Sikap yang Diterapkan Direksi dalam Meng

“SIKAP YANG DITERAPKAN DIREKSI DALAM MENGELOLA
PERSEROAN TERBATAS, DIKHUSUSKAN PADA PRINSIP ITIKAD
BAIK”
Dyah Anggun Sismami, FH UNS 2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Seiring perkembangan zaman dan teknologi yang makin pesat, makin

pesat pula pemikiran masyarakat Indonesia tentang kebutuhan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Ditandai dengan munculnya badan-badan usaha, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang dikelola oleh
pemerintah maupun dikelola oleh swasta, milik perseorangan maupun milik
kolektif, yang berupa persekutuan orang maupun persekutuan modal, yang
begerak diberbagai bidang perekonomian, seperti usaha-usaha yang bergerak
dibidang perdagangan, jasa konstruksi, percetakan, forwarding, industri dan lainlain.
Bermula

dari


badan

usaha

yang

berdiri

tunggal,

kemudian

mengembangkan kegiatannya dengan membentuk cabang usaha atau anak
perusahaan, jika perusahaan tersebut berbentuk Peseroan Terbatas, yang mana
tujuannya adalah mendukung kegiatan ekonomi dari seluruh perusahaan yang ada
di dalamnya, sehingga akan menjadikan kegiatan usaha yang dinamis, kondusif
dan making a profit setinggi-tingginya. Ini dikarenakan sikap masyarakat
Indonesia yang cenderung konsumtif dan selalu menginginkan sesuatu yang baru,
sehingga mendorong para pengusaha untuk menciptakan badan-badan usaha yang

tentunya diharapkan mampu menunjang keinginan dan kebutuhan masyarakat.
Karena

mudah

dalam

proses

pengembangannya,

Perseroan

Terbatas merupakan badan usaha yang berjalan paling pesat di Indonesia. Selain
mudah berkembang, perseroan juga diatur dalam Undang-Undang sehingga dapat
dipastikan bahwa Undang-undang menjaminnya dalam segala aspeknya. Seperti

diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas) dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar

Modal. (Selanjutnya disebut UUPT. Undang-Undang ini menggantikan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas). Istilah Perseroan
Terbatas terdiri atas dua kata, yakni perseroan dan terbatas. Perseroan merujuk
kepada modal PT yang terdiri dari sero-sero atau saham-saham. Kata terbatas
merujuk kepada tanggung jawab pemegang saham yang luasnya hanya terbatas
pada nominal semua saham yang dimilikinya. (H.M.N Purwosutjipto, op.cit., Jilid
2, hlm 85).
Perseroan memiliki dua sisi, yaitu pertama sebagai badan hukum dan disisi lain
adalah sebagai wadah atau tempat diwujudkannya kerjasama antara pemegang
saham atau pemilik modal.
Karena berbadan hukum, maka pendirian PT lebih rumit dan komplek
daripada pendirian badan usaha yang tidak berbadan hukum. Sebagai suatu badan
hukum Perseroan Terbatas dapat memiliki hak dan kewajiban yang dapat dimiliki
oleh subyek hukum, seperti halnya dengan orang perseorangan. Untuk
melaksanakan hak dan kewajibannya tersebut, Perseroan Terbatas mempunyai
organ-organ perseroan dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
Ketentuan-ketentuan yang memuat persyaratan konstitutif badan hukum
dapat ditemukan dalam anggaran dasar dan/atau peraturan perundang-undangan
yang menunjuk orang-orang mana yang dapat bertindak untuk dan atas tanggung
jawab badan hukum. Orang-orang tersebut disebut sebagai organ badan yang
merupakan suatu esensial organisasi itu. (Ali Ridho, Badan Hkum dan Kedudukan

Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan Koperasi, Yayasan, Wakaf (Bandung;
Alumni, 1986), hlm 17).
Pasal 1 Butir 2 UUPT secara tegas menyebutkan, bahwa organ perseroan terdiri
dari :
1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);
2. Direksi; dan
3. Komisaris.

Masing-masing organ perseroan ini mempunyai fungsi dan kewenangan
yang diatur dalam aturan perundang-undangan. Pemegang saham mempunyai hak
pengendalian tertinggi dalam suatu perseroan, yang mana salah satu
kewenangannya adalah menunjuk dan mengangkat direksi dan dewan komisaris.
Dalam hal ini menunjuk direksi untuk memimpin perusahaan. Sedangkan direksi
dalam

mengemban

komisaris.

tugasnya,


(Khairandy

memimpinperusahaan diawasi

Ridwan, Pokok-Pokok

oleh

Hukum

dewan
Dagang

Indonesia, (Yogyakarta; UII Press, 2013), hlm 93).
Dalam Perseroan Terbatas, direksi adalah pilar utama yang menjamin
kelangsungan usaha perseroan dimana perseroan sebagai artifical person dan
direksi sebagai natural person. Disebut pilar utama karena keberadaan direksi
itulah yang menjamin Perseroan Terbatas sebagai person yang hidup. Tanpa
Direksi, Perseroan Terbatas hanya sekedar person yang lumpuh. Direksi tidak

pernah ada jika tidak pernah dibentuk, karena itu Perseroan Terbatas ada karena
keterkaitan dengan direksi. Dengan demikian eksistensi Perseroan Terbatas
dengan direksi bersifat mutualisme.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam menjalankan tugasnya
direksi mempunyai hak diskresi, yang merupakan wewenang yang berkaitan
dengan kebijakan untuk mengambil suatu keputusan dalam menjalankan kegiatan
ekonomi perseroan atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi, dengan batasbatas yang diatur dalam undang-undang.
Direksi harus memiliki prinsip itikad baik dan bertanggung jawab agar
dalam mengemban tugasnya memimpin perseroan, direksi dapat menjalankannya
sesuai kepentingan perseroan, demi kelangsungan dan kemajuan serta
keberhasilan perseroan terbatas.
Namun bagaimana jika direksi lalai dan mengabaikan prinsip itikad baik?
1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang

diangkat dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana penerapan prinsip itikad baik direksi dalam memimpin
Perseroan Terbatas?


b. Apa akibat hukum jika direksi mengabaikan prinsip itikad baik dalam
memimpin Perseroan Terbatas?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penerapan Prinsip Itikad Baik Direksi dalam Memimpin Perseroan dan
Akibat Hukum Jika Mengabaikannya
1. Penerapan Prinsip Itikad Baik Direksi dalam Memimpin Perseroan
Tugas Pokok Mengurus Perusahaan (Daily Management) Oleh Direksi
Pasal 92 ayat 1 UUPT berisikan tugas utama direksi, yaitu menjalankan
pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud
dan tujuan perseroan. Penjelasan Pasal 92 ayat 1 UUPT menegaskan kembali
tentang ruang lingkup dari frasa “pengurusan perseroan” yaitu pegurusan seharihari dari perseroan. Tugas dan sekaligus kewajiban direksi untuk mengurus
sehari-hari perseroan (daily management) memberikan kedudukan khusus direksi
selaku organ PT, dimana organ PT lainnya yaitu RUPS dan dewan komisaris tidak
memiliki tugas dan kewajiban ini.
Tugas yang melekat pada direksi tersebut ialah melakukan pengurusan
sehari-hari perseroan, membawa akibat hukum bagi direksi ialah bertanggung
jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 97 ayat 1
UUPT. Untuk lebih jelasnya kami mengutip redaksional Pasal 92 ayat 1 dan Pasal

97 ayat 1 UUPT: Pasal 92 ayat 1: “Direksi menjalankan pengurusan Perseroan
untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan”.
Pasal 97 ayat 1: “Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)”.
2. Tugas Direksi
Fiducuary Duties Dari Direksi: Kepentingan Perseroan vis a vis Itikad
Baik. Prinsip

utama

doktrin

fiduciary

duty

diberlakukan

dalam


UUPT No.40/2007 Pasal 97 ayat (2), “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab”. Lalu Pasal 97 ayat (3) merupakan petunjuk duty of loyalty,

“Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian
Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”. Dilanjutkan Pasal
97 ayat (4) merupakan petunjuk duty of care tanggung jawab menjadi tanggung
renteng, “Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih,
tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung
renteng bagi setiap anggota Direksi “.
Tugas dan kewajiban melaksanakan pengurusan sehari-hari perseroan
untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan tersebut dalam
common law system dikenal dengan prinsip fiduciary duties. Dengan prinsip
fiduciary duties ini direksi mempunyai hubungan fidusia dengan perseroan
dimana direktur telah mengikatkan diri dengan atau kepada perseroan untuk
bertindak dengan itikad baik (bonafid) untuk kemanfaatan dan keuntungan
perseroan. Jadi terdapat relasi integral antara kepentingan perseroan dan itikad
baik yang keduanya harus dijalankan oleh direksi.
Prinsip ini juga ditegaskan oleh Sutan Remy S. yang mengatakan bahwa

kedua unsur “kepentingan dan tujuan/ usaha perseroan” dan “itikad baik dan
penuh tanggung jawab” sebagai bagian integral dari pengurusan perseroan oleh
direksi harus dipenuhi secara kumulatif dan bukan alternatif, artinya harus
dipenuhi kedua-duanya.
Pasal 97 ayat 2 UUPT tegas membebankan adanya “itikad baik” dan
penuh “tanggung jawab” (standard of care) kepada Direksi. Apabila direksi
terbukti bersalah atau lalai menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab tersebut yang menyebabkan perseroan menderita kerugian, maka
Pasal 97 ayat UUPT, direksi tersebut wajib memikul tanggung jawab penuh secara
pribadi atas kerugian yang diderita perseroan.
Pasal 97 ayat 3 UUPT: “Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh
secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau
lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2)”.
3. Pertanggungjawaban Direksi

Secara

umum


pertanggungjawaban

direksi

adalah

menyusun

pertanggungjawaban pengelolaan perseroan dalam bentuk laporan tahunan yang
memuat antara lain laporan keuangan, laporan kegiatan perseroan dan laporan
pelaksanaan GCG (Good Corporate Governance). Laporan tahunan tersebut harus
memperoleh persetujuan RUPS, sedangkan laporan keuangan harus memperoleh
pengesahan RUPS. Pertanggungjawaban direksi kepada RUPS ini merupakan
perwujudan akuntabilitas pengelolaan perseroan dalam rangka pelaksanaan
prinsip GCG.
Jika berbicara mengenai pertanggungjawaban, maka dapat dilihat dari segi
hubungan ekstern dan segi hubungan intern. Tanggung jawab ekstern adalah
tanggung jawab sebagai dampak dalam hubungan dengan pihak luar. Sedangkan
tanggung jawab intern adalah dampak dari hubungan si pengurus sebagai organ
terhadap organ lainnya, yaitu institusi komisaris dan/atau rapat umum pemegang
saham. Sedangkan jika dilihat dari substansinya, maka tanggung jawab direksi
perseroan terbatas dibedakan setidak-tidaknya menjadi empat kategori, yakni:
a.

tanggung jawab berdasarkan prinsip fiduciary duties dan duty to skill
and care;

b.

tanggung jawab berdasarkan doktrin manajemen ke dalam (indoor
manajement rule);

c.

tanggung jawab berdasarkan prinsip ultra vires; dan

d.

tanggung jawab berdasarkan prinsip piercieng the corporate veil.

4. Kewenangan Direksi
Direksi suatu PT dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai
organ PT yang bertanggung jawab dalam pengurusan sehari-hari perseroan oleh
UUPT dilengkapi dengan kewenangan (otoritas) karena tanpa adanya kewenangan
tersebut, pelaksanan tugas dan kewajibannya jelas tidak efektif. Secara garis besar
kewenangan direksi terbagi atas:
a. Kewenangan Mewakili PT
Kewenangan direksi yang diatur dalam UUPT adalah kewenangan
mewakili PT baik di dalam maupun di luar pengadilan sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 98 ayat 1 UUPT:

“Direksi mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan”.
Direksi yang mewakili perseroan tersebut bertindak berdasarkan kuasa menurut
hukum (wettelijke vertegenwoording atau legal mandatory) yang artinya UUPT
sendiri yang telah menetapkan direksi menurut hukum berindak mewakili orang
atau badan hukum (PT) tanpa memerlukan surat kuasa.
b. Kewenangan Menetapkan Keputusan
Pasal 97 UUPT merupakan gambaran dari Business Judgement Rule cermin
kemandirian dan diskresi dari direksi dalam memberikan putusan bisnisnya. Hal
ini merupakan perlindungan bagi direksi yang beritikad baik dalam menjalankan
tugas-tugasnya. Perlindungan hukum tersebut memberikan jaminan bahwa
putusan direksi mengenai aktifitas perseroan tidak dapat diganggu gugat oleh
siapapun, sepanjang:
1)

putusan sesuai hukum yang berlaku

2) dilakukan dengan itikad baik
3)

dilakukan dengan tujuan yang benar

4)

putusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional

5)

dilakukan dengan kehati-hatian

6)

dilakukan dengan cara yang secara layak diakui sebagai yang terbaik bagi
perseroan

5. Penerapan Prinsip Itikad Baik Direksi
Dalam mengemban tugas untuk memimpin perseroan direksi harus
menerapkan prinsip itikad baik (good faith). Itikad baik ini sebenarnya adalah
masalah integritas moral yang berkaitan dengan tindakan-tindakan atau
kewenangan direksi, terutama dalam menjalankan hak diskresinya, tanpa
diganggu gugat oleh siapapun. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang
dimaksud “itikad baik”?. Karena jika hanya ditelusuri dari UUPT baik dari pasalpasalnya

maupun

penjelasannya

tidak

memberikan

kepastian

secara jelas mengenai maksud dari prinsip itikad baik ini. Oleh karena UUPT
tidak memberikan batasan mengenai konsep itikad baik, maka perlu dilakukan
kajian mengenai konsep tersebut. Kajian itu dapat dilakukan dengan menggali
pustaka hukum dan putusan-putusan pengadilan mengenai konsep itikad baik.

Karena UUPT mengacu pada Undang-Undang Perseroan di Inggris dan negaranegara yang menganut common law system, maka sudah sepatutnya mengacu
pada pustaka-pustaka hukum yang ditulis oleh pakar hukum common law system
atau common law yang telah menjadi sumber pebuatan UUPT.
Prinsip itikad baik ini secara yuridis sebenarnya tidak ada aturan yang
baku, yang secara detail dan rinci mengatur hal tersebut, baik mengenai definisi,
metode penerapan, ataupun batasan-batasannya. Jadi prinsip ini adalah masalah
integritas moral yang dilaksanakan berdasarkan “corporate culture”. Corporate
culture dalam kaitannya Perseroan Terbatas adalah kebiasaan yang dilakukan
secara berulang-ulang di dalam perusahaan oleh organ-organ dan para karyawan
yang ada di dalamnya, dimana kebiasaan tersebut dari waktu ke waktu
menjadikan kebiasaan mempunyai kekuatan normatif, sehingga ketika dalam
undang-undang tidak memuat aturan secara khusus dan detail mengenai suatu
masalah, maka kebiasaan ini dapat dijadikan pedoman, sepanjang kebiasaan
tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban
umum, serta yang pasti tidak menyimpang dari ketetapan anggaran dasar dan
tujuan utama perseroan.
Sementara corporate culture antara perusahaan yang satu dan perusahaan
yang lain pasti ada perbedaan. Jadi corporate culture tergantung dari kebiasaan
(yang menjadi aturan) masing-masing perusahaan, tanpa ada interfensi dari
perusahaan lain untuk menetapkan kebiasaan tersebut. Sehingga dapat dikatakan
pendefinisian, batasan-batasan dan metode penerapan itikad baik berbeda pada
masing-masing perusahaan, sekalipun perbedaannya tidak terlalu signifikan,
karena pada dasarnya itikad baik itu sendiri adalah bentuk pertanggungjawaban
moral terutama pemimpin perusahaan. Berbicara mengenai pertanggungjawaban
moral perusahaan pasti tidak lepas dari aturan perusahaan itu sendiri, dalam hal ini
adalah masalah kode etik perusahaan. Kode etik yang harus dimiliki oleh direksi
ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1) Kode etik intern perusahaan, yaitu kode etik yang harus diterapkan oleh
direksi dalam lingkup perseroan itu sendiri, etika yang harus diterapkan saat
berinteraksi dengan orang-orang yang ada di dalam perseroan.

2)

Kode etik ekstern perusahaan, yaitu kode etik yang harus dijalankan oleh
direksi dalam menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang ada di luar
perseroan, contohnya dalam hal direksi bertugas untuk mewakili perseroan
atas perbuatan hukum yang dilakukan di luar perseroan.

Dalam UUPT tidak memberikan aturan detail mengenai penerapan itikad baik ini,
tetapi secara implisit dan didukung oleh aturan-aturan lain yang berkaitan dengan
itu, maka dapat disimpulkan bahwa direksi dikatakan mempunyai itikad baik,
apabila:
1)

menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab dan dengan kehati-hatian

2)

menetapkan keputusan sesuai dengan hukum yang berlaku

3)

penetapan putusan tersebut dilakukan dengan tujuan yang benar, sesuai
maksud dan tujuan perseroan

4)

segala tindakan dimaksudkan untuk kepentingan dan tujuan perseroan

5)

bertindak sesuai dengan arahan dalam RUPS, sebagai pengendali tertinggi
perseroan dan mejadikan nasihat-nasihat dewan komisaris sebagai bahan
pertimbangan

6)

menjalankan tugas sesuai dengan anggaran dasar.

2.2 Akibat

Hukum

Jika

Direksi

Mengabaikan

Prinsip

Itikad

Baikdalam Memimpin Perseroan Terbatas
Setiap perbuatan hukum pasti akan mempunyai akibat hukum, seperti
halnya direksi yang mengabaikan penerapan prinsip itikad baik dalam
mengemban tugsanya memimpin sebuah Perseroan Terbatas (PT) pasti akan
mempunyai akibat hukum juga.
Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan,
sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Selain itu direksi berwenang
menjalankan pengurusan sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat dalam
batas yang ditentukan dalam UUPT serta anggaran dasar. Pengurusan yang
dilakukan oleh direksi tersebut harus dilakukan dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab. Mengenai hal ini sudah diatur dalam Pasal 97 ayat 2 :

“Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap
anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”.
Sementara itu apabila direksi mengabaikan penerapan prinsip itikad baik
dalam mengemban tugasnya sesuai dengan pasal diatas, pasti akan menimbulkan
akibat-akibat hukum. Konsekuensi atau akibat hukum tersebut tergantung dari
akibat yang ditimbulkan oleh adanya penyimpangan dari itikad baik tersebut, atau
bahkan menimbulkan akibat yang paling buruk bagi perseroan yaitu kerugian
yang berakhir pailit.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 97 ayat 3: “Setiap anggota Direksi
bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang
bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (2)”.
Sehubungan dengan pasal-pasal yang disebutkan di atas, dihubungkan
dengan Pasal 97 Ayat (5) UUPT 2007 barulah nampak di situ adanya pengecualian
tanggung jawab penuh direksi dalam pengurusan perseroan sebagaimana
dimaksud di atas. Sementara itu pada Pasal 97 Ayat (5) UUPT 2007 ditegaskan
bahwa, “Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian
sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) apabila dapat membuktikan:
1)

kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

2)

telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

3)

tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

4)

telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 92 Ayat (2) menyebutkan bahwa direksi

berwenang menjalankan pengurusan tersebut sesuai dengan kebijakan yang
dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam UUPT dan/atau anggaran
dasar. (Ridwan Khairandy. 2013. Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia.
Yogyakarta: FH UII Press. Halaman 105). Jika direksi melakukan tindakan yang
tidak tepat menurut undang-undang dan anggaran dasar, akan tetapi menurut

direksi itu sendiri bahwa kebijakan yang diambilnya itu sudah tepat, maka
dikembalikan kepada Pasal 97 Ayat (5) di atas.
Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas terdapat beberapa hal mengenai pertanggungjawaban yang belum jelas
karena harus dibuktikan terlebih dahulu. Dalam praktiknya penerapan UndangUndang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tersebut sebenarnya
mengalami kendala, khususnya dalam hal pertanggungjawaban direksi. Hal ini
terjadi karena masih belum adanya standar yang jelas untuk mengukur
pertanggungjawaban direksi tersebut. Misalnya ukuran “itikad baik” dalam Pasal
97 Ayat (2) belum ada ukuran yang jelas, mungkin karena ini persoalan yang
berhubungan erat dengan moral atau hati kecil dari anggota direksi sehingga
dalam penerapannya sulit untuk menentukan ukuran kapan seorang direksi itu
bertindak dengan itikad baik atau tidak.
Hal itu mengingat pentingnya untuk menentukan apakah seorang direksi
dapat dimintai pertanggungjawabannya atau tidak. Karena perusahaan adalah (risk
taker) yang bertujuan untuk mencari keuntungan dimana direksi sebagai organ
perusahaan dalam mengambil keputusan bisnis seringkali bersifat spekulatif yang
bertendensi untuk mengalami kerugian. Di sinilah pentingnya standar mengenai
pertanggungjawaban untuk dapat melihat keputusan bisnis manakah yang diambil
sesuai dengan prosedur demi kepentingan perusahaan ataukah keputusan bisnis
yang diambil untuk kepentingan direktur itu sendiri.
Sehubungan dengan ketentuan dalam Pasal 97 (5) Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas seorang direksi perseroan bebas dari
tanggung jawab atas kerugian perseroan apabila dapat membuktikan hal-hal yang
telah disebutkan di atas. Kemudian Prof. Dr. Bismar Nasutin, S.H., M.H., yang
merupakan Guru

Besar

Hukum

Ekonomi

Universitas

Sumatera

Utara merumuskannya menjadi lima syarat yaitu:
1) Kerugian yang timbul bukan karena kesalahan atau kelalainnya;
2) Direktur melakukan kepengurusan dengan beritikad baik dan hati-hati;
3) Kepengurusan dilakukan untuk kepentingan dan tujuan perusahaan;
4) Direktur tidak mempunyai conflict of interest; dan

5) Telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah kerugian.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas mengenai penerapan prinsip itikad baik
direksi dalam memimpin Perseroan Terbatas, maka dapat disimpulkan:
a) Penerapan prinsip itikad baik direksi dalam memimpin Perseroan Terbatas,
yaitu berkaitan dengan pengurusan wajib dilaksanakan setiap anggota direksi
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Dalam penerapan prinsip ini
memang tidak ada aturan yang baku berkenaan dengan definisi, batasan-batasan
maupun metode penerapannya, tetapi secara implisit dan didukung oleh aturan
lain yang berkaitan dengan masalah tersebut maka dapat dikatakan bahwa direksi
mempunyai itikad baik, apabila:
1) Menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab dan dengan kehatihatian;
2) Menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab dan dengan kehatihatian;
3) Penetapan putusan tersebut dilakukan dengan tujuan yang benar, sesuai
maksud dan tujuan perseroan;
4) Segala tindakan dimaksudkan untuk kepentingan dan tujuan perseroan;
5) Bertindak sesuai dengan arahan dalam RUPS, sebagai pengendali
tertinggi perseroan dan mejadikan nasihat-nasihat Dewan Komisaris
sebagai bahan pertimbangan, dan
6) Menjalankan tugas sesuai dengan anggaran dasar.
b) Akibat hukum jika direksi mengabaikan penerapan prinsip itikad baik dalam
memimpin Perseroan Terbatas, mengenai akibat hukum jika direksi lalai dalam
menjalankan tugasnya, yang berakibat meruginya perseroan, maka diatur bahwa
setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian
perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya

sesuai dengan ketentuan undang-undang (dalam hal mengabaikan itikad baik),
sepanjang tidak dapat membuktikan:
1) Kerugiaan yang timbul bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
2) Direktur melakukan kepengurusan dengan beritikad baik dan hati-hati;
3) Kepengurusan dilakukan untuk kepentingan dan tujuan perusahaan;
4) Direktur tidak mempunyai conflict of interest;
5) Telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah kerugian
3.2 Saran
Seharusnya ada aturan yang detail dan rinci sebagai bentuk kepastian
hukum tentang masalah itikad baik direksi, dalam hal pendefinisian, metode
penerapan dan sebagainya supaya direksi dapat menjalankan tugasnya dengan
baik, sesuai dengan aturan yang berlaku. Dan juga diadakannya sosialisi yang
merata mengenai aturan-aturan yang berkaitan dengan masalah itikad baik kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
DAFTAR PUSTAKA
Ridwan Khairandy. 2014. Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia. Yogyakarta :
FH UII Press
Ridwan Khairandy. 2009. Perseroan Terbatas. Yogyakarta: Total Media
Purwosutjipto, HMN. 1995. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Bentukbentuk perusahaan. Jakarta: Djambatan
Ali Ridho. 1986. Badan Hkum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan,
Perkumpulan Koperasi, Yayasan, Wakaf . Bandung: Penerbit Alumni
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas

Dokumen yang terkait

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

6 163 90

Kesesuaian konsep islam dalam praktik kerjasama bagi hasil petani desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur

0 86 111

Upaya guru PAI dalam mengembangkan kreativitas siswa pada mata pelajaran pendidikan agama islam Kelas VIII SMP Nusantara Plus Ciputat

48 349 84

Konsep kecerdasan ruhani guru dalam pembentukan karakter peserta didik menurut kajian tafsir Qs. 3/Ali-‘Imran: 159

9 101 103