Evaluasi Pemilihan Umum Legislatif 2014

NOTULENSI SEMINAR DAN LOKAKRYA
EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMILU LEGISLATIF TAHUN
2014 DI INDONESIA
PUSAT STUDI HUKUM KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
BEKERJASAMA DENGAN
HANNS SEIDEL FOUNDATION INDONESIA
Inna Garuda Hotel, 24 Juni 2014
I
SESI PEMAPARAN KEYNOTE SPEECH
OLEH DR. HARJONO, SH.,MCL
Tema
Membangun Demokrasi Prosedural Menuju Demokrasi Substantif
-

Berbicara demokrasi tentu tidak bisa dilepaskan pada dua konteks pemahaman
yang sangat umum, yaitu demokrasi egara tiv (procedural democracy) dan
demokrasi substantive (substantive democracy). Demokrasi bisa dipahami
sebagai cara untuk memilih wakil untuk duduk dikursi pemerintahan, sementara
demokrasi substantif adalah demokrasi yang setelah terpilihnya pemimpin dapat
membuat kebijakan yang aspiratif. Dalam konteks Indonesia, dimana pada 9 Juli

2014 telah dilaksanakan pemilihan umum (Pileg) dan sebentar lagi akan ada
pemilihan presiden (Pilpres), maka dapat dikatakan Indonesia baru sampai pada
tahapan demokrasi prosedural karena rakyat masih diposisikan sebagai pemilih
wakil sedangkan ketika wakilnya sudah terpilih seringkali justru kebijakannya
jauh dari dimensi hukum yang berkeadilan.

-

Tahapan demokrasi di Indonesia, sampai saat ini ternyata juga belum bisa
dikatakan baik mengingat masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam
prosesnya. Padahal untuk mewujudkan demokrasi substantif maka harus
terlebih dulu menjadikan demokrasi prosedural berjalan dengan baik. Oleh
karena itu untuk mewujudkan demokrasi prosedural bisa berjalan baik, maka
semua elemen di dalam demokrasi substantif haru terpenuhi karena pada
prinsipnya antara demokrasi prosedural dan damokrasi substantif merupakan
bagian yang tidak bisa dipisahkan.

-

Adapun langkah untuk menjadikan prosedrual demokrasi bisa berjalan linear

dengan demokrasi substantif, maka harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Adanya ruang untuk berbeda pendapat. Dalam demokrasi harus tersedia
ruang untuk berbeda pendapat karena jika dlama dmeokrasi perbedaan
pendapat dibelenggu, maka sesunggughnya esensi demokrasi tidak ada. Oleh

karena perbedaan pilihan (choices)terhadap wakil rakyat ketika Pemilu
merupakan cerminan berdemokrasi, sehingga penting untuk dihormati;
b. Demokrasi harus didukung atau menerima keberadaan bahwa kita itu plural.
Pluralitas menjadi nilai yang sangat penting dalam demokrasi, karena esensi
kita hidup sebagai manusia adalah penuh dengan perbedaan sehingga
perbedaan satu dengan yang lainnya harus diterima sebagai suatu hal yang
wajar.
c. Terbangunnya toleransi yang baik dan kokoh. Toleransi juga tidakkalah
pentingnya jika kita sepakat menjadikan demokrasi sebagai system yang
berlaku dalam memilih wakil. Karena dengan adanya toleransi, maka dari itu
toleransi idealnya dijadikan ruh dalam berdemokrasi sehingga akan
mengokohkan system yang akan dibangun.
-

Tiga syarat tersebut seharusnya buka hanya berlaku ketiak proses pemilihan,

melainkan wakil terpilih mengimplementaiskannya dengan komitmen membuka
ruang perbedaan pendapat, menjaga pluralitas dalam kebijakannya dan inetns
membangun toleransi dalam memerintah. Apabila ketiganya dapat dipenuhi
secara proporsional, maka bukan mustahil demokrasi substantif dapat juga
dilakukan di Indonesia.

-

Namun demikian, apabila dianalisis upaya untuk mewujudkan ketiga aspek
dalam demokrasi prosedural masuk ke dalam demokrasi substantif mengalami
tantangan yang tidak sedikit. Seperti adanya pelanggaran dalam proses seleksi,
money politics, praktek jual beli jabatan dan lain sebagainya. Semua itu bisa
berpengaruh terhadap demokrasi substantif, karena pada prinsipnya pleanggaran
tersebut dapat mengurangi nilai perbedaan pendapat, mengurangi nilai
pluralisme dan mengurangi nilai toleransi. Oleh karena itu, guna menjadikan
demokrasi prosedural mampu menuju demokrasi substantif maka proses yang
dilakukan dalam demokrasi prosedural harus diarahkan pada tiga aspek dalam
demokrasi substantif tersebut.

-


Guna mewujudkan demokrasi substantif, maka sekecil apapun pelanggaran
dalam demokrasi procedural harus menjadi pemikiran bersama untuk dilakukan
langkah-langkah antisipasinya. Oleh karena itu, setiap apa yang telah dilakukan
dalam demokrasi seperti Pemilu menjadi penting untuk dilakukan evaluasi
sehingga Pemilu yang dilakukan bukan semata sebagai rutinitas tahunan yang
kemudian abai terhadap susbstanti dalam rutinitas tersebut. dnegan kata lain
menjadi penting bahwa Pemilu bukan saja merupakan rutinitas memilih atau
rutinitas teknis dalam menentukan pemimpin tetapi harus dimaknai juga bahwa
di dalamnya mengandung nilai yang tetap dipertahankan mengapa Pemilu
menjadi bagian yang wajib ada. Apabila hal itu dilakukan, maka tentu akan
memberikan kontribusi besar bagi perjalanan bangsa Indonesia untuk
menjadikan demokrasi sebagai landasan bernegara ke depan.

-

Aspek penting lain dalam demokrasi substantif adalah adanya peran lembaga
negara sebagai penyelenggara Pemilu bukan semata menjalankan teknis Pemilu.
Badan penyelenggara Pemilu seperti Baadan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
seharusnya bukan hanya menjalankan fungsinya sebagai lembaga pengawas,

melainkan juga harus memberikan pendidikan atau edukasi kepada masyarakat
terhadap makna dan nilai dalam Pemilu, misalnya apabila ada yang melanggar
maka harus dijelaskan dampak yang akan ditimbulkan atas pelanggaran tersebut,
bukan hanya menjatuhkan sanksi bagi pelanggarnya.

-

Berangkat dari uraian di atas, maka esensinya Indonesia saat ini masih pada
tahap pembelajaran demokrasi. Dalam proses belajar tersebut, tentu banyak
kesalahan-kesalahan yang perlu diperbaiki bersama. Bahkan dalam proses
belajar tersebut tidak didampingi oleh seorang guru melainkan belajar bersamasama, oleh karena itu munculnya kesalahan tersebut juga harus diperbaiki
bersama tanpa harus menyalahkan satu dan lainnya. Namun demikian apabila
proses belajar tersebut dilandasi dengan tiga nilai dalam demokrasi substantif
tersebut, maka Indonesia bisa memberikan contoh bagi negara lain dalam
mempraktekan demokrasi yang kokoh dan bermartabat.

II
SESI PEMAPARAN NARASUMBER
1. Dr. Muhammad, S.IP.,M.Si. Tema: Evaluasi Peran Bawaslu Dalam
Melakukan Pencegahan, Pengawasan, Dan Penindakan Pelanggaran Pemilu

Legislatif Tahun 2014.
- Berbagai pemberitaan telah menympulkan bahwa Pileg 2014 menjadi Pileg
yang banyak terjadi pelanggaran. Pemberitaan maupun pendapat yang
demikian tidak salah, namun bagi Bawaslu banyaknya pelanggaran atau
tidak disebabkan atas dua persepsi. Pertama, adanya putusan Mahkamah
Konstitusi tentang suara terbanyak yang menentukan seorang calon legislatif
(caleg) dapat menjadi legislator. Putusan tersebut telah menjadikan setiap
caleg dipaksa bersaing matia-matian, bukan hanya bersaing dengan calon
dari partai lain melainkan antar sesame calon dari partai yang sama juga
diharuskan berkompetisi. Model yang demikian telah mengantarkan proses
demokrasi liberal yang dengan segala cara akan dilakukan caleg guna
mewujudkan niat menjadi legislatif. Oleh karenanya, pelanggaran menjadi
satu hal yang sulit dikendalikan meskipun Bawaslu telah berupaya maksimal
mengantisipasinya.
-

Kedua, adanya proses rekruitmen caleg yang tidak memenuhi syarat. Partai
politik (Parpol) cenderung melakukan perekrutan terhadap caleg yang secara
basis massa tidak kuat namun memiliki kedekatan dengan elit Parpol atau
mungkin memiliki modal besar yang bisa menyokong aktivitas kepartaian.

Akibatnya ketika caleg yang diajukan dipandang kurang memiliki

kapabilitas dan track record yang belum teruji maka pemilih yang
berpendidikan enggan memilihnya, sehingga kemudian caleg menyisir
pemilih kelas bawah yang secara beckground pendidikan kurang baik dan
mudah disuap melalui money politics. Cara tersebut tentu dirasa efektif
mengingat hampir mayoritas penduduk Indonesia masih dibawah garis sulit
dari akses pendidikan atau bahkan tidak berpendidikan sama sekali.
-

Berbagai langkah antisipatif telah dilakukan Bawaslu terhadap praktek
money politics, namun pada kenyataannya pelaku semakin canggih dalam
beroperasi. Bawaslu menemukan fakta bahwa praktek money politics telah
terjadi pra pelaksanaan Pileg dan pasca Pileg. Pra pelaksanaan Pileg caleg
melalui tim pemenangannya bergerilya mendatangi rumah-rumah dengan
modus kampanye namun sambil membuat perjanjian dengan pemilih untuk
mencobols calon tertentu yang nantinya akan dikompensasi dengan sejumlah
uang. Kemudian di saat pelaksanaan, masing-masing pemilih yang telah
membuat komitmen harus membuktikan bahwa telah mencoblos calon
tertentu, sebagai pembuktiannya maka diharuskan menujukan bukti yaitu

pemilih ada yang cara mencoblosnya dengan menyobek nama calon dan
kemudian dutunjukan kepada tim pemenangan yang selanjutnya ditukar
dengan uang. Bukan hanya terbtas pada uang, praktek money politicsada
juga yang dilakukan dengan kompensasi voucher pulsa telepon dan ada juga
yang dilakukan oleh caleg dengan berani membayarkan pajak, baik pajak
bumi dan bangunan pada pemilih yang mau memilihnya.

-

Berbagai pelanggaran di atas, pada muaranya disebabkan karena masih
terbangunnya sikap pragmatis antara pemilih dan caleg. Pemilih berasumsi
bahwa hak politik dia hanya berlaku 5 (lima) menit ketika memilih dibilik
suara, sleebihnya urusan calon yang terpilih. Bahkan masyarakat cenderung
berpikir apatis bahwa pasca Pemilu bisa dipastikan caleg terpilih tidak peduli
dnegan nasib para pemilih, sehingga dalam proses pra pemilihan tersebut
menjadi kesempatan baik pemilih untuk memanfaatkannya. Lebih
menariknya lagi, kini pemilih sudah beranggapan bahwa setiap caleg
merupakan „bandar‟ berjalan atau sinterklas yang siap mengabulkan
keinginan rakyat, sehingga pemilih „meminta permohonan‟ apapun kepada
caleg dan caleg sendiri tidak kuasa menolaknya karena pada dasarnya caleg

juga membutuhkan suaranya. Pada titik itulah, simbiosis mutualisme
menjadi bagian yang sulit dihindari tanpa adanya kebijaksanaan politik dari
para pemilih maupun caleg.

-

Persoalan lain yang dihadapi Bawaslu, adalah dengan mengawasi
penyelenggara Pemilu. Hasilnya menunjukan bahwa masih banyak
penyelenggara Pemilu yang bermain mata dengan para caleg. Terhadap
penyelenggara Pemilu yang demikian, Bawaslu telah mengambil kebijkan
tegas dengan memberikan rekomendasi dipecat secara tidak hormat.

Pemecatan tersebut menajdi penting karen aBawaslu berpandnagan bahwa
jika penyelenggara Pemilu lemah dalam menjalankan tugasnya, maka itu
bisa dilakukan melalui penguatan dlaam bentuk pelatihan dan bimbingan
teknis. Namun jika penyelenggara Pemilu sudah lemah mentalnya, maka itu
tidak bisa ditolerir sehingga jalan satu-satunya adalah dipecat supaya tidak
menjadi beanlu dalam upaya mewujudkan Pemilu yang bersih dan
bermartabat.
-


Adapun bagi caleg yang terbukti melakukan money politics, maka meskipun
caleg telah di tetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai caleg
terpilih akan dapat digugurkan atau dianulir hasilnya. Hal ini menjadi
cambuk bagi caleg untuk tidak bermain-main dalam mengikuti Pemilu yang
bersih dan berkeadilan. Sampai saat ini memang belum ada yang terbukti
pasca penetapan oleh KPU, namun apabila dalam putusan MK ada yang
terbukti melakukan pelanggaran Pemilu secara Terstruktur, Massif, dan
Sistematis (TMS), maka caleg yang telah ditetapkan akan gugur dan tidak
berhak duduk menjadi legislatif.

-

Peran Bawaslu dalam menindak lanjuti pelanggaran Pemilu sesungguhnya
hanya pada lingkup administratif pelanggaran. Hal ini mengingat aspek
pidan pelanggaran Pemilu diserahkan kepada kepolisian. Namun dalam
pelaksanaannya, antara Bawaslu dan Kepolisina terus bekerjasama sehingga
ketika ditemukan pelanggaran lebih cepat penindakannya. Meskipun telah
berupaya bekerja cepat, masih ada saja beberapa kasus pelanggaran yang
tidak bisa diselesaiakn karena limitasi waktu yang diberikan oleh Undangundang. Dalam UU Pemilu alokasi waktu yang diberikan Bawaslu dan Polisi

dalam menindak pelanggaran Pemilu snagat singkat, sehingga hal itu bis
amenjadi kendala bagi Bawaslu dan Kepolisian untuk menyelesaikan
pelanggaran secara tuntas. Maka dari itu, apabila banyak kasus pelanggaran
Pemilu yang dinyatakan kadaluarsa itu bukan semata kesalahan Bawaslu dan
Kepolisian, melainkan karena desain UU Pemilu yang sesungguhnya
menjadi penghalang.

-

Disamping faktor UU, personil Bawaslu yang jumlahnya relatif sedikit, juga
menjadi kendala lain. Oleh karena itu, tugas pengawasan seharusnya bukan
hanya menjadi lingkup kewenangan Bawaslu, melainkan masyarakat juga
harus terlibat aktif melakukan pengawasan. Adanya peran masyarakat yang
ikut membantu mengawasi, maka diharapkan akan memudahkan Bawaslu
dalam melakukan langkah cepat penindakan sehingga dapat menjadi
alternatif solusi dalam mengantisipasi minimnya alokasi waktu penindakan
yang diberikan oleh UU Pemilu.

2. Dr. Ni’matul Huda, SH.,M.Hum. Tema : Penyelesaian Sengketa Pemilihan
Umum 2014 Di Mahkamah Konstitusi.
- Mahkamah Konstitusi (MK) dalam desain ketatanegaraan Indonesia
ditempatkan sebagai lembaga yudisial terakhir dalam penyelesaian sengketa
Pemilu, sifat putusannya yang final dan mengikat menjadi alat terkahir setiap
pasangan caleg dalam mencari keadilan. Desain yang demikian, seharusnya
menjadi catatan serius bahwa MK harus diawasi dengan ketat dalam setiap
memproses sengketa Pemilu, karena apabila MK dibiarkan tanpa ada rambu
pengawas maka bisa menjadi problem serius mengingat perannya sebagai
lembaga terkahir yang memutuskan nasib setiap caleg ataupun parpol.
-

Peradilan perselisihan hasil pemilu merupakan peradilan yang bersifat cepat,
karena UU Pemilu dan UU MK hanya memberi waktu 3 x 24 jam kepada
DPP Partai Politik dan calon anggota DPD peserta Pemilu sebagai pemohon
untuk mengajukan permohonan keberatan terhadap penetapan suara hasil
penghitungan KPU. Sedangkan MK hanya diberi waktu 30 hari kerja untuk
memutus seluruh permohonan yang diajukan oleh peserta pemilu. Dengan
adanya keterbatasan waktu yang disediakan oleh peraturan perundangundangan tersebut, maka tidak mungkin hanya menggantungkan keadilan
atas berjalannya demokrasi dan pemilu kepada MK. Dibutuhkan kerjasama
dari KPU, Bawaslu dan Panwaslu, Partai Politik, peserta pemilu, masyarakat,
dan lain-lain.

-

Pada prinsipnya objek sengketa yang dapat diajukan ke MK hanya berkaitan
dengan penetapan hasil pemilu secara nasional, namun dalam prakteknya
MK tidak mau hanya dikungkung pada penyelesaian sengketa angka-angka
semata, melainkan menyelesaikan substansi persoalan di balik angka yang
disengketakan. Alasannya, MK memandang bahwa hak konstitusional setiap
orang dalam pemilu harus dilindungi dari berbagai praktik kecurangan yang
terjadi dalam penyelenggaraannya. Berangkat dari dasar pemikiran itu MK
memaknai penyelesaian sengketa pemilu tidak hanya sekedar penyelesaian
perselisihan angka atau hasil penghitungan, melainkan juga termasuk
memeriksa dan mengadili pelanggaran yang memengaruhi hasil, terutama
yang memenuhi syarat pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan
massif (TSM).

-

Perluasan definisi sengketa hasil yang dilakukan MK secara bersamaan juga
berimplikasi terhadap putusan yang dikeluarkan dalam memutus sengketa
hasil pemilu. Putusan yang pada awalnya hanya terdiri dari: dikabulkan,
ditolak, dan tidak dapat diterima, namun seiring dengan perkembangan
definisi tersebut, putusannya pun memiliki varian baru seperti dikabulkan
seluruhnya dan dikabulkan sebagian, memerintahkan dilakukan
penghitungan suara ulang dan pemungutan suara ulang.

-

Sengketa pemilu di Indonesia dipilah menjadi tiga bentuk pelanggaran.
Pertama, pelanggaran administrasi pemilu oleh Bawaslu dilaporkan ke
KPU. Kedua, pelanggaran pidana pemilu oleh Bawaslu dilaporkan ke
Kepolisian, dan ketiga perselisihan hasil pemilu diselesaikan oleh MK.
Meskipun sengketa pemilu sudah dipilah sedemikian rupa ke dalam tiga
lingkup kelembagaan yang berbeda-beda, tetapi tidak jarang manakala
perselisihan hasil pemilu diajukan ke MK praktik persidangan menunjukkan
bahwa apa yang seharusnya sudah dapat diselesaikan oleh KPU dan/atau
kepolisian terkadang masih perlu dikoreksi ulang oleh MK, sehingga
menurut MK penyelenggaraan pemilu harus dilakukan ulang atau dilakukan
penghitungan ulang.

-

Alokasi waktu yang diberikan kepad MK untukmenyelesaikan sengketa hasil
Pemilu adalah 30 hari kerja. Waktu tersebut jika harus dibandingkan dnegan
jumlah perkara yang masuk tentu tidak lah ideal. Misalnya di tahun 2014,
jumlah senketa Pemilu adalah 767 perkara. Desain yang demikian tentu akan
sulit untuk memwujudkan putusan yang ideal dan berkeadilan namun dengan
berkaca pada pengalaman di Pemilu 2009 dan sekarang sudah menyiapkan
berbagai piranti „Gugus Tugas‟, maka patut kit atunggu hasilnya dnegan
terus aktif mengawasinya.

-

Berkaca pada titik kelemahan yang dihadapai MK, maka perlu mengambil
langkah penyempurnaan. Pertama, untuk pelanggaran administrasi, bagi
para pihak yang tidak puas dengan putusan KPU dapat mengajukan
keberatannya ke PTUN. Kedua, waktu yang diberikan untuk menangani
pelanggaran pidana pemilu tidak harus dalam waktu yang singkat, karena
efek dari tindakan tersebut juga akan mencederai hasil pemilu. Ketiga,
penanganan berbagai pelanggaran pemilu harus integratif, sehingga akan
mengurangi jumlah perkara sengketa hasil pemilu yang masuk ke MK.

3. Hamdan Kurniawan, S.IP.,M.Si. Tema : Evaluasi Peran Kpu Dalam
Penyelenggaraan Pemilu Legislatif 20144.
- Ada dua perspektif dalam melihat pemilu, khususnya Pemilu legislative
(Pileg) yang telah diselenggarakan, yaitu ada yang menganggap Pileg baik
dan ada yang menganggap buruk. Namun demiikian bagi yang menganggap
Pileg sudah baik tentu tetap ada catatan merah harus ada sebagai langkah
untuk perbaikan pemilu ke depan supaya lebih baik. Oleh karena itu, dalam
hal ini beberapa catatan terhadap Pileg 2014 menjadi perhatian bagi KPU
secara serius.
-

Beberapa catatan yang menurut KPU sangat penting dan dihadapi oleh KPU
antara lain adalah sebagai berikut:
a. Pengiriman logistik yang kurang atau berlebih. Di sejumlah daerah
ternyata masih banyak ditemukan kekurangan logistik Pemilu seperti

kertas suara dan lain sbeagainya. Namun di sis lain juga diketumkan
bahwa kertas suara yang masuk ke daerah tertentu justru lebih dari
jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ada di daerah tersebut.
b. Kasus surat suara tertukar. Beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) di
beberapa daerah melaporkan tertukarnya surat suara suara dengan daerah
pemilihan yang lain. Tercatat ada 20 provinsi yang melaporkan
tertukarnya surat suara.
c. Pemilih yang tidak terdaftar. Pelaksnaan Pileg 2014 ternyata masih
menyisakan persoalan berupa adanya pemilih yang namanya belum
masuk ke dalam DPT di daerah dimana ia tinggal.
d. Pemilih tidak terfasilitasi ditempat tertentu misalnya di rumah sakit.
Kondisi yang demikian menjadikan masyarakat yang memiliki hak pilih
menjadi tidak terslaurkan karena minimnya TPS yang tersedia di tempattempat darurat seperti Rumah Sakit dan sejenisnya.
e. Kesalahan dalam menghitung dan menuangkan hasil Pemilu di berita
acara. Ada beberapa persoalan terkait pengisian berita acara karena berita
acara tidak match antara juklak dan juknis dari KPU pusat. Kemudian
ada juga berita acara yang tidak di isi oleh penyelenggara pemilu.
Meskipun jumlahnya kecil namun tetap menjadi perhatian karena
berpotensi terjadinya pelanggaran pemilu. Oleh karena itu, sebagai
solusinya adalah dengan memberikan bimbingan teknis kepada
penyelenggara pemilu khususnya terkait pengisian berita acara.
f. Prosedur pemungutan–penghitungan dan rekapitulasi suara yang tidak
dilakukan. Tidak semua penyelenggara pemilu ternyata bisa memahami
teknis keseluruhan tahapan pemilu, sehingga menimbulkan persoalan
tersendiri. Hal nyata yang terjadi di lapangan adalah dengan tidak
dilakukannya rekapitulasi hasil pemungutan dan penghitungan suara,
akibatnya ketika dilakukan pemutakhiran data harus dilakukan oleh
penghitungan ulang sheingga menyita wkatu yang cukup lama.
-

Terhadap persoalan di atas, maka beberapa langkah perlu dilakukan yaitu:
a. Berkenaan dengan persoalan logistic, maka yang perlu dilakukan adalah
dengan mengawal dan memastikan logistik terkirim/dikirim tepat waktu,
tepat jumlah, tepat kualitas. Kemudian dilakukan kontrol ketat pada saat
sortir dan lipat surat suara. Guna mengoptimalisasikannya, maka
pelibatan penyelenggara Pemilu seperti PPK dan PPS dalam pengepakan
perlengkapan di TPS menjadi penting untuk dilibatkan.
b. Terkait persoalan pemilih, maka langkah yang perlu dilakukan adalah
dengan mencatat warga yang tidak terdaftar dalam DPT Pileg untuk
dimasukkan dalam daftar pemilih pilpres. Kemudian memfasilitasi
berdirinya TPS di tempat-tempat yang rawan hilangnya hak pilih (rumah

sakit, tahanan lembaga pemasyarakatan) dan memfasilitasi pemilih yang
karena alasan tertentu harus mutasi memilih di tempat baru (mahasiswa,
pondok pesantren, lapas, rumah sakit).
c. Berkenaan dengan Pemungutan-Penghitungan Suara dan rekapitulasi,
maka KPU mengusulkan perbaikan supaya melakukan evaluasi terhadap
penyelenggara Pemilu di semua jenjang khususnya dari aspek
profesionalitas, independensi dan integritas. Selain itu, penting juga
untuk memperkuat bimingan teknis (bimtek) terkait pemungutanpenghitungan dan rekapitulasi khususnya dalam hal pengisian berita
acara. Kemudian hal yang tidak kalah pentingnya adalah mengingatkan
kewajiban-kewajiban KPPS, PPS dan PPK dalam melaksanakan tugas.
-

Di samping upaya perbaikan seperti di atas, upaya perbaikan yang paling
penting guna menghindari terjadinya permainan antara kontestan Pemilu
dengan penyelenggara Pemilu, maka pengawasan terhadap KPU mulai dari
independensi, integritas dan kemandirian serta profesionalitas menjadi
bagian yang haru terpantau oleh masyarakat. Apabila terdapat penyelenggara
Pemilu bermain-main dnegan tugasnya, maka diharapkan masyarakat segera
melapor, sementara terhadap laporan tersebut harus segera ditindak lanjuti
oleh lembaga terkait untuk kemudian diberikan sanksi secara tegas.

4. Anang Zubaidy, SH.,M.H. Tema : Membangun Rasionalitas Pemilih Dalam
Pemilihan Umum.
- Pemilu legislatif (Pileg) 2014 telah usai dilaksankan dan hasilnya pun dalat
diakses oleh semua orang. Perhelatan akbar terebut telah menghasilkan
catatan dan prestasi yang jika ditarik kesimpulan masuk dalam lima kategori
prestasi. Pertama , pelaksanaan pemungutan suara di beberapa daerah sempat
kacau seperti terlambatnya distribusi logistik pemilu dan tertukarnya surat
suara di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kedua , pelanggaran
pemilu masih saja marak terjadi. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa
setiap ada hukum, di sana ada potensi pelanggaran.
-

Ketiga , money politics sebagai salah satu bentuk pelanggaran pemilu yang
ditangani oleh Bawaslu sejatinya hanya sebagian kecil yang nampak dari
massifnya praktik ini dalam Pemilu tahun ini. Pemilu 2014 mencatat rekor
jumlah gugatan yang masuk ke Mahkamah Konstitusi melebihi pelaksanaan
Pemilu 2009. Pada Pemilu tahun 2009 Mahkamah Konstitusi menangani
penyelesaian sengketa hasil Pemilu sebanyak 657 perkara. Sedangkan pada
tahun 2014, Mahkamah Konstitusi menerima 767 perkara. Kelima ,
meningkatnya partisipasi masyarakat untuk turut menggunakan hak pilihnya
dibanding Pemilu sebelumnya merupakan suatu prestasi tersendiri.

-

Peningkatan partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Pertama , persiapan penyelenggaraan Pemilu 2014 relatif lebih

matang jika dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya (2009). Kedua ,
bekerjanya caleg-caleg untuk mempromosikan dirinya melalui berbagai
media. Putusan MK mengenai sistem suara terbanyak menunjukkan sisi
negatif sekaligus positifnya. Ketiga, peran media massa yang semakin aktif
memberitakan hal ihwal Pemilu. Media massa seperti radio, televisi dan
koran tidak henti-hentinya memberitakan persiapan Pemilu dan kampanyekampanye yang dilakukan oleh partai politik. Bukan hanya itu, ajakan untuk
menggunakan hak pilih juga semakin dikreasi dengan menciptakan jingle
khusus pemilu serta masuknya ajakan untuk menggunakan hak pilih dalam
beberapa adegan sinetron-sinetron televisi. Keempat, gerakan golongan
menengah yang semakin peduli akan pemilu. Kelima, ada harapan akan
munculnya perubahan.
-

Rasional atau tidaknya pilihan rakyat dalam sebuah pemilihan umum,
ditentukan oleh banyak faktor, antara lain:
a. Tingkat pengetahuan pemilih. Tingkat pendidikan akan mendukung
seseorang untuk lebih ingin tahu mengenai calon yang akan dipilih.
Pemilih terdidik juga relatif lebih memahami konsekuensi dari sebuah
pilihan dalam pemilu.
b. Sikap Sebagian Masyarakat Indonesia Terhadap Pemilu. Di lingkup
masyarakat, ternyata masih ditemui masyarakat yang bersifat permissif
dengan persoalan-persoalan bangsa dan negara. Sehingga ketika Pemilu
tiba banyak pemilih yang tidak bersikap irrasional dengan asal-aslaan
atau dengan kompensasi tertentu dalam memilihnya. Selain sikap
permissive, ada “penyakit” yang sekarang menjangkiti sebagian
masyarakat kita yakni sikap pragmatis-transaksional. Bagi mereka,
pilihan akan dijatuhkan kepada sang calon yang memberi sesuatu yang
lebih dibandingkan dengan calon lain. Sikap sebagian masyarakat inilah
yang selanjutnya “ditangkap” oleh para calon untuk berlomba-lomba
memperbesar porsi money politics.
c. Diseminasi Informasi oleh Pers/Media Massa. Kebebasan yang dimiliki
pers untuk menyampaikan berbagai macam informasi akan menjadikan
masyarakat semakin terbuka wawasan dan pengetahuannya. Pada
gilirannya, masyarakat akan tercerdaskan dan mampu menjatuhkan
pilihan-pilihan secara rasional.
d. Gelombang Pemanfaatan Media Sosial. Pemilu 2014 terasa lebih
semarak dengan semakin ramainya lalu lintas informasi melalui media
sosial (facebook, twitter dan lain sebagainya). Indonesia yang merupakan
negara dengan jumlah penduduk sangat besar tidak luput dari
pemanfaatan internet sebagai sarana memperoleh informasi.
e. Peran Partai Politik dalam Melakukan Pendidikan Politik. Salah satu
fungsi dari partai politik adalah pendidikan politik. Ironisnya, fungsi

pendidikan politik ini justru tidak banyak digarap dengan baik oleh partai
politik. Pendidikan politik justru diperoleh masyarakat dari wahanawahana seperti media massa atau sekolah/lembaga pendidikan. Bahkan
informasi mengenai money politics diperoleh dari keluarga dan tetangga.
Hal ini tentu saja mempengaruhi rasionalitas pemilih. Jika saja partai
politik memainkan fungsi pendidikan politik secara baik niscaya akan
terbentuk masyarakat pemilih yang lebih rasional.
f. Efek Samping dari Sistem Pemilu yang Digunakan. Putusan Mahkamah
Konstitusi yang menentukan calon dengan suara terbanyak menimbulkan
beberapa persoalan seperti munculnya “calon karbitan”, kaya selebritas
tetapi miskin konsep, serta penentuan calon anggota legislatif oleh partai
politik bukan berdasarkan jenjang karir di partai yang bersangkutan
(calon bukan karena kaderisasi partai politik). Suguhan caleg yang
demikian, juga berpengaruh bagi pemilih untuk bersikap rasional atau
tidak dalam menentukan pilihan.
g. Upaya untuk membangun rasionalitas pemilih bukan pekerjaan mudah,
namun merupakan ikhtiar yang harus terus menerus dilakukan oleh
sembua pihak baik pemerintah, peserta pemilu, pers, bahkan oleh warga
negara sendiri. Masing-masing pihak dapat memainkan perannya
masing-masing untuk mengupayakan pendidikan politik, antara lain:
a. Peran pemerintah dapat dilakukan dengan meningkatkan taraf
pengetahuan masyarakat akan demokrasi dan kepemiluan. Upaya ini
dapat dilakukan mulai baik melalui sekolah berupa kurikulum yang
menitikberatkan pada penyadaran masyarakat akan hak, atau melalui
institusi pemerintah sendiri melalui diseminasi informasi pemilu
yang lebih massif dan terstruktur, bukan hanya menjelang
penyelenggaraan pemilu.
b. Peserta pemilu terutama partai politik, untuk lebih memaksimalkan
fungsi pendidikan politik. Mobilisasi massa untuk merebut kursi
kekuasaan itu penting, tetapi masyarakat pemilih yang cerdas dan
rasional itu jauh lebih penting.
c. Pers memegang peran yang tidak remeh dalam pendidikan politik.
Informasi yang disajikan oleh suatu media seringkali ditelan mentahmentah oleh sebagian masyarakat. Untuk itu, netralitas pers sangat
diperlukan sehingga informasi yang disampaikan bisa akurat dan
seimbang. Melalui itulah rasionalitas pemilih dapat terbentuk.
d. Masyarakat terutama kelompok menengah terdidik harus menjadi
teladan bagi bagian kelompok masyarakat lainnya. Bergabungnya
tokoh-tokoh masyarakat terdidik (baik sebagai timses resmi maupun
tidak) semestinya menjadi corong bagi pendewasaan berpolitik,
bukan sekedar pembelaan buta calon yang diusung.

-

Disamping memerlukan peran seperti di atas, peran penting lain yang harus
diperhatikan adalah akademisi. Sebagai entitas yang dipandang memeiliki
pengetehuan intelektual, maka akademisi harus menjaga netralitasnya yaitu
dnegan memberikan edukasi, pandangan dan solusi terhadap proses Pemilu.
Adanya netralitas akademisi bisa menjadi pencerah bagi pemilih yang „haus‟
akan pendidikan politik yang bersih, netral, dan bermartabat.

III
SESI TANYA JAWAB
1. Pertanyaan
Bapak Bagus dari FH UII
- Apa yang menjadi indikator dalam pelanggaran money politics ?
- Bagaimana pelibatan kepala desa dalam pemilu?
Bapak Teguh dari FH Universitas Widya Mataram
- Seperti apakah aturan yang bisa menjadikan media bersikap netral dalam
Pemilu?
- Bagaimana mengantisipasi model pelanggaran Pemilu yang bersamaan di
tahun 2019?
Perwakilan Polda DIY
- UU Pemilu memberikan alokasi waktu bagi penyelesaian sengketa Pemilu
dengan waktu yang sangat singkat, langkah atau terobosan apakah yang
perlu dilakukan akademisi guna mengoptimalisasikan penyelesaian sengketa
agar tidak berujung pada SP3?
Bapak Imam (Asisten Bawaslu DIY Bidang Pengawasan)
- Bagaimana menganntisipasi rumusan dalam pasal tindak pidana yang sangat
multitafsir di dalam UU Pemilu?
- Bagaiman merespon UU Pileg yang belum mampu mengakomodir
penyelesaian yang sederhana maupun yang sulit?
Bapak Ari (Ombudsman Daerah)
- Bagaimana menjadikan partai politik supaya tunduk pada aturan main dalam
Pemilu?
2. Jawaban
Hamdan Kurniawan, S.IP.,MA
- Secara umum dapat dijelaskan bahwa berbagai norma dalam UU Pemilu
yang multitafsir memang menjadi problem serius bagi penyelenggaraan

-

Pemilu. Oleh karena KPU telah melakukan kajian terhadap UU Pemilu
berkenaan dnegan pasal-pasal multitafsir tersebut untuk kemudian kami
ajukan sebagai rekomendasi supaya UU tersebut dilakukan amandemen.
KPU juga membuka berencana jika melalui amandemen t=sulit dilakukan,
maka KPU akanmengambil jalan lain berupa judicial review ke MK. Namun
KPU tetap memprioritaskan amandemen di DPR sebagai hal yang utama,
karena dengan amandemen tentu akan lebih memiliki legitimasi kuat.
Untuk menjadikan Parpol tunduk kepada aturan main Pemilu, sesungguhnya
partai harus memiliki etika politik yang baik, sadar hakikat membentuk
partai dan bijak dalam menjalankan partai sebagai alat mencapai kekuasaan.
Nilai-nilai yang demikian nampaknya belum terinternalisasi dalam diri elit
partai, sehingga sulit patuh terhadap aturan main Pemilu. Oleh karena itu,
bagi partai penting untuk melakukan evaluasi internal supaya nilai tersebut
dapat menjadi pegangan dalam berkampanye di Pemilu.

Dr. Ni’matul Huda, SH.,M.Hum
- Berkaca pada Pemilu di tahun 2009, aparat desa diposisikan sebagai entitas
yang diminta keterangan apakah pelanggaran dalam Pemilu masuk dalam
kategori TSM atau tidak. Melalui pelibatan aparat desa, maka akan sangat
mudah didientifikasi suatu pelanggaran Pemilu benar terjadi secara massif
atau tidak karen apada dasarnya konsepsi TSM dalam Pemilu terjadi di
kalangan bawah.
-

Tahun 2019 Indonesia akan menggelar Pemilu serentak sesuai amar putusan
MK, hal yang tidak bisa dihindari adalah pelanggaran dalam Pemilu tersebut.
dalam mengantisipasi terjadi pelanggaran Pemilu yang bisa semakin banyak
jumlahnya, maka idealnya harus ada lembaga peradilan yang secara khusus
menangani penyelesaian sengketa Pemilu. Adanya lembaga tersebut,
diharapkan akan dapat melakukan tugasnya secar afokus sehingga
putusannya dapat mencerminkan keadilan dan akuntabel. Apabila ke depan
tidak dibentuk lembaga khusus tersebut, bisa dipastikan MK akan kewalahan
dalam menyelesaikan sengketa Pemilu yang bukan hanya sengketa Pileg
melainkan juga sengketa Pilpres yang bersamaan.

-

Berkenaan dengan UU Pemilu yang memberikan waktu serba terbatas
terhadap penyelesaian sengketa Pemilu, maka penting untuk dilakukan
pengkajian kembali apakah rumusannya telah ideal untuk dijadikan alat
dalam menyelesaikan persoalan Pemilu yang dalam pembuktiannya sulit dan
membutuhkan waktu yang lama. Oleh karen aitu, seharusnya legislatif harus
emlakukan kajian ataupun perbandingan dnegan negara lain guna mencari
format waktu yang ideal dalam menyelesaikan sengketa Pemilu. Selain itu,
akademisi juga tidak boleh berpangku tangan dalam melihat kondisi yang
demikian. Misalnya akademisi dapat memberikan usulan desain waktunya

setelah terlebih dahulu melakukan kajian ilmiah mengapa harus dengan
jangka waktu tertentu.
Anang Zubaidy, SH.,M.H
- Batasan money politic jika merujuk UU Pemilu adalah semua pemberian
yang tidak terbatas pada uang. Artinya apabila pemberian seperti sembako,
bahan bangunan dan sejenisnya yang ternyata memiliki tujuan untuk
mempengaruhi pemilih untuk memilih pemberi maka dapat dikategorikan
sebagai money politics. Apabila dikaji lebih lanjut, esensi money politics
adalah karena dalam pemberian tersebut terdapat tujuan untuk mengajak
untuk memilih calon tertentu ydalam Pemilu ang kemudian diberikan
imbalan pra atau pasaca pemilihan.
-

Model aturan supaya media menjadi netral salah satunya adalah dengan
menguatkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Apabila dilihat secara utuh,
KPI hanya memiliki kewenangan memberikan izin penyiaran namun tidak
diberikan izin untuk mencabut atas siaran yang telah keluar. Maka dari itu,
seharusnya KPI juga idberikan wewenang untuk mencabut hak siar media
yang dinilai kurang proporsional ataun tidak netral dalam Pemilu. Dismaping
itu, hal yang tidak kalah penting adalah adanya kearifan pemilik media.
Pemilik modal media harus bersikan bijak bahwa esensi media merupakan
bagian untuk menguatkan dmeokrasi bukan justru sebaliknya, sheingga
dalam beroperasi seharusnya tunduk pada kode etik ekjuranlitikan.
Notulen,

A. Ridho