UPT KEAMANAN KESEHATAN KESELAMATAN KERJA

BAB 1 KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

1.1 Pendahuluan

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja. K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero accident). Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost), melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang.

Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Undang- undang No.28 Tahun 2002 Pasal 16 (1) menyatakan bahwa suatu bangunan gedung haruslah memiliki keandalan yang sesuai dengan fungsinya. Keandalan bangunan gedung adalah keadaan bangunan yang memenuhi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan. Pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya kebakaran, instalasi penangkal petir dan instalasi listrik, dan kemampuan gedung menopang beban merupakan suatu syarat keselamatan, sedangkan penghawaan (ventilasi), pencahayaan dan sanitasi bangunan gedung merupakan suatu syarat kesehatan.

Pengaplikasian K3 penting diaplikasikan dalam berbagai sektor termasuk di dalamnya lingkungan kampus sebagai tempat kerja dan belajar untuk itu kita perlu mengembangkan dan meningkatkan K3 di setiap gedung kampus Ganesha dalam rangka menekan serendah mungkin risiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan efesiensi.

1.2 Definisi Keselamatan Kerja

Keselamatan kerja diartikan sebagai kondisi yang bebas dari resiko kecelakaan atau kerusakan atau dengan resiko yang relatif sangat kecil di bawah tingkat tertentu (Simanjuntak, 1994). Kondisi kerja yang aman/selamat perlu dukungan dari sarana dan prasarana keselamatan yang berupa peralatan keselamatan, alat perlindungan diri dan rambu-rambu. Alat-alat yang tergolong sebagai penunjang keselamatan kerja tersebut antara lain adalah helm, sarung tangan, masker, jaket pelindung, peralatan kebakaran, dan pelindung kaki. Untuk prasarana keselamatan seperti rambu-rambu/tanda peringatan memerlukan ketentuan-ketentuan yaitu mudah terlihat, mudah di baca, dan tahan lama; di tulis dalam bahasa resmi negara yang menggunakan produk yang dimaksud, kecuali bila secara teknis salah satu bahasa tertentu dianggap lebih sesuai; ringkas dan jelas; dan menjelaskan tingkat bahaya dan memberikan cara mengurangi resiko (Simanjuntak, 1994). Keselamatan kerja bertujuan untuk melindungi keselamatan tenaga kerja di dalam melaksanakan tugasnya juga melindungi keselamatan setiap orang yang berada di tempat kerja, selain itu melindungi keamanan peralatan dan sumber

produksi agar selalu dapat digu aka se ara efisie (“u a’ ur, 1996).

1.3 Definisi Kesehatan Kerja

Pengertian dari kesehatan kerja adalah kondisi yang dapat mempengaruhi kesehatan para pekerja (Simanjuntak, 1994). Gangguan kesehatan kerja mempunyai dampak yang terasa secara langsung dan yang tidak langsung, dampak secara langsung adalah gangguan kesehatan kerja yang dirasakan seketika itu juga oleh pekerja, sedang yang dimaksud dengan dampak secara tidak langsung adalah gangguan pada kesehatan yang dirasakan oleh pekerja setelah jangka waktu tertentu. Ketika gangguan kesehatan mulai terasa maka akan berpengaruh terhadap banyak aspek, salah satunya adalah turunnya produktivitas dari pekerja. Gangguan kesehatan yang dialami oleh pekerja dapat bersifat tidak permanen maupun permanen (Simanjuntak, 1994). Menurut Ridley (2004), kesehatan merupakan unsur penting agar kita dapat menikmati Pengertian dari kesehatan kerja adalah kondisi yang dapat mempengaruhi kesehatan para pekerja (Simanjuntak, 1994). Gangguan kesehatan kerja mempunyai dampak yang terasa secara langsung dan yang tidak langsung, dampak secara langsung adalah gangguan kesehatan kerja yang dirasakan seketika itu juga oleh pekerja, sedang yang dimaksud dengan dampak secara tidak langsung adalah gangguan pada kesehatan yang dirasakan oleh pekerja setelah jangka waktu tertentu. Ketika gangguan kesehatan mulai terasa maka akan berpengaruh terhadap banyak aspek, salah satunya adalah turunnya produktivitas dari pekerja. Gangguan kesehatan yang dialami oleh pekerja dapat bersifat tidak permanen maupun permanen (Simanjuntak, 1994). Menurut Ridley (2004), kesehatan merupakan unsur penting agar kita dapat menikmati

1.4 Perlindungan Terhadap Pengguna Gedung

Pada dasarnya usaha untuk memberikan perlindungan keselamatan kerja pada pengguna gedung kampus ITB dalam hal ini didalamnya termasuk pekerja, pendidik, mahasiswa serta siapapun yang berada di dalamnya dilakukan 2 cara (Soeprihanto, 1996) yaitu:

1. Usaha preventif atau mencegah Preventif atau mencegah berarti mengendalikan atau menghambat sumber-sumber bahaya yang terdapat di tempat kerja sehingga dapat mengurangi atau tidak menimbulkan bahaya bagi para pengguna gedung. Langkah-langkah pencegahan itu dapat dibedakan, yaitu :

 Subsitusi (mengganti alat/sarana yang kurang/tidak berbahaya)  Isolasi (memberi isolasi/alat pemisah terhadap sumber bahaya)  Pengendalian secara teknis terhadap sumber-sumber bahaya.  Pemakaian

perorangan (eye protection/googles,

alat

pelindung

hat/cap/helmet, ear plug/muff, gas respirator, dust respirator, gloves, tali pengaman/safety harness untuk bekerja di ketinggian dan lain-lain).

safety

 Petunjuk dan peringatan di tempat kerja.  Latihan dan pendidikan keselamatan dan kesehatan

kerja.

2. Usaha represif atau kuratif Kegiatan yang bersifat kuratif berarti mengatasi kejadian atau kecelakaan yang disebabkan oleh sumber- sumber bahaya yang terdapat di tempat kerja. Pada saat terjadi kecelakaan atau kejadian lainnya sangat dirasakan arti pentingnya persiapan baik fisik maupun mental para 2. Usaha represif atau kuratif Kegiatan yang bersifat kuratif berarti mengatasi kejadian atau kecelakaan yang disebabkan oleh sumber- sumber bahaya yang terdapat di tempat kerja. Pada saat terjadi kecelakaan atau kejadian lainnya sangat dirasakan arti pentingnya persiapan baik fisik maupun mental para

Mari kita budayaka K3 di li gku ga ka pus Ga esha

BAB 2 KESELAMATAN GEDUNG

2.1 Kebakaran

2.1.1 Pencegahan Dan Penanggulangan Terhadap Bahaya Kebakaran

Pertimbangan utama mengapa perlu upaya penanggulangan bahaya kebakaran adalah karena : adanya potensi bahaya kebakaran di semua tempat, kebakaran merupakan peristiwa berkobarnya api yang tidak dikehendaki dan selalu membawa kerugian. Dengan demikian usaha pencegahan harus dilakukan oleh setiap indivisu dan unit kerja agar jumlah peristiwa kebakaran, penyebab kebakaran dan jumlah kecelakaann dapat dikurangi sekecil mungkin melalui perencanaan yang baik.

Melalui pelatihan atau fire drilling secara berkala diharapkan pengguna gedung mampu : mengidentifikasi potensi penyebab kebakaran di lingkungan tempat kerjanya dan melakukan upaya pemadaman kebakaran dini. Kebakaran terjadi akibat bertemunya 3 unsur : bahan (yang dapat ter)bakar; suhu penyalaan/titik nyala dan

zat pembakar (O 2 atau udara). Untuk mencegah terjadinya kebakaran adalah dengan mencegah bertemunyan salah satu dari dua unsur lainnya.

Berdasarkan pemahaman karakteristik kebakaran pada bangunan yang umumnya cellulosic fire maka pengamanan terhadap kebakaran mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Pengendalian lewat perancangan bangunan yang diarahkan pada upaya minimasi timbulnya kebakaran dan intensitas terjadinya kebakaran, yang menyangkut minimasi beban api, rancangan sistem ventilasi, sistem kontrol asap, penerapan sistem kompartemenisasi dll yang dikenal sebagai sistem proteksi pasif.

b. Pengendalian lewat perancangan sistem supresi kebakaran untuk meminimasi dampak terjadinya kebakaran, melalui b. Pengendalian lewat perancangan sistem supresi kebakaran untuk meminimasi dampak terjadinya kebakaran, melalui

c. Pengendalian lewat tata kelola bangunan yang meng- antisipasi terjadinya bahaya kebakaran didasarkan pada analisis potensi bahaya kebakaran, analisis resiko dan penaksiran bahaya kebakaran (fire hazard assessment) sesuai tahap-tahap pertumbuhan kebakaran dalam ruangan. Tata kelola ini sering disebut sebagai Fire Safety Management yang mencakup kondisi sebelum, pada saat dan setelah kejadian kebakaran.

2.1.2 Sebab-sebab Kebakaran

 Kebakaran karena sifat kelalaian manusia, seperti : kurangnya pengertian pengetahuan penanggulangan bahaya kebakaran;

kurang hati menggunakan alat dan bahan yang dapat menimbulkan api; kurangnya kesadaran pribadi atau tidak disiplin.

 Kebakaran karena peristiwa alam, terutama berkenaan dengan cuaca, sinar matahari, letusan gunung berapi, gempa

bumi, petir, angin dan topan.  Kebakaran karena penyalaan sendiri, sering terjadi pada gudang bahan kimia di mana bahan bereaksi dengan udara,

air dan juga dengan bahan-bahan lainnya yang mudah meledak atau terbakar.

 Kebakaran karena kesengajaan untuk tujuan tertentu, misalnya sabotase, mencari keuntungan ganti rugi klaim

asuransi, hilangkan jejak kejahatan, tujuan taktis pertempuran dengan jalan bumi hangus.

2.1.3 Peralatan Pemadaman Kebakaran

Untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran perlu disediakan peralatan pemadam kebakaran yang sesuai dan cocok untuk bahan yang mungkin terbakar di tempat yang bersangkutan.

Perlengkapan dan alat pemadam kebakaran sederhana  Air, bahan alam yang melimpah, murah dan tidak ada akibat ikutan (side effect), sehingga air paling banyak dipakai untuk

memadamkan kebakaran. Persedian air dilakukan dengan cadangan bak-bak iar dekat daerah bahaya, alat yang diperlukan berupa ember atau slang/pipa karet/plastik.

 Pasir, bahan yang dapat menutup benda terbakar sehingga udara tidak masuk sehingga api padam. Caranya dengan

menimbunkan pada benda yang terbakar menggunakan sekop atau ember

 Karung goni, kain katun, atau selimut basah sangat efektif untuk menutup kebakaran dini pada api kompor atau

kebakaran di rumah tangga, luasnya minimal 2 kali luas potensi api.

 Tangga, gantol dan lain-lain sejenis, dipergunakan untuk alat bantu penyelamatan dan pemadaman kebakaran.

2.1.4 Alat Pemadam Api Ringan (APAR)

APAR adalah alat yang ringan serta mudah dilayani oleh satu orang untuk memadamkan api pada awal terjadinya kebakaran. Tabung APAR harus diisi ulang sesuai dengan jenis dan konstruksinya. Jenis APAR meliputi : jenis air (water), busa (foam), serbuk kering (dry

chemical) gas halon dan gas CO 2 , yang berfungsi untuk menyelimuti benda terbakar dari oksigen di sekitar bahan terbakar sehingga suplai oksigen terhenti. Zat keluar dari tabung karena dorongan gas bertekanan.

Karakteristik APAR :

 APAR jenis tertentu bukan merupakan pemadam untuk segala jenis kebakaran, oleh karena itu sebelum

menggunakan APAR perlu diidentifikasi jenis bahan terbakar.  APAR hanya ideal dioperasikan pada situasi tanpa angin kuat, APAR kimiawi ideal dioperasikan pada suhu kamar  Waktu ideal : 3 detik operasi, 10 detik berhenti, waktu maksimum terus menerus 8 detik.  Bila telah dipakai harus diisi ulang

 Harus diperiksa secara periodik, minimal 2 tahun sekali.

Gambar 2.1. Konstruksi APAR

2.1.5 Alat Pemadam Kebakaran Besar

Alat-alat ini ada yang dilayani secara manual ada pula yang bekerja secara otomatis. Alat pemadam besar dapat dikelompokkan menjadi:

 Sistem hidran mempergunakan air sebagai pemadam api. Terdiri dari pompa, saluran air, pilar hidran (di luar gedung),

boks hidran (dalam gedung) berisi : slang landas, pipa kopel, pipa semprot dan kumparan slang

 Sistem penyembur api (sprinkler system), kombinasi antara sistem isyarat alat pemadam kebakaran.  Sistem pemadam dengan gas.

2.1.6 Pedoman Singkat Antisipasi Dan Tindakan Pemadaman Kebakaran

 Tempatkan APAR selalu pada tempat yang sudah ditentukan, mudah dijangkau dan mudah dilihat, tidak terlindung benda/perabot seperti lemari, rak buku dsb. Beri tanda segitiga warna merah panjang sisi 35 cm.

 Siagakan APAR selalu siap pakai.

Gambar 2.2. Contoh cara penggunaan alat pemadam api ringan

 Bila terjadi kebakaran kecil : bertindaklah dengan tenang, identifikasi bahan terbakar dan tentukan APAR yang dipakai.

Gambar 2.3. Jenis-jenis APAR

 Bila terjadi kebakaran besar : bertindaklah dengan tenang, beritahu orang lain untuk pengosongan lokasi, nyalakan

alarm, hubungi petugas pemadam kebakaran.  Upayakan latihan secara periodik untuk dapat bertindak secara tepat dan tenang.

2.1.7 Fasilitas Penunjang

Keberhasilan pemadaman kebakaran juga ditentukan oleh keberadaan fasilitas penunjang yang memadai, antara lain :

 Fire alarm secara otomatis akan mempercepat diketahuinya peristiwa kebakaran. Beberapa kebakaran terlambat

diketahui karena tidak ada fire alarm, bila api terlanjur besar maka makin sulit memadamkannya.

 Jalan petugas, diperlukan bagi petugas yang datang menggunakan kendaraan pemadam kebakaran, kadang harus

mondar-mandir/keluar masuk mengambil air, sehingga perlu jalan yang memadai, keras dan lebar, juga untuk keperluan evakuasi. Untuk itu diperlukan fasilitas :

 Daun pintu dapat dibuka keluar

 Pintu dapat dibuka dari dalam tanpa kunci  Lebar pintu dapat dilewati 40 orang/menit  Bangunan beton strukturnya harus mampu terbakar minimal

7 jam.

Gambar 2.4. Prosedur Kebakaran

2.2 Instalasi Penangkal Petir

Salah satu gangguan alam yang sering terjadi adalah sambaran petir. Mengingat letak geografis Indonesia yang dilalui garis katulistiwa menyebabkan Indonesia beriklim tropis, akibatnya Indonesia memiliki hari guruh rata – rata per tahun yang sangat tinggi. Dengan demikian bangunan – bangunan di Indonesia memiliki resiko lebih besar mengalami kerusakan akibat terkena sambaran petir. Kerusakan yang ditimbulkan dapat membahayakan peralatan serta manusia yang berada di dalam gedung tersebut. Untuk melindungi dan mengurangi dampak kerusakan akibat sambaran petir maka dipasang sistem pengaman pada gedung bertingkat. Sistem pengaman itu salah satunya berupa sistem penangkal petir beserta pentanahannya. Pemasangan sistem tersebut didasari oleh perhitungan resiko kerusakan akibat sambaran petir terhadap gedung. Perhitungan resiko ini digunakan sebagai standar untuk mengetahui kebutuhan pemasangan sistem penangkal petir pada bangunan bertingkat tersebut

2.2.1 Resiko Kerusakan Akibat Sambaran Petir

Sambaran petir dapat mengakibatkan beberapa kerusakan, yaitu :

 Kematian atau korban jiwa  Kerusakan mekanis.

Apabila arus yang besar dilepaskan pada konduktor parallel yang berdekatan atau pada suatu konduktor dengan tekukan yang tajam, akan timbul gaya mekanis yang cukup besar. Oleh karena itu, diperlukan ikatan mekanis yang cukup kuat.

Efek mekanis lain ditimbulkan oleh kilat petir disebabkan kenaikan temperatur udara yang tiba-tiba mencapai 30.000 K dan menyebabkan ledakan pemuaian udara di sekitar jalur muatan bergerak. Hal ini adalah karena, jika konduktifitas logam diganti dengan konduktifitas busur api listrik, energi yang timbul akan meningkat sekitar ratusan kali dan energi ini dapat menimbulkan kerusakan pada struktur.

 Kerusakan thermal Dalam kaitan dengan sistem proteksi petir, efek

termal pelepasan muatan petir adalah terbatas pada kenaikan besar, waktunya adalah singkat dan pengaruhnya pada sistem proteksi biasanya diabaikan. Umumnya, luas penampang konduktor proteksi petir dipilih terutama untuk memenuhi persyaratan kuat mekanis, yang berarti sudah akan cukup besar untuk membatasi kenaikan temperatur sebesar 1°C.

 Kerusakan elektrik

2.2.1 Sistem Pengaman Pada Gedung

Sistem pengaman gedung dibuat untuk melindungi gedung tersebut dari berbagai macam gangguan. Salah satu sistem pengaman gedung adalah sistem penangkal petir beserta pembumiannya. Instalasi bangunan yang menurut letak, bentuk, penggunaanya dianggap mudah terkena sambaran petir dan perlu dipasang penangkal petir adalah :

 Bangunan tinggi seperti gedung bertingkat, menara, dan cerobong pabrik.  Bangunan-bangunan tempat penyimpanan bahan yang mudah terbakar atau meledak seperti pabrik amunisi, atau

gudang penyimpan bahan peledak.  Bangunan-bangunan sarana umum seperti gedung bertingkat pusat perbelanjaan, instansi pemerintahan, sekolah dan

sebagainya.  Bangunan yang berdasar fungsi khusus perlu dilindungi

seperti gedung arsip negara.

Jenis penangkal petir juga dipengaruhi oleh keadaan atap dari gedung yang akan diamankan. Untuk bangunan dengan atap datar, yaitu bangunan yang memiliki selisih tinggi antara bumbungan dan lisplang kurang dari 1 meter maka sistem yang sesuai adalah sistem faraday yaitu sistem penangkal petir keliling pada atp datar. Sedang untuk atap runcing atau selisih tinggi bumbungan dan lisplang Jenis penangkal petir juga dipengaruhi oleh keadaan atap dari gedung yang akan diamankan. Untuk bangunan dengan atap datar, yaitu bangunan yang memiliki selisih tinggi antara bumbungan dan lisplang kurang dari 1 meter maka sistem yang sesuai adalah sistem faraday yaitu sistem penangkal petir keliling pada atp datar. Sedang untuk atap runcing atau selisih tinggi bumbungan dan lisplang

2.2.1.1 Ruang Proteksi Konvensional

Pada masa awal diketemukannya penangkal petir dan beberapa tahun setelah itu, ruang proteksi dari suatu penangkal petir berbentuk ruang kerucut dengan sudut puncak kerucut berkisar antara 30° hingga 35° (Gambar 2.5.a). Pemilihan besarnya sudut proteksi ini menyatakan tingkat proteksi yang diinginkan. Semakin kecil sudut proteksi maka semakin tinggi tingkat proteksi yang diperoleh (semakin baik), namun semakin mahal biaya pembangunannya.

Gambar 2.5. Ruang proteksi konvensional

Untuk mempermudah perhitungan analitik, ruang proteksi tiga dimensi dapat dilukiskan secara dua dimensi dan karena bentuknya simetri, maka analisis dapat dilakukan hanya pada separo bagian (Gambar 2.5.b). Semua benda-benda yang berada di dalam ruang kerucut proteksi (atau bidang segi-tiga proteksi) akan terhindar dari sambaran petir. Sedangkan benda-benda yang berada di luar ruang kerucut proteksi (atau di luar bidang segi-tiga proteksi) tidak akan terlindungi.

2.2.1.2 Ruang Proteksi Non Konvensional

Ruang proteksi menurut model elektro geometri hampir sama dengan ruang proteksi berdasarkan konsep lama, yaitu berbentuk ruang kerucut juga, hanya saja bidang miring dari kerucut tersebut melengkung dengan jari-jari tertentu (Gambar 2.6).

Gambar 2.6. Ruang proteksi non konvensional

Besar jari-jari ini sama dengan besarnya jarak sambar dari lidah petir. Jarak sambar (kemampuan menyambar atau menjangkau suatu benda) dari lidah petir ini ditentukan oleh besarnya arus petir yang terjadi. Dengan demikian, derajat kelengkungan dari bidang miring kerucut dipengaruhi oleh besarnya arus petir yang terjadi.

2.2.2 Prosedur Pemeliharaan Instalasi Penangkal Petir

Program pemeliharaan secara periodik sebaiknya dilakukan untuk semua instalasi penangkal petir. Frekuensi dari pemeliharaan tergantung pada hal-hal sebagai berikut :

a. cuaca dan lingkungan yang berhubungan dengan degradasi

b. kerusakan aktual akibat petir

c. tingkat proteksi yang telah ditetapkan untuk bangunan gedung

Program pemeliharaan hendaknya berisi kegiatan sebagai berikut :

a. Pengencangan semua konduktor SPP dan sistem komponen.

b. Pemeriksaan kontinuitas listrik pada instalasi SPP.

c. Pengukuran resistans bumi dari terminasi bumi.

d. Pemeriksaan gawai proteksi surya (GPS) dan penggantian GPS yang rusak.

e. Pemeriksaan untuk menjamin efektivitas SPP tidak berkurang setelah menerima tambahan atau terjadi perubahan dalam bangunan gedung dan instalasi.

2.2.3 Panduan Keselamatan Selama Aktivitas Petir Berlangsung

Seseorang dapat mengalami luka yang fatal akibat sengatan petir atau terbakar akibat sambaran petir. Berikut ini adalah panduan umum dalam kilang untuk mencegah pengguna gedung terhadap luka sengatan listrik atau terbakar akibat sambaran petir.

 Jangan keluar atau tetap di luar selama ada guruh bila hal tersebut terakhir diperlukan.  Cari tempat berteduh yang dapat melindungi terhadap sambaran petir seperti struktur sebagai berikut:

a. Rumah tinggal atau bangunan lain yang telah diproteksi terhadap sambaran petir.

b. Bangunan berangka logam atau bangunan dari logam yang besar seperti penyangga kolom, rak pipa diatas tanah.

c. Bangunan besar yang belum diproteksi.

d. Dalam mobil, bis, truk, forklift atau kendaraan terbuat dari logam.

e. Jalan penghubung yang dinaungi oleh bangunan dikanan- kirinya.

 Hindari tempat yang hanya sedikit atau tidak diproteksi terhadap sambaran petir sebagai berikut:

a. Bangunan kecil yang tidak diproteksi.

b. Tempat berteduh sementara.

c. Mobil terbuka atau mobil dengan badan tidak terbuat dari logam.

d. Trailer terbuka atau trailer dengan badan tidak terbuat dari logam.

 Hindari lokasi - lokasi yang mengandung bahaya tinggi selama bunyi guruh berlangsung seperti berikut :

a. Lapangan terbuka.

b. Tempat parkir.

c. Dekat pagar kawat, dibawah bentangan kawat-kawat dan jalur rel kereta api.

d. Dibawah peralatan listrik, telepon, talang air atau benda yang konduktif secara elektris.

 Bila tidak memungkinkan untuk mencari tempat yang aman terhadap sambaran petir. sebaiknya dilaksanakan petunjuk-

petunjuk sebagai berikut:

a. Cari area yang cekung, hindari tempat-tempat yang tinggi.

b. Cari bangunan atau tempat berteduh pada area yang rendah, hindari bangunan yang tidak diproteksi atau tempat berteduh pada area tinggi.

 Bila terisolasi pada tempat yang terbuka dan tidak ada harapan untuk mencari tempat lain dan bila ujung rambut

terasa berdiri yang menandakan bahwa petir siap menyambar, tekuk lutut dan rapatkan kedua kaki. Jangan membaringkan diri diatas permukaan tanah. Jangan letakkan tangan diatas tanah, letakkan tangan pada lutut.

2.3 Instalasi listrik

2.3.1 Penyebab Kebakaran Karena Listrik

Proses terjadinya energi panas karena listrik sehingga dapat menyebabkan kenakaran dapat terjadi dari beberapa sebab, yaitu :

 Hubungan Singkat Langsung (Dead Short Circuits)  Hubungan Singkat Tak langsung (Limited Short Circuit)  Pembebanan & pemanasan lebih (Overloaded & Over heating

Circuit)  Arus Bocor (Leakage Current)

 Penyambungan dan pemutusan aliran listrik (Electrical Contacts & Spark)

2.3.2 Hubungan Singkat Langsung (Dead Short Circuits)

Hubungan Singkat Langsung adalah hubungan singkat yang terjadi antara hantaran fasa dengan hantaran netral secara langsung. Kejadian ini umumnya berlangsung sangat singkat karena pengaman (fuse /MCB) bekerja dengan cepat sehingga tidak menimbulkan panas yang berlebihan. Persolan akan muncul jika kapasitas pengamannya tidak sesuai (terlalu besar), maka penghantar akan mengalami pemanasan berlebihan yang dapat memicu terjadinya kebakaran awal.

2.3.3 Hubungan Singkat Tak langsung (Limited Short Circuit)

Hubungan Singkat Tak langsung adalah hubungan singkat yang terjadi karena adanya material yang menghubungkan hantaran fasa dan hantaran netral sehingga arus hubungan singkatnya belum mengaktifkan pengaman untuk bekerja. Oleh sebab itu percikan (spark) atau loncatan api (flash) yang terjadi berlangsung lama. Kejadian ini disusul terjadinya proses pemanasan berkelanjutan sehingga terjadi api (self-sustaining exothermic oxidation reaction or fire).

2.3.4 Pembebanan & Pemanasan Lebih (Overloaded & Over heating Circuit)

Pembebanan lebih adalah kejadian dimana suatu rangkaian dibebani arus cukup besar melebihi kemampuan hantaran arus

(KHA). Pemanasan lebih adalah kejadian dimana suatu rangkaian dibebani arus tidak melebihi kemampuan hantaran arus (KHA) tetapi mengalami pemanasan melebihi batas yang diijinkan. Hal ini bisa terjadi disebabkan oleh:

 Pengaman cabang atau induk kapasitasnya melebihi besaran standar.

 Adanya arus harmonik yang besar.  Sistem instalasi yang tidak benar.

Meskipun kabel didesain cukup, tetapi karena lokasi sirkit yang tidak memenuhi syarat dapat memicu terjadinya panas yang berlebihan (excess heat) yang bisa menyebabkan timbulnya api pemicu kebakaran awal. Sebagai contoh, kabel rol yang dibentang diatas lantai kemudian ditutup karpet. Karena ditutup karpet, panas yang terjadi akan berakumulasi sehingga isolasi rusak. Kabel rol, terdiri dari kabel serabut, karena panas yang berlebihan akhirnya satu persatu serabutnya putus dan pada kondisi tertentu akan terjadi

spark and flashing sehi gga terjadi api ke akara awal ya g mengenai karpet dan api semakin membesar.

2.3.5 Arus Bocor (Leakage Current)

Arus bocor terjadi jika ada degradasi kualitas isolasi dari komponen instalasi, misalnya kerusakan isolasi kabel. Sebagai contoh, misalnya kabel terkelupas kemudian terkena air, maka air akan mengalirkan arus listrik yang menimbulkan panas. Karena kontaminasi diudara bermacam-macam (garam) maka pada titik bocor tersebut akan terjadi lintasan panas (api).

2.3.6 Penyambungan Dan Pemutusan Aliran Listrik (Electrical Contacts & Spark)

Penyambungan dan pemutusan aliran listrik (menyalaan lampu) dapat menimbulkan percikan api jika saklar kurang baik dan under capacity. Jika saklar tersebut berada pada ruangan yang mengandung gas yang mudah terbakar, maka selama lampu menyala, saklar akan mengalami sparking, selanjutnya apabila gas elpiji di dapur mengalami kebocoran bisa menimbulkan kebakaran.

Demikian juga spark dan flashing dapat terjadi pada sambungan sambungan kabel instalasi.

2.3.7 Kesalahan Tindakan Manusia (Human Error)

Jika dilihat lokasi kebakaran yang sebagian besar terjadi pada perumahan dan tempat berusaha, ini berarti kebakaran itu dominan disebabkan oleh faktor human error. Hal ini karena masyarakat masih sangat awam dan kurang paham terhadap listrik sehingga sering kali bertindak sembrono atau teledor dalam menggunakan listrik, tidak mengikuti prosedur dan metode penggunaan listrik secara benar menurut aturan, sehingga terjadilah kebakaran yang tidak sedikit kerugiannya. Usaha yang bisa dilakukan untuk menekan terjadinya kebakaran adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat pengguna listrik untuk tidak melakukan tindakan ilegal dalam mempergunakan listrik untuk keperluan sehari-hari.

2.3.8 Model Instalasi Listrik

1. Mendeteksi adanya api listrik Adanya percikan api listrik dapat dideteksi dengan beberapa cara antara lain:

a. Ultrasonik detektor.

b. Rangkaian elektronik (photo detektor).

c. Mendeteksi arus bocor dari percikan api listrik.

Titik rawan terjadinya percikan api listrik umumnya pada sambungan sambungan kabel atau pada terminal. Mengingat jumlah titik sambung yang cukup banyak maka cara (a) dan (b) tentu akan sangat mahal biayanya. Alternatif yang cukup murah adalah memanfaatkan kotak sambung yang ada, dengan cara (c), yaitu dengan memanfaatkan box metal, dilengkapi dengan saluran pentanahan dan dikoordinasikan dengan ELCB (Earth Leak Circuit Breaker). Peletakan sambungan didalam box metal hendaknya diatur sedemikian rupa supaya jika ada percikan api (arus bocor) akan mengenai percikan api ini cukup besar tentunya arus bocor yang mengalir cukup besar (>30mA) Titik rawan terjadinya percikan api listrik umumnya pada sambungan sambungan kabel atau pada terminal. Mengingat jumlah titik sambung yang cukup banyak maka cara (a) dan (b) tentu akan sangat mahal biayanya. Alternatif yang cukup murah adalah memanfaatkan kotak sambung yang ada, dengan cara (c), yaitu dengan memanfaatkan box metal, dilengkapi dengan saluran pentanahan dan dikoordinasikan dengan ELCB (Earth Leak Circuit Breaker). Peletakan sambungan didalam box metal hendaknya diatur sedemikian rupa supaya jika ada percikan api (arus bocor) akan mengenai percikan api ini cukup besar tentunya arus bocor yang mengalir cukup besar (>30mA)

Gambar 2.7. Rangkaian deteksi dan pengaman percikan api listrik

Pemasangan ELCB harus diatur sedemikian rupa supaya pada saat ada gangguan tidak terjadi pemutusan total. Dengan dipasangnya ELCB yang peka, ini merupakan jaminan terhadap mutu instalasi dan keselamatan dari bahaya listrik, khususnya bahaya tegangan sentuh.

2. Pemilihan Jenis Kabel untuk menghambat penyebaran api Api dapat tersebar dengan cepat melalui sejumlah kabel yang terletak pada riser shaft atau cable tray karena 50% dari kabel adalah berupa isolasi dan setiap jenis isolasi kabel mempunyai kandungan fuel element yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam pemilihan jenis kabel harus diperhatikan beberapa hal antara lain: Fuel element, Heat release dan Toxicity karena hal ini sangat menentukan kondisi yang akan terjadi pada saat terjadi kebakaran. Demikian pula sarana khusus seperti instalasi fire alarm, emergency lighting dan lift harus mendapat perhatian khusus.

BAB 3 KESEHATAN GEDUNG

3.1 Penghawaan

3.1.1 Definisi Kualitas Udara

Kualitas udara di dalam gedung adalah suatu istilah yang mengacu pada kualitas udara di dalam dan di sekitar gedung dan struktur, terutama yang berkaitan dengan kesehatan dan kenyamanan penghuni di dalam gedung.

Pengertian udara dalam ruang atau indoor air menurut NHMRC (National Health Medical Research Counsil) adalah udara yang berada di dalam suatu ruang gedung yang ditempati oleh sekelompok orang yang memiliki tingkat kesehatan yang berbeda- beda selama minimal satu jam. Ruang gedung yang dimaksud dalam pengertian ini meliputi rumah, sekolah, restoran, gedung untuk umum, hotel, rumah sakit dan perkantoran.

Pada dasarnya ada tiga syarat utama yang berhubungan dengan kualitas udara dalam suatu ruang atau indoor air quality adalah:

 level suhu atau panas dalam suatu ruang atau gedung masih dalam batas-batas yang dapat diterima  gas-gas hasil proses pernafasan dalam konsentrasi normal

 kontaminan atau bahan-bahan pencemar udara berada dibawah level ambang bau dan kesehatan (Muhamad Idham,

Dalam investigasi permasalahan udara dalam ruang ada 4 parameter kunci yang mempengaruhi konsentrasi kontaminan yaitu: sumber kontaminan langsung, udara yang dimasukkan ke dalam ruang, udara pengeluaran dari ruang gedung, kontaminan yang berasal dari dalam gedung (Muhamad Idham, 2003).

3.1.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Udara Dalam Ruangan

Kualitas udara dalam ruang suatu gedung sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang berasal dari dalam gedung sendiri maupun dari luar gedung. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas udara dalam ruang adalah:

 Faktor fisik  Temperatur (tekanan panas)  Kelembaban  Pergerakan udara (air movement)

 Faktor Kimia  Partikulat  Asbestos, fibber glas, debu cat, debu kertas, partikel

shoot  Debu bangunan atau konstruksi, partikel ETS

 Produk-produk pernapasan, seperti uap air, karbondioksida  Gas-gas produk kebakaran

 Karbondioksida, CO, NO2  Poli aromatik hidrokarbon  ETS fase gas  Ozone (sumber dari fotocopy, lampu UV, printer

laser, ioniser)  Formaldehida (sumber: polywood, partikel board, karpet, bahan isolasi foam yang terbuat dari

ureaformaldehid)  Zat-zat organik mudah menguap, seperti: alkohol, aldehid, hidrokarbon alipatik, aromatik, ester,

kelompok halogen. Sumber: material bangunan gedung, kosmetik, asap rokok, zat pembersih, purnish, bahan adesif atau perekat dan cat.

 Radon dan produk peluruhannya  ETS (Environmental Tobacco Smoke)  Mikrobiologi (virus, bakteri dan jamur) (Muhamad

Idham, 2003).

Menurut Hasil pemeriksaan The National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) ada 5 sumber pencemaran di dalam ruangan yaitu :

 Pencemaran dari alat-alat di dalam gedung seperti asap rokok, pestisida, bahan-bahan pembersih ruangan.  Pencemaran di luar gedung meliputi masuknya gas buangan kendaraan bermotor, gas dari cerobong asap

atau dapur yang terletak di dekat gedung, dimana semuanya dapat terjadi akibat penempatan lokasi lubang udara yang tidak tepat.

 Pencemaran akibat bahan bangunan meliputi pencemaran formaldehid, lem, asbes, fiberglass dan bahan-bahan lain

yang merupakan komponen pembentuk gedung tersebut.  Pencemaran akibat mikroba dapat berupa bakteri, jamur,

protozoa dan produk mikroba lainnya yang dapat ditemukan di saluran udara dan alat pendingin beserta seluruh sistemnya.

 Gangguan ventilasi udara berupa kurangnya udara segar yang masuk, serta buruknya distribusi udara dan kurangnya

perawatan sistem ventilasi udara.

Pencemaran udara memperberat keadaan penyakit ataupun membuat saluran pernafasan menjadi lebih peka terhadap penyebab penyakit yang telah ada. Sifat zat pencemar akan menentukan jaringan tubuh yang akan terkena penyakit. Menurut Crosby yang dikutip oleh Soemirat (2005), toksikan dalam ruang tertutup dapat terdiri dari formaldehid dari penutup dinding, stiren dan ptalat ester dari plastik, vinil klorida, larutan pembersih yang mengandung klor, gas CO, asap rokok yang mengandung zat toksik, serta yang paling penting adalah polusi yang mengandung gas radon.

3.1.3 Akibat Pencemaran Udara

Secara umum efek pencemaran udara terhadap individu atau manusia dapat berupa sakit baik akut maupun kronis, mengganggu fungsi fisiogi (paru, syaraf, transpot oksigen, hemoglobin), iritasi sensorik, kemunduran penampilan dan rasa tidak nyaman. Efek Secara umum efek pencemaran udara terhadap individu atau manusia dapat berupa sakit baik akut maupun kronis, mengganggu fungsi fisiogi (paru, syaraf, transpot oksigen, hemoglobin), iritasi sensorik, kemunduran penampilan dan rasa tidak nyaman. Efek

Polutan udara dapat menjadi sumber penyakit virus, bakteri dan beberapa jenis cacing. Dampak yang diakibatkan oleh polutan udara yang buruk dapat mengakibatkan seseorang menjadi alergi yang selanjutnya menjadi pintu masuk bagi bakteri yang dapat berpotensi terjadinya infeksi (Pramudya Sunu, 2001). Gangguan- gangguan tidak spesifik tetapi khas yang diderita individu atau manusia selama berada di dalam gedung tertentu dikenal dengan istilah Sick Building Sindrome (SBS).

3.1.4 Pengertian Sick Building Sindrome

SBS merupakan suatu gangguan kesehatan berupa sekumpulan gejala yang disertai dengan ketidaknyamanan terhadap lingkungan dan keluhan odor (bau) yang diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang tidak memenuhi syarat dan adanya pencemar dalam ruangan yang dapat berupa bahan kimia ataupun jamur dan mikroba. EPA mendefinisikan sindrome gedung sakit merupakan istilah untuk menguraikan situasi dimana penghuni gedung atau bangunan mengalami gangguan kesehatan akut dan efek timbul saat berada dalam bangunan, tetapi tidak ada penyebab yang spesifik. SBS menurut Juli Soemirat Slamet yang dikutip oleh G. Sujayanto (2001) adalah gejala-gejala gangguan kesehatan, umumnya berkaitan dengan saluran pernafasan. Sekumpulan gejala ini dihadapi oleh orang yang bekerja di gedung atau di rumah yang ventilasinya tidak direncanakan dengan baik, sedangkan menurut Alan Hedge (2003), SBS merupakan kategori penyakit umum yang berkaitan dengan beberapa aspek fisik sebuah gedung dan selalu berhubungan dengan SBS merupakan suatu gangguan kesehatan berupa sekumpulan gejala yang disertai dengan ketidaknyamanan terhadap lingkungan dan keluhan odor (bau) yang diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang tidak memenuhi syarat dan adanya pencemar dalam ruangan yang dapat berupa bahan kimia ataupun jamur dan mikroba. EPA mendefinisikan sindrome gedung sakit merupakan istilah untuk menguraikan situasi dimana penghuni gedung atau bangunan mengalami gangguan kesehatan akut dan efek timbul saat berada dalam bangunan, tetapi tidak ada penyebab yang spesifik. SBS menurut Juli Soemirat Slamet yang dikutip oleh G. Sujayanto (2001) adalah gejala-gejala gangguan kesehatan, umumnya berkaitan dengan saluran pernafasan. Sekumpulan gejala ini dihadapi oleh orang yang bekerja di gedung atau di rumah yang ventilasinya tidak direncanakan dengan baik, sedangkan menurut Alan Hedge (2003), SBS merupakan kategori penyakit umum yang berkaitan dengan beberapa aspek fisik sebuah gedung dan selalu berhubungan dengan

 kumpulan gejala (sindroma) yang dikeluhkan seseorang atau sekelompok orang meliputi perasaan-perasaan tidak spesifik

yang mengganggu kesehatan berkaitan dengan kondisi gedung tertentu,

 kondisi gedung tertentu berkaitan dengan keluhan atau gangguan kesehatan tidak spesifik yang dialami penghuninya, sehingga dikataka gedu g ya g sakit .

Kondisi fisik gedung sangat berpengaruh terhadap terjadinya SBS. Kelembaban relatif akan sangat efektif dalam konsentrasi yang rendah serta akan meningkatkan ventilasi sekurang-kurangnya 20 CFM-OA (cubic foot per minute outside air) per penghuni dimana kondisi ini sangat efektif untuk mengurangi gejala SBS. Pada umumnya 70% masalah SBS akan muncul dalam kondisi suplai udara yang tidak memenuhi syarat, distribusi udara dalam ruang yang dihuni tidak memenuhi syarat, filtrasi untuk udara luar tidak memenuhi syarat, adanya kelembaban suatu gedung yang cukup tinggi untuk pertumbuhan bakteri dan jamur.

3.1.5 Penyebab Sick Building Syndrome

Lingkungan kerja perkantoran meliputi semua ruangan, halaman dan area sekelilingnya yang merupakan bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja untuk kegiatan perkantoran (Departemen Kesehatan RI, 1999). Lingkungan kerja perkantoran biasanya disebut secara berbeda dari pabrik.

Perkantoran menangani kegiatan administrasi atau merangkap kegiatan pelayanan dan jasa kepada masyarakat umum, sedangkan pada pabrik menangani produksi barang atau komoditi. Umumnya lingkungan kerja administrasi lebih baik daripada keadaan Perkantoran menangani kegiatan administrasi atau merangkap kegiatan pelayanan dan jasa kepada masyarakat umum, sedangkan pada pabrik menangani produksi barang atau komoditi. Umumnya lingkungan kerja administrasi lebih baik daripada keadaan

Fenomena SBS berkaitan dengan kondisi gedung, terutama rendahnya kualitas udara ruangan. Menurut Tjandra Yoga Aditama (2002), berbagai bahan pencemar (kontaminan) dapat mengganggu lingkungan udara dalam gedung (indoor air environment) melalui empat mekanisme utama, yaitu:

 gangguan sistem kekebalan tubuh (imunologik);  terjadinya infeksi;  bahan pencemar yang bersifat racun (toksik);  bahan pencemar yang mengiritasi dan menimbulkan

gangguan kesehatan.

Gangguan sistem kekebalan tubuh dipengaruhi oleh konsumsi zat gizi. Konsumsi zat gizi yang baik akan memperbaiki status gizi, sehingga meningkatkan ketahanan fisik dan meningkatkan produktivitas kerja, di samping membantu mengurangi infeksi (Depkes RI, 1990). Sedangkan bahan kimia yang bersifat racun (toksik) lebih banyak diserap oleh orang usia muda dan tua dibanding pada orang dewasa (Frank C. Lu, 1995). Biasanya sulit untuk menemukan suatu penyebab tunggal dari sindrom gedung sakit atau SBS. Menurut London Hazards Centre, penyebab utama SBS adalah bahan kimia yang digunakan manusia, jamur pada sirkulasi udara serta faktor fisik seperti kelembaban, suhu dan aliran udara dalam ruangan, sehingga semakin lama orang tinggal dalam sebuah gedung yang sakit akan mudah menderita SBS (London Hazards Centre, 1990).

Ventilasi yang tidak baik meliputi kurangnya udara segar yang masuk ke dalam ruangan gedung, distribusi udara yang tidak merata dan buruknya perawatan sarana ventilasi. Sedangkan menurut EPA (1998), penyebab SBS atau sindrome gedung sakit sebagai berikut:

1. Ventilasi tidak cukup Standar ventilasi pada sebuah gedung yaitu kira-kira

15 kaki berbentuk kubus sehingga udara luar dapat masuk dan menyegarkan penghuni di dalamnya, terutama tidak semata-mata untuk melemahkan dan memindahkan bau. Dengan ventilasi yang tidak cukup, maka proses pengaturan suhu tidak secara efektif mendistribusikan udara pada penghuni ruangan sehingga menjadi faktor pemicu timbulnya SBS.

2. Zat pencemar kimia Zat pencemar kimia bersumber dari dalam ruangan polusi udara dalam ruangan bersumber dari dalam ruangan itu sendiri, seperti bahan pembersih karpet, mesin foto kopi, tembakau dan termasuk formaldehid.

3. Zat pencemar kimia bersumber dari luar gedung Udara luar yang masuk pada suatu bangunan bisa merupakan suatu sumber polusi udara dalam gedung, seperti pengotor dari kendaraan bermotor, pipa ledeng lubang angin dan semua bentuk partikel baik padat maupun cair yang dapat masuk melalui lubang angin atau jendela dekat sumber polutan. Bahan-bahan polutan yang mungkin ada dalam ruangan dapat berupa gas karbon monoksida, nitrogen dioksida dan berbagai bahan organik lainnya. Karbon monoksida dapat timbul pada berbagai proses pembakaran, seperti pemanas ruangan. Gas CO juga dapat masuk ke dalam ruangan melalui asap mobil dan kendaraan lain yang lalu lalang di luar suatu gedung. Kadar CO yang tinggi akan berakibat buruk pada jantung dan otak. Nitrogen oksida juga dapat keluar pada proses memasak dengan kompor gas. Gas ini dapat menimbulkan kerusakan di saluran nafas di dalam paru.

4. Zat pencemar biologi Zat pencemar biologi seperti bakteri, virus dan jamur adalah jenis

pencemar biologi yang berkumpul di dalam pipa saluran udara dan alat pelembab udara serta berasal dari alat pembersih karpet.

5. Faktor fisik lingkungan Temperatur yang tidak cukup, kelembaban dan pencahayaan merupakan faktor fisik pendorong timbulnya SBS. Keluhan tentang temperatur di dalam ruangan terjadi terutama pada bangunan berpendingin, sedangkan kelembaban merupakan jumlah embun di udara (London Hazards Centre, 1990). Pada kelembaban tinggi (diatas 60- 70%) dan dalam temperatur hangat, keringat hasil badan tidak mampu untuk menguap sehingga temperatur ruangan dirasakan lebih panas dan akan merasa

lengket. Ketika kelembaban

20%), temperatur kering, embun menguap dengan lebih mudah dari keringat, sehingga selaput lendir dan kulit,kerongkongan serta hidung menjadi mengering, akibatnya kulit menjadi gatal serta ditandai dengan sakit kepala, kekakuan dan mata mengering.

rendah

(dibawah

3.1.6 Upaya Pencegahan

Pencegahan SBS harus dimulai dari sejak perencanaan sebuah gedung untuk suatu pekerjaan atau kegiatan tertentu, penggunaan bahan bangunan mulai dari fondasi bangunan, dinding, lantai, penyekat ruangan, cat dinding yang dipergunakan, tata letak peralatan yang mengisi ruangan sampai operasional peralatan tersebut.

Perlu kewaspadaan dalam penggunaan bahan bangunan terutama yang berasal dari hasil tambang, termasuk asbes. Dianjurkan agar bangunan gedung didesain berdinding tipis serta memiliki sistem ventilasi yang baik. Pengurangan konsentrasi sejumlah gas/partikel dan micro organisme di dalam ruangan dapat dilakukan dengan pemberian tekanan yang cukup besar di dalam ruangan. Peningkatan sirkulasi udara seringkali menjadi upaya yang Perlu kewaspadaan dalam penggunaan bahan bangunan terutama yang berasal dari hasil tambang, termasuk asbes. Dianjurkan agar bangunan gedung didesain berdinding tipis serta memiliki sistem ventilasi yang baik. Pengurangan konsentrasi sejumlah gas/partikel dan micro organisme di dalam ruangan dapat dilakukan dengan pemberian tekanan yang cukup besar di dalam ruangan. Peningkatan sirkulasi udara seringkali menjadi upaya yang

Bahan-bahan kimia tertentu yang merupakan polutan sumbernya dapat berada didalam ruangan itu sendiri. Bahan-bahan polutan sebaiknya diletakan di dalam ruangan-ruangan khusus yang berventilasi dan di luar area kerja. Sedangkan karpet yang dipergunakan untuk pelapis dinding maupun lantai secara rutin perlu di bersihkan dengan penyedot debu dan apabila dianggap perlu dalam jangka waktu tertentu dilakukan pencucian. Demikian pula pembersihan AC secara rutin harus selalu dilakukan.

Tata letak peralatan elektronik memegang peranan penting. Tata letak yang terkait dengan jarak pajanan peralatan penghasil radiasi elektromagnetik ini tidak hanya dipandang dari segi ergonomic tetapi juga kemungkinan memberikan andil dalam menimbulkan SBS. Kebutuhan para penghuni ruangan untuk merokok tidak dapat dihindari. Perlu disediakan ruangan khusus yang berventilasi cukup, jika tidak memungkinkan untuk meninggalkan gedung. Hal ini untuk mencegah kumulasi asap rokok yang mempunyai andil dalam menimbulkan SBS. Berikut adalah hal yang dapat dilakukan untuk menjaga kualitas udara dalam gedung:

 Kontrol terhadap temperatur ruang dengan memasang

termometer ruangan.  Kontrol terhadap polusi

 Pe asa ga Exhaust Fan (perlindungan

terhadap

kelembaban udara).  Pemasangan stiker, poster

dilara g erokok .  Sistim

ventilasi

dan

pengaturan suhu udara dalam ruang (lokasi udara masuk, ekstraksi udara, filtrasi, pembersihan dan pemeliharaan secara berkala filter AC) minimal setahun sekali, kontrol mikrobiologi serta distribusi

udara u tuk pe egaha pe yakit Legionairre Diseases .

 Kontrol terhadap linkungan (kontrol di dalam/diluar kantor).  Misalnya untuk indoor: penumpukan barang-barang bekas

yang menimbulkan debu, bau dll.  Outdoor: disain dan konstruksi tempat sampah yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan, dll.  Perencanaan jendela sehubungan dengan pergantian udara jika AC mati.  Pemasangan fan di dalam lift.

4. Pencahayaan

Pencahayaan sangat penting dalam kehidupan manusia sehari-hari khususnya pada bangunan, tanpa pencahayaan bangunan akan terasa membosankan dan tidak bernyawa dimana kita akan merasa terhambat dalam melakukan kegiatan kita.

Sumber cahaya ada dua jenis yaitu :  sumber cahaya alami yaitu matahari berperan sebagai penerang alami pada siang hari  sumber cahaya buatan yaitu lampu berperan sebagai penerang buatan pada malam hari

Pencahayaan mempunyai 3 fungsi utama yaitu :  General Lighting yaitu penerangan merata yang menerangi

seluruh ruang  Task Lighting yaitu penerangan setempat untuk mendukung kegiatan tertentu (lampu baca)  Decorative Lighting yaitu penerangan tambahan untuk unsur dekoratif.

4.1. Pengaruh Penerangan di Tempat Kerja