Pengaruh Padat Tebar Terhadap Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Ikan Maskoki (Carrasius auratus)

TINJAUAN PUSTAKA Ikan Maskoki (Carrasius auratus)

  Klasifikasi taksonomi ikan maskoki (Carrasius auratus) (Sayuti, 2003) Kelas : Osteichthyes Ordo : Cypriniformes Sub Ordo : Cyprinoidea Famili : Cyprinidae Genus : Carrasius Spesies : Carrasius auratus

  Menurut pendapat Liviawaty dan Afrianto (1990) jumlah ikan hias asli yang mempunyai nilai ekonomis dan telah berhasil dibudidayakan mencapai sekitar 60 jenis. Diantaranya yang termasuk populer adalah ikan macan, belasak, sumatera, cupang, sepat reli, sepat biru dan ikan marbel. Sedangkan jenis ikan yang didatangkan dari luar diantaranya adalah ikan paradise, adu siam, ambasis, manfish, rabiosa, zebra dan maskoki beserta jenis-jenis turunannya.

  Ikan maskoki adalah ikan domestik paling lama yang pernah dipelihara manusia baik di kolam atau akuarium. Ikan ini juga menjadi lambang ikan hias di Cina dan Jepang, di samping ikan koi. Di pasar atau toko ikan hias, ikan maskoki selalu menjadi pajangan wajib (Kuncoro, 2011). Menurut Sitanggang dan Iskandar (2003) ada beberapa jenis ikan maskoki yang biasa diimpor diantaranya

  

Oranda, Teleskop, Celestial eye, Lion Head, Pearl Scales, Ryukin, Bubble Eyes,

Butterfly, dan Rancu. Berdasarkan bentuk badan dan corak warnanya, pembagian jenis maskoki tidak sulit. Dari jenis-jenis tersebut masih ada banyak turunan dari ikan maskoki. Satu diantara jenis ikan maskoki yang populer adalah ikan maskoki varietas Oranda. Ikan ini memiliki keunikan yang terletak pada kepalanya yang berjambul dan memiliki sirip punggung. Menurut Kuncoro (2011) ikan maskoki

  

oranda ditandai dengan ciri utama adalah bagian kepalanya bewarna merah

  kecuali bagian mata dan mulut. Untuk lebih jelasnya ikan maskoki oranda dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini.

  Gambar 2. Ikan Maskoki Oranda Ikan maskoki juga merupakan hewan omnivora dan bukan hewan kanibal sehingga dapat dipelihara secara koloni dalam satu lingkungan pemeliharaan.

  Kualitas air juga penting diperhatikan agar pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan ikan berjalan optimal. Ikan maskoki dapat hidup hingga umur 30 tahun dengan panjang mencapai 23 inches (58 cm) dan berat mencapai 2,7 kg (Iskandar dan Sitanggang, 2003). Menurut Lesmana (2007) Ikan maskoki yang mempunyai nama dagang gold fish berasal dari Cina. Ikan ini sudah digunakan sebagai ikan hias sejak abad ke-7 dan dapat bertahan hidup pada pH kisaran 6,5-7,5 dan di negara asalnya ikan maskoki mampu bertahan hidup dengan suhu berfluktuasi antara 10 C-36

  C, dengan catatan perubahan suhu tidak mendadak.

  Padat Penebaran

  Menurut Effendi (2004) padat penebaran ikan adalah jumlah ikan atau biomassa yang ditebar per satuan luas atau volume wadah pemeliharaan.

  Sedangkan Setiawan (2009) menyatakan bahwa tingkat padat penebaran akan mempengaruhi keagresifan ikan. Ikan yang dipelihara dalam kepadatan yang rendah akan berenang lebih aktif, sedangkan ikan yang dipelihara dalam kepadatan yang tinggi akan lambat pertumbuhannya karena tingginya tingkat kompetisi dan banyaknya sisa-sisa metabolisme yang terakumulasi dalam media air.

  Kualitas air menurun seiring peningkatan padat tebar yang diikuti dengan penurunan tingkat pertumbuhan. Namun jika kondisi lingkungan dapat dipertahankan dengan baik dan pemberian pakan yang cukup, kepadatan ikan yang tinggi akan meningkatkan produksi. Padat penebaran akan mempengaruhi pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan efisiensi pakan (Suresh dan Lin., 1992). Padat penebaran yang tinggi menyebabkan kebutuhan oksigen dan buangan metabolisme seperti feses, NH 3, dan CO

  2 juga banyak. Dalam Kondisi demikian

  dibutuhkan suplai air yang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan oksigen yang tinggi dan membuang ke luar wadah buangan metabolisme tersebut. Padat penebaran sering kali dijadikan indikator tingkat teknologi yang digunakan dalam suatu kegiatan akuakultur (Effendie, 2004). Dalam penelitian Nugroho (2002) dikatakan bahwa padat penebaran ikan maskoki ukuran 1-2 cm adalah 40-100

  2

  ekor/m di KJA (Keramba Jaring Apung), dan diberi pakan sebanyak 100-200 g/hari maka akan mencapai ukuran 7-8 cm pada masa pemeliharaan 3 bulan.

  Sistem Resirkulasi

  Sumpeno (2005) menyatakan bahwa resirkulasi merupakan sistem aliran air yang mengalir secara terus menerus dalam sebuah wadah pemeliharaan, terdapat filtrasi sebagai penyaring kotoran/limbah, dan menggunakan pompa sebagai energi penggerak. Menurut Handajani dan Hastuti (2002) prinsip resirkulasi ditujukan untuk meningkatkan oksigen terlarut, mengurangi karbondioksida, amoniak dan limbah organik yang dihasilkan ikan. Dengan prinsip ini, kualitas air akan tetap baik untuk kehidupan ikan dan air tidak perlu diganti dalam waktu 3 bulan, kecuali bila dianggap perlu. Sistem ini cocok digunakan pada budidaya ikan secara intensif terutama di daerah dengan lahan dan air terbatas. Kegunaan sistem resirkulasi adalah untuk menghemat air, dan mempermudah pengontrolan lingkungan budidaya. Sistem resirkulasi terdiri dari beberapa bagian, yaitu filter mekanis (mechanical treatment), filter fisik, dan filter biologi.

  Filter Mekanis adalah untuk menurunkan turbiditas di air yang disebabkan oleh mikroroganisme dan partikel lain, untuk menurunkan tingat koloid organik, dan untuk menyingkirkan detritus dari filter biologi (Spotte, 1970 diacu Kiloes, 2004). Menurut Stickney (1979) diacu Kiloes (2004) mengatakan, proses yang terjadi dalam filter biologi adalah proses nitrifikasi dari amoniak mendjadi nitrat.

  Filter mekanik dapat disusun dari beberapa material tertentu, seperti kerikil, pasir, batu zeolit ataupun batu koral. Penggunaan media yang terlalu rapat (misalnya: kerikil dan pasir) pada filter mekanik akan menyebabkan penyumbatan aliran air sehingga akan menimbulkan kondisi anaerobik dan hal ini berbahaya bagi ikan. Meskipun filter mekanik dapat memisahkan kotoran berupa partikel- partikel secara efisien, namun tidak efektif memisahkan partikel-partikel yang terlarut. Untuk itu dibutuhkan filter biologi/biofilter (Armansyah, 2010).

  Menurut Sumpeno (2005) penggunaan zeolit dalam sistem resirkulasi dapat mengurangi amoniak terlarut di dalam air. Zeolit adalah alumina-silikat (SiO

  4 dan AlO 4 ) dengan struktur kerangka berpori yang berisi kation dan molekul

  air. Dalam sistem resirkulasi, peranan zeolit penting sebagai absorban, yang mengikat sejumlah molekul dan gas yang berbahaya dalam perairan budidaya (misalnya amoniak)

  Pertumbuhan

  Menurut Effendie (2002) pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi adalah pertambahan jumlah. Huet (1971) diacu Solehudin (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan bergantung pada sejumlah faktor internal seperti keturunan, umur, kemampuan memanfaatkan makanan dan ketahanan terhadap penyakit serta faktor eksternal seperti suhu, kandungan zat-zat terlarut, asam amino (jumlah, komposisi dan kelengkapannya) yang terdapat didalam suatu perairan dan ruang gerak yang tersedia bagi ikan.

  Peningkatan kepadatan akan diikuti dengan penurunan pertumbuhan dan jika telah sampai pada batas tertentu pertumbuhannya akan terhenti. Hal tersebut dapat dicegah dengan penentuan padat penebaran yang sesuai dengan daya dukung lingkungan (Setiawan, 2009). Sedangkan Wicaksono (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan terjadi apabila ikan hidup pada lingkungan yang optimum (suhu, pH dan oksigen) serta kebutuhan makanan yang mencukupi.

  Kelangsungan Hidup

  Menurut Effendie (2002) derajat kelangsungan hidup adalah persentase ikan yang hidup dari seluruh ikan yang dipelihara dalam suatu wadah. Menurut Hepher dan Pruginin (1981) diacu Setiawan (2009) tingkat kelangsungan hidup ikan adalah nilai persentase jumlah yang hidup selama masa pemeliharaan tertentu. Padat penebaran ikan yang tinggi dapat mempengaruhi lingkungan budidaya dan interaksi ikan. Peningkatan padat penebaran akan menggangu proses fisiologi dan tingkah laku ikan yang pada akhirnya dapat menurunkan kondisi kesehatan. Akibat lanjut dari proses tersebut adalah penurunan pemanfaatan makanan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Penyakit dan kekurangan oksigen akan mengurangi jumlah ikan secara drastis, terutama ikan yang berukuran kecil.

  Menurut Wicaksono (2005) kebutuhan oksigen ikan bervariasi tergantung jenis, umur dan kondisi alami. Ikan kecil biasanya mengkonsumsi oksigen yang lebih besar dibandingkan ikan dewasa. Penurunan kelarutan oksigen secara kronis dapat menyebabkan stress pada ikan. Sedangkan Wedemeyer (1996) diacu Irliyandi (2008) menyatakan bahwa respon stres terjadi dalam tiga tahap yaitu tanda adanya stres, bertahan, dan kelelahan. Ketika ada stres dari luar ikan mulai mengeluarkan energinya untuk bertahan dari stres. Stres meningkat cepat ketika batas daya tahan ikan telah tercapai atau terlewati. Dampak stres ini mengakibatkan daya tahan tubuh ikan menurun dan selanjutnya terjadi kematian. Gejala ikan sebelum mati yaitu warna tubuh menghitam, gerakan tidak berorientasi, dan mengeluarkan lendir pada permukaan kulitnya.

  Kualitas Air

  Kualitas air merupakan faktor utama yang mempengaruhi kelangsungan hidup serta pertumbuhan dari segala jenis ikan. Menurut Effendie (2002) ada banyak parameter fisika dan kimia kualitas air yang mempengaruhi diantaranya :

  Suhu

  Suhu merupakan satu diantara faktor penting yaitu sebagai controling

  factor yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan. Ikan

  merupakan hewan berdarah dingin (poikilothermal), yakni suhu tubuh dipengaruhi suhu lingkungan habitatnya sehingga metabolisme tergantung dari suhu lingkungannya (Panjaitan, 2004). Sedangkan menurut Effendie (2003) peningkatan suhu dapat menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi

  o

  oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat.

  Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering tidak mampu mempengaruhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Meningkatnya suhu air dan aktifitas metabolisme mengakibatkan DO menurun dan akhirnya dapat menyebabkan kematian pada ikan maskoki, sehingga perlu dilakukan pengaturan tingkat kepadatan ikan maskoki agar tetap sesuai dengan laju metabolisme di dalam wadah pemeliharaan.

  Maskoki merupakan satu diantara jenis ikan yang hidup di air tawar.

  o

  Maskoki dapat hidup di perairan dengan suhu yang berkisar antara 12-30

  C. Di daerah yang mempunyai empat musim (musim semi, panas, gugur dan dingin), maskoki melakukan aktifitasnya pada musim semi, yaitu ketika suhu mencapai

  o

  sekitar 12-20

  C. Sedangkan di daerah tropis maskoki lebih produktif karena suhu

  o

  lingkungannya lebih hangat yaitu sekitar 23-29 C (Liviawatty dan Afrianto, 1990) hal tersebut juga sesuai dengan Kuncoro (2011) yang menyatakan bahwa ikan

  o

  hias yang berasal dari daerah tropis biasanya hidup pada rentang suhu 24-29 C.

   Oksigen Terlarut

  Menurut Liviawatty dan Afrianto (1990) persediaan oksigen di dalam air yang digunakan untuk memelihara maskoki harus mencukupi, karena oksigen diperlukan untuk membantu kelangsungan metabolisme. Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing), dan pergerakan (turbulance) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang mencemari air. Menurut Lesmana (2007) nilai oksigen terlarut yang baik untuk ikan maskoki adalah 5,0 -8,0 ppm.

  pH (Potensial of Hidrogen)

  Kuncoro (2011) menyatakan bahwa pH atau Potensial of Hidrogen adalah derajat keasaman. Nilainya berkisar antara 1-14, dan pH air netral adalah 7.

  Dibawah angka tersebut adalah air asam, sedangkan di atas angka tersebut adalah basa. Naik-turunnya pH air dipengaruhi oleh beberapa faktor. Cangkang koral, batu karang laut, dan beragam bebatuan dari bahan yang mengandung kapur atau Ca akan bereaksi dengan air sehingga menaikkan pH air sedangkan proses nitrifikasi (penguraian aktivitas bakteri pengurai di akuarium), respirasi (ikan bernafas), dan fotosintesis akan membuat air menjadi asam.

  Kondisi air yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion Aluminium. Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat toksik bagi organisme (Barus, 2004). Mackereth, dkk (1989) diacu Effendi (2003) berpendapat bahwa pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Pada pH <5, alkalinitas dapat mencapai nol.

  Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas.

  Air yang bersifat netral atau sedikit basa dapat digunakan dengan aman. Air dengan derajat keasaman (pH) 6,5-8,5 cocok untuk membudidayakan maskoki. Diatas atau dibawah angka tersebut dapat membahayakan kelangsungan hidup maskoki yang dipelihara (Liviawaty dan Afrianto., 1990).

  Amoniak

  Menurut Liviawaty dan Afrianto (1990) pencemaran air dari hasil eksresi (proses pengeluaran zat yang tidak digunakan oleh tubuh) dan sisa makanan dari maskoki dapat menurunkan kualitas air. Penimbunan polutan (zat yang menyebabkan terjadinya pencemaran), sehingga perlu dilakukan pergantian air kolam untuk mencegah keracunan pada maskoki.

  Penguraian zat nutrisi dari sumber makanan yaitu protein dan lemak menjadi masalah dalam perairan terutama protein yang berupa amonium dan amoniak. Kandungan amoniak di dalam air dipengaruhi oleh nilai pH air. Semakin tinggi nilai pH akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi amoniak yang bersifat toksik bagi perairan (Barus, 2004).

  Menurut Sumpeno (2005) meningkatnya konsentrasi amoniak selain disebabkan oleh semakin tingginya padat penebaran, juga dipengaruhi oleh waktu (masa) pemeliharaan sampai dengan periode tertentu. Terjadinya penurunan kualitas air akibat melimpahnya kandungan amoniak dalam wadah budidaya dapat membahayakan organisme budidaya, karena bersifat toksik. Adanya sistem resirkulasi dapat membantu menjaga kualitas air dengan baik dengan filtrasi, ataupun debit air yang membantu suplai oksigen.