6. Perempuan dalam Politik Lokal Peratur

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL
Peraturan Daerah tentang Prostitusi di Bantul1
Oleh: Muhammad Latif Fauzi
Diterjemahkan oleh: Agung Mazkuriy
Email: mazkuriy.agung@gmail.com

1. Pengantar
Semenjak runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, pemerintah Indonesia
telah mengenalkan konsep otonomi daerah dan desentralisasi. Adanya otonomi
daerah dan desentralisasi berdampak pada meningkatnya jumlah Peraturan Daerah
(disingkat: Perda). Perda-perda tersebut tidak hanya mengacu pada norma-norma
pada hukum nasional yang lebih tinggi, tetapi juga mengacu pada doktrin-doktrin
agama dan adat istiadat (adat). Beberapa Kabupaten/Kota yang didominasi Muslim,
seperti Bukittinggi, Bulukumba, Cianjur, dan Tasikmalaya, telah memasukan
substansi keinginan kelompok Islam politik melalui peratifikasian peraturanperaturan di daerah yang biasa disebut dengan Perda Syariah.2 Beberapa Perda di
antaranya menyangkut kemampuan keagamaan seseorang dan simbolisme yang
mencirikan keagamaan tertentu, seperti kewajiban mampu membaca Al-Qur'an3 dan
kewajiban untuk mengenakan pakaian muslim, termasuk berjilbab. Sebagian besar
Perda-perda berhubungan dengan isu-isu moralitas publik, seperti pelacuran dan

konsumsi minuman beralkohol.4

1

Versi asli ada dalam Al-Ja iʾah, Journal of Islamic Studies, Vol. 50, No. 1, 2012.
‘o i Bush, ‘egio al Sha ia ‘egulatio s i I do esia: A o aly o Sy pto ? , dala G eg
Fealy dan Sally White (eds.), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2008), 174–191.
3
Sebagai contoh, Perda Kabupaten Solok No. 10/2001 tentang Pandai Baca Huruf Alquran
bagi Murid Sekolah Dasar, Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Siswa Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas serta Calon Pengantin. Otoritas atau pejabat resmi terkait adlah pihak yang akan
memberikan sertifikat sebagai bukti atas kemampuan mereka.
4
A skal Sali , Musli Politi s i I do esia s De o atisatio , dalam R. McLeod dan A.
MacIntyre (eds.), Indonesia: Democracy and the Promise of Good Governance (Singapore: iseas,
2007), 126
2

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO


1

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

Berkenaan dengan moralitas publik, pada tahun 2007 di Bantul, salah satu
kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah Perda telah dikeluarkan
dengan melampirkan sanksi,baik untuk mengikat wilayah publik ataupun lokasi yang
terkategorikan sebagi tempat umum lain ke dalam tindak prostitusi. Perda tersebut
disetujui oleh DPRD Bantul pada tanggal 12 April 2007 dan kemudian disahkan pada
1 Mei 2007. Perda tersebut terdaftar sebagai Perda No. 5/2007, selanjutnya disebut
sebagai Perda. Kemunculan Perda tersebut diciptakan sebagai instrumen yang
diharapkan akan membantu Bantul sebagai sebuah kabupaten yang mana
masyarakatnya bisa menikmati iklim demokrasi, religiusitas dan kesejahteraan. Hal
itu juga dikatakan sebagai upaya (ikhtiar) untuk membersihkan kemaksiatan dan
untuk mencerminkan tanggung jawab pemerintahan dalam menghadirkan tatanan
sosial yang berkaitan dengan perempuan pada khususnya.
Kabupaten Bantul terletak di bagian selatan wilayah Propinsi Yogyakarta.
Dengan populasi penduduk 831.000 jiwa. Mayoritas masyarakatnya berprofesi
sebagai petani sawah, pengrajin, buruh pabrik, Pegawai Negeri Sipil atau pedagang.

Sebagian masyarakatnya juga bertempat tinggal di dataran rendah dan di desa-desa
dan masih memegang teguh praktik-praktik keagamaan yang mencirikan ‘Islam
tradisional’. Pemerintah Daerah (Pemda) beralasan bahwa lahirnya Perda tersebut
bertujuan untuk menerapkan visi religius dalam pembangunan daerahnya, yaitu
menciptakan suatu kondisi masyarakat yang, sebagaimana klaim Pemda setempat,
tidak akan ditemui di daerah lain di Yogyakarta. Pemda mengharapkan adanya
kehidupan masyarakat sehari-hari yang lebih religius.5
Kabupaten Bantul ini dianggap sebagai sebuah aset sosial dan politik
sebagaimana diproklamirkan oleh Idham Samawi yang menjabat dua periode sebagai
Bupati, yaitu periode 1999-2004, dan 2004 hingga 2009. Samawi sendiri dilahirkan di
dalam sebuah keluarga religius yang terhormat, Bani Samawi. Haji Samawi, ayahnya,
adalah salah satu pendiri Kedaulatan Ra’jat, sebuah koran yang muncul pertama kali
di Yogyakarta. Keluarga bangsawan Idham Samawi telah menancapkan pengaruh
sosial politiknya di masyarakat. Di kemudian hari istrinya, Sri Suryawidati, juga
5

Lihat pada website resmi Kabupaten Bantul, www.bantulkab.go.id (diakses pada 16 Juni 2011).

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO


2

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

menggantikannya sebagai Bupati meski kompetensinya sebagai Bupati cukup
diragukan oleh banyak kalangan, dia memenangkan Pilkada pada 2009. Istilahnya,
keluarga Idham Samawi sedang melanggengkan dinasti politiknya.6
Kemunculan Idham Samawi sebagai Bupati Bantul terjadi pada saat
Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan konsep baru dalam pembangunan
nasional melalui desentralisasi dan Otonomi Daerah (disingkat: Otda). Konsep
desentralisasi sendiri tertuang dalam UU 22/1999 tentang Pemerintah Daerah6.1 dan
UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kedua Undang-Undang tadi memberi Propinsi, Kabupaten/Kota atas otonomi penuh
untuk mengatur dan mengelola daerahnya masing-masing demi kepentingan
masyarakatnya di dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.7
Dengan semangat desentralisasi, selama di bawah periode Bupati Samawi tersebut,
sejumlah Perda tentang ketertiban sosial diterbitkan, salah satunya adalah Perda yang
diterbitkan untuk merespon terhadap praktek prostitusi di wilayah pesisir selatan
Bantul.
Organisasi Muslim sayap kanan menyerukan adanya penegakan Perda

tersebut, dengan alasan bahwa prostitusi sangat merendahkan derajat kaum
perempuan yang dipaksa masuk ke dalam lingkaran prostitusi, baik sebagai bentuk
diskriminasi ekonomi atau eksploitasi seksual kaum perempuan. Sedangkan
kelompok yang menyuarakan penentangan kemunculaan Perda tersebut disuarakan
oleh sejumlah aktivis. Menurut mereka, proses perancangan Perda tersebut tidak
transparan, tidak mengikutsertakan partisipasi masyarakat, dan hanya dimaksudkan
untuk menjaring suara kelompok pemilih Muslim, Perda tersebut cacat hukum dan

6

‘ezi Kelua ga di Pilkada , Ko pas,
Ap il
. Hasil Pilkada pada
Mei
se agai
berikut: (1) Sri Suryawidati-Sumarno: 67.77 persen, (2) Sukardiyono-Darmawan Manaf: 28.26 persen,
dan (3) Kardono-Ibnu Kadarmanto 3.97 persen.
6.1
Sebagaimana diketahui UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah telah diperbarui dengan UU
terbaru, yaitu UU No. 32/2004 tentang Otonomi Daerah. Lihat juga catatan kaki nomor 7;

penerjemah.
7
Di antara Undang-Undang tersebut adalah UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah
sebagaimana telah diperbarui dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan Law 10/2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, berfungsi sebagai dasar hukum bagi
Pemerintah Daerah untuk menyebarluaskan peraturan daerah.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

3

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia dan prinsip keadilan. Hal ini mirip
dengan argumen aktivis lainnya, terutama yang disuarakan oleh para aktivis gender,
dikatakan bahwa prostitusi adalah profesi yang bisa diterima, tidaklah buruk.
Penelitian ini mengkaji perdebatan publik yang terjadi atas subyek kajian, dan
mencoba memahami posisi perempuan dalam penerapan Perda tersebut. Dengan
begitu, di bagian pertama dari bab ini, saya akan menjelaskan bagaimana latar
belakang munculnya Perda dan perlunya menyinggung sedikit terkait sejarah

Parangkusumo sebagai pusat prostitusi, dan kondisinya saat ini. Dalam bagian
berikutnya, saya mencoba mengkaji beragam pemahaman terkait prostitusi dan
perdebatannya di antara partai-partai politik di DPRD Bantul. Di bagian terakhir, saya
akan mencoba menyajikan adanya suara-suara yang menolak pelaksanaan Perda
untuk diundangkan yang mana mendukung adanya kriminalisasi kaum perempuan,
terutama penolakan dari LSM pejuang kesetaraan gender.

2. Dari Ziarah Cepuri hingga Kenikmatan Seksual
Tahun 1852, Pemerintah Kolonial Belanda telah mengakui keberadaan tempat
prostitusi dengan maksud ‘untuk menghindari konsekuensi bahaya yang diakibatkan
dari adanya prostitusi liar’. Pekerja Seks Komersial (PSK) harus beroperasi di rumahrumah bordil guna memudahkan aparat Polisi Kolonial mengendalikannya.
Kemudian, Undang-Undang (Act) tersebut terbukti bermasalah, karena adanya
Undang-Undang tersebut dipahami sebagai legitimasi hukum keberadaan rumah
bordil sebagai lembaga komersial. Pada tahun 1858, Peraturan lainnya dikeluarkan
guna memberi kejelasan Undang-Undang 1852. Dalam rumusan peraturan tersebut,
rumah bordil dideskripsikan sebagai tempat ‘untuk membatasi dampak berbahaya’
prostitusi melalui pengecekan kesehatan para PSK secara berkala.8
Di kemudian hari, pertumbuhan industri perkebunan dan gula di Jawa Timur
dan Jawa Tengah, keterbukaan wilayah Jawa terhadap infestasi modal swasta,
perpindahan secara signifikan kaum pekerja laki-laki yang masuk dan berlalulalang di

8

Ga i W. Jo es, E da g Sulistya i gsih, da Te e e H. Hull, P ostitutio i I do esia , a
makalah terdapat demografi di the Australian National University, 1995.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

4

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

Jawa membuat adanya perminataan besar terhadap servis pelacuran. Pembangunan
prasarana jalan dan jaringan rel kereta api juga memiliki dampak yang sama.
Letak kota-kota yang terdapat di sepanjang jalur rel kereta api harus
menghadapi adanya peningkatan jumlah pengguna transportasi kereta api. Oleh sebab
itu, juga adanya permintaan untuk kamar penginapan, dan jasa seksual tentunya. Di
Yogyakarta, pusat prostitusi awalnya terletak di kawasan Pasar Kembang, beberapa
meter dari letak stasiun kereta api Tugu.9 Pada dekade 1990-an, para mucikari
memindahkan para pekerja seksnya ke wilayah pesisir selatan seperti Parangbolong
dan Parangkusumo.


Lokasi keramat Cepuri, 28 kilo eter arah selatan kota Yogyakarta.

Selain keindahan pantainya, Parangkusumo, yang terletak 28 kilo meter ke
arah selatan kota Yogyakarta, juga terkenal karena sepasang batu yang dikelilingi
oleh pagar, yang disebut Cepuri. Masyarakat kampung setempat percaya bahwa batu
9

Ibid.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

5

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

tersebut sangat sakral dan mistis, tempat di mana Kanjeng Panembahan Senopati, raja
pertama Kerajaan Mataram, dikatakan pernah bermeditasi di batu itu. Banyak orang
percaya bahwa di lokasi tersebut untuk pertama kalinya raja bertemu dengan Nyai
Kanjeng Ratu Kidul, ratu penguasa laut selatan (Samudera Hindia). Karenanya, batu

Cepuri dianggap sebagai tempat yang penting untuk acara-acara ritual dan acaraacara bersifat kebudayaan. Para pengunjung tidak bisa seenaknya keluar masuk
kompleks dan harus disertai dengan juru kunci. Sandal harus dilepas sebelum
memasuki lokasi. Pengunjung wajib menjaga ketenangan di dalam situs. Ritual di
Cepuri sendiri bisa dilakukan pada tiap hari dan setiap saat. Meski begitu, Selasa
Kliwon dan Jumat Kliwon10 secara khusus diyakini momen tepat untuk melakukan
ziarah. Selain ziarah, sesajen untuk Kanjeng Ratu Kidul, yaitu upacara adat bersifat
tradisional, larung sesajen ke tengah ke laut selatan Jawa, dianggap sebagai ritual
yang sangat penting.11 Pemilihan dua hari tersebut sesuai dengan tradisi penanggalan
Jawa yang menganggap dua hari tersebut sebagai hari keramat dan sakral.12
Bagaimanapun, modernisasi dan pembangunan ekonomi telah mengubah
ketaatan terhadap ritus adat. Sejak 1980-an, kegiatan bisnis di sekitar Parangkusumo
telah mendominasi praktek-praktek ritual. Pedagang menawarkan barang, seperti
pakaian, obat tradisional dan layanan pijat. Masyarakat dari Yogyakarta dan daerah
tetangga berdatangan ke Parangkusumo, baik sekedar untuk berbelanja atau untuk
rekreasi. Munculnya kegiatan ekonomi, terutama pada hari-hari rutin ritual, serta
meningkatnya jumlah pemukiman di Parangkusumo, ditambah berbagai barang dan
jasa yang dipromosikan, komersialisasi seksual menjadi salah satu konsekuensi pada
akhirnya. Menurut RP Suraksotarwono, juru kunci di Parangkusumo, pekerja seks
pertama kali datang dari Pasar Kembang. Beberapa penduduk desa setempat


10

Kliwon adalah salah satu nama hari dari 5 hari dalam penanggalan Jawa.
Maharsi, Va ia Keaga aa Masya akat Pesisi Pa tai Selata Studi Kasus Desa Pa a gt itis,
K etek, Ba tul, DIY , Jurnal Penelitian Agama, 13, 3, September–Desember 2004
12
Kepercayaan seperti ini mirip dengan tradisi orang Jawa yang melakukan puasa 40 hari yang
biasanya berakhir pada Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. Namun, bentuk tradisi ini secara perlahan
berubah dan penduduk lokal sudah mulai mengganti 40 hari tadi dengan puasa tiga hari yang dimulai
pada hari Rabu Wage, Kamis Pon, dan Jumat Kliwon.
11

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

6

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

menyambut perpindahan pekerja seks dengan senang hati karena mampu menarik
sejumlah besar pelanggan dari wilayah lain berdatangan.13
Kisah sukses bisnis seks ini mengalami peningkatan dramatis dan akhirnya
menarik minat ratusan pekerja seks dari kota-kota lain, yang dulu disebut wanita tuna
susila (WTS) dan dewasa ini disebut sebagai pekerja seks komersial (PSK), pemukapemuka warga di Parangkusumo pun secara teratur mencari pelanggan. Tetapi hanya
segelintir kecil dari mereka yang asli dari Yogyakarta, kebanyakan dari mereka
berasal dari kabupaten di Jawa Tengah, seperti Demak, Magelang, Pati, Purwodadi,
Solo dan Sragen. Sebagian besar ‘freelancer’ dan tidak terikat dengan mucikari.
Meski tidak terikat dengan mucikari tertentu, para PSK tersebut harus menyewa
kamar dari mucikari yang mana mucikari memperoleh 10.000 rupiah untuk setiap kali
sewa pengunaan kamar.
Awalnya, para PSK datang ke Parangkusumo hanya pada hari malam Selasa
Kliwon dan malam Jumat Kliwon. Kemudian, mengingat pendapatan yang akan
didapat, mereka lebih memilih untuk tinggal secara permanen daripada bolak-balik.
Warga masyarakat lainnya juga mendapat manfaat dari kondisi tersebut dalam
banyak hal.
Tempat yang paling mencolok dimana bisnis tersebut dijalankan adalah
kompleks rumah bordil, hotel, panti pijat, dan tempat karaoke. Selain itu, banyak
penduduk desa juga membuka warung yang menjual makanan, rokok dan mendapat
pemasukan setiap hari. Dengan demikian, hubungan antara industri seks dan kegiatan
ekonomi lainnya secara umum tidak dapat diabaikan.14
Konotasi prostitusi yang lebih dominan entah bagaimana caranya telah
menggeser makna ritual. Dalam bahasa sehari-haripun, seks juga dianggap ritual.
Beberapa orang di Parangkusumo bahkan menyebut Selasa Kliwon dan Jumat
Kliwon sebagai ‘hari ibu’ disebabkan banyaknya PSK yang berusia antara 35 dan 40
tahun (rentang usia ibu-ibu).

13
14

Wawancara dengan R.P Suraksotarwono, juru kunci Cepuri di Parangkusumo, Agustus 2011.
Wawancara dengan Daru Waskita, jurnalis, di Bantul, Juli 2011.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

7

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

Tarif untuk menyewa jasa PSK bervariasi tergantung pada seberapa lihai
seorang pelanggan melakukan tawar menawar. Secara umum, para PSK muda akan
mematok tarif antara 70.000 dan 150.000 rupiah, sedangkan PSK yang lebih tua
cenderung tidak menetapkan standar harga. Pelanggan biasanya membayar antara
25.000 dan 35.000 rupiah untuk PSK tua. Semakin cantik PSK terlihat, semakin
tinggi harganya. Seorang mantan PSK mengatakan, ketika dia masih sebagai PSK,
adalah hal biasa baginya untuk melayani 20 pelanggan setiap malam.15

Batu sakral peziarahan Cepuri.

Anik, seorang mantan mucikari, menjelaskan bahwa tokonya mungkin
menjual lima paket kondom yang masing-masing berisi 144 biji setiap sebulan.16
Pada malam-malam diadakan ritual, para mucikari bisa meraup lebih dari 1.000.000
rupiah per malam untuk penyewaan kamar. Selain itu, pemilik tempat karaoke juga
meraup pendapatan cukup masuk akal. Harga untuk menyewa sebuah room karaoke
15

Wawancara dengan Yani, pekerja seks komersil, di Parangkusumo, Juli 2011.
Wawancara dengan Anik, dia mengatakan dulunya dia adalah seorang PSK, dia menggeluti
dunia prostitusi, lantas menjadi seorang mucikari, tetapi sekarang dia membatasi pekerjaanya
hanya pada usaha tempat hiburan karaoke, Juli 2011.
16

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

8

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

berkisar 25,000-50,000 rupiah per jam. Pemilik usaha karaoke juga menyediakan
pemandu karaoke untuk diajak bergabung di room ketika pelanggan memintanya.
Pemilik tidak menerima uang dari pemandu karaoke. Biasanya pelanggan harus
membayar 50,000 -75,000 rupiah untuk biaya pemandu karaoke. Pemandu karaoke
kadang menawarkan ke pelanggan sebuah karaoke ‘plus’.17 Untuk layanan tersebut,
pelanggan harus membayar uang tambahan mulai dari 100.000 sampai 200.000
rupiah. Meskipun tidak memiliki penghasilan dari pemandu karaoke, pemilik tempat
karaoke masih bisa meraup pendapatan dari menjual produk-produk lain, seperti
makanan dan minuman, dan menyewakan room untuk layanan 'plus' tadi.18 Selain
adanya keterhubungan antara pekerja seks, mucikari dan pemilik karaoke, pihak lain
juga mendapat manfaat dari pola relasional tersebut secara tidak langsung. Pada harihari didakan ritual, sopir bus melihat peningkatan pendapatan karena meningkatnya
jumlah penumpang, termasuk peziarah, pekerja seks, pengunjung dan pedagang.
Selama Ramadan, Cepuri tetap tidak beranjak tenang. Parangkusumo tak
pernah berhenti berdenyut. Momen religius apakah masih berlaku? Masjid Darus
Salam, di dalam kompleks Cepuri, menyediakan menu buka puasa setiap hari. Sebuah
pengajian menargetkan para audien yang lebih banyak dilangsungkan mingguan.
Semua penduduk desa, termasuk pemilik rumah bordil, diharapkan untuk
menyumbangkan makanan untuk berbuka (biasa disebut iftar). Ibu, remaja dan anakanak berkumpul untuk menunggu kedatangan azan masuknya waktu Maghrib.
Selama menunggu kumandang azan maghrib tersebut, dipandu oleh imam,
jamaah melakukan zikir dan doa tahlil yang biasa dibacakan untuk orang meninggal.
Ritual dalam masjid tersebut merupakan ajaran tradisional Islam, yang secara
kelembagaan berafiliasi dengan organisasi Muslim terbesar di Indonesia, Nahdlatul

17

Plus , adalah ahasa ha ia I do esia , se i gkali diko otasikan pada pelayanan seksual.
Jika seseo a g e a a pijat plus , e eka aka
e ge ti ah a itu adalah laya a pijat
dengan layanan kenikmatan seksual.
18
Wawancara dengan Budi, pemilik Hesty Karaoke di Parangkusumo, Juli 2011.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

9

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

Ulama.19 Prostitusi pada dasarnya terbukti sahih berhenti sejenak tiap sore selama
bulan Ramadan.

3. Penciptaan Perda berkaitan prostitusi
Pembahasan terkait regulasi prostitusi dimulai pada tahun 2002, meskipun
butuh waktu sampai 2007 sebelum Perda itu secara resmi diundangkan. Tanggal 15
Maret 2007, Bupati telah menyampaikan dan membacakan Nota Pengantar, yang
didalamnya juga menyinggung RUU tentang larangan prostitusi ke rapat pleno DPRD
Bantul. Draf Perda tersebut disusun oleh sub-divisi hukum, yang mengaku sebagai
bentuk mengakomodasi aspirasi masyarakat. Dikatakan bahwa draf Perda dirancang
setelah terjadi tiga kali meeting yang diadakan pada bulan Januari 2007 yang
melibatkan para pejabat Daerah, pemuka masyarakat dan agama, aktivis dan
masyarakat umum. Padaakhirnya, mereka sampai pada kesimpulan tunggal bahwa
prostitusi adalah masalah serius terkait norma-norma agama dan sosial.
Selama dua hari setelah pertemuan ini, fraksi-fraksi partai di DPRD20 telah
bersiap diri untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat guna membahas nota pengantar
Bupati. Pada tanggal 20 Maret 2007, untuk kedu kalinya rapat paripurna
mengagendakan dengar pendapat pendapat pihak-pihak. Mayoritas menegaskan
perlunya adanya Perda dan merekomendasikan pembentukan Komisi Khusus untuk
membahas dan menindaklanjuti agenda sidang.21 Pembentukan Komisi Khusus
adalah prosedur wajib dalam proses legislasi dan satu-satunya fase yang menawarkan
kesempatan bagi para anggota DPRD untuk melakukan tawar-menawar kepentingan
politik di antara mereka. Hasil akhir adalah suara dari masing-masing fraksi. Fase ini
juga memainkan peranan penting dalam menentukan prospek ke depannya suatu
19

Wawancara dengan Ahmad, imam masjid Darus Salam pada 11 Agustus 2011. Dia telah
menjadi imam di masjid tersebut untuk 17 tahun. Dia mengaku bahwa aktivitas dakwah di
daerah Parangkusumo tidak terhambat oleh prostitusi. Dia cenderung untuk dakwah mengajak
para pekerja seks, ia berpendapat bahwa perempuan nakal akan mencari pria hidung belang
untuk melakukan hubungan seks, sedangkan perempuan baik-baik mencari laki-laki yang butuh
untuk membangun sebuah rumah tangga.
20
PDI Perjuangan, PAN, PKB, PKS, Golkar, and fraksi Kesatuan Baru (koalisi terdiri atas Partai
Demokrat, PPP dan Partai Karya Peduli Bangsa).
21
Berdasarkan dari jalannya Rapat Pleno DPRD Bantul ke-15 tahun 2007.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

10

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

Draf/Rancangan Perda. Ketua komisi DPRD Bantul saat itu, Edy Susila, merupakan
kader dari partai Islam, PPP. Sedangkan wakilnya, Jupriyanto, berasal dari partai
Islam lain, PKS.22 Pada saat yang sama, Bupati membentuk sebuah tim eksekutif
yang mana tugas utamanya adalah untuk memastikan bahwa draf Perda tersebut
disetujui.
Pada akhirnya, draf Perda tersebut akhirnya disetujui oleh DPRD Bantul pada
tanggal 12 April 2007, dan terdaftar sebagai peraturan No. 5/2007 dan disahkan pada
1 Mei 2007. Gangguan kesehatan, gangguan keamanan, adanya UU yang sudah
melarang hal tersebut dan keharmonisan sosial, pelanggaran hukum Allah, tindakan
amoral dan dan menciptakan perilaku yang baik disebutkan sebagai alasan untuk
Perda dikeluarkan.
Dalam bagian ‘Ketentuan Pidana’, dinyatakan bahwa setiap orang yang
melanggar ketentuan Perda dapat dijatuhi hukuman maksimal kurungan tiga bulan
atau denda maksimal 10.000.000 rupiah (Pasal 8 ayat (1) Perda No.5/2007). Seperti
disebutkan sebelumnya, Perda ini dimaksudkan untuk memungkinkan penangkapan,
tidak hanya kepada para PSK, tetapi yang juga yang memiliki peran lebih penting,
yaitu germo dan pemilik rumah bordil. Namun banyak orang meragukan bahwa Perda
tersebut akan sepenuhnya bisa efektif mengingat dalam banyak kasus, mucikari
tampaknya kebal terhadap hukum karena biasanya mereka biasanya adalah orangorang kuat dan memiliki pengaruh sosial dalam masyarakat.
Hal ini adalah rahasia umum bahwa mereka memiliki koneksi yang dekat
dengan orang-orang penting dalam Pemerintah Daerah, termasuk juga kepada aparat
hukum, yang dapat melindungi mereka dari jerat hukum. Bagaimanapun, penegakan
hukum lebih tajam ke bawah, terutama pada pelaku pekerja seks. Dalam kasus tindak
prostitusi di Pengadilan Negeri Bantul, terdakwa yang disidangkan sebagian besar
adalah pelaku pekerja seks, bukan mucikari atau pemilik rumah bordil.
Keberadaan Perda telah mengundang kritik, tidak hanya oleh para pelaku
pekerja seks, tetapi juga oleh sejumlah kelompok masyarakat lainnya. Reaksi negatif

22

Keputusan DPRD Bantul No. 08/kep/dprd/2007 tentang Pembentukan Panitia Khusus.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

11

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

sendiri disuarakan oleh masyarakat yang sumber daya pendapatannya yang
terdampak oleh penerapan Perda tersebut.
Masyarakat dan kelompok perempuan juga mengecam keras Perda tersebut.
Mereka mengatakan keberadaan Perda tidak jelas arahnya dan mengandung
ambiguitas yang membahayakan, hanya akan member ruang bagi semua perempuan
rentan terhadap tuduhan prostitusi. Dalam sesi siding pleno di DPRD Bantul pada
pembahasan APBD 2008, semua partai politik menegaskan kembali dukungannya
untuk penegakan Perda yang bertujuan untuk melestarikan perilaku religious yang
saleh.
Di sudut lain, prostitusi di masyarakat meninggalkan problematika. Tentu hal
ini tidak berlaku dalam akselerasi yang luar biasa dari proses legislasi Perda tersebut,
yang hanya membutuhkan jangka waktu 20 hari. Kondisi ini menunjukkan bahwa
Pemda Bantul menghadapi beberapa masalah kompleks, baik secara sosiologis atau
politis, dalam melahirkan Perda bisa dimungkinkan. Ormas-ormas Islam seperti
Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan MUI diundang untuk menuliskan surat resmi
yang menyatakan dukungan mereka. Lebih penting lagi, setiap fraksi tunggal, baik
haluan Islam atau sekuler, telah mendukung lahirnya Perda tersebut.
Faktanya, bahwa semua partai bertitiktolak atas pandangan keagamaan dalam
mengutarakan pendapat mereka tentang prostitusi adalah hal tak terbantahkan.
Mereka berbicara dalam retorika yang sama, yaitu menjaga perilaku yang baik dan
menyelamatkan generasi muda. Hanya sedikit dari mereka menempatkan masalah
prostitusi dalam konteks ekonomi sosial yang lebih luas, melihat isu-isu dari
perspektif kemiskinan dan sempitnya peluang pekerjaan. Alasan yang sedikit berbeda
dalam mendukung draf Perda diberikan oleh Fraksi PKB. Mereka berpendapat bahwa
prostitusi harus dijalankan dengan free market mechanism of supply and demand.
Guna menemukan solusi terkait bagaimana untuk memutus hubungan antara penjual
(PSK) dan pelanggan. Penegakkan hukum hanya menyasar pada kelompok pertama
(penjual/PSK) tidak akan memecahkan masalah.23

23

Pendapat Akhir Fraksi dari Fraksi PKB atas Enam Raperda Kabupaten Bantul, 12 April 2007.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

12

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

Apa yang telah disuarakan Fraksi PKB di DPRD Bantul menunjukkan bahwa
pembedaan antara partai berhaluan keagamaan dan sekuler tidak lagi relevan. Hal ini
dapat dijelaskan dengan melihat komposisi partai-partai ketika hasil pemilu didapati
adanya perubahan prosentasi suara bagi partai sekuler PDIP, dan satu partai lainnya
yang muncul kemudian, Partai Demokrat (disingkat PD). Dari 45 kursi di DPRD
Bantul, PD hanya memiliki satu kursi (2,2 persen) pada tahun 2004 dan lima kursi
pada tahun 2009, sebuah peningkatan yang signifikan. Di sisi lain, PDIP
memenangkan 16 kursi (35,5 persen) pada tahun 2004, tetapi secara dramatis
kehilangan lima kursi (24,4 persen) pada tahun 2009. Partai berpengaruh
lainnya,partai Islamis PKS memiliki lima kursi (11 persen), baik pada tahun 2004 dan
2009 (lihat Lampiran, Tabel 1).24
Berdasarkan hal ini, adalah benar untuk mengatakan bahwa transformasi yang
disebut “politik aliran” setelah jatuhnya Suharto masih terus berlaku.25 Kondisi
semacam ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa dinamika pepolitikan saat ini di
beberapa daerah di Indonesia menyuguhkan gambaran dari adanya ikatan emosional
yang longgar dari rakyat kepada partai politik, khususnya ketika mencermati
penurunan jumlah kursi partai dan meningkatnya jumlah swing voters.26 Fenomena
seperti ini membantah premis bahwa perpolitikan terpolarisasi antara partai-partai
berhaluan Islam dan non-Islam. Lebih dari itu, kontradiksi antara partai berbasis
perkotaan (urban-based parties) dan partai berbasis pedesaan (rural-based parties)
telah menjadi kabur. Baik partai yang berhaluan keagamaan dan non keagamaan
menuju arah yang sama. Mereka cenderung mengabaikan ideologi politiknya,
sementara kepentingan yang lebih pragmatis lebih sering muncul demi mencapai
agenda mereka.
Sebagian besar masyarakat di Bantul adalah muslim, sekitar 95 persen dari
total jumlah penduduk, sebagian besar tinggal di daerah pedesaan, ini adalah market
24

Berdasarkan data yang diperoleh dari KPU Pusat ataupun KPUD Bantul.
‘. Willia Liddle, Ne Patte s of Isla i Politi s i De o ati I do esia , Asia Program
Special Report (Woodrow Wilson Center International Center for Scholars), no. 110, April 2003,
pp. 4–13.
26
A d eas Ufe , The E olutio of Clea ages i the I do esia Pa ty Syste , Makalah
disimpan oleh the German Institute of Global and Area Studies, April 2008.
25

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

13

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

politik yang menggiurkan. Kedua belah pihak, partai sekuler atau haluan Islam harus
bersaing kuat dalam mempengaruhi mereka dalam domain kegamaan tersebut.
PDIP, yang biasanya menghindari eksploitasi isu-isu agama atau dalam
menyuarakan aspirasi partainya dalam mendukung penerapan Perda berbasis syariah,
seperti dalam pembahasan UU

pornografi dan pengenaan jilbab oleh kaum

perempuan, bersikap berbeda di tingkat daerah. Hasil observasi ini membuat saya
menyimpulkan bahwa menyajikan cirri-ciri keislaman, pada hakikatnya, digunakan
oleh partai-partai sebagai strategi untuk menjaring pemilih Muslim. Maka, fakta
seperti ini relevan untuk mengingat kembali catatan Ufen pada dinamika ‘politik
aliran’ di era Reformasi. Dia mengatakan ‘partai bukanlah kesatuan agregasi
“organis” kepentingan masyarakat, tetapi lebih dicirikan dengan berbagai macam
kelemahan. Kebanyakan dari mereka disesaki dengan konflik internal, pencitraan
mereka sering teduh, platform mereka tidak jelas dan elit-elit partai cenderung
memonopoli pengambilan keputusan.’27

4. Perdebatan terkait arti prostitusi
Ketika mendefinisikan prostitusi, fakta bahwa PSK menerima uang untuk
jasanya biasanya merupakan elemen penting. Namun, secara keseluruhan, selain
dicap tidak bermoral, PSK pada umumnya juga tidak dibayar dengan layak
sebagaimana menurut laporan studi oleh The Economist, dengan pengecualian dari
mereka yang mampu meraup banyak uang.28 Oleh karena itu, ada banyak cara untuk
memahami prostitusi. Edlund dan Korn, mengacu the Random House Dictionary of
the English Language edisi tahun 1969, mendefinisikan prostitusi sebagai ‘tindakan
atau praktek yang melibatkan hubungan seksual demi uang’.29 Definisi lainnya
menolak poin adanya unsur ‘menjual tubuh’ seseorang untuk membedakan antara
27

A d eas Ufe , F o Ali a to Dealig e t: Politi al Pa ties i post-Suha to I do esia ,
South East Asia Research, 16, 1, 6.
28
The Economist pada Februari 1998 melaporkan bahwa prostitusi di Arab mampu
membukukan pendapatan 2.000 US dollar per malam, sementara perempuan PSK yang rata-rata
berasal dari Latvia dilaporkan hanya mengumpulkan 5.000 US dollar per bulan, 20 kali lipat ratarata pendapatan PSK.
29
Le a Edlu d da E ely Ko , A Theo y of P ostitutio , Journal of Political Economy, 110,
1, 2002, 183–184.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

14

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

pelacur dan perempuan pada umumnya. Sebagaimana Ellis katakan, prostitusi tidak
bisa disederhanakan kepada perempuan yang menjual tubuhnya karena hal ini juga
dilakukan oleh perempuan yang menikah demi melanggengkan rumah tangga dan
nafkahnya.30 Guna membantah penyederhanaanEllis tersebut, Edlund and Korn
berargumen bahwa pelacur menjual seks non reproduktif, ‘seks komersil’. Sedangkan
istri menjual seks reproduktif.31
Demikian juga dalam rapat dengar pendapat di DPRD, perdebatan paling
kontroversial juga terjadi berkaitan apa yang dimaksud dengan prostitusi dan definisi
apa yang seharusnya digunakan. Beberapa di antaranya membuat kategori adanya
keterkaitan pada uang. Sedangkan prostitusi dalam rumusan Perda tidak seperti itu,
prostitusi dinyatakan sebagai perbuatan tidak senonoh (amoral) dengan atau tanpa
kompensasi financial, bisa dianggap sebagai bentuk prostitusi. Tampaknya, rumusan
dalam Perda tersebut mengabaikan unsur definitif prostitusi. Ketentuan dalam Perda
menyatakan bahwa prostitusi adalah segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang
atau lembaga, yang mengajak, memfasilitasi, mengatur dalam melakukan suatu
tindakan tidak senonoh. Dengan adanya definisi tersebut, wilayah abu-abu antara
‘penerimaan’, ‘pengakuan’, dan ‘pelarangan’ prostitusi yang terjadi di masa lampau
telah menemukan titik terang bagi pihak pemerintah, pekerja seks komersil, pelacuran
dan masyarakat sendiri, telah selesai.
Meskipun bersiteguh menolak terhadap pelarangan prostitusi sedari awal,
entah apa yang menjadi alasan PDIP merasa tidak yakin bahwa pelarangan prostitusi
adalah alternatif terbaik. Sikap itu juga menjadi sebab mengapa Fraksi PDIP
mengadakan polling melalui pesan singkat pada 10 dan 11 April 2011 di stasiun radio
Persatuan. Jajak pendapat yang dilakukan ini menunjukkan bahwa pihak PDIP
memahami arti penting mekanisme partisipasi publik dalam proses legislasi. Pihak
PDIP sendiri juga berani mengabaikan fakta bahwasanya di sana ada beberapa
kelompok yang tidak mau diusik kepentingannya sama sekali. Dalam jajak pendapat,
masyarakat ditawari dua pilihan: adanya regulasi yang mengatur atau pelarangan
30
31

Havelock Ellis, Studies in the Psychology of Sex (New York: Random House, 1936), 225.
Edlund dan Ko , A Theo y of P ostitutio ,
.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

15

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

prostitusi secara total. Tidak ada alasan definitif jelas yang diajukan oleh responden
terkait apa yang menjadi latar belakang perbedaan antara keduanya. Dari total 224
pesan yang diterima, 45 (20,1 persen) mendukung adanya regulasi, sedangkan
sisanya, 79,9 persen, memilih adanya pelarangan.32 Hasil jajak pendapat tersebut
membuat PDIP memutuskan untuk menerima draf Perda: berpaling mendukung
adanya larangan prostitusi merupakan keputusan yang masuk akal untuk diambil.33
Masalah kesehatan merupakan faktor lain yang ikut memainkan peran
penting. Partai Golkar, dengan mengacu pada hasil survei yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten Bantul, menyatakan dukungan kuat untuk disahkan dan
diundangkannya Perda terkait. Hasil survei dari 285 sampel darah yang diambil pada
tahun 2004 mendapati tujuh orang terjangkit HIV (Human Immunodeficiency Virus),
yang mana pada tahun 2005 (dengan sampel sebanyak 422), enam di antaranya
terjangkit. Sedangkan hasil survei dari 378 sampel darah yang dilakukan pada tahun
2006 ditemukan 12 orang dengan HIV. Pada tahun 2007 dengan pengambilan sampel
darah yang lebih banyak dari 403 orang, empat di antaranya mengidap HIV.
Penurunan angka pengidap HIV pada tahun 2007 diklaim menjadi salah satu efek
positif dari menegakkan Perda.34
Bagaimanapun, pesan-pesan bermotif keagamaan memiliki peran penting
sebagai alasan utama adanya penolakan praktek prostitusi. Partai-partai berhaluan
Islam secara eksplisit mengutip sejumlah ayat dari Al-Qur'an. Fraksi Kesatuan Baru
di DPRD Bantul, termasuk di dalamnya adalah fraksi PPP, menyatakan larangan
Allah SWT untuk mengejar kesenangan duniawi dan melakukan perzinahan.
Sehubungan dengan yang hal yang pertama, sebagaimana bunyi ayat 64 surat al'Ankabut (Qs.29), yang memperingatkan manusia terkait kesenangan duniawi dan
mengingatkan mereka dari kebahagiaan kekal di akhirat. Sehubungan dengan hal

32

Pendapat Akhir Fraksi dari Fraksi PDIP atas Enam Raperda Kabupaten Bantul, 12 April

2007.
33
34

Wawancara dengan Tustiyani, Ketua DPRD Bantul, Juli 2011.
Pendapat Akhir Fraksi dari Fraksi Golkar atas Enam Raperda Kabupaten Bantul, 12 April

2007.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

16

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

kedua, mereka mengutip ayat 32 surat al-Isra' (Qs. 17), yang secara eksplisit
melarang melakukan perzinahan.35
Fraksi PKS sendiri mendukung adanya pelarangan prostitusi namun juga
mengecam keras Perda seperti itu karena tidak mendefinisikan moralitas sesuai
norma-norma agama. PKS juga menyayangkan ketidaklengkapan Perda karena
membatasi ruang lingkup prostitusi dan tidak memasukan perselingkuhan sebagai
tindak prostitusi. Machmudi mengingatkan kader-kader PKS bahwa mempromosikan
syariah pada tingkat nasional tetaplah menjadi agenda penting. Partai PKS sendiri
lebih memilih untuk mengejar pelaksanaan syariah dengan pendekatan bottom-up,
yaitu dengan mendidik umat Islam untuk memahami esensi syariah. Dengan cara
seperti ini, umat akan mempraktekan ajaran-ajaran tersebut dalam kehidupan sehariharinya, dan ketika orang sudah menerima hukum Islam, maka mereka dengan
sendirinya akan menyaurakan tuntutan implementasinya kepada Pemerintah.36

5. Prostitusi dan kriminalisasi perempuan
Prostitusi, dalam kaitannya terhadap Perda berbasis syariah, telah menjadi
perdebatan sengit masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Masyarakat
menitikberatkan fokusnya pada situasi pekerja seks, pengaruhnya terhadap generasi
muda, munculnya pusat-pusat kegiatan ekonomi di sekitar pusat prostitusi dan
ketersediaan regulasi. Banyak perdebatan telah terpolarisasi antara dua pihak yang
dilabeli liberal dan konservatif. Keinginan pihak pertama mengatakan prostitusi
bukan tindak kriminal, wajar dan manusiawi. Sedangkan pihak kedua berpendapat
prostitusi harus dilenyapkan. kepentingan sosial politik memainkan peran penting
bagi pemerintah dalam menentukan posisinya di antara dua kutub tersebut.

35

Pendapat Akhir Fraksi dari Fraksi Partai Golkar, Fraksi Kesatuan Baru, dan Fraksi Partai
Keadilan Sejahtera.
36
Yon Machmudi, Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and The Prosperous
Justice Party (Canberra: anu e Press, 2008), 195.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

17

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

Kantola dan Squires37 mengkategorikan diskursus tersebut guna menanggapi
debat politik berkaitan prostitusi menjadi empat macam pendekatan: (i) penyakit
masyarakat, (ii) tradisi kesusilaan (traditional morality), (iii) bentuk penindasan
kaum perempuan, dan (iv) pekerja seks. Istilah penyakit masyarakat merupakan
argumentasi dominan untuk melawan prostitusi. Diskursus ini abai pada marginalisasi
pekerja seks kelas jalanan. Kelompok pelaku maksiat, hina dan prostitusi adalah
tindakan durjana dijadikan alasan oleh penganut tradisi kesusilaan, kualifikasi seperti
ini telah digunakan selama hamper 100 tahun dan sering disinggung setiap kali topik
prostitusi dibahas. Dalam semangat modernisasi dan kesetaraan gender arus utama,
argumentasi penindasan kaum perempuan tidaklah dianggap sebagai dosa dan
maksiat.38 Bentuk penindasan menekankan pada diskursus atas keberadaan prostitusi
adalah bentuk dominasi laki-laki atas perempuan. Penganut pendekatan ini
menganggap pekerja seks sebagai korban prostitusi berhubungan dengan masalah
perdagangan seks. Kaum perempuan dieksploitasi secara seksual yang seringkali
secara ekonomi terpinggirkan mengingat wanita dan anak-anak dalam sejarahnya
selalu mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual pada masa lampau.
Tidak adanya alternatif mata pencaharian telah membuat mereka rentan
terhadap perdagangan seks. The Coalition against Trafficking in Women/CATW
(Koalisi Anti Perdagangan Perempuan) di dalam bagian 'Who We Are' situsnya
menyatakan bahwa ‘[k]ami harus mengambil sikap dalam berprinsip terhadap
legalisasi prostitusi dan mencegah adany permintaan untuk komersialisasi seks tanpa
harus menghukum korban. Orang-orang selalu manjadi sasaran salah tangkap:
prostitusi harus dilegalkan’.39 Istilah yang digemari untuk digunakan adalah
‘perbudakan seksual’, istilah ini jelas ditentang oleh paradigm kaum pekerja seks.
Legalisasi akan melembagakan perlindungan melalui hak-hak pekerja dan
dekriminalisasi para pekerja seks.
37

Joha a Ka tola da Judith S ui es, Dis ou ses Su ou di g P ostitutio Poli ies i the
UK , dala Europea Jour al of Wo e ’s Studies, 11, 1, 2004.
38
‘o ald Weitze , Legalizi g P ostitutio : Mo ality Politi s i Weste Aust alia , The British
Journal of Criminology, 49: 1 (2009), pp. 88–105.
39
www.catwinternational.org/WhoWeAre (diakses pada 17 November 2011).

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

18

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………….
Perlawanan mereka juga terhalang oleh adanya fakta bahwa sebagian besar
anggota aliansi adalah mahasiswa di Yogyakarta yang datang dari berbagai kota.
Dalam demonstrasi atau penyampaian aspirasi di depan publik yang digelar, aliansi
mahasiswa diminta untuk menunjukkan kartu tanda penduduk mereka sebagai bukti
yang membantah bahwa demo yang digelar mereka tidaklah mewakili aspirasi
masyarakat Bantul. Otoritas berwenang Kabupaten Bantul menggunakan cara
tersebut untuk mematahkan gerakan mereka.40 Menyadari tantangan yang dihadapi
ini, Aliansi pergerakan tersebut mengubah taktiknya. Caranya dengan memperluas
ruang lingkup pergerakan terhadap isu-isu di luar prostitusi dan mengubah nama
organisasi ‘Aliansi Peduli Kebijakan Bantul (APKB)’.41
6. Kesimpulan
Perda No. 5/2007 Kabupaten Bantul tentang Larangan Pelacuran di
Kabupaten Bantul, adalah salah satu dari sekian regulasi berhubungan dengan hal
moralitas publik. Peraturan tersebut mengaitkan diri pada sejumlah konsep kunci,
seperti pelanggaran ajaran agama, martabat manusia, Pancasila dan gangguan
kesehatan. Munculnya PKS dan PD dan penurunan kursi PDIP di DPRD Bantul telah
menjadi salah satu faktor sosio-politik yang menempatkan partai pada situasi di mana
partai politik harus menempatkan posisi mereka dalam mencitrakan keislaman dan
sebagai representasi kepentingan umat Islam.
Sebagai akibat dari tidak adanya definisi tunggal tentang prostitusi,
perdebatan berkaitan makna prostitusi dalam Perda tersebut terjadi. Sementara partaipartai sekuler menghubungkan dampak prostitusi partisipasi dengan masalah

40

Wawancara dengan Tustiyani, Ketua DPRD Bantul, Juli 2011.
Wawancara dengan Subkhi Ridho, Koordinator Lembaga Studi Islam dan Politik (LSIP),
anggota ATPLP, Juli 2011.
41

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

19

PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL: PERATURAN DAERAH TENTANG PROSTITUSI DI BANTUL

kesehatan masyarakat, yang berhaluan Islam menghubungkan prostitusi dengan
moralitas berdasarkan Alquran. Pembatasan makna dan limitasi prostitusi tidak jelas.
Berbeda dengan peraturan sebelumnya, seperti dalam regulasi Propinsi Yogyakarta
pada tahun 1954, dan di dalam KUHP, yang hanya berurusan dengan masalah
mucikari dan pemilik rumah bordil, Perda Bantul memiliki cakupan yang lebih luas,
meliputi semua orang melakukan tindakan tidak senonoh, termasuk misalnya
tindakan menggoda/merayu. Selain kasus salah tangkap, Pengadilan Negeri Bantul
melaporkan catatan kerjanya bahwa tidak ada mucikari yang pernah disidangkan di
bawah Perda tersebut. Sebaliknya, intensitas penggerebekan yang dilakukan oleh
Polisi menargetkan kaum perempuan yang menderita kesulitan ekonomi secara
signifikan. Aktivis kaum perempuan dan beberapa organisasi mengecam keras Perda
tersebut sebagaimana mereka menuduh adanya pelembagaan kriminalisasi kaum
perempuan. Upaya hukum telah dilakukan untuk mengubah atau mencabut Perda
tersebut melalui pengajuan uji materi ke Mahkamah Agung, tapi sejauh ini tidak
berhasil.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO

20