Monopoli Kepemilikan Media Melanggar HAM
MONOPOLI KEPEMILIKAN MEDIA:
SEBUAH PELANGGARAN HAM
Oleh Masduki
Pengantar
Jakarta, 29 November 2011, Koalisi Independen Untuk Demokratisasi
Penyiaran (KIDP) resmi mengajukan permohonan uji materi pasal 18 dan
pasal 34 UU 32/2002 tentang Penyiaran. Pasal 18 ayat 1 berbunyi: “Pemusatan
kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan
hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi”. Sedangkan
pasal 34 ayat 4 menyebutkan: “Izin Penyelenggaraan Penyiaran Dilarang Dipindahtangankan
Kepada Pihak Lain”.
Setelah 10 tahun lebih berlaku efektif, kedua pasal dalam UU 32/2002
tentang Penyiaran diatas menjadi sumber persoalan serius, ditafsir secara
sepihak oleh pemerintah sehingga terjadi aksi korporasi monopoli
kepemilikan televisi komersial oleh segelintir pengusaha cum politisi dan
kemudian hari menimbulkan kerugian terhadap hak-hak dasar publik untuk
berekspresi menyampaikan pendapat secara adil. KIDP adalah gabungan
lima organisasi masyarakat sipil yaitu: Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Indonesia, Pemantau Regulasi dan Regulator Media yang diwakili penulis,
Yayasan 28, Media Link dan LBH Pers Jakarta. AJI adalah organisasi wartawan
kritis yang antara lain didirikan oleh almarhum aktifis HAM Angger Jati
Wijaya.
Meskipun permohonan uji materi ini kemudian kandas akibat perlawanan
total industri televisi sepanjang proses peradilan di Mahkamah Konstitusi,
namun sejarah mencatat, upaya masyarakat sipil terhadap kapitalisasi dan
hegemonisasi media tidak berhenti, tidak sekedar membuat pernyataan
sikap. Kini, area perjuangan demokratisasi media terbuka lebar melalui revisi
total UU 32/2002 tentang Penyiaran yang sudah bergulir sejak awal 2012.
Stamina, komitmen dan soliditas masyarakat sipil pejuang HAM di sektor
media harus terus dibangun. Tulisan ini mengurai fenomena monopoli dan
hegemoni media di Indonesia pasca Gus Dur dengan harapan komunitas
pejuang HAM secara lebih luas dapat ikut peduli, tidak hanya aktifis media.
Monopoli Kepemilikan Media
Mari kita awali dari pertanyaan sederhana: siapakah pemilik media
berjaringan paling dominan di Indonesia? Menurut riset yang dirilis CIPG
tahun 2012: ada 13 grup perusahaan media: MNC Group dimiliki Hary
Tanoesoedibjo dengan 20 stasiun televisi, 22 stasiun radio, 7 media cetak
dan 1 media online; Kompas Gramedia Group Jacob Oetama dengan 10
stasiun televisi, 12 radio, 89 media cetak dan 2 media online; Elang Mahkota Teknologi
milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja dengan 3 stasiun televisi dan 1 media online; Mahaka Media
milik Abdul Gani dan Erick Tohir dengan 2 stasiun TV, 19 radio, dan 5 media cetak; CT Group
Chairul Tanjung memiliki Trans TV, Trans7 dan Detik.com.
Selanjutnya Beritasatu Media Holdings/Lippo Group James Riady mempunyai 2 stasiun
TV, 10 media cetak dan 1 media online; Media Group milik ketua umum NASDEM Surya Paloh
melingkupi METRO TV dan 3 media cetak; VIVANews milik ketua umum Golkar Aburizal
Bakrie mempunyai 2 televisi dan 1 media online; Jawa Pos Group milik Dahlan Iskan menguasai
20 televisi, 171 media cetak dan 1 media online; MRA Media milik Adiguna Soetowo memiliki
11 radio, 16 media cetak; Femina Group Pia Alisyahbana dan Mirta Kartohadiprodjo mempunyai
2 stasiun radio dan 14 media cetak; Tempo Inti Media memiliki Tempo TV, KBR68H, 3 media
cetak dan 1 media online; Media Bali Post Group (KMB) Satria Narada ada 9 televisi, 8 stasiun
radio, 8 media cetak dan 2 media online (Nugroho, dkk. 2012).
Prinsip tata kelola media penyiaran radio dan televisi tak bisa lepas dari dua komponen:
own and operate. Maknanya, adanya jaminan konstitusional ketersediaan akses kepemilikan dan
operasional siaran secara adil dan merata bagi siapapun. Penyiaran adalah layanan publik yang
menggunakan ranah publik berupa frekuensi (frequency as public domain). Sehingga di seluruh
dunia, penyiaran diatur begitu ketat melalui regulasi setingkat UU bahkan konstitusi. Oleh sebab
frekuensi milik publik maka publik berhak atas pemilikan lembaga penyiaran dan akses produksi
serta layanan konten siaran yang sehat. Hak publik ini harus diproteksi ke dalam UU. Dalam
praktek di Negara-negara transisi demokrasi seperti Indonesia, penerapan prinsip universal ini
tidak mudah, baik karena regulator (pemerintah dan komisi penyiaran) yang tidak independen,
maupun regulasi produk parlemen yang lemah, akibat 'perselingkuhan' dengan industri kapitalis
yang telah lebih dulu menguasai medan penyiaran sebelum diregulasi. Para aktor industri televisi
juge cenderung bebal dan bersikap anti-demokrasi.
Secara makro, fenomena konsentrasi pemilikan media seperti tampak pada data riset diatas,
berlangsung pasca globalisasi dan liberalisasi yang memicu konvergensi aplikasi teknologi
dengan biaya investasi tinggi (high cost technology). Akibatnya, tidak mudah bagi pegiat media
biasa untuk berkiprah. Uniknya, industri media di Indonesia dikendalikan segelintir pemilik
modal, mengarah oligopoli media, monopoli kepemilikan oleh konglomerat berlatarbelakang
yang diametral dengan tuntutan idealism pers dan HAM. Mereka adalah kelompok dominan
yang pada Pemilu 2014 turut bertarung menuju kursi RI 1 dan 2. Mengutip pernyataan aktifis
media Kristiawan, mereka adalah penumpang gelap demokrasi (Kristiawan, 2013). Pergeseran
dari dominasi ideologi otoriter Negara ke ideologi otoriter kapitalis atau fundamentalisme pasar
media menimbulkan dampak buruk pelanggaran HAM.
Liberalisasi ekonomi di Indonesia menyebabkan tidak imbangnya proporsi jumlah/kuantitas
antara lembaga penyiaran publik (LPP) nasional dan lokal, komersial dan komunitas. Kondisi ini
dapat dicermati pada rekapitulasi lembaga penyiaran sampai bulan Juni 2013:
Perkembangan Media Penyiaran di Indonesia
Media
Televisi
Radio
TOTAL
Bentuk
Swasta
Publik
Komunitas
Berlangganan
Swasta
Publik
Komunitas
Jumlah
439
11
11
182
1828
75
129
2675
Sumber: KPI Pusat, 2013
Bagaimana merefleksikan fenomena diatas? Dalam praktek ekonomi liberal, relasi media,
kelompok dominan, dan masyarakat adalah bersifat hegemonik. Masyarakat akar rumput sebagai
komunitas politik masih sangat tergantung apa dan bagaimana realitas politik didefinisikan oleh
elit politik dominan. Hegemoni berlawanan dengan pembebasan sebagai nilai-nilai HAM. Media
televisi yang dikuasai ‘politisi dadakan’ telah menjadi tempat pertukaran wacana kepemimpinan
politik tunggal dan pragmatis yang secara top down diproduksi dan dideseminasi dengan tujuan
akhir membangun konsensus dengan pihak yang lemah. Hasil konsensus ini secara tidak sadar/
dibawah alam sadar digunakan kelas pinggiran umumnya diperdesaan untuk menafsirkan pilihan
personal dan tokoh politik instant yang sebelumnya telah diintrodusir kelompok dominan dengan
cara membombardir iklan politik, berita politik, dll.
Dalam pendekatan ekonomi politik, media massa terutama televisi di Indonesia dikontrol
oleh pengusaha pemilik media atas dasar komoditas sebagai ideologi. Istilah ekonomi politik
diartikan Mosco sebagai studi tentang relasi sosial kekuasaan yang saling menguntungkan antara
sumbersumber produksi, distribusi dan konsumsi, termasuk didalamnya sumber-sumber media.
Studi ekonomi politik secara sederhana adalah kajian untuk melihat hubungan kekuasaan politik
dalam sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Jika seseorang atau sekelompok orang dapat
mengontrol publik maka berarti dia berkuasa secara de facto, walaupun de jure tidak
mengendalikan kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam sejarah produksi dan
diseminasi berita politik sejak di Inggris hingga Indonesia, pers dikenal sebagai kekuatan
keempat (foruth estate) sehingga pemilik pers de facto penguasa politik.
Pemilik kuasa media diartikan oleh Mosco sebagai de facto in power, yaitu orang atau
kelompok orang yang mengendalikan kehidupan publik, terutama di sektor ekonomi. Para
akademisi media kerap menggunakan pemikiran Mosco ini sebagai cara pandang yang dapat
membongkar kuasa atas media yang tampak pada permukaan. Mosco memperkenalkan tiga
konsep awal, yaitu commodification- segala sesuatu dikomoditaskan (dianggap barang
dagangan), spatialization- proses mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial
dan structuration- penyeragaman ideologi secara terstruktur.
Komodifikasi adalah upaya mengubah sesuatu menjadi komoditas atau barang dagangan
sebagai alat mendapatkan keuntungan. Komodifikasi media bekerja pada ranah isi media, jumlah
penonton dan iklan. Berita atau isi media adalah komoditas untuk menaikkan jumlah khalayak
atau oplah. Jumlah pemirsa atau oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada
pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dapat digunakan untuk ekspansi platform media.
Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat
melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi dll. (Mosco, 1996).
Bisa terjadi, peristiwa lokal politik dan ekonomi yang terjadi di Jepara dapat disiarkan
langsung oleh televisi nasional yang berpusat di Jakarta untuk kemudian dikomoditaskan. Oleh
kekuatan modal besar investasi teknologi penyiaran, pengusaha media Jakarta akan melibas
pengusaha media luar Jakarta yang mayoritas memiliki modal skala kecil. Sehingga, semua
kegiatan yang ada dalam negara diliput oleh jurnalis yang sama. Padahal, sebuah kegiatan lokal,
bila diliput jurnalis daerah akan menghasilkan konten siaran yang berbeda karena ‘angle
ideologis’ yang berbeda. Liputan langsung media Jakarta anti pluralitas.
Structuration atau penyeragaman ideologi secara terstruktur terjadi ketika newsroom
media jaringan tersentral pada satu orang, misalnya pemimpin redaksi Metro TV merangkap
jabatan yang sama di redaksi Media Indonesia. Hal serupa terjadi pada VIVAnews dan Kompas.
Koran-koran daerah juga dikuasai oleh kelompok pengusaha media di Jakarta. Dalam struktur
kepemilikan yang demikian, pemimpin redaksi koran-koran daerah kepanjangan tangan Jakarta.
Media di satu tangan pemilik cenderung memiliki ideologi yang sama. Intinya, buah reformasi
yang digalang para aktifis pro demokrasi di tahun 1998 di sektor media tidak dinikmati oleh
publik, akan tetapi kaum kapitalis. Sistem kendali kekuasaan hegemonik di dunia penyiaran
hanya berpindah aktor beserta formula regulasinya, dari negara yang otoriter di zaman Orde Baru
ke sistem pasar yang liberal-eksploitatif di era pasca Orba (Masduki, 2007).
Pelanggaran HAM, lalu?
Riset yang dilakukan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) terhadap
praktek kepemilikan televisi dan dampaknya terhadap hak publik tahun 2012 menemukan
dampak buruk pemusatan kepemilikan televisi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Pemusatan
kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran telah menciptakan dominasi dan membentuk
opini publik yang tidak sehat kepada masyarakat dimana masyarakat sipil menjadi bagian dari
masyarakat, sehingga pada akhirnya tak ada lagi kemerdekaan berpendapat dan berbicara
(freedom of speech), kemerdekaan berekspresi (freedom of expression), dan kemerdekaan pers
(freedom of the press) sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945.
Kemerdekaan berpendapat dan berbicara (freedom of speech), kemerdekaan berekspresi
(freedom of expression), dan kemerdekaan pers (freedom of the press) terancam oleh pemusatan
kepemilikan lembaga penyiaran. Pemusatan kepemilikan dan penguasaan radio dan televisi telah
menciptakan dominasi dan membentuk opini publikyang tidak sehat kepada masyarakat.
Terbatasnya pilihan masyarakat sipil untuk mendapatkan informasi yang beragam melalui
penyiaran, akibat terjadinya pemusatan kepemilikan tersebut. Kemajemukan etnisitas masyarakat
Indonesia dalam bidang budaya, linguistik, dan lainnya diredusir oleh sentralisasi dan pemusatan
kepemilikan lembaga penyiaran (Riyanto, 2012).
Sementara itu monitoring penulis bersama tim Masyarakat Peduli Media Yogyakarta
mencatat, hak menyampaikan pendapat melalui televisi swasta di Indonesia hanya terbuka bagi
kelompok elit, lebih khusus lagi terbatas pada orang-orang yang berada di Jakarta dan sekitarnya.
Betapa pun masuk kelompok elit, kalau mereka berada di daerah maka hampir dipastikan kecil
kemungkinannya akan memeroleh porsi tampil. Elit daerah berkesempatan tampil di televisi
swasta Jakarta ketika mereka dapat dieksplotasi secara ekonomis saat kampanye Pemilihan
Kepala Daerah. Nyaris tidak ada satu pun TV swasta yang berjaringan nasional mau memberi
slot waktu siaran yang memadai bagi orang-orang kebanyakan untuk menyatakan pendapatnya
melalui media penyiaran. Selain, independensi, diskriminasi media pusat atas isu isu daerah dan
stigmatisasi buruk terhadap situasi daerah adalah pelanggaran HAM.
Diakui, televisi swasta mempunyai beragam acara yang informasi dan berita, bahkan ada
dua stasiun penyiaran yang memiliki format siaran khusus berita. Namun, jika dicermati secara
seksama materi berita yang disiarkan setiap hari sangat bias elit, bias Jawa dan lebih ekstrim lagi
bias Jabotabek. Bahkan 10 tahun terakhir, berita di televisi komersial hanya berputar-putar di
sekitar istana, Senayan, Kejakgung, dan KPK sehingga melupakan permasalahan lain yang ada
di negeri ini. Akibatnya, sebagian besar masyarakat di Indonesia memperoleh informasi yang
sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan mereka untuk meningkatkan kualitas hidup.
Informasi yang selama ini diterima melalui media penyiaran cenderung seragam, bias elit, dan
sama sekali tidak menjawab persoalan hidup sehari-hari.
Puncaknya, saat tulisan ini dibuat, televisi swasta komersial seperti RCTI, ANTV,
TVOne, Metro, MNCTV telah disesaki iklan politik, pidato dan berita politik para pemilik yang
bernafsu menjadi penguasa politik tertinggi. Pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan, orientasi
kepentingan publik dan kesantunan bermedia telah dilakukan secara terbuka dan sistimatik.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di pusat dan daerah sebagai regulator nyaris lumpuh karena
bertindak hanya berdasarkan logika teks hukum yang sempit. Ibaratnya, komisioner KPI
tersandera oleh teks legal formal Pemilu yang pendekatannya administratif, tidak kompatibel
dengan tradisi kreatif produksi siaran yang pendekatannya etika dan norma hak publik. Mereka
mengkapling ranah publik secara sepihak dan membuat barikade yang tidak memungkinkan
competitor politik masuk secara komersial sekalipun apalagi secara sosial.
Dalam situasi ini, maka gerakan massif masyarakat sipil diperlukan. Tidak berhenti pada
pernyataan sikap atau aksi terbuka keprihatinan. Akan tetapi menggerakkan institusi institusi
Negara hukum untuk bertindak, membuat perang terbuka melalui gugatan di pengadilan atas
tindak pidana pelanggaran HAM pencaplokan media sebagai ruang publik. Dalam jangka
menengah, masyarakat sipil lintas disiplin perlu bersatu mengawal proses perubahan total UU
32/2002 tentang Penyiaran agar steril dari intervensi buruk apapun. Semangat kolektif dan jiwa
inklusif inilah kiranya yang kita semua telah pelajari dari para aktifis HAM di Yogyakarta yang
telah dipanggil Tuhan YME. Semoga kita bisa terus belajar!
Daftar Pustaka
Kristiawan, Penumpang Gelap Demokrasi, AJI Indonesia, Jakarta, 2013
KIDP, Naskah Permohonan Pengujian Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Terhadap Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F
dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, 2011
Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, Kedaulatan Frekuensi, Regulasi Penyiaran, Peran KPI dan
Konvergensi Media, Jakarta: Penerbit Gramedia, 2013
Mosco, Vincent, The Political Economy of Communication, London: Sage Publication Ltd, 1996
Masduki, Regulasi Penyiaran, Dari Otoriter ke Liberal, Penerbit LKiS, Yogyakarta, 2007
UU Penyiaran No. 32/2002
Nugroho, Yanuar, Laksmi, Shita, Putri, Dinita A, Mapping the Landscape of the Media Industry
in Contemporary Indonesia, CIPG-Ford Foundation, Jakarta, 2012
Riyanto, Puji, Dominasi Televisi Swasta, PR2MEDIA-Tifa Foundation, Jakarta, 2012
Bio Data:
Masduki, M.Si, MA
1.
2.
3.
4.
5.
Alumnus Master Kajian Jurnalistik Ateneo De Manila University, Philipines, 2004
Pernah menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta 2002-2004
Wakil Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) Indonesia
Pengajar Tetap Jurusan Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta
Anggota Majelis Etik Nasional Aliansi Jurnalis Independen Pusat, 2011-2014
SEBUAH PELANGGARAN HAM
Oleh Masduki
Pengantar
Jakarta, 29 November 2011, Koalisi Independen Untuk Demokratisasi
Penyiaran (KIDP) resmi mengajukan permohonan uji materi pasal 18 dan
pasal 34 UU 32/2002 tentang Penyiaran. Pasal 18 ayat 1 berbunyi: “Pemusatan
kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan
hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi”. Sedangkan
pasal 34 ayat 4 menyebutkan: “Izin Penyelenggaraan Penyiaran Dilarang Dipindahtangankan
Kepada Pihak Lain”.
Setelah 10 tahun lebih berlaku efektif, kedua pasal dalam UU 32/2002
tentang Penyiaran diatas menjadi sumber persoalan serius, ditafsir secara
sepihak oleh pemerintah sehingga terjadi aksi korporasi monopoli
kepemilikan televisi komersial oleh segelintir pengusaha cum politisi dan
kemudian hari menimbulkan kerugian terhadap hak-hak dasar publik untuk
berekspresi menyampaikan pendapat secara adil. KIDP adalah gabungan
lima organisasi masyarakat sipil yaitu: Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Indonesia, Pemantau Regulasi dan Regulator Media yang diwakili penulis,
Yayasan 28, Media Link dan LBH Pers Jakarta. AJI adalah organisasi wartawan
kritis yang antara lain didirikan oleh almarhum aktifis HAM Angger Jati
Wijaya.
Meskipun permohonan uji materi ini kemudian kandas akibat perlawanan
total industri televisi sepanjang proses peradilan di Mahkamah Konstitusi,
namun sejarah mencatat, upaya masyarakat sipil terhadap kapitalisasi dan
hegemonisasi media tidak berhenti, tidak sekedar membuat pernyataan
sikap. Kini, area perjuangan demokratisasi media terbuka lebar melalui revisi
total UU 32/2002 tentang Penyiaran yang sudah bergulir sejak awal 2012.
Stamina, komitmen dan soliditas masyarakat sipil pejuang HAM di sektor
media harus terus dibangun. Tulisan ini mengurai fenomena monopoli dan
hegemoni media di Indonesia pasca Gus Dur dengan harapan komunitas
pejuang HAM secara lebih luas dapat ikut peduli, tidak hanya aktifis media.
Monopoli Kepemilikan Media
Mari kita awali dari pertanyaan sederhana: siapakah pemilik media
berjaringan paling dominan di Indonesia? Menurut riset yang dirilis CIPG
tahun 2012: ada 13 grup perusahaan media: MNC Group dimiliki Hary
Tanoesoedibjo dengan 20 stasiun televisi, 22 stasiun radio, 7 media cetak
dan 1 media online; Kompas Gramedia Group Jacob Oetama dengan 10
stasiun televisi, 12 radio, 89 media cetak dan 2 media online; Elang Mahkota Teknologi
milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja dengan 3 stasiun televisi dan 1 media online; Mahaka Media
milik Abdul Gani dan Erick Tohir dengan 2 stasiun TV, 19 radio, dan 5 media cetak; CT Group
Chairul Tanjung memiliki Trans TV, Trans7 dan Detik.com.
Selanjutnya Beritasatu Media Holdings/Lippo Group James Riady mempunyai 2 stasiun
TV, 10 media cetak dan 1 media online; Media Group milik ketua umum NASDEM Surya Paloh
melingkupi METRO TV dan 3 media cetak; VIVANews milik ketua umum Golkar Aburizal
Bakrie mempunyai 2 televisi dan 1 media online; Jawa Pos Group milik Dahlan Iskan menguasai
20 televisi, 171 media cetak dan 1 media online; MRA Media milik Adiguna Soetowo memiliki
11 radio, 16 media cetak; Femina Group Pia Alisyahbana dan Mirta Kartohadiprodjo mempunyai
2 stasiun radio dan 14 media cetak; Tempo Inti Media memiliki Tempo TV, KBR68H, 3 media
cetak dan 1 media online; Media Bali Post Group (KMB) Satria Narada ada 9 televisi, 8 stasiun
radio, 8 media cetak dan 2 media online (Nugroho, dkk. 2012).
Prinsip tata kelola media penyiaran radio dan televisi tak bisa lepas dari dua komponen:
own and operate. Maknanya, adanya jaminan konstitusional ketersediaan akses kepemilikan dan
operasional siaran secara adil dan merata bagi siapapun. Penyiaran adalah layanan publik yang
menggunakan ranah publik berupa frekuensi (frequency as public domain). Sehingga di seluruh
dunia, penyiaran diatur begitu ketat melalui regulasi setingkat UU bahkan konstitusi. Oleh sebab
frekuensi milik publik maka publik berhak atas pemilikan lembaga penyiaran dan akses produksi
serta layanan konten siaran yang sehat. Hak publik ini harus diproteksi ke dalam UU. Dalam
praktek di Negara-negara transisi demokrasi seperti Indonesia, penerapan prinsip universal ini
tidak mudah, baik karena regulator (pemerintah dan komisi penyiaran) yang tidak independen,
maupun regulasi produk parlemen yang lemah, akibat 'perselingkuhan' dengan industri kapitalis
yang telah lebih dulu menguasai medan penyiaran sebelum diregulasi. Para aktor industri televisi
juge cenderung bebal dan bersikap anti-demokrasi.
Secara makro, fenomena konsentrasi pemilikan media seperti tampak pada data riset diatas,
berlangsung pasca globalisasi dan liberalisasi yang memicu konvergensi aplikasi teknologi
dengan biaya investasi tinggi (high cost technology). Akibatnya, tidak mudah bagi pegiat media
biasa untuk berkiprah. Uniknya, industri media di Indonesia dikendalikan segelintir pemilik
modal, mengarah oligopoli media, monopoli kepemilikan oleh konglomerat berlatarbelakang
yang diametral dengan tuntutan idealism pers dan HAM. Mereka adalah kelompok dominan
yang pada Pemilu 2014 turut bertarung menuju kursi RI 1 dan 2. Mengutip pernyataan aktifis
media Kristiawan, mereka adalah penumpang gelap demokrasi (Kristiawan, 2013). Pergeseran
dari dominasi ideologi otoriter Negara ke ideologi otoriter kapitalis atau fundamentalisme pasar
media menimbulkan dampak buruk pelanggaran HAM.
Liberalisasi ekonomi di Indonesia menyebabkan tidak imbangnya proporsi jumlah/kuantitas
antara lembaga penyiaran publik (LPP) nasional dan lokal, komersial dan komunitas. Kondisi ini
dapat dicermati pada rekapitulasi lembaga penyiaran sampai bulan Juni 2013:
Perkembangan Media Penyiaran di Indonesia
Media
Televisi
Radio
TOTAL
Bentuk
Swasta
Publik
Komunitas
Berlangganan
Swasta
Publik
Komunitas
Jumlah
439
11
11
182
1828
75
129
2675
Sumber: KPI Pusat, 2013
Bagaimana merefleksikan fenomena diatas? Dalam praktek ekonomi liberal, relasi media,
kelompok dominan, dan masyarakat adalah bersifat hegemonik. Masyarakat akar rumput sebagai
komunitas politik masih sangat tergantung apa dan bagaimana realitas politik didefinisikan oleh
elit politik dominan. Hegemoni berlawanan dengan pembebasan sebagai nilai-nilai HAM. Media
televisi yang dikuasai ‘politisi dadakan’ telah menjadi tempat pertukaran wacana kepemimpinan
politik tunggal dan pragmatis yang secara top down diproduksi dan dideseminasi dengan tujuan
akhir membangun konsensus dengan pihak yang lemah. Hasil konsensus ini secara tidak sadar/
dibawah alam sadar digunakan kelas pinggiran umumnya diperdesaan untuk menafsirkan pilihan
personal dan tokoh politik instant yang sebelumnya telah diintrodusir kelompok dominan dengan
cara membombardir iklan politik, berita politik, dll.
Dalam pendekatan ekonomi politik, media massa terutama televisi di Indonesia dikontrol
oleh pengusaha pemilik media atas dasar komoditas sebagai ideologi. Istilah ekonomi politik
diartikan Mosco sebagai studi tentang relasi sosial kekuasaan yang saling menguntungkan antara
sumbersumber produksi, distribusi dan konsumsi, termasuk didalamnya sumber-sumber media.
Studi ekonomi politik secara sederhana adalah kajian untuk melihat hubungan kekuasaan politik
dalam sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Jika seseorang atau sekelompok orang dapat
mengontrol publik maka berarti dia berkuasa secara de facto, walaupun de jure tidak
mengendalikan kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam sejarah produksi dan
diseminasi berita politik sejak di Inggris hingga Indonesia, pers dikenal sebagai kekuatan
keempat (foruth estate) sehingga pemilik pers de facto penguasa politik.
Pemilik kuasa media diartikan oleh Mosco sebagai de facto in power, yaitu orang atau
kelompok orang yang mengendalikan kehidupan publik, terutama di sektor ekonomi. Para
akademisi media kerap menggunakan pemikiran Mosco ini sebagai cara pandang yang dapat
membongkar kuasa atas media yang tampak pada permukaan. Mosco memperkenalkan tiga
konsep awal, yaitu commodification- segala sesuatu dikomoditaskan (dianggap barang
dagangan), spatialization- proses mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial
dan structuration- penyeragaman ideologi secara terstruktur.
Komodifikasi adalah upaya mengubah sesuatu menjadi komoditas atau barang dagangan
sebagai alat mendapatkan keuntungan. Komodifikasi media bekerja pada ranah isi media, jumlah
penonton dan iklan. Berita atau isi media adalah komoditas untuk menaikkan jumlah khalayak
atau oplah. Jumlah pemirsa atau oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada
pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dapat digunakan untuk ekspansi platform media.
Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat
melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi dll. (Mosco, 1996).
Bisa terjadi, peristiwa lokal politik dan ekonomi yang terjadi di Jepara dapat disiarkan
langsung oleh televisi nasional yang berpusat di Jakarta untuk kemudian dikomoditaskan. Oleh
kekuatan modal besar investasi teknologi penyiaran, pengusaha media Jakarta akan melibas
pengusaha media luar Jakarta yang mayoritas memiliki modal skala kecil. Sehingga, semua
kegiatan yang ada dalam negara diliput oleh jurnalis yang sama. Padahal, sebuah kegiatan lokal,
bila diliput jurnalis daerah akan menghasilkan konten siaran yang berbeda karena ‘angle
ideologis’ yang berbeda. Liputan langsung media Jakarta anti pluralitas.
Structuration atau penyeragaman ideologi secara terstruktur terjadi ketika newsroom
media jaringan tersentral pada satu orang, misalnya pemimpin redaksi Metro TV merangkap
jabatan yang sama di redaksi Media Indonesia. Hal serupa terjadi pada VIVAnews dan Kompas.
Koran-koran daerah juga dikuasai oleh kelompok pengusaha media di Jakarta. Dalam struktur
kepemilikan yang demikian, pemimpin redaksi koran-koran daerah kepanjangan tangan Jakarta.
Media di satu tangan pemilik cenderung memiliki ideologi yang sama. Intinya, buah reformasi
yang digalang para aktifis pro demokrasi di tahun 1998 di sektor media tidak dinikmati oleh
publik, akan tetapi kaum kapitalis. Sistem kendali kekuasaan hegemonik di dunia penyiaran
hanya berpindah aktor beserta formula regulasinya, dari negara yang otoriter di zaman Orde Baru
ke sistem pasar yang liberal-eksploitatif di era pasca Orba (Masduki, 2007).
Pelanggaran HAM, lalu?
Riset yang dilakukan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) terhadap
praktek kepemilikan televisi dan dampaknya terhadap hak publik tahun 2012 menemukan
dampak buruk pemusatan kepemilikan televisi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Pemusatan
kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran telah menciptakan dominasi dan membentuk
opini publik yang tidak sehat kepada masyarakat dimana masyarakat sipil menjadi bagian dari
masyarakat, sehingga pada akhirnya tak ada lagi kemerdekaan berpendapat dan berbicara
(freedom of speech), kemerdekaan berekspresi (freedom of expression), dan kemerdekaan pers
(freedom of the press) sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945.
Kemerdekaan berpendapat dan berbicara (freedom of speech), kemerdekaan berekspresi
(freedom of expression), dan kemerdekaan pers (freedom of the press) terancam oleh pemusatan
kepemilikan lembaga penyiaran. Pemusatan kepemilikan dan penguasaan radio dan televisi telah
menciptakan dominasi dan membentuk opini publikyang tidak sehat kepada masyarakat.
Terbatasnya pilihan masyarakat sipil untuk mendapatkan informasi yang beragam melalui
penyiaran, akibat terjadinya pemusatan kepemilikan tersebut. Kemajemukan etnisitas masyarakat
Indonesia dalam bidang budaya, linguistik, dan lainnya diredusir oleh sentralisasi dan pemusatan
kepemilikan lembaga penyiaran (Riyanto, 2012).
Sementara itu monitoring penulis bersama tim Masyarakat Peduli Media Yogyakarta
mencatat, hak menyampaikan pendapat melalui televisi swasta di Indonesia hanya terbuka bagi
kelompok elit, lebih khusus lagi terbatas pada orang-orang yang berada di Jakarta dan sekitarnya.
Betapa pun masuk kelompok elit, kalau mereka berada di daerah maka hampir dipastikan kecil
kemungkinannya akan memeroleh porsi tampil. Elit daerah berkesempatan tampil di televisi
swasta Jakarta ketika mereka dapat dieksplotasi secara ekonomis saat kampanye Pemilihan
Kepala Daerah. Nyaris tidak ada satu pun TV swasta yang berjaringan nasional mau memberi
slot waktu siaran yang memadai bagi orang-orang kebanyakan untuk menyatakan pendapatnya
melalui media penyiaran. Selain, independensi, diskriminasi media pusat atas isu isu daerah dan
stigmatisasi buruk terhadap situasi daerah adalah pelanggaran HAM.
Diakui, televisi swasta mempunyai beragam acara yang informasi dan berita, bahkan ada
dua stasiun penyiaran yang memiliki format siaran khusus berita. Namun, jika dicermati secara
seksama materi berita yang disiarkan setiap hari sangat bias elit, bias Jawa dan lebih ekstrim lagi
bias Jabotabek. Bahkan 10 tahun terakhir, berita di televisi komersial hanya berputar-putar di
sekitar istana, Senayan, Kejakgung, dan KPK sehingga melupakan permasalahan lain yang ada
di negeri ini. Akibatnya, sebagian besar masyarakat di Indonesia memperoleh informasi yang
sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan mereka untuk meningkatkan kualitas hidup.
Informasi yang selama ini diterima melalui media penyiaran cenderung seragam, bias elit, dan
sama sekali tidak menjawab persoalan hidup sehari-hari.
Puncaknya, saat tulisan ini dibuat, televisi swasta komersial seperti RCTI, ANTV,
TVOne, Metro, MNCTV telah disesaki iklan politik, pidato dan berita politik para pemilik yang
bernafsu menjadi penguasa politik tertinggi. Pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan, orientasi
kepentingan publik dan kesantunan bermedia telah dilakukan secara terbuka dan sistimatik.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di pusat dan daerah sebagai regulator nyaris lumpuh karena
bertindak hanya berdasarkan logika teks hukum yang sempit. Ibaratnya, komisioner KPI
tersandera oleh teks legal formal Pemilu yang pendekatannya administratif, tidak kompatibel
dengan tradisi kreatif produksi siaran yang pendekatannya etika dan norma hak publik. Mereka
mengkapling ranah publik secara sepihak dan membuat barikade yang tidak memungkinkan
competitor politik masuk secara komersial sekalipun apalagi secara sosial.
Dalam situasi ini, maka gerakan massif masyarakat sipil diperlukan. Tidak berhenti pada
pernyataan sikap atau aksi terbuka keprihatinan. Akan tetapi menggerakkan institusi institusi
Negara hukum untuk bertindak, membuat perang terbuka melalui gugatan di pengadilan atas
tindak pidana pelanggaran HAM pencaplokan media sebagai ruang publik. Dalam jangka
menengah, masyarakat sipil lintas disiplin perlu bersatu mengawal proses perubahan total UU
32/2002 tentang Penyiaran agar steril dari intervensi buruk apapun. Semangat kolektif dan jiwa
inklusif inilah kiranya yang kita semua telah pelajari dari para aktifis HAM di Yogyakarta yang
telah dipanggil Tuhan YME. Semoga kita bisa terus belajar!
Daftar Pustaka
Kristiawan, Penumpang Gelap Demokrasi, AJI Indonesia, Jakarta, 2013
KIDP, Naskah Permohonan Pengujian Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Terhadap Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F
dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, 2011
Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, Kedaulatan Frekuensi, Regulasi Penyiaran, Peran KPI dan
Konvergensi Media, Jakarta: Penerbit Gramedia, 2013
Mosco, Vincent, The Political Economy of Communication, London: Sage Publication Ltd, 1996
Masduki, Regulasi Penyiaran, Dari Otoriter ke Liberal, Penerbit LKiS, Yogyakarta, 2007
UU Penyiaran No. 32/2002
Nugroho, Yanuar, Laksmi, Shita, Putri, Dinita A, Mapping the Landscape of the Media Industry
in Contemporary Indonesia, CIPG-Ford Foundation, Jakarta, 2012
Riyanto, Puji, Dominasi Televisi Swasta, PR2MEDIA-Tifa Foundation, Jakarta, 2012
Bio Data:
Masduki, M.Si, MA
1.
2.
3.
4.
5.
Alumnus Master Kajian Jurnalistik Ateneo De Manila University, Philipines, 2004
Pernah menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta 2002-2004
Wakil Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) Indonesia
Pengajar Tetap Jurusan Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta
Anggota Majelis Etik Nasional Aliansi Jurnalis Independen Pusat, 2011-2014