Konsep Istikhlaf Tawaran Ekonomika Is

KONSEP ISTIKHLAF — TAWARAN EKONOMIKA ISLAMI
BAGI PENYEMAIAN ETIKA BISNIS DAN EKONOMI 1)

Dumairy 2)

abstrak
Perilaku negatif di kancah bisnis dan perekonomian memantik keresahan
masyarakat luas. Etika para pebisnis dan pelaku ekonomi dipertanyakan, bahkan dihujat.
Di kalangan sebagian orang tertanam stigma bahwa “bisnis itu kotor”. Untuk mencegah
dan mengatasi hal itu, pemerintah menerbitkan berbagai peraturan dan pedoman.
Sejumlah perusahaan menyusun code of conduct. Beberapa asosiasi profesi
memberlakukan kode etik bagi anggotanya. Sementara itu, perguruan tinggi—
khususnya fakultas ekonomi—mengajarkan matakuliah bertajuk “etika bisnis”.
Perilaku negatif atau etika buruk dalam berbisnis dan berekonomi dapat muncul
karena dua hal, yaitu terbukanya kesempatan untuk itu (faktor objektif) dan karakter
sang pemain bisnis atau pelaku ekonomi (faktor subjektif). Akan tetapi sumber
utamanya terletak pada karakter sang “agen” ekonomi, yaitu karakter para praktisi atau
pelaku ekonomi serta teoretisi (pembelajar dan pengajar) ekonomi. Dan setiap agen
ekonomi—termasuk agen bisnis—amat mudah untuk beretika buruk karena benih-benih
untuk itu justru disemai oleh ilmu ekonomi. Tiga “akar” ilmu ekonomi—yaitu (1)
asumsi bahwa manusia bersifat selfish; (2) kriteria efisiensi kardinal-material sebagai

ukuran keberhasilan; dan (3) stigma bahwa kancah perekonomian adalah medan
persaingan—telah mengkerdilkan para pelaku ekonomi dan pemain bisnis menjadi
hanya sekadar homo economicus atau “makhluk ekonomi”. Padahal, sejatinya manusia
adalah makhluk ciptaan Tuhan dengan ragam-gatra.
Artikel ini mengetengahkan konsep istikhlaf, sebuah konsep yang merupakan
salah satu landasan etika dalam ekonomika islami. Penghayatan dan penerapan konsep
ini akan menghasilkan para pelaku ekonomi dan pemain bisnis yang (1) terkendali dari
sifat selfish; (2) tidak silau oleh kriteria efisiensi yang kardinal-material, dan (3)
mendudukkan kancah perekonomian sebagai arena kerjasama. Para pelaku ekonomi dan
pemain bisnis akan keluar dari rimba raya habitat homo economicus, kembali ke
haribaan sejati mereka dengan martabat sebagai manusia utuh. Dengan istikhlaf
manusia akan terbebas dari belenggu adagium “yang menang adalah yang kuat”
(survival of the fittest); sebaliknya, niscaya kita akan riang ceria mengemban misi
“berlomba-lomba dalam kebajikan” (fastabiqul khairaat).

1)

Artikel ini dimuat dalam Eddy Junarsin, dkk, penyunting (2015): Pemikiran Etika dalam
Ekonomika dan Bisnis – Pengajaran dan Implikasi, Beta Offset Yogyakarta bekerja sama
dengan Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


2)

Dosen pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
1

SEANDAINYA Adam Smith dihidupkan kembali oleh Tuhan, niscaya ia terhenyak
dan galau menyaksikan suasana bisnis dan keadaan ekonomi di jagad bumi sekarang. Sang
filosof yang amat tersohor dengan masterpiece-nya “The Theory of Moral Sentiment” itu
(malangnya: pembelajar ilmu ekonomi lebih mengenal buku second best-nya “The Wealth of
Nations”) pastilah akan geleng-geleng kepala tak habis pikir. Betapa tidak! “Penggorengan”
harga dan pembodongan saham berlangsung di bursa-bursa efek. Penggelembungan nilai
keuntungan dengan cara revaluasi aset dan rekayasa akuntansi dilakukan oleh perusahaanperusahaan. Seiring dengan itu, ironisnya, perusahaan-perusahaan juga menggelapkan pajak.
Penyuapan oleh bisniswan kepada negarawan, sehingga memantik korupsi oleh kalangan
negarawan, marak di hampir semua negara. Alih-alih membantu dengan menjadikan sebagai
mitra, perusahaan besar melahap perusahaan-perusahaan kecil, perusahaan multinasional
melumat perusahaan-perusahaan nasional di negara tandang.
Di ranah ekonomi, sebagian besar sumberdaya—baik kekayaan fisik (tanah, areal
kebun dan hutan, areal tambang mineral, ladang minyak) maupun kekayaan keuangan, serta
teknologi—dikuasai dan dimiliki oleh segelintir orang. Pengangguran tetap saja merupakan

wabah kronis di kebanyakan negara. Kemiskinan dan kesenjangan kemakmuran, baik antarlapisan masyarakat di tiap-tiap negara maupun antar-negara di dunia, semakin parah. Bahkan
sampai-sampai ada negara yang nyaris tidak lagi menggenggam kedaulatan ekonomi karena
praktis bangkrut. Sebagai seorang filosof Adam Smith pastilah sesak-dada menyaksikan
semua itu. Boleh jadi ia menyesal karena ilmu ekonomi yang dirintisnya tidak dipahami dan
dipraktikkan dengan benar, atau mungkin memang sengaja “dipelintir” oleh para teoretisi dan
praktisi. Maka ia pun, setelah mengemis ampunan, akan memohon kepada Tuhan agar segera
dikembalikan lagi saja ke kuburnya.
1. “Racun Kembar”
Kejahatan bisnis—sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa contoh di atas—sudah
amat sering kita dengar dan baca serta temui. Kalau di dalam artikel ini tidak ditunjukkan
data statistiknya, hal itu tidak perlu dianggap hanya sekadar kekecualian sehingga lantas
dinyatakan tidak signifikan. Kejahatan, sesedikit apapun jumlahnya dan serendah apapun
mutunya, tetap saja kejahatan! Perlu dipahami, bahwa kejahatan-kejahatan bisnis yang terdata
dan diketahui umum hanyalah kejahatan-kejahatan yang sempat terungkap dan diberitakan.
Masih banyak kejahatan bisnis yang juga terungkap namun, karena dianggap tidak menarik
untuk diberitakan, tidak dipaparkan kepada publik. Tidak menariknya itu mungkin karena

2

modus kejahatannya dianggap sudah biasa, atau karena nilai ekonominya dianggap “tidak

signifikan”, atau karena pemangku kepentingan (stake-holders) kejahatan itu tidak
melibatkan figur publik. Di samping itu, masih lebih banyak lagi kejahatan bisnis yang tidak
atau belum terungkap.
Begitu pula halnya dengan keburukan atau memburuknya keadaan ekonomi, tidak
harus menunggu data statistik untuk mendapatkan perhatian dan pengatasan. Kita tidak perlu
berbekal keangkuhan akademis untuk dengan sungguh-sungguh dan segera mengatasi setiap
keburukan. Setiap keburukan ekonomi sudah menjadi beban bagi pihak yang mengalaminya.
Tidak perlu menunggu beban itu menjadi lebih berat atau penderitanya bertambah, hanya
agar statistically significant, baru kemudian diatasi. Sesempit apapun cakupan dan seringan
apapun beban deritanya, keburukan tetap saja keburukan! Seperti halnya kejahatan bisnis,
keburukan-keburukan ekonomi yang terpapar-publik hanyalah keburukan-keburukan yang
terungkap atau terketahui dan diberitakan meluas. Tidak sedikit keburukan ekonomi yang
sebetulnya terungkap namun tidak dipublikasikan. Tidak sedikit pula keburukan ekonomi
yang belum terketahui.
Kejahatan bisnis dan keburukan ekonomi ibarat “racun kembar” dalam kehidupan.
Produsen atau penikmatnya sama, yakni segelintir elite atau kalangan atas. Konsumen atau
penderitanya juga sama, yaitu sebagian besar khalayak atau kalangan bawah. Siapakah
distributor yang menyampaikan atau menyalurkan racun kembar tadi dari kalangan atas ke
kalangan bawah? Mereka adalah kalangan menengah. Kalangan ini akan membiarkan racun
kembar tersebut sepanjang tidak berdampak pada mereka. Akan tetapi begitu dampak racun

kembar itu mulai mengarah ke mereka, kalangan menengah tadi akan menggeliat lantang.
Siapakah kalangan menengah tersebut? Mereka adalah—boleh jadi—para pegiat swadaya
masyarakat, pendekar hak-hak azasi manusia, pejuang demokrasi, politisi, dan akademisi.
Karena sama-sama bersifat racun maka kejahatan bisnis dan keburukan ekonomi tentu
saja wajib dibasmi. Pembasmiannya harus segera. Tidak perlu menunggu racun itu menjadi
lebih pekat atau menelan korban lebih banyak.
2. Sebab Objektif dan Sebab Subjektif
Kejahatan bisnis terjadi karena pemainnya berbuat jahat. Perbuatan jahat dimaksud
dapat berupa pemalsuan, penipuan, kecurangan, penimbunan, penyuapan, rekayasa akuntansi,
dan rekacipta keuangan. Keburukan ekonomi berlangsung karena pelakunya berlaku buruk.
Perlakuan buruk dimaksud bisa berbentuk penindasan, penggelapan, penyimpangan, korupsi,

3

manipulasi, rekayasa administratif, dan muslihat anggaran. Pertanyaannya: mengapa
perbuatan jahat dan perlakuan buruk itu terjadi? Pertanyaan lanjutannya: apa yang (sudah)
dilakukan untuk mengatasi perbuatan jahat dan perlakuan buruk tersebut?
Sejumlah faktor penyebab bisa dikemukakan untuk menjawab pertanyaan mengapa
kejahatan bisnis dapat terjadi dan keburukan ekonomi bisa berlangsung. Jawaban panacea
yang kerap dikemukakan ialah karena secara teknis terbuka peluang untuk berbuat jahat dan

berlaku buruk tersebut. Di ranah bisnis: pemalsuan (pemalsuan barang, pemalsuan dokumen),
penipuan, serta kecurangan misalnya, terjadi karena peluang untuk itu terbuka. Sama halnya
dengan rekayasa akuntansi dan rekacipta keuangan, kedua kejahatan ini terjadi karena adanya
peluang. Bahkan bukan hanya peluang, tetapi juga terdapat kebutuhan atau tuntutan (dan
“tuntunan”?) untuk itu. Di ranah ekonomi: penindasan (terhadap pihak yang lemah atau
dibantu), penggelapan (barang, uang atau anggaran), serta korupsi dan manipulasi, dapat
berlangsung karena peluangnya tersedia. Akan halnya dengan rekayasa administratif dan
muslihat anggaran, mungkin bukan hanya disebabkan oleh terbukanya peluang, tetapi juga
karena memang terdapat kebutuhan atau tuntutan untuk melakukannya.
Keterbukaan peluang merupakan faktor penyebab objektif suatu kejahatan bisnis dan
keburukan ekonomi. Tentu saja terdapat faktor penyebab subjektif, yakni manusia pemain
bisnis atau pelaku ekonomi yang bersangkutan. Kendati terbuka peluang untuk bertindak
negatif, apabila manusianya memiliki akhlak (moral, etika) yang baik maka tindakan negatif
dimaksud tidak akan ia lakukan. Sebaliknya jika manusianya memang sudah terbekali akhlak
buruk, ia sendiri justru yang akan mencari-cari dan menciptakan peluang untuk berbuat
negatif.
Seorang pegawai bagian pengadaan yang berakhlak baik—sekadar contoh—tidak
akan me-markup harga barang yang ia beli untuk mencari keuntungan dari tugasnya,
meskipun ditawari oleh toko tempat ia membeli. Namun jika pegawai tadi berakhlak buruk,
ia justru akan berinisiatif meminta atau memaksa pihak toko melakukan mark up. Pimpinan

perusahaan yang berakhlak terpuji tidak akan tega membiarkan perbedaan gaji antara jajaran
direksi dan lapisan karyawan makin tahun makin jauh melebar. Pimpinan perusahaan yang
berakhlak terpuji tidak akan menyuap pihak pemilik pekerjaan demi memenangkan lelang
pengadaan barang atau penanganan pekerjaan. Akan tetapi jika pimpinan perusahaan tadi
berakhlak nista, maka mereka akan acuh terhadap kesenjangan imbalan yang kian melebar
antara jajarannya dan lapisan karyawan, mereka akan menggoda atau memaksa pihak pemilik
pekerjaan agar mau disuap demi menang lelang.

4

Aparatur pemerintah yang berakhlak mulia tidak akan mengambil atau mau
menerima—apalagi menikmati—sesuatu di kantor yang bukan menjadi haknya, walaupun
kesempatan untuk itu sangat terbuka. Pejabat yang berakhlak terpuji tidak akan mau disuap,
tidak akan memuslihati anggaran atau memfiksikan laporan, tidak akan berkorupsi. Petinggi
militer yang berwibawa berkat akhlaknya tidak akan bersikap sewenang-wenang terhadap
bawahannya. Komandan yang berakhlak mulia tidak akan memaksa prajuritnya untuk
menyetor upeti agar naik pangkat, atau dimutasikan ke tempat yang lebih nyaman. Dosen
yang berakhlak insani tidak akan melampiaskan nafsu hewani terhadap mahasiswanya,
walaupun peluang untuk melakukan itu amat sangat memungkinkan.
Peluang merupakan daya tarik untuk melakukan sesuatu, bersifat objektif. Akhlak

merupakan daya dorong untuk melakukan sesuatu, bersifat subjektif. Peran akhlak sebagai
daya dorong—untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu—lebih besar daripada peran
peluang sebagai daya tarik. Dibandingkan faktor objektif, faktor subjektif lebih berperan
terhadap perilaku dan perbuatan seseorang.
Akhlak atau budi pekerti atau moral—ilmu tentang hal ini disebut etika—sangat
menentukan tindakan (sikap dan perbuatan) setiap orang. Baik buruknya akhlak seseorang
berperan besar dalam menentukan apakah ia akan bertindak positif atau negatif. Begitu pun di
ranah bisnis dan ekonomi, akhlak sang pelaku sangat menentukan tindakannya. Kejahatan
bisnis dan keburukan ekonomi sesungguhnya bersumber utama dari para pelakunya.
3. Kesadaran akan Etika
Ikhwal akhlak atau moral dalam bisnis dan berekonomi tampaknya makin hari makin
merisaukan. Berbeda dengan ranah profesi tertentu seperti kedokteran, penelitian, militer, dan
kewartawanan—yang sudah sejak lama memiliki kode etik yang bersifat universal bagi para
profesionalnya—etik di ranah bisnis dan ranah ekonomi tergolong sebagai sebuah kebutuhan
baru. Teoretisi serta praktisi bisnis dan ekonomi di masa lalu agaknya lupa bahwa perilaku
dan kegiatan mereka berdampak pada orang banyak. Kebutuhan akan etika baru terasa
setelah berbagai kejahatan bisnis dan keburukan ekonomi terjadi, bahkan berlangsung di
banyak tempat dan berulang-ulang.
Untuk mencegah dan mengatasi berbagai kejahatan bisnis dan keburukan ekonomi
sebenarnya berbagai tindakan sudah dilakukan. Tindakan-tindakan itu pada umumnya

bersifat legal-institusional, yakni melalui sejumlah undang-undang dan peraturan. Di setiap
negara selalu terdapat ketentuan legal yang yang mengatur tentang bagaimana kegiatan bisnis

5

dan perekonomian harus dilaksanakan, serta sanksi bagi pelanggarnya. Klausula tentang halhal semacam itu terdapat misalnya di dalam undang-undang serta peraturan lain tentang
perusahaan, perpajakan, anti-monopoli, perburuhan, pengusahaan sektor-sektor tertentu,
perdagangan komoditas-komoditas tertentu, dan masih banyak lagi.
Selain sejumlah ketentuan legal oleh pemerintah dan lembaga internasional atau
badan antar-negara, perusahaan-perusahaan juga berupaya mencegah kejahatan bisnis oleh
pihak internalnya. Upaya tersebut ditempuh secara tidak langsung, yakni dengan menetapkan
code of conduct yang berlaku bagi jajaran pimpinan dan kalangan karyawannya. Code of
conduct sebuah perusahaan pada umumnya mengatur tentang bagaimana warga perusahaan
harus berperilaku, bekerja, dan berhubungan dengan pihak lain; agar sejalan dengan budaya
perusahaan (corporate culture) sehingga mencapai tujuan bisnis perusahaan. Selain hubungan
kedinasan antar-warga di dalam perusahaan dan etos kerja, unsur etika juga tersisipkan di
dalam code of conduct sebuah perusahaan.
Ketentuan-ketentuan legal untuk mencegah dan mengatasi kejahatan, serta code of
conduct perusahaan-perusahaan untuk menertibkan warga perusahaannya, sayangnya, tidak
mungkin bersifat atau berlaku universal. Kepentingan serta kebutuhan tiap-tiap negara

berbeda-beda, begitu pun kepentingan perusahaan. Sekadar contoh: pembajakan hak cipta,
peniruan barang, banting harga (dumping), dan pelanggaran kuota produksi boleh jadi bukan
dianggap sebagai kejahatan ekonomi bagi negara-negara tertentu, sementara negara-negara
lain menganggapnya sebagai kejahatan. Penggunaan zat tertentu dalam produksi (pengawet,
pewarna, penyedap) dianggap bukan kejahatan bisnis oleh berbagai perusahaan, padahal
perusahaan-perusahaan lain menggolongkan hal itu kejahatan. Begitu juga misalnya dengan
“entertaining service” terhadap calon pemberi pekerjaan atau calon pembeli/konsumen.
Perusahaan-perusahaan tertentu menganggapnya tidak etis sehingga digolongkan sebagai
salah satu bentuk kejahatan bisnis, sementara oleh perusahaan lain hal itu dianggap lumrah
dan perlu.
Kesadaran akan pentingnya etika bisnis juga dirasakan oleh perguruan tinggi atau
kalangan akademisi. Fakultas-fakultas ekonomi dan sekolah-sekolah bisnis kini (sejak sekitar
dua dasawarsa terakhir) menawarkan matakuliah khusus bertajuk Etika Bisnis. Dengan
asupan matakuliah ini diharapkan lulusannya kelak akan lebih beretika dalam berbisnis.
Dibandingkan dengan yang terdapat di dalam ketentuan-ketentuan legal pemerintah, serta
tercantum di dalam code of conduct perusahaan-perusahaan, muatan etika dari perguruan
tinggi (melalui matakuliah Etika Bisnis) lebih universal. Muatan etika yang disuntikkan
bersifat umum, tidak terikat atau terkait dengan perusahaan ataupun negara tertentu.
6


Etika Bisnis yang diajarkan di fakultas-fakultas ekonomi dan sekolah-sekolah bisnis,
sayangnya, masih diberikan secara terbatas hanya kepada mahasiswa manajemen atau bisnis;
persisnya mahasiswa jurusan manajemen. Mahasiswa jurusan ilmu ekonomi (departemen
ekonomika) dan jurusan/departemen akuntansi tidak wajib menempuh mata kuliah tersebut,
atau matakuliah bernama lain yang muatannya senada (mengajarkan dan menanamkan etika).
Hal ini mungkin disebabkan karena dampak dari sebuah kejahatan bisnis dinilai lebih
langsung, yaitu terlihat lebih nyata dan terasakan lebih segera. Padahal kejahatan di ranah
ekonomi dan ranah akuntansi sama fatalnya dengan kejahatan di ranah bisnis/manajemen.
Tidak diwajibkannya mahasiswa jurusan akuntansi dan jurusan ilmu ekonomi untuk
diasupi etika mungkin bukan hanya karena dampak kejahatan akuntansi dan kejahatan
ekonomi bersifat tidak langsung. Akan tetapi boleh jadi juga karena kejahatan akuntansi dan
kejahatan ekonomi bukan dianggap sebagai kejahatan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
perusahaan-perusahaan banyak yang melakukan pembukuan ganda, misalnya pembukuan
untuk laporan kinerja kepada pemegang saham dan pembukuan untuk urusan yang terkait
dengan pajak. Dalam kasus semacam ini tentu saja seorang akuntan, setidak-tidaknya orang
yang paham akuntansi, turut berperan membidani pembukuan ganda itu. Juga sudah bukan
rahasia bahwa seorang ekonom dapat menyulap sebuah rencana investasi yang tak-laik (unfeasible) menjadi laik (feasible). Tindakan-tindakan negatif sebagaimana dicontohkan ini
boleh jadi tidak dianggap sebagai kejahatan, tapi kelumrahan. Kejahatan—selamban apapun
dampak negatifnya, serta seanggun dan sesantun apapun modusnya—tetap saja kejahatan!
4. Karakter Homo Economicus
Kejahatan ekonomi (frasa ini—mulai dari sini dan seterusnya—berarti mencakup juga
kejahatan akuntansi dan kejahatan bisnis) sesungguhnya dapat dirunut dari tiga “akar” ilmu
ekonomi itu sendiri. Ketiga “akar” dimaksud adalah asumsi kepenting-dirian (selfishness)
manusia, pertimbangan efisiensi, dan stigma persaingan medan ekonomi.
Salah satu asumsi yang melandasi teori-teori ekonomi adalah bahwa manusia bersifat
mementingkan diri sendiri (selfish). Premis yang kedengarannya hanya sekadar sebuah
asumsi ini sesungguhnya berpengaruh radikal terhadap kepribadian setiap orang yang belajar
atau mempelajari ilmu ekonomi. Ia senantiasa harus kembali mengacu premis asumtif tadi
setiap kali mencoba memahami dan menganalisis mengapa seunit pelaku ekonomi (orang
perseorangan, sebuah rumah tangga, perusahaan, industri, bahkan sebuah negara) melakukan
kegiatan atau menempuh kebijakan ekonomi tertentu.

7

Mitra dari asumsi selfish tadi ialah prinsip ekonomi, sebuah pendirian yang bermuara
ke dan bertumpu pada pertimbangan efisiensi. Setiap keputusan dan tindakan harus berbasis
pertimbangan efisiensi, yang ukuran generiknya adalah perbandingan antara manfaat vis a vis
ongkos (benefit vs cost). Kriterianya tentu saja selisih positif antara keduanya. Semakin besar
selisih positif antara nilai manfaat dan nilai ongkos, semakin efisien. Ukuran konkretnya
antara lain berupa kepuasan maksimum dalam berkonsumi, kehematan maksimum (least-cost
combination) dalam berproduksi, keuntungan maksimum dalam berbisnis atau berniaga, serta
ongkos minimum dalam berkorban.
Kedua “akar” ilmu ekonomi itulah—asumsi bahwa manusia selfish, dan pertimbangan
efisiensi—yang memberanikan para teoretisi ekonomika membaptis manusia sebagai homo
economicus. Setiap orang didaku sebagai (claimed as) dan dituntun untuk menjadi (directed
to be) makhluk yang senantiasa berupaya mendapatkan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi
dirinya sendiri. Bagi diri pribadinya sebagai orang perseorangan, bagi rumah tangganya
dalam kapasitasnya sebagai kepala keluarga, bagi perusahaannya jika ia seorang warga
(karyawan atau pimpinan) sebuah perusahaan, dan bagi negerinya dalam kapasitas sebagai
warga negara.
Setiap pembelajar ilmu ekonomi pastilah terlekati oleh dan berpegang teguh pada
kedua “akar” tadi, setiap hari selama setidak-tidaknya empat-lima tahun masa didiknya.
Lekatan dan pegangan itu kian erat lagi sesudahnya jika ia kemudian bersandar nafkah di
ranah ekonomi. Dalam kiprahnya membentuk kepribadian para pembelajar ekonomika, serta
juga kepribadian para pelaku ekonomi, kedua “akar” tadi tidak lantas hanya puas berduaan.
Mereka menggiring para teoretisi dan praktisi ekonomi lebih jauh untuk menjadi homo
economicus tulen, yakni menciptakan satu “akar” lagi pengokoh tumpuan.
Asumsi bahwa manusia adalah selfish dan pertimbangan efisiensi memantik stigma
suasana bersaing dalam kancah ekonomi. Setiap pelaku ekonomi sejajaran (sesama individu
selaku konsumen dan pekerja, sesama perusahaan selaku podusen dan pedagang, serta
sesama negara) adalah pesaing. Persaingan harus dimenangi. Mengalah, atau memenangkan
pihak lain apalagi pesaing, tidak dikenal dalam medan persaingan; karena hal itu berarti sang
pelaku tidak selfish, bertentangan dengan baptisannya sebagai sosok homo economicus!
Dengan tiga “akar” ekonomika sebagaimana baru saja dipaparkan, tidaklah sulit untuk
memahami seperti apa watak homo economicus. Ia atau mereka (kita?) adalah sosok yang
mementingkan diri sendiri, yang senantiasa mengedepankan efisiensi dalam bertindak, serta
yang terlaga di medan persaingan dan harus menang! Karakter sosok homo economicus inilah
yang merupakan daya dorong sekaligus penyebab utama berbagai kejahatan ekonomi. Sifat
8

mementingkan diri sendiri memacu sifat serakah. Pertimbangan efisiensi memantik sifat
materialistis. Persaingan memicu keberanian untuk berpendirian tujuan menghalalkan segala
cara (machiavelist).
Sifat mementingkan diri sendiri memacu sifat rakus, serakah, dan tamak. Oleh sebab
itu mudah dipahami mengapa banyak orang kaya raya yang masih terus berupaya menumpuk
kekayaannya, atau mengapa ada orang kaya yang berusaha mendapatkan surat keterangan
miskin. Itulah sebabnya mengapa perusahaan besar melahap atau mengakuisisi perusahaan
kecil, mengapa perusahaan besar berupaya membangun konglomerasi integrasi vertikal, atau
mengapa perusahaan yang sudah memimpin industri ngotot untuk terus memperbesar pangsa
pasar industrialnya. Sifat mementingkan diri sendiri ini pula yang mendorong beberapa
negara kaya bersedia mengutangi negara-negara miskin, kendati negara kreditor itu mengerti
bahwa—dengan syarat-syarat pinjaman selunak apapun—negara yang mereka utangi sudah
pasti tidak akan mampu melunasi. Keterbukaan pasar negara debitor, termasuk melalui revisi
(baca: liberalisasi) undang-undang dan berbagai peraturan ekonomi, adalah kompensasi
pelunasan utang yang mereka incar.
Pertimbangan efisiensi memantik sifat materialistis. Efisiensi pada umumnya—dan
memang lebih disukai, bahkan ditetapkan—diukur secara kardinal. Kardinalisasi ukuran dan
kriteria efisiensi menafikan manfaat non-material dari sebuah kegiatan, juga dalam banyak
hal mengesampingkan keefektifan sebuah kebijakan. Perusahaan-perusahaan angkutan
(misalnya) lebih suka berbondong-bondong turut melayani “jalur basah” daripada merintis
jalur baru yang bermanfaat untuk mengembangkan kawasan sekitarnya. Pengembang properti
lebih suka membangun rumah mewah sebagai komoditas investasi daripada mendirikan
rumah-rumah sederhana untuk tempat tinggal. Bank-bank lebih tertarik mengucurkan megakredit untuk segelintir nasabah ketimbang kredit-kredit bernilai kecil untuk nasabah dengan
jumlah lebih banyak. Bursa-bursa efek lebih bangga akan nilai investasi yang besar oleh
belasan investor daripada ratusan investor dengan nilai investasi yang lebih kecil. Itu di ranah
bisnis.
Di ranah ekonomi, walaupun kata pemerintah dan perencana ekonominya pemerataan
merupakan prioritas, arah dan tumpuan pembangunan ekonomi sebagian besar negara tetap
saja pertumbuhan. Penyelesaian perselisihan perburuhan selalu berakhir “damai” untuk
kemenangan pihak majikan/perusahaan. Pemerintah-pemerintah selalu lebih tanggap akan
protes ratusan orang kota ketimbang keluhan jutaan orang desa.
Pengedepanan kriteria efisiensi semakin mengerdilkan manusia—yang hakikat
sesungguhnya adalah makhluk ragam gatra—menjadi makhluk ekonomi semata. Martabat
9

manusia, yang seharusnya dinilai berdasarkan kejayaan dalam sejumlah gatra kehidupan,
ditakar-sempit hanya berdasarkan kekayaan material. Akibatnya dalam berekonomi orang
hanya mengejar materi karena materilah yang menjadi ukuran sekaligus bukti keberhasilan.
Karena di-stigma-kan bahwa kancah perekonomian merupakan medan persaingan,
para pelaku ekonomi—sukarela atau terpaksa—terpicu untuk menghalalkan segala cara agar
menang. Tabiat machiavelist ini jamak dilakukan oleh orang perseorangan dalam kasus—
antara lain—mendapatkan pekerjaan dan menduduki sebuah jabatan. Kelakuan serupa juga
dipraktikkan oleh perusahaan-perusahaan dalam menarik pembeli, merebut pelanggan, serta
mengelabui konsumen. Begitu juga dalam mendapatkan atau mengakali ijin usaha. Kalaupun
terdapat ketentuan legal yang mengatur agar urusan-urusan itu tertata-tertib, selalu dicari atau
dicari-cari celah untuk menyiasatinya, atau dikompromikan agar tercitra win-win solution.
Di manakah peranan etika? Perlukah etika dalam berbisnis dan berekonomi?
5. Etika Ekonomi
Ilmu ekonomi tidak mengajarkan bagaimana sifat selfish harus diemban, bukannya
dilampiaskan! Ilmu ekonomi tidak mengajarkan agar manusia cukup memenuhi kebutuhan
idealnya saja, bukan memuas-muaskan keinginannya. Kebutuhan (needs) dipelintir menjadi
permintaan (demand), sementara sediaan (stock) ditelikung menjadi penawaran (supply).
Teori ekonomi tidak menuntunkan ukuran efisiensi secara non-kardinal-material. Teori-teori
ekonomi juga tidak menyediakan rambu-rambu tentang bagaimana berlaga secara kesatria
atau fair dalam persaingan, yakni bersaing dengan santun atau beretika.
Tiga “akar” ilmu ekonomi yang dipercayai sebagai karakter pelaku ekonomi,
sebagaimana dipaparkan di atas, sesungguhnya hanyalah karakter buatan. Karakter yang
disematkan oleh para teoretisi ekonomi terhadap (manusia setelah dikerdilkan menjadi)
makhluk ekonomi. Bukan karakter alamiah yang melekat pada diri manusia dan dibawa sejak
lahir. Karakter asli yang merupakan jatidiri keutuhan manusia telah disterilkan manakala para
pelaku ekonomi dikerdilkan menjadi makhluk ekonomi. Pengerdilan dan sterilisasi manusia
menjadi homo economicus telah menjadikan para pelaku ekonomi dan ekonom kehilangan
jatidiri kemanusiaannya, hanya tersisa identitas keekonomiannya.
Karakter asli manusia adalah sifat-sifat yang dilekatkan oleh Sang Pencipta ketika
seseorang terlahir. Ciri karakter asli itu senantiasa berpasangan: adil-zalim, jujur-dusta, setiakhianat, amanah-ingkar, rendahhati-congkak, lurustindak-curang, hemat-boros, dermawankikir, tertib-sembrono, terpuji-nista, serta beradab-biadab. Dengan karakter-karakter yang
berpasangan ini manusia senantiasa mempunyai pilihan dalam menghadapi atau menyikapi
10

suatu hal. Untuk setiap hal selalu tersedia pilihan antara karakter baik dan karakter buruk.
Perhatikan perbedaannya dengan karakter buatan yang disematkan kepada homo economicus,
semuanya berdiri tunggal. Pelaku ekonomi tidak mempunyai pilihan kecuali hanya
mementingkan diri sendiri, harus mempertimbangkan efisiensi terukur-material, dan berlaga
di medan persaingan.
Karakter mana yang akan dipilih atau ditempuh seseorang tatkala menghadapi atau
menyikapi suatu hal, terserah pada orang itu sendiri. Akan tetapi manusia pada dasarnya
adalah makhluk baik. Ia memiliki perasaan dan juga pengetahuan tentang mana yang baik
dan mana yang buruk, serta memiliki dan mengetahui norma-norma untuk membedakan
antara keduanya. Sebagai orang perseorangan ia memiliki pengetahuan tentang mana yang
baik dan mana yang buruk. Sebagai warga masyarakat ia memiliki perasaan tentang mana
yang baik dan mana yang buruk. Sekiranya pun sebagian—bahkan sebagian besar!—manusia
memilih karakter-karakter yang buruk, sehingga berkelakuan buruk, bagi Sang Pencipta
bukan masalah. Tokh Dia dengan Mahabijak sudah menyediakan tempat yang berbeda kelak
bagi ciptaannya yang berkarakter baik dan yang berkarakter buruk, sesuai dengan pilihan
masing-masing.
Ilmu tentang norma-norma kebaikan dan keburukan disebut Etika. Sebagai sebuah
ilmu, etika bukan sekadar himpunan pengetahuan tetapi juga jalinan perasaan. Penerapan
etika sebagai ilmu tidak hanya bersandar pada pengetahuan yang terhimpun di kepala, tetapi
juga (harus!) dilengkapi dengan perasaan yang melekat di dada. Ilmu ekonomi (yang
“konvensional”), sebagaimana ilmu-ilmu dalam disiplin pengetahuan lain pada umumnya,
berisi sekadar himpunan pengetahuan. Ilmu ekonomi tidak menyediakan ruang bagi perasaan
dalam teori-teorinya. Perihal etika dianggap sebagai urusan pribadi masing-masing teoretisi
dan praktisinya. Kalau dalam menerapkan teori tertentu seorang pelaku ekonomi atau bisnis
bertindak tidak etis, atau tindakannya berakibat tidak etis, maka tanggung jawab sepenuhnya
terletak pada makhluk ekonomi yang bersangkutan. Sepanjang teori sudah diterapkan dengan
benar, ilmu ekonomi tidak eligible untuk turut bertanggung jawab atas ketidak-etisan
tindakan si makhluk ekonomi. Dalam ilmu ekonomi (sekali lagi: yang “konvensional”) dasar
penilaian adalah kebenaran, sedangkan kebaikan tidak termasuk; truth matters, regardless
goodness.
Dalam konteks etika, ilmu ekonomi yang islami sangat berbeda mendasar dengan
ekonomika konvensional. Ekonomika islami justru sarat akan etika. Muatan-muatan etika
justru merupakan unsur langsung dari berbagai teori di dalam ekonomika islami. Baik teoriteori yang berhubungan dengan aspek produksi, dengan aspek konsumsi, maupun dengan
11

aspek distribusi atau perdagangan. Ekonomika islami tidak steril dari etika. Etika dalam
ekonomika islami bukan terlepas dari teori dan menjadi urusan personal, melainkan melekat
langsung pada teori-teori yang ada.
6. Sekilas Ekonomika Islami
Ekonomika islami (islamic economics, Arab: iqtishad) ialah ilmu yang mempelajari
ajaran Islam tentang pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Yang dimaksud dengan frasa
rumah tangga di sini meliputi rumah tangga perorangan (keluarga, family) dan rumah tangga
badan (perusahaan, firms; lembaga nirlaba; dan negara, state, country).
Ajaran Islam berintikan tiga hal. Pertama, aqidah atau keimanan. Ajaran ini berisi
antara lain pengakuan akan keberadaan dan keagungan Tuhan, keyakinan akan tibanya
kehidupan akhirat, kesadaran bahwa semua yang ada di dunia adalah ciptaanNya dan milik
mutlak Dia, serta—khusus untuk manusia—kesadaran bahwa kelak di akhirat bertanggung
jawab atas segala perbuatan di dunia.
Kedua, syari’ah; terdiri atas dua sub-ajaran yaitu syari’ah ibadah dan syari’ah
muamalah. Syari’ah ibadah mengajarkan tatacara berhubungan dengan Tuhan (Arab: hablum
minallah); mengajarkan antara lain tentang bagaimana seorang muslim harus bersyahadat,
menunaikan shalat, berzakat, berpuasa, berhaji dan menjalankan ibadah-ibadah lain yang
tertuju kepada Allah. Sedangkan syari’ah muamalah berisi tuntunan perihal berurusan dengan
sesama ciptaanNya, termasuk dan terutama dengan sesama manusia (hablum minannaas).
Urusan-urusan duniawi—mulai dari ikhwal busana, pergaulan, perkawinan, pendidikan anak,
pembagian warisan, menyantuni anak yatim, memilih pemimpin, hingga menguburkan
jenazah—masuk ke dalam ranah ini. Begitu juga urusan ekonomi seperti berdagang dan
bertransaksi utang-piutang.
Adapun hal yang ketiga ialah akhlak. Ajaran ini bermuatan budi pekerti, moral, etik;
menuntunkan tentang bagaimana seseorang harus bersikap kepada Tuhan dalam kapasitas
sebagai makhluk ciptaanNya, bagaimana seseorang harus membawa diri dalam kapasitasnya
sebagai pribadi, dan bagaimana seseorang harus berperilaku dalam kapasitasnya sebagai
warga masyarakat. Etik yang berlaku umum—semisal keharusan untuk berendah hati dan
keharusan untuk tepat janji—berada di ranah ajaran akhlak. Sedangkan etik yang berlaku
khusus—semisal keharusan untuk berlaku jujur dalam berniaga, larangan berspekulasi, serta
larangan menimbun barang—berada di ranah ajaran syari’ah muamalah.
Ajaran Islam dalam berekonomi tidak hanya berisi berbagai larangan seperti larangan
memungut dan membayar riba, larangan berspekulasi, larangan mengakali timbangan, serta
12

larangan membiarkan terjadinya asymmetric information (Arab: tadlis) dalam jual-beli. Pula
bukan hanya berisi perintah-perintah dogmatif seperti keharusan untuk segera membayarkan
upah pekerja dan keharusan untuk menjeda pekerjaan manakala waktu shalat tiba. Ajaran
Islam dalam berekonomi berisi juga berbagai tuntunan dan pedoman serta rangsangan; antara
lain tuntunan dalam jual-beli (rukun tijaroh), pedoman dalam berkonsumsi, tuntunan dalam
memperlakukan pekerja, ketentuan tentang pemilikan tanah, ketentuan tentang distribusi air,
rangsangan agar memberdayakan aset, serta rangsangan untuk memproduktifkan lebihan
uang yang dimiliki tanpa merentekannya.
Selama ini terdapat kekurang-pahaman mengenai cakupan ekonomi Islam. Banyak
orang, termasuk kaum muslimin sendiri, mengira cakupan ekonomi Islam hanya sebatas
ranah transaksi keuangan—khususnya perbankan—serta larangan mempraktikkan riba dan
perintah membayar zakat. Ranah ekonomi islam tidaklah sesempit itu. Ranah atau liputan
ekonomi Islam sesungguhnya sama luasnya dengan cakupan ekonomi secara umum; meliputi
ketiga aspek kegiatan ekonomi yaitu produksi dan distribusi serta konsumsi. Begitu juga
pemahaman terhadap ekonomika islami, sejauh ini masih terdapat kesalahan persepsi.
Banyak orang mengira bahwa ekonomika islami adalah bagian dari (merupakan salah
satu aliran pemikiran atau mazhab dalam) ekonomika konvensional. Persepsi demikian perlu
diluruskan. Ekonomika islami adalah bagian dari ajaran Islam, bukan bagian dari ekonomika
konvensional! Titik tolak memahami ekonomika islami ialah ajaran Islam, bukan ekonomika
konvensional. Posisi ekonomika islami dan hubungannya dengan ajaran Islam secara
keseluruhan dan ekonomika konvensional dapat dilukiskan seperti skema tersaji.

aqidah
ajaran Islam

ekonomika
syari’ah

konvensional

akhlak

ekonomika islami

Posisi dan Hubungan Ekonomika Islami
dengan Ajaran Islam dan Ekonomika Konvensional

Ekonomika islami—sebagaimana terlukis sebagai “segitiga biru” dalam skema ini—
merupakan bidang singgung atau irisan antara ajaran Islam dan ekonomika konvensional.

13

Muatan (materi bahasan, teori, dan alat analisis) ekonomika islami tidak sepenuhnya sama
dengan yang terdapat di dalam ekonomika konvensional. Akan tetapi juga tidak seluruhnya
berbeda dengan dan terpisah dari muatan ekonomika konvensional. Muatan ekonomika
islami adalah muatan yang sama-sama terdapat di dalam ajaran Islam dan ekonomika
konvensional. Meskipun segitiga biru tersebut (ekonomika islami) tampak juga sebagai
bagian dari belah ketupat merah (ekonomika konvensional), sesungguhnya ia lebih
merupakan bagian dari segiempat hijau (ajaran Islam). Ini mengingat titik tolak untuk
memahami—dan juga menerapkan—ekonomika islami adalah ajaran Islam. Nuansa aqidah
dan syari’ah serta akhlak senantiasa melingkupi dan melekat pada ekonomika islami.
Mengapa titik tolak untuk memahami dan menerapkan ekonomika islami harus dari
ajaran Islam? Karena, dibandingkan dengan awal pemahaman ekonomika konvensional,
terdapat beberapa perbedaan mendasar dalam mengawali pemahaman ekonomika islami.
Perbedaan mendasar pertama dan utama terletak pada jatidiri pelaku ekonomi. Perbedaan
mendasar lainnya terletak pada epistemologi atau metodologi keilmuannya.
Dalam ekonomika konvensional jatidiri pelaku ekonomi (manusia) adalah makhluk
ekonomi, dengan tiga karakter buatan yang disematkan oleh para teoretisi. Sedangkan dalam
ekonomika islami jatidiri pelaku ekonomi adalah makhluk ragam-gatra ciptaan Tuhan.
Kendati Sang Pencipta menyediakan sejumlah pasangan karakter positif dan karakter negatif,
dan karakter mana pun yang dikehendaki boleh dipilih, setiap manusia pada dasarnya secara
alamiah mewarisi benih-benih kebaikan. Pelaku ekonomi dalam ekonomika konvensional
bertanggung jawab hanya kepada dirinya sendiri, atau kepada manusia lain yang menjadi
atasan atau pemimpinnya, sebatas masa hidup di dunia. Sedangkan tanggung jawab pelaku
ekonomika islami sampai kepada Tuhan kelak, tidak hanya sebatas kehidupan di dunia.
Dengan jatidiri sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan kesadaran bahwa segala tindaktanduk di dunia akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat, pelaku ekonomi islami tidak
akan diperbudak oleh karakter-karakter negatif yang memperbudak para pelaku ekonomi
konvensional. Ajaran aqidah dan ajaran akhlak akan mengendalikan pelaku ekonomi islami
dari hegemoni karakter negatif dalam berkegiatan ekonomi dan bisnis (syari’ah muamalah).
Perbedaan mendasar lain antara ekonomika konvensional dan ekonomika islami
terletak pada epistemologinya. Ekonomika konvensional berbasis pendekatan induktif dan
dengan metoda empiris. Teori-teori dalam ekonomika konvensional dirumuskan berdasarkan
kristalisasi hasil-hasil penelitian atau rangkuman temuan-temuan empiris. Singkat kalimat,
epistemologi ekonomika konvensional bersifat induktif-empiris. Sedangkan ekonomika
islami berbasis pendekatan biduktif (deduktif+induktif) dan dengan metoda yang juga
14

empiris. Singkatnya, epistemologi ekonomika islami bersifat biduktif-empiris. Teori-teori
dalam ekonomika islami dirumuskan berdasarkan jabaran (dideduksi dari) ajaran Islam dalam
berekonomi, lalu dibandingkan dengan hasil induksi temuan-temuan empiris untuk kemudian
dirumuskan. Apabila terdapat perbedaan antara yang diajarkan oleh Islam (yang seharusnya,
das sollen) dengan yang dipraktikkan oleh pelaku ekonomi (yang senyatanya, das sein), maka
praktik yang menyimpang dari ajaran itu yang diluruskan. Jadi, praktik harus selaras dengan
ajaran, bukan teori menyesuaikan diri dengan praktik.
Di samping kesalahan persepsi mengenai lingkup bahasan dan epistemologi, terdapat
pula kesalahan persepsi tentang peruntukan ekonomika islami. Pada umumnya orang mengira
ekonomika islami bersifat eksklusif hanya berlaku dan relevan bagi ummat Islam. Persepsi
ini keliru! Ekonomika islami terbuka juga bagi kaum non-muslim. Siapa pun berhak belajar
dan memelajari ekonomika islami. Demikian juga ranah praksisnya, siapa pun dapat dan
berhak menerapkan kegiatan ekonomi secara islam. Ekonomi Islam tidak eksklusif milik
ummat Islam, terbuka bagi kalangan non-muslim.
Keterbukaan ekonomika islami—dan ekonomi Islam—ini mengingat ajaran Islam
pada hakikatnya bersifat universal, dalam arti bermanfaat bagi siapa pun yang memahaminya
dengan sungguh-sungguh dan menerapkannya sepenuh hati. Seseorang tidak perlu menjadi
muslim lebih dulu untuk mempelajari ekonomika islami dan mempraktikkan ekonomi Islam.
Dimungkinkan seorang non-muslim justru lebih islami daripada seorang muslim. Sama
mungkinnya seorang muslim tidak lebih islami ketimbang seorang non-muslim. Jadi,
memelajari dan melaksanakan ajaran Islam dalam berekonomi eligible bagi semua orang.
Perkara orang yang bersangkutan tidak masuk Islam itu urusan pribadinya.
7. Konsep Istikhlaf
Istikhlaf artinya perwakilan. Konsep ini mengajarkan bahwa Tuhan (Islam: Allah)
adalah pemilik mutlak seluruh ciptaanNya di alam raya, termasuk segala harta kekayaan yang
dipunyai atau dikuasai oleh manusia. Adapun manusia hanyalah pemilik relatif atau penguasa
sementara harta kekayaan dimaksud. Dalam kaitan ini manusia berkedudukan sebagai
“wakil” Allah yang beroleh amanat untuk memelihara dan memanfaatkannya, dan kelak akan
dimintai pertanggungjawaban atas amanat tersebut. Istikhlaf merupakan salah satu materi ajar
ekonomika islami, khususnya materi ajar dalam teori kepemilikan sumberdaya. Materi ajar
lain dalam teori kepemilikan di antaranya kepemilikan harta kekayaan, pemanfaatan faktor-

15

faktor produksi, distribusi sumberdaya ekonomi, dan kepemilikan tanah. Materi terakhir ini
beroleh perhatian khusus dan dibahas secara sangat terinci dan mendalam.
Ekonomika konvensional memiliki teori tentang alokasi faktor-faktor produksi (di
ranah teori produksi) dan teori tentang alokasi kekayaan keuangan (di ranah teori portofolio).
Akan tetapi ekonomika konvensional tidak memiliki teori tentang kepemilikan sumberdaya.
Pemilikan sumberdaya dianggap given dalam ekonomika konvensional. Oleh sebab itu teori
distribusi yang terdapat di dalam ekonomika konvensional hanya teori distribusi hasil-hasil
produksi, yaitu distribusi penyampaian produk dari produsen ke konsumen (di ranah teori
pemasaran) serta distribusi pendapatan nasional (di ranah ekonomika pembangunan).
Ekonomika konvensional tidak mengenal distribusi sumberdaya ekonomi atau distribusi
faktor-faktor produksi. Padahal causa prima kesenjangan kemakmuran adalah ketimpangan
pemilikan sumberdaya. Selama tidak ada batasan atas kepemilikan sumberdaya, pula tidak
ada upaya untuk meredistribusikannya secara adil, selama itu kesenjangan kemakmuran tidak
akan pernah surut.
Karena manusia hanya berkedudukan sebagai “wakil” dan “pemegang amanat”, maka
penggunaan harta kekayaan—termasuk pembelanjaan uang—tentu saja haruslah mematuhi
aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemiliknya. Wakil dan pemegang amanat tidak berhak
memanfaatkan harta titipan sebebas kemauannya sendiri, di luar ketentuan yang telah
digariskan oleh Sang Pemilik. Wakil tidak mempunyai hak lain kecuali melaksanakan dan
memenuhi kehendak pihak yang melimpahkan perwakilan. Ia harus senantiasa sadar (jika
tidak, harus disadarkan!) bahwa pemanfaatan harta titipan itu akan ia pertanggungjawabkan
kepada Sang Pemilik kelak di akhirat. Ia juga perlu sadar—berdasarkan pengalaman empiris
menyaksikan pendahulu-pendahulunya—bahwa tidak secuil pun harta itu akan dibawa mati,
meskipun mungkin untuk mendapatkannya ia harus mati-matian.
Konsep istikhlaf ini menegaskan kenisbian kehidupan di dunia, sekaligus memagari
batas-batas pemanfaatan dan kepemilikan harta. Bahkan harus juga disadari—khususnya oleh
kaum muslimin—bahwa di antara harta titipan itu terdapat pula sebagian yang merupakan
hak orang lain. Itulah zakat dan sedekah. Adalah ironis jika seorang wakil atau pemegang
amanat berkeberatan melaksanakan perintah Sang Pemilik agar menyerahkan sebagian titipan
itu kepada orang lain.
Konsep istikhlaf, apabila disadari dengan sungguh-sungguh dan diterapkan sepenuh
hati, niscaya akan membuat para pelaku ekonomi berperilaku lebih manusiawi, tidak lagi
sehewani perilaku homo economicus. Konsep istikhlaf akan membuat manusia memiliki dan
mengemban karakter-karakter positif sebagaimana dijabarkan berikut.
16

Pertama, istikhlaf dapat mencegah manusia dari kesombongan hartawi, kecongkakan
karena kaya harta. Apa yang layak disombongkan oleh seseorang yang kaya harta jika semua
hartanya sesungguhnya hanyalah titipan? Sekadar perumpamaan bandingan: seorang juru
parkir tidak layak sombong apabila di lahan parkir kekuasaannya terdapat belasan bahkan
puluhan mobil. Semua mobil itu hanyalah titipan, setiap saat dapat dan akan diambil kembali
oleh pemiliknya, tidak satu pun berhak ia bawa pulang. Apakah yang pantas disombongkan
oleh sebuah bank yang memiliki dana simpanan masyarakat senilai triliunan rupiah? Bank itu
boleh bangga akan kredibilitasnya, tapi tidak layak sombong atas dana yang dimilikinya.
Kedua, istikhlaf dapat mencegah manusia dari kegemaran menumpuk harta kekayaan,
mencegah sifat tamak. Untuk apa memiliki sesuatu secara berlebih-lebihan kalau hal itu
menimbulkan rasa tidak tenteram, kalau semua itu akhirnya pasti ditinggalkan. Apalagi kalau
untuk mendapatkannya harus dibayar dengan ketidakwajaran, ketidaksantunan, atau ketidaknyamanan. Harta kekayaan yang demikian itu niscaya hanya akan mengundang kegelisahan.
Ketiga, istikhlaf akan mengawal manusia untuk tidak menggunakan harta kekayaan
dan membelanjakan uangnya secara sewenang-wenang atau tidak semena-mena, dalam arti di
luar koridor yang digariskan oleh Sang Pemilik. Ekonomika islami melarang pemanfaatan
sumberdaya untuk kegiatan atau dengan cara-cara yang diharamkan oleh ajaran Islam.
Dengan kesadaran bahwa semua titipan yang diamanatkan harus dipertanggungjawabkan
kelak kepada Sang Pemilik, manusia akan bijak dan berhati-hati dalam memanfaatkan harta
kekayaan atau menggunakan sumberdaya yang diamanatkan.
Sifat kedermawanan merupakan karakter positif keempat yang dipantik oleh istikhlaf.
Mengingat semua harta kekayaan yang dimiliki pada hakikatnya hanyalah titipan, manusia
tidak akan (dan memang seharusnya tidak!) berkeberatan untuk meminjamkan dan bahkan
menyerahkan sebagiannya kepada orang lain. Alih-alih rakus dan serakah sehingga kikir, ia
justru akan senantiasa murah hati (generous) untuk membantu dan menyenangkan orang lain.
Apalagi—seandainya ia seorang muslim—kemurah-hatiannya akan diimbali pahala oleh
Allah swt.
Keempat karakter positif yang dipaparkan di atas merupakan karakter positif yang
akan terbentuk pada diri pribadi orang perseorangan atau individu. Konsep istikhlaf juga
berpotensi menumbuhkan karakter positif pada diri jamaah (masyarakat, komunitas).
Konsep istikhlaf memungkinkan tumbuhnya kendali sosial (social control) atas harta
kekayaan seseorang. Apabila suatu harta—barang, uang, atau faktor produksi—digunakan
untuk kegiatan atau dengan cara yang diharamkan oleh Sang Pemilik, maka masyarakat
berhak melakukan tindakan tertentu terhadap “pemegang amanat” harta tersebut. Begitu juga
17

seandainya si pemegang amanat tidak atau tidak mampu memanfaatkan harta tersebut,
sehingga (jika berupa faktor produksi) terbengkalai dan menganggur, masyarakat berhak
menindaknya. Tindakan yang ditempuh dimulai dari bentuk yang paling lunak, yaitu
mengingatkan si pemegang amanat. Saling mengingatkan merupakan salah satu kewajiban
sesama muslim (Quran, surat al-Ashr). Tindakan berikutnya berupa peringatan atau teguran.
Bila perlu, jika dinilai sudah melampaui batas, boleh dilakukan pelarangan atau pengambilalihan untuk didayagunakan.
8. Istikhlaf dan Etika Bisnis/Ekonomi
Karakter-karakter positif yang disemai oleh konsep istikhlaf dapat meredam para
pelaku—juga pemikir dan pembelajar—ekonomi dari tabiat-tabiat mementingkan diri sendiri,
menilai manfaat sesuatu hanya berdasarkan pertimbangan efisiensi kardinal-material, dan
bertindak machiavelist dalam memenangi medan persaingan. Etika pemain bisnis dan pelaku
ekonomi niscaya akan lebih baik. Kebijakan dan tindakan ekonomi serta permainan bisnis
akan lebih santun dan menenteramkan, namun tetap efisien dan menguntungkan. Alih-alih
menumpuk harta kekayaan dan memonopoli pasar dengan menghalalkan segala cara, pelaku
ekonomi dan pemain bisnis akan lebih toleran dan tahu diri dalam menyejahterakan
kehidupan dan mengejar keuntungan.
Konsep istikhlaf hanyalah merupakan landasan etika—bukan satu-satunya materi
etika—dalam ekonomika islami. Subjek-subjek bahasan dalam ekonomika islami sarat akan
berbagai lekatan etika. Pengajaran dan penanaman etika kepada pembelajar ilmu ekonomi
tidak perlu malu-malu atau merasa turun-gengsi untuk merujuk ke ekonomika islami.
Dengan istikhlaf para pelaku ekonomi dapat terentas dari kekerdilannya sebagai homo
economicus, kembali bermartabat sebagai manusia yang utuh. Para pelaku ekonomi serta
pemain bisnis akan keluar dari “rimba raya”, melepaskan semboyan yang menang adalah
yang kuat (survival of the fittest). Mereka akan kembali ke “dunia yang dijanjikan” dengan
semboyan baru berlomba-lomba dalam kebajikan (fastabiqul khairaat). Tatkala sesosok
malaikat mengirim sms mengabari suasana baru tersebut, Adam Smith tersenyum ceria di
kuburnya. Ia memohon kepada Tuhan agar dipertemukan dengan Muhammad s.a.w. Serenta
bertemu Mr. Smith mendekap erat Rasulullah Muhammad s.a.w. Sembari menepuk-nepuk
punggung beliau sang filosof berujar terharu: “Bro, kolaborasi kita kini menghasilkan ummat
yang ideal dan peradaban idaman.”
*******

18

Rujukan
Addas, Waleed A.J., 2008: Methodology of Economics: Secular vs Islamic, Kuala Lumpur,
International Islamic University Malaysia Press.
al-Alwani, Taha Jabir (penyunting), 2005: Bisnis Islam (terjemahan Islamic Business, oleh
Suharsono), Yogyakarta, AK Group.
Beekum, Rafiq Issa, 2004: Etika Bisnis Islami (terjemahan Islamic Business Ethics, oleh
Muhammad), Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Haneef, Mohamed Aslam, 1995: Contemporary Islamic Ecnomic Thought: A Selected
Comparative Analysis, Selangor - Malaysia, Ikraq.
Naqvi, Syed Nawab Haider, 1986: Ethics and Economics: An Islamic Synthesis, LeicesterUK, The Islamic Foundation.
Qardhawi, Yusuf, 2001: Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam (terjemahan
Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishodil Islami, oleh Didin Hafidhuddin, dkk), Jakarta,
Robbani Press.
ash-Shadr, Muhammad Baqir, 2008: Buku Induk Ekonomi Islam (terjemahan Iqtishaduna,
oleh Yudi), Jakarta, Zahra.

19