk hari-harinya yang penuh canda tawa, tangis, sedih dan bahagianya serta curhat+masa2 indah selama di Lampung HhE”. Akhirnya aku menyusul kalian juga jadi S.H., tapi bukan Susah Hidup ya.. hohoho” Love friends forever dh mmuachhhh..^0^..
15.Kakak-kakak tersayang alumni FH, Mba Vhia, Mba Tie, Mba Piet, Tante Hera, Kak Farid, Kak Tery, Bang Eko Ndo, Bang Nuki, Bang Zai, Kak Ihsan, Kak Anto, Kak Aris, Kak Ucok Fernando, Kak Medi, Bang Ali Habib, Bang Leo, Kak Abeng, Bang Lai terima kasih atas bantuan dan motivasinya selama ini.
16.Kak Dion Alan Nugraha, S.P., tq ya atas saran, bantuan dan supportna slama ini. 17.Sahabatku di SD, SMP DCP, dan SmaNSix Pandeglang, Ari Winarsah, Andi
(3)
Tuthi, Ritha nta, Elis, Teh Yunie, Teh Eva, Teh Euis, Teh Erna, Teh Neti, Tati, Iiz, Nufa, Nevi, Joni, Febri Rosya, Susi, Adis, Yuni Imoetz, Yayat Hasanah, Idris, Erwin, Enas dan Euis serta Echyta terima kasih atas kebersamaannya dari dulu sampai sekarang, semoga persahabatan kita abadi amin (n_n).
18.UKMF PSBH tercinta : adikku Dini, Linda, Indah Imoetz, Lupita Lutfhi, Tatok, Ikang, Nita, Mardiani, Melia, Andha, Sharma, Yogi, Tari, Weni, Beni, Ipin, Intan, Dine, Ade, Galih, Nidya, Firly, Uli, Aji, Eko, Gatra, Aulia, Tria Anasya Achba, Ranti Pertiwi, Melda, Vera, Kharina, Melissa, Adelia, Ratih, Ria, Resti, Tya, Indah, Selvi, Hilda, Rian Archi, Yusni, Teman-teman: Icha, Rizman, Henni, Astri, Yulinda, Adel, Anggi, Niken, Dzulfa, Sophie, Sari, Dina, Rizki, Chandra, Mak Desni, Kak Uud, Kak Ershad, Kak Yopi, Kak Bembeng, Mba Yussy, Kak Sofyan, Kak Safril, Kak Mili, Kak Eko, dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu, thank’s atas kebersamaannya selama ini.
19.Sahabat-sahabat di FH yang sudah menjadi Sarjana Hukum duluan. Agung, Okky, Salman, Nina kidz, Susi, Aa Jajat, Jihad, Wiwi, Febrina, Rissa, Nara, Endang, Sari, Mba Yuyun, Yeni, Anto, Syera, Mesta , Lisa Ndut, Desi, Richa, Roma, Tesa, Anju, Lambok, Femi, Baharudin, Hifni, Nina, Iin Varlia, Dek Sandra, Arin Ganta, Vivin, Dodi, Ridho, Sofina, Anggi, Merry, Santi, Tarie, Dina, Kak Farouk, Dodi Ariyansah, Othin, Jegau, Martha Aritonang, Nia, Silvi, Uli, Tio, Wita, Soebhi dan Vita maniez yang slalu mendukung aku melalui tausiyah2nya thanks ya Friends ^_*
20. Adik-adik tingkat (06) Nurhidayah, Hotlina, Nitaria, Intan, Sartika, Yuni, Wahyu, Ucok Siregar, Resti, Tika, Dea, Indah, (07) Gael, Ayu, Tara, Ucup, Ubay,
(4)
Zul, Uwi, Juzita Aplisa, Sari, Idel, Amel, Gogon, Ferinda, Auditya, Visda, Temi (08) Dwi Puteri, Iam, Alvo Guntara Hermawan, Radian, Zulfikar, Ira, Suci, Indah and Dea the gank, Selvi Diah Orea, Garth Ikbal, Ingrid, Inez and the gank, Yoan, Rona, Apri, serta teman-teman yang lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaannya selama ini.
21.Teman-teman seperjuangan skripsi Anna Harnet, Nely Kouji, Lely, semangat ya ngerjain skripsina jangan menyerah dan terus berjuang ya, Kak Cucuk, Dedi Ridwan, Holida, Mbak Nanik, Ardi Bagus, Yokki, Farhan, Dian, Nila, Hani, Ocha, Mei, Firman, Ricky, Dwi Rima, Aditia Rahman, Elvina, Dian Afrinita, Kristine, Lela, Alhidayat, Ova, thanks atas canda tawa dan kebersamaannya selama skripsi, semoga kita menjadi orang sukses semuanya, amin.
22. Keluarga Besar Asrama Puteri SalsaBila, Wo’Ivi, mba Ruri, mba Lia, mba Maria, mba Tari, mba Desi thx bngtz ya dh jd sahabat dan kakak slama di asrama. Dek Ika Suharyati S.H., haturnuhun pisan ya dq cz dr awal kuliah mpe skrg slalu jd teman curhat+masa2 dikosn Hhe”.. jd ingat dan kangen masa-masa dulu ^_^ (Eka, Santi, Lingling, Renti, Memike, Lisa, Suci, Endin, Lani, Dian, Siti, Mega, Ratna, Erni, Resti, Ima) mksh banyak atas support, persahabatannya selama ini (Hunny_Yani_Mardiono, Indah_Syahrini, Ely_Dora, Irma_Gembul, Westi_Cute, thx bngtz ya dq kalian dh jd bagian dari hidupku slama ini, walau kita sering bercanda dan aku sering buat kalian sebel tapi kalian sahabat terbaikku, tq ya adeq”ku) Shiro, Yayuk, Yuni, Tante Dian mksh bngtz ya atas persahabatan slama ini, walaupun kalian baru, namun kalian buatku berarti n maaf kalau sering bikin kalian kesel, maaf ya HhE”... Yana, Atika, Dini, Iwing, Sari, Eni, Puspa, Nuni,
(5)
Tiara, Tiwi, Nia, Nora, Evi, Nita, Pipit, Yanti, terimakasih atas support & tawa candanya selama ini, aku minta maaf kalau ada kesalahan ya.tq all ^_*..
23.Guru-guru Magfiroh dari SD, SMP, SMA, terimakasih atas didikan Bapak/Ibu guru jasa-jasamu tak terlupakan.
24.Untuk semua teman, sahabat, kenalan, serta orang-orang yang telah memberikan motivasi dan doa kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
25.Almamater tercinta Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Semoga Allah SWT selalu memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada Bapak, Ibu, Saudara, Sahabat dan semuanya dengan amal ibadah masing-masing. Akhirnya dengan penuh harapan, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.
Bandar Lampung, 16 Februari 2010 Penulis
(6)
58
B. Saran
Melakukan revisi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, khususnya mengenai alat bukti yang digunakan dalam persidangan. Diharapkan dalam revisi KUHAP tersebut, bukti elektronik akan dimasukkan sebagai alat bukti yang dapat dipergunakan dalam persidangan, dengan adanya Undang-undang ITE diharapkan dari pihak penyelenggara sistem elektronik untuk selalu menjaga agar sistemnya senantiasa andal, aman, dan berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga apabila suatu waktu diperlukan bukti yang diperoleh dari sistem elektronik, bukti tersebut bernilai sebagai alat bukti yang sah, dengan UU ITE ini bisa lebih baik lagi dan bisa diterima oleh masyarakat luas dan segera dikeluarkan Peraturan Pemerintah untuk melengkapi UU ITE ini serta Undang-Undang yang khusus mengatur mengenai kejahatan cyber crime dengan ketentuan mengenai pembuktian dalam upaya penjeratan terhadap pelaku kejahatan tindak pidana cybercrime.