Kilas balik 5 Oktober Sebagai Hari Lahir

Kilas balik 5 Oktober Sebagai Hari Lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Penegakkan Kedaulatan
Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak akan berarti jika kekuasaan pemerintah masih berada di
tangan Jepang. Pada waktu itu Jepang memang masih merasa menguasai pemerintahan.
Tentaranya masih bersenjata (untuk daerah Kedu Selatan, tentara-tentara Jepang berada
dalam kesatriaan – kesatriaan PETA, instansi pamong praja, pabrik – pabrik, serta lembaga
tertentu meski jumlahnya tidak banyak). Dengan demikian, hal yang mutlak harus segera
dilakukan adalah merebut senjata dan peralatan militer dari tangan Jepang.
Pengambilalihan Kekuasaan dari Tangan Jepang
Secara formal, Jepang sudah tidak mempunyai kekuasaan lagi di Indonesia sejak menyerah
tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Namun, dalam kenyataannya
Jepang masih berkuasa atas pemerintahan hingga waktu penyerahan secara resmi kepada
Sekutu. Adanya keadaan tersebut menimbulkan suatu gerakan pengambilalihan kekuasaan
oleh para pejuang RI dari berbagai elemen terhadap pemerintah Jepang baik sipil maupun
militernya secara serempak di berbagai wilayah di Indonesia.
Pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang khususnya di Kedu Selatan adalah sebagai
berikut:
1. Pada jajaran Kepolisian yang justru merupakan satu-satunya instansi bersenjata,
pengambilalihan berlangsung dengan baik tanpa pertumpahan darah. Hal tersebut
terjadi karena Jepang yang bertugas di tubuh Kepolisian termasuk golongan yang
mengikuti realita. Maka, jadilah Polisi Jepang menjadi Polisi RI yang ditandai dengan

diturunkannya bendera Jepang dan dikibarkannya Sang Merah Putih.
2. Dalam tubuh pamong praja yang pada tiap kabupaten ditempatkan seorang opsir
(biasanya berpangkat Mayor) pun tidak beraksi, sehingga pengambilalihan kekuasaan
berlangsung sesuai dengan naskah Proklamasi yang menyatakan bahwa “Hal – hal
yang mengenai pemindahan kekuasaan diselenggarakan dengan cara seksama dan
dalam tempo yang sesingkat – singkatnya”.
Seperti halnya pada jajaran Kepolisian, jajaran Pamong Praja dari Bupati, Wedana, Asisten
Wedana, sampai dengan Lurah berikut para pegawainya, otomatis menjadi Bupati, Wedana,
Asisten Wedana, Lurah, dan Pegawai Republik Indonesia. Dengan demikian terbentuklah
Kabupaten, Kawedann, Asistenan, Kelurahan Republik Indonesia, ditandai dengan
dikibarkannya Sang Merah Putih.

1. Pada jajaran pemerintahan lainnya yang terdiri dari dinas – dinas dan jawatan, seperti:
Pekerjaan Umum, Kesehatan, Jawatan Kereta Api, Pendidikan dan Pengajaran,
Pertanian, Perekonomian, dan Kehewanan, pengambilalihan kekuasaan berlangsung
dengan seksama dan tanpa kekerasan. Yang terjadi semata – mata hanyalah pergantian
nama, yang semula dinas atau jawatan Pemerintahan Bala Tentara Dai Nippon,
menjadi dinas atau jawatan Pemerintah Republik Indonesia. Biasanya ditandai dengan
dikibarkannya Sang Merah Putih di depan kantor, sehingga pegawai – pegawainya
pun otomatis menjadi Pegawai Republik Indonesia. Walaupun demikian, tentara

Jepang tidak begitu saja menyerahkan senjatanya dengan sukarela kepada pejuang RI.
Tidak semua pengambilalihan kekuasaan dari Jepang dapat dengan mudah dilakukan. Ada
beberapa peristiwa pengambilalihan kekuasaan yang didahului secara diplomasi dengan
didukung oleh pasukan siap tempur apabila diplomasi mengalami kegagalan. Misal yang
terjadi di Pabrik Minyak Mexolie Kebumen (PMK Sari Nabati di desa Panjer) dan di Pabrik
Minyak Olvado Karanganyar.
Dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR)
Dalam suasana siaga menghadapi berbagai kemungkinan sebagai konsekwensi dari
Proklamasi 17 Agustus 1945, maka pada tanggal 23 Agustus 1945 keluarlah Seruan Presiden
RI sebagai berikut:
“ Saya berharap kepada kamu sekalian, hai prajurit – prajurit bekas PETA, Heiho,
dan Pelaut serta pemuda-pemuda lain, untuk sementara waktu, masuklah dan
bekerjalah pada Badan Keamanan Rakyat. Percayalah nanti akan datang saatnya
kamu dipanggil untuk menjadi prajurit dalam Tentara Kebangsaan Indonesia…”
Berdasarkan seruan Presiden tersebut, segenap jajaran pemerintahan di daerah segera
mengadakan pertemuan untuk membahas dan mengambil langkah – langkah lanjutan dengan
berpedoman dan memperhatikan petunjuk yang telah digariskan dari tingkat atasnya, antara
lain:



Badan Keamanan Rakyat (BKR) ditempatkan dalam wadah Badan Penolong
Keluarga Korban Perang (BPKP) yang dibina oleh Komite Nasional Indonesia (KNI)
di daerah – daerah.



Tugas BKR adalah menjaga keamanan rakyat setempat.

Rakyat terutama pemuda para bekas prajurit PETA, Heiho, KNIL, Pelaut serta pemuda lain
yang tergabung dalam berbagai organisasi kepemudaan dan kelaskaran menanggapi dan
menyambut baik Seruan Presiden dengan perasan lega, karena wadah untuk berjuang telah
jelas tersedia. Pembentukan melalui berbagai proses dan melalui sejumlah tahapan. Di daerah

tingkat kabupaten diadakan musyawarah koordinasi antara bekas Opsir Peta yang tertinggi
pangkatnya dengan Bupati dan Kepala Polisi Negara Kabupaten untuk memecahkan berbagai
masalah guna melaksanakan Seruan Presiden tersebut, dimana hasilnya sebagai berikut:


Segera diadakannya pemanggilan kepada para bekas prajurit PETA, Heiho, Pelaut,
KNIL, dan pemuda lain di kampung – kampung atau desa – desa, agar berkumpul

pada tanggal dan tempat yang telah ditentukan.



Pemanggilan dilakukan oleh Camat ditujukan kepada Kepala Desa/Lurah setempat
melalui Kurir Khusus yang pada tiap hari membawa surat-surat dari kecamatan ke
desa/kelurahan. Yang dimaksud dengan Kurir Khusus adalah pamong desa yang
secara bergiliran dari desanya, tiap hari berdinas jaga (piket) di Kantor Kecamatan,
yang sekaligus menjadi Rumah Dinas Camat. Dengan cara ini, berita panggilan cepat
sampai pada alamat yang dituju, meski di pelosok dan gunung – gunung sekali pun.
Cara pemanggilan itu ditempuh berhubung keterbatasan jumlah radio saat itu.



Mengenai konsumsi BKR di tingkat Kabupaten menjadi tanggung jawab Bupati
selaku Ketua BPKKP Kabupaten, Wedana untuk tingkat Kawedanan, dan Camat
untuk tingkat Kecamatan.




Mengenai persenjataan, berasal dari pinjaman Kepala Polisi setempat.



Mengenai akomodasi, sejumlah gedung yang ada milik siapa pun sementara waktu
boleh digunakan oleh BKR.

Perebutan Senjata Dari Tangan Jepang
Perebutan senjata dari tangan tentara Jepang tidak hanya bertujuan untuk melumpuhkan
Jepang, tetapi juga untuk mempersenjatai pejuang Indonesia. BKR maupun barisan – barisan
para pejuang lain, terpaksa harus merebut senjata sebagai jalan tercepat guna
mempertahankan kemerdekaan bangsa. Peristiwa tersebut terjadi di berbagai daerah antara
lain:


Pencarian Senjata di Krendetan dan Prembun

Eks Shodancho Sarwo Edhie (Mertua dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono) dan eks
Shodancho Sroehardoyo menuju ke Krendetan, tempat pertahanan meriam Jepang yang kuat.
Mereka menduga Jepang menyembunyikan senjata di sini. Dengan tekun mereka mencari,

tetapi tidak berhasil. Pencarian diteruskan ke Prembun (Kebumen), langsung menuju ke
rumah Shidokan yang dikenalinya waktu di pasukan PETA. Dalam sumur, ditemukan satu
dus peluru Karaben Steier. Peluru kemudian dibersihkan dan dijemur sambil berharap
karebennya ditemukan. Usaha itu gagal, sehingga mereka pun pulang.



Perampasan Senjata di Stasiun Kereta Api Kutoarjo

Berita pelucutan senjata Nakamura Butai oleh BKR di Magelang, mendorong Sroehardoyo
meneruskan usaha pencarian senjata. Ketika itu Sarwo Edhie telah pindah ke Batalyon A.
Yani di Magelang. Sroehardoyo menuju pantai Ayah yang di era Jepang merupakan
pertahanan pantai. Ternyata usaha tersebut pun gagal. Saat pulang dengan menggunakan
kereta api dari Kroya yang datang dari Jakarta, diketahui bahwa ada satu kompi tentara
Jepang yang akan ke Yogyakarta, berada dalam kereta yang sama.
Sroehardoyo duduk di bordes terakhir, memikirkan cara melucuti Jepang. Stasiun demi
stasiun sudah dilewati. Gombong, Karanganyar, dan Kebumen, tetapi belum juga
menemukan caranya. Tidak seorang pun bisa ditanya. Terlintas dalam pikiran, jika sampai di
stasiun Kutoarjo tidak menemukan cara, maka kesempatan memperoleh senjata pun akan
hilang.

Ketika kereta akan masuk stasiun, terlihat BKR dan Pemuda Pelajar Kutoarjo siap
mengadakan pengamanan. Sudah menjadi ketentuan bahwa bila ada pasukan Jepang yang
lewat, harus diadakan pengamanan ketat. Sroehardoyo tergugah. Apalagi dia bertemu dengan
eks Chudancho Sarbini di stasiun. Sroehardoyo pun segera mengutarakan maksudnya. Ia
sadar jika menggunakan kekerasan akan menemui kesulitan. Maka Sroehardoyo pun
menggunakan cara diplomasi yang ternyata disetujui Sarbini.
Perundingan berjalan lancar. Hasil dari perundingan tersebut, Taicho (Pimpinan) Jepang
memberi komando “So Juwo desu” (senjata keluarkan). Hanya saja Taicho minta agar
perwiranya tetap boleh mempertahankan samurainya. Hampir saja pistol tidak diserahkan.
Untung Taicho kemudian menyerahkan 3 pucuk pistol. Dengan lega Sroehardoyo dibantu
BKR Kutoarjo dan BKR Kereta Api yang bertugas di stasiun Kutoarjo, antara lain pemuda
Soekadaroh, mengurus pengangkutan senjata ke BKR Purworejo. Sedangkan eks Chudancho
Sarbini melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur bersama pasukan Jepang.
Senjata rampasan sebanyak satu kompi tersebut merupakan senjata pertama, embrio Resimen
XX/Kedu Selatan. Peristiwa menggembirakan tersebut dirayakan BKR Purworejo
dengan show of force berkeliling kota bersenjata lengkap dengan sangkur terhunus pada pagi
harinya. Mereka membuktikan bahwa BKR bukan lagi “macan kertas” (peristiwa ini menjadi
dasar acuan dijadikannya stasiun Kutoarjo sebagai bangunan cagar budaya).



Pelucutan Senjata di Kebumen

Pelucutan senjata di Kebumen dilakukan oleh BKR, pemuda, dan pelajar dipimpin oleh eks
Chudancho Soedrajat. Dengan kekuatan 400 orang bersenjata bambu runcing dan senjata
lain, mereka meruntuhkan mental Jepang. Pelucutan senjata berlangsung tanpa perlawanan.

Orang – orang Jepang selanjutnya dimasukkan ke dalam rumah tahanan di penjara Kebumen.
Pelucutan senjata di kota Kebumen berlangsung di empat tempat yakni:
1. Pabrik Minyak Kelapa Mexolie Kebumen (PMK Sari Nabati Panjer kebumen).
2. Jalan Pahlawan (sebelah barat kantor BRI).
3. Jalan Kranggan Kebumen.
4. Jalan Aseman/Jenderal Sarbini (sekarang depan Kantor DPU).


Pelucutan Senjata di Karanganyar

Pelucutan senjata di Karanganyar berlangsung di Pabrik Minyak Olvado dilakukan oleh BKR
dan pemuda berkekuatan 300 orang dengan bersenjata bambu runcing. Pelucutan dipimpin
oleh eks Bundancho Bambang Widjanarko dan eks Bundancho Koedoes yang menjatuhkan
mental tentara Jepang sehingga penyerahan lima pucuk senjata berlangsung tanpa

perlawanan.


Pelucutan Senjata di Sumpyuh

Pelucutan senjata di Sumpyuh melibatkan hampir semua pasukan BKR di Kedu Selatan,
yakni : BKR Kebumen, Gombong, Kutoarjo, dan Purworejo, dipimpin oleh Daidancho Gatot
Soebroto, Koordinator BKR Daerah Banyumas.
Selain pasukan BKR, dalam pelucutan tersebut ikut pula lebih kurang 300 orang pemuda
bersenjata bambu runcing. Dengan penuh semangat dan rela berkorban, mereka bergerak
bersama BKR Gombong yang dipimpin oleh eks Shodancho Soedarsono Bismo dan eks
Shodancho Slamet Soebyakto (sebagai komandan dan wakil komandan peleton). Sedangkan
yang menjadi komandan regu adalah eks Bundancho Djoerdjani, eks Bundancho Bagyoto,
eks Bundancho Yatiman, dan eks Bundancho Soemarto. Mereka berhasil memperoleh sebuah
truk Dodge, sepucuk SMR (Senapan Mesin Ringan), 40 senapan, dan puluhan pakaian
seragam Jepang.
Pasukan BKR Kebumen dengan kekuatan satu kompi dipimpin oleh eks Shodancho H.
Soegondo dan wakil eks Shodancho Soedarmin. Adapun Komandan Peleton I adalah eks
Shodancho Dimyati (terakhir sebagai mantan Lurah Kebumen), Peleton II eks Bundancho
Soemari, dan Peleton III eks Bundancho Soegito. Bertindak sebagai Komandan Regu adalah

eks Bundancho D.S. Iskandar, eks Bundancho Soediro, eks Bundancho Soenaryo, dan eks
Bundancho Solichin. Mereka berhasil memperoleh sebuah sepeda motor, sedan Chevrolet,
pick up, 3 buah truk, 3 pucuk SMR, 60 pucuk senapan, dan 15 peti peluru.
Pasukan BKR Kutoarjo dengan kekuatan satu peleton dipimpin oleh eks Shodancho M.
Toegiran dengan komandan – komandan regunya eks Bundancho Senoe, eks Bundancho

Soedarman, dan eks Bundancho Badroen berhasil memperoleh sebuah truk Australia dan 40
senapan.
BKR Purworejo juga mengerahkan dua peleton pasukan dipimpin oleh eks Shodancho
Sanoesi, Seksi I eks Bundancho Soesilo Handoyo, Seksi II eks Bundancho Soewaridjan, dan
Komandan Regu diantaranya eks Bundancho Soewandi. Mereka memaki dua truk Ghurka ke
Sumpyuh dan berhasil memperoleh lebih kurang 50 senapan pendek yang dipakai PETA.
Sejak saat itu, BKR di Kedu Selatan, baik BKR di Gombong, Kebumen, Kutoarjo, Purworejo
kekuatan senjata dan angkutannya bertambah. Hal ini menambah pula rasa percaya diri dan
semangat tempur dalam perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Negara Proklamasi 17
Agustus 1945.
Dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Kedu Selatan
Dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan para
anggota BKR dan pemuda pejuang karena Pemerintah RI belum juga membentuk suatu
tentara nasional Indonesia yang resmi. Mantan Opsir KNIL yang berpangkan Mayor di jaman

Hindia Belanda, Oerip Soemohardjo pun sampai berkata “Aneh suatu Negara zonder
tentara”. Oerip merupakan satu-satunya opsir bangsa Indonesia asli yang mendapat pangkat
tertinggi hingga masa berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia pada tahun 1942. Ia lahir
di Guron, Sindurejan, Purworejo pada tanggal 21 Februari 1893. Orang tuanya bernama
Soemohardjo, seorang mantri guru (cucu dari KRT. Widjoyokusumo Adipati Trenggalek;
dengan kata lain Oerip adalah Cicit dari KRT. Poerbonegoro Bupati Ambal Kebumen yang
pertama dan terakhir).
Maklumat Pemerintah Tanggal 5 Oktober 1945
Akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1945 Pemerintah RI mengeluarkan maklumat sebagai
berikut:
“Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara
Keamanan Rakyat”.
Maklumat ini disusul dengan Pengumuman Pemerintah tanggal 7 Oktober 1945 yang
berbunyi:
“Ini hari telah dilakukan pembentukan Tentara Kebangsaan di salah satu daerah
di Jakarta dengan maksud untuk menyempurnakan kekuatan Republik
Indonesia”.

Pemuda-pemuda bekas Peta, Heiho, Keigun, dan pemuda dari Barisan Pelopor telah
menyiapkan tenaganya, agar setiap waktu dapat membaktikan tenaganya untuk menentang
kembalinya penjajah Belanda. Pemuda-pemuda dan Tentara Kebangsaan itu dengan segera
diperlengkapi dengan persenjataan, agar dengan jalan demikian dapat mempertahankan
keamanan umum.
Dua hari setelah dikeluarkannya Pengumuman Pemerintah tersebut, segera disusul dengan
seruan Mr. Kasman Singadimedja selaku Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
yang isinya sebagai berikut:
“Untuk menjaga keamanan rakyat pada dewasa ini oleh Presiden Republik
Indonesia telah diperintahkan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat. Tentara
ini terdiri atas rakyat Indonesia yang berperasaan penuh tanggung jawab atas
keamanan masyarakat Indonesia dan guna menjaga kehormatan Negara
Indonesia”.
Pemuda dan lain-lainnya yang tegap sentosa badan dan jiwanya, bekas prajurit
PETA, prajurit HIndia Belanda, Heiho, Kaigun Heiho, Barisan Pemuda,
Hisbullah, pelopor dan lain-lainnya, baik yang sudah maupun yang belum pernah
memperoleh latihan militer supaya selekas-lekasnya mendaftarkan diri pada
kantor BKR di ibukota kabupaten masing-masing atau kepada badan-badan
lainnya yang ditunjuk oleh Residen (kepala darah) atau wakilnya. Merdeka!!!
Maklumat, Pengumuman Pemerintah dan Seruan Ketua KNIP tersiar ke seluruh negeri.
Semakin jelaslah bagi rakyat, terutama pemuda yang sejak awal berniat mengabdikan dirinya
untuk berjuang melalui kesatuan bersenjata. TKR mendapat sambutan hangat, tidak hanya
dari pemuda yang telah tergabung dalam BKR, tetapi juga pemuda-pemuda lainnya. Hal ini
terbukti dengan banyaknya unsur pegawai negeri, swasta, guru, pelajar, petani, pedagang, dan
santri yang tadinya belum masuk ke dalam BKR, berbondong-bondong masuk TKR.
Sehingga apabila tidak diadakan pembatasan peneriman saat itu, pasti kekuatan TKR sangat
besar.
Kepala Staf Umum TKR, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo menyusun TKR dengan 10
Divisi di Jawa dan 6 Divisi di luar Jawa. Satu di antara 10 Divisi TKR di Jawa adalah Divisi
V di bawah pimpinan Kolonel Soedirman (dikemudian hari dikenal sebagai Panglima Besar
Jenderal Soedirman) yang berkedudukan di Purwokerto meliputi daerah Kedu, Pekalongan,
dan Banyumas.



Bengkel Senjata Kebumen

Para pejuang bersenjata di Kedu Selatan terus berupaya keras untuk menambah persenjataan
yang dimiliki dengan berbagai cara. TKR Batalyon III Resimen Moekahar Kebumen
mengetahui bahwa di ACW Bandung terdapat sejumlah alat dan mesin selain senapan, pistol,
mitraliur, granat yang tidak atau belum dipindahkan dan tidak dibumihanguskan. Atas saran
Kepala Bagian Persenjataan Batalyon Letnan II Iskandar dan saran teknis Letnan II
Tirtohoedoyo, maka Mayor Rahmat, bersama Letnan II Iskandar dan Letnan II Tirtohoedoyo
pergi ke Bandung untuk mengambil dan memindahkan alat – alat dan senjata ke Kebumen.
Mereka dikawal oleh satu kompi pasukan yang dipimpin oleh Kapten Soegondo, Letnan I
Dimyati (terakhir sebagai Lurah Kebumen), dan Letnan Muda Pratedjo. Pemindahan
dilakukan dengan menggunakan truk dan kereta api. Mereka berhasil memindahkan beberapa
pucuk senjata, 30 mesin bubut, dan sejumlah alat produksi lain. Alat – alat tersebut kemudian
dibawa ke kompleks Sekolah Teknik (ST) Kebumen untuk melengkapi alat-alat yang telah
ada sebelumnya dan selanjutnya digunakan sebagai alat memproduksi senjata, baik senjata
tajam maupun senjata api, seperti : pedang panjang (model samurai Jepang), pedang biasa,
pistol, pistol mitraliur, kaki Senapan Mesin Ringan dan kaki Senapan Mesin Berat untuk
Pasukan Anti Serangan Udar (PASU) 12.7 dan M 2.3.
Dengan demikian Batalyon III/Kebumen memiliki bengkel senjata. Senjata – senjata yang
dihasilkan digunakan untuk melengkapi persejataan badan perjuangan di Kedu Selatan, agar
potensi dan semangat juang meningkat.
Tenaga yang dilibatkan dalam kegiatan produksi senjata terdiri dari:
1. 24 orang Guru Sekolah Teknik Kebumen diantaranya; Sanoesi, Haroen, Soedjangi,
Dalilan, dan Badaruzzaman.
2. 100 orang siswa Sekolah Teknik Kebumen.
3. 200 orang personil yang dipindahkan dari Bandung.
Personil dari Bandung pada umumnya telah berkeluarga. Mereka membawa keluarganya
tinggal di Kebumen. Keberhasilan produksi senjata di Kebumen merupakan prestasi yang
langka. Namun hal tersebut juga menjadi beban bagi kesatuan tingkat batalyon. Karenanya,
bertepatan dengan penandatanganan Persetujuan Linggarjati tanggal 25 Maret 1947, atas
pertimbangan Resimen dan Divisi, bengkel senjata Kebumen kemudian diserahkan ke
Kementerian Pertahanan RI. Begitu juga dengan personilnya, sebagian besar masuk ke TRI
(Tentara Republik Indonesia), termasuk siswa di ST Kebumen. Sedangkan guru ST Kebumen
kembali bekerja seperti semula.

TKR Batalyon I Moekahar/Purworejo tidak ketinggalan pula berupaya menambah senjata.
Senjata yang berhasil diproduksi adalah granat yang terkenal dengan sebutan Granat
Gombyok. Granat ini adalah hasil karya Letnan II Soenarto (mantan Sersan KNIL) yang
ditugaskan di bagian persenjataan Batalyon I Resimen Moekahar. Granat Gombyok
mendapat sambutan dan dukungan baik oleh Komandan Batalyon I Resimen Moekahar
Mayor Koen Kamdani dan selanjutnya diproduksi secara masal.
Granat Gombyok pada masanya benar – benar memasyarakat. Bengkel Granat Gombyok di
Batalyon I/Purworejo pun akhirnya diserahkan kepada Kementerian Pertahanan RI di
Yogyakarta.
Perubahan Nama Dan Peningkatan Status TKR
Berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 2 Tanggal 7 Januari 1946, maka nama Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR). Ini berarti
bahwa Tentara Keamanan Rakyat hanya berumur 93 hari, yakni sejak tanggal 5 Oktober 1945
hingga 7 Januari 1946.
Perubahan Nama TKR menjadi TRI
Berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 2 Tanggal 7 Januari 1946 Tentara Keamanan Rakyat
diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Kemudian disusul dengan adanya Dekrit
Presiden tanggal 26 Januari 1946, maka nama Tentara Keselamatan Rakyat disempurnakan
dan ditingkatkan statusnya menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).
Perubahan TRI Menjadi TNI
Sesuai dengan Keputusan Presiden pada tanggal 3 Juni 1947 Tentara Republik Indonesia
(TRI) diubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), dimuat dalam Berita Negara Tahun
1947 No. 24.
Sebuah perjalanan panjang kelahiran TNI yang genetiknya murni dari Ruh rakyat Indonesia
yang memiliki nasionalisme kuat. Maka tidakah mengherankan jika TNI hingga saat ini tidak
bisa dipisahkan dan selalu Manunggal dengan Rakyat.
Dirgahayu TNI ke 68! NKRI Harga Mati! Salam Pancasila!