Peran Civil Society dalam Perekonomian M

Peran Civil Society dalam Perkonomian Masyarakat Desa
Oleh Dicky Dwi Ananta
Abstract
This papper discuss about the existence of civil society in the village. It’s existence turn out can
bringing usefulness to society in village, one of this in economic sector. In this papper, author use
case study from Catur Makaryo’s role in Karang Tengah Village, district of Imogiri, Bantul,
Jogjakarta. Catur Makaryo as civil society become economic mover in this village with their
effort in society micro bussines, including their inisiation to build tourism village. It’s effort are
bringing Karang Tengah as gradual become advance village now. This is be evidenced with
Karang Tengah’s achievement that gets top 10 the best nominator as tourism village from
Ministry of Torism and Economic Creative, Republic of Indonesia in 2012.
Kata kunci: civil society, Catur Makaryo, perekonomian masyarakat.
Pendahuluan
Paradigma tentang desa yang selalu identik dengan keterbelakangan, miskin, dan kuno
selayaknya mulai dihilangkan. Hal ini seiring dengan munculnya beberapa desa yang menjadi
rising star dalam pembangunan. Desa yang penulis maksud dalam hal ini tentu merupakan desa
dengan kategori maju. Umumnya desa tersebut berhasil mengembangkan pola perekonomiannya
dengan mandiri melalui usaha pemberdayaan masyarakat yang efektif. Bahkan menurut penulis,
hal ini bisa menjadi percontohan bagaimana pengembangan perekonomian masyarakat dapat
berbasiskan pada pedesaan. Sebuah pola pembangunan dari bawah ke atas (bottom up).
Salah satu desa yang masuk pada kriteria di atas adalah Desa Karang Tengah, Kecamatan

Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Desa ini berhasil mengembangkan dirinya menjadi salah
satu desa maju di Yogyakarta melalui berbagai usaha pengembangan perekonomian yang
berbasiskan masyarakat, salah satunya melalui pariwisata. Pada tahun 2012 ini, Desa Karang
Tengah berhasil meraih penghargaan dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai
10 besar desa wisata di Indonesia. Penghargaan ini diperoleh karena Desa Karang Tengah
dianggap berhasil mengembangkan kawasan penghijauan tanaman ulat sutera yang mampu
memberdayakan masyarakat, dan memberikan lapangan pekerjaan bagi kemajuan perekonomian
masyarakat setempat. (Dikutip dari http://jogja.antaranews.com/print/306019/desa-wisatakarangtengah-peroleh-penghargaan-dari-kemparekraf, diakses pada 1 Desember 2012)
Namun, kondisi Desa Karang Tengah saat ini berbanding terbalik dengan beberapa tahun
sebelumnya. Desa Karang Tengah pada tahun 1995, merupakan desa dengan predikat tertinggal,

dan termasuk dalam Impres Desa Tertinggal (IDT). Bahkan, desa ini menjadi salah satu dari tiga
desa tertinggal di Kecamatan Imogiri, Bantul. (Ernayanti dan Novita, 1996: 7). Eksponen
terbesar dari predikat desa tertinggal tersebut adalah kemiskinan. Menurut Effendi (seperti
dikutip Ernayanti dan Novita, 1996: 3), dimensi kemiskinan ini terdiri dari dimensi ekonomi,
politik, dan sosial budaya. Dimensi ekonomi berkaitan dengan kurangnya sumberdaya, terutama
alam dan manusia. Dimensi politik menyangkut aksesibilitas seseorang atau sekelompok orang
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama dalam keikutsertaan dalam pengambilan
keputusan. Sedangkan, dimensi sosial budaya menyangkut kekurangan jaringan sosial dan
struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas dapat meningkat.

Ketiga hal tersebut terdapat dalam masyarakat Desa Karang Tengah sehingga berperan dalam
menciptakan budaya kemiskinan di sana. Hal inilah yang menjadikan Desa Karang Tengah
termasuk sebagai desa tertinggal.
Perubahan pesat yang dialami Desa Karang Tengah, dari desa yang berpredikat tertinggal
menjadi desa maju tidaklah terjadi dengan sendirinya. Proses perubahan ini membutuhkan
adanya sebab yang menjadi prasyarat perubahan itu terjadi. Dalam kasus Desa Karang Tengah,
salah satu sebab perubahan menuju kemajuan itu muncul adalah terbentuknya perkumpulan
masyarakat bernama Catur Makaryo. Hal tersebut dikarenakan Catur Makaryo memiliki peran
besar dalam memberdayakan masyarakat dan menginisiasi terbentuknya desa wisata di Karang
Tengah. Perkumpulan ini merupakan gabungan dari kelompok tani, kerajinan, kesenian, dan PT.
Royal Silk yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengembangkan
potensi desa yang ada. Berbagai usahanya tersebut, dengan perlahan namun pasti, dapat
menggerakan perekonomian masyarakat di Desa Karang Tengah. Oleh karena itu, menarik untuk
dilihat keberadaan Catur Makaryo saat ini, di satu sisi sebagai perkumpulan masyarakat, di sisi
lain dapat mengembangkan perekonomian usaha mikro di Desa Karang Tengah. Hal inilah yang
menjadi ketertarikan penulis untuk membahas Catur Makaryo dalam tulisan ini.
Catur Makaryo terbentuk dari gabungan beberapa kelompok tani, kerajinan, kesenian dan PT.
Royal Silk. Kelompok ini bertekad untuk mengembangkan segenap potensi desa dengan tujuan
agar dapat meningkatkan kesejahteran masyarakatnya. Perkumpulan ini murni dari masyarakat,
dan kedudukannya terpisah dari struktur pemerintahan desa. Sehingga dari hal tersebut, dapat

dikatakan bahwa Catur Makaryo merupakan perwujudan civil society di lingkup desa. Hal
tersebut ditandai dengan adanya ciri-ciri civil society menurut Hikam yang terdapat di dalam

Catur Makaryo, yaitu kemandirian, keswadayaan, kesukarelaan, dan keswasembadaan. (Culla,
2006: 20). Oleh karena itu, perumusan masalah yang akan diangkat dalam Tulisan ini adalah
terkait dengan Catur Makaryo yang sifatnya sebagai civil society dan usahanya dalam
menggerakan perekonomian masyarakat di desa. Pertanyaan untuk permasalahan tersebut adalah
bagaimana Catur Makaryo sebagai civil society berperan dalam menggerakan perekonomian
masyarakat di Desa Karang Tengah.
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana peran civil society menjadi
penggerak perekonomian di tingkat desa, dalam hal ini Catur Makaryo. Selain itu, tulisan ini
juga diarahkan untuk melihat perubahan yang terjadi di dalam masyarakat Desa Karang Tengah
setelah Catur Makaryo hadir. Dengan penggambaran peran yang dijalankan Catur Makaryo dan
hasil yang diperoleh masyarakat Desa Karang Tengah, diharapkan dapat memberikan inspirasi
bagi desa yang lain untuk dapat mengembangkan potensi desanya melalui pemberdayaan
masyarakat yang mandiri dan efektif. Selain hal tersebut, tulisan ini juga digunakan untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Pemerintah dan Politik Desa.
Kerangka Konsep
Terdapat tiga konsep kunci yang akan digunakan dalam tulisan ini, yaitu civil society,
pemberdayaan masyarakat dan perekonomian mikro masyarakat desa. Ketiga konsep tersebut

digunakan untuk menjadi pisau analisa dalam membedah peran Catur Makaryo di Desa Karang
Tengah.
Konsep civil society sangat beragam pembicaraannya di kalangan ilmuwan sosial. Hal
tersebut ditandai dengan beragamnya definisi tentang civil society. Bahkan, keberagaman ini
juga termasuk dalam penggunaan istilah civil society ke dalam bahasa Indonesia. Beberapa ahli
membahasakan istilah civil society dengan berbeda-beda, antara lain masyarakat sipil,
masyarakat madani, masyarakat warga, masyarakat kewargaan, hingga yang masih tetap
menggunakan civil society. (Culla, 2006: 34-43). Dalam penulisan ini, penulis tetap
menggunakan istilah aslinya civil society dan tidak mengikuti perdebatan istilah tersebut. Selain
itu, untuk menghindari kekaburan pembahasan tulisan karena luasnya konsep civil society, maka
penulis dalam hal ini hanya akan menggunakan konsep civil society yang signifikan dan sejalan
dengan tujuan tulisan ini dibuat.

Menurut Jean L Cohen dan Andrew Arato (seperti dikutip Culla, 2006: 18), civil society
adalah wilayah interaksi sosial mencakup semua kelompok sosial paling dekat (khususnya rumah
tangga), perkumpulan (terutama yang bersifat sukarela), gerakan kemasyarakatan, dan wadahwadah komunikasi publik yang diciptakan melalui bentuk pengaturan dan memobilisasi diri
secara independen, baik dalam hal kelembagaan maupun kegiatan. Dari uraian itu, civil society
yang diartikan memiliki kekhasan dalam membangun kreativitas yaitu dengan berusaha
mengatur dan memobilisasi diri sendiri tanpa melibatkan negara. Muhamad AS Hikam
memberikan ciri khusus pada civil society, yaitu kehidupan sosial terorganisir yang bercirikan

kesukarelaan, keswasembadaan dan keswadayaan, kemandirian tinggi saat berhadaan dengan
negara, dan keterikatan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang dipatuhi warganya. (Culla,
2006: 20)
Jika dilihat dari posisinya, civil society berada diantara masyarakat alami (natural society)
dan masyarakat politik (political society). Masyarakat alami ini digambarkan sebagai masyarakat
dalam konsep Thomas Hobbes, sedangkan masyarakat politik identik dengan negara. (Budiman,
1990: 9). Kondisi ini tentu memberikan hubungan yang unik antara civil society dengan negara
dan aktor non-negara. Hubungan tersebut diwujudkan dalam, pertama, hubungan antara civil
society dan negara dilihat sebagai dua entitas terpisah yang berhadapan secara dyadic. Kedua,
civil society dan negara sebagai dua entitas yang terpisah, baik rasional maupun fungsional.
Ketiga, civil society dan negara bukan sebagai entitas yang berhadapan. Keempat, domain civil
society dari negara, masyarakat politik dan masyarakat ekonomi terpisah. (Culla, 2006: 26-28).
Kemudian, peranan dari civil society dalam gerakan masyarakat terbagi dalam tiga hal, antara
lain, pertama, civil society sebagai kekuatan penyeimbang dalam mengontrol, mencegah, dan
membendung dominasi serta manipulasai negara (masyarakat politik) maupun dunia usaha
terhadap masyarakat (masyarakat ekonomi). Kedua, sebagai gerakan pemberdayaan masyarakat.
Hal ini dilakukan dengan mengembangkan kapasitas kelembagaan, produktivitas, dan
kemandirian masyarakat melalui pendidikan, pengorganisiran, dan pengerahan masyarakat.
Ketiga, peran sebagai lembaga perantara yang menautkan hubungan masyarakat dengan
pemerintah atau negara dan aktor non-negara, seperti dunia usaha dan lembaga pendanaan.

(Culla, 2006: 31).
Pemberdayaan masyarakat menurut Sutoro Eko dalam (Cholisin, Makalah, 2007: 1)
merupakan sebuah proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat,

posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala
bidang dan sektor kehidupan. Konsep pemberdayaan ini harus memperhatikan posisi masyarakat.
Dalam hal ini, pemberdayaan adalah mengubah posisi masyarakat yang tidak hanya sekedar
sebagai obyek atau penerima manfaat pembangunan saja, tetapi mengubahnya menjadi subyek,
yaitu kelompok yang berperan aktif dan mandiri dalam pembangunan. Sedangkan menurut
Permendagri RI No. 7 tahun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan
Masyarakat adalah suatu strategi yang digunakan dalam pembangunan masyarakat sebagai upaya
untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Tujuan besar dari pemberdayaan masyarakat adalah memandirikan dan memampukan
masyarakat dari kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam mencapai tujuan tersebut diperlukan
strategi untuk meraihnya. Menurut Cholisin terdapat dua strategi, yaitu strategi pertama,
menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang, memperkuat
potensi atau daya yang dimiliki masyarakat, dan melindungi masyarakat dari ketidakberdayaan.
Strategi kedua, pembangunan perdesaan. Dalam hal ini lebih banyak strategi yang ditujukan
untuk pemerintah. (Cholisin, Makalah, 2007: 2-4).


Kemudian menurut J. Nasikun (seperti

dikutip Cholisin, Makalah, 2007: 4-5), pemberdayaan masyarakat dapat menggunakan berbagai
strategi, yaitu strategi Gotong Royong, adalah strategi pemberdayaan dengan menganggap
masyarakat sebagai sistem sosial. Teknikal-professional adalah memecah permasalahan
kelompok dengan mengubah norma, peranan dan prosedur baru. Strategi konflik, dengan
mengorganisir kelompok miskin untuk meminta keadilan. Pembelotan kultural, pengubahan nilai
secara individu untuk menuju gaya hidup baru. Sejalan dengan hal tersebut, MG Ana Budi
Rahayu memberikan strategi lain. Menurutnya, pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan
dengan tiga hal, yaitu peningkatan kapasitas sumber daya manusia, membangun kelembagaan
masyarakat dan menyediakan fasilitas produksi (teknologi dan modal usaha). (Rahayu,
www.binaswadaya.org/files/pemberdayaan-masyarakat-desa.pdf, diakses pada 1 Desember
2012)
Perekonomian masyarakat adalah usaha perekonomian yang berbasiskan pada masyarakat.
Pada tahap ini dimaksudkan sebagai perekonomian masyarakat desa. Seperti pada umumnya
masyarakat desa, kemampuan ekonomi secara utama berasal dari sektor pertanian. Namun titik
utama dari perekonomian masyarakat desa adalah bentuknya yang masih mikro. Sehingga usaha

yang dilakukan merupakan jenis usaha mikro. Usaha mikro (UM) merupakan jenis usaha kecil

yang umumnya informal, seperti petani kecil, usaha rumah tangga, dan pedagang. Menurut
Robinson (seperti dikutip Kusmulyono, 2009: 134), UM adalah “economically active poor”
(masyarakat miskin yang masih aktif secara ekonomi) yaitu masyarakat yang masih bekerja
namun kekurangan pangan, masyarakat yang memiliki tabungan dengan peningkatan kecil dan
masyarakat yang mampu untuk membayar pinjaman kecil dengan bunga yang memungkinkan
dari lembaga kredit yang menyediakan sendiri keuangannya. Kemudian menurut UU No. 20
tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, kriteria usaha mikro adalah usaha yang
memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.300 juta. Usaha Mikro ini dapat
tersebar dalam berbagai sektor, antara lain, pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan,
perdagangan, hotel, restoran, industri pengolahan dan komunikasi, pertambangan, bangunan,
listrik, gas dan air bersih, dan jasa keuangan. (Kusmulyono, 2009: 147). Jenis usaha mikro
merupakan yang paling banyak di desa dan menyentuh masyarakat banyak dan riil.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan peran civil society
dalam menggerakan perekonomian masyarakat, khususnya di tingkat desa. Penelitian dilakukan
di Desa Karang Tengah, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Jogjakarta pada 15-16
November 2012. Dalam penelitian ini studi kasus yang digunakan peneliti adalah sebuah
perkumpulan masyarakat di Desa Karang Tengah yang bernama Catur Makaryo. Organisasi ini
memiliki keunikan karena karakternya sebagai organisasi mandiri di masyarakat yang kemudian

dapat menjadi penggerak perekonomian di Desa Karang Tengah sehingga dapat menjadi
nominator desa wisata tingkat nasional. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan strategi
wawancara mendalam kepada beberapa tokoh untuk menggali informasi tentang Catur Makaryo
terkait perannya sebagai civil society yang menggerakan perekonomian masyarakat di Desa
Karang Tengah. Tokoh yang menjadi informan dalam penelitian ini antara lain, Sekretaris Desa
sekaligus pejabat sementara Kepala Desa, Kepala Bagian Kesejahteraan Masyarakat, Ketua
Catur Makaryo, dan beberapa warga Desa Karang Tengah. Dari beberapa informan tersebut
diharapkan semua informasi yang telah ter-cover semuanya. Selain menggunakan strategi
wawancara mendalam tersebut, peneliti juga menggunaakan studi literatur untuk penelitian ini.

Penelitian di sini memang masih bersifat mini research karena merupakan turun lapangan
(turlap) pertama bagi peneliti.
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer didapatkan peneliti secara langsung di lapangan dengan wawancara
mendalam, dokumen tentang Desa Karang Tengah dan Catur Makaryo. Sedangkan data sekunder
didapatkan dari beberapa literatur dan penelitian sebelumnya yang juga mengulas Desa Karang
Tengah. Salah satu sumber data sekunder tersebut adalah hasil penelitian Ernayanti dan Ita
Novita tentang Budaya Kemiskinan di Desa Karang Tengah, Kecamatan Imogiri, Kabupaten
Bantul tahun 1995. Data sekunder berikutnya didapatkan dari BPS Kabupaten Bantul. Studi
literatur ini digunakan untuk menguatkan data primer yang didapatkan peneliti.

Peran Civil Society dalam Perekonomian Masyarakat Desa
Profil Singkat Desa Karang Tengah
Desa Karang Tengah secara administratif berada di Kecamatan Imogiri, Kabupaten
Bantul. Desa ini berada dalam jarak tempuh 2 kilometer dari Kecamatan Imogiri, 15 kilometer
dari Kabupaten Bantul dan sekitar 25 kilometer dari Pemerintah Daerah Propinsi DI. Yogyakarta.
Berdasarkan garis imajinernya, Desa Karang Tengah terletak antara 110º23 sampai 110º24 BT
dan 7º56 sampai 7º57 LS. Desa ini berbatasan dengan Desa Girirejo di utara, Desa Mangunan di
timur, Desa Srirejo di selatan, dan Desa Kebonagung di Barat.
Desa Karang Tengah memiliki ketinggian rata-rata 7 mdpl, dengan topografi yang
bergelombang, yaitu 40% dataran rendah dan 60% dataran tinggi. Desa ini memiliki luas wilayah
287,771 hektar. Sebagian besar dari tanah tersebut berupa tanah tegalan yaitu 117,7160 hektar
(40.91%) dan yang terkecil 1,5 hektar berupa tanah sawah irigasi sederhana. (Ernayanti dan
Novita, 1996: 14). Sebagian tanah pertanian yang dikelola masyarakat merupakan tanah milik
Sultan (Sultan Ground), yaitu sekitar 60 hektar. (Sogiyanto, Wawancara, 22 November 2012).
Hal tersebut termasuk bukit hijau yang menjadi tempat wisata. Desa Karang Tengah memiliki
enam pedukuhan atau setingkat dusun, yaitu Dusun Kemasan, Karang Tengah, Pusunggrowong,
Karangrejek, Mojolegi, dan Numpukan. Setiap pedukuhan di kepalai oleh kepala dusun yang di
sana disebut dukuh. Desa Karang Tengah dipimpin seorang kepala desa, namun saat ini dipimpin
oleh PJ (penanggung jawab) Kepala Desa yang dilaksanakan oleh Sekretaris Desa (Carik). Hal
ini dikarenakan kepala desa yang sebenarnya sedang tersangkut kasus hukum karena korupsi.


Penduduk Desa Karang Tengah pada umumnya masih lulusan Sekolah Dasar dan
Menengah. Hanya sedikit yang berpendidikan tinggi. Dan itu pun tidak sepenuhnya tersebar di
seluruh pedukuhan. Secara umum, masyarakat di sana bermata pencaharian dengan bercocok
tanam, pengrajin, PNS dan TNI/POLRI, pekerja bangunan, pencari barang bekas, buruh industri
dan pedagang. Desa Karang Tengah berpenduduk 4610 jiwa. Terdiri dari 2278 laki-laki, dan
2332 perempuan. (BPS, 2012: 25).
Desa Karang Tengah memiliki beberapa potensi yang telah dikembangkan, antara lain,
potensi alam, potensi kerajinan, potensi budaya dan seni, dan potensi kuliner. Potensi alam
berkaitan dengan kondisi geografis dan topologis desa yang berada di perbukitan dan dataran.
Wilayah perbukitan telah dikembangkan menjadi daerah agrowisata dengan bukit hijaunya.
Dalam bukit tersebut terdapat dua potensi, yaitu potensi wisata dan pertanian. Perbukitan ini
menjadi wilayah konservasi lingkungan dengan program penghijauannya. Selain itu, juga
menjadi budidaya ulat sutera liar. Hal tersebut didukung dengan jenis tanaman yang dijadikan
bahan konservasi lingkungan tadi yang menjadi habitat ulat sutera tersebut.
Potensi kerajinan terdiri dari beberapa pengrajin yang ada di Desa Karang Tengah, antara
lain, kerajinan batik alam, kerajinan bubut, kerajinan rongko keris1, dan kerajinan anyam bambu.
Potensi budaya dan seni tradisional, terdiri dari seni kerawitan, laras madya, gejog lesung,
jathilan, campur sari, thek-thek, bergodod karangseto, mudho palupi, seni rodad, hadroh, dan
sanggar seni laksita mas. Sedangkan potensi kuliner diisi oleh produsen makanan olahan khas
Karang Tengah, yaitu bakpia ijo, kacang mede, sirup jambu mente, secang, markisa, dan sirsak,
dan jamu. Segenap potensi tersebut dikembangkan oleh masyarakat desa Karang Tengah dengan
cara menjadikan desa tersebut menjadi desa wisata.
Profil Catur Makaryo
Catur Makaryo adalah kelompok masyarakat yang dibentuk dari gabungan kelompok
tani, kelompok pengrajin, kelompok kesenian, dan PT. Royal Silk. Kelompok ini didirikan pada
tahun 2009. Catur Makaryo memiliki arti sebagai empat pekerjaan, Catur (empat), Makaryo
(Pekerjaan). Berdasarkan AD/ART, Catur Makaryo memiliki tujuan untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Desa Karang Tengah. Catur Makaryo membidangi
beberapa sektor antara lain, sektor kelompok tani, kelompok pemandu wisata, kelompok
1 Rongko Keris adalah nama lain dari sarung keris.

kerajinan, dan kelompok kesenian. Keberadaan PT. Royal Silk adalah untuk membantu
mengelola budidaya ulat sutera liar. Keempat kelompok tersebut saling bekerja sama untuk
mensukseskan tujuan dari Catur Makaryo tadi. Keanggotaan Catur Makaryo terdiri dari anggota
masyarakat Desa Karang Tengah yang mendaftar sebagai anggota. Berdasarkan wawancara
dengan Bapak Sogiyanto (22 November 2012), saat ini jumlah anggota kelompok Catur
Makaryo telah mencapai 200 KK.
Dalam rangka mencapai tujuannya, Catur Makaryo menyelenggarakan berbagai usaha,
antara lain, pembentukan kelompok sadar wisata, pelatihan manajemen wisata, pelatihan bahasa
asing, pelatihan keterampilan dan kerajinan, serta pelatihan budidaya pertanian dan perkebunan.
Hal tersebut dilakukan dalam rangka mengembangkan sumber daya manusia Desa Karang
Tengah. Selain itu, Catur Makaryo juga aktif menjalin kerja sama dengan pemerintah melalui
instansi terkait untuk menyelenggarakan workshop, pelatihan dan lokakarya untuk menambah
keterampilan penduduk desa. Catur Makaryo juga mendorong aktif para pengrajin untuk
mengikuti berbagai expo dan pameran, tidak hanya di Jogja saja, tetapi juga di luar kota seperti
Jakarta.
Dalam melakukan usahanya, Catur Makaryo bekerja sama dengan pihak luar seperti BNI
dalam mengusahakan modal untuk industri mikro di sana, juga dengan PT. Garuda Indonesia
dalam bidang konservasi lingkungan. Catur Makaryo menginisiasi pengembangan desa wisata di
Karang Tengah sejak tahun 2009. Hal ini dilakukan atas kesadaran untuk mengembangkan
potensi desa. Segala bentuk usaha dari konservasi lingkungan, kerajinan, kesenian dan pertanian
semua diarahkan menuju terbentuknya desa wisata Karang Tengah. Desa wisata diyakini
kelompok tersebut akan dapat meningkatkan dan mensejahterakan masyarakat karena semua
sektor pasti akan ikut tergerakkan.
Catur Makaryo juga memiliki koperasi simpan pinjam untuk anggotanya. Hal ini
didasarkan dari kebutuhan masyarakat desa yang membutuhkan perkreditan mikro di tingkat
desa. Namun, koperasi ini hanya diperuntukan bagi anggotanya saja. Catur Makaryo juga
memiliki show room sebagai tempat dipajangnya hasil kerajinan, termasuk kerajinan makanan
olahan. Selain itu, untuk mendukung konsep desa wisata, Catur Makaryo juga mengembangkan
home stay di rumah-rumah penduduk. Ini ditujukan kepada para wisatawan yang menginap di
desa tersebut.

Catur Makaryo sebagai Civil Society
Tesis penulis bahwa Catur Makaryo sebagai civil society di tingkat desa dalam Tulisan
ini, di dukung oleh terdapatnya ciri, peranan, dan bentuk hubungan civil society dalam Catur
Makaryo.

Menurut

Muhammad

AS

Hikam,

civil

society

bercirikan

kesukarelaan,

keswasembadaan (self-generating), keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi saat
berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma atau nilai hukum yang dipatuhi
masyarakat. (Culla, 2006: 20). Hal tersebut dapat dilihat dalam Catur Makaryo.
Catur Makaryo didirikan oleh masyarakat Desa Karang Tengah atas sebuah reaksi dari
kondisi Desa Karang Tengah yang dulunya termasuk dalam desa tertinggal dan terbelakang.
Perkumpulan ini menghimpun masyarakat yang terpisah-pisah dalam berbagai kelompok secara
sukarela. Hal ini didasari oleh sebuah tujuan bersama untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat Desa Karang Tengah. Dalam mendirikan perkumpulan tersebut,
masyarakat menghimpun sendiri anggotanya secara mandiri. Tanpa adanya paksaan dari pihak
desa ataupun dari pemerintah Kabupaten. Berdirinya Catur Makaryo memang tak lepas dari
perkumpulan-perkumpulan berbagai kelompok masyarakat di Desa Karang Tengah sebelumnya.
Perkumpulan itu terdiri dari beberapa kelompok tani, kerajinan dan kesenian yang berdiri
sendiri-sendiri. Dengan latar belakang kondisi desa tadi, mereka kemudian menghimpun dan
mengorganisir menjadi satu kelompok agar memiliki kemampuan yang lebih berdaya. Kehadiran
Catur Makaryo kemudian juga terpisah dari pemerintah desa. Catur Makaryo berdiri sendiri di
luar struktur pemerintahan desa. Mereka dapat berdiri sendiri tanpa harus bergantung pada pihak
pemerintah, baik desa maupun pemerintah daerah.
Dalam mewujudkan usaha yang mandiri dan tidak tergantung pada pemerintah, Catur
Makaryo berusaha mengandalkan kegiatan operasionalnya secara swadaya dari kemampuan
masyarakatnya sendiri. Oleh karena itu, Catur Makaryo selalu berusaha meng-upgrade
kemampuan masyarakat untuk mendukung hal tersebut. Usaha-usaha tersebut tercerminkan
dalam berbagai pelatihan yang dilakukannya, seperti pelatihan bahasa asing, pelatihan
manajemen pariwisata, pelatihan pertanian, pelatihan keterampilan dan kerajinan. Selain agar
dapat berswadaya, pelatihan tersebut juga digunakan untuk menjadikan kegiatan yang dibidangi
Catur Makaryo ini dapat berjalan secara berkesinambungan. Terbukanya pendaftaran bagi
anggota baru juga mendukung adanya regenerasi dalam Catur Makaryo. Apalagi hal tersebut
juga didukung oleh adanya peraturan dalam AD/ART yang menyatakan bahwa keanggotaan

dapat diturunkan kepada ahli waris. Hal ini semakin menjamin adanya kesinambungan dari
keberadaan Catur Makaryo yang dilakukannya sendiri. Kemudian, ciri dari adanya keterikatan
norma dan nilai hukum yang dipatuhi oleh masyarakat juga terdapat di dalam Catur Makaryo.
Keberadaannya

yang

diterima

masyarakat

bahkan

didukung,

menjadi

bukti

tidak

bertentangannya keberadaan Catur Makaryo degan nilai dan norma hukum di masyarakat Desa
Karang Tengah. Hal itu juga didukung dengan adanya akta notaris pendirian Catur Makaryo
yang menjadi legitimasi hukum atas eksistensi Catur Makaryo, yang berarti Catur Makaryo juga
tidak bertentangan dengan hukum Republik Indonesia.
Jadi, terhimpunnya Catur Makaryo secara sukarela, terpisahnya dari struktur desa,
ketidaktergantungannya dengan pemerintah, baik desa dan kabupaten, regenerasi secara mandiri,
kemampuan berswadaya dalam mengelola usaha, dan tidak bertentangannya dengan nilai hukum
dan norma masyarakat sesuai dengan ciri civil society menurut Muhammad AS Hikam di atas.
Menurut Culla (2003: 31), peranan civil society terbagi dalam tiga hal, yaitu sebagai
pengontrol, pencegah, dan pembendung dominasi dan manipulasi negara dan dunia usaha,
sebagai pemberdaya masyarakat, dan sebagai lembaga perantara antara masyarakat dengan
pemerintah atau non-pemerintah. Dalam kasus Desa Karang Tengah, Catur Makaryo memiliki
peranan sebagai pemberdaya masyarakat dan lembaga perantara. Poin utama dari pemberdayaan
masyarakat adalah menjadikan masyarakat mandiri, swadaya, dan kuat posisi tawarnya dengan
menjadikannya sebagai subyek pembangunan. Pemberdayaan masyarakat ini terwujud dalam
bentuk pelatihan-pelatihan, pengembangkan konsep desa wisata, adanya koperasi simpan pinjam
di tingkat desa, dan pengembangan produksi usaha mikro di masyarakat.
Peranan sebagai lembaga perantara, dipraktekkan Catur Makaryo saat bekerja sama
dengan BNI 46, PT. Garuda Indonesia, dan pemerintah. Menurut Adi Suryadi, civil society
sebagai lembaga perantara menautkan hubungan masyarakat dengan pemerintah atau negara dan
aktor non-negara, seperti dunia usaha dan lembaga pendanaan. Bekerja samanya Catur Makaryo
dengan BNI dalam memberikan modal usaha kepada masyarakat, merupakan wujud dari peranan
tersebut. Dalam hal ini, BNI sebagai lembaga funding dan Catur Makaryo sebagai perantaranya.
Begitu juga saat Catur Makaryo bekerja sama dengan PT. Garuda Indonesia. Peranan sebagai
lembaga perantara juga dilakukannya dalam menghubungkan masyarakat dengan pemerintah,
yaitu melalui instansi terkait saat menyelenggarakan berbagai pelatihan yang sifatnya kerja sama.

Sebagai civil society, Catur Makaryo memiliki hubungan yang khas dengan pihak
pemerintah atau negara. Hal ini merupakan implikasi dari posisinya yang berada diantara
masyarakat alami (nature society) dan negara (political society). Dalam hal ini, Catur Makaryo
memiliki hubungan yang sifatnya tidak berhadapan dengan pemerintah. Catur Makaryo dan
pemerintah saling mendukung dalam kegiatannya guna memajukan kehidupan masyarakat Desa
Karang Tengah. Hal ini disebabkan oleh, salah satunya, karena pemerintah desa yang tidak
mendominasi, dan memanipulasi masyarakat dengan cara yang menyimpang. Dengan bahasa
lain, pemerintah desa tidak bersifat represif kepada masyarakat. Sehingga, terbentuknya Catur
Makaryo bukanlah sebagai bentuk perlawanan atas pemerintah desa. Bentuk hubungan ini juga
dapat dilihat dari sebab kemunculan Catur Makaryo, yaitu karena keprihatinnya atas kondisi
tertinggalnya Desa Karang Tengah dan tekadnya untuk menciptakan masyarakat desa yang
sejahtera, ini sejalan dengan pemerintah Desa Karang Tengah. Oleh karena itu, Catur Makaryo
tidak head to head dengan pemerintah. Salah satu contoh bentuk hubungan seperti itu adalah
adanya pameran yang diselenggarakan pemerintah desa bekerja sama dengan Catur Makaryo.
Acara tersebut bertujuan untuk mempromosikan desa wisata Karang Tengah kepada pemerintah,
pengusaha dan masyarakat luas tentang potensi desa yang ada. Hal ini tentu menguntungkan
kedua pihak, dimana pemerintah desa terbantu dengan program pemberdayaan masyarakatnya
oleh keberadaan Catur Makaryo, di sisi lain Catur Makaryo dapat kesempatan mengembangkan
potensi dan sayapnya.
Beberapa hal di atas menjadi bukti bahwa Catur Makaryo merupakan sebuah civil society
di tingkat desa. Lantas sebagai civil society apa yang dilakukan Catur Makaryo dalam
menggerakan perekonomian masyarakat di Desa Karang Tengah?
Peran Catur Makaryo dalam Usaha Mikro
Upaya yang dilakukan Catur Makaryo dalam mencapai tujuannya untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat dilakukan dengan strategi menggerakan usaha mikro.
Hal ini didasari oleh kondisi real di Desa Karang Tengah, dimana semua sektor ekonomi yang
bergerak masih berbentuk usaha mikro. Maka tak ada jalan lain untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat selain dengan menempuh cara tersebut. Selain itu, pengembangan
usaha mikro juga akan secara otomatis menggerakan perekonomian dengan melibatkan
masyarakat secara langsung. Di sinilah letak peran Catur Makaryo dalam menggerakan

perekonomian masyarakat. Kondisi ini diharapkan akan memperbaiki kualitas kehidupan
masyarakat Desa Karang Tengah.
Penggerakan usaha mikro oleh Catur Makaryo dilakukan dengan pola pemberdayaan
masyarakat. Sesuai dengan pengertian Sutoro Eko tadi bahwa pemberdayaan masyarakat adalah
proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, dan memperkuat posisi tawar
menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan
sektor kehidupan. Catur Makaryo dalam hal ini berusaha memandirikan masyarakat desa dan
menjadikannya memiliki posisi tawar yang kuat dengan cara memperkuat basis ekonomi mikro
mereka. Sehingga, masyarakat yang dulunya terbelakang dan miskin dapat berdaya kembali.
Usaha tersebut dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
a. Pelatihan Masyarakat
Pelatihan ini digunakan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat di berbagai bidang,
diantaranya pertanian, kerajinan, kesenian dan kepariwisataan. Dalam penyelenggaraannya
dilakukan secara mandiri maupun dengan bekerja sama dengan institusi terkait lainnya, seperti
Perguruan Tinggi, Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat. Di bidang pertanian,
pelatihan ini ditujukan untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian, termasuk pengolahan
pasca panen. Hal ini juga sangat mendukung dalam industri rumahan di bidang pengolahan
makanan. Hasil panen dari sektor pertanian seperti jambu mede dan buahnya selain dikelola
dengan konvensional dapat diolah menjadi berbagai produk, seperti kripik, abon dan sirup.
Keterampilan ini didapatkan dari hasil pelatihan-pelatihan tersebut.
Di bidang kerajinan, pelatihan dari Catur Makaryo berguna dalam mengembangkan
kemampuan pengrajin dalam memberikan inovasi baru dalam produknya. Selain itu, pelatihan
ini juga berdampak pada kemampuan marketing produk kerajinan mereka. Hal ini misalnya
dalam kerajinan batik alami. Kemampuan inovasi dalam membatik dengan bahan alam di
dapatkan pengrajin di sana melalui program pelatihan tersebut. Ini akhirnya yang menjadi nilai
lebih dari kerajinan batik di Desa Karang Tengah.
Dalam bidang kesenian dan kepariwisataan pelatihan ini dapat membuka wawasan mereka
tentang dunia seni dan wisata. Pelatihan ini menuntun mereka untuk berpikir maju dalam
menatap desa wisata. Berbagai pelatihan tersebur memiliki tujuan untuk menyiapkan sumber
daya manusia yang berkualitas. Mengikuti pendapat AG Ana Budi Rahayu, program pelatihan ini
merupakan sebuah tahapan awal dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu sebuah program untuk

meningkatkan kapasitas masyarakat. (Rahayu, www.binaswadaya.org/files/pemberdayaanmasyarakat-desa.pdf, diakses 1 Desember 2012) Hal ini merupakan modal awal dalam menuju
pembangunan masyarakat yang sesungguhnya, yaitu dengan menjadikan masyarakat sebagai
subyek.
b. Perantara Modal Usaha
Setelah mengembangkan kapasitas sumber daya manusia, maka tantangan berikutnya adalah
mengembangkan sektor usaha mikronya. Namun, terdapat penghambat klasik dalam usaha mikro
di Desa Karang Tengah, yaitu adanya kesulitan dalam permodalan. Untuk

mengatasi hal

tersebut, Catur Makaryo kemudian menjalin kerja sama dengan BNI 46 untuk menyediakan
modal bagi usaha mikro di Desa Karang Tengah.
Dalam menjalankannya, usaha yang dilakukan Catur Makaryo ini seperti apa yang dilakukan
Grameen Bank di Bangladesh. Bank yang dimotori oleh Muhammad Yunus ini menyediakan
pinjaman kepada kelompok, sebuah mekanisme yang utamanya mengizinkan peminjam miskin
bertindak sebagai penjamin satu sama lain. Perjanjian pinjaman melibatkan kelompok, bukanlah
individu. Kelompok ini terbentuk secara sukarela, kemudian pinjaman dari lembaga funding
tersebut disalurkan ke individu-individu dalam kelompok. Dengan ini diharapkan setiap anggota
saling mendukung bila mengalami kesulitan. Hal ini dilakukan karena pinjaman akan tetap
berlanjut jika pinjaman itu dikembalikan tepat waktu. Jika seseorang gagal bayar, maka hal
tersebut akan berdampak kepada kelompok secara keseluruhan. Kelompok tersebut tidak akan
menerima lagi pinjaman pada periode berikutnya. Hal ini akan menciptakan budaya membayar
secara tepat waktu dan mendorong masyarakat untuk produktif. Sistem ini dinamakan tanggung
renteng.
Catur Makaryo dalam kasus ini bertindak sebagai kelompok yang mendapat pinjaman.
Sehingga modal yang digelontorkan cukup besar dari BNI. Pada awalnya, modal yang
digelontorkan sebesar Rp. 1 milyar, kemudian karena prosesnya lancar, maka modal yang
digelontorkan saat ini bisa mencapai Rp. 3,5 milyar per tahun. Pinjaman ini kemudian disalurkan
kepada anggota kelompok untuk menjadi modal usahanya. Dengan hal tersebut kesulitan modal
dapat diatasi sekaligus dapat menciptakan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya perekonomian
mikro yang sehat. Dalam hal ini, usaha yang dilakukan Catur Makaryo berperan sebagai
jembatan antara masyarakat dengan lembaga pendanaan. Sesuai dengan Cholisin, hal tersebut

merupakan bagian dari strategi pemberdayaan masyarakat melalui penciptaan iklim yang
kondusif bagi perkembangan potensi masyarakat dan penguatan potensi di

masyarakat.

(cholisin, Tulisan, 2007: 2-3) Selain itu, upaya Catur Makaryo tersebut juga merupakan strategi
pemberdayaan masyarakat menurut MG Ana Budi Rahayu, yaitu memberikan fasilitas produksi.
(Rahayu, www.binaswadaya.org/files/pemberdayaan-masyarakat-desa.pdf, diakses 1 Desember
2012). Inilah program kedua yang dilakukan Catur Makaryo dalam mengembangkan usaha
mikro di Desa Karang Tengah.
c. Konservasi Lingkungan dan Budidaya Ulat Sutera
Konservasi lingkungan dapat dikatakan sebagai usaha pemberdayaan masyarakat dalam
menggerakan usaha mikro dikarenakan atas tiga hal, yaitu sebagai cikal bakal desa wisata,
peningkatan produktivitas pertanian, dan budidaya ulat sutera. Usaha ini sebenarnya telah
dilakukan masyarakat sejak tahun 1985, namun baru berkembang pesat sejak bekerja sama
dengan PT. Garuda Indonesia pada tahun 2005. Cikal bakal terbentuknya desa wisata di Karang
Tengah diawali oleh kesepakatan antara Sultan Hamengkubuwono IX dengan PT Garuda dimana
setiap turis dari Jepang diwajibkan menyumbangkan satu pohon di perbukitan Desa Karang
Tengah. Hal ini dikarenakan kondisi bukit yang saat itu sangat tandus. Setelah terbentuknya
Catur Makaryo, pengelolaan program tersebut dialihkan kepadanya. Dalam hal ini, turis
kemudian tidak hanya menyumbangkan saja tapi juga ikut dalam menanamnya. Ini kemudian
menjadikan bukit di Karang Tengah menjadi hijau dan menjadi tempat jujugan turis Jepang.
Konservasi lingkungan ini juga semakin menggeliat saat BNI kemudian juga ikut
menyumbangkan 10.000 bibit jambu mente pada tahun 2009.
Selain menjadikan bukit menjadi hijau, konservasi lingkungan juga menjadikan
produktivitas pertanian menjadi meningkat. Hal ini seiring dengan kuantitas pohon yang semakin
meningkat. Jenis pohon yang ditanam, yaitu jambu mente, dapat menjadi penopang ekonomi
mikro di sana. petani dapat memperoleh hasil dari buah dan mentenya. Petani di sana umumnya
tidak mengolah sendiri hasil pertaniannya tersebut. Mereka menjualnya kepada para pengrajin
makanan terkait. Hasil dari aktivitas pertanian tersebut kemudian diolah menjadi berbagai
produk makanan, seperti sirup, keripik, abon dan kacang mede. Bahan makanan yang telah
diolah oleh pengrajin makan tersebut kemudian dijual ke Catur Makaryo untuk dipasarkan.
Dengan hal ini, setiap sektor usaha mikro di Desa Karang Tengah dapat tergerakan, baik dari
petani, pengrajin makanan hingga Catur Makaryo sendiri.

Ditanaminya bukit di Desa Karang Tengah dengan jambu mente ternyata juga membawa
berkah bagi petani di sana. Hal ini dikarenakan tumbuhan tersebut menjadi habitat alami ulat
sutera liar. Dengan kondisi tersebut, petani kemudian dapat menjadi pengrajin kokon.2
Bergabungnya PT. Royal Silk dalam Catur Makaryo juga di dasarkan atas pertimbangan ini. PT.
Royal Silk membantu masyarakat dalam mengelola ulat sutera liar. Perusahaan ini milik Gusti
Pembayun (Putri Sultan Hamengkubuwono IX) yang kemudian membeli dan menampung ulat
sutera dari petani di desa tersebut. Gusti Pembayun ini menjadi tokoh yang berperan besar dalam
mengembangkan konservasi lingkungan dan budidaya ulat sutera. Salah satunya dalam
membuka jaringan dengan PT. Garuda dan menganjurkan adanya penanaman pohon jambu
mente. Ulat sutera yang telah dipanen tadi kemudian dijadikan kokon oleh petani. Setelah
menjadi kokon, mereka kemudian menjualnya ke Catur Makaryo. Dari Catur Makaryo, kokon
yang telah terkumpul tersebut kemudian dijual ke PT. Royal Silk dalam jumlah besar. PT. Royal
Silk yang kemudian mengolah kokon tersebut menjadi kain sutera. PT. Royal Silk ini juga yang
membantu publikasi dan membuka jaringan ke dunia internasional, salah satunya Jepang.
d. Pemberi Kredit Mikro
Sebagai sebuah civil society yang berusaha menggerakan perekonomian mikro, Catur
Makaryo juga menjadi lembaga perkreditan mikro di tingkat desa dengan mewujudkan koperasi
simpan pinjam. Koperasi ini melayani simpan pinjam dalam kapasitas yang kecil. Maksimal
peminjaman di koperasi ini adalah Rp. 3 juta per orang. Koperasi ini menurut Sogiyanto (Ketua
Catur Makaryo) berusaha menghadirkan pinjaman yang berbunga kecil untuk membantu
keluarga atau individu yang membutuhkan pinjaman dalam mengatasi kesulitan ekonomi seharihari. Koperasi ini hanya melayani anggota Catur Makaryo saja. Keberadaan koperasi ini sangat
membantu masyarakat. Hal ini dikarenakan proses untuk mendapatkan layanan keuangannya
tidak sarat aturan, sederhana, dan cepat. Hal ini yang menjadi keunggulan koperasi ini. Menurut
Kusmulyono (2009: 151), koperasi jenis ini memang sangat merakyat karena sesuai dengan
ritme kehidupan masyarakat sehari-hari. Selain itu, juga membantu penyaluran kredit dalam
sektor yang kecil.
Modal awal dari koperasi ini didapatkan dari pinjaman BNI sebesar Rp. 100 juta.
Kemudian, dikembangkan dengan adanya simpan pinjam di masyarakat. Bunga dari pinjaman
tersebut kemudian diputar lagi untuk menjadi modal koperasi ini kembali. Selain itu, modal
koperasi juga didapatkan dari keuntungan segala usaha yang dilakukan Catur Makaryo. Hal ini
2 Ulat sutera yang telah dipintal.

misalnya laba dari penjualan kokon tadi. Catur Makaryo membeli kokon dari petani sebesar Rp.
60.000, kemudian dijual ke PT. Royal Silk sebesar Rp. 70.000. Keuntungan Rp. 10.000 ini akan
masuk dalam kas Catur Makaryo yang kemudian digunakan menjadi modal koperasi tersebut.
Proses ini juga berlaku dalam usaha lain.
Adanya koperasi ini dalam Catur Makaryo sesuai dengan strategi pemberdayaannya
Cholisin dalam melindungi masyarakat dari ketidakberdayaan karena kesulitan faktor ekonomi
dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu koperasi juga sesuai dengan konsep pemberdayaan
menurut J. Nasikun (seperti dikutip Cholisin, Tulisan, 2007: 2-5) dengan pola gotong royongnya.
Hal ini dikarenakan pola utama dari koperasi yang bertumpu pada proses gotong royong di
masyarakat.
e. Penginisiasi Desa Wisata
Desa wisata merupakan konsep pemberdayaan masyarakat yang diajukan oleh Catur
Makaryo untuk menggerakan seluruh sektor usaha mikro di Desa Karang Tengah. Hal ini
dikarenakan dengan konsep tersebut, seluruh potensi desa akan muncul dan dapat digunakan
dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat. Bergeraknya sektor pariwisata akan
mendorong bergeraknya sektor pertanian karena basis pariwisata di sana adalah agribisnis.
Sektor kesenian juga akan tergerakkan dengan adanya turis yang berkunjung. Produk hasil
kerajinan baik barang dan makanan juga akan terpasarkan karena adanya kedatangan para turis
ke sana. Asumsi ini yang melatar belakangi Catur Makaryo berani menggerakan potensi desa di
sektor pariwisata.
Selain hal di atas, sektor pariwisata juga akan membuat desa ini semakin memiliki nama
di Nasional dan Internasional. Untuk melaksanakan hal itu, Catur Makaryo membentuk sebuah
kelompok sadar wisata yang bertugas khusus dalam mengelola desa wisata Karang Tengah.
Kelompok ini kemudian yang mengkonsep dan membuka jaringan kepada pihak luar. Hasilnya
positif dengan adanya bantuan dari pemerintah pusat dalam bentuk PNPM Pariwisata di tahun
2010. Dengan bantuan tersebut, Catur Makaryo berusaha mengembangkan potensi yang ada,
termasuk menyiapkan sarana penunjang seperti home stay dan show room.
Bergeraknya kelompok sadar wisata kemudian diwujudkan dengan membuat berbagai
program untuk menjadi daya tarik desa ini. Program paket wisata pun akhirnya digaungkan,
antara lain, HES (Jalan Sehat) di bukit, paket wisata penanaman pohon, paket wisata belajar
membatik, paket wisata bertani, paket wisata sepeda gunung dan paket wisata camping. Segala

program tersebut bertujuan untuk menarik wisatawan agar berkunjung ke Desa Karang Tengah.
Target yang dicanangkan oleh Pargiyanto (Kabag. Kesra Desa dan salah satu pendiri Catur
Makaryo) adalah terwujudnya 1000 wisatawan setiap tahun. Dan akhirnya, berdasarkan
keterangan Bapak Pargiyanto (23 November 2012), target tersebut tercapai di tahun ini. Segala
pencapaian tersebut kemudian diapresiasi oleh Pemerintah dengan adanya penghargaan sebagai
nominasi sepuluh besar Desa Wisata dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Kesimpulan dan Saran
Keberadaan Catur Makaryo di Desa Karang Tengah ini merupakan wujud eksistensi dari
adanya civil society di tingkat desa. Sebagai civil society dengan segala ciri, peranan dan
hubungannya dengan pihak pemerintah dan non-pemerintah, Catur Makaryo mampu
memberdayakan masyarakat dalam rangka menggerakan usaha mikro di Desa Karang Tengah.
Bentuk pemberdayaaan masyarakat yang digunakan oleh Catur Makaryo dalam
menggerakan usaha mikro di desa tersebut dibagi dalam beberapa bentuk, antara lain (a)
menyelenggarakan pelatihan bagi masyarakat, (b) menyediakan modal untuk usaha mikro
melalui kerjasama dengan pihak lain, (c) Konservasi lingkungan dan budidaya ulat sutera liar,
(d) mendirikan koperasi simpan pinjam sebagai lembaga kredit mikro, dan (e) menginisiasi
terwujudnya desa wisata Karang Tengah.
Segala upaya yang dilakukan Catur Makaryo dalam mengembangkan usaha mikro di
Desa Karang Tengah merupakan wujud tanggung jawab civil society di tingkat desa untuk
mengembangkan perekonomian masyarakat desa. Perekonomian masyarakat desa yang
dimaksud adalah sebuah sistem perekonomian yang berbasiskan dan berorientasikan pada
kemakmuran masyarakat. Dalam hal ini senada dengan perekonomian kerakyatan dalam
paradigma Bung Hatta, yaitu sebuah sistem perekonomian yang melembagakan kedaulatan
ekonomi rakyat. Semua itu dengan tujuan mengutamakan kemakmuran masyarakat atau rakyat
secara umum, di atas kemakmuran perseorangan.
Dengan melihat peran yang dilakukan Catur Makaryo ini, maka sangat relevan jika pola
pembangunan untuk perdesaaan memang cocok dengan pola bottom up, dimana pembangunan
dilakukan dengan menjadikan masyarakat sebagai subyek pembangunan. Pembangunan
dilakukan dari bawah dengan memberdayakan masyarakat Desa. Oleh karena itu, sudah
seyogyanya jika Pemerintah harus memperhatikan pola pembangunan dengan seperti ini. Hal ini

sekaligus menjadi saran dan kritik terhadap pola pembangunan saat ini yang masih banyak
bersifat top down.
Pola organisasi dari Catur Makaryo yang bersifat mandiri dengan mengorganisir
beberapa kelompok usaha masyarakat dalam suatu usaha bersama terbukti efektif. Sehingga hal
ini dapat menjadi contoh bagi masyarakat desa lain untuk mulai membuat kelompok masyarakat
lintas sektoral ekonomi. Dengan berorganisasi, kekuatan masyarakat dapat lebih kuat dan lebih
berdaya dalam menghadapai kehidupan. Hal ini dapat mendukung proses pemberdayaan
masyarakat di tingkat desa. Dengan meorganisir dirinya sendiri, masyarakat desa dapat
melepaskan ketergantungannya kepada pemerintah dalam memajukan kehidupannya sehingga
usaha memajukan kesejahteraan dapat diinisiasi sendiri oleh kelompok masyarakat, walaupun
sebenarnya hal ini merupakan kewajiban pemerintah. Hal ini perlu dilakukan karena memang
menjadi kenyataan jika pemerintah saat ini belum mampu memberdayakan masyarakatnya
dengan baik, khususnya di tingkat Desa. Maka, usaha masyarakat yang terorganisir sangat
penting dilakukan demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Desa yang egaliter.
“Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk
semua, dan di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang perseorang…” (Penjelasan Pasal 33
UUD 1945)

Daftar Pustaka
Buku dan Tulisan
Badan Pusat Statistik. Kecamatan Imogiri dalam Angka. Bantul: Koordinator Statistik
Kecamatan Imogiri. 2012.
Baswir, Revrisond. Manifesto Ekonomi Kerakyatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.

Budiman, Arif. State and Civil society in Indonesia. Victoria: Monash University Press. 1990.
Cholisin. Pemberdayaan Masyarakat. Tulisan di sampaikan pada Gladi Manajemen
Pemerintahan Desa bagi Kepala Bagian/Kepala Urusan Hasil Pengisian Tahun 2011 di
Lingkungan Kabupaten Sleman, 19-20 Desember 2011.
Culla, Adi Suryadi. Rekonstruksi Civil society:Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia. Jakarta:
LP3ES. 2006.
Ernayanti dan Ita Novita. Budaya Kemiskinan di Desa Tertinggal di Yogyakarta: Kasus Desa
Karang Tengah, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Jakarta: CV.Bupara Nugraha. 1996.
Kusmulyono, B.S. Menciptakan Kesempatan Rakyat Berusaha. Bogor: IPB Press. 2009.
Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia. UU No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. 2008
Republik Indonesia. Permendagri RI No. 7 tahun 2007 tentang Kader Pemberdayaan
Masyarakat. 2007
Internet
Desa Wisata Karang Tengah berhasil Peroleh Penghargaan dari Kemparekraf. Diunduh dari
http://jogja.antaranews.com/print/306019/desa-wisata-karangtengah-perolehpenghargaan-dari-kemparekraf, diakses pada 1 Desember 2012 pukul 14.45
Rahayu, MG Ana Budi. Pembangunan Perekonomian Nasional melalui Pemberdayaan
Masyarakat Desa. Diunduh dari www.binaswadaya.org/files/pemberdayaan-masyarakatdesa.pdf, diakses pada 1 Desember 2012 pukul 14.13
Sumber Wawancara
H. Sogiyanto, Ketua Catur Makaryo, kediaman H. Sogiyanto, 22 November 2012 pukul 16.00
WIB
Pargiyanto, Kabag. Kesra Desa Karang Tengah, kediaman Bapak Pargiyanto, 23 November 2012
pukul 10.00 WIB