Image Iklan Kampanye Politik di Televisi

IMAGE IKLAN KAMPANYE POLITIK TELEVISI
(Analisis Semiotik Iklan Kampanye Politik Susilo Bambang Yudhoyono Pada
Pemilu Presiden 2004)

Skripsi

Oleh :
Shobikin. A
NIM: 00.14101.520033

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2005

1

IMAGE IKLAN KAMPANYE POLITIK TELEVISI
(Analisis Semiotik Iklan Kampanye Politik Susilo Bambang Yudhoyono Pada
Pemilu Presiden 2004)


Skripsi
“Disusun sebagai persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana (S1)
pada jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo”

Oleh :
Shobihin Amin
NIM: 00.14101.520033

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2005

2

LEMBAR PERSETUJUAN
Nota : Pembimbing
Lamp : 200 eksemplar
Perihal : Naskah Skripsi

Yang Terhormat,
Dekan Fakultas ISIP
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah mengadakan pemeriksaan, evaluasi serta perbaikan
penyempurnaan seperlunya terhadap skripsi atas nama saudara :

dan

Nama : Shobihin Amin
NIM : 00.14101.520033
Judul : Image Iklan Kampanye Politik Televisi (Analisis Semiotik Iklan
Kampanye Politik Susilo Bambang Yudhoyono Pada Pemilu
Presiden 2004)
Kami berpendapat bahwa skripsi tersebut telah cukup melengkapi dalam
Ujian Tingkat Sarjana dalam rangka menyelesaikan studinya pada Jurusan
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Muhammadiyah Sidoarjo.
Berkaitan tersebut di atas, dengan ini kami ajukan skripsi ini pada Fakultas
untuk kiranya dapat diuji dengan segera.

Demikian atas kebijaksanaan Bapak, kami sampaikan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Sidoarjo, …… Maret 2005
Dosen Pembimbing

Dr. Zainuddin Maliki

3

BERITA ACARA PEMBIMBINGAN SKRIPSI

Judul

: Image Iklan Kampanye Politik Televisi (Analisis
Semiotik Iklan Kampanye Politik Susilo Bambang
Yudhoyono Pada Pemilu Presiden 2004)

Nama
NIM
Jurusan/Program Studi

Fakultas
Pembimbing
Konsultasi
Tanggal

: Shobihin Amin
: 00.14101.520033
: Ilmu Komunikasi
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
: Dr. Zainuddin Maliki
:
Paraf Pembimbing

Keterangan

Tanggal selesai skripsi :
Sidoarjo,
Mengetahui
Dekan FISIP UMS


Dosen Pembimbing

Drs. M. Islam, M.Si

Dr. Zainuddin Maliki

4

SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya tulis ilmiah yang berjudul
“Image Iklan Kampanye Politik Televisi (Analisis Semiotik Iklan Kampanye
Politik Susilo Bambang Yudhoyono Pada Pemilu Presiden 2004)” adalah hasil
karya murni pemikiran penulis bukan hasil tiruan atau duplikasi dari tulisan lain
terkecuali adanya kutipan-kutipan ataupun pernyataan sebagaimana telah
disebutkan sumbernya sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah pada umumnya.
Penulis bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan akademis
Fakultas apabila terbukti karya ini tidak sesuai dengan pernyataan yang saya buat.
Adapun selanjutnya keseluruhan isi, ide serta gagasan dalam karya ilmiah ini
sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab penulis.

Sidoarjo, ….. Maret 2005
Penulis
Shobihin Amin

5

LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi dengan judul “Image Iklan Kampanye Politik Televisi (Analisis Semiotik
Iklan Kampanye Politik Susilo Bambang Yudhoyono Pada Pemilu Presiden
2004)” ini, telah dipertahankan di hadapan Dewan penguji Skripsi :
Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Pada
Hari …………..
Tanggal …………….
Bertempat di ……………
Dewan Penguji :
1. Ketua


: …………………… (

)

2. Sekretaris : …………………… (

)

3. Penguji I : …………………… (

)

4. Penguji II : …………………… (

)

Mengetahui,
Dekan FISIP UMS

…………………..


6

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

7

ABSTRAKSI
Berangkat dari fenomena tayangan iklan kampanye politik (televisi) yang
banyak menggunakan citra (image) dalam menyampaikan pesan kepada pemirsa,
sehingga informasi penting tentang profile, visi dan misi kandidat yang
sesungguhnya menjadi kabur “terselimuti” oleh kuatnya pencitraan kandidat. Hal
inilah yang menyebabkan jalinan alur cerita iklan seolah “nyambung”, meski
sebenarnya jalinan imajinya sama sekali tidak terkait. Dengan perkataan lain,
imaji yang disebarkan dalam iklan (televisi) disambung-sambungkan dengan
dukungan efek audio-visual.
Oleh karenanya, fokus pada penelitian ini menyangkut tandatanda/simbol-simbol yang digunakan dalam iklan. Tujuannya adalah untuk
mengungkap/mengetahui bagaimana image iklan kampanye politik televisi Susilo
Bambang Yudhoyono pada pemilu presiden 2004? Sebab tayangan iklan politik
televisi tidak hanya sebatas menawarkan profile, visi dan misi Capres.

Adapun ruang lingkup pada penelitian ini adalah satu buah iklan yang
diambil secara purposive dengan kategori: Iklan Capres yang merupakan
pemenang pemilu presiden 2004, penuh dengan muatan nilai budaya dan dikenal
masyarakat. Iklan yang dimaksud adalah: Iklan Kampanye Politik SBY-JK versi
“Sajadah Panjang”. Sedangkan teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan
mencatat alur cerita iklan tersebut. Adapun metode yang digunakan sebagai
pendekatan dalam menganalisis data adalah analisis semiotik/semiologisignifikasi Roland Barthes, yakni pemaknaan tanda melalui dua tahapan, dimana
tanda (penanda dan petanda) pada tahap pertama menjadi penanda pada tahap
kedua yang mempunyai penanda lain (mengalami perluasan makna/konotasi).
Dalam proses analisis data ditunjang dengan beberapa teori pendukung,
diantaranya: Pertama, reflective-projective theory-nya Lee Lovinger yang
menyatakan bahwa media massa merupakan cermin dari masyarakat yang
menyebarkan citra yang saling “tumpang tindih”, sehingga masyarakat luas
menafsirkannya secara beragam. Hal inilah yang menyebabkan setiap orang
memproyeksikan atau melihat citra dirinya melalui media massa. Kedua, teori
belajar sosial (social learning theory) yang dinyatakan oleh salah satu tokohnya,
yaitu A. Bandura. Menurut Bandura, orang belajar melalui pengalaman langsung
atau pengamatan (mencontoh model)—orang belajar dari apa yang ia baca,
dengar, dan lihat di media, dan juga dari orang lain dan lingkungannya.
Berikutnya, penggunaan hasil dari bisosiatif imajinasi, yaitu kemampuan

mendamaikan atau menggabungkan dua (atau lebih) imaji yang tidak saling
berhubungan dan juga dapat mampu menggabungkan cara berpikir yang
sebelumnya tidak saling berkaitan— cara berpikir intuitif.
Sedangkan analisis dalam penelitian ini dimulai dengan pemisahan antara
penanda verbal dan penanda visual. Untuk mengungkap makna penanda verbal
mengurainya dengan menggunakan model Michael Riffaterre dengan “pembacaan
heruistik” dan “pembacaan hermeneutik”, sedangkan untuk penanda visual akan
digunakan pendekatan komposisi dan modalitas dalam teknik visualisasi. Atas
data yang ada, kemudian diolah dan dianalisis melalui dua tahapan sesuai dengan

8

signifikasi Roland Barthes. Dari hasil analisis yang telah dilakukan diperoleh
kesimpulan: image iklan kampanye politik televisi Susilo Bambang Yudhoyono
pada pemilu presiden 2004 lebih banyak memakai simbol-simbol kelas, budaya
dan ekslusifitas dengan memainkan imajinasi untuk memasuki sisi psikologis
pemirsa.
Dalam image iklan kampanye politik televisi SBY-JK versi “Sajadah
Panjang”, SBY-JK dicitrakan sebagai sosok sipil yang Agamis (Religius) dan
Negarawan (Nasionalis) yang tampil populer dan memiliki kelebihan fisik berupa

kegantengan, suara bagus, bahasa sederhana, santun dan peduli pada rakyat
bawah. Dengan bahasa tubuh (body langguage) yang nge-pop, beliau nampak
berwibawa dan memandu, meskipun pada saat yang sama beliau dicitrakan
sebagai sosok yang suka mengalah dan teraniayah yang kemudian hadir dan
bangkit bak Malaikat/Nenek Sihir pembawa perubahan, senyuman, kesejahteraan,
kedamaian dan romantisme hidup melawan bersama rakyat kecil,

9

KATA PENGANTAR

10

DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan …………………………………………………………..
Berita Acara Pembimbingan Skripsi …………………………………………
Surat Pernyataan ………………………………………………………………
Lembar Pengesahan ……………………………………………………………
Motto dan Persembahan ………………………………………………………
Abstraksi ………………………………………………………………………
Kata pengantar …………………………………………………………………..
Daftar Isi ………………………………………………………………………..
Daftar Tabel …………………………………………………………………….
Daftar Gambar ………………………………………………………………….
Daftar Lampiran ………………………………………………………………..
I.

PENDAHULUAN
Latar Belakang ……………………………………………………..
Rumusan Masalah ………………………………………………….
Tujuan Penelitian …………………………………………………..
Manfaat Penelitian ………………………………………………….
Kerangka Berfikir …………………………………………………..

II. TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teori ……………………………………………………
Melacak Makna Penanda Verbal dalam Pendekatan
Heuristik dan Hermeneutik ……………………………….
Melacak Makna dengan Pendekatan Teknik Visualisasi …
Melacak Makna dari Sudut Pembaca ……………………..
Melacak Makna dari Perspektif Ahli mitos ………………
Tinjauan Pustaka ……………………………………………………
Pendekatan Imajinatif dalam Mengkonstruksi Realitas …….
Iklan dan Media Massa (Televisi) sebagai Wahana
Konstruksi Image……………………………………………
Permainan Tanda dalam Tinjauan Semiotik ……………….
Iklan sebagai Proses Produksi Representasi ……………….
III.

METODE PENELITIAN
Tipe dan Dasar Penelitian …………………………………………
Ruang Lingkup penelitian …………………………………………
Teknik Pengumpulan Data …………………………………………
Definisi Konseptual ………………………………………………..
Definisi Operasional ………………………………………………..
Teknik Analisis Data ……………………………………………….

11

IV. PENYAJIAN DATA, ANALISIS DAN INTERPRETASI
Gambaran Umum ……………………………………………………
Profil SBY-JK Sang Kandidat …………………………….
Alur Cerita Iklan SBY-JK versi “Sajadah Panjang” ………
Penyajian dan Interpretasi Data ……………………………………
Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik Penanda Verbal ….
Pembacaan Penanda Visual ……………………………….
Analisis Kolaboratif Pesan Tanda Verbal dan Visual …………….
Pemaknaan Pesan Tanda dari Perspektif Pembuat Iklan ….
Pemakanaan Pesan Tanda dari Perspektif Ahli Mitos …….
Pemaknaan Pesan Tanda dari Prespektif Pemirsa …………
Matrik Interpretasi Data ……………………………………………
V. PENUTUP
Kesimpulan …………………………………………………………
Saran-Saran …………………………………………………………
Saran Praktis ………………………………………………..
Saran Akademis …………………………………………….
Daftar Pustaka …………………………………………………………………..
Lampiran ………………………………………………………………………..

12

DAFTAR TABEL

13

DAFTAR GAMBAR
3.1
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
4.6
4.7
4.8
4.9
4.10
4.11
4.12
4.13
4.14
4.15
4.16

Gambar Peka Tanda Roland Barthes
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar

14

DAFTAR LAMPIRAN

15

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Kehidupan manusia kontemporer yang mengandalkan kacanggihan
teknologi informasi dalam segala aspek, tengah mengarah kepada gejolak
perubahan yang senantiasa terjadi dalam tempo yang sangat cepat. Televisi
sebagai media interaktif yang sarat dengan kontroversi telah hadir menjadi
anggota keluarga baru, pasalnya banyak tudingan menganggap televisi
mempunyai andil menghadirkan kekerasan, erotisme, bahkan menjadi
pemicu perilaku hedonis dan konsumtif masyarakat melalui tayangan iklan.
Ironisnya kehadiran acara tersebut sering dianggap sebagai menu wajib yang
harus dikonsumsi. Saat ini, menonton televisi menjadi kegiatan harian (daily
activity) dan bahkan menjadi kebutuhan pokok untuk memperkuat identitas
sosial.
Melalui piranti teknologi canggih–televisi, satelit, internet dan piranti
lainnya. Global village-nya McLuhan secara definitif benar-benar terjadi.
Menurut Daniel Boorstin, pemikiran tentang citra atau image dengan
perkembangan teknologi telah menyebabkan “graphic revolution”.1 Dimana
alur informasi yang mengalir deras mampu menerobos batasan-batasan
geografis, sehingga proses transformasi informasi, etika, nilai, budaya dan
peradaban menjadi sulit dikendalikan. Sebagai akibatnya, terjadi pergulatan
1

Hedi Pudjo Santoso, Simulasi dan Tabloidisasi Informasi Hiburan di Televisi, Disertasi
Program Komunikasi UGM, Yogyakarta, 2004, hal. 2.

16

dan dilema moral sampai pada tercabutnya akar budaya yang telah lama
melekat dan dianut masyarakat secara turun-temurun.
Sebagai produk dari mode informasi dalam masyarakat kapitalistik,
iklan bisa dianggap sebagai program yang cukup mendominasi televisi di
Indonesia,2 terutama televisi swasta. Salah satu karakteristiknya adalah
munculnya determinasi teknologi komunikasi yang memungkinkan media
melakukan simulasi atau pencitraan sehingga muncul ruang hyper-realitas,
sebuah ruang yang memungkinkan sesuatu dicitrakan melebihi realitas
sebenarnya.3 Hal inilah yang menempatkan iklan televisi sebagai media
promosi terpopuler dan digemari masyarakat.4
Maka tidaklah salah bila George Gerbner,5 seorang pakar komunikasi
dan televisi, menyatakan bahwa iklan televisi sudah menjadi agama
masyarakat industri. Sebagai “agama baru”, iklan televisi telah menggeser
agama-agama tradisional. Khutbahnya didengar dengan penuh keharuan dan
disaksikan penuh hikmat oleh jemaah yang lebih besar daripada jemaah
manapun. Rumah ibadatnya tersebar dipelbagai pelosok bumi, ritus-ritusnya
diikuti dengan penuh kehikmatan dan bisa jadi lebih banyak menggetarkan
hati dan mempengaruhi bawah sadar manusia daripada ibadat agama-agama
yang pernah ada.6

2
3

4
5

6

Ibid., hal. 5.
Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan: Antara Realitas, Representasi Dan Simulasi.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hal. 8.
Santoso, op. cit., hal. 5.
Idi Subandi Ibrahim (ed) dalam Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat
Komoditas Indonesia. Jakarta, Mizan, 1997, hal. 30.
Ibid, hal. 32.

17

Lebih jauh lagi, Ervin Goffman7 dalam tulisannya mengatakan,
dimana dalam sebuah teks iklan ditampilkan citra-citra yang membentuk
alam fantasi dan realitas hipper disatu sisi, dan representasi realitas disisi
lain. Dalam mengkonstruksi makna tersebut, iklan merangkai atau
mengaitkan hal-hal yang sebetulnya tidak memiliki konteks. Iklan juga
merangkai the past, the present and the future untuk menghasilkan makna
yang ingin dilekatkan pada sebuah produk.8 Dengan permainan citra tersebut
yang diinjeksikan secara terus menerus, besar kemungkinan iklan akan
mampu menggeser pola pikir dan sikap khalayak dengan paradigma baru
dalam mengapresiasi realitas, sebagaimana dogma-dogma yang diajarkan
iklan melalui media televisi.
Dalam pandangan moderatnya, Ratna Noviani, juga mengatakan,
”Ada hubungan yang erat antara citra-citra dalam iklan dan realitas sosial”.
Meskipun iklan penuh dengan permainan citra atau tanda, namun tidak
berarti citra atau tanda tersebut kehilangan makna atau referensi realitas dan
bersifat self-refererential. Bagi dia, citra-citra dalam iklan tersebut tetap
memiliki kaitan dengan konteks sosial historis dimana citra-citra itu
diciptakan. Dalam hal ini, iklan menginteraksikan antara citra dengan
realitas. Dengan demikian, realitas yang ditampilkan oleh iklan adalah
produk dari dialektika antara citra dan realitas. Meskipun dalam kenyataan
iklan sering tidak jujur dan memanipulasi realitas obyektif dengan permainan
citra-citraan.
7
8

Ibid., hal. 37.
Santoso, op. cit., hal. 21.

18

Sudah menjadi kenyataan hidup dalam kehidupan nyata, masyarakat
selalu dipenuhi oleh berbagai macam hiburan dan informasi, dengan beragam
program tayangan sinetron, infotainment, sampai pada iklan komersial.
Dihampir setiap relung kehidupan anak manusia selalu diwarnai oleh
berbagai macam tayangan iklan televisi, radio, surat kabar dan hampir di
setiap sudut jalan ada iklan. Masyarakat tidak bisa lagi menghindar dari
iklan. Iklan memang sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat. Hampir tiada tempat dan waktu tanpa kehadiran
iklan. TVRI yang dulu anti iklan komersial karena disubsidi pemerintah,
sekarang juga gemar menayangkan iklan, bahkan rumah dan kios pun
menjadi sasaran tempat iklan.
Iklan telah menjelma mirip seperti nenek sihir, dimana ia datang
mendadak dan bergegas menyebar mantra. Masyarakat pun terpesona (dan
kebanyakan) terperdaya olehnya tanpa bisa memberontak. 9 Di sudut kota dan
desa anak-anak begitu fasih melafalkan “moncong putih” yang menjadi ikon
iklan kampanye Partai Demokrasi Indonesia Perjungan (PDI-P). Tak kalah
akrab juga di mulut para remaja, terutama remaja putri kerap berucap“Kapan
lagi kita punya presiden keren”, jingle iklan kampanye politik calon presiden
Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono atau akrab dipanggil “SBY”
yang ditayangkan dihampir semua stasiun televisi. Seperti dalam survei yang
dilakukan harian KOMPAS disepuluh kota besar di Indonesia, tercatat tidak
kurang dari 70 persen responden yang mengaku suka menirukan iklan yang
ditayangkan di media baik dalam menirukan ucapan atau narasi, jingle atau
9

Wahyu Wibowo, Sihir Iklan. Gramedia, Jakarta, 2003, hal. iv.

19

lagu, gerakan hingga meniru sosok yang menjadi pemeran tersebut.10 Proses
imitasi iklan ini, terjadi mulai dari anak-anak, remaja hingga orang dewasa.
Mencermati fenomena semacam ini, para pengusaha dan politisi
bersaing ketat mempromosikan produknya lewat iklan televisi dan dalam
waktu yang relatif singkat, iklan televisi diyakini oleh banyak pengusaha dan
politisi akan mampu mendongkrak popularitas seseorang atau produk
tertentu dalam waktu yang cukup singkat. Iklan di televisi adalah medium
percepatan kampanye bagi para politisi yang dilakukan dengan cara
menumbuhkan psikologi komunal pemirsa. Penonton dibius untuk mengikuti
drama politisi tidak semata-mata sebagai tayangan cerita biasa, melainkan
menjelma menjadi drama yang melibatkan emosi, menjadikannya tontonan
ala misteri yang memaksa penonton mengikuti dan menikmatinya tanpa
henti. Inilah era budaya populer yang menjadikan televisi menjadi media
yang secara sadar menyajikan simulasi citra sebagai sebuah medium
hegemonik untuk mendongkrak perolehan simpati masyarakat.
Jika diperhatikan secara seksama saat masa kampanye pemilu 2004,
hampir semua stasiun televisi swasta dan non-swasta menayangkan beragam
versi iklan kampanye politik dan feature dengan berbagai kemasan acara,
seperti yang dilansir oleh jurnal Election News Watch. 11 Ada feature ala
Satrio Panningit, Untukmu Bangsaku, Kupas Profil dan Jejak Sang
Pemimpin yang semuanya ditayangkan oleh TVRI - Profile keluarga Capres,
Tajuk Sore, Menuju RI I yang ditayangkan pada 18-24 Juni 2004 oleh TV710
11

Ratna Noviani, op. cit, hal. 1.
Election News Watch, 07 & 09/16 & 09 Juni 2004.

20

Serba-Serbi Demokrasi, Pemilu Bagi Tuna netra yang ditayangkan Metro
TV-Jelang Siang oleh Trans TV, Talk Show bersama Capres ala Indosiar,
Liputan Pemilu dan Kotak Suara oleh SCTV-Belum lagi di RCTI dengan
Cek & Ricek yang mencoba mengupas dukungan artis tentang Capres
Cawapres dan lain-lain. Yang semua hadir tanpa permisi menghampiri
masyarakat diseluruh pelosok negeri dengan mantra dan kecenderungan
politik masing-masing.
Garin Nugroho,12 lima tahun yang lalu pernah mengemukakan, untuk
lima tahun kedepan, iklan politik di televisi akan menjadi bisnis tersendiri.
Lebih lanjut Ia mengatakan : “Kampanye politik dan iklan partai akan
membentuk hubungan-hubungan baru. Partai politik akan melirik televisi
sebagai media kampanye. Karena itu, pengelola televisi harus paham politik”
(Kompas, 19 Mei 1999). Melihat kenyataan kampanye pemilu 2004 hal itu
sangat relevan. Memang, iklan televisi adalah drama, meski singkat sekali
(15-60 detik). Pengaruhnya bersifat subliminal dan sugestif, meski tidak
sepenuhnya disadari pemirsa.13
Lebih jauh lagi, Garin Nugroho14 mengatakan, “Televisi menjadi
mimbar kampanye di ruang keluarga yang paling populer abad ini, disisi lain
televisi juga menjadi mimbar pengadilan terbesar kemampuan capres dan
cawapres

dalam

mencitrakan

diri dengan

hakim

keluarga-keluarga

Indonesia”.

12
13
14

Baca Artikel harian nasional KOMPAS edisi19 Mei 1999.
Dedy Mulyana, Nuansa-nuansa Komunikasi. Bandung, Remaja Rosyda Karya, 1999, hal. 155.
Garin Nugroho, Opera Sabun SBY, dalam Sub bab “Menilai Kemampuan Kampanye Capres”.
Jakarta, Nastiti, 2004, hal. 176.

21

Oleh karenanya, iklan mengaktifkan bawah sadar manusia yang
selalu tertarik kepada orang lain, dari sisi penampilan dan kecantikan
mereka. Wahyu Wibowo pun dalam bukunya yang berjudul, “Sihir Iklan”,15
tetap dengan pendiriannya, iklan ibarat lagu “Benci Tapi Rindu” iklan yang
dibenci dan sekaligus dirindui, iklan tampil tidak saja menjadi media
informasi an sich, tapi juga sebagai media hiburan yang sangat diminati dan
digemari. Contoh saat masa kampanye politik, kehadiran sang tokoh dalam
iklan kampanye politik begitu menarik untuk dinantikan, apalagi kalau Sang
Tokoh ditampilkan dalam konstruksi citra yang tepat, sesuai dengan selera
rakyat, meski tidak cukup menggambarkan realitas sesungguhnya (back
stage) dan bahkan khalayak kadang merasa tidak butuh lagi informasi lain
yang tidak sama untuk didialogkan.
Belum lagi infotaintmennya dengan berbagai kemasan, tercatat 30
acara infotainment disajikan 10 stasiun televisi dan ragam iklan yang tidak
terhitung.16 Infotainment merupakan acara yang secara sadar diproduksi oleh
pengelola media untuk memenuhi keinginan penonton akan hiburan.
Beberapa acara tersebut diantaranya adalah Selebrita, Buletin Sinetron,
Kabar-Kabari, Cek & Ricek, KISS, Kroscek, Hot Shot, Betis, Poster, Cuci
Mata, CINTA, Candit Camera, Klise, Otista, E...Ko Ngegossip, Inside
Celebrities, Ketok Pintu, Was Was dan Insert. Tidak diketahui apakah
relevansi atau makna dan kegunaan informasi-informasi tersebut ketika
masyarakat sudah terjerembab dalam lautan imaji. Ternyata infotainment ini
15
16

Wibowo, Op. Cit., hal. iii.
Santoso, Op. Cit., hal. 9.

22

sangat menarik minat pemirsa dengan jumlah yang cukup besar, lebih–lebih
kalangan remaja putri dan ibu-ibu, meski mereka sendiri belum mengetahui
signifikansi informasi-informasi selebritis tersebut bagi mereka.
Neil Postman, orang yang juga keras mengkritik televisi sebagai
medium yang setiap menit selalu membodohkan manusia. Media televisi
seakan-akan selalu membawa manusia pada dunia yang penuh dengan
omong kosong, berbahaya dan absurd. Maksud Postman, kekuatan televisi
membunuh kreativitas nalar manusia yang telah berkembang lewat cetaktulis, membuat manusia tidak lagi sebagai homo-sapien melainkan sebagai
makhluk yang setiap saat mengkonsumsi menu-menu informasi instant yang
penuh dengan “bumbu masak”.
Kendatipun demikian, Postman adalah orang yang paling bimbang
memutuskan aksiologi televisi. Televisi memang berbahaya, absurd dan
omong kosong, tetapi televisi adalah medium simbolik yang paling
mendekati kaidah ilmiah. David Hume mengatakan bahwa semua
pengetahuan didasarkan atas kesan yang diterima melalui penginderaan
manusia.17 Akibatnya, dalam satu contoh kasus kita melihat salah satu iklan
yang mirip dengan satu iklan yang pernah kita kenal (lihat), kita pun akan
segera menebaknya meski akhirnya kita mengetahui bahwa kita salah dalam
menebaknya. Maksudnya, persepsi kita telah terbentuk oleh tayangan iklan
terdahulu yang mungkin tidak relevan.

17

Burhan Bungin, Imaji Media Massa: Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi
dalam Masyarakat Kapitalistik. Yogyakarta, Jendela, 2001, hal. 72.

23

Model produksi kapitalistik, permainan citra berimbas kepada
semakin kokohnya media massa serta wartawan sebagai subyek yang tidak
terkontrol dan bahkan hegemonik. Berita dan iklan yang dihasilkan tidak lagi
menjadi produk yang bisa dikontrol, akibatnya hubungan industrial dibidang
pers akan berkecendrungan untuk berperilaku apapun boleh/anarkhi
(anything goes) karena tidak seorang pun yang bisa menghentikan kebebasan
mutlak yang dimilikinya.18
Lain halnya, pada tahun 1960 Joseph Klepper dalam buku The Effect
of Mass Communicatin, menyimpulkan: “Dalam kampanye politik melalui
media massa, orang yang pandangan aslinya diperteguh ternyata jumlahnya
10 kali daripada orang yang pandangannya berubah. Kalaupun terjadi
perubahan pandangan, itu merupakan peneguhan tidak langsung dalam arti
bahwa orang yang bersangkutan merasa tidak puas dengan pandangan
awalnya

sebelum

pandangannya

berubah.

Sebelum

mereka

terpredisposisikan untuk berubah, dan komunikasi massa kemudian
memperteguh predisposisi tersebut dan menunjukkan jalan tertentu untuk
berubah”. Pada saat yang sama, Leon Festinger dari kubu psikologi kognitif
datang dengan “Theori Of Cognitive Dissonance”, teori ini menyatakan
bahwa individu berusaha menghindari perasaan tidak senang dan
ketidakpastian dengan memilih informasi yang cenderung memperkokoh
keyakinannya, sembari menolak informasi yang bertentangan dengan
kepercayaan yang diyakininya. 19 Dan Elihu Katz (1959) menyatakan bahwa,
18

19

Noviani, loc. cit., hal. 1.
Jalaludin Rohmat, Psikologi Komunikasi. Bandung, Remaja Rosydakarya, 1998, hal. 198.

24

penelitian tentang efek media massa sudah mati.20 Artinya menurut
pandangan mereka, terpaan media tidak memberikan efek yang signifikan
pada khalayak.
Namun demikian, permainan media massa tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan teknologi komunikasi dibidang broadcast. Perkembangan ini
telah menempatkan suatu relasi sosial, fantasi, dan imajinasi disimulasikan
melebihi realitas sesungguhnya, dalam bahasa Baudrillard disebut sebagai
hyper reality. Menurut hemat penulis, permainan citra dalam iklan haruslah
dipahami sebagai upaya untuk menjungkirbalikkan realitas sosial menjadi
hiper-realitas. Fakta iklan yang disajikan sarat dengan fatamorgana sesuai
dengan kepentingan politik, ekonomi, budaya dan ideologinya masingmasing.
Begitu padat dan lebarnya ruang hegemoni pada setiap program
televisi sehingga masyarakat, yang dalam tulisan Zainuddin Maliki disebut
“Masyarakat Positifistik”21 mereka tidak bisa lagi membedakan antara yang
“riil” dan yang “tidak riil”, antara “yang berguna” dan yang “kurang
berguna” maupun antara “yang signifikan” dengan yang “tidak signifikan”,
semuanya melebur dalam satu kemasan dengan tingkat perubahan yang
sangat cepat. Merupakan sebuah kerugian besar apabila tidak mengikuti
perubahan atau perkembangan informasi terkini, demikian kesimpulan
mereka yang memang menjadi target dari media.

20
21

Ibid., hal. 199.
Zainuddin Maliki, Artikel, Jawa Pos/19/08/2004, hal. 4.

25

Dengan adanya teknologi canggih, maka proses komunikasi menurut
Yasraf Amir Piliang, berlangsung didalam satu orbit keseketikaan,
kesegeraan, dan kesementaraan. Proses komunikasi dikatakan baik apabila
berlangsung secara cepat. Didalam model komunikasi semacam ini tidak ada
tempat untuk diam, untuk berhenti sejenak, untuk merenung, untuk refleksi
maupun untuk kontemplasi. “…hegemoni dan pesan-pesan harus mengalir
silih berganti tanpa interupsi”.22 Hal inilah yang menempatkan khalayak
hanya sebagai pemirsa pasif, tanpa diberi kesempatan untuk berpikir, yang
senantiasa “diinjeksi” dengan ragam pesan dan informasi yang belum tentu
mereka butuhkan, sehingga mengarah pada penciptaan jenis-jenis kebutuhan
baru.
Kenneth E. Boulding menyatakan bahwa persepsi kita sebenarnya
telah dikuasai oleh imaji yang pernah kita batinkan. 23 Diskursus media iklan
televisi akan berkaitan dengan arti penting televisi dalam kehidupan
masyarakat. Begitu pula dengan televisi sebagai media iklan dalam
kehidupan seseorang, ketika iklan itu ditayangkan di televisi. Dalam
perkembangannya, iklan televisi lebih menekankan penampilan. Kemasan
atau citraan sebuah iklan, disadari atau tidak, akan “memaksa” pemirsa
untuk menginterpretasikan dan menyimpulkan bahwa ada keterkaitan antara
alur cerita dalam iklan itu dengan kegunaan sebuah produk. Artinya, iklan

22

23

Seperti yang dikutip Yasraf Amir Piliang dari Jean Baudrillard. 1993. The Transparancy of Evil,
Versi, London. Selengkapnya lihat Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat : Realitas
Kebudayaan Menjelang Millenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme, Bandung, Mizan, 1998,
hal. 111.
Ibid., hal. 120.

26

adalah bagian penting dari serangkaian kegiatan mempromosikan produk
yang menekankan unsur citra.
Para analis media bersepakat, salah satu kunci kemenangan Kennedy
adalah karena penampilannya yang muda, ceria dan suaranya yang lebih
merdu, meski Kennedy sebenarnya kurang berpengalaman dalam bidang
politik.24 Sejalan dengan Martin, Dedy Mulyana berpandangan, “Dalam
kampanye politik di Indonesia, para kandidat kurang terampil mengelola
citra diri, mereka masih tampil bersahaja, hati-hati, lugu dan kadang naif,
mungkin mereka lebih cenderung menampilkan panggung depan-nya (front
stage) daripada panggung belakang (back stage)”. Dedy Mulyana
menegaskan, “Kalau saja Amin Ra’is (capres PAN) tampil lebih diplomatis
(mengurangi bicara ceplas-ceplosnya) bukan tidak mungkin citra dia akan
lebih baik dan perolehan suaranya akan lebih signifikan”.25
Dilihat dari perspektif Schutzian, dunia kehidupan bukanlah sebuah
unit tunggal, karena kesadaran manusia bisa bergerak melintasi wilayahwilayah yang berbeda, dari realitas seperti mimpi-mimpi, halusinasi dan
bahkan teater. Dengan perkataan lain, dunia kehidupan terdiri atas
bermacam-macam realitas.26 Realitas sudah mengalami pelbagai distorsi,
konstruksi atau bahkan dekonstruksi sehingga manusia bisa “menciptakan”
realitas yang diinginkan. Hidup tidak lagi merupakan sebuah perjuangan,
tetapi hidup lebih merupakan dunia pemenuhan hasrat. Dalam kondisi
seperti inilah manusia mulai secara sadar atau tidak, tercerabut dari atribut24
25
26

, Mulyana, op. cit., hal. 102.
Ibid., hal. 83-86.
Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta, Kanisius, 2002, hal. 81.

27

atribut kepribadiannya sendiri, terlebih apabila “kebahagiaan” merasa sudah
direngkuhnya. Hal ini membawa akses pada orientasi sikap politik, dimana
orientasi sikap politik yang digunakan pun sudah dimodifikasi sedemikian
rupa.
Namun pada saat yang sama, media juga berperan menjadi wadah
hegemoni opini publik. Tafsiran atas fenomena atau realitas, bergantung
pada susunan kata dalam bahasa media. Kata dalam bahasa tidak lagi bebas,
tapi bergantung pada penafsirannya untuk diberikannya pada publik. Publik
sendiri belum memiliki kebebasan menafsirkan, penafsirannya bergantung
pada media. Bila tidak, publik akan dianggap nyleneh oleh mayoritas atau
bahkan dianggap tidak bersimpati pada arus opini publik.27 Melalui
permainan bahasa (language game), meminjam istilahnya Ludwig
Wittgenstein, media atau pihak penafsir memperhalus bentuk dan model
hegemoninya yang mengarahkan pemirsanya, tanpa merasa terhegemoni.
Justru sebaliknya, masyarakat merasa mempunyai panduan baru
berkenaan dengan perkembangan terkini tentang apa saja, mulai dari politik,
olah raga, fashion, sampai pada model rambut terkini. Hal ini disebabkan
oleh konstruksi imaji atau image yang disebarkan melalui media massa.
Dalam hal ini, media massa mempunyai peran yang sangat vital dalam
memasifikasi penyebaran informasi tersebut sejauh mungkin dengan
kemasan yang sangat memikat, sehingga masyarakat tenggelam dalam
lautan imaji yang tak henti-hentinya merubah performance-nya. McClure
27

Suyoto et. al,
Sub Bab Serangan Media Massa dalam Postmodern dalam buku
Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban. Yogyakarta, Aditya Media, 1994, hal. 227-228.

28

dan Petterson28 juga berargumentasi dengan lebih ekstrim lagi, beliau
mengatakan bahwa, terpaan iklan politik yang ditelevisikan itu segera dan
langsung mempengaruhi kepercayaan pemberi suara terhadap kandidat. Ini
berarti bahwa terpaan iklan yang ditelevisikan mempunyai akibat
hipodermis, yang dipilih oleh penonton yang diatributkan kepada pesan itu
adalah maknanya, bukan pesannya.
Dari sinilah pemilihan terhadap iklan kampanye politik calon
presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama sang calon wakil
presiden Muhammad Jusuf Kalla (MJK) yang dalam media ”election”
disebutkan, pasangan calon yang menempati rating tinggi dalam
memanfaatkan media televisi dalam kampanye politiknya baik dari berita,
iklan, maupun feature.29 Dalam banyak survey, calon presiden ini paling
diuntungkan oleh media massa dalam merengguk suara pemilih. 30
Pertimbangan lain, menurut Dr. Ikrar Nusa Bhakti,31 dari lima pasangan
calon presiden, pasangan ini dapat dikatakan satu-satunya pasangan calon
yang terbanyak memiliki predikat “paling”. Pertama, pasangan ini adalah
pasangan yang paling pertama terbentuk dan mendaftarkan diri ke Komisi
Pemilihan Umum dibandingkan dengan pasangan calon lainnya. Kedua,
oleh banyak kalangan ia dianggap sebagai sosok yang “paling peragu”
dalam mengambil keputusan pada situasi kritis sehingga dapat menimbulkan
28

Dan Nimmo, Komunikasi Politik, Khalayak dan Effek. Bandung, Rosydakarya, 2001, hal.
Lihat tabel 4 Obyek berita Kampanye Capres-Cawapres 11-17 dan 21-27 Juni 2004 dan Tabel 1
Daftar Feature ditelevisi periode 11-17 Juni 2004. Election News Watch, edisi, 08/23 Juni 2004
dan edisi 09/30 Juni 2004
30
Ali Mahfudl, Evaluasi Kubro Kekalahan Amin Ra’is. Makalah ini disampaikan pada acara
rutinan, Lamongan, 1 Oktober 2004, Komunitas Satu Angka, hal. 2.
31
Ikrar Nusa Bhakti, Pada Rubrik “Sosok”, KOMPAS, edisi 24 Juni 2004, hal. 64.
29

29

masalah baru bagi Indonesia di masa depan. Ketiga, pasangan yang paling
tidak memiliki mesin politik yang dapat diandalkan dibanding calon lain.
Dan pada saat yang sama, dari berbagai jajak pendapat dan survey ia
merupakan calon yang paling populer, khususnya di daerah perkotaan.
Keempat, pasangan SBY-JK dipersepsikan sebagai pasangan yang paling
merepresentasikan perpaduan sosok nasionalis dan sosok agamis/religius
dan pasangan ini juga dianggap “paling” mewakili kawasan Indonesia
bagian barat dan Indonesia bagian timur. Kelima, pasangan ini juga
dipersepsi oleh media (KOMPAS 24/7/2004) sebagai calon yang “paling”
cakep dan

“paling” ganteng dan juga merupakan calon yang “paling”

ngepop disukai oleh kaum hawa terutama remaja putri, karena budaya pop
yang ditonjolkannya. Keenam, “paling Islami”, dan mendapat simpati dari
kaum Muslimin terutama masyarakat Muslim perkotaan dengan iklannya
versi “sajadah panjang”. Dan terakhir Ketujuh, sosok SBY bersama JK
adalah kandidat yang paling banyak didera isu, dari isu agama, militerisme
dan SBY dulu dianggap anti reformasi. Iklan kampanye politik versi
“sajadah

panjang”

adalah

iklan

yang

dibangun

dengan

strategi

pengorganisasian kolaboratif, yang tampak pada kompleksitas nilai budaya
dalam tanda.

1.2. Rumusan Masalah
Merujuk pada latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan
masalah yang akan diteliti yaitu : “Bagaimanakah image iklan kampanye

30

politik di televisi Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu Presiden
2004?”

1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
dimaksudkan untuk :
1. Mendeskripsikan image iklan kampanye politik televisi Susilo Bambang
Yudhoyono pada Pemilu Presiden 2004.
2. Memahami makna permainan image/citra iklan kampanye politik televisi
Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu Presiden 2004.

1.4. Manfaat Penelitian
Secara praktis penelitian ini sebagai wahana aktualisasi diri atas
khazanah keilmuan dan pengalaman penulis disamping sebagai persyaratan
mutlak (tidak boleh tidak) untuk kenaikan tahta sosial dengan gelar S1
dalam bidang ilmu sosial dan ilmu politik.
Secara teoretis penulisan skripsi ini diharapkan dapat menggugah
kesadaran diri dan masyarakat luas tentang realitas yang terkonstruksi
(constructed reality) dalam tayangan iklan televisi. Dan memperkaya
referensi atau acuan dalam penggunaan, tujuan dan efek iklan kampanye
politik melalui media televisi khususnya di Indonesia dalam kajian
semiotika.

31

1.5. Kerangka Berpikir
Dalam banyak referensi, telah disinggung bahwa iklan kampanye
politik cenderung lebih banyak menampilkan permainan citra dan ilusi
daripada realitas aslinya. Ditambah lagi dengan minimnya pemberitaan
tentang platform para kandidat presiden. Sebagaimana dalam Jurnal
Election News Watch32 diberitakan, “Diantara 804 berita yang dihasilkan 10
stasiun televisi sepanjang 11-17 Juni 2004, hanya terdapat tiga berita
mengenai platform presiden yang dikemas dengan jelas minus janji atau
slogan.
Iklan memproduksi sistem-sistem makna terpola yang memainkan
peran kunci dalam sosialisasi individu dan juga reproduksi sosial. Iklan
melekatkan makna-makna pada produk atau komoditi, melalui asosiasi
pencitraan yang diulang-ulang. Akibatnya, dalam sebuah komoditi itu
sendiri dan juga signifikasi atau penandaan yang disebut sebagai
commodity-sign33. Commodity-sign inilah yang berfungsi untuk menjual
produk atau obyek dan menjadi pembawa pesan promosi.
Sebagai pembawa pesan promosi, dengan demikian commodity sign
mengiklankan obyek itu sendiri dan aspek-aspek yang lain seperti visi-misi,
merek, dan gaya yang dihubungkan melalui pencitraan. Dengan kata lain,
iklan simbolik secara ekonomi dan politik tidak hanya sekedar memfasilitasi
bentuk politisasi melalui persuasi, tetapi politisasi dikodekan sebagai sebuah

32
33

Election News Watch 8Juni 2004. op. cit., hal. 1-3
Santoso, op. cit., hal. 28.

32

tanda psycho-idiologis yang diharapkan, yang dihubungkan dengan
identitas, orientasi maupun tujuan hidup.
Kampanye politik ataupun promosi melalui citra-citra atau image
menjadikan semakin penting perannya dalam masyarakat. Seperti yang
diungkapkan oleh W.Fritz Haug,34 bahwa citra dan appearance menjadi
semakin penting peranannya dalam masyarakat kontemporer. Keduanya
dihubungkan dengan upaya-upaya penjualan kepentingan idiologis dan
ekonomi politik kapitalisme. Penjualan kepentingan politik maupun
komoditi nampaknya membutuhkan sebuah janji nilai guna yang melibatkan
citra-citra.
Dalam hal ini, teknologi media merupakan kekuatan sosial yang
dominan, yang menciptakan sebuah dunia yang simulatif, hiperreal, yang
tidak terpisah dari kepentingan ekonomi politik tertentu, kepentingan
individu dan kelompok maupun sistem sosial dimana media berfungsi.35
Untuk menguak lebih jauh mengenai image iklan kampanye politik televisi,
maka dalam penelitian ini akan mengkaji secara kritis iklan kampanye
politik SBY yang sering ditayangkan di televisi.
Untuk mengetahui bagaimana image iklan dalam mengkonstruksi
makna maupun relitas didalam sebuah teks, salah satu cara yang bisa
diterapkan adalah semiotik. Ada dua orang yang patut dicatat dalam
perkembangan semiotika modern, dan dalam penelitian ini tidak hanya
mengacu pada dua atau tiga ahli semiotik saja, meski cenderung condong
34
35

Ibid., hal. 30.
Noviani, op. Cit., hal. 138.

33

pada analisis versi Roland Barthers. Karena iklan televisi sebagai produk
budaya tidak hanya dilihat dari apa yang katakan dan divisualisasikan di
media. Masing-masing tokoh mempunyai titik tekan masing-masing dalam
melakukan pembacaan tanda, seperti Ferdinand de Saussure 36 dari Perancis
dan Charles Sanders Peirce, ahli filsafat dari Amerika. Keduanya
mendasarkan teori semiotikanya pada landasan yang berbeda. Saussure
sebagai seorang ahli linguistik, mengembangkan dasar-dasar linguistik
umum. Ia memandang bahasa sebagai sebuah sistem tanda dan lebih
memberikan tekanan pada struktur yang menyusun tanda. Sedangkan Peirce
lebih menekankan pada konsepsi-konsepsi yang ada diluar tanda verbal.37
Semiotika sendiri secara sederhana didefinisikan sebagai teori
tentang tanda atau sistem tanda. Sedangkan tanda atau sign adalah sesuatu
yang memiliki makna, yang mengkomunikasikan pesan-pesan pada
seseorang. Sebuah tanda dalam sistem makna dipisahkan kedalam dua
komponen yaitu signifer (penanda) dan signified (petanda). Signifer adalah
materi yang membawa makna yang menunjuk pada dimensi konkret dari
tanda, sedangkan signifed merupakan sisi abstrak tanda, makna yang
dilekatkan pada tanda. Meskipun dalam penelitian ini dapat dipisahkan
antara signifer dan signified, tetapi dalam realitas keduanya tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Roland Barthes menegaskan bahwa ada
perbedaan antara signifier dengan sign. Tidak ada makna yang inhern antara
keduanya.
36
37

Kris Budiman, Semiotika Visual. Yogyakarta, Penerbit Buku Baik. 2004, hal. 25-46
Noviani. op. cit., hal. 76.

34

Menurut Rolland Barthes,38 Sign itu memiliki makna denotatif dan
memiliki makna tambahan yang disebut makna konotatif. Denotasi dan
konotasi

ini

sebetulnya

adalah

istilah

yang

digunakan

untuk

mendeskripsikan hubungan antara penanda dan petanda atau referensinya.
Denotasi digunakan untuk mendeskripsikan makna definisional, literal,
gamblang, atau cammon sense dari sebuah tanda. Sedangkan, konotasi
mengacu pada asosiasi-asosiasi sosial budaya dan personal (idiologis,
emosional dan sejenisnya). Sementara itu, Sturt Hall 39 mengatakan bahwa
makna denotasi sebetulnya adalah makna literal dari sebuah tanda karena
makna literal tersebut dikenal secara umum, apalagi ketika diskursus visual
diikutsertakan. Oleh karena itu, makna denotasi tidak melibatkan intervensi
kode. Konotasi, disisi lain mengacu pada sesuatu yang kurang pasti dan oleh
karenanya makna bisa berubah, dikonvensionalisasikan dan bersifat
asosiatif. Dengan demikian, makna konotasi ini tergantung pada intervensi
kode-kode.
Pemaknaan atas tanda tidak bisa dilepaskan dari referensi sosial
budaya dimana tanda itu berada. Artinya, makna konotasi yang dilekatkan
pada sebuah tanda, sifatnya sangat kontekstual. Makna sebuah tanda
tergantung pada kode dimana tanda tersebut berada. Kode-kode tersebut
memberikan sebuah kerangka yang menjadikan tanda-tanda masuk akal dan
bisa dipahami. Kode-kode ini juga menjadi pembatas bagi makna yang
mungkin muncul, karena kode-kode ini cenderung menstabilkan hubungan
38

M. Gottdiener, Postmodern Semiotict, Material Cultur and The Form of Postmodern Life,
Oxford UK, 1995, hal. 15.
39
Daniel Chandler, Semiotict FOR beginners. http://www.aber.ac.Uk/, 1994, hal. 19.

35

antara penanda dan petanda. Dengan demikian, tanda-tanda tidak bisa
diartikan apa saja sesuai dengan keinginan individu. Penggunaan kode
membantu mengarahkan pada makna yang diinginkan atau preferred
reading. Oleh karena itu, pemaknaan sebuah tanda sangat bergantung pada
referensi yang dimiliki peneliti. Jika referensi sosial budaya peneliti sedikit,
maka hasil interpretasinya pun sangat terbatas.
Iklan sebagai sebuah teks adalah sistem tanda yang terorganisir
menurut kode-kode yang merefleksikan nilai-nilai tertentu, sikap dan juga
keyakinan nilai-nilai tertentu. Setiap pesan dalam iklan memiliki dua
tingkatan makna, yaitu makna yang dinyatakan secara eksplisit dipermukaan
dan makna yang dikemukakan secara implisit dibalik permukaan tampilan
iklan. Dengan demikian, semiotik menjadi metode yang sesuai untuk
mengetahui konstruksi makna yang terjadi dalam iklan kampanye politik
SBY versi “sajadah panjang” di televisi. Karena ia menekankan peran
sistem tanda dalam konstruksi realitas, maka melalui semiotik ideologiideologi yang ada dibalik iklan kampanye politik SBY versi “sajadah
panjang” bisa dibongkar.
Dalam hubungannya dengan iklan media televisi, Williem Leiss
mengemukakan bahwa :
“Pendekatan semiotik mengatakan bahwa makna dari sebuah iklan
tidaklah mengambang pada permukaan dan menunggu untuk diinternalisasi
oleh siapa saja yang melihatnya. Tapi, makna itu dibangun secara luar biasa
dimana tanda-tanda yang berbeda diorganisir dan saling berhubungan satu

36

sama lain, baik dengan tanda-tanda didalam iklan itu sendiri, maupun
melalui referensi-referensi eksternal pada belief sistem yang lebih luas”.40
Dalam studi ini, akan dianalisis satu buah iklan kampanye politik
SBY versi “sajadah panjang” di media televisi yang ditayangkan pada masa
kampanye pemilu presiden tahap pertama (1-30 Juli 2004). Pengambilan
iklan ini berdasarkan pada asumsi bahwa iklan itu adalah iklan capres yang
berhasil memenangkan pemilu presiden 2004, diproduksi dengan strategi
pengorganisasian kolaboratif, yang didalamnya tampak kompleksitas nilai
dan budaya dalam tanda, memiliki tingkat belanja media yang tinggi, lebih
dikenal oleh masyarakat dan dimunculkan saat SBY didera isu agama dan
militerisme. Iklan tersebut adalah iklan SBY versi “sajadah panjang” dan
iklan tersebut akan diinterpretasikan dengan cara mengidentifikasi tandatanda yang terdapat dalam masing-masing teks.
Makna yang akan diidentifikasi, yang pertama adalah makna
denotatif. Makna apa yang diungkapkan secara literal atau secara common
sense dalam hal ini akan dilakukan pembacaan secara heuristik pada
penanda verbal. Yaitu, pembacaan untuk menunjukkan makna yang
mengambang dan bisa dibaca atau surface iklan tersebut. Selanjutnya, pada
penanda verbal akan diidentifikasi makna yang tersembunyi dibalik surface
iklan tersebut, dalam hal ini akan dilakukan pembacaan secara hermeneutik
dan pembacaan penanda visual dengan pendekatan komposisi dan modalitas
baru kemudian diuraikan secara kritis kolaboratif bagaimana image iklan
40

Cakram Komunikasi, Desember 1999, hal. 24.

37

tersebut dalam perspektif pembuat iklan, perspektif ahli mitos dan dalam
perspektif pemirsa. Asosiasi-asosiasi atau kode-kode apa saja yang
digunakan untuk memunculkan makna tersebut. Dan apakah terdapat
hubungan interteks dengan teks-teks yang lain untuk dapat memunculkan
makna seperti yang diharapkan oleh pengiklan. Hal itu akan memungkinkan
terbacanya nilai-nilai atau belief system yang digunakan sebagai referensi
untuk mengkontruksi makna sebuah iklan.
Berdasarkan

uraian

tersebut

dapat

diilustrasikan

dengan

mengelaborasi pendekatan semiologi Roland Barthes, dimana dalam
memaknai tanda memakai dua tahap pemaknaan.41 Berikut skemanya.

1. Signifier
2. Signified
(Penanda)
(Petanda)
3. Denotative Sign (tanda denotatif)
4. CONNOTATIVE
Pembuat
Iklan
Ahli Mitos
Pemirsa

Heuristik dan
Hermeniotik
Komposisi-Modalitas

SIGNIFIER (I)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
(II)

(PENANDA KONOTATIF)

(PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (III)
(TANDA KONOTATIF)

Gambar 3.1 Peta Tanda Roland Barthes
Sumber : Paul Cobley & Litza Jansz. 1999. Introducing Semiotices. NY : Totem
Books, hal. 51 - Alex Sobur dalam bukunya “Semiotika Komunikasi
hal.69
Memang, pendekatan Roland Barthes secara khusus tertuju kepada
sejenis tuturan (speech} yang disebutnya sebagai mitos. Menurut Barthes,42

41

Sub bab Ideologi Dalam Pariwara Televisi, Okke Kusuma Sumantri-Zaimar dalam buku
Meretas Ranah : Bahasa, Semiotika, dan Kebudayaan. Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat
(peny.), Yogjakarta, Bentang, 2001, hal. 159.
42
Kris Budiman, op. cit., hal. 63.

38

bahasa membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos yaitu yang
secara semiotis dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran signifikasi yang
disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua (the second order
semiological system). Maksudnya, pada tataran bahasa atau sistem
semiologis tingkat pertama (the first order semiological) penanda-penanda
berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian sehingga menghasilkan
tanda. Selajutnya, tanda-tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya
hanya akan menjadi penanda-penanda yang berhubungan pula dengan
petanda-petanda pada tataran kedua. Pada tataran signifikasi lapis kedua
inilah mitos bercokol.43 Aspek material mitos, yakni penanda-penanda pada
tingkat kedua, dapat disebut sebagai retorik atau konotator-konotator, yang
tersusun dari tanda-tanda pada sistem pertama; sementara petandapetandanya sendiri dapat dinamakan sebagai fragmen ideologi.44
1) Didalam tataran bahasa (language), yaitu sistem semiologis lapis
pertama, PENANDA-PENANDA berhubungan dengan PETANDAPETANDA sedemikian sehingga menghasilkan TANDA.
2) Selajutnya, didalam tataran mitos, yakni sistem semiologis lapis kedua,
tanda-tanda pada tataran pertama tadi menjadi PENANDA-PENANDA
yang berhubungan lagi dengan PETANDA-PETANDA.
Dari uraian dan peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif
(3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat
bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). 45 Jadi, tanda
43

Ibid., hal. 64.
Ibid., hal. 65.
45
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi. Bandung, Rosydakarya, 2003, hal. 69.
44

39

(penanda dan petanda) pada tahap pertama menjadi penanda pada tahap
kedua yang mempunyai petanda yang lain (mengalami perluasan
makna/konotasi). Dengan perkataan lain, tekanan yang ada dalam semiotik
signifikansi adalah pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu
konteks tertentu.46
Hal ini sesuai dengan pandangan Saussure bahwa “Tanda-tanda di
susun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau
representasi visual) dan sebuah konsep dimana citra-bunyi disandarkan”.
Bagi Saussure, satu hal