Hukum Humaniter Internasional Dalam Stud

Review Buku
Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan
Internasional
Bagas Bimo Seto
8111416037
bagas.seto19@students.unnes.ac.id

Judul Buku
Internasional

: Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan

Penulis

: Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman

Penerbit

: Rajawali Pers

Tahun Terbit


: 2013

Kota Penerbit

: Jakarta

Bahasa Buku

: Bahasa Indonesia

Jumlah Halaman : 202
ISBN Buku

: 978-979-769-231-5
PEMBAHASAN

Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional
adalah buah dari prakarsa yang diusung oleh sekelompok dosen HI
(Hubuungan Internasional) yang antusias membahas topik yang menarik,

tetapi berat. Studi permasalahan kemanusiaan selama konflik, dan hal yang
terpenting dari kajian ini adalah pengembangan Hukum Humaniter
Internasional, atau biasa disingkat dengan HHI. Buku ini berisikan kaidahkaidah hukum humaniter internasional yang member aturan serta batasan
yang diterapkan dalam konflik bersenjata lintas negara, bagaimana
memperlakukan tawanan perang, kaidah-kaidah untuk membedakan antara
kombatan dan nonkombatan, objek mana saja yang boleh dijadikan sasaran
tempur, aksi diplomasi dalam konflik bersenjata
dari perlindungannya,
mekanisme penyelesaian konflik, serta peran Palang Merah Internasional
dalam misi kemanusiaannya, khususnya di saat terjadi konflik bersenjata yang
berskala internasional. Buku ini penuh dengan dokumentasi hukum humaniter
internasional ini, memberikan banyak informasi mengenai hak dan kewajiban
bagi pihak yang terkait dalam konflik berskala internasional sehingga layak
menjadi referensi utama bagi mereka yang bergerak dalam bidang hukum,
penegakan HAM, dan terutama para penstudi hubungan internasional.

Dalam cetakan sebelumnya yaitu cetakan ke-2 yang terbit pada tahun
2010, sampul buku Hukum Humaniter Internasional dengan buku cetakan yang
sekarang berbeda, namun bahasan yang termuat antara buku cetakan ke-2
dan ke-4 ini tetap sama. Sangat disayangkan walaupun bahasan yang terdapat

dalam buku ini sama tetapi ada pengurangan halaman sehingga apa yang
dijelaskan dalam buku cetakan sekarang terdapat beberapa bagian yang
disingkat sehingga tidak mendetail.
Bab awal buku ini mengantarkan kita pada definisi serta asal muasal
perang. Dalam sejarah kehidupan politik manusia, peristiwa yang banyak
dicatat adalah perang dan damai. Peristiwa-peristiwa besar yang menjadi
tema-tema utama dalam literatur politik dan juga hubungan internasional
berkisar antara dua macam interaksi tersebut. Ungkapan bahwa peace to be
merely a respite between wars menunjukkan, situasi perang dan damai terus
silih berganti dalam interaksi manusia. Secara definitif perang adalah suatu
kondisi tertinggi dari bentuk konflik antarmanusia. Dalam studi hubungan
Internasional, perang secara tradisional adalah penggunaan kekerasan yang
terorganisir oleh unit-unit politik dalam sistem internasional. Dalam arti luas,
perang menyangkut konsep konsep seperti krisis, ancaman, penggunaan
kekerasan, aksi gerilya, penaklukan, pendudukan bahkan teror. Hukum
humaniter bukan bertujuan melarang perang atau untuk mengadakan undangundang yang menentukan permainan “perang”, tetapi lebih didasari oleh
alasan-alasan kemanusiaan, untuk mengurangi atau membatasi penderitaan
individu-individu serta sampai batas mana wilayah konflik bersenjata
diperbolehkan. Dengan alasan-alasan ini, kandang hukum humaniter juga
disebut sebagai “peraturan perang yang berperikemanusiaan”, di mana konflik

bersenjata atau perang harus memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Perang dianggap sebagai takdir manusia. Gagasan tentang hal ini sudah
muncul sejak lama. Dalam naskah kuno Hindu disebutkan takdir seorang
ksatria adalah untuk berperang. Hal itu tercermin dalam nasihat Krisna kepada
Arjuna ketika Arjuna mogok untuk berperang. “…pusatkan pikiranmu padaku,
serahkan semua perbuatanmu padaku… Engkau akan berperang, sifatmu akan
memaksamu untuk berperang. Karmamu akan membuat engkau akan
berperang meskipun engkau tidak menghendakinya”.
Jika perang sudah menjadi takdir manusia, maka beberapa ilmuwan
mencoba mencari penjelasan logis atas situasi ini yang dihubungkan dengan
sifat-sifat bawaan manusia sejak lahir. Salah satu studi yang dilakukan oleh
pakar psikososial, Sigmund Freud, menyebutkan, sifat menyerang atau sifat
agresif manusia merupakan suatu insting, yaitu dorongan yang muncul dari
dalam diri manusia. Freud menyebut agresi, dalam konteks thanatos, sebagai
dorongan untuk mati. Thanatos ini digunakan Freud untuk menjelaskan
mengapa ribuan orang berbondong-bondong pergi ke medan perang untuk
mendatangi kematiannya antara tahun 1914-1918. Selanjutnya menurut Freud,
semua insting ditujukan untuk mengurangi atau meredakan ketegangan,
perangsangan, dan gairah. Dorongan untuk mati ini dihubungkan dengan
motivasi untuk mencapai keadaan damai dan tenang, semacam Oriental

Heaven atau kehampaan dan hilangnya semua keinginan.
Oleh sebagian pakar HI, perang dalam bentuk apapun dianggap sebagai
kenyataan alamiah. Dalam konflik bersenjata, di mana aturan-aturan diabaikan,

maka jiwa manusia tidak akan ada harganya. Ini yang menjadi cirri khas konflik
abad ke-20. Proliferasi senjata nuklir secara masif adalah bukti tidak ada
perbedaan antara warga sipil dan militer. Sebab, akibat dari nuklir tidak bisa
membedakan keduanya. Namun, di tengah situasi yang demikian, harus ada
upaya-upaya untuk tetap memperhatikan harkat dan martabat manusia.
Hukum humaniter internasional dirancang untuk memenuhi kebutuhan alamiah
akan konflik pada satu sisi, dan tetap memperhatikan aspek kemanusiaan pada
sisi lain. Dalam studi Hubungan Internasional, fenomena perang dan damai
adalah fenomena kontemporer yang terus dipelajari dan diperdebatkan. Dan
akan lebih menarik untuk dipelajari apabila dimasukkan variabel-variabel lain
dalam interaksi tersebut. Variabel perkembangan teknologi, munculnya
ideology, agama, dan peradaban-peradaban baru menjadikan interaksiinteraksi perang dan damai semakin rumit dan menjadi bidang yang
menjanjikan untuk dieksplorasi lebih jauh.
Bab kedua, dan bab-bab berkutnya, mendeskripsikan dan menjeaskan
komponen-komponen utama Hukum Humaniter Internasional. Bab II adalah
tentang pengertian, perkembangan, dan sumber Hukum Humaniter

Internasional. Dalam bab ini, dideskripsikan mengenai rentangan pengertian
dan perkembangan Hukum Humaniter Internasional. Selain itu, dalam bab ini
juga mengulas tentang prinsip-prinsip dari Hukum Humaniter Internasional.
Bab III berisi tentang jenis-jenis sengketa bersenjata dan implikasinya dalam
Hubungan Internasional dan Pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional.
Dalam bab ini, diuraikan tentang masalah konsepsi sengketa bersenjata dalam
skala domestik dan internasional, serta bagaimana pemberlakuan Hukum
Humaniter Internasional dalam berbagai bentuk sengketa bersenjata tersebut.
Dalam bab ini juga dibahas mengenai operasi pasukan PBB dan masalah
terorisme dilhat dari sudut pandang Hukum Humaniter Internasional. Bab IV
adalah tulisan tentang penggunaan kekerasan atau perang sebagai instrument
politik luar negeri suatu negara guna mencapai kepentingan nasional. Dalam
bab ini diuraikan bahwa setiap negara menjalankan kebijakan luar negeri atas
dasar kepentingan nasional. Salah satu sarana untuk mencapai kepentingan
nasional adalah dengan cara perang. Meskipun demikian, perang juga harus
diatur menurut ketentuan-ketentuan dan norma-norma internasonal yang
disepakati. Bab V buku ini membahas tentang diplomasi, aspek, dan aktor
kemanusiaan dalam konflik bersenjata. Dalam bab sebelumnya, diuraikan
mengenai instrument perang dalam politik luar negeri, maka dalam bab ini
dibahas tetang instrument yang lain yaitu diplomasi. Diplomasi dapat

dikatakan sebagai proses politik yang dengannya entitas politik, pada
umumnya negara, mengadakan dan memelihara atau mempertahankan
hubungan-hubungan resmi, langsung maupun tidak langsung, satu sama lain
dalam rangka mengejar tujuan, maksud, dan kepentingan mereka masingmasing, dan kebijakan-kebijakan prosedural atau hakiki dalam lingkungan
internasional. Dalam bab ini dibahas tentang diplomasi berdasarkan fungsi dan
efektivitasnya serta diplomasi kemanusiaan.
Dalam Bab VI berisi tentang aktivitas gerakan dalam sengketa bersenjata
internasional dan non-internasional. Bab ini berisi meteri mengenai ICRC
(International Committee of the Red Cross) dilihat dari sudut pandang
organisasi internasional serta mengenai aspek terjang ICRC dalam situasi
konflik bersenjata. ICRC digolongkan sebagai suatu NGOs yang berskala
internasional dengan tujuan-tujuan terbatas, yaitu dalam misi kemanusiaan.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai promoter dan pengawal Hukum
Humaniter Internasional, ICRC sebagai organisasi yang berperan, baik dalam
situasi sengketa bersenjata internasional maupun non-internasional. Bab VII
membahas tentang penyelesaian damai sengketa internasional dan
mekanisme pelaksanaan penegakan Hukum Humaniter Internasonal pada
tigkat nasional dan internasional. Bab ini membahas tentang konflik pada
gilirannya menuntut penyelesaian secara damai melalui oraganisasi-organisasi

internasional, Mahkamah Internasional, atau lembaga peradilan internasional
seperti ICC. Mekanisme hukum dapat dilakukan melalui forum PBB di mana
yang berperan adalah Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
yang merupakan suatu peradilan tetap, organ hukum utama PBB, yang
bertugas untuk menyelesaikan sengketa antarnegara. Sementara itu, ICC
merupakan mahkamah yang didirikan oleh suatu Keputusan Dewan Keamanan
PBB yang bertindak di bawah Piagam PBB berkenaan dengan pemeliharaan
perdamaian dan keamanan internasional. Bab VIII merupakan bab terakhir
berisi tindakan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan yang paling
penting adalah kasus pelanggaran HAM di Afrika pada masa rezim apartheid
dan bagaimana kasus tersebut bisa diselesaikan pada level nasional. Afrika
Selatan setelah lama hidup dalam kebijakan perbedaan warna kulit (apartheid).
Konflik demi konflik melingkupi sejarah apartheid sehingga banyak orang yang
nasibnya tidak diketahui hingga saat ini. Mereka adalah orang-orang tercinta,
seperti suami, anak, orang tua, ataupun teman yang raib begitu saja. Konflik ini
memunculkan berdirinya TRC (The Truth and Reconciliation Commission) yang
tidak lepas dari scenario bngsa Afrika Selatan yang memutuskan untuk
membentuk pemerintahan baru yang demokratis. TRC bertugas untuk mencari
kebenaran dan melakukan penyelidikan terhadap kejahatan HAM.
Dalam buku ini secara keseluruhan membahas sengketa bersenjata atau

perang, konflik-konflik baik konflik nasional maupun konflik internasional, serta
dijelaskan sedikit mengenai tindakan genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan. Secara lebih terperinci, Hukum Humaniter Interasional juga
menyebutkan beberapa jenis perang yang termasuk dalam dua macam jenis
sengketa bersenjata serta sekaligus menjelaskan perbedaan antara situasi
sengketa bersenjata dengan situasi yang tidak termasuk sengketa bersenjata.
Adapun situasi yang termasuk dalam dua jenis sengketa bersenjata, yaitu
sebagai beriku.
1. Yang termasuk dalam jenis perang atau sengketa bersenjata
internasional adalah :
a. Peristiwa perang antara dua negara atau lebih, termasuk ;
1) Peristiwa perang antara dua negara atau lebih yang diumumkan
2) Peristiwa perang antara dua negara atau lebih yang keadaan
perangnya tidak diakui oleh salah satu antara mereka
b. Peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya dari wilayah suatu
negara, sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan
bersenjata
c. Sengketa bersenjata yang situasinya disamakan dengan situasi
sengketa bersenjata internasional dan sering disebut dengan istilah
perang pembebasan nasional, yaitu sengketa-sengketa bersenjata

yang di dalamnya suku bangsa sedang berperang melawan dominasi
colonial dan pendudukan asing dan melawan sistem pemerintah
rasialis dalam rangka menentukan sendiri nasib mereka sebagaimana

disebut dalam Piagam PBB dan Deklarasi Prinsip-prinsip Hukum
Internasional tentang Hubungan Baik dan Kerjasama antarnegara
sesuai dengan Piagam PBB.
2. Yang termasuk dalam jenis perang yang tidak bersifat internasional
a. Sengketa bersenjata yang bukan antar dua negara
b. Sengketa bersenjata non-internasional, yaitu sengketa bersenjata
yang terjadi dalam wilayah suatu negara antara pasukan bersenjata
negara tersebut dengan pasukan bersenjata pemberontak atau
dengan kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang berada di
bawah komando yang bertanggung jawab, melaksanakan kendali
sedemikian rupa atas sebagian dari wilayahnya sehingga
memungkinkan kelompok tersebut melakukan operasi militer yang
berkelanjutan dan berkesatuan serta menerapkan aturan-aturan
Hukum Humaniter Internasional.
Dalam pembahasan mengenai cara penyelesaian konflik, dibedakan
antara hasil atau penyelesaian masalah dengan prosedur perundingan

diplomatik resmi. Mungkin konflik diselesaikan melalui penaklukan, dan
diplomasi benar-benar dianggap tidak ada, kecuali dalam merancang bentuk
penyerahan atas masalah tersebut diselesaikan melalui berbagai bentuk
kompromi resmi yang diperoleh setelah melakukan berbagai perundingan.
Dengan kata lain, hasil atau penyelesaian berarti setiap bentuk akhir akibat
dari konflik, sedangkan prosedur yakni berbagai bentuk kompromi. Kompromi
merupakan salah saut kemungkinan hasil atau penyelesaian konflik. Lima
bentuk kemungkinan lainnya adalah penolakan atau menghindarkan penarikan
kembali tuntutan atau tindakan, penaklukan dengan kekerasan, penangkalan
yang efektif atau tunduk, penyelesaian melalui pihak ketiga (award), dan
penyelesaian sengketa secara damai. Dalam upaya mencari penyelesaian
secara damai sengketa internasional maupun non-internasional, perbedaan
kedua cara penyelesaian sengketa ini terletak pada tingkat kekuatan mengikat
dari keputusan yang diambil. Keputusan secara politk hanya berbentuk ususlusul yang tidak mengikat negara yang bersengketa. Usul-usul tersebut tetap
mengutamakan kedaulatan negara-negara yang bersengketa dan tidak harus
didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum. Konsiderasi-konsiderasi politik
dan kepentingan-kepentingan lainnya dapat juga menjadi dasar pertimbangan
dalam perumusan yang diambil. Keputusan-keputusan secara hukum
mempunyai sifat mengikat dan membatasi kedaulatan-kedaulatan negaranegara yang bersengketa. Hal ini disebabkan oleh keputusan yang diambil
hanya didasarkan atas prinsip-prinsip hukum internasional. Mekanisme melalui
hukum nasional dilakukan melalui dua cara, yaitu negara wajib membuat
peraturan perundang-undangan yang menetapkan sanksi bagi pelaku
kejahatan perang dan mengadili pelaku kejahatan perang.
Genosida sendiri berarti suatu tindakan yang dilakukan secara sistematis
dengan tujuan untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian bangsa, etnis, ras, atau kelompok, seperti :
a. Membunuh anggota kelompok
b. Menimbulkan penderitaan fisik/mental yang berat terhadap anggota
kelompok

c. Sengaja
menciptakan
kondisi
kehidupan
kelompok
yang
mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik keseluruhannya atau
sebagian
d. Memaksa tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di
dalam suatu kelompok
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari satu kelompok ke
kelompok lainnya.
Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu atau lebih
dari beberapa perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari
serangan yang sistematis dan meluas yang langsung ditujukan terhadap
penduduk sipil, seperti :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.

Pembunuhan
Pembasmian
Pembudakan
Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa
Pengurungan atau pencabutan kemerdakaan fisik secara sewenangwenang dan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional
Penyiksaan
Pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
kehamilan secara paksa, sterilisasi secara paksa atau berbagai
bentuk kekerasan seksual lainnya
Penindasan terhadap suatu kelompok yang dikenal atau terhadap
suatu kelompok politik, ras, bangsa, etnis, kebudayaan, agama,
gender atau jenis kelamin
Penghilangan orang secara paksa
Tindakan pidana rasial (apartheid)
Perbuatan tidak manusiawi lainnya yang serupa yang dengan sengaja
mengakibatkan penderitaan yang berat, luka serius terhadap tubuh,
mental atau kesehatan fisik seseorang.