Etika Lembaga Negara Studi Kasus Polemik

KAJIAN

KPK dan Polri: Sebuah
Pelajaran Tentang
Etika Bernegara
Departemen Kajian dan Aksi Strategis
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
2015

KPK dan Polri: Sebuah Pelajaran Tentang Etika Bernegara
Konsekuensi logis dari konsepsi negara hukum sebagaimana yang
tercantum di dalam pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 adalah bahwasanya
pemerintahan dijalankan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hal ini
sejalan dengan yang dinyatakan Julius Stahl terkait 4 unsur dari negara hukum
(rechtstaat), yakni perlindungan hak-hak asasi manusia, pemisahan atau
pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara Eropa
Kontinental biasanya disebut trias politica), pemerintah berdasarkan
peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur), dan peradilan administrasi
dalam perselisihan1.
Prof. Jimly Ashiddiqie pun menegaskan 12 pilar utama negara hukum,

dimana 4 (empat) diantaranya ialah:2
a. Supremasi hukum (supermacy of law), yakni adanya pengakuan
normatif dan empiris akan prinsip supremasi hukum dimana semua
permasalahan diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman
tertinggi.
b. Asas legalitas (due process of law). Dalam setiap negara hukum
dipersyaratkan berlakunya asas legalitas, yakni segala tindakan
pemerintahan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang sah dan tertulis.
c. Organ-organ eksekutif independen. Dalam rangka membatasi
kekuasaan, harus adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan
1

Budiardjo, Miriam, 1998, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

2

Asshiddiqie, Jimly, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan

Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.


yang bersifat independen, seperti : bank sentral, organisasi tentara,
organisasi Komnas HAM, KPU, dan KPK.
d. Transparasi dan Kontrol Sosial, adanya transparansi dan kontrol
sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan
penegakan hukum sehingga kelemahan yang terdapat dalam
mekanisme kelembagaan dapat dilengkapi secara komplementer
oleh peran serta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung).
Sistem perwakilan di parlemen tidak dapat diandalkan sebagai
saluran aspirasi rakyat, karena perwakilan fisik belum tentu
mencerminkan perwakilan gagasan (aspirasi).
Konstruksi ini tentu idealnya dapat terejawantahkan dengan baik oleh
pemerintahan yang menjalankan negara dengan kinerja demokrasi yang masih
berkategori sedang (medium performing democracy) berdasarkan skala yang
dibuat IDI (Indeks Demokrasi Indonesia) ini. 3 Namun sayangnya, beberapa
waktu belakangan, polemik yang terjadi di dua institusi penegak hukum
menimbulkan banyak permasalahan di bidang ketatanegaraan. Untuk itu, kajian
ini akan berfokus pada polemik antara dua institusi tersebut (KPK dan
Kepolisian NRI) dari perspektif ketatanegaraan.
1. Pemberhentian Jenderal Sutarman sebagai Kapolri


Presiden Joko Widodo mengumumkan pemberhentian Jend. Sutarman
dalam konferensi pers yang digelar pada tanggal 16 Januari 2015 di Istana
Negara.4 Untuk payung hukumnya sendiri telah ditandatangani keputusan
presiden sesuai dengan pasal 11 UU Kepolisan.5 Pemberhentian Jendral
3

Rencana Kerja Pemerintah tahun 2015.

http://nasional.kompas.com/read/2015/01/16/20223531/Presiden.Joko
Widodo.Berhentikan.Kapolri.Jenderal.Polisi.Sutarman diakses pada 29 Januari 2015 pukul
19.30 WIB
4

5

UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Sutarman yang merupakan Kapolri ke-21 ini sontak mengejutkan banyak pihak.
Selain masa jabatannya yang sebenarnya masih hingga bulan Oktober 2015,

juga terdapat pelanggaran prosedural lain yang terjadi, yakni terhadap pasal 11
ayat 1 dan 2 undang-undang yang sama.
Di dalam pasal 11 ayat 1 UU Kepolisian tersebut dinyatakan bahwa,
“Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat”.
Sementara ayat 2 berbunyi,
“Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh
Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya”.
Di samping itu, Kompolnas, sebagai lembaga non-struktural yang
kedudukannya berada dan bertanggung jawab kepada Presiden,6 dapat
memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan
pemberhentian Kapolri.7 Pertimbangan tersebut dilakukan dengan memberikan
pertimbangan atas hasil pemantauan dan evaluasi kinerja terhadap Kapolri
(untuk pemberhentian Kapolri lama) dan perwira tinggi Polri (untuk
pengangkatan Kapolri baru).8
Dari rumusan pasal-pasal di atas terdapat suatu keterangan bahwasanya
untuk dapat memberhentikan seorang Kapolri, Presiden tidaklah dapat
bertindak secara sepihak. Presiden harus mengusulkan pemberhentian Kapolri
bersangkutan beserta alasannya kepada DPR terlebih dahulu. Kemudian jika
DPR menyetujui, barulah Presiden dapat mengeluarkan Keputusan Presiden

sebagai payung hukum untuk pemberhentian Kapolri. Apabila Dewan
Perwakilan Rakyat menolak usul pemberhentian Kapolri, maka Presiden
6

Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional.

7

Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional.

8

Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional.

menarik kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan
persetujuan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya. 9 Pun
Presiden hendaknya dapat mempertimbangkan pertimbangan yang telah
diberikan oleh Kompolnas.
Namun sayangnya hal tersebut hanya menjadi suatu tataran ideal yang
tidak dilaksanakan oleh Presiden Joko Widodo. Hingga keluarnya Keputusan

Presiden tentang pemberhentian Jend. Sutarman, tidak ada persetujuan yang
diberikan oleh DPR. Hal ini semata-mata karena Presiden Joko Widodo bahkan
tidak mengajukan usulan pemberhentian kepada DPR, meskipun pemberhentian
Jend. Sutarman sendiri diusulkan oleh Kompolnas.10 Pun dalam hal ini, Prof.
Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara, menyatakan bahwa dalam
keadaan normal, Presiden tidak dapat memberhentikan Kapolri tanpa
persetujuan DPR. Jika dikaitkan kembali dengan ketentuan pasal 11 ayat (1)
dan (2) UU Kepolisian di atas, pemberhentian Jendral Sutarman jelas cacat
hukum.
2. Pencalonan Budi Gunawan Sebagai Kapolri Berstatus Tersangka
Proses suksesi yang berlangsung di tubuh Kepolisian Negara Republik
Indonesia mengalami hambatan ketika KPK menetapkan Budi Gunawan yang
merupakan calon tunggal Kapolri yang diajukan oleh Presiden Joko Widodo
sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi ketika masih menjabat sebagai
Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia di Mabes Polri
pada tahun 2003-2006.11 Tertanggal 12 Januari 2015, KPK mengeluarkan Surat
Perintah Penyidikan (Sprindik) terhadap Komjen Polisi Budi Gunawan yang
berarti statusnya menjadi tersangka. Lebih lanjut, Budi Gunawan dijerat pasal
9


Penjelasan pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara.

http://nasional.sindonews.com/read/952027/14/pemberhentian-sutarman-atas-usulankompolnas-1421486676 diakses pada 31 Januari 2015 pukul 01.21 WIB.
10

http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/01/150113_tersangka_korupsi
diakses pada 29 Januari 2015 pukul 22.21 WIB.
11

12A atau B, pasal 5 ayat (2), pasal 11, atau pasal 12B UU Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini jelas
menimbulkan perdebatan politik dan hukum, mengingat pengajuan Komjen
Budi Gunawan merupakan hak prerogatif Presiden yang sangat kental dengan
tarik-ulur politik. Namun berdasarkan pasal 46 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK mempunyai
wewenang menetapkan seseorang sebagai tersangka.12 Dan tersangka berhak
mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya diajukan ke Penuntut
Umum.13 Jika di kemudian hari Komjen Budi Gunawan dilantik dan
menjalankan tugasnya sebagai Kapolri, maka jelas proses yang dijalani oleh
Komjen Budi Gunawan tersebut bukan hanya menjalankan kewajbannya

sebagai Kapolri, akan tetapi juga proses hukum yang sedang membelit dirinya.
Berdasarkan pasal 11 ayat (6) UU Kepolisian, calon Kapolri merupakan
perwira tinggi Polri aktif dengan memerhatikan jenjang pangkat dan karir. 14
Konsekuensinya adalah calon Kapolri tidak dapat berasal dari eksternal Polri itu
sendiri ataupun dari kader partai politik tertentu. Dalam tataran yang lebih luas,
selain merupakan wewenang dari Kompolnas untuk memberikan pertimbangan
kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri, ada baiknya
juga jika melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Meskipun tidak diatur
di dalam peraturan perundang-undangan secara tegas, namun dengan
melibatkan kedua lembaga ini diharapkan agar sang perwira tinggi Polri yang
akan menjadi calon Kapolri benar-benar terbukti bersih, berintegritas, jujur,
adil, dan berkelakuan tidak tercela. Untuk memilih menteri-menteri di Kabinet
Pasal 46 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
12

Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)
13


Pasal 11 ayat (6) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
14

Kerja 2014-2019 misalnya, Presiden Joko Widodo telah melaksanakan
mekanisme ini.
Pada 9 Januari 2015, Presiden Joko Widodo mengirimkan surat
bernomor R-01/Pres/01/2015 kepada Ketua DPR RI perihal pemberhentian dan
pengangkatan Kapolri. Berdasarkan surat tersebut, Komisi III dan DPR
melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test). Keterangan
yang diberikan oleh Komjen Budi Gunawan pada saat itu ialah bahwa
berdasarkan

surat

R/1016/DitTipideksus/X/2010/Bareskrim,

Bareskrim
beliau


tidak

bernomor
terbukti

memiliki

transaksi keuangan tidak wajar setelah dilakukan penyelidikan oleh Polri terkait
dengan Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK yang diberikan kepada Polri
pada bulan Maret 2010. Akan tetapi, pada bulan Juli 2014, KPK mengirimkan
surat kepada PPATK untuk menelusuri kembali rekening Komjen Budi
Gunawan yang kemudian dibalas oleh PPATK pada 11 Agustus 2014. Kendati
demikian, DPR menyatakan bahwa Budi Gunawan lolos uji kepatutan dan
kelayakan calon Kapolri, meskipun sebelumnya KPK telah menetapkan beliau
sebagai tersangka. Berkeberatan atas penetapan tersangka terhadap dirinya,
Komjen Budi Gunawan menggunakan haknya untuk menempuh jalur
Praperadilan.15 Akan tetapi, gugatan yang diajukan olehnya tidak lah tepat
karena penetapan tersangka tidak termasuk objek gugatan praperadilan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP. Sesuai dengan tujuan

dan lingkup kewenangan dari praperadilan yaittu untuk memberikan
perlindungan terhadap hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan
penyidikan dan penuntutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 10 KUHAP,
yang termasuk ke dalam lingkup kewenangan praperadilan yaitu untuk
memeriksa dan memutus: 1) sah atau tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan, 2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, dan
3) permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
15

http://www.tempo.co/read/news/2015/02/01/063639053/MA-GugatanPraperadilan-Budi-Gunawan-Sulit, diakses 1 Februari 2015

pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Setelah
gugatan diproses dan disidangkan, berdasarkan Pasal 82 ayat (2) dan ayat (3)
KUHAP, isi putusan praperadilan selain memuat alasan dasar pertimbangan
hukum juga memuat amar (disesuaikan dengan alasan permintaan pemeriksaan)
yang bisa berupa pertanyaan yang berisi: 1) sah atau tidaknya penangkapan atau
penahanan, 2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, 3)
diterima atau ditolaknya permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi, 4) perintah
pembebasan dari tahanan, 5) perintah melanjutkan penyidikan atau penuntutan,
6) besarnya ganti kerugian, 7) pernyataan pemulihan nama baik tersangka, dan
8) memerintahkan segera mengembalikan sitaan.16 Oleh karena permohonan
pemeriksaan yang diajukan Komjen Pol Budi Gunawan diluar kewenangan
praperadilan, penetapan dirinya sebagai tersangka akan terus berlanjut dan
keputusan praperadilan tidak diperlukan untuk menjadi bahan pertimbangan
bagi Presiden untuk menentukan langkah selanjutnya oleh karena putusan
praperadilan pun tidak dapat mengubah status Komjen Pol Budi Gunawan
sebagai tersangka.
Sesuai dengan UU Kepolisian, jika DPR telah menyetujui pengangkatan
Kapolri, maka Presiden mengangkat calon Kapolri menjadi Kapolri. Di sinilah
dilema muncul. Jika Budi Gunawan dilantik, maka akan menimbulkan rasa
ketidakadilan di tengah masyarakat mengingat status tersangka yang saat ini
disandangnya. Sementara jika tidak dilantik, Presiden akan kembali tidak
mengikuti

ketentuan

peraturan

perundang-undangan

yang

menyatakan

bahwasanya jika telah disetujui DPR, maka Presiden melantik calon Kapolri
bersangkutan menjadi Kapolri. Belum lagi desakan untuk mengangkat Kapolri
baru ketika Kapolri yang lama telah diberhentikan (satu paket), seperti pendapat
Prof. Yusril Ihza Mahendra selaku salah satu perumus UU Kepolisian. Kondisi

16

M. Yahya Harahap, S.H., M.H., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP:Pemeriksaan SIdang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali, (Jakarta: Sinar Grafka, 2009) hlm. 19-20.

ini tak ubahnya makan buah simalakama; jika dilantik menimbulkan masalah,
tidak dilantik juga menimbulkan masalah.
3. Penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto Oleh
Bareskrim Mabes Polri
Di tengah-tengah goncangan di tubuh Kepolisian NRI dan Presiden ini,
muncul lagi kasus baru; penangkapan Bambang Widjojanto yang merupakan
wakil ketua KPK atas kasus dugaan pemberian keterangan palsu pada
persidangan PHPUD Kota Waringin Kalimantan Barat di MK pada tahun 2010
oleh Bareskrim Polri. Kasus ini sendiri telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi
pada tanggal 7 Juli 2010.17 Bambang dikenakan pasal 242 jo. 55 KUHP terkait
dengan dugaan suruhan untuk memberikan keterangan palsu. Menanggapi
proses hukum yang berlangsung pada dirinya, Bambang mengambil sikap yaitu
mengundurkan diri sementara dari jabatannya selaku Wakil Ketua KPK. 18 Sikap
yang diambil Bambang merupakan moral hukum karena UU No. 30 Tahun
2002 mengatur, dalam hal Pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana
kejahatan, maka yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya. 19
Pasal 32 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2002 mengatur bahwa pemberhentian
tersebut ditetapkan oleh Presiden RI. Dalil inilah yang kemudian digunakan
oleh Pimpinan KPK atas penolakannya terhadap permohonan pengunduran diri
sementara yang diajukan oleh Bambang. Pimpinan KPK mengatakan bahwa
penetapan tersangka Bambang tersebut merupakan rekayasa namun begitu
keputusan permberhentian sementara Bambang Widjojanto tetap berada di
tangan Presiden.20 Kasus penangkapan Bambang yang tidak sesuai dengan
KUHAP pun kembali menyedot perhatian masyarakat. Perhatian tersebut bukan
17

Putusan Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010

18

http://nasional.kompas.com/read/2015/01/26/14294941/
Jadi.Tersangka.Bambang.Widjojanto.Ajukan.Pengunduran.Diri.Sementara.da
ri.KPK., diakses 1 Februari 2015.
19

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga
Negara, (Jakarta: Sinar Grafka, 2010), hlm. 230.

hanya dikarenakan prosedur upaya paksa yang tidak sesuai dengan KUHAP,
namun juga karena di mata masyarakat terdapat sebuah permainan bola panas
yang terjadi di antara dua institusi penegakan hukum di negeri ini. Hal ini jelas
membawa pertanyaan besar dalam benak kita semua; apa yang akan terjadi jika
kedua lembaga ini terus berseteru mengingat posisi dan peran yang dimiliki
oleh keduanya. Lembaga penegak hukum yang seharusnya independen dan
terbebas dari lingkaran politis, sekarang justru terjebak di dalam semrawutnya
arus kepentingan yang melanda (Kajian terkait dengan prosedur penangkapan
Bambang Widjojanto ini sebelumnya telah dibuat dan dirilis oleh BEM FHUI
2015).21

3. Pengangkatan Komjen Pol Badrodin Haiti Sebagai PLT Kapolri
Dilema mengenai pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri berujung
dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden yang menunda pelantikan Budi
Gunawan serta Keputusan Presiden yang mengangkat Komjen Pol Badrodin
Haiti sebagai PLT Kapolri. Hal ini justru memperkeruh suasana pemerintahan
yang saat ini tidak stabil. Berdasarkan pasal 11 ayat (5) UU Kepolisian
dinyatakan PLT Kapolri hanya dapat ditunjuk ketika keadaan mendesak, yang
kemudian diperjelas dalam penjelasan pasal tersebut bahwasanya yang
dimaksud dengan keadaan mendesak ialah jika Kapolri yang sedang menjabat
melanggar sumpah jabatan atau membahayakan keamanan negara. 22 Padahal
saat ini, dua variabel tersebut diatas sama sekali tidak terpenuhi. Oleh karena
itu, pengangkatan PLT Kapolri adalah bisa dibilang cacat hukum.
20

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54c66143936f3/pimpinan-kpktolak-pengunduran-diri-bambang-widjojanto, diakses 2 Februari 2015.
21

Lihat: http://issuu.com/bemfhui2015/docs/bw_arrestment.docx

Penjelasan pasal 11 ayat (5) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
22

Padahal, terdapat cara yang dapat dilakukan oleh Presiden Joko Widodo
tanpa harus melanggar ketentuan perundang-undangan. Cara tersebut adalah
dengan melantik Budi Gunawan terlebih dahulu menjadi Kapolri, namun
kemudian segera dinonaktifkan. Ketika Budi Gunawan dinonaktifkan, maka
Presiden baru dapat mengangkat PLT Kapolri untuk menjalankan tugas dan
peran dari Kapolri. Langkah seperti ini diharapkan dapat menyelesaikan
permasalahan di dalam proses pergantian tampuk kepemimpinan di Kepolisian
NRI tanpa harus melangkahi peraturan perundang-undangan di dalam hukum
ketatanegaraan.
4. Dilaporkannya Beberapa Orang Komisioner KPK ke Kepolisian
Setelah kasus penangkapan Bambang Widjojanto, beberapa orang
komisioner KPK lainnya juga ikut dilaporkan ke polisi. Adnan Pandu Praja
dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh PT. Desy Timber atas kasus perampasan
saham di PT. Desy Timber, sebuah perusahaan HPH di Berau, Kalimantan
Timur. Beliau dituduh merekayasa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan
membuat akta notaris palsu sehingga dapat memiliki saham PT. Desy Timber
milik warga dan Pesantren Al Banjari. Komisioner lainnya yang juga
dilaporkan ke polisi adalah Zulkarnain yang dilaporkan oleh Aliansi
Masyarakat Jawa Timur terkait dengan kasus korupsi dana hibah Program
Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat Jawa Timur pada tahun 2008. Beliau
diduga menerima uang sebesar Rp. 2,8 miliar sebagai balas jasa untuk
menghentikan penyidikan yang melibatkan Pakde Karwo, Gubernur Jawa
Timur saat ini. Abraham Samad, Ketua KPK, juga dilaporkan oleh Muhammad
Yusuf Sahide, direktur eksekutif LSM KPK Watch Indonesia, terkait dengan
pertemuannya dengan sejumlah petinggi partai politik sebelum Pilpres 2014,
termasuk tawaran bantuan penanganan kasus politisi PDI-P, Emir Moeis, yang
tersandung perkara korupsi yang tengah ditangani KPK.

Jika kemudian ke-3 pimpinan KPK di atas (Abraham Samad,
Zulkarnain, dan Adnan Pandu Praja) juga ditetapkan sebagati tersangka oleh
KPK (seperti halnya Bambang Widjojanto), maka mereka diberhentikan
sementara23 dengan penetapan oleh Presiden.24 Tidak bisa serta merta berhenti
tanpa adanya penetapan Presiden terlebih dahulu.
Analogi bahwasanya hukum dan politik ibarat tulang dan daging adalah
analogi yang tepat untuk menggambarkan bagaimana kedua hal ini saling
terkait. Curzon (1979:44) menyatakan bahwa hukum dan politik mempunyai
keterikatan erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Akan tetapi, apa
yang kita dapat pelajari dari kasus ini adalah jangan sampai memanfaatkan
hukum sebagai alat transaksi politik.
Kesimpulan
Negara ini telah berusaha menjadikan asas-asas sebagai hukum tertulis.
Di dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme disebutkan
penyelenggaraan negara harus mengacu pada asas umum penyelenggaraan
negara, yaitu asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan,
asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas. Hendaknya
asas-asas umum pemerintahan yang baik ini tidak hanya mengendap dalam
tataran utopis belaka, namun dapat dikonkretisasi melalui berbagai macam
bentuk kebijakan dan sikap yang akan diambil oleh pemerintah, khususnya
Presiden Indonesia ke depannya. Sebagai negara hukum, baik KPK maupun
Polri memiliki perannya masing-masing sebagai institusi penegak hukum. Polri,
dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, dijelaskan sebagai alat negara yang
menjaga

keamanan

dan

ketertiban

masyarakat

bertugas

melindungi,

mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Kemudian,

23

Pasal 32 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
24

Pasal 32 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 dijelaskan bahwa Polri merupakan salah
satu dari fungsi-fungsi pemerintahan negara dalam bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum (law enforcement),
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 25 Pasal 1 butir 3
UU No. 30 Tahun 2002 menjelaskan bahwa Pemberantasan tindak pidana
korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak
pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran
serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk melakukan serangkaian upaya yang demikian komprehensifnya,
dibentuklah KPK yang secara tegas dinyatakan status hukum komisi ini,
menurut Pasal 3 UU No. 30 Tahun 2002,

sebagai lembaga negara yang

melaksanakan tugas dan wewenangnya yang bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun.26 Mengingat vitalnya kedua institusi ini sebagai
penegak hukum di Indonesia, tidaklah arif memihak kepada salah satu diantara
keduanya secara institusional. Polri dalam menjalankan tugasnya harus sedia
menjaga wibawa dan kepercayaan masyarakat sebagaimana yang telah
dimaktubkan dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002. Pun begitu dengan KPK
yang harus menjaga independensi dan integritasnya sebagai institusi penegak
hukum, khususnya di bidang pemberantasan korupsi. Karena dengan sokongan
kedua institusi yang saling suportif inilah penegakan hukum di negeri ini
mampu tegak dengan kokoh.

25

26

Prof. Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, hlm. 209
Ibid, hlm. 226

Dokumen yang terkait

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN DAN PENDAPATAN USAHATANI ANGGUR (Studi Kasus di Kecamatan Wonoasih Kotamadya Probolinggo)

52 472 17

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANG TUA MENIKAHKAN ANAK PEREMPUANYA PADA USIA DINI ( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember)

12 105 72