BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Basis Gigi Ti

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Basis Gigi Tiruan
Gigi tiruan lengkap dapat didefinisikan sebagai gigi tiruan untuk

menggantikan permukaan pengunyahan dan struktur yang menyertainya dari
suatu lengkung gigi rahang atas dan rahang bawah. Gigi tiruan tersebut terdiri
dari gigi tiruan yang dilekatkan pada basis. Basis gigi tiruan memiliki dukungan
melalui kontak yang erat dengan jaringan mulut dibawahnya (Anusavice, 2004).
Basis gigi tiruan ideal memiliki beberapa persyaratan antara lain :
Adaptasi yang baik terhadap jaringan rongga mulut, kerapatan baik dan tidak
mengiritasi permukaan rongga mulut, konduktivitas termal yang baik, kekuatan
cukup untuk mencegah fraktur dan tidak mudah distorsi, mudah untuk
dibersihkan, estetik baik, potensial untuk relining, harga terjangkau.
Basis gigi tiruan dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu : logam
dan non logam. Bahan logam terdiri dari ; alloy emas kuning, alloy emas putih,
alloy krom kobalt dan stainless steel. Sedangkan bahan nonlogam terdiri dari
polimer dan porselen (Osborne et al., 1974). Sampai saat ini, polimer (resin)

paling banyak digunakan di bidang kedokteran gigi dikarenakan keberadaannya,
kestabilan dimensi, karakteristik penanganan, warna dan kekompakan dengan
jaringan mulut (Anusavice, 2004).
Terdapat 4 jenis resin akrilik, yaitu :
a. Resin akrilik heat cured adalah resin yang polimerisasinya dengan
memanfatkan energi termal dan tekanan yang dipertahankan sampai terjadi
polimerisasi sempurna. Energi termal yang diperlukan untuk polimerisasi

bahan dapat diperoleh dengan menggunakan pemanasan air atau oven
gelombang mikro (Craig et al., 2006).
b. Resin akrilik microwave polymerized-polymer adalah jenis resin akrilik yang
menggunakan gelombang mikro yang merupakan gelombang elektromagnetik
dalam rentang frekuensi MHz untuk mengaktifkan proses polimerisasi. Proses
polimerisasi menggunakan energi microwave dengan kuvet polikarbonat
khusus (bukan logam) (Ecket et al., 2004).
c. Resin akrilik self cured yaitu resin yang proses polimerisasinya menggunakan
aktivator kimia sehingga tidak memerlukan energi termal dan dapat dilakukan
pada temperature ruangan. Komposisinya sama dengan resin akrilik heat
cured kecuali pada komponen cairannya mengandung bahan aktivator seperti
dimetil-para-toluidin. Resin ini jarang digunakan sebagai bahan untuk

membuat basis gigi tiruan karena kekuatan dan stabilitas warnanya tidak
sebaik heat cured polymer. Selain itu jumlah monomer sisa pada self cured
polymer lebih tinggi dibandingkan heat cured polymer (Combe, 1992).
d. Resin akrilik light cured adalah Jenis resin akrilik yang menggunakan sinar
dengan

intensitas

camphoroquinone

tinggi
sebagai

antar

400-500

inisiator

nm


sebagai

polimerisasi.

aktivator

Proses

dan

polimerisasi

berlangsung selama 10 menit (Anusavice, 2004 ; Ecket et al., 2004).
Resin akrilik yang umum digunakan di kedokteran gigi menurut American
Dental Assosiation No.12 (ISO 1567), yaitu resin akrilik heat cured dan cold
cured (Powers et al., 2006). Namun yang sering dipakai adalah tipe heat cured
karena memiliki kekuatan yang lebih baik dan porositasnya lebih kecil dibanding
resin akrilik cold cured (Anusavice, 2004).


2.2

Resin Akrilik Heat Cured

2.2.1

Komposisi Resin Akrilik Heat Cured
Resin akrilik Polymethyl methacrylate (PMMA) dipakai sejak pertengahan

tahun 1940-an. Bahan basis gigi tiruan PMMA biasanya dikemas dalam sistem
bubuk dan cairan. Bubuk terdiri atas butir-butir poly methyl-methacrylate prapolimerisasi dan sejumlah kecil benzoil peroksida (pemulai/inisiator). Sedangkan
cairan didominasi oleh methyl-methacrylate tidak terpolimerisasi dengan
sejumlah

kecil

hidroquinon.

Hidroquinon


ditambahkan

sebagai

suatu

penghambat yang mencegah polimerisasi yang tidak diharapkan selama
penyimpanan cairan. Suatu bahan ikatan silang juga bisa ditambahkan yaitu
Glikol dimethalcrylate yang dapat berfungsi sebagai jembatan untuk menyatukan
2 rantai polimer. Bila dimasukkan ke dalam adukan dapat membentuk polimer
yang menyerupai jala yang memberikan ketahanan terhadap deformasi. Bahan
ikatan silang Glikol dimethalcrylate digabungkan ke dalam komponen cairan
pada konsentrasi sebesar 1-2 % volume (Anusavice, 2004).

2.2.2

Karakteristik Resin Akrilik Heat Cured
Resin akrilik heat cured memiliki beberapa karakteristik antara lain sifat

fisik, mekanik, kimia, dan biologi. Sifat fisik dari resin akrilik heat cured antara lain

memiliki variasi warna dan opasitas serta merupakan isolator yang baik terhadap
suhu panas atau dingin. Sifat mekaniknya antara lain, kekuatan impak yang
relatif rendah, cenderung terjadi crazing (retakan mikro), dan dapat terjadi
perubahan warna. Sifat kimia dan biologinya antara lain, dapat menyerap air
secara lambat dan bisa menimbulkan reaksi hipersensitifitas pada pengguna gigi
tiruan yang sensisif mekipun masih jarang terjadi (Mc Cabe et al., 2008).

Karakteristik resin akrilik heat cured menurut Anusavice tahun 2004, yaitu :
a.

Pengerutan Polimerisasi

Ketika monomer methyl-methacrylate terpolimerisasi untuk membentuk poly
methyl-methacrylate, kepadatan massa bahan berubah dari 0,94 menjadi 1,19 g/
cm3. Perubahan kepadatan ini menghasilkan pengerutan volumetric sebesar 21
%. Bila resin konvensional yang diaktifkan panas diaduk dengan rasio bubuk
berbanding cairan sesuai anjuran, sekitar sepertiga dari massa hasil adalah
cairan.

Akibatnya,


pengerutan

volumetric

yang

ditunjukan

oleh

massa

terpolimerisasi harus sekitar 7 %. Selain pengerutan volumetric juga harus
diperhatikan efek pengerutan linier. Pengerutan linier memberikan efek yang
nyata pada adaptasi basis gigi tiruan serta interdigitasi tonjol. Semakin besar
pengerutan linier, semakin besar pula ketidaksesuaian yang teramati dari
kecocokan awal suatu gigi tiruan. Berdasarkan pada pengerutan volumetric
sebesar 7% basis gigi tiruan resin akrilik harus menunjukan pengerutan linier
kurang lebih 2%. Namun pada umumnya pengerutan linier kurang dari 1%

(Anusavice, 2004).
b.

Porositas

Adanya gelembung permukaan dan dibawah permukaan dapat mempengaruhi
sifat fisik, estetika dan kebersihan basis gigi tiruan. Porositas cenderung terjadi
pada bagian basis gigi tiruan yang lebih tebal. Porositas tersebut akibat dari
penguapan monomer yang tidak bereaksi serta polimer berberat molekul rendah,
bila temperature telah mencapai atau melebihi titik didih bahan tersebut. Dapat
juga berasal dari pengadukan yang tidak tepat antara komponen bubuk dan
cairan. Bila ini terjadi, beberapa massa resin akan mengandung monomer lebih
banyak dibanding yang lain. Porositas jenis ketiga dapat disebabkan karena

tekanan atau tidak cukupnya bahan dalam rongga kuvet elama polimerisasi
(Anusavice, 2004).
Porositas dibedakan menjadi dua (Anusavice, 2004), yaitu ;
i.

Shrinkage porosity : terlihat seperti gelembung yang tidak beraturan

dan bisa terdapat di seluruh massa resin akrilik baik di permukaan
ataupun di dalam massa.

ii.

Gausseus porosity : tampak gelembung kecil halus yang biasanya
terdapat di bagian yang tebal dan bagian yang terletak jauh dari sumber
panas luar.

Timbulnya porositas dapat diminimalkan dengan menjamin homogenitas resin
yang sebesar mungkin. Penggunaan rasio polimer berbanding monomer yang
tepat serta prosedur pengadukan yang terkontrol dengan baik membentuk
keadaan ini. Pengadukan dan pemasangan jalan masuk secara cermat dapat
membantu mengurangi masuknya udara (Anusavice, 2004).
c.

Penyerapan Air

Polimerisasi methacrylate menyerap air ketika ditempatkan dalam lingkungan
basah. Namun, air yang diserap ini menimbukan efek yang nyata pada sifat

mekanik dan dimensi polimer. Umumnya mekanisme air yang terjadi adalah
difusi yaitu berpindahnya suat substansi melalui rongga atau melalui substansi
kedua (Anusavice, 2004). Poly methyl-methacrylate memiliki nilai penyerapan air
sebesar 0,09% mg/cm3. Diperkirakan bahwa setiap 1 % peningkatan berat
disebabkan karena penyerapan air resin akrilik mengalami ekspansi linear
sebesar 0,23%. Percobaan laboratorium menunjukan bahwa ekspansi linier yang
karena penyerapan air adalah hampir sama dengan pengerutan termal yang
diakibatkan oleh proses polimerisasi. Karena adanya air memberikan efek yang

nyata pada sifat fisik dan dimensional dari resin basis, koefisien difusi juga perlu
diperhatikan. Koefisien difusi dari air pada protesa resin akrilik teraktivasi panas
umumnya adalah 1,08 (Anusavice, 2004).
d. Crazing
Crazing adalah garis retakan kecil atau halus yang nampak timbul pada
permukaan gigi tiruan. Crazing pada resin transparan menimbulkan penampilan
berkabut atau tidak terang. Pada resin berwarna, crazing menimbulkan
gambaran putih. Hal ini bisa dibebakan oleh :
i.

Mecanical


stress

(tekanan

mekanik)

karena

pembasahan

dan

pengeringan gigi tiruan yang berulang-ulang, sehingga menyebabkan
kontraksi dan ekpansi
ii. Tekanan karena koefisien ekspansi suhu yang berbeda antara gigi
porselen dan dengan basis gigi tiruan akrilik
iii. Peranan pelarut, ketika gigi tiruan direparasi, monomer kontak dengan
resin dan dapat menyebabkan crazing.
Adanya crazing membuat kekuatan gigi tiruan menurun (weekening effect)
(Anusavice, 2004).
e. Residual monomer
Akrilik yang direbus dengan baik masih menyisakan monomer sebanyak 0,2-0,5
%. Prosesing pada temperature yang rendah dan waktu yang kurang tepat
dapat menimbulkan monomer sisa yang lebih banyak. Hal tersebut harus
dihindari karena monomer sisa dapat terlepas dari gigi tiruan dan dapat
mengiritasi jaringan mulut, membuat akrilik lebih lemah dan fleksibel (Anusavice,
2004).

f.

Ketepatan Dimensi

Faktor yang berpengaruh terhadap ketepatan dimensi antara lain, mould
ekpansi pada waktu packing, ekpansi suhu pada fase dough, shrinkage pada
polimerisasi,

panas

yang

berlebihan

pada

waktu

polishing,

stabilisasi

dimensi,dan fraktur yang keras atau fatigue (Anusavice, 2004).

2.2.3

Manipulasi dan Polimerisasi Resin Akrilik Heat Cured
Manipulasi resin akrilik perlu memperhatikan perbandingan polimer dan

monomer agar diperoleh sifat fisik dan mekanik yang diharapkan. Rasio polimer
dan monomer yang tepat juga penting untuk mengontrol perubahan dimensi
bahan saat setting. Perbadingan polimer dan monomer ideal adalah 2.5 : 1
berdasarkan berat (Mc Cabe et al., 2008) atau perbandingan 3 : 1 berdasarkan
volume (Anusavice, 2004). Perbandingan tersebut akan memberikan monomer
yang cukup untuk membasahi keseluruhan partikel polimer

dan tidak

memberikan kelebihan monomer yang dapat menyebabkan peningkatan
pengerutan polimerisasi (Anusavice, 2004). Pengerutan volume polimerisasi
pada rasio 2.5 : 1 adalah sekitar 5-6 % (Mc Cabe et al., 2008).
Ketika monomer dan polimer diaduk dengan perbandingan sesuai, akan
dihasilkan massa yang dapat diproses melalui 5 tahap yang berbeda (Anusavice,
2004) , yaitu :
a. Sandy stage
Pada tahap ini belum ada atau sedikit interaksi pada tingkat molekuler antara
polimer dan monomer. Butir polimer tetap tidak berubah, dan konsistensi adukan
digambarkan dengan ‘berbutir’ atau ‘kasar’.

b. Stringy stage
Selama tahap ini, monomer akan menyerang permukaan masing-masing butiran
polimer. Beberapa rantai polimer terdispensi dalam monomer cair. Rantai-rantai
polimer ini melepaskan jalinan ikatan, sehingga meningkatkan kekentalan
adukan. Tahap ini mempunyai cirri ‘berbenang’ atau ‘lengket’ bila bahan
disentuh atau ditarik.
c. Dough stage
Massa sudah tidak melekat bila dipegang tangan, pada saat inilah dilakukan
packing.
d. Rubbery stage
Tahap karet atau elastik, dimana monomer dihabiskan dengan penguapan dan
dengan penembusan lebih jauh ke dalam butir-butir polimer yang tersisa. Secara
klinis, massa memantul bila ditekan dan diregangkan.
e. Stiff stage
Tahap akhir dari massa, dan bila dibiarkan pada periode tertentu maka adukan
akan menjadi keras. Ini disebabkan karena penguapan monomer bebas.

Temperature

resin

akrilik

heat

cured

saat

polimerisasi

harus

dipertahankan mendekati 740C, dikarenakan reaksi polimerisasi termasuk
eksoetermik yang kuat (Craig, 2006). Basis gigi tiruan umumnya mengandung
benzoil peroksida. Bila dipanaskan di atas 600C, molekul-molekul benzoil
peroksida terpisah-pisah untuk menghasilkan spesies dengan muatan listrik
netral dan mengandung electron tidak berpasangan. Spesies molekul ini
dinamakan radikal bebas. Masing-masing radikal bebas dengan cepat bereaksi
dengan molekul monomer yang ada untuk merangsang polimerisasi rantai

bertambah. Karena produk reaksi juga memiliki electron tidak berpasangan,
molekul tersebut tetap aktif secara kimia. Sebagai akibatnya, molekul monomer
tambahan menjadi terikat dengan rantai polimer individual. Proses ini terjadi
secara cepat dan diakhiri oleh penyatuan 2 rantai atau perpindahan satu ion
hydrogen dari 1 rantai ke rantai yang lain (Anusavice, 2004).
Proses polimerisasi terjadi 3 tingkatan, yaitu :
a.

Inisiasi

Reaksi penggerak berupa radikal bebas yang dapat terbentuk karena penguraian
peroxide. Radikal ini akan memicu terjadinya polimeriasi dan disebut initiator.
Initiator dapat diartikan dengan menggunakan peroksida melalui penyinaran
dengan sinar ultraviolet atau dengan cara pemanasan maupun dengan
memberikan bahan kimia yaitu dimethyl-p-tuloidine maupun bahan kimia lain
seperti merkaptans.
b.

Propagasi

Pada tahap ini terjadi reaksi antara radikal bebas dengan monomer, mengawali
terbentuknya rantai polimer.
c.

Terminasi

Tahap ini bila 2 radikal bebas bereaksi mebentuk molekul yang stabil.

Selama pembuatan basis gigi tiruan, panas diaplikasikan pada resin
dengan merendam kuvet gigi tiruan dan alat pembawa kuvet dalam bak air.
Kemudian air dipanaskan sampai temperatur yang dianjurkan dan dipertahankan
pada temperatur tersebut untuk suatu periode waktu yang dianjurkan oleh pabrik
(Anusavice, 2004).

2.2.4 Keuntungan dan Kerugian Resin Akrilik Heat Cured
Menurut Wilson (1987) menyatakan bahwa resin akrilik memiliki keuntungan dan
kerugian, yaitu :
Keuntungan :
a.

Warna dan translusensi baik, mirip dengan jaringan asli, dan permanen.

b. Manipulasinya mudah.
c. Kekuatannya adekuat, dan gaya berat spesifik rendah.
d. Resistensi pada pertumbuhan bakteri baik.
e. Haega relative terjangkau dan nyaman pada pemakaian.
Kerugian :
a. Mengalami perubahan dimensi selama pembasahan dan pengeringan, dan
selama pemrosesan ulang
b. Dapat berubah bentuk selama perbaikan
c. Konduktor termal yang kurang baik
Sedangkan menurut Reisbick (1982) menyatakan keuntungan dan kerugian resin
akrilik antara lain :
Keuntungan :
a. Mudah untuk reparasi, rebasing, dan mengubah kontur.
b. Non-allergik.
c. Tidak korosif
d. Mudah dalam menjaga kebersihhannya

Kerugian :
a. Permukaan tidak bersifat basah
b. Tidak dapat direbus untuk sterilisasi

2.3

Jahe (Zingiber officinale)
Jahe termasuk tanaman tahunan, berbatang semu, dan berdiri tegak

dengan ketinggian mencapai 0,75 m.

2.3.1

Taksonomi
Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, tanaman jahe diklasifikasikan

sebagai berikut :
Divisi

: Pterydophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Monocotyledoneae

Ordo

: Scitamineae

Famili

: Zingiberaceae

Genus

: Zingiber

Spesies

: Zingiber officinalle, var Roscoe

2.3.2

Morfologi
Secara morfologi, tanaman jahe terdiri atas akar, rimpang, batang, daun,

dan bunga. Perakaran tanaman jahe merupakan akar tunggal yang semakin
membesar seiring dengan umurnya, hingga membentuk rimpang serta tunastunas akan tumbuh menjadi tanaman baru.
Batang tanaman jahe merupakan batang semu yang tumbuh tegak lurus.
Batang tanaman ini terdiri atas seludang-seludang dan pelepah daun yang
menutupi batang. Bagian luar batang licin dan mengilap, serta mengandung
banyak air.
Daun tanaman jahe berbentuk lonjong dan lancip menyerupai rumputrumputan besar. Ukuran panjang daun sekitar 5 - 25 cm dan lebar 0,8 – 25 cm.
Bagian ujung daun agak tumpul dengan panjang lidah 0,3 – 0,6 cm. Bila daun
mati, pangkal daun tetap hidup dalam tanah. Jika cukup tersedia air, bagian
pangkal daun ini akan ditumbuhi tunas dan menjadi rimpang yang baru.
Bunga tanaman jahe terletak pada ketiak daun pelindung. Bentuk bunga
bervariasi : panjang, bulat telur, lonjong, runcing, atau tumpul. Bunga berukuran
panjang 2 – 2,5 cm dan lebar 1 – 1,5 cm (Suprapto, 2007).

2.3.3 Klasifikasi Tanaman Jahe
Jenis atau varietas jahe yang berkembang di Indonesia dibedakan atas 3
clon berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpangnya. Ketiga clon jahe
tersebut adalah sebagai berikut : (Rukmana, 2010)
a. Jahe Putih Besar (JPB)
Jahe putih besar ditandai dengan ukuran rimpang yang besar, lebih besar
daripada clon lainnya. Berwana kuning muda atau kuning, berserat, jenis jahe ini

dapat dikonsumsi waktu muda atau sudah tua, baik masih segar atau sudah
olahan.
b. Jahe Putih Kecil (JPK)
Jahe sunti atau emprit ini memiliki ciri ruas yang kecil agak rata dan
mengembung yang dapat dikonsumsi saat sudah masak benar. Kandungan
minyak atsiri jenis ini lebih banyak sehingga lebih pedas dan memiliki serat lebih
banyak. Jahe ini sangat cocok sebagai ramuan obat-obatan.
c. Jahe Merah (JM)
Jahe merah memiliki rimpang yang lebih kecil dan berwarna merah yang dapat
dikonsumsi jika udah masak benar. Jahe ini juga efektif untuk ramuan obatobatan.

2.3.4

Komponen Kimia Jahe
Komposisi kimia jahe sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain

waktu panen, lingkungan tumbuh (ketinggian tempat, curah hujan, jenis tanah),
keadaan rimpang (segar atau kering) dan geografi (Ali et al., 2008 ; Hernani dkk).
Komponen utama dari jahe segar adalah senyawa homolog fenolik keton yang
dikenal sebagai gingerol. Gingerol sangat tidak stabil dengan adanya panas dan
pada suhu tinggi akan berubah menjadi shogaol. Shogaol lebih pedas
dibandingkan gingerol, merupakan komponen utama jahe kering (Ghasemzadeh
et al., 2010). Konsentrasi gingerol dari jahe kering akan berkurang dibandingkan
dalam jahe segar, sedangkan shogaol akan meningkat. Komponen lain dalam
rimpang jahe adalah paradol, gingerdion dan zingiberol.
Rimpang jahe juga mengandung minyak atsiri. Minyak atsiri adalah
minyak yang mudah menguap dan memberikan bau yang khas pada jahe.

Minyak atsiri mengandung komponen utama yang berupa senyawa zingiberen
(C12H24) dan zingiberol (C12M26O2). Selain itu terdapat senyawa oleoresin (fexed
oil). Di samping itu, minyak jahe juga mengandung senyawa-senyawa pinen,
kamfen, felandren, sineol, metil-heptenon, linaol, bormeol, sitral, α dan β
zingiber, α kurkumen, farnesen , seskuiterpen, alcohol, C10 dan C9 aldehid
(Rukmana, 2010).
Menurut Ghasemzadeh (2010), di dalam jahe juga terkandung flavonoid
sebagai antioksidan yang berfungsi mengurangi agen radikal bebas dan
menghambat pembentukan oksigen. Dalam rangka mendapatkan kualitas
tanaman dengan kandungan flavonoid yang tinggi, jahe hendaknya dipanen
setelah 16 minggu penanaman (Ghasemzadeh, 2010).

2.3.5

Khasiat Tanaman Jahe
Sejak jaman nenek moyang jahe dipercaya secara turun temurun

mempunyai khasiat, seperti mengatasi mual, mabuk perjalanan, gangguan usus
dan pencernaan, keracunan makanan serta radang sendi, jahe dipercaya bisa
menggantikan aspirin dan obat sejenis lainnya (Harwati, 2009). Selain itu
senyawa zingerone, yang memberikan karakter sangat tajam dari rimpang jahe,
sangat efektif terhadap Escheria coli penyebab diare, terutama pada anak-anak.
Adanya sejumlah mineral seperti kalium, mangan tembaga, dan magnesium juga
sangat membantu. Kalium dalam sebuah komponen penting dari sel dan cairan
tubuh yang membantu mengendalikan detak jantung dan tekanan darah (Anon,
2010 ; Hernani dkk)
Sedangkan secara klinik yang paling menonjol yaitu menghilangkan
gejala mual setelah operasi, mencegah mabuk perjalanan, dan sakit karena

osteoteritis cukup efektif pada kadar 2 gram (dalam satu dosis dibagi menjadi
beberapa kali) dapat dilakukan daam waktu yang tidak dibatasi. Penggunaan
serbuk jahe pada dosis 6 gram perhari dapat menyebabkan iritasi lambung
(Harwati, 2009).
Penelitian terbaru mengenai manfaat jahe terbukti mempunyai efek
kardio-protektif dan aktioksidan tinggi pada model tikus wistar yang diinduksi
toksis jantung Monosodium Glutamate (Ajibade, 2013).

2.3.6

Jahe terhadap Resin Akrilik
Penelitian yang dilakukan Setyowati (2008) menyebutkan bahwa infusa

rimpang jahe efektif menghambat pertumbuhan koloni Candida albicans pada
plat resin akrilik heat cured pada konsentrasi 10 % dan 15 %. Efek antimikroba
didapat dari bahan yang terkandung dalam infusa rimpang jahe tersebut, yaitu
minyak atsiri dan flavonoid yang dikenal memiliki sifat antiseptik, antioksidan, dan
mempunyai aktifitas terhadap bakteri dan jamur (Indiani, 2008). Hal tersebut juga
didukung dengan adanya kandungan gingerol. Gingerol ini merupakan golongan
fenol yang menjadi desinfektan paling umum digunakan di laboratorium (Kemper,
1999).
Gingerol merupakan serangkaian komponen keton phenolik homolog
Gingerol pada suhu yang tidak stabil diubah menjadi shogaol. Gingerol dan
shogaol merupakan komponen phenol aktif pada rimpang jahe (Ghasemzadeh et
al, 2010). Phenol diketahui merupakan substansi yang dapat mendegradasi gigi
tiruan resin akrilik. Phenol yang berkontak dengan resin akrilik mengakibatkan
pelarutan, pembengkakan, serta crazing sehingga dapat mengurangi sifat
mekanik termasuk kekuatan transversa (Indiani, 2008).

2.4

Kekuatan Transversa
Kekuatan transversa adalah uji kekuatan dari suatu batang atau suatu

lempeng tipis yang tertumpu pada kedua ujungnya dan diberi beban statis.
Beban tersebut diberikan ditengah-ditengahnya, selama beban ditekan maka
beban akan meningkat secara beraturan dan berhenti ketika batang uji patah.
Beban yang diperoleh dimasukkan ke dalam rumus kekuatan transversa
(Anusavice, 2004), yaitu :
3 lP
S=

2 bd2

Keterangan :
S = kekuatan transversa (N/mm2)
b = lebar lempeng (mm)
l =panjang / jarak pendukung (mm)
d = tebal lempeng (mm)
P = beban (N)
Kekuatan tranversa juga merupakan kombinasi dari kekuatan tarik, tekan
dan kekuatan geser untuk mengukur sifat mekanis suatu basis gigi tiruan karena
cukup mewakili tipe-tipe gaya yang terjadi selama proses pengunyahan.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kekuatan transversa resin akrilik
antara lain (Orsi et al., 2004). :
a. berat molekul
b. ukuran partikel polimer
c. komposisi polimer
d. porositas

e. ketebalan dari bahan
Faktor yang paling penting dalam kekuatan resin adalah derajat
polimerisasi pada saat memanipulasi resin akrilik. Lebih tinggi derajat
polimerisasi, lebih tinggi kekuatan transversa dari basis resin akrilik (Chirtoc et
al., 2007).
Kekuatan transversa resin akrilik secara umum harus cukup untuk
menahan tekanan pengunyahan yang besar supaya material tidak fraktur
(McCabe et al., 2008). Menurut spesifikasi ADA no.12 kekuatan transversa
minimum resin akrilik yang tidak menimbulkan gejala klinis pada pengguna gigi
tiruan adalah 65 MPa (Peracini et al., 2010). Semakin tinggi kekuatan transversa
basis gigi tiruan semakin baik bahan tersebut dalam menerima beban
pengunyahan (Anusavice, 2004).