SEMBOYAN PENDIDIKAN PENC SEUMUR HIDUP

TINGGINYA ANGKA PUTUS SEKOLAH MENUNJUKKAN PENDIDIKAN SEUMUR
HIDUP SEKEDAR SEMBOYAN PADA WARGA DESA KONGSI 3, GENTENG,
BANYUWANGI
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seumur hidup, pada hakikatnya dimanapun manusia berada masih dalam masa belajar
tanpa mengenal batasan umur. Seperti yang disabdakan nabi Muhammad SAW “tuntutlah ilmu
dari buaian hingga ke liang lahad”, yang berarti bahwa dalam menggali ilmu tanpa ada batasan
umur. Sejatinya, pendidikan merupakan hak seluruh warga Negara dan pendidikan merupakan
salah satu faktor utama untuk dapat mencapai kemakmuran suatu Negara. Sebagaimana yang
diatur secara tegas dalam pasal 31 ayat (1) Undang-undang dasar 1945 yang menyatakan bahwa
Negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) menegaskan bahwa setiap warga Negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat (3) menetapkan bahwa
pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Kenyataannya, pendidikan yang digadang-gadangkan oleh pemerintah dapat diperoleh
oleh seluruh kalangan masyarakat, hanya menjadi sebatas mimpi karena permasalah yang
kompleks dalam dunia pendidikan di Indonesia. Banyak anak-anak usia sekolah di Indonesia
yang justru harus putus sekolah dan tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Jumlah anak putus
sekolah dan berpendidikan rendah di Indonesia terbilang relatif tinggi. Tingginya angka putus

sekolah ini salah satu akibat mahalnya biaya pendidikan.
Realita tingginya angka putus sekolah yang saya jumpai pada desa Kongsi 3, Genteng.
Desa yang mayoritas masyarakatnya bekerja di perkebunan coklat dengan penghasilan yang
tidak tetap. Masyarakat bekerja mulai pagi hari jam setengah lima pagi dan pulang di sore hari
hingga jam empat sore. Kegiatan rumah tangga, ditambah dengan pekerjaan yang mereka
kerjakan dengan penghasilan yang rendah, dan tidak banyak yang mengenal dunia pendidikan,
menyebabkan mereka tidak memperhatikan pendidikan anak mereka. Selain memang mereka

tidak mampu untuk mengajari anak mereka belajar, mereka juga tidak mampu untuk menitipkan
anak mereka dalam pendidikan non formal dengan alasan biaya yang mahal.
Kurangnya perhatian orang tua terhadap pendidikan anaknya, menyebabkan mereka
malas untuk belajar. Sebagian, memang ada yang sampai melanjutkan ke jenjang SMA, namun
banyak yang berhenti ditengah jalan. Ada yang sebagian memilih bekerja demi mencukupi
kebutuhannya sendiri, dan tidak sedikit yang memilih untuk menikah dini. Dari tahun ke tahun
masyarakatnya tetap berpendidikan rendah. Tentu kondisi ini sangat memprihatinkan, mengingat
bahwa seluruh anak Indonesia wajib memperoleh pendidikan dasar 9 tahun.
Berbeda dengan Negara Jepang, pendidikan dasar yang menjadi akar pendidikan
selanjutnya, sangat diperhatikan dengan serius oleh Negara matahari terbit ini. Buktinya wajib
belajar 9 tahun diselenggarakan tanpa dipungut biaya dari orang tua murid. Bahkan pihak
sekolah akan menyurati para orang tua untuk mendaftarkan anaknya masuk sekolah, ketika usia

anak sudah masuk usia sekolah. Jepang memiliki budaya baca dan uniknya saat mereka di kereta
listrikpun baik dalam keadaan berdiri maupun duduk selalu mengisi waktu luangnya dengan
membaca. Bahkan materi kurikulum SD, SMP, dan SMA disajikan dalam bentuk komik
bergambar yang menarik sehingga membuat minat baca masyarakat semakin tinggi.
Wajib belajar 9 tahun mulai dari SD yang dijalani 6 tahun dan SMP menghabiskan 4
tahun, benar-benar dijalankan secara gratis. Seluruh biaya ditanggung pemerintah, jika harus ada
bayaran, hal itu hanya untuk alat-alat pelajaran, biaya makan siang anak di kantin sekolah atau
saat rekreasi dari sekolah. Meski sekolahnya berstatus negeri, soal kualitas pendidikannya tidak
meragukan. Hal itu karena kurikulum sekolah, sarana, dan prasarana maupun tenaga pengajar,
benar-benar dijaga agar sesuai standar yang sudah ditetapkan pemerintah. Hasilnya, mutu
pendidikan wajib belajar 9 tahun, dimana-mana sama. Tidak ada istilah mutu lulusan sekolah
pinggiran, kalah bersaing dengan mutu lulusan sekolah kota besar.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa penyebab tingginya angka putus sekolah di desa Kongsi 3, Genteng?
2. Apa yang dimaksud dengan pendidikan seumur hidup?
3. Bagaimana program wajib belajar 9 tahun?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan penyebab tingginya angka putus sekolah di desa
Kongsi 3, Genteng.
2. Untuk menjelaskan tentang pendidikan seumur hidup.
3. Untuk menjelaskan program wajib belajar 9 tahun.
D. Manfaat Penulisan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Bagi peneliti,

dapat menambah pengetahuan, pengalaman,

dan usaha untuk

mengembangkan kemampuan dalam membuat makalah.
2. Bagi masyarakat terkait, sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
3. Bagi

perguruan tinggi, sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi peneliti

selanjutnya yang sejenis.
4. Bagi pemakalah lain, sebagai acuan, referensi, dan perbandingan untuk penulisan sejenis.

BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Putus Sekolah
2.1.1 Pengertian Putus Sekolah
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara (UU No. 20
Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional). Sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk
belajar dan mengajar serta tempat menerima dan member pelajaran menurut tingkatan yang ada.
Anak putus sekolah adalah keadaan dimana anak mengalami keterlantaran karena sikap
dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh
kembang anak tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Anak yang dimaksudkan adalah manusia yang belum dewasa yang umurnya dibawah 18 tahun
dan masih rentan terhadap kesalahan sehingga perlu pengawasan dari manusia dewasa. Anak

mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah
belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa.
2.1.2 Faktor penyebab anak putus sekolah di Kongsi 3
Sesuai dengan hasil wawancara dan observasi yang saya lakukan, ada beberapa faktor

yang menyebabkan anak putus sekolah, yaitu:
a. Kondisi ekonomi keluarga
Masyarakat Kongsi 3, sebagian besar penghasilannya bergantung pada perkebunan
coklat dengan pekerjaan sampingan sebagai buruh tani. Keadaan ekonomi yang buruk
menyebabkan motivasi untuk menyekolahkan anak mereka menjadi rendah. Bahkan
mereka tidak sanggup untuk mengajari anak mereka belajar, karena pada dasarnya
mereka juga orang-orang yang tidak mengenal dunia pendidikan.
b. Pengaruh teman yang sudah tidak sekolah
Fakta yang ada di desa Kongsi 3, dari 25 anak yang berusia sekitar 6-18 tahun, 6 anak
duduk di bangku sekolah dasar, 3 anak di bangsu SMP, dan 5 anak yang duduk di
bangku SMA, selebihnya 11 anak mengalami putus sekolah. Mereka lebih memilih
bekerja dan sebagian memilih menikah di usia dini.
c. Sering membolos
Karena memang pada dasarnya, kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan,
menyebabkan mereka tidak mempunyai motivasi diri yang tinggi untuk menuntut
ilmu. Kurangnya pengawasan orang tua, dan rendahnya keinginan untuk belajar
sering membuat mereka tidak mengerjakan tugas-tugas yang guru berikan di sekolah.
Hal itu menyebabkan mereka sering mendapatkan nilai buruk, sehingga mereka
semakin malas untuk bersekolah. Pada akhirnya, mereka lebih memilih membolos
dari pada berusaha untuk mempelajari pelajaran apa yang tidak mereka pahami.

d. Kurangnya minat untuk meraih pendidikan/mengenyam pendidikan dari anak didik
itu sendiri.
Disamping itu, ada faktor internal dan eksternal
1. Faktor internal

a. Dari dalam diri anak putus sekolah disebabkan malas untuk pergi kesekolah karena
merasa minder, tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekolahnya, sering
dicemoohkan karena tidak mampu membayar kewajiban biaya sekolah dipengaruhi
oleh berbagai faktor.
b. Karena pengaruh teman sehingga ikut-ikutan di ajak bermain seperti play station
sampai akhirnya sering membolos dan tidak naik kelas, prestasi sekolah menurun dan
malu untuk pergi kembali kesekolah.
c. Anak yang kena sanksi karena mangkir sekolah sehingga kena droup out.
2. Faktor eksternal
a. Keadaan status ekonomi keluarga.
b. Kurang perhatian orang tua.
c. Hubungan orang tua kurang harmonis.
Selain permasalahan diatas ada factor penting dalam keluarga yang bisa mengakibatkan
anak putus sekolah, yaitu:
1) Keadaan ekonomi keluarga.

2) Latar belakang pendidikan ayah dan ibu.
3) Status ayah dalam masyarakat dan dalam pekerjaan.
4) Hubungan sosial psikologis antara orang tua dan antara anak dengan orang tua.
5) Aspirasi orang tua tentang pendidikan anak, serta perhatiannya terhadap kegiatan
belajar anak.
6) Besarnya keluarga serta orang-orang yang berperan dalam keluarga.
2.1.3 Usaha mengatasi anak putus sekolah
Dalam mengatasi terjadinya anak putus sekolah harus adanya berbagai usaha pencegahan
sejak dini, baik yang dilakukan oleh orang tua, sekolah (pemerintah) maupun oleh masyarakat.
Sehingga anak putus sekolah dapat dibatasi sekecil mungkin. Usaha-usaha untuk mengatasi
terjadinya anak putus sekolah di antaranya dapat ditempuh dengan cara:
1. Membangkitkan kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan anak.
2. Memberikan dorongan dan bantuan kepada anak dalam belajar.

3. Mengadakan pengawasan terhadap belajar anak di rumah serta memberikan motivasi
kepada anak sehingga rajin dalam belajar dan tidak membuat si anak bosan dalam
mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan di sekolah.
4. Tidak membiarkan anak bekerja mencari uang dalam masa belajar.
5. Tidak memanjakan anak dengan memberikan uang jajan yang terlalu banyak.
Pendidikan merupakan hak yang sangat fundamental bagi anak. Hak wajib dipenuhi

dengan kerjasama paling tidak dari orang tua siswa, lembaga pendidikan, dan pemerintah.
Pendidikan akan mampu terealisasi jika semua komponen yaitu orang tua, lembaga masyarakat,
pendidikan dan pemerintah bersedia menunjang jalannya pendidikan. Dampak negatif, akibat
yang disebabkan dari putusnya anak sekolah adalah kenakalan remaja, tawuran, kebut-kebutan
dijalan raya, minum-minuman dan perkelahian, akibat lainnya juga adalah perasaan minder dan
rendah diri.
2.2 Pendidikan Seumur Hidup
2.2.1

Pengertian Pendidikan Seumur Hidup

Pendidikan Seumur Hidup “Life-Long Education” (bukan “long life education”) adalah
makna yang seharusnya benar-benar terkonsepsikan secara jelas serta komprehensif dan
dibuktikan dalam pengertian, dalam sikap, perilaku dan dalam penerapan terutama bagi para
pendidik di negeri kita. Menurut Carl Rogers, pendidikan bukanlah proses pembentukan
(process of being shaped) tetapi sesuatu proses menjadi (process of becoming) yaitu proses
menjadi manusia yang berpribadi dan berkarakter.
Pendidikan seumur hidup merupakan sebuah sistem pendidikan yang menerangkan
keseluruhan peristiwa-peristiwa kegiatan belajar mengajar yang berlangsung dalam keseluruhan
kehidupan manusia. Azas pendidikan seumur hidup itu merumuskan suatu azas bahwa proses

pendidikan merupakan suatu proses kontinue, yang bemula sejak seseorang dilahirkan hingga
meninggal dunia dan tidak terbatas oleh waktu seperti pendidikan formal. Proses belajar seumur
hidup tidak hanya dilakukan seorang yang terpelajar, tetapi semua lapisan masyarakat bisa
melaksanakanya. Proses pendidikan ini mencakup bentuk-bentuk belajar secara informal, non
formal maupun formal baik yang berlansung dalam keluarga, disekolah, dalam pekerjaan, dan
dalam kehidupan masyarakat.

Life Long education cenderung melihat pendidikan sebagai kegiatan kehidupan dalam
masyarakat untuk mencapai perwujudan manusia secara penuh yang berjalan terus menerus
seolah-olah tidak ada batasannya sampai meninggal. Pendidikan seumur hidup ini bersifat
holistik, sedangkan pengajaran bersifat spesialistik, terutama pengajaran yang terpilih dan
terinferensikan dalam berbagai bentuk kelembagaan belajar. Holistik memiliki arti lebih
mengarah kepada pengutuhan atau penyempurnaan. Karena manusia selalu berusaha untuk
mencapai titik kesempurnaan dalam segala hal.
Life Long Education cenderung melihat pendidikan sebagai kegiatan kehidupan dalam
masyarakat untuk mencapai perwujudan manusia secara penuh yang berjalan terus menerus
seolah-olah tidak ada batasannya sampai meninggal. Melalui pendidikan ada ranah dalam diri
manusia yang akan dikembangakan pada anak didik yaitu lingkup afeksi (rasa/perasaan dan
kemauan), lingkup kognisi yaitu cipta otak (pikiran), dan lingkup psikomotor yaitu keterampilan.
Pendidikan dapat dipandang suatu kegiatan kehidupan sebagai bimbingan dan latihan. Secara

konseptual, pendidikan adalah suatu fasilitator yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat,
oleh masyarakat dan untuk masyarakat”.
1. Pendidikan dari masyarakat, maksudnya pendidikan hanya terjadi dalam masyarakat
karena pendidikan hanya berjalan dalam proses interaksi dengan orang lain. Hanya
dengan pendidikan manusia dapat mempertahankan kehidupannya dan pengembangan
yang telah dicapai.
2. Pendidikan oleh masyarakat, maksudnya masyarakatlah yang melakukan kegiatan
pendidikan atau belajar adalah anak itu sendiri karena anak itu sendirilah yang sadar akan
diri dan lingkungannya sehingga anak tersebut akan berusaha untuk mengembangkan
dirinya sendiri untuk mencapai aktualisasi diri.
3. Pendidikan untuk masyarakat, maksudnya bahwa kegiatan pendidikan itu untuk
pencapaian perkembangan secara maksimal akan potensi yang dimiliki.
Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap
program pendidikan. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi peluang
dan kebebasan untuk mendesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa
yang diperlukan secara spesifik.
Life Long Education memerlukan adanya perpaduan antara pendidikan keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Ini berarti pendidikan menjadi sebuah realita yang terjadi dimana-

mana dan sangat mempunyai arti penting bagi perkembangan hidup manusia. Karena dengan

pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari berbagai macam pendidikan itu sangat
penting bagi peningkatan kualitas hidup manusia, mensejahterakan dan memfungsikan hidup
manusia itu sendiri.
2.2.2

Landasan Pendidikan Seumur Hidup

Dasar-Dasar Pendidikan Seumur Hidup:
1.

Menurut GBHN 1978 dinyatakan bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup dan
dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat sehingga
pendidikan seumur hidup merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah.

2.

Secara yuridis formal konsepsi pendidikan seumur hidup dituangkan dalam Tap MPR No.
IV/MPR/1973 jo Tap MPR No. IV/MPR/1978 tentang GBHN, dengan prinsip-prinsip
pembangunan nasional :
a. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia

seutuhnya dan pembangunan seluruh rakyat Indonesia (arah pembangunan jangka panjang).
b. Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam keluarga, sekolah dan
masyarakat.
c. Konsepsi manusia Indonesia seutuhnya merupakan konsepsi dasar tujuan pendidikan
nasional (UU Nomor 2 tahun 1989 Pasal 4) yakni pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu luhur, memiliki
pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
2.2.3

Tujuan pendidikan seumur hidup

1. Mengembangkan potensi kepribadian manusia sesuai dengan kodrat dan hakikatnya,
yakni seluruh aspek pembaurannya seoptimal mungkin.
2. Dengan mengingat proses pertumbuhan dan perkembangan kepribadian manusia bersifat
hidup dinamis, maka pendidikan wajar berlangsung seumur hidup.
Belajar baru berhasil bila kita mampu membuat Habits/ kebiasaan baru. Hal yang kita
lakukan sehari-hari yang meningkatkan kualitas hidup kita. Tentunya akan sia–sia belajar tinggitinggi, susah-susah, kalau tidak ada perubahan dalam tingkah laku kita, akal budi kita,

kepribadian kita, sifat-sifat kita, dan kebiasaan kita sehari-hari. Dan hal yang paling harus kita
perhatikan adalah perubahan Habits ini. Karena ia adalah identitas diri yang sebenarnya. Kita
boleh bilang apa saja, mengklaim apa saja tentang diri kita. Tapi kita yang sebenarnya, the real
me, adalah kebiasaan atau habits kita itu. Itu hal yang kita lakukan, sadar atau tidak.
Belajar berarti memfungsikan hidup, orang yang tidak belajar berarti telah kehilangan
hidupnya, paling tidak telah kehilangan hidupnya sebagai manusia. Karena hidup manusia itu
bukan hanya individu dalam dirinya saja tapi juga interaksi dengan sesamanya, dengan antar
generasi dan kehidupan secara universal. Dalam belajar terdapat interaksi antara tantangan
(challenge) dari alam luar diri manusia dan balasan (response) dari daya dalam diri manusia.
Dalam belajar juga terjadi interaksi komunikasi antara manusia dan berlangsungnya
kesinambungan antar generasi serta belajar melestarikan hidup, mengamankan hidup dan
menghindari pengrusakan hidup. Belajar berarti menghargai hidup kita.
Belajar merupakan tugas semua manusia, tua-muda, besar-kecil, kaya-miskin semua
mempunyai tugas tersebut. Kita belajar mengetahui apapun yang ada di dunia ini untuk
kemajuan individu atau universal. Belajar memberi, belajar menerima, belajar bersabar, belajar
menghargai, belajar menghormati dan belajar semua hal.
2.2.4

Pelaksanaan Pendidikan Seumur Hidup

2.2.5

Implikasi Pendidikan Seumur Hidup

Implikasi disini diartikan sebagai akibat langsung atau konsekuensi dari suatu keputusan.
Maksudnya adalah sesuatu yang merupakan tindak lanjut atau follow up suatu kebijakkan atau
keputusan tentang pelaksanaan pendidikan seumur hidup. Implikasi konsep pendidikan seumur
hidup pada program- program pendidikan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ananda W. P.
Guruge dalam bukunya Toward Better Educational Management, dapat dikelompokkan dala
kategori berikut:
1. Pendidikan Baca Tulis Fungsional
Realisasi baca tulis fungsional, minimal memuat dua hal, yaitu:
a) Memberikan kecakapan membaca, menulis, menghitung (3M) yang fungsional bagi
anak didik.
b) Menyediakan bahan-bahan bacaan yang yang diperlukan untuk mengembangkan
lebih lanjut kecakapan telah dimilikinya.
2. Pendidikan Vokasional

Pendidikan vokasional adalah sebagai program pendidikan diluar sekolah bagi anak
diluar batas usia sekolah, ataupun sebagai pendidikan formal dan non formal, sebab itu program
pendidikan yang bersifat remedial agar para lulusan sekolah tersebut menjadi tenaga yang
produktif menjadi sangat penting
3. Pendidikan Profesional
Sebagai realisasi pendidikan seumur hidup,dalam kiat-kiat profesi telah tercipta Built in
Mechanism yang memungkinkan golongan profesional terus mengikuti berbagai kemajuan dan
perubahan menyangkut metodologi, perlengkapan, terminologi dan sikap profesionalnya. Sebab
bagaimanapun apa yang berlaku bagi pekerja dan buruh, berlaku pula bagi professional, bahkan
tantangan buat mereka lebih besar.
4. Pendidikan ke Arah Perubahan dan Pembangunan
Diakui bahwa diera globalisasi dan informasi yang ditandai dengan pesatnya
perkembangan IPTEK, telah mempengaruhi berbagai dimensi kehidupan masyarakat, dengan
cara masak yang serba menggunakan mekanik, sampai dengan cara menerobos angkasa luar.
Kenyataan ini tentu saja konsekuensinya menurut pendidikan yang berlangsung secara kontinue
(lifelong education). Pendidikan bagi anggota masyarakat dari berbagai golongan usia agar
mereka mampu mengikuti perubahan sosial dan pembangunan juga merupakan konsekuensi
penting dari azas pendidikan seumur hidup.
5. Pendidikan Kewarganegaraan dan Kedewasaan Politik
Disamping tuntutan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dalam kondisi
sekarang dimana pola pikir masyarakat. Yang semakin maju dan kritis, baik rakyat biasa,
maupun pemimpin pemerintahan di Negara yang demokratis, diperlukan pendidikan
kewarganegaraan dan kedewasaan politik bagi setiap warga Negara. Pendidikan seumur hidup
yang bersifat kontinue dalam koteks ini merupakan konsekuensinya.
6. Pendidikan Kultural dan Pengisian Waktu Senggang
Bagaimanapun bagi orang-orang terpelajar diharapkan mampu memahami dan
menghargai nilai-nilai agama, sejarah, kesusastraan, filsafat hidup, seni, dan musik bangsanya
sendiri. Pengetahuan tersebut dapat memperkaya hidupnya, terutama segi pengalaman yang
mengingingkannya untuk mengisi waktu senggangnya dengan menyenangkan. Oleh karena itu,
pendidikan cultural dan pengisian waktu senggang secara konstruktif akan merupakan bagian
penting dari long life education.

Sementara itu implikasi konsep life long education ini pada sasaran pendidikan juga,
diklasifikasikan dalam enam kategori yang meliputi:
1) Para buruh dan petani
2) Golongan remaja yang terganggu pendidikan sekolahnya
3) Para pekerja yang berketerampilan
4) Golongan teknisi dan professional
5) Para pemimpin dalam masyarakat
6) Golongan masyarakat yang sudah tua
Hal yang dikemukakan di atas hanyalah sebagian kecil dari implikasi konsep pendidikan
seumur hidup pada program-program dan sasaran pendidikan, sebab bagaimanapun dalam
kondisi sekarang adanya kebutuhan dan tekanan baru justru lebih kompleks. Gelombang
perubahan politik, social, dan ilmu pengetahuan merambah hamper semua aspek kehidupan
masyarakat. Pendidikan seumur hidup menekankan kerja sama antara keluarga dan sekolah
dalam menciptakan pengalaman hidup menerima individualitas kebudayaan keluarga dan
menempatkannya sebagai salah satu agen pendidikan dalam masyarakat.
Begitu juga berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penerapan cara berpikir menurut
asas pendidikan seumur hidup itu akan mengubah pandangan kita tentang status dan fungsi
sekolah, di mana tugas utama pendidikan sekolah adalah mengajar anak didik tentang cara
belajar, peranan guru terutama adalah sebagai motivator, stimulator dan petunjuk jalan anak
didik dalam hal belajar, sekolah dalam pusat kegiatan belajar (learning cenntre) bagi masyarakat
sekitarnya. Dengan demikian, dalam pandangan mengenai pendidikan seumur hidup, semua
orang secara potensial merupakan anak didik.
2.2.6

Pendidikan Seumur Hidup Dalam Berbagai Perspektif

Dasar-dasar pemikiran long life education:
1.

Tinjauan ideologis
Setiap manusia hidup mempunyai hak asasi yang sama dalam hal pengembangan diri,

untuk mendapatkan pendidikan seumur hidup untuk peningkatan pengetahuan dan ketrampilan
hidup.
2.

Tinjauan ekonomis
Pendidikan seumur hidup dalam tinjauan ekonomi memungkinkan seseorang untuk:

a)

Meningkatkan produktivitasnya

b) Memelihara dan mengembangkan sumber-sumber yang dimilikinya
c)

Memungkinkan hidup dalam lingkunganyang sehat dan menyenangkan

d) Memiliki motivasi dalam mengasuh dan mendidik anak secara tepat
3.

Tinjauan sosiologis
Pendidikan seumur hidup yang dilakukan oleh orangtua merupakan solusi untuk

memecahkan masalah pendidikan. Dengan orang tua bersekolah maka anak-anak mereka juga
bersekolah.
4.

Tinjauan Filosofis
Pendidikan seumur hidup secara filosofi akan memberikan dasar bagi kehidupan

berbangsa dan bernegara.
5.

Tinjauan Teknologis
Semakin maju jaman semakin berkembang pula ilmu pengetahuan dan teknologinya.

Dengan teknologi maka pendidikan seumur hidup akan semakin mudah. Begitu pula sebaliknya.
6.

Tinjauan Psikologis dan Paedagogis
Pendidikan pada dasarnya dipandang sebagai pelayanan untuk membantu pengembangan

personal sepanjang hidup yang disebut development. Konseptualisasi pendidikan seumur hidup
merupakan alat untuk mengembangkan individu-individu yang akan belajar seumur hidup agar
lebih bernilai bagi masyarakat.
2.2.7

Beberapa Kepentingan Pendidikan Seumur Hidup

Perlunya pendidikan seumur hidup dalam beberapa hal:
1. Pertimbangan ekonomi
Menurut pandangan tokoh pendidikan seumur hidup, pembentukan sistem pendidikan
berfungsi sebagai basic untuk memperoleh ketrampilan ekonomis berharga dan
menguntungkan. Tidak berarti mereka menekankan bahwa pendidikan seumur hidup
akan dapat meningkatkan produktivitas pekerja dan akan meningkatkan keuntungan, tapi
hal terpenting adalah untuk meningkatkan kualitas hidup, memperbesar pemenuhan diri,
melepaskan dari kebodohan, kemiskinan, dan eksplorasi.
2. Keadilan
Keadilan dalam memperoleh pendidikan seumur hidup diusahakan oleh pemerintah.

Dalam konteks keadilan pendidikan seumur hidup pada prinsipnya bertujuan untuk
mengeliminasi pesanan sekolah sebagai alat untuk melestaikan ketidakadilan.
3. Faktor peranan keluarga
Coleman dalam “Review of Educational Research mengemukakan keluarga berfungsi
sebagai sentral sumber pendidikan pada waktu silam. Pendidikan seumur hidup dapat
memperlengkapi kerangka organisasi yang memungkinkan pendidikan mengambil alih
tugas yang dulunya ditangani keluarga. Dalam masalah ini harus diperhatikan bahwa
penekanan peranan pendidikn seumur hidup sebagai pembantu keluarga, berarti akan
memperluas sistem pendidikan agar dapat menjangkau anak-anak awal dan orang
dewasa.
4. Faktor perubahan peranan sosial
Pendidikan seumur hidup harus berisi elemen penting yang kuat dan memainkan peranan
sosial yang amat beragam untuk mempermudah individu melakukan penyesuaian
terhadap perubahan hubungan antara mereka/orang lain.
5. Perubahan teknologi
Pertumbuhan teknologi menyebabkan peningkatan penyediaan informasi yang berakibat
pada meningkatnya usia harapan hidup dan menurunnya angka kematian. Semakin
banyaknya tersedia kekayaan materi yang berakibat kenudiaan dan materialisme
menjiwai nilai-nilai budaya dan spiritual serta berakibat pula kerenggangan dan
keterasingan manusia satu dengan lainnya.
6. Faktor vocational
Pendidikan vocational diberikan untuk mempersiapkan tenaga kejuruan yang handal,
trampil untuk menghadapi tantangan masa depan.
7. Kebutuhan-kebutuhan orang dewasa
Orang dewasa mengalami efek cepatnya perubahan dalam bidang ketrampilan yang
mereka miliki, maka diupayakan sistem pendidikan yang mampu mendidik orang
dewasa. Secara radikal perubahan pandangan mengenai kapan seseorang harus
disekolahkan dan sekolah apa yang dalam hal ini memerlukan politik pendidikan seumur
hidup.
8. Kebutuhan anak-anak awal

Para ahli mengakui bahwa masa anak-anak awal merupakan fase perkembangan yang
mempunyai karakteristik tersendiri bukan semata-mata masa penantian untuk memasuki
periode anak-anak, remaja dan dewasa. Masa anak-anak awal merupakan basis untuk
perkembangan kejiwaan selanjutnya meksipun dalam tingkat tertentu pengalamanpengalaman yang datang belakangan dapat memodifikasi perkembangan yang
pondasinya sudah diletakkan oleh pengalaman sebelumnya.
2.2.8

Strategi Pendidikan Seumur Hidup

Adapun strategi dalam rangka pendidikan seumur hidup sebagaimana diinventarisir Prof.
Sulaiman Joesoef, meliputi hal-hal berikut :
1. Konsep-konsep Kunci Pendidikan Seumur Hidup
1)

Konsep pendidikan seumur hidup itu sendiri. Sebagaimana suatu konsep, maka
pendidikan seumur hidup diartikan sebagai tujuan atau ide formal untuk
pengorganisasian dan penstrukturan pengalaman-pengalaman pendidikan.

2)

Konsep belajar seumur hidup. Dalam pendidikan seumur hidup berarti pelajar
belajar karena respons terhadap keinginan yang didasari untuk belajar dan anganangan pendidikan menyediakan kondisi-kondisi yang membantu belajar.

3)

Konsep Belajar Seumur Hidup. Belajar seumur hidup dimaksudkan adalah orangorang yang sadar tentang diri mereka sebagai pelajar seumur hidup, melihat belajar
baru sebagai cara yang logis untuk mengatasi peroblema dan terdorong tinggi sekali
untuk belajar di seluruh tingkat usia, dan menerima tantangan dan perubahan seumur
hiudp sebagai pemberi kesempatan untuk belajar baru.

4)

Kurikulum yang membantu pendidikan seumur hidup. Dalam konteks ini,
kurikulum didesain atas dasar prinsip pendidikan seumur hidup betul-betul telah
menghasilkan pelajar seumur hidup yang secara berurutan melaksanakan belajar
seumur hidup.

5)

Arah Pendidikan Seumur Hidup
a. Pendidikan seumur hidup kepada orang dewasa
Sebagai generasi penerus, para pemuda ataupun dewasa membutuhkan
pendidikan seumur hidup dalam rangka pemenuhan sifat “Self Interest” yang

merupakan tuntunan hidup sepanjang masa. Diantaranya adalah kebutuhan akan
baca tulis bagi mereka pada umumnya dan latihan keterampilan bagi pekerja.
b. Pendidikan seumur hidup bagi anak
Pendidikan seumur hidup bagi anak, merupakan sisi lain yang perlu memperoleh
perhatian dan pemenuhan oleh karena anak akan menjadi “tempat awal” bagi
orang dewasa artinya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Pengetahuan
dan kemampuan anak, memberi peluang besar bagi pembangunan pada masa
dewasa. Dan pada gilirannya masa dewasanya menanggung beban hidup yang
lebih ringan.

2.3 Program Wajib Belajar 9 Tahun
2.3.1 Latar Belakang Pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun
Program Wajib Belajar pada hakikatnya merupakan upaya sistematis pemerintah untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia, sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam keseluruhan
pembangunan nasional serta adaptif dalam penyerapan informasi ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK), yang muaranya adalah mendekatkan pada pencapaian tujuan pembangunan
nasional, yakni masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain
itu, Program Wajib Belajar juga merupakan salah satu pengembangan skenario pendidikan yang
dijangkaukan untuk perluasan dan pemerataan kesempatan belajar bagi setiap warga negara.
Kebijakan tersebut merupakan salah satu pengejawantahan isi pasal 31 UUD 1945 ayat 1 yang
menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun diharapkan mampu mengantarkan
manusia Indonesia pada pemilikan kompetensi Pendidikan Dasar, sebagai kompetensi minimal.
Kompetensi Pendidikan Dasar yang dimaksudkan, mengacu pada kompetensi yang termuat
dalam Pasal 13 UU No. 2/1989 yaitu kemampuan atau pengetahuan dan ketrampilan dasar yang
diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi
(pendidikan menengah). Hal ini juga relevan dengan unsur-unsur kompetensi pendidikan dasar
yang harus dikuasai lulusan seperti yang diidentifikasi oleh The International Development
Research Center, meliputi: kemampuan berkomunikasi, kemampuan dasar berhitung,
pengetahuan dasar tentang negara, budaya, dan sejarah, pengetahuan dan ketrampilan dasar

dalam bidang kesehatan, gizi, mengurus rumah tangga, dan memperbaiki kondisi kerja, dan
kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat sebagai individu dan sebagai anggota
masyarakat, memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara, bersikap dan berpikir
kritis, serta dapat memanfaatkan perpustakaan, buku-buku bacaan, dan siaran radio. Program
wajib belajar 9 tahun yang didasari konsep “pendidikan dasar untuk semua” (universal basic
education), juga sejalan dengan Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia, tentang Hak Anak,
dan tentang Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak.
Wajib belajar 9 tahun juga bertujuan merangsang aspirasi pendidikan orangtua dan anak
yang pada gilirannva diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kerja penduduk secara
nasional. Untuk itu, target penyelenggaraan wajib belajar 9 tahun bukan semata-mata untuk
mencapai target angka partisipasi sesuai dengan target yang ditentukan namun perhatian yang
sama ditujukan juga untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar dan pelaksanaan pendidikan
yang mangkus (efektif).
Pelaksanaan dan ketuntasan program wajib belajar juga mampu mengurangi angka
kemiskinan. Melalui pendidik ini pula, bangsa Indonesia mampu mencapai cita-citanya, yaitu
menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. “Pendidikan adalah kekuatan”, maka
Bangsa Indonesia akan segera terbebas dari kebodohan dan kemiskinan serta menjadi bangsa
yang unggul pada kompetisi global.
Lebih lanjut, wajib belajar merupakan fondasi bagi pengembangan .jenjang pendidikan
lebih lanjut dan kemajuan peradaban bangsa khususnya dalam menghadapi tantangan dan
perkembangan zaman dan kompetisi tingkat global. Pendidikan dasar juga mampu mewujudkan
masyarakat yang cerdas, dan ekonomi yang mapan sehingga negara menjadi maju.
Di sisi lain, pelaksanaan program wajib 9 tahun secara umum bertujuan untuk:
1. Memberikan kesempatan setiap warga negara tingkat minimal SD dan SMP atau yang
sederajat.
2. Setiap warga negara dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut yang akhirnya mampu
memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki.
3. Setiap warga negara mampu berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa
dan bernegara.
4. Memberikan jalan kepada siswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih
tinggi.

Berdasarkan alasan-alasan yang melatarbelakangi dicanangkan program-program
pendidikan wajib belajar 9 tahun sebagaimana yang dikemukakan di atas, memberikan gambaran
bahwa untuk mencapai peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang dapat memberi nilai
tambah pada diri individu (masyarakat) itu sendiri mengenai penguasaan ilmu engetahuan,
keterampilan, yang dapat mengantar kepertumbuhan ekonomi, peningkatan produktivitas kerja,
martabat, dan kesejahteraan hidupnya, hanya dapat dicapai lewat penuntasan pelaksanaan
pendidikan untuk semua.
2.3.2

Strategi Pelaksanaan Wajib Belajar

Strategi pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun di Indonesia, saat ini, dilaksanakan dengan
menerapkan beberapa pendekatan, meliputi: pendekatan budaya, pendekatan sosial, pendekatan
agama, pendekatan birokrasi, pendekatan hukum, serta pendekatan konteks.
a. Pendekatan Budaya
Sosialisasi wajib belajar dilakukan dengan memanfaatkan budaya yang berkembang di
daerah tersebut; misalnya daerah yang masyarakatnya senang dengan seni, maka pesan-pesan
wajib belajar dapat disisipkan pada gelar seni. Masyarakat yang sangat menghormati adat, maka
tokoh adat dilibatkan dalam pemikiran dan pelaksanaan sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun
yang bermutu. Sanksi adat biasanya lebih disegani daripada sanksi hukum.
b. Pendekatan Sosial
Sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang bermutu perlu memperhatikan kondisi
sosial ekonomi masyarakat. Bila dalam masyarakat ada tokoh yang disegani dan bisa menjadi
panutan, maka tokoh ini perlu dilibatkan dalam sosialisasi. Tokoh masyarakat ini bisa berasal
dari tokoh formal, maupun tokoh non formal. Pada masyarakat ekonomi lemah, sosialisasi
dilakukan dengan memberikan informasi tentang pelayanan pemerintah untuk pendidikan,
misalnya BOS ataupun beasiswa. Bila anak sibuk membantu kerja orangtua, anak tidak harus
berhenti bekerja, tetapi disampaikan jenis pendidikan alternatif yang bisa diikuti oleh anak yang
bersangkutan, misalnya SMP Terbuka atau program Paket B.
c. Pendekatan Agama
Pada daerah tertentu ada yang masyarakatnya sangat agamis dan sangat mentaati ayatayat suci. Untuk daerah seperti ini peran para tokoh agama sangat sesuai. Dengan mengutip ayatayat suci, maka konsep wajib belajar lebih mudah diikuti. Untuk ini motto “belajar adalah

ibadah” yang didasarkan atas kajian yang sangat mendalam oleh para tokoh agama dapat
diangkat menjadi motto dalam sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang bermutu.
d. Pendekatan Birokrasi
Pendekatan birokrasi ialah upaya memanfaatkan sistem pemerintahan, baik di tingkat
pusat maupun daerah. Pembentukan tim koordinasi di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota,
dan kecamatan merupakan salah satu bentuk pendekatan birokrasi. Birokrasi ditempuh karena
dengan pendekatan ini lebih mudah diperoleh berbagai faktor penunjang baik tenaga, sarana,
maupun dana. Namun demikian pendekatan ini akan lebih berhasil bila digabung dengan
pendekatan yang lain.
e. Pendekatan Hukum
Pendekatan hukum ialah pendekatan yang hanya digunakan untuk daerah yang
masyarakatnya memiliki kesadaran terhadap pendidikan sangat rendah dan tingkat resistensinya
tinggi. Program Wajib Belajar Sembilan Tahun sampai saat ini masih memberlakukan konsep
“universal basic education” dan belum menerapkan konsep “compulsary education”. Artinya,
program wajib belajar baru sebatas himbauan tanpa diikuti sanksi hukum. Namun jika
diperlukan, UU Nomor 20 tahun 2003, memberi kemungkinan kepada pemerintah untuk
menerapkan konsep “compulsary education”, sehingga berkonsekuensi adanya sanksi hukum
bagi yang tidak mau melaksanakan tanggung jawabnya terhadap program wajib belajar, baik
pemerintah, pemerintah daerah, orangtua, maupun peserta didik.
Untuk mempercepat akselerasi penuntasan wajib belajar, pada tahun 2006 pemerintah
menerbitkan Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan
Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
Inpres ini menginstruksikan kepada para Menteri terkait, Kepala BPS, Gubernur, Bupati dan
Walikota untuk memberikan dukungan dan mensukseskan program pemerintah yang dimaksud.
2.3.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Program Wajib Belajar 9
Tahun
Kalau kita telaah terhadap pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun sejak
digulirkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan program ini diantaranya adalah:
a.

Faktor Sosial Budaya

Sebuah program yang berkaitan dengan kebijakan publik akan berjalan dengan baik dan
efektif diperlukan sosialisasi berupa pengertian yang baik dan tepat kepada masyarakat tentang
pentingnya program ini di jalankan, agar mendapat dukungan sepenuhnya dari seluruh elemen
masyarakat. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program wajar 9 tahun jika
ditinjau dari sudut sosial budaya adalah sebagai berikut:
1) Faktor orang tua.
Pendidikan orang tua akan sangat mempengaruhi pola untuk mendidik anak. Sebab hal
ini akan berubungan dengan persepsi orang tua terhadap sekolah itu sendiri yang
dihubungkan dengan pengalaman invidu dalam mengamati sekolah dan kaitanya dengan
kejadian sehari-hari di lingkunganya. Pada sebagian masyarakat kecakapan baca tulis
sebagaimana kecakapan lulusan SD pada umumnya digunakan untuk mengubah standar
hidup. Gambaran kehidupan semacam ini dapat membentuk opini sebagian masyarakat
untuk kurang mengahargai sekolah dan lulusanya. Dalam kondisi seperti ini beberapa
kemungkinan bisa terjadi, seperti tidak menyekolahkan anaknya, memperhentikan
anaknya sebelum tamat, atau tidak mau tahu tentang bangunan atau keberadaan sekolah
dilingkunganya.
2) Faktor Tradisi Masyarakat.
Tradisi dan kebiasaan masyarakat seringkali menghalangi partisipasi anak untuk ke
sekolah. Dari beberapa daerah masih ada tradisi anak untuk ikut bepergian jauh bersama
orang tuanya, misalnya mengunjungi familinya, orang tua tidak merasakan rugi miskipun
mengajak anaknya untuk meninggalkan sekolah dalam jangka waktu yang lama.
Tradisi yang lain adalah masih banyaknya orang di dalam kehidupan bermasyarakat yang
beranggapan mendidik anak perempuan kurang menguntungkan, sehingga orang tua
enggan untuk menyekolahkan anak perempuan. Karena pada akhirnya perempuan akan
menjadi Ibu rumah tangga yang hanya mengurusi pekerjaan-pekerjaan yang dianggap
tidak memerlukan sekolah tinggi. Tradisi lain di masyarakat adalah tentang menikahkan
anak perempuan di usia belia. Sebab jika mempunyai anak gadis yang dianggap cukup
umur tetapi belum menikah dianggap perempuan yang tidak laku, hal itu menjadi beban
dan aib dalam keluarga.
b.

Faktor Agama

Pemahaman terhadap ajaran agama yang keliru juga dapat mempengaruhi keberhasilan
terhadap program wajar 9 tahun padahal partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan untuk
mensuksekan program ini. Khususnya pemeluk agama Islam yang sebagian besar pemeluk di
Indonesia. Ada pemahaman yang salah yang berkembang dimasyarakat, yaitu pendidikan Agama
lebih penting dari pada pendidikan umum. Contoh kasuistis yang terjadi di Malang Jawa Timur.
Anak-anak tidak tamat SD karena dikehendaki orang tuanya untuk belajar di pesantren. Setelah
dikirim ke pesantren anak tersebut tidak kerasan dan pulang kekampungnya, sementara sekolah
tidak menerima lagi, sekolah juga kurang lentur untuk memberi kemudahan sementara orang tua
kurang informasi yang cukup tentang sekolah.
c.

Faktor Ekonomi
Kemiskinan biasanya akan mempengaruhi aspek-aspek lain termasuk pendidikan. Kita

tidak bisa menutup mata bahwa angka kemiskinan masih menduduki prosentasi tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin (penduduk dengan
pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2010
mencapai 31,02 juta (13,33%), turun 1,51 juta dibandingkan dengan penduduk miskin pada
Maret 2009 yang sebesar 32,53 juta (14,15%). Selama periode Maret 2009-Maret 2010,
penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta (dari 11,91 juta pada Maret 2009
menjadi 11,10 juta pada Maret 2010), sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang
(dari 20,62 juta pada Maret 2009 menjadi 19,93 juta pada Maret 2010). Angka kemiskinan
tersebut berbanding lurus dengan angka usia putus sekolah.
d.

Faktor Politik
Kebijakan wajib belajar 9 tahun khususnya dan Pendidikan Nasional pada umumnya

tidak disertai dengan kemauan politik yang kuat dari pemerintah. Hal ini ditandai dengan
sulitnya pemenuhan anggaran dibidang pendidikan. Seperti pada era pemerintahan orde baru,
titik tekan pembangunan adalah pada bidang ekonomi yang diwujudkan dalam pelita I sampai
IV. Selanjutnya pada era pemerintahan Megawati sampai dengan Susilo Bambang Yudoyono.
Jelas sekali dapat kita lihat betapa beratnya pemerintah untuk memenuhi amanat UU tentang
besarnya biaya pendidikan. Sebagaimana telah ditetap dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003
dimana besarnya anggaran pendidikan selain gaji minimal 20 % dari APBN, tetapi baru tahun
2009 terealisasi, meskipun masih dipertanyakan tentang kejujuran dan transparansi pemerintah

tentang pemenuhan tersebut. Pasalnya masih dicurigai bahwa besarnya anggaran 20% tersebut
tidak secara total dari seluruh APBN.
2.3.4 Kondisi Pencapaian Wajib Belajar 9 Tahun
Indikator yang dipakai pemerintah untuk mengukur ketercapaian Program Wajib Belajar
9 Tahun adalah pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK). APK adalah hasil perhitungan
jumlah siswa SMP/sederajat di suatu daerah dibagi jumlah penduduk usia 13 s.d. 15 tahun dikali
100%. Tingkat ketuntasan daerah dalam melaksanakan program Wajar Dikdas 9 Tahun
dikategorikan:
a. Tuntas pratama, bila APK mencapai 80% s.d. 84%
b. Tuntas madya, bila APK mencapai 85 % s.d. 89%
c. Tuntas utama, bila APK mencapai 90% s.d. 94%
d. Tuntas paripurna, bila APK mencapai minimal 95%
BAB III. PENUTUP