Sejarah Panjang Suara Perempuan dalam Hi

Sejarah Panjang “Suara” Perempuan dalam Historiografi Indonesia
Eka Ningtyas
ekaningtyas09@yah00.com

A. Pendahuluan
Ada sebuah diskusi menarik mengenai kapan “suara-suara” perempuan hadir dalam
penulisan sejarah di Indonesia? Tentu saja untuk menjawab pertanyaan ini perlu menjawab pula
mengenai, sejak kapan sebenarnya “suara-suara” perempuan ini hadir di dunia? Apakah “suarasuara” perempuan di Indonesia ini mendapat pengaruh dari luar? Atau telah menjadi sebuah
perjalanan pandang yang berpusat dari dalam Indonesia itu sendiri? Mengapa suara perempuan
harus dihadirkan dalam penulisan sejarah Indonesia? Apakah memang perempuan benar-benar
tersubordinasi tidak hanya dalam kehidupan sosial, namun sampai masuk hingga dalam ranah
tulisan sejarah? Mengapa harus mengkotak-kotakkan ini tulisan suara laki-laki dan ini tulisan
suara perempuan dalam historiografi Indonesia? Mengapa harus ada istilah sumber patriarki?
Apa yang membedakan sumber patriarki dengan sumber matriarki?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bermunculan dalam benak saya, menghantarkan saya
untuk memahami terlebih dahulu akar mula suara perempuan benar-benar hadir dalam
memperjuangkan kesetaraan gender dengan laki-laki. Seperti dalam buku Irwan Abdullah1,
Sangkan Paran Gender yang memberikan gambaran mengenai konsep nature-culture pada
hubungan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan digambarkan sebagai nature yang
memiliki sifat alam seperti melahirkan, mendidik anak, mengurus urusan dalam rumah tangga
saja, harus ditaklukkan atau ditundukkan oleh laki-laki supaya lebih berbudaya culture.

Penjelasan dari Irwan Abdullah mengenai gambaran gender laki-laki dan perempuan ini tentu
saja menyiratkan bagaimana posisi perempuan pada awalnya kurang menguntungkan dan
bersifat domestic, sedangkan laki-laki lebih pada public. Pergumulan gender ini tentu saja masih
terasa terkadang sampai hari ini, hal ini erat kaitannya dengan norma adat, budaya serta ajaran
agama yang juga turut andil besar dalam konstruksi sosial mengenai gender ini.
Pada awalnya saya bingung hendak mencari buku seperti apa yang menyuarakan
perempuan dalam tulisan sejarah? apakah tulisan kartini yang melegenda dan dianggap terlalu
canggih untuk alam budaya pada masa itu? Ataukah tulisan pramudya anantatoer yang banyak
mengambil setting feodalisme dalam menggambarkan perempuan? namun bila menggunakan
tulisan-tulisan Pramudya Anantatoer, maka saya akan dihadapkan pada permasalahan, apakah
bisa karya sastra dipergunakan sebagai sumber sejarah? karena menurut saya tidak semua karya

1

Irwan Abdullah, Sangkan Paran Gender, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hlm 20.

Pramudya Anantatoer dapat dipergunakan sebagai sumber sejarah 2. ataukah tulisan-tulisan yang
memang telah direkomendasikan oleh ibu Mutiah Amini seperti tulisan Linda Nicholson3, dan
Joan Wallach Scoot4? Beberapa hari yang lalu Ronnie Hayley memberikan sebuah buku karya
Jared Diamond5 yang dianggapnya terlalu laki-laki bahkan sama sekali tidak menyuarakan

perempuan disitu, semakin membuat saya bertanya-tanya bagaimana sebenarnya membedakan
tulisan laki-laki dan perempuan pada hakikatnya?
Keterbatasan pemahaman teoritis saya mengenai sejarah perempuan, dengan konsepkonsepnya yang berbau sangat antropologi sekali, menjadikan ketakutan tersendiri bagi saya
tidak bisa membedakan mana kajian sejarah dan mana kajian antropologi. Karena memang
kajian yang banyak membicarakan mengenai perempuan saat ini banyak dikaji oleh antropologantropolog. Sehingga dalam hal ini, saya akan mencoba menjelaskan sebisa saya mengingat
belum banyaknya teori sejarah perempuan yang saya dapatkan dari matakuliah ini, karena
memang teori akan diberikan setelah ujian tengah semester. Saya akan berusaha membuat
konsep kerangka pemikiran saya.
B. Gerakan Perempuan = Suara Perempuan
Untuk menuju pada jawaban itu, saya akan mencari akar mula gerakan perempuan hadir
dahulu melalui periodisasi. Saya membaginya menjadi dua gelombang pergerakan kesadaran
kaum perempuan di Indonesia, yaitu pada akhir abad ke-19 dan pada tahun 1960-an. Dalam
karya Saparinah Sadli6 menyebutkan mengenai pergerakan yang bertujuan untuk memajukan
kaum perempuan yang terjadi di berbagai negara Barat pada akhir abad ke-19 yang biasa disebut
sebagai gerakan kaum suffrage. Tema gerakan suffrage ini bersumber pada pikiran kaum sosialis
yang menyadari bahwa dalam masyarakat masih ada suatu golongan manusia yang belum
terfikirkan nasibnya. Golongan masyarakat yang terabaikan ini adalah kaum perempuan.
Pemikiran dari kaum suffrage tentu saja membawa pengaruhnya sampai ke Hindia Belanda pada
2


Karya sastra memang benar dalam alam paradigma post-modernisme dapat dipergunakan sebagai sumber
sejarah, namun yang menjadi masalah sekarang ketika novel digunakan sebagai sumber sejarah. Karya sastra dapat
dijadikan sumber sejarah selama karya tersebut merupakan wujud refleksi sosial yang terjadi pada masa tertentu dan
biasanya penulis memiliki jiwa jaman yang khas dalam menghadirkan refleksinya tersebut. Sastra digunakan untuk
menjelaskan realitas sejarah itu sendiri, karena didalam karya sastra juga terdapat frame of thought jika boleh
mengutip istilah yang digunakan oleh Sartono Kartodirjo. Frame of thought yang ada dalam karya sastra tentunya
berbentuk plot yang digunakan untuk mengatur alur cerita. Seperti dalam novel Kuartet dan cerita Minke dalam
bukunya Pram, tidak bisa dijadikan sumber sejarah namun bisa digunakan untuk membangun imajinasi mengenai
periode tahun itu.
3

Linda Nicholson, Gender and History: The Limits of Social Theory in the Age of the Family (New York:
Columbia University Press, hardback edition, 1986; paperback edition 1988).

4

Joan Wallach Scott, Gender and Politics History, Colombia University Press, 1988.

5


Jared Diamon, Guns, Germs, and Steel : the fates of human societies, (New York: W.W. Norton, 2005)
Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm. 59.

6

masa itu. Kartini yang hidup diakhir abad ke-19 melalui tulisan-tulisannya yang menuntut
kesetaraan gender dalam hal pendidikan banyak terinspirasi dari tulisan seorang perempuan India
bernama Pandita Rambai. Kartini beranggapan tulisan-tulisan Rambai sebagai perempuan nonBarat mampu mengutarakan pikiran-pikirannya secara gambling, khususnya mengenai nasib
kaum perempuan di India. Dari situlah Kartini mulai banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang
menggebrak dan terlalu canggih untuk jamannya, seperti kita ketahui kartini lahir dalam keluarga
feodal yang tentu saja sangat patriarki, karena itulah boleh dikatakan Kartini sebagai seorang
feminis.
Gayung pun bersambut, politik etis mulai diberlakukan oleh Wilhelmina pada tahun 1901
di Hindia Belanda yang membuka peluang besar bagi pribumi untuk menuntut ilmu dalam
pendidikan barat, tentu saja jumlah perempuan yang berpartisipasi masih sangat kecil dan dalam
golongan tertentu saja yang bisa mengakses pendidikan pemerintah7. Dari sini kemudian
kesadaran mengenai pendidikan dan kesetaraan gender mulai diperdengarkan dan feodalisme
sedikit demi sedikit walau tidak seluruhnya, mulai longgar. Kesadaran-kesadaran itu kemudian
membawa kita pada Angkatan Balai Pustaka yang bertahan sejak tahun 1920 hingga tahun
1930an dengan karya-karyanya yang melegenda seperti novel-novel karya Muhammad Yamin

(Ken Arok Ken Dedes), Abdul Muis (Salah Asuhan), Marah Rusli (Siti Nurbaya), dan Merari
Siregar (Azab dan Sengsara) yang bisa saya tarik garis memiliki kesamaan mengenai keadaan
percintaan yang tentu saja tetap membuat posisi perempuan menjadi subordinasi laki-laki.
Namun novel-novel diatas hadir dengan nilai-nilai yang tentu saja sesuai dengan jiwa jamannya
pada masa itu. Bentuk perjuangan menuju kesetaraan dari perempuan-perempuan pada masa itu
tentu saja berbeda dengan yang saat ini kita ketahui, berbeda pula value-nya.
Seperti dalam kisah Siti Nurbaya dan Kartini yang memiliki kesamaan pola, disaat
mereka sedang memperjuangkan sesuatu yang tidak mudah dipenuhi pada jamannya (cinta dan
masa depan), mereka harus mengalah dan menyerah ketika dihadapkan pada pilihan “ayah”,
digambarkan Siti Nurbaya tunduk dan mau menikahi Datuk Maringgih karena rasa hormatnya
yang begitu besar pada ayahnya, dan supaya ayahnya tidak dipenjarakan karena tidak sanggup
membayar hutang. Sedikit berbeda dengan Kartini namun masih dalam pola yang sama, ketika
Kartini melakukan kritik pada kehidupan feodalisme yang dijalaninya dalam surat-suratnya yang
dikirimkan pada Mevrouw Abendanon, namun juga Kartini begitu menghormati ayahnya walau
menjadikan ibunya yang dinikahinya pertama ketika masih menjabat sebagai wedana kemudian
posisinya menjadi kedua setelah menjadi Bupati Jepara dan menikah lagi dengan perempuan
yang sederajat dengan posisi barunya itu. Kartini harus memanggil dan memposisikan ibunya
lebih rendah dari pada dia dan harus hormat kepada ibu keduanya. Protes-protes yang diajukan
Kartini dengan kehidupan poligami seketika runtuh saat ayah yang sangat dihormatinya
7


Sekolah-sekolah swasta dari Misionaris Katolik dan Zending Kristen lebih longgar dalam aturan
perekrutan siswanya, pada awalnya digambarkan bagaimana para misionaris dan zending mencari hingga kedesadesa dengan mendekati pemimpin desa untuk menyekolahkan anaknya di sekolah mereka, tentu saja dengan
tendensi yang bersifat konversi agama pula, baca: Iswanti, Jaman Emansipasi : Perempuan Katolik Pionir dari
Mendut 1908-1943, (Yogyakarta: Kanisius, 2005)

memintanya menikah dengan Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat sebagai istri ketiga, ketika
Kartini memprotes feodalisme dan kebiasaan berpoligami, namun ketika dihadapkan pada rasa
hormat pada ayah (dalam konteks ini sebut saja sebenarnya kartini sangat Patriarkal), dia tidak
bisa berbuat apa-apa. Sehingga bisa saya katakan semangat kartini memang luar biasa dan cerdas
untuk jamannya bahkan menginspirasi hingga hari ini, namun Kartini tidak benar-benar berhasil
menyuarakan emansipasinya dalam kehidupan pribadinya.
Gelombang gerakan kedua datang pada tahun 1960an yang ditandai dengan gerakan
women’s lib di Amerika Serikat yang bersifat gerakan feminism walau untuk negara-negara
Barat tertentu merupakan gerakan sosial-politik. gerakan women’s lib ini lebih kearah gerakan
akademis untuk memikirkan nasib perempuan yang kemudian pengaruh dari women’s lib ini
sampai juga di Indonesia dengan banyaknya studi-studi kajian perempuan, di Indonesia yang
dimulai dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Dari dua gelombang kesadaran
“menyuarakan” perempuan ini dapat menjawab pertanyaan saya mengenai banyaknya tulisan
yang muncul mengenai perempuan, seperti novel-novel Balai Pustaka dan dari Pramudya

Anantatoer maupun kajian-kajian perempuan yang dilakukan pada masa orde Baru dan setelah
orde baru yang masih berjalan hingga hari ini. Represi yang dilakukan rezim orde baru sedikit
banyak memberi pengaruh pada mandulnya kajian perempuan oleh penulis Indonesia dalam
dekade tersebut.
Penulis sejarah disibukkan dengan perubahan sentrisme dalam kaitannya dengan
semangat nasionalisme Indonesia. Namun saya berhasil menemukan dua buah buku dimana
Elisabeth Locher-Scholeten8 menjadi editor dalam kedua buku tersebut9. Buku ini hadir sebagai
bentuk tulisan gelombang gerakan perempuan kedua yang banyak mengkaji mengenai
perempuan di Indonesia dengan mengumpulkan artikel-artikel dari penulis-penulis feminis.
Tulisan yang saya anggap menarik datang dari tulisan Jean Gelman Taylor sebagai seorang
sejarawan sosial yang menuliskan mengenai kehidupan sosial di Batavia dan memberikan contoh
penulisan sejarah perempuan dimulai dari hal-hal yang kecil seperti dalam artikelnya yang
berjudul Women as mediators in VOC Batavia.
Dalam paper ini menjelaskan mengenai aspek medias yang dil;akukan oleh perempuan
Eurasia untuk komunitas pada kota perdagangan Batavia pada abad ke-17 dan ke-18. Perempuan
mediator dalam paper ini merupakan anggota atau bagian dari elit perkotaan dan mereka menjadi
mediator antara laki-laki imgran Eropa dengan orang-orang Asia yang didatangkan oleh Belanda
ke Batavia. Mediasi budaya didalamnya melingkupi pengenalan imigran pria Eropa dengan
bahasa di Batavia yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa utama hingga kebiasaankebiasaan yang dilakukan orang Asia meliputi pakaian, makanan, konsep higienitas, kepercayaan
dan hiburan dan kepaa keanggotaan dengan kelompok sosial ras campuran.

8

Sita van Bemmelen, Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis, Elisabeth Locher-Scholten, Elly TowenBouwsma, Women and Mediation in Indonesia, (Leiden: KITLV, 1992)
9

Elisabeth Locher-Scholten dan Anke Nienhof, Indonesian Women in Focus Past and Present Notion,
(Leiden: KITLV, 1987)

Tentu saja mediator perempuan ini membawa perempuan-perempuan Asia pada
hubungan dengan orang-orang Eropa sebagai Istri, Pengasuh anak, budak dan simpanan.
Beberapa orang Asia mengalami konversi agama menjadi Kristen, mempelajari kebudayaan
Belanda, kemudian mengadopsi beberapa bagian dan pakaian Eropa dan menjalani hubungan
okupasi atau pernikahan dengan pengusa kulit putih. Menurut Jean Gelman Taylor, yang menjadi
perempuan mediator bukan perempuan Belanda tapi perempuan Eurasi yang merupakan produk
pertemuan antara Barat dan Timur. Menariknya mereka tidak menghubungkan antara laki-laki
Eropa dengan perempuan pribumi yang berasal dari keluarga ningrat atau yang berasal dari
tradisi yang kuat namun lebih pada perempuan Asia dari kelompok sosial kebanyakan, yang
berasal dari kelas buruh yang termasuk komunitas non-muslim.
Pada bagian awal paper ini menjelaskan mengenai regulasi yang diberlakukan VOC pada
emigrasi orang-orang Eropa dan penerimaan hubungan perkawinan imigran Belanda dan orang

Asia. Batavia itu sendiri merupakan subordinasi dari pemerintah VOC di Belanda (Heren XVII),
sehingga semua keputusan yang dibuat di Batavia harus mendapat konfirmasi resmi dari VOC di
Belanda, termasuk dalam regulasi perkawinan.
Dituliskan dalam paper itu bahwa laki-laki yang belum menikah dikirim untuk tinggal di
barak-barak dan digambarkan oleh Jean Gelman Taylor makan di meja bersama-sama dan
memiliki kecenderungan melakukan seks dengan para budak wanita. Hubungan seperti ini
kemudian menghasilkan keturunan campuran yang dianggap memiliki daya tahan tubuh lebih
menghadapi daerah tropis dan dianggap lebih sehar dari pada imigran Eropa yang di datangkan
dari Belanda. Banyak kasus menyebutkan bahwa beberapa imigran tersebut meninggal dalam
perjalanan karena tidak kuat daya tahan tubuhnya. Dan dari ras campuran ini kemudian jika
menjadi sfatt VOC akan ditempatkan pada posisi yang berbeda dengan level yang lebih rendah.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa VOC mengirimkan perempuan Belanda totok untuk
dipersiapkan sebagai istri pegawai VOC di Timur, namun praktik semacam ini tidak berjalan
lama karena terlalu mahal serta tingkat kematian perempuan Belanda dan bayinya juga cukup
tinggi.
Menurut saya, artikel ini cukup menyuarakan perempuan karena menggambarkan
bagaimana perempuan pada masa VOC di Batavia menjadi agen mediator yang menengahi dua
kebudayaan Barat dan Timur. Tulisan Taylor ini merupakan tulisan yang dibuat pada tahun
1990an, sehingga masuk dalam kategorisasi pembabakan waktu yang kedua. Walaupun konteks
tulisan yang dibuatnya pada temporal dan spasial VOC di Batavia, namun tulisan ini cukup

menyuarakan perempuan Eurasia di Batavia pada waktu itu. Perempuan mampu hadir sebagai
agen sosial, yang tentunya untuk ukurang pada masa itu cukup sulit dilakukan terutama pada
perempuan-perempuan yang masih terikat kuat dengan budaya feodalisme.
C. Kesimpulan
Dari sini saya dapat memberikan beberapa pandangan mengenai sekitar penulisan sejarah
perempuan, karena memang cukup sulit menentukan mana tulisan yang memiliki subyek
mengenai perempuan, hal ini berkaitan dengan sensitifitas saya sebagai seorang sejarawan yang

masih cukup baru dalam mengkaji sejarah perempuan. Saya mendapat beberapa teori yang
diberikan oleh ibu Dr. Anna Marie Wattie dalam matakuliah seksualitas, kebudayaan dan
masyarakat di jurusan pascasarjana Antropologi, namun tentu saja hal ini sangat berbeda dengan
konteks sejarah perempuan, walau sama-sama mengkaji perempuan. Sehingga dari tulisan ini,
bisa menggambarkan bagaimana kekosongan pengetahuan saya mengenai sejarah perempuan
dengan konsep-konsep maupun pembabakan waktu ataupun sumber tertentu yang digunakan
untuk membedakan antara sumber yang bersifat laki-laki dan yang perempuan. Kemudian
supaya kekosongan itu diisi melalui matakuliah sejarah perempuan ini.
D. Daftar Pustaka
Elisabeth Locher-Scholten dan Anke Nienhof, Indonesian Women in Focus Past and Present
Notion, Leiden: KITLV, 1987.
Jared Diamon, Guns, Germs, and Steel : the fates of human societies, New York: W.W. Norton,

2005.
Joan Wallach Scott, Gender and Politics History, Colombia University Press, 1988.
Irwan Abdullah, Sangkan Paran Gender, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997
Iswanti, Jaman Emansipasi : Perempuan Katolik Pionir dari Mendut 1908-1943, Yogyakarta:
Kanisius, 2005
Linda Nicholson, Gender and History: The Limits of Social Theory in the Age of the
Family, New York: Columbia University Press, hardback edition, 1986; paperback
edition 1988.
Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2010.
Sita van Bemmelen, Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis, Elisabeth Locher-Scholten, Elly
Towen-Bouwsma, Women and Mediation in Indonesia, Leiden: KITLV, 1992.