Mengisi Sejarah melalui Narasi Berkompos

Mengisi Sejarah melalui Narasi Berkomposisi Kontrapuntal
dalam China Men Karya Maxine Hong Kingston*
Lestari Manggong†

ABSTRAK
Dalam sebuah wawancara, Kingston mengindikasikan bahwa China Men merupakan
tekstualisasi simfoni yang terdiri atas komposisi mayor dan minor. Bertolak dari pijakan ini,
makalah ini menyikapi rangkaian narasi dalam novel tersebut seumpama aransemen musik
yang berkomposisi kontrapuntal, yaitu komposisi yang menunjukkan relasi antara satu atau
lebih suara-suara yang secara kontur dan irama berdiri sendiri, namun berketergantungan satu
sama lain hingga akhirnya membentuk suatu harmoni. Dalam kajian sastra, terutama kajian
prosa, konsep ini mirip dengan novel heteroglossia, yang di dalamnya terdapat polifoni yang
terhadirkan karena pada sepanjang plotnya terdapat riuh rendah suara-suara sejumlah
karakter. Sebagai modifikasinya, heteroglossia dalam China Men mengemuka sebagai
fragmen-fragmen narasi periferi yang melingkungi fragmen-fragmen narasi pusat.
Makalah ini menganalisis penyampaian metonimis fragmen-fragmen narasi periferi
tersebut terhadap fragmen pusatnya untuk menunjukkan upaya pengisian sejarah nenek
moyang keluarga Kingston, sebagaimana dikisahkan oleh ayahnya. Sejarahnya perlu diisi,
mengingat kisah-kisah yang disampaikan oleh ayah Kingston tidak utuh. Fragmen narasi
periferi yang dihadirkan merupakan alusi dari dongeng, sejarah imigran Cina di Amerika,
legenda Cina, hingga kisah faktual di koran. Mengingat isu utamanya adalah masalah yang

dialami imigran Cina di Amerika, maka gejala yang dihadirkan sangat khas gejala yang
dialami subjek yang selalu berada dalam proses berintegrasi dan berasimilasi dengan kondisi
dan wilayah yang tidak pernah sepenuhnya dapat dianggap sebagai rumah. Karena itulah
pendekatan kajian poskolonial digunakan untuk menganalisis masalahnya. Di ujung esai,
argumentasi utama yang diantar adalah bahwa struktur dan narasi novelnya merangkaikan
pemberian makna terhadap sejarah yang dicoba dibangun oleh Kingston.
Kata kunci: komposisi kontrapuntal, narasi periferi, narasi pusat, metonimia, mengisi sejarah,
imigran Cina di Amerika, kajian poskolonial.

*

Makalah ini dipresentasikan di Diskusi Sastra Interdisipliner pada 26-27 september 2013 di Universitas gadjah
Mada, Yogyakarta.
Ώ
Dosen pada Jurusan Sastra Inggris Universitas Padjadjaran.

Dalam sebuah wawancara, Kingston menyatakan bahwa ia menginginkan novel
China Men seumpama komposisi musik: „I heard China Men as a symphony. Quite often as I
was working on it I heard major and minor movements of the symphony which were very


clear to me and then I translated it into sound and words‟ (Bowers, 2004: 172). Tekstualisasi
dari pergerakan mayor dan minor tersebut membentuk naratif mayor dan minor dalam
novelnya. Tekstualisasi semacam ini mengingatkan pada pola narasi berkomposisi
“kontrapuntal,” istilah yang lazim dipakai dalam komposisi musik, terutama musik klasik
yang digunakan Said dalam Culture and Imperialism (1994).1 Secara umum, “kontrapuntal”
mengarah pada arti menunjukkan counterpoint, atau elemen yang bersifat kontras. Dalam
musik klasik, komposisi kontrapuntal berarti komposisi yang menunjukkan relasi antara satu
atau lebih suara-suara yang secara kontur dan irama berdiri sendiri, namun berketergantungan
satu sama lain hingga akhirnya membentuk suatu harmoni. Salah satu inti argumentasi Said
adalah bahwa pembacaan kontrapuntal memungkinkan sebuah pembacaan atas teks-teks
untuk memandang penting hal-hal yang tampaknya tidak penting. Dengan kata lain, dalam
konteks kepaduan banyak suara dalam sebuah orkestra, suara-suara latar yang terdapat di
dalamnya berkontribusi penting sebagai unsur pembangun harmonisasi komposisi musiknya.
Pada komposisi kontrapuntal terdapat satu tema atau subyek utama yang dihadirkan di
awal komposisi dan selanjutnya diimitasi, dimodifikasi, dan dimunculkan berulang-ulang
pada bagian-bagian berikutnya. Dalam kajian sastra, terutama kajian prosa, pada novel yang
heteroglossia, polifoni yang terdapat di dalamnya terhadirkan karena pada sepanjang plotnya
terdapat riuh rendah suara-suara sejumlah karakter. Polifoni yang saling bersahutan tersebut,
sama halnya seperti analogi musik klasik di atas, pada akhirnya menciptakan suatu harmoni.
Sebagai modifikasinya, heteroglossia dalam China Men mengemuka sebagai fragmenfragmen narasi periferi yang melingkungi fragmen-fragmen narasi pusat.2 Terkait dengan ini,

maka makalah ini menganalisis penyampaian metonimis fragmen-fragmen narasi periferi
tersebut terhadap fragmen pusatnya untuk menunjukkan upaya pengisian sejarah nenek
moyang keluarga Kingston, sebagaimana dikisahkan oleh ayahnya.
Sejarahnya dalam hal ini perlu diisi, mengingat kisah-kisah yang disampaikan oleh
ayah Kingston tidak utuh. Fragmen narasi periferi yang dihadirkan merupakan alusi dari
dongeng, sejarah imigran Cina di Amerika, legenda Cina, hingga kisah faktual di koran.
Mengingat isu utamanya adalah masalah yang dialami imigran Cina di Amerika, maka gejala
yang dihadirkan sangat khas gejala yang dialami subjek yang selalu berada dalam proses
berintegrasi dan berasimilasi dengan kondisi dan wilayah yang tidak pernah sepenuhnya
dapat dianggap sebagai rumah. Karena itulah pendekatan kajian poskolonial digunakan untuk

menganalisis masalahnya. Di ujung makalah, argumentasi utama yang diantar adalah bahwa
struktur dan narasi novelnya merangkaikan pemberian makna terhadap sejarah yang dicoba
dibangun oleh Kingston.
Dalam China Men, jalinan naratif mayor dan minornya berfungsi sebagai serangkaian
trope dengan berbagai sumber rujukan yang berkontribusi dalam produksi sejarah keluarga
Kingston. Serangkaian trope tersebut dihadirkan melalui enam naratif utama dan dua-belas
naratif pendukung yang menyusun plot novelnya. Di halaman Daftar Isi novelnya, secara
visual, pembedaan enam naratif utama dan dua-belas naratif pendukung tersebut dapat
terlihat sebagai berikut:


Pada halaman ini tampak bahwa naratif utama dituliskan menggunakan huruf kapital.
Penjelasan berikut ini akan menunjukkan bahwa naratif utamanya dalam hal ini berfungsi
sebagai kepanjangan dari vinyet metonimik yang dihadirkan dalam dua-belas naratif
pendukung.
Rujukan dalam enam naratif utama berasal dari biografi saudara laki-laki Kingston,
dan juga ayah, kakek, dan kakek buyut Kingston. Sementara alusi dalam dua-belas naratif
pendukungnya berasal dari novel fantasi, dongeng, dan pusi Cina, legenda masyarakat
Hawaii, dan juga peristiwa faktual dari artikel berita di koran. Sebelum naratif utama pertama
(bertajuk THE FATHER FROM CHINA) dimulai, novel diawali dengan dua naratif
pendukung (bertajuk ‟On Discovery‟ and „On Fathers‟). Dua naratif pendukung tersebut
merupakan vinyet metonimik yang rujukannya adalah novel fantasi Cina abad ke-19 dan
memori Kingston ketika kecil. „On Discovery‟ merupakan versi modifikasi dari dongeng

tentang Tang Ao, tokoh dalam novel fantasi Cina berjudul Flowers in the Mirror . Dalam
versi aslinya, Tang Ao dikisahkan berkelana ke sejumlah negeri—salah satu di antaranya
adalah Negeri Wanita—dalam misi pencarian takdirnya. Dalam versi cerita Kingston, Tang
Ao dikisahkan menemukan Negeri Wanita dan dijadikan tahanan di sana. Ia didandani serupa
perempuan, dibebat kakinya, dan diperbudak oleh para wanita di negeri itu. Pada paragraf
akhir naratifnya, diindikasikan pendeskripsian tentang sebuah tempat utopis („no taxes and no

wars‟), dan diduga lokasi tempat ini adalah di Amerika Utara. Vinyet berikutnya, „On
Father,‟ menyajikan ilustrasi singkat ketika Kingston dan saudara-saudaranya berlari
menghampiri seorang laki-laki yang dikira ayah mereka. Menyadari kekeliruan tersebut, dan
begitu melihat ayah mereka yang sesungguhnya berjalan ke arah mereka, mereka serta merta
berlari menghampiri ayah mereka.
Tautan kedua naratif tersebut adalah tema pergi ke sebuah tempat atau tujuan—dalam
hal ini Tang Ao pergi ke Gold Mountain, dan Kingston beserta saudara-saudaranya berlari ke
pelukan ayah mereka. Namun tempat atau tujuan tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi
mereka. Atau, dengan kata lain, diindikasikan bahwa mereka pergi ke tempat dan tujuan yang
salah. Terkait dengan fakta bahwa China Men adalah kisah para imigran Cina di Amerika
(dan juga Hawaii), maka dapat disimpulkan bahwa kedua naratif tersebut merupakan atribut
gagasan imigrasi yang gagal.3 Berlandaskan simpulan ini, maka pembaca dihadirkan
gambaran tentang isu utama yang dipermasalahkan dalam rangkaian kisah biografis ini:
Apakah negeri harapan yang akhirnya mereka hampiri benar merupakan negeri yang
memberi harapan?
Awal naratif THE FATHER FROM CHINA dikisahkan menggunakan sudut padang
orang pertama tunggal, yang ditujukan kepada ayah Kingston. Dengan ayah yang disebut
sebagai „you,‟ maka ada indikasi bahwa Kingston mengkonfrontasi ayahnya, atau imigran
Cina pada umumnya, untuk menuntut kisah masa lalu mereka sebagai orang Cina:
You say with the few words and the silences: No stories. No past. No China. You only

look and talk Chinese. There are no photographs of you in Chinese clothes nor
against Chinese landscapes. Did you cut your pigtail to show your support for the
Republic? Or have you always been American? Do you mean to give us a chance at
being real Americans by forgetting the Chinese past? (Kingston, 1989: 14)

Jelas di sini bahwa Kingston mempertanyakan dan mencoba merasionalisasi siapa atau
apakah sebenarnya ayahnya, mengingat tidak ada bukti-bukti kuat yang menunjukkan latar
belakang Cina ayahnya. Berdasarkan pengamatan Kingston, ada kemungkinan bahwa
ayahnya mengkompromikan keadaannya sebagai orang Cina agar dapat diterima di Amerika
dengan cara mentransformasi dirinya menjadu bukan orang Cina dengan cara memangkas

ekor rambutnya yang panjang.4 Namun karena tidak ada bukti yang menguatkan premis
tersebut, maka ada kemungkinan bahwa ayahnya pada dasarnya adalah orang Amerika, yang
secara otomatis artinya adalah Kingston juga pada dasarnya adalah orang Amerika.
Problematisasi tentang apakah ayah Kingston Cina atau Amerika dalam hal ini penting
karena pada titik narasi ini, bagi Kingston, tercerabutnya akar Cina dari diri ayahnya
meyulitkan Kingston untuk menentukan apakah ia keturunan Cina atau bukan. Tampaknya
ini penting bagi Kingston karena ketidakjelasan tersebut menyebabkan Kingston sulit
menelusuri identitas Cinanya. Dengan kata lain, tidak ada titik untuk memulai karena tidak
ada akar yang dapat ditelusuri.

Dalam sebuah wawancara, Kingston menyebutkan bahwa „[t]rying to figure out
someone else‟s ethnicity or someone else‟s identity is a feat of empathy and imagination‟
(Jannette: 146). Terkait dengan hal ini, dapat dikatakan bahwa Kingston menyalurkan empati
dan imajinasinya dalam mencari tahu identitas ayahnya yang tercerabut dari akarnya. Berada
dalam kondisi tanpa landasan, Kingston sedapat mungkin memberdayakan memori,
pengalaman, dan pengetahuannya tentang Cina untuk mencoba mencari jawaban atas
identitas dirinya. Hal ini dilakukan dengan cara mengisi kekosongan dalam minimnya kisahkisah ayahnya tentang negeri dan budaya asalnya, melalui penghadiran kisah-kisah
modifikasi versi Kingston.
I take after MaMa. We have peasant minds. We see a stranger‟s tic and ascribe
motives. I‟ll tell you what I suppose from your silences and few words, and you can
tell me that I‟m mistaken. You‟ll just have to speak up with the real stories if I‟ve got
you wrong. (Kingston: 15)

Minimnya pengetahuan yang diperoleh Kingston tentang ayahnya menyebabkan Kingston
mencampuradukkan memori tentang ayahnya dengan kisah tentang ayahnya yang
didengarnya dari berbagai narasumber. Contohnya, Kingston mencoba menduga karakter
ayahnya dengan cara menyejajarkan shio ayahnya (Kelinci) dengan shio Buddha; „My father
was born in a year of the Rabbit, 1891 or 1903 or 1915. The first year of the Republic was
1911. In one of his incarnations, one of the Buddhas was a rabbit; he jumped alive into a fire


to feed the hungry‟ (Kingston: 15).
Di masa dewasanya ayah Kingston mengayomi masyarakat yang haus akan
pengetahuan dengan menjadi guru di desanya. Konon sejak ia lahir, ia telah diramalkan akan
menjadi orang terpelajar. Ramalan ini membuatnya menjalani hidup sesuai dengan jalan
takdirnya; selalu menyempatkan waktu bagi murid-muridnya agar mereka dapat memperoleh
sebagian pengetahuan dan kemahiran yang dimilikinya. Namun kemudian diketahui bahwa

murid-muridnya bukan haus akan pengetahun dan kemahiran, namun mereka haus akan
kemampuan memperoleh uang. Di masa itu, cara yang strategis adalah dengan pergi ke Gold
Mountain. Lambat laun, gagasan untuk pergi ke Gold Mountain pada akhirnya merobohkan
idealisme ayah Kingston.
Grading papers night after night, BaBa became susceptible to the stories men told,
which were not fabulations like the fairy tales and ghost stories told by women. The
Gold Mountain Sojourners were talking about plausible events less than a century
old. (Kingston: 41)

Maka pergilah ia ke Amerika, yang digambarkan sebagai „a peaceful country, a free country.
America. The Gold Mountain. The beautiful Nation‟ (Kingston: 42). Harapan yang

ditawarkan oleh Amerika memicu perubahan dalam jalan hidup ayah Kingston. Ia

bertransformasi menjadi individu yang berbeda, menanggalkan latar belakang pendidikannya
demi mencari sekerat mimpi Amerika. Pada titik narasi ini, Kingston menarasikan dua versi
perjalanan ayahnya ke Amerika. Versi pertama adalah perjalanan ayahnya ke Amerika secara
ilegal: „I think this is the journey you don‟t tell me:‟ (Kingston: 49). Maka mulailah Kingston
mengisi kekosongan sejarah perjalanan ayahnya ke Amerika. Versi kedua adalah perjalanan
secara legal: „Of course, my father could not have come that way. He came a legal way,
something like this:‟ (Kingston: 53). Dari sini jelas bahwa Kingston membuat sejarah tentang
ayahnya. Ia tidak membuatnya kembali karena tidak ada kreasi yang dapat dikreasikan
kembali. Dengan kata lain, Kingston menciptakan sejarah tentang ayahnya.
Fase berikutnya dalam rangkaian naratif novel dimulai dengan naratif pendukung
ketiga („The Ghostmate‟) yang menarasikan kisah tentang seorang pria yang sedang
berkelana menelusuri jalan-jalan pegunungan dan terjebak dalam badai. Ia berhasil
memperoleh tempat berlindung di sebuah rumah milik seorang wanita cantik. Selama ia
menginap di tempat itu, wanita tersebut merawatnya; memberinya makanan terenak,
memberikannya pakaian terbagus, dan memberinya ruang untuk dapat melakukan
pekerjaannya. Ada kalanya pria tersebut ingat akan istrinya di rumah, namun tiap kali ia ingat
tentang rumah, selalu yang muncul di ingatan adalah kegiatan-kegiatan domestik yang
melelahkan, yang sangat bertolak belakang dengan keleluasaan dan kemewahan yang
diperolehnya di rumah wanita tersebut.
His wife is waiting at home, cooking roots and bark for the children, the adopted

daughter or son, the widower uncle, the old folks with no teeth. She is a brave cooking
wife. She has never had a romantic dinner for two. He‟ll have to ask if she can
manage without sweating so, and he doesn‟t like the calluses on her hands and feet
either (Kingston: 70).

Kalimat terakhir kutipan di atas mengimplikasikan bahwa pria tersebut mendamba seorang
wanita yang tidak beraroma masakan dan berkulit halus. Dengan kata lain, pria tersebut
mendamba seorang wanita yang dapat diperlakukan layaknya kekasih dengan segala kualitas
yang tidak menunjukkan bahwa wanita tersebut melakukan kegiatan domestik. Melalui
perbandingan ini, jelas terlihat bahwa pria tersebut mendamba apa yang tidak dimilikinya.
Dengan kata lain, perbandingan antara istri dan wanita cantik adalah ibarat membandingkan
kenyataan dengan mimpi. Wanita cantik tersebut kemudian menyatakan cintanya kepada
sang pria dan bertanya apakah sang pria juga mencintainya. Kemudian, tiba saat pria tersbut
memutuskan bahwa ia harus pergi. Wanita cantik tersebut membujuknya untuk tinggal, dan
berikut pendeskripsian cara ia membujuk pria tersebut:
She stands, opens her robe, opens it like wings, and wraps him inside, enclosing him
against her naked body, reminding him how unwifely her breasts and thighs are, how
helplessly her body works as his touches it. Unable to remain joined, connected, he
breaks from her, and leaves. (Kingston: 80)


Pencitraan ini memvalidasi apa yang diinginkan pria tersebut yang tidak dimiliki istrinya.
Pada akhirnya, pria muda tersebut kembali ke desanya, dan di sana ia disambut hangat oleh
penduduk desa tersebut. Ia kemudian ingat akan wanita cantik yang dijumpainya di inkarnasi
atau mimpinya. Kawan pria tersebut mengajaknya ke sebuah makam seorang wanita
terpandang di desa itu, yang ternyata adalah lokasi tempat ia terjebak dalam badai. Kisah
tentang pria ini diakhiri dengan pernyataan penutup: „The hero‟s home has its own magic.
Fancy lovers never last‟ (Kingston: 81).
Dapat dikatakan bahwa kisah ini menyajikan gagasan pergi melakukan perjalanan
jauh, menemukan tempat, menikmati masa-masa selama tinggal di tempat itu, tetapi selalu
dihantui oleh ingatan akan rumahnya. Ketika ia kembali ke tempat asalnya, pria tersebut
disadarkan bahwa rumah adalah tempat segala realita terjadi. Rumah adalah tempat segala
cobaan dapat diatasi. Layaknya dua naratif pendukung sebelumnya, bagian ini mengatribusi
gagasan: Bahkan di tempat yang berribukilometer jauhnya, ada saatnya sang pengelana ingin
kembali pulang. Gagasan ini membingkai aspek tematis kisah tentang buyut Kingston, Bak
Goong, di potongan naratif berikutnya.
THE GREAT GRANDFATHER OF THE SANDALWOOD MOUNTAINS adalah
kisah tentang pergi dari dan pulang ke Cina. Kisah Bak Goong didahului oleh keinginan
Kingston untuk pergi ke Cina dan berinteraksi dengan orang-orang di sana („I‟d like to go to
China‟ dan ‟I want to talk to Cantonese‟ [Kingston: 87]). Yang terjadi kemudian adalah

Kingston menyediakan justifikasi tentang apa yang membuat para imigran Cina pergi ke
negeri seberang.
China has a long round coastline, and the northern people enclosed Peiping, only one
hundred miles from the sea, with walls and made roads westward across the loess.
The Gulf of Chihli has arms, and beyond, Korea, and beyond that, Japan. So the
ocean and hunger and some other urge made Cantonese people explorers and
Americans (Kingston: 91).

Melalui kutipan ini dihadirkan gagasan bahwa bukan hanya Gold Rush yang membuat orang
Cina meninggalkan tanah kelahirannya. Tampak di sini bahwa kondisi geografis wilayah
Cina adalah salah satu penyebab mereka pergi dari sana, hingga akhirnya bertransformasi
menjadi individu yang berbeda di tempat baru. Kisah Bak Goong merepresentasi kondisi ini.
Kisah tentang Bak Goong dibuka dengan pernyataan berikut: „After three months at
sea, Bak Goong smelled in the wind a sweetness like a goddess visiting. … “It‟s
sandalwood”‟ (Kingston: 96). Bak Goong mengadu nasib ke Hawaii sebagai buruh ladang
bambu. Ia berupaya mengingat segala hal yang disaksikannya di sana untuk diceritakan
kepada istrinya di Cina. Pada saat yang sama, ia juga harus menerima kerasnya beban yang
harus dipikulnya selama menjadi buruh, hingga suatu waktu beban tersebut mengakumulasi
dan menyebabkannya butuh tempat penyaluran. Ia menjadi marah hingga berteriak “You go
out on the road to find adventure,” …“and what do you find but another farm where the
same things happen day after day. Work. Work. Work. Eat. Eat. Eat. Shit and piss. Sleep.

Work. Work” (Kingston: 100). Namun respons yang diperoleh dari mandornya adalah: “Shut
up. Go work. Chinaman, go work. You stay go work. Shut up” (Kingston: 101). Mendapati
peluapan frustasinya tidak tersalurkan, ia kerap berkata pada dirinya sendiri: “Shut up. Shut
up, you” (Kingston: 101). Khawatir dimarahi oleh mandornya lagi, Bak Goong menjadi
mempunyai kebiasaan menutup rapat bibirnya tiap kali ia meluapkan amarah. Satu-satunya
cara yang dapat dipandang efektif adalah dengan melampiaskan amarahnya secara verbal
sambil berpura-pura batuk “Take-that-white-demon. Take-that. Fall-to-the-ground-demon.
Cut-you-into-pieces. Chop-off-your-legs. Die-snake. Chop-you-down-stinky-demon”

(Kingston: 114). Hingga suatu hari para kawan buruhnya menggali sebuah lubang yang
lebar, kemudian di tepi lubang tersebut mereka telungkup dan berteriak: “Hello down there in
China!” …“Hello, Mother.” “Hello, my heart and my liver” … “I want home. Home. Home.
Home. Home” (Kingston: 117). Dengan cara ini, mereka seolah membuat cuping telinga
tempat mereka dapat meneriakkan emosi mereka dan juga tempat mereka berbagi rahasia
dengan ujung yang lain. Setelah ini, Bak Goong berubah menjadi lebih ceria; ia mulai berani
berkata-kata lagi dan juga bernyanyi ketika bekerja. Karena itulah ia menjadi tidak beresiko

diberikan hukuman. Di akhir kisah, Bak Goong memenuhi janji untuk pulang ke istrinya di
Cina.
Setalah kisah tentang Bak Goong, dihadirkan dua naratif pendukung „On Mortality‟
dan „Mortality Again.‟ „On Mortality‟ adalah pengisahan kembali dongeng tentang Tu Tzuchun, seperti diceritakan oleh Li Fu-yen. Penguji Tu, seorang biarawan Buddha aliran Tao,
membuatnya kaya dua kali. Di kali ketiga, biarawan tersebut memberi Tu uang, yang pada
akhirnya dihabiskan untuk menolong kaum yang membutuhkan. Sang biarawan
menyuruhnya untuk membayar kembali uang yang telah diberikannya dengan cara memenuhi
sebuah tugas penting. Ia menyuruh Tu untuk menelan tiga pil putih yang akan membawanya
ke dunia ilusi. Biarawan tersebut memperingatkan Tu untuk tidak berbicara ataupun berteriak
apapun yang terjadi sepanjang perjalanannya di dunia ilusi. Ia mengingatkan Tu tentang
pepatah Cina kuno: „Hide your broken arms in your sleeves.‟ Maka mulailah Tu mengawali
perjalanannya dari satu tingkat ke tingkat yang lain melewati sembilan tingkatan neraka. Di
tiap tingkatan, ia berhasil tidak berbicara dan berteriak, sambil terus menerus mengingatkan
dirinya sendiri bahwa yang dialaminya hanyalah ilusi. Hingga pada akhirnya dia sampai ke
tingkatan yang membuatnya mengalami reinkarnasi menjadi seorang wanita. Ketika ia
memasuki fase dewasa, ia menyadari bahwa ia berreinkarnasi menjadi wanita bisu-tuli
bernama Tu. Ia menikah dengan seorang pria bernama Lu yang pada awalnya tidak
mempermasalahkan kebisuan Tu. Setelah mereka memiliki anak, Lu mulai memperlihatkan
sikap frustasi akan kondisi Tu hingga ia menuduh kebisuannya hanyalah karena ia keras
kepala tidak mau mencoba berbicara. Di puncak kemarahannya, Lu mengangkat anak mereka
dan mengancam akan membenturkan kepala anak mereka ke tembok jika Tu tetap tidak
memperlihatkan bahwa ia dapat berbicara. Tu menutup rapat mulutnya dengan tangan ketika
Lu membenturkan kepala anak mereka ke tembok. Melihat itu, Tu berteriak, dan serta merta
ia kembali ke hadapan pengujinya. Di hadapan Tu, biarawan Buddha tersebut hanya berkata:
“You overcame joy and sorrow, anger, fear, and evil desire, but not love,” (Kingston: 121).
Maka gagallah Tu dalam melampaui ujiannya.
„On Mortality Again‟ adalah versi modifikasi kisah legenda Maui the Trickster, sosok
separuh dewa separuh manusia dari Polinesia. Tindakan terakhir Maui, seperti dikisahkan
dalam novel ini adalah menarik daratan dari dasar laut dan mendatangkan api ke bumi, dan ia
mempunyai misi utama menjadi sosok yang kekal dengan cara mencuri kekekalan tersebut
dari Hina sang Dewa Malam ketika ia tidur. Maui menghimpun seluruh mahluk hidup beserta
elemen-elemen yang menyertainya untuk mengiringinya pergi mencuri kekekalan tersebut
dan menyuruh mereka untuk tetap hening di sepanjang pelaksanaan misinya. Maui menyelam

ke dasar lautan dan menemukan Hina yang sedang tidur. Maui merasuki tubuh Hina melalui
vaginanya, mengambil jantungnya, dan berenang mundur keluar dari tubuh Hina. Namun
dalam perjalanan menuju keluar, seekor burung yang mengekori Maui tertawa melihat kaki
Maui bergoyang-goyang keluar dari vagina Hina. Mendengar suara tawa tersebut, Hina
terbangun, menutup vaginanya, dan Maui pun mati.
Jika kedua kisah tersebut dibandingkan dengan yang dialami Ah Goong, kakek
Kingston dalam naratif utama berikutnya, tampak bahwa yang dialami Ah Goong bertolak
belakang dengan yang dialami Tu dan Maui. Dalam THE GRANDFATHER OF THE
SIERRA NEVADA MOUNTAINS Ah Goong justru dikisahkan mampu bermanuver
menghindari kesialan dan juga kematian. Ia lolos dari maut ketika dinamit yang digunakan
untuk meruntuhkan bukit granit demi membuka jalan untuk terowongan kereta api meledak
di luar rencana, ia tidak sedang berada di lokasi bencana ketika 40.000 buruh Cina diusir
keluar dari gua penambangan, ia beruntung tidak sedang berada di Colorado ketika
masyarakat Denver membumihanguskan seluruh rumah dan tempat usaha para imigran Cina,
dan yang terakhir, ia selamat ketika terjadi insiden Pembantaian di Rock Springs (ketika itu
para penambang kulit putih membunuh 28 atau 50 buruh Cina). Di tahun 1902, ketika satuan
polisi Boston memenjarakan dan menghajar 234 orang Cina, Ah Goong berhasil melarikan
diri ke San Francisco atau mungkin Cina, dan mungkin kembali lagi ke San Francisco. Di
mana akhirnya ia mati, tidak diketahui. Ada dugaan ia juga berhasil selamat dari gempa bumi
dan kebakaran terbesar di San Francisco di tahun 1906. Julukan Fleaman (Manusia Kutu)
yang diberikan keluarganya kepada Ah Goong menjustifikasi kelincahannya bermanuver
menghindari petaka. Pada saat yang sama, di tataran narasi, loncatan dari satu petaka ke
petaka yang lain menjadi penyedia kilasan sejarah nasib imigran Cina di Amerika.
Naratif pendukung berikutnya adalah „The Laws,‟ yang berisi penjabaran sejarah
hukum imigrasi di Amerika yang diberlakukan untuk imigran Cina dari tahun 1868 hingga
1978.5 Naratif pendukung berikutnya adalah „Alaska China Men,‟ yang berisi selayang
pandang tentang kisah imigrasi dan deportasi orang Cina di Alaska dan juga merupakan kisah
tentang Joe Cina.6 Kedua naratif ini mengantar naratif utama berikutnya yaitu THE
MAKING OF MORE AMERICANS yang menggarisbawahi prahara menjadi orang dan
keturunan Cina di Amerika. Dalam naratif ini dihadirkan kisah-kisah tentang kerabat
Kingston yang tinggal di Amerika. Mad Sao, cucu laki-laki dari kakek ketiga memperoleh
kewarganegaraan Amerikanya dengan cara mendaftarkan diri menjadi tentara angkatan darat
Amerika di masa Perang Dunia Kedua. Setelah sekian tahun tidak pulang ke Cina, ibu Mad
Sao mengirim surat, memintanya untuk pulang karena ia sudah semakin tua. Selain itu, di

surat-suratnya ibu Mad Sao kerap meminta dikirimkan uang dan mengeluh ia tidak memiliki
cukup persediaan pangan. Dibombardir oleh surat-surat semacam itu, Mad Sao merasa kesal
hingga berharap ibunya lekas mati, atau ada kalanya juga ia berharap ia dapat memiliki cukup
waktu dan uang untuk membayar cicilan rumahnya, menafkahi anak-anaknya, dan juga
mengirim banyak uang untuk ibunya. Kemudian, tidak lama sebelum sebuah surat yang
mengabarkan kematian ibunya tiba, roh ibunya menghantui Mad Sao di Amerika. Ini
menyebabkan Mad Sao langsung membeli tiket ke Cina untuk mengantar roh ibunya pulang.
Di desa kelahirannya, Mad Sao langsung mendatangi makam ibunya, menumpuk banyak
hadiah di samping makam tersebut, duduk di sisi makam sambil makan serta minum untuk
pertama kalinya sejak ia dihantui roh ibunya di Amerika. Setelah itu, ia kembali ke Amerika
dan kembali menjalani kehidupan normal.
Kerabat berikutnya yang dikisahkan adalah Kau Goong, saudara laki-laki nenek
Kingston. Di Amerika, di sebuah usaha penatu milik keluarga Kingston, Kau Goong bekerja
tanpa upah menyetrika overall dan jeans. Melewati usia 90 tahun, istrinya menulis surat
memintanya untuk kembali ke Cina dan menghabiskan sisa hidupnya di sana. Namun
masalahnya, jika Kau Goong kembali ke Cina, ia harus hidup menderita di bawah rezim
komunis. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak kembali ke Cina. Karena Cina dikuasai rezim
komunis, istri Kau Goong melarikan diri ke Hong Kong. Tidak lama setelah itu, Kau Goong
meninggal. Kisah ini kemudian dirangkai oleh kisah berikutnya tentang Paman Bun yang
juga tinggal di Amerika, dan terobsesi dengan paham komunisme. Berbeda dengan Kau
Goong, Paman Bun akhirnya memutuskan untuk kembali ke Cina. Rangkaian kisah
selanjutnya adalah tentang kunjungan Kingston ke rumah bibi termudanya di San Francisco.
Dari kunjungan tersebut, Kingston mendapati bahwa sekian tahun sebelumnya, I Fu, suami
dari bibi Kingston tersebut pergi ke Amerika beserta dua anaknya. Ia tidak menyukai
kehidupan di Amerika, dan membujuk bibi Kingston untuk kembali ke Hong Kong dan
membuka usaha di sana. Kemudian pada suatu waktu, di Cina, ketika I Fu sedang berjalan
keluar dari bank dengan seluruh tabungan di genggamannya, I Fu ditipu oleh sekumpulan
orang di jalan untuk menyerahkan uangnya. Mendengar kabar buruk tersebut, bibi Kingston
meminta I Fu untuk kembali ke Amerika.
Secara umum, serangkaian naratif tentang kerabat Kingston ini jelas membingkai isu
tentang datang ke dan pergi dari Amerika. Dari serangkaian naratif tersebut diimplikasikan
bahwa ada kalanya Amerika pada akhirnya menjadi tempat mereka untuk kembali. Sementara
Cina pada akhirnya menjadi tempat yang mereka tinggalkan. Tanah asing menjadi tanah air,
tanah air menjadi tanah asing. Mad Sao pada akhirnya menyelesaikan masalahnya dengan

ibunya dan kembali ke Amerika. Kau Goong menolak kembali ke Amerika, dan bersikeras
untuk menetap di Amerika. Paman Bun dibayangi oleh hal tentang Cina, namun ia tetap
tinggal di Amerika. I Fu pergi ke Amerika, kembali ke Cina, dan pada akhirnya kembali ke
Amerika. Arus imigrasi, deportasi, masuk ke dan keluar dari Amerika menciptakan lalu lintas
yang mengaburkan kejelasan di mana sebenarnya tanah asal itu.
Naratif pendukung berikutnya adalah „The Wild Man of the Green Swamp,‟ yang
berkisah tentang kisah nyata seorang imigran Taiwan yang bertahan hidup selama delapan
bulan di daerah rawa di Florida pada tahun 1975. Naratif berikutnya adalah „The Adventures
of Lo Bun Sun,‟ yaitu kisah tentang seorang pelaut yang terdampar di sebuah pulau setelah
kapalnya tenggelam akibat badai. Kisah petualangannya di pulau tersebut mirip dengan kisah
dalam Robinson Crusoe. Dari dua naratif tersebut terlihat bahwa yang dibingkai adalah tema
bertahan hidup. Selanjutnya, dalam THE AMERICAN FATHER, layaknya Crusoe yang
terdampar, kisah tentang perjuangan ayah Kingston untuk dapat bertahan hidup di Amerika
dinarasikan. Ia dikisahkan pernah telah kehilangan seluruh asetnya: penatu di New York serta
rumahnya, tetapi ia dapat kembali bangkit memulai usaha baru.
Dalam naratif pendukung berikutnya („The Li Sao: An Elegy‟) dihadirkan kisah
tentang Ch‟ű Y űan the incurroptible, seorang menteri di Kerajaan Chou yang menyarankan
rajanya untuk tidak berperang melawan bangsa Ch‟in. Namun raja tidak mengindahkan saran
tersebut, sehingga pergilah ia ke medan perang untuk menelan kekalahan. Karena anjurannya,
Ch‟ű Y űan diusir dari wilayah pusat dan terpaksa hidup di wilayah luar sepanjang sisa
hidupnya selama 20 tahun. Sepanjang masa itu, ia mengalami banyak petualangan dan
membacakan puisi di setiap petualangannya. Dari perahu naganya, ia melihat ke bawah ke
arah rumahnya dan semakin menyadari bahwa ia tidak bisa melepaskan diri dari atau kembali
ke tempat tinggalnya. Ia mengakhiri hidupnya dengan cara menceburkan diri ke Sungai
Tsanglang. Setelah ia tenggelam, penduduk di tempat tersebut menyadari kemuliaan Ch‟ű Y
űan dan mereka merasa kehilangan. Mereka mencoba memanggilnya kembali dengan cara
membacakan puisi untuknya dan menebarkan beras ke sungai untuk santapan roh Ch‟ű Y
űan. Kisah ini mengantar naratif utama berikutnya, THE BROTHER IN VIETNAM, tentang
adik laki-laki Kingston bernama Bright Bridge atau disebut juga Severe Bridge, yang juga
berarti Pure Bridge atau Incorruptible Bridge. Bright Bridge bergabung dengan tentara
Amerika Serikat dan ikut berperang di Vietnam. Usai perang, ia kembali ke rumahnya di
Amerika dengan selamat, dan selama perang berlangsung tidak ada satu korbanpun yang
ditembak mati olehnya.

Setelah ini, naratif pendukung berikutnya adalah „The Hundred-year-old Man‟ yang
berkisah tentang memori pengalaman seorang pria berumur 106 tahun di Hawaii sejak tahun
1885. Selanjutnya dirangkai oleh „On Listening,‟ yang merupakan vinyet singkat tentang
narator China Men yang sedang mencoba mengikuti cerita tentang kedatangan tiga orang
Cina ke Manila pada tahun 1603. Tiga orang Cina tersebut diduga telah menemukan jalan ke
Amerika untuk mencari jarum emas.‡ Penduduk di Filipina mencurigai adanya kemungkinan
upaya invasi yang akan dilakukan oleh bangsa Cina. Inilah yang melandasi terjadinya
peristiwa pembantaian tahun 1603 dalam sejarah invasi Cina. Cerita ini dikisahkan dalam
versi yang berbeda oleh salah seorang tamu berkebangsaan Filipina yang dijumpai narator
dalam sebuah perhelatan. Topik cerita ini mendapat tanggapan beragam dari para
pendengarnya, yang kemudian mengarah pada teori bagaimana bangsa Cina memasuki
daratan Amerika. Intinya, naratif ini memperlihatkan bahwa narator novel China Men tidak
mendapat pemahaman utuh tentang kedatangan bangsa Mandarin di Manila di tahun 1603.
Naratif ini juga menunjukkan bahwa cerita yang didengar oleh narator dari tamu asal Filipina
dan tamu-tamu yang lain tidak ada yang berdasar bukti sejarah yang kuat. Pada titik ini,
ketidakjelasan yang ditekankan di sini membungkus gagasan bahwa sejarah sekalipun juga
berpotensi fiktif karena narasumber serta bukti sejarahnya tidak dapat diandalkan. Simpulan
ini mengingatkan kembali pada gagasan yang dipermasalahkan di awal, bahwa sejarah
keluarga Kingston juga tidak memiliki pijakan kuat. Dan melalui novel ini Kingston seolah
menyediakan sebuah pijakan, betapapun berwarnanya pijakan tersebut.

Rujukan:
Borao, José Eugenio. 1998. „The Massacre of 1603: Chinese Perception of the Spaniards in
the Philippines,‟ dalam Itinerario, Volume 23, Number 1 (pp. 22-39).
Bowers, Maggie Ann. 2004. „Maxine Hong Kingston,‟ dalam Writing across Worlds:
Contemporary Writers Talk. Susheila Nasta (Ed.) Routledge: Oxfordshire.
Janette, Michele. 1996. „The Angle We're Joined at‟ dalam Transition, No. 71, Indiana
University Press on behalf of the W.E.B. Du Bois Institute, pp. 142-157.
Kingston, Maxine Hong. 1989. China Men. Vintage International: New York.
Li, David Leiwei. 1998. Imagining the Nation: Asian American Literature and Cultural
Consent. Stanford University Press: Stanford, California.
ΐ

Sejarah mencatat, pada musim semi tahun 1603, tiga orang Mandarin tiba di Manila untuk mengincar
„“mountain of gold” abundant of trees and that bore gold‟ (Borao: 22).

Saussure, Ferdinand de. 1992. „Course in General Linguistics. Part One: General Principles;
dalam Critical Theory since Plato (Revised Edition), Hazard Adams (ed.). Harcourt
Brace Jovanovich College Publishers: Fort Worth.
Slowik, Mary. 1994. When the Ghosts Speak: Oral and Written Narrative Forms in Maxine
Hong Kingston‟s China Men,‟ dalam MELUS, Volume 19, Number 1, Spring.

CV SINGKAT PENULIS
Penulis adalah pengajar pada Jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Padjadjaran, mengajar sejarah dan kesusastraan Inggris dan Amerika dan juga kemahiran
berbahasa Inggris. Penulis memperoleh gelar Master of Arts (M.A.) untuk Kajian Poskolonial
tahun 2002 dari School of English University of Kent at Canterbury, Inggris. Peminatan
utama penulis adalah: kajian poskolonial, kajian feminis, dan kajian naratif. Bulan Juni
hingga Juli 2013 yang lalu, penulis memperoleh kesempatan menjadi peserta program Study
of the U.S. Institutes (SUSI) untuk Kesusastraan Kontemporer Amerika di University of
Louisville, Kentucky, Amerika Serikat, yang dikelola oleh Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat.
1

Di paruh awal bukunya, Said menyuplai pengantar yang menyiratkan persuasinya untuk membaca karya kanon
Eropa abad ke-19 sebagai karya-karya yang bertendensi menyertakan suara latar polifonik yang mengelebatkan
pandangan tentang ekspansi bangsa Eropa pada era itu. Ditambahkannya pula bahwa bagi Eropa abad ke-19,
imperium berfungsi sebagai kehadiran yang dikodifikasi dalam karya fiksi. Contoh yang disediakan Said untuk
menjelaskan premis ini adalah, misalnya, signifikansi referensi tentang Antigua dalam Mansfield Park, Australia
dalam David Copperfield dan perkebunan di West Indies dalam Jane Eyre.
2

Dalam konteks konsep Saussurian, ibarat memberikan makna kepada petanda dari dengan menggunakan
keberadaan penandanya. Dengan kata lain, bingkai atau naratif periferinya memberi makna bagi naratif
pusatnya. Dari Saussure, Course in General Linguistics, Part One, General Principles. (Adams, 1992: 717726).
3
Mary Slowik, „When the Ghosts Speak: Oral and Written Narrative Forms in Maxine Hong Kingston‟s China
Men,‟ dalam MELUS (Volume 19, Number 1, Spring 1994).
4

Ketika ayah Kingston bermigrasi ke Amerika, orang Cina dipandang sebagai komunis, dan ini menyulitkan
orang Cina untuk masuk ke Amerika, negeri yang menawarkan peluang. Peluang adalah hal yang sulit diperoleh
di Cina, dan ini menyebabkan banyak orang Cina memutuskan pergi ke Amerika.
5

Li (1998) menggarisbawahi kebencian legislatif yang rasis ini karena hal tersebut memercikkan gerakan hak
kaum sipil yang memungkinkan kaum inteletual Cina Amerika meraih yang mereka sebut sebagai „acute
awareness of historical injustice.‟
Resonansi tentang gagasan negeri utopia di Amerika Utara yang dikemukakan di „On Discovery‟ juga
terdengar di „Alaska China Men.‟ Alusi kisahnya adalah asal-usul China Joe, orang Cina yang bertualang ke
Alaska, Amerika Utara untuk mencari Gold Mountain. Konon, orang-orang Cina di Alaska dipaksa pergi dari
Juneau kecuali China Joe, seorang pembuat roti, karena ia telah menolong para penambang dari ancaman
kelaparan dengan cara membagikan roti buatannya kepada mereka.

6

Dokumen yang terkait

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA Pengembangan Profesi Guru Sains melalui Penelitian dan Karya Teknologi yang Sesuai dengan Tuntutan Kurikulum 2013

6 77 175

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

Peningkatan kualitas pembelajaran ketrampilan pembicara bahasa Indonesia melalui teknik bercerita : penelitian tindakan kelas pada siswa kelas V111 smpn 13 tangerang selatan tahun pelajaran 2009/2010

8 126 127

Perbedaan hasil belajar biologi antara siswa yang diajarkan melalui pendekatan kooperatif teknik: student team achievement divisions (STAD) dan teknik Group Investigation (GI)

0 36 221

Sejarah perkembangan pendidikan Islam di Thailand selatan (patani) pada Abad ke XVII sampai XX

2 73 64

Peningkatan hasil belajar pada konsep kesetimbangan kimia melalui model pemebelajaran PBL (probelm Based Learning)

7 44 218

Pengujian efisiensi pasar modal melalui evaluasi pergerakan indeks LQ-45 di bursa efek indonesia (BEI)

4 48 84

Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada Pokok Bahasan menerima keragaman suku bangsa dan budaya melalui metode Role Playing di SD NU Wanasari Indramayu

1 53 173

Pembangunan Augmented Reality Sebagai media Pembelajaran Sejarah Indonesia pada Kelas X SMA Berbasis Dekstop Studi Kasus SMAN 1 Dayeuh Kolot

2 21 1

Kerjasama ASEAN-China melalui ASEAN-China cooperative response to dangerous drugs (ACCORD) dalam menanggulangi perdagangan di Segitiga Emas

2 36 164