HUKUM INTERNASIONAL dari Konsepsi sampai
HUKUM INTERNASIONAL
(dari Konsepsi sampai Aplikasi)
Salimi Muhammad Baindowi
[email protected]
Nama /Judul Buku : Hukum Internasional (dari
Konsepsi sampai Aplikasi)
Penulis /Pengarang : Dedi Supriyadi, M.ag.
Penerbit
: Pustaka Setia
Tahun Terbit
: 2013
Kota Terbit
: Bandung
Bahasa Buku
: Bahasa Indonesia
Jumlah Halaman
: 360 hlm
ISBN Buku
: 978-979-076-351-7
Buku tulisan Dedi Supriyadi yang berjudul “Hukum Internasioanal (dari
Konsepsi sampai Aplikasi)” mendiskripsikan secara lengkap dan rinci tentang
perkembangan hukum internasianal pada masa modern hingga terminologi dan
sifatnya, sumber hukum internasional, sejarah perkembangan hukum
internasional, persoalan pengakuan dalam hukum internasional, kedaulatan
dan
yuridiksi,
pertanggungjawaban
negara,
penyelesaian
sengketa
internasional, subjek hukum internasional serta hukum internasional tentang
HAM. Penulis memberikan kemudahan bagi para pembaca dengan membagi
kajian buku Hukum Internasinal tersebut secara sistematis menjadi sembilan
Bab (Hal 11). Terkesan memang sangat kompleks, tetapi hal tersebut
dimaksudkan oleh penulis agar memberikan informasi yang lengkap dan
terperinci, sehubungan dengan konsep dan aplikasi dari Hukum Internasional.
Terminologis penggunaan istilah hukum internasional mengalami fase yang
panjang sampai istilah ini digunakan dan disepakati oleh para ahli. Hal ini
menunjukan bahwa kelahiran hukum internasional merupakan ilmu tua yang
sampai saat ini berlaku dan digunakan. Sifat yang dimiliki hukum internasional
yaitu koordinatif atau sederajat, tidak ada yang tinggi dan rendah dalam
hukum internasional. Pada era modernisasi seperti sekarang ini sistem
internasional bersifat horizantal, terdiri atas lebih dari 190 negara merdeka,
semuanya sama menurut teori hukum dan tidak ada yang mmiliki otoritas lebih
tinggi daripada yang lain. Di dalam hukum internasianal tidak ada sanksi,
tetapi ada beberapa keaadaan yang membenarkan dan memperbolehkan
penggunaan
paksaan.
Hukum
internasinal
sendiri
memiliki
peran
mengoordinasi dan memfasilitasi kerja sama antarnegara yang saling
bergantung satu sama lain. Praktik hukum internasional tidak dapat dipisahkan
dari masalah diplomasi, politik, dan sikap, pola atau kebijakan hubungan luar
negeri.
Dengan adanya hukum internasional maka diperluakan dasar atau
sumber hukum internasional, di dalam buku karangan Didi Supriyadi
disebutkan bahwa kebiasaan, perjanjian internasional, prinsip hukum umum,
keputusan-kepytusan lembaga atau prga, keputusan pengadilan dan pendapat
ahli huku internasional merupakan sumber hukum internasional baik secara
formal atau material. Bentuk sumber hukum internasional dipertegas dalam
dalam sumber tertulis yang ada di dalam dua konvensi yaitu konvensi Den
Haag XII, pasal, tanggal 18 oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah
Iternasional Perampasan Kapal di Laut dan Piagam Mahkamah Intrnasional
Permanen, pasal 38 tanggal 16 Desember 1920, yang tercantum dalam Pasal
38 Piagam Mahkamah Internasioanal tanggal 26 juni 1945. Sampai sekarang
pasal tersebut menjadi pedoman dalam bidang hukum intrnasional, terutama
ketika ke pengadilan memutuskan sebuah perkara bahwa hukum positif yang
berlaku bagi Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan.
Dengan begitu statuta hanya berfungsi sebagai dasar atau landasan bagi dan
bekerjanya suatu organisasi internasional. Begitu pula dengan Pasal 38 ayat 1
Statuta Mahkamah Internasional, hanya berlaku bagi mahkamah, terutama
dalam memeriksa dan memutuskan perkara yang diajukan dihadapannya.
Sejarah Hukum internasional dalam buku karya Didi Supriyadi ini
kebanyakan sama dengan buku pengantar hukum internasinal pada umumnya,
akan tetapi jika kita lebih cermat membaca maka ada berbagai kesamaam
dalam pembahasan mengenai sejarah hikum internasional yaitu mengabil
berbagai sumber dari berbagai penulis buku pengantar hukum internasional
yang kebanyakan penulis mencapurkan karya orang lain untuk dijadikan
pelengkap di dalam pembahasan buku karangannya.
Dalam buku ini sejarah hukum internasional dijelaskan mengenai hukum
internasinal dari masa ke masa dimulai dengan titik lahirnya negara-negara
nasinal yang modern biasanya ditentukan saaat ditandatanganinya Perjanjian
Perdamaian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa
(dalam buku T. May Rudi). Dengan adanya Perjanjian Westphalia dianggap
sebagai peristiwa penting dalam sejarah hukum internasional modern, bahkan
dianggap sebagia peristiwa hukum internasional modern yang didasarkan atas
negara-negara nasional. Berbagai fase perkembangan hukum internasional
dimulai pada zaman kuno, dimana hukum internasinal pada lingkungan Yunani
kono maupun Romawi kuno telah dikenal. Selanjutnya pada abad pertengahan
yang sering disebut sebagai abad kegelapan, dimana dalam abad kegelapan
hukum internasianal kurang berkembang karena semua sudah ditundukan di
bawah satu kekuasaan satu hukum, yaitu imperium dan hukum romawi. Fase
terakhir yaitu pada abad 16 sampai abad 20, dalam fase ini hukum sangat di
perjuangkan terutama hukum mengenai hak asasi manusia harus disetarakan
mengenai hak dan kewajiban, tidak luput hukum internasional dalam fase ini
juga sangat berkembang hingga sampai sekarang ini.
Pentingnya peranan lembaga pengakuan internasional dalam hubungan
antar negara sebagaimana diakui oleh semua sarana hukum internasional.
Bahkan, tidak berlebihan apabila dikatakan pemberian atau dalam segi
negatifnya penolakan pemberian pengakuan itu merupakan faktor yang banyak
berpengaruh terhadap perkenbangan sejarah internasional. Penolakan
pengakuan oleh suatu negara ke negara lain akan membawa dampak pada
keadaan dunia terutama dalam bidang politik. Didi Supriyadi menyebutkan
dalam bukunya, pembahasan mengenai lembaga pengakuan internasional
merupakan masalah aktual yang menyangkut berbagai bidang hubungan
antarnegara. Masyarakat internasional merupakan masyarakat yang yang
dinamis, berubah dari waktu ke waktu. Ada negara yang dikuasai negara lain
dan ada pula yang baru lahir. Demikian pula pemerintah lama berguling,
pemerintah baru pun berdiri.
Pemberian pengakuan suatu negara ke negara lain terlebih dahulu harus
ada keyakinan bahwa negara baru tersebut telah memenuhi unsur-unsur
minimum suatu negara menurut hukum internasional dan pemerintah baru
tersebut menguasai dan mamou memimpin wilayahnya. Adapun unsur-unsur
lain dari pemberian pengakuan yaitu pemerintah dalam negara baru harus
mendapatkan kekuasaanya melalui cara-cara yang konstitusional dan negara
tersebut harus mampu bertanggung jawab terhadap negara lain. Dengan
diakuinya suatu negara atau pemetintah baru ada konskuensi yang tibul dari
pengakuan tersebut yaitu konskuensi politis antara lain kedua negara dapat
leluasa mengadakan hubungan diplonatik, sedangkan konskuensi yang kedua
adalah konskuensi yuridis yaitu pengakuan tersebut merupakan pembuktian
atas keadaan yang sebenarnya selain itu pengakuan menimbulkan akibat
hukum tertetu dalam mengembalikan tingkat hubungan diplomatik antara
negara yang mengakui dan yang negara yang diakui, dan yang terakhir
pengakuan memperkukuh status hukum negara yang diakui dimata pengadilan
negara yang mengakui.
Buku hukum internasional dari Konsepsi sampai Aplikasi karangan Didi
Supriyadi ini juga menjelaskan penarikan pengakuan dari negara yang
mengakui dari negara yang diakui, tapi uniknya dalam buku ini tidak serta
merta penarikan dapat dilakuakn karena dalam buku ini ada dua pendapat
mengenai penarikan pengaakuan yaitu yang pertama pengakuan dapat ditarik
kembali jika pengakuan itu diberikan dengan syarat-syarat tertentu dan
ternyata pihak yang diakui terbukti tidak memenuhi persyaratan. Kedua yaitu
penariakn sekalipun diberikan syarat, pengakuan tidak dapat ditarik. Hal ini
karena tidak sepuhnya syarat itu tidak menghilangkan eksistensi pihak yang
telah diakui tersebut.
Secara umum dikatakan bahwa pengakuan harus diberikan dengan
kepastian. Artinya, pihak yang memberi pengakuan harus yakin bahwa pihak
yang diberikan pengakuan itu benar-benar memenuhi kualifikasi sebagai
pribadi internasional atau memiliki kepribadian hukukum um internasional
(international legal personality). Dengan demikian, pengakuan itu berlaku
selama pihak yang diakui tidak kehilangan kualifikasinya sebagai pribadi
hukum menurut hukum internasioanal.
Dalam hukum konstitusi dan iternasional, konsep kedaulatan berkaitan
dengan pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya
dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya, dalam dalam
konteks tertentu, terkait dengan berbagai organisasi atau lembaga yang
memiliki yuridiksi hukum sendiri.Penentuan entitas merupakan suatu entitas
yang berdaulat, bukan sesuatu yang pasti melainkan sering merupakan
masalah sengketa diplomatik.
Didi Supriyadi menjelaskan selama masyarakat internasional masih tetap
berupa mayarakat yang anggotanya terdiri atas negara-negara merdeka dan
berdaulat, bukan mayarakat yang merupakan negara dunia, kedaulatan negara
bukan penghambat perkembangan hukum internasional dan tidak
bertentangan dengan hukum internasional. Pandangan bahwa kedaulatan
bertentangan dengan hukum internasional dan menghambat perkembangan
hukum internasional dapat dibenarkan hanya jika mayarakat internasional itu
telah menjadi masyarakat atau negara dunia dan hukum internasional itu
merupakan hukum dunia.
Penulis menambahkan, kedaulatan yang dimiliki suatu negara, kadangkadang menimbulkan konflik antar negara yang ada. Hal ini banyak terkait
dengan adanya wewenang atau yuridiksi yang dimiliki oleh suatu negara
terhadap individu, benda, dan lain-lain., misalnya seorang warga negara dari
suatu negara melakukan kejahatan di banyak negara. Masalahnya tersebut
dapat berkembang pula di negara lain. Persoalan tersebut dapat masuk dalam
lingkup wewenang atau yuridiksi.
Yuridiksi berkaitan dengan masalah hukum, khususnya kekuasaan atau
kewenangan yang dimiliki badan peradilan atau badan-badan negara lainnya
berdasarkan hukum yang berlaku. Di dalamnya tetcangkup pula batas-batas
atau ruang lingkup kekuasaan atau kewenangan itu untuk membuat,
melaksanakan,
atau
menerapkan
hukum
yang
berlaku
ataupun
melaksanakannya kepada pihak-pihak yang tidak menaatinya. Yuridiksi
merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara. Dengan kata lain
,kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki
yurisdiksi; persamaan derajat negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat
tidak berati bahwa negara-negara tersebut memiliki yurisdiksi terhadap pihak
lain, dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara
lain.
Dalam pembahasan bab enam mengenai pertanggungjawaban negara
dijelaskan bahwa menurut hukum internasional, suatu negara bertanggung
jawab apabila suatu perbuatan atau kelalaian yang dipertautkan padanya
melahirkan pelanggaran terhadap kewajiban internasional, baik yang lahir dari
suatu perjanjian internasional maupun dari sumber hukum internasional
lainnya. Latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum
internasional adalah tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-hak
tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak
negara lain, menyebabkan negera tersebut wajib untuk memperbaiki
pelanggaran hak itu. Dengan kata lain, negara tersebut harus
mempertanggungjawabkannya. Penulis mengutip pendapat profesor Higgins,
yaitu hukum tentang tanggung jawab negara adalah hukum yang mengatur
akuntabilitas (accountability) terhadap pelanggaran hukum internasioanal. Jika
suatu negara melanggar kewajiban internasional, negara tersebut bertanggung
jawab (responsibility) untuk pelangaran yang dilakukannya. Menurutnya kata
accountability mempuyai dua pengertian. Pertama, negara memiliki keinginan
untuk melaksanakan perbuatan dan/atau kemampuan mental (mental
capacity) untuk menyadari hal-hal yang dilakukannya. Kedua, tanggung jawab
(liability) untuk tindakan negara yang melanggar hukum internasional
(international wrongful behaviour) dan tanggung jawab tersebut (liability) harus
dilaksanakan.
Seseorang
yang
bertindak
atas
suatu
negara
juga
dapat
dipertanggungjawabkan secara individual. Dengan demikian, meskipun suatu
negara bertanggung jawab atas suatu perbuatan yng dipersalahkan (a
wrongful act) yang dilakukan oleh para pejabatnya, para pejabatnya itu secara
individual juga dapat dipertanggungjawabkan secara pidana untuk perbuatan
yang sama khususnya jika menyangkut pelanggaran terhadap hukum sengketa
bersenjata (hukum humaniter) dan tindak pidana internasional lainnya.
Penjelasan penulis dalam bab ketujuh diisi oleh penulis menggunakan
beberapa kutipan dari pendapat para pakar luar negeri, akan tetapi penulis
tidak menterjemahkan dari kutipan tersebut yang menurut saya itu bisa
menjaga keasliannya dari mana kutipan berasal tetapi kadang itu bisa
membuat pembaca kesulitan memahami isi dari buku karangan Didi Suryadi
ini. Dalam bab tujuh mengenai penyelesaian sengketa internasional ini
menjelaskan banyak hal mengenai syarat atau putusan Mahkamah
Internasional mengenai sengketa hukum yang dapat dibawa ke Mahkamah
Internasional.
Penulis memberiakan metode penyelesain sengketa dalam piagam PBB
lengkap dengan pengertian dan baik ataupun buruknya dari metode tersebut.
Selain itu penulis juga memberikan beberapa langkah-langkah lebih lanjut
tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh negara negara anggota PBB untuk
menyelesaikan sengketa secara damai diuraikan dalam bab IV (Convention for
the Pasific Settlement of International Disputes).
Selain menyelesaikan sengketa secara damaijuga ada dengan cara
kekerasan. Negara-negra apabila tidak mencapai kesepakatan untuk
menyelesaikan sengketa mereka secara persahabatan m. Negara-negra
apabila tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa mereka
secara persahabatan maka cara pemecahan masalah dapat berupa perang,
retorasi, tindakan-tindakan pembalasan, blokade secara damai hingga
intervensi. Dari semua penyelesaian secara kekerasan tersebut tentunya tidak
ada yang mau menghendakinya.
Selain itu penulis menambahkan selain secara damai dan kekerasan ada
lagi yaitu penyelesain sengketa menggunakan jalur hukum akan tetapi
penyelesaian menggunakan jalur hukum yang berarti adanya pengurangan
kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi
keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak, misalnya memilih hakim, memilih
hukum, memilih hukum acara yang akan digunakan. Akan tetapi, dengan
bersengketa di pengadilan internasional, para pihak akan mendapatkan
putusan yang mengikat setiap pihak yang bersengketa.
Dalam halaman terakhir bab tujuh penulis menambahkan berbagai
contoh sengketa internasional, baik yamg melalui jalur hukum Mahkamah
Internasional maupun penyelesain damai dari kedua belah pihak. Akan tetapi
contoh yang diberikan hanya sebatas negara ASEAN khusunya hanya Indonesia
saja. Seharusnya harus mencantumkan beberapa contoh kasus di seluh dunia
baik melalui jalur hukum Mahakamah Internasional maupun damai bahka
kekerasan.
Berkenaan dengan pembahasan mengenai subjek hukum internasional
penulis menjelaskan bahwa status negara tidak lagi merupakan satu-satunya
subjek hukum internasional, sebagaimana pandangan yang berlaku umum di
kalangan para sarjana hukum internasional pada masa sekitar abad ke-19 dan
awal abad ke-20. Ternyata, sunjek-subjek hukum internasional yang diakui
eksistensinya saat ini, selain negara, juga organisasi internasional,individu, dan
subjek-subjek hukum bukan negara (non state entities) sebagai subjek hukum
internasional secara mandiri dan saling berkaitan satu sama lainnya.
Secara teoritis, dapat dikemukakan bahwa subjek hukum sebenarnya
hanyalah negara. Perjanjian internasonal seperti konvensi plang merah tahun
1949 memberikan hak dan kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban itu diberikan
konvensi secara tidak langsung kepada orang per orang (individu) melalui
negara-(nya) yang menjadi peserta konvensi. Melalui konstruksi demikian,
banyak keadaan atau peristiwa individu menjadi subjek hukum internasional
berdasarkan konvensi dapat dikembalikan pada negara-(nya) yang menjadi
peserta konvensi yang bersangkutan. Contohnya adalah Convention on the
Settlement of Investment Disputes Between States and Nasionals of Others
States dan The European Convention on Human Rights.
Pendapat bahwa perjanjian internasional hanya berlaku dalam wilayah
suatu negara yang menjadi pesertanya setelah diundangkannya undangundang pelaksanaannya (implementing legislation)- yang lazim dikenal dengan
teori transformasi- merupakan perwujudan lain dari teori bahwa hanya negara
yang merupakan subjek hukum internasional, sejalan dengan jalan pikiran
yang kami uraikan di atas.
Pembahasan terakhir dari bab ini adalah mengenai Hukum Internasional
tentang HAM dimana penulis menjabarkan bahwa ham dan demokrasi
merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah
peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi dapat
dimaknakan sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan
mencapai harkat kemanusiaannya sebab hingga saat ini, hanya konsepsi HAM
dan demokrasi yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat
kemanusiaan. Hukum internasional memang telah lama mengatur hak dan
kewajiban individu, tetapi pengaturan masalah HAM dalam hukum
internasional belum lama. Setelah terjadinya perang dunia dua, timbul
kesadaran bahwa penghormatan atas HAM sangat penting untuk menjamin
agar orang dapat hidup sesuai dengan martabat manusianya. Pengalaman
sekitar keadaan dalam perang dunia dua menunjukan bahwa tidak adanya
penghormatan atas HAM memungkinkan timbulnya kediktatoran dan tirani.
Kediktatoran dan tirani dalam tataran hukum internasional dapat menimbulkan
ketegangan dan perang. Maka untuk kepentingan perdamaian diharapkan
semua negara menghormati HAM.
Dalam buku karya Didi Supriyadi ini menjelaskan bahwa pengaturan
HAM dalam tataran internasional sesudah ditetapkannya Deklarasi Universal
tentang HAM berkembang secara regional, khusus untuk bidang kehidupan
tertentu dan secara universal. Pada tahun 1950-an, disepkati perjanjian Eropa
untuk melindungi HAM dan kebebasan fundamental. Perjanjian ini hanya
menetapkan ketentuan umum yang mengikat. Dalam perkembangan
selanjutnya, perjanjian itu dikembangkan dengan ketentuan-ketentuan
tambahan yang ditetapkan dalam bentuk protokol.Kedudukan individu sebagai
subjek hukum internasional, kini semakin mantap dengan bertambahnya
perjanjian internasional yang menetapkan hak dan kewajiban individu tersebut.
Terlepas dari masalah teknis, lay out dari buku perlu diperbaiki agar lebih
menarik. Selain itu dalam rangka pengayaan dan penyempurnaan pada edisi
selanjutnya, mungkin layak dipertimbangkan penambahan ilustrasi contohcontoh penyelesaian sengketa internasioanal dari seluruh dunia tidak hanya
dari indonesia saja. Yang lebih penting buku layak dan penting untuk
mahasiswa untuk dijadikan pedoman awal dalam mata kuliah hukum
internasional karena sangat lengakap pengetahuan umum mengenai hukum
internasional. Yang terakhir dan ini sangat penting, cover dari buku ini perlu
diganti dengan warna yang cerah agar laku di pasaran.
(dari Konsepsi sampai Aplikasi)
Salimi Muhammad Baindowi
[email protected]
Nama /Judul Buku : Hukum Internasional (dari
Konsepsi sampai Aplikasi)
Penulis /Pengarang : Dedi Supriyadi, M.ag.
Penerbit
: Pustaka Setia
Tahun Terbit
: 2013
Kota Terbit
: Bandung
Bahasa Buku
: Bahasa Indonesia
Jumlah Halaman
: 360 hlm
ISBN Buku
: 978-979-076-351-7
Buku tulisan Dedi Supriyadi yang berjudul “Hukum Internasioanal (dari
Konsepsi sampai Aplikasi)” mendiskripsikan secara lengkap dan rinci tentang
perkembangan hukum internasianal pada masa modern hingga terminologi dan
sifatnya, sumber hukum internasional, sejarah perkembangan hukum
internasional, persoalan pengakuan dalam hukum internasional, kedaulatan
dan
yuridiksi,
pertanggungjawaban
negara,
penyelesaian
sengketa
internasional, subjek hukum internasional serta hukum internasional tentang
HAM. Penulis memberikan kemudahan bagi para pembaca dengan membagi
kajian buku Hukum Internasinal tersebut secara sistematis menjadi sembilan
Bab (Hal 11). Terkesan memang sangat kompleks, tetapi hal tersebut
dimaksudkan oleh penulis agar memberikan informasi yang lengkap dan
terperinci, sehubungan dengan konsep dan aplikasi dari Hukum Internasional.
Terminologis penggunaan istilah hukum internasional mengalami fase yang
panjang sampai istilah ini digunakan dan disepakati oleh para ahli. Hal ini
menunjukan bahwa kelahiran hukum internasional merupakan ilmu tua yang
sampai saat ini berlaku dan digunakan. Sifat yang dimiliki hukum internasional
yaitu koordinatif atau sederajat, tidak ada yang tinggi dan rendah dalam
hukum internasional. Pada era modernisasi seperti sekarang ini sistem
internasional bersifat horizantal, terdiri atas lebih dari 190 negara merdeka,
semuanya sama menurut teori hukum dan tidak ada yang mmiliki otoritas lebih
tinggi daripada yang lain. Di dalam hukum internasianal tidak ada sanksi,
tetapi ada beberapa keaadaan yang membenarkan dan memperbolehkan
penggunaan
paksaan.
Hukum
internasinal
sendiri
memiliki
peran
mengoordinasi dan memfasilitasi kerja sama antarnegara yang saling
bergantung satu sama lain. Praktik hukum internasional tidak dapat dipisahkan
dari masalah diplomasi, politik, dan sikap, pola atau kebijakan hubungan luar
negeri.
Dengan adanya hukum internasional maka diperluakan dasar atau
sumber hukum internasional, di dalam buku karangan Didi Supriyadi
disebutkan bahwa kebiasaan, perjanjian internasional, prinsip hukum umum,
keputusan-kepytusan lembaga atau prga, keputusan pengadilan dan pendapat
ahli huku internasional merupakan sumber hukum internasional baik secara
formal atau material. Bentuk sumber hukum internasional dipertegas dalam
dalam sumber tertulis yang ada di dalam dua konvensi yaitu konvensi Den
Haag XII, pasal, tanggal 18 oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah
Iternasional Perampasan Kapal di Laut dan Piagam Mahkamah Intrnasional
Permanen, pasal 38 tanggal 16 Desember 1920, yang tercantum dalam Pasal
38 Piagam Mahkamah Internasioanal tanggal 26 juni 1945. Sampai sekarang
pasal tersebut menjadi pedoman dalam bidang hukum intrnasional, terutama
ketika ke pengadilan memutuskan sebuah perkara bahwa hukum positif yang
berlaku bagi Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan.
Dengan begitu statuta hanya berfungsi sebagai dasar atau landasan bagi dan
bekerjanya suatu organisasi internasional. Begitu pula dengan Pasal 38 ayat 1
Statuta Mahkamah Internasional, hanya berlaku bagi mahkamah, terutama
dalam memeriksa dan memutuskan perkara yang diajukan dihadapannya.
Sejarah Hukum internasional dalam buku karya Didi Supriyadi ini
kebanyakan sama dengan buku pengantar hukum internasinal pada umumnya,
akan tetapi jika kita lebih cermat membaca maka ada berbagai kesamaam
dalam pembahasan mengenai sejarah hikum internasional yaitu mengabil
berbagai sumber dari berbagai penulis buku pengantar hukum internasional
yang kebanyakan penulis mencapurkan karya orang lain untuk dijadikan
pelengkap di dalam pembahasan buku karangannya.
Dalam buku ini sejarah hukum internasional dijelaskan mengenai hukum
internasinal dari masa ke masa dimulai dengan titik lahirnya negara-negara
nasinal yang modern biasanya ditentukan saaat ditandatanganinya Perjanjian
Perdamaian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa
(dalam buku T. May Rudi). Dengan adanya Perjanjian Westphalia dianggap
sebagai peristiwa penting dalam sejarah hukum internasional modern, bahkan
dianggap sebagia peristiwa hukum internasional modern yang didasarkan atas
negara-negara nasional. Berbagai fase perkembangan hukum internasional
dimulai pada zaman kuno, dimana hukum internasinal pada lingkungan Yunani
kono maupun Romawi kuno telah dikenal. Selanjutnya pada abad pertengahan
yang sering disebut sebagai abad kegelapan, dimana dalam abad kegelapan
hukum internasianal kurang berkembang karena semua sudah ditundukan di
bawah satu kekuasaan satu hukum, yaitu imperium dan hukum romawi. Fase
terakhir yaitu pada abad 16 sampai abad 20, dalam fase ini hukum sangat di
perjuangkan terutama hukum mengenai hak asasi manusia harus disetarakan
mengenai hak dan kewajiban, tidak luput hukum internasional dalam fase ini
juga sangat berkembang hingga sampai sekarang ini.
Pentingnya peranan lembaga pengakuan internasional dalam hubungan
antar negara sebagaimana diakui oleh semua sarana hukum internasional.
Bahkan, tidak berlebihan apabila dikatakan pemberian atau dalam segi
negatifnya penolakan pemberian pengakuan itu merupakan faktor yang banyak
berpengaruh terhadap perkenbangan sejarah internasional. Penolakan
pengakuan oleh suatu negara ke negara lain akan membawa dampak pada
keadaan dunia terutama dalam bidang politik. Didi Supriyadi menyebutkan
dalam bukunya, pembahasan mengenai lembaga pengakuan internasional
merupakan masalah aktual yang menyangkut berbagai bidang hubungan
antarnegara. Masyarakat internasional merupakan masyarakat yang yang
dinamis, berubah dari waktu ke waktu. Ada negara yang dikuasai negara lain
dan ada pula yang baru lahir. Demikian pula pemerintah lama berguling,
pemerintah baru pun berdiri.
Pemberian pengakuan suatu negara ke negara lain terlebih dahulu harus
ada keyakinan bahwa negara baru tersebut telah memenuhi unsur-unsur
minimum suatu negara menurut hukum internasional dan pemerintah baru
tersebut menguasai dan mamou memimpin wilayahnya. Adapun unsur-unsur
lain dari pemberian pengakuan yaitu pemerintah dalam negara baru harus
mendapatkan kekuasaanya melalui cara-cara yang konstitusional dan negara
tersebut harus mampu bertanggung jawab terhadap negara lain. Dengan
diakuinya suatu negara atau pemetintah baru ada konskuensi yang tibul dari
pengakuan tersebut yaitu konskuensi politis antara lain kedua negara dapat
leluasa mengadakan hubungan diplonatik, sedangkan konskuensi yang kedua
adalah konskuensi yuridis yaitu pengakuan tersebut merupakan pembuktian
atas keadaan yang sebenarnya selain itu pengakuan menimbulkan akibat
hukum tertetu dalam mengembalikan tingkat hubungan diplomatik antara
negara yang mengakui dan yang negara yang diakui, dan yang terakhir
pengakuan memperkukuh status hukum negara yang diakui dimata pengadilan
negara yang mengakui.
Buku hukum internasional dari Konsepsi sampai Aplikasi karangan Didi
Supriyadi ini juga menjelaskan penarikan pengakuan dari negara yang
mengakui dari negara yang diakui, tapi uniknya dalam buku ini tidak serta
merta penarikan dapat dilakuakn karena dalam buku ini ada dua pendapat
mengenai penarikan pengaakuan yaitu yang pertama pengakuan dapat ditarik
kembali jika pengakuan itu diberikan dengan syarat-syarat tertentu dan
ternyata pihak yang diakui terbukti tidak memenuhi persyaratan. Kedua yaitu
penariakn sekalipun diberikan syarat, pengakuan tidak dapat ditarik. Hal ini
karena tidak sepuhnya syarat itu tidak menghilangkan eksistensi pihak yang
telah diakui tersebut.
Secara umum dikatakan bahwa pengakuan harus diberikan dengan
kepastian. Artinya, pihak yang memberi pengakuan harus yakin bahwa pihak
yang diberikan pengakuan itu benar-benar memenuhi kualifikasi sebagai
pribadi internasional atau memiliki kepribadian hukukum um internasional
(international legal personality). Dengan demikian, pengakuan itu berlaku
selama pihak yang diakui tidak kehilangan kualifikasinya sebagai pribadi
hukum menurut hukum internasioanal.
Dalam hukum konstitusi dan iternasional, konsep kedaulatan berkaitan
dengan pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya
dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya, dalam dalam
konteks tertentu, terkait dengan berbagai organisasi atau lembaga yang
memiliki yuridiksi hukum sendiri.Penentuan entitas merupakan suatu entitas
yang berdaulat, bukan sesuatu yang pasti melainkan sering merupakan
masalah sengketa diplomatik.
Didi Supriyadi menjelaskan selama masyarakat internasional masih tetap
berupa mayarakat yang anggotanya terdiri atas negara-negara merdeka dan
berdaulat, bukan mayarakat yang merupakan negara dunia, kedaulatan negara
bukan penghambat perkembangan hukum internasional dan tidak
bertentangan dengan hukum internasional. Pandangan bahwa kedaulatan
bertentangan dengan hukum internasional dan menghambat perkembangan
hukum internasional dapat dibenarkan hanya jika mayarakat internasional itu
telah menjadi masyarakat atau negara dunia dan hukum internasional itu
merupakan hukum dunia.
Penulis menambahkan, kedaulatan yang dimiliki suatu negara, kadangkadang menimbulkan konflik antar negara yang ada. Hal ini banyak terkait
dengan adanya wewenang atau yuridiksi yang dimiliki oleh suatu negara
terhadap individu, benda, dan lain-lain., misalnya seorang warga negara dari
suatu negara melakukan kejahatan di banyak negara. Masalahnya tersebut
dapat berkembang pula di negara lain. Persoalan tersebut dapat masuk dalam
lingkup wewenang atau yuridiksi.
Yuridiksi berkaitan dengan masalah hukum, khususnya kekuasaan atau
kewenangan yang dimiliki badan peradilan atau badan-badan negara lainnya
berdasarkan hukum yang berlaku. Di dalamnya tetcangkup pula batas-batas
atau ruang lingkup kekuasaan atau kewenangan itu untuk membuat,
melaksanakan,
atau
menerapkan
hukum
yang
berlaku
ataupun
melaksanakannya kepada pihak-pihak yang tidak menaatinya. Yuridiksi
merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara. Dengan kata lain
,kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki
yurisdiksi; persamaan derajat negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat
tidak berati bahwa negara-negara tersebut memiliki yurisdiksi terhadap pihak
lain, dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara
lain.
Dalam pembahasan bab enam mengenai pertanggungjawaban negara
dijelaskan bahwa menurut hukum internasional, suatu negara bertanggung
jawab apabila suatu perbuatan atau kelalaian yang dipertautkan padanya
melahirkan pelanggaran terhadap kewajiban internasional, baik yang lahir dari
suatu perjanjian internasional maupun dari sumber hukum internasional
lainnya. Latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum
internasional adalah tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-hak
tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak
negara lain, menyebabkan negera tersebut wajib untuk memperbaiki
pelanggaran hak itu. Dengan kata lain, negara tersebut harus
mempertanggungjawabkannya. Penulis mengutip pendapat profesor Higgins,
yaitu hukum tentang tanggung jawab negara adalah hukum yang mengatur
akuntabilitas (accountability) terhadap pelanggaran hukum internasioanal. Jika
suatu negara melanggar kewajiban internasional, negara tersebut bertanggung
jawab (responsibility) untuk pelangaran yang dilakukannya. Menurutnya kata
accountability mempuyai dua pengertian. Pertama, negara memiliki keinginan
untuk melaksanakan perbuatan dan/atau kemampuan mental (mental
capacity) untuk menyadari hal-hal yang dilakukannya. Kedua, tanggung jawab
(liability) untuk tindakan negara yang melanggar hukum internasional
(international wrongful behaviour) dan tanggung jawab tersebut (liability) harus
dilaksanakan.
Seseorang
yang
bertindak
atas
suatu
negara
juga
dapat
dipertanggungjawabkan secara individual. Dengan demikian, meskipun suatu
negara bertanggung jawab atas suatu perbuatan yng dipersalahkan (a
wrongful act) yang dilakukan oleh para pejabatnya, para pejabatnya itu secara
individual juga dapat dipertanggungjawabkan secara pidana untuk perbuatan
yang sama khususnya jika menyangkut pelanggaran terhadap hukum sengketa
bersenjata (hukum humaniter) dan tindak pidana internasional lainnya.
Penjelasan penulis dalam bab ketujuh diisi oleh penulis menggunakan
beberapa kutipan dari pendapat para pakar luar negeri, akan tetapi penulis
tidak menterjemahkan dari kutipan tersebut yang menurut saya itu bisa
menjaga keasliannya dari mana kutipan berasal tetapi kadang itu bisa
membuat pembaca kesulitan memahami isi dari buku karangan Didi Suryadi
ini. Dalam bab tujuh mengenai penyelesaian sengketa internasional ini
menjelaskan banyak hal mengenai syarat atau putusan Mahkamah
Internasional mengenai sengketa hukum yang dapat dibawa ke Mahkamah
Internasional.
Penulis memberiakan metode penyelesain sengketa dalam piagam PBB
lengkap dengan pengertian dan baik ataupun buruknya dari metode tersebut.
Selain itu penulis juga memberikan beberapa langkah-langkah lebih lanjut
tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh negara negara anggota PBB untuk
menyelesaikan sengketa secara damai diuraikan dalam bab IV (Convention for
the Pasific Settlement of International Disputes).
Selain menyelesaikan sengketa secara damaijuga ada dengan cara
kekerasan. Negara-negra apabila tidak mencapai kesepakatan untuk
menyelesaikan sengketa mereka secara persahabatan m. Negara-negra
apabila tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa mereka
secara persahabatan maka cara pemecahan masalah dapat berupa perang,
retorasi, tindakan-tindakan pembalasan, blokade secara damai hingga
intervensi. Dari semua penyelesaian secara kekerasan tersebut tentunya tidak
ada yang mau menghendakinya.
Selain itu penulis menambahkan selain secara damai dan kekerasan ada
lagi yaitu penyelesain sengketa menggunakan jalur hukum akan tetapi
penyelesaian menggunakan jalur hukum yang berarti adanya pengurangan
kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi
keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak, misalnya memilih hakim, memilih
hukum, memilih hukum acara yang akan digunakan. Akan tetapi, dengan
bersengketa di pengadilan internasional, para pihak akan mendapatkan
putusan yang mengikat setiap pihak yang bersengketa.
Dalam halaman terakhir bab tujuh penulis menambahkan berbagai
contoh sengketa internasional, baik yamg melalui jalur hukum Mahkamah
Internasional maupun penyelesain damai dari kedua belah pihak. Akan tetapi
contoh yang diberikan hanya sebatas negara ASEAN khusunya hanya Indonesia
saja. Seharusnya harus mencantumkan beberapa contoh kasus di seluh dunia
baik melalui jalur hukum Mahakamah Internasional maupun damai bahka
kekerasan.
Berkenaan dengan pembahasan mengenai subjek hukum internasional
penulis menjelaskan bahwa status negara tidak lagi merupakan satu-satunya
subjek hukum internasional, sebagaimana pandangan yang berlaku umum di
kalangan para sarjana hukum internasional pada masa sekitar abad ke-19 dan
awal abad ke-20. Ternyata, sunjek-subjek hukum internasional yang diakui
eksistensinya saat ini, selain negara, juga organisasi internasional,individu, dan
subjek-subjek hukum bukan negara (non state entities) sebagai subjek hukum
internasional secara mandiri dan saling berkaitan satu sama lainnya.
Secara teoritis, dapat dikemukakan bahwa subjek hukum sebenarnya
hanyalah negara. Perjanjian internasonal seperti konvensi plang merah tahun
1949 memberikan hak dan kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban itu diberikan
konvensi secara tidak langsung kepada orang per orang (individu) melalui
negara-(nya) yang menjadi peserta konvensi. Melalui konstruksi demikian,
banyak keadaan atau peristiwa individu menjadi subjek hukum internasional
berdasarkan konvensi dapat dikembalikan pada negara-(nya) yang menjadi
peserta konvensi yang bersangkutan. Contohnya adalah Convention on the
Settlement of Investment Disputes Between States and Nasionals of Others
States dan The European Convention on Human Rights.
Pendapat bahwa perjanjian internasional hanya berlaku dalam wilayah
suatu negara yang menjadi pesertanya setelah diundangkannya undangundang pelaksanaannya (implementing legislation)- yang lazim dikenal dengan
teori transformasi- merupakan perwujudan lain dari teori bahwa hanya negara
yang merupakan subjek hukum internasional, sejalan dengan jalan pikiran
yang kami uraikan di atas.
Pembahasan terakhir dari bab ini adalah mengenai Hukum Internasional
tentang HAM dimana penulis menjabarkan bahwa ham dan demokrasi
merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah
peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi dapat
dimaknakan sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan
mencapai harkat kemanusiaannya sebab hingga saat ini, hanya konsepsi HAM
dan demokrasi yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat
kemanusiaan. Hukum internasional memang telah lama mengatur hak dan
kewajiban individu, tetapi pengaturan masalah HAM dalam hukum
internasional belum lama. Setelah terjadinya perang dunia dua, timbul
kesadaran bahwa penghormatan atas HAM sangat penting untuk menjamin
agar orang dapat hidup sesuai dengan martabat manusianya. Pengalaman
sekitar keadaan dalam perang dunia dua menunjukan bahwa tidak adanya
penghormatan atas HAM memungkinkan timbulnya kediktatoran dan tirani.
Kediktatoran dan tirani dalam tataran hukum internasional dapat menimbulkan
ketegangan dan perang. Maka untuk kepentingan perdamaian diharapkan
semua negara menghormati HAM.
Dalam buku karya Didi Supriyadi ini menjelaskan bahwa pengaturan
HAM dalam tataran internasional sesudah ditetapkannya Deklarasi Universal
tentang HAM berkembang secara regional, khusus untuk bidang kehidupan
tertentu dan secara universal. Pada tahun 1950-an, disepkati perjanjian Eropa
untuk melindungi HAM dan kebebasan fundamental. Perjanjian ini hanya
menetapkan ketentuan umum yang mengikat. Dalam perkembangan
selanjutnya, perjanjian itu dikembangkan dengan ketentuan-ketentuan
tambahan yang ditetapkan dalam bentuk protokol.Kedudukan individu sebagai
subjek hukum internasional, kini semakin mantap dengan bertambahnya
perjanjian internasional yang menetapkan hak dan kewajiban individu tersebut.
Terlepas dari masalah teknis, lay out dari buku perlu diperbaiki agar lebih
menarik. Selain itu dalam rangka pengayaan dan penyempurnaan pada edisi
selanjutnya, mungkin layak dipertimbangkan penambahan ilustrasi contohcontoh penyelesaian sengketa internasioanal dari seluruh dunia tidak hanya
dari indonesia saja. Yang lebih penting buku layak dan penting untuk
mahasiswa untuk dijadikan pedoman awal dalam mata kuliah hukum
internasional karena sangat lengakap pengetahuan umum mengenai hukum
internasional. Yang terakhir dan ini sangat penting, cover dari buku ini perlu
diganti dengan warna yang cerah agar laku di pasaran.