BAB II - Gambaran Pola Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan pada Keluarga Perokok di Kecamatan Berastagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Konsumsi Pangan Konsumsi Pangan adalah sejumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi seseorang, kelompok, atau penduduk untuk memenuhi kebutuhan gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi pangan merupakan salah satu komponen dalam sistem pangan dan gizi. Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup dan seimbang menjadi syarat bagi perkembangan organ fisik manusia sejak dalam kandungan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap perkembangan intelegensia maupun kemampuan fisiknya. Karena itu kualitas sumber daya manusia dipengaruhi oleh keadaan status gizinya.

  Konsumsi pangan secara langsung berpengaruh terhadap status gizi, disamping kemampuan tubuh dalam absorbsi dan menggunakan zat gizi tersebut.

  Kebutuhan gizi setiap orang berbeda, tergantung dari umur, jenis kelamin, tingkat aktivitas (ringan, sedang, dan berat), dan keadaan fisiologis tubuh. Setiap orang perlu mengonsumsi zat gizi sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan standar gizi yang telah ditentukan yang disebut sebagai Angka Kecukupan Gizi. Rata-rata kebutuhan konsumsi pangan seseorang untuk hidup sehat yaitu 2000 kkal/kap/hari untuk energi dan 52 gram/kap/hari untuk protein (Sibuea, 2012).

  Konsumsi pangan yang berlebihan akan mengakibatkan seseorang mengalami gizi lebih dan sebaliknya jika konsumsi pangan yang kurang dari kebutuhan dalam jangka waktu tertentu maka akan menyebabkan gizi kurang atau gizi buruk. Kejadian gizi kurang dan gizi buruk yang kebanyakan terjadi di usia balita (0-5 tahun) akan berdampak buruk bagi masa depan anak, sebab

  10 kekurangan gizi akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut. Demikian pula jika gizi lebih terjadi pada usia balita, remaja, ataupun dewasa akan meningkatkan prevalensi kejadian penyakit degenaratif (Suhardjo, 1986).

  Menurut Baliwati (2004), konsumsi pangan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis, maupun sosial. Kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat, atau suatu bangsa/negara berpengaruh kuat dan kekal terhadap apapun dan bagaimana penduduk makan. Pola kebudayaan memengaruhi seseorang dalam memilih pangan, jenis pangan yang diproduksi, cara pengolahannya, penyaluran, penyiapan, dan penyajian.

  Jumlah pangan, jenis pangan, dan banyaknya bahan pangan dalam suatu pola makanan yang ada disuatu daerah tertentu, biasanya berkembang dari pangan setempat atau hasil produksi setempat dalam jangka waktu yang cukup lama. Pangan pokok yang digunakan oleh suatu negara atau daerah biasanya menempati kedudukan yang tinggi. Penggunaan pangan tersebut lebih luas dari pada pangan yang lainnya, besar kemungkinannya berkembang karena merupakan hasil dari produksi setempat atau setelah dibawa ke tempat tersebut tumbuh dengan cepat.

  Selain itu, tamanan tersebut menghasilkan pangan dalam jumlah besar selama musim tanam yang panjang dan dapat disimpan dengan mudah dalam jangka waktu yang panjang.

  Konsumsi zat gizi sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi pangan atau dapat disebut kebiasaan makan. Kebiasaan makan di setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan kebiasaan penduduk setempat. Cara atau kebiasaan makan yang salah dapat berpengaruh negatif terhadap tingkat pertumbuhan yang pada akhirnya menyebabkan gangguan gizi dan menurunnya produktifitas kerja (Badan Bimas Ketahanan Pangan dalam Rosida, 2011).

  2.1.1 Pemantauan Konsumsi Pangan Pemantauan konsumsi pangan penduduk pertama kali dilakukan oleh

  Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan pada tahun 1995 yang dikenal dengan Survei Konsumsi Gizi. Survei tersebut dilakukan secara periodik untuk kepentingan pelaksanaan program perbaikan gizi sampai tingkat kabupaten/kotamadya, sehingga informasi konsumsi dapat dipantau secara berkesinambungan (Depkes, 1999 dalam Sembiring, 2002).

  Secara khusus survei konsumsi gizi bertujuan untuk: 1) diperolehnya gambaran tingkat konsumsi khususnya energi dan protein di tingkat kecamatan, 2) tersedianya informasi perubahan tingkat konsumsi gizi di tingkat kecamatan yang diperlukan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, 3) tersedianya informasi skor mutu konsumsi pangan penduduk dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (Aritonang, 2000 dalam Sembiring, 2002).

  Menurut Depkes (1999) dalam Sembiring (2002), informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk perencanaan dan evaluasi program pangan dan perbaikan gizi oleh tingkat kabupaten maupun provinsi. Tersedianya informasi mengenai tingkat konsumsi pangan dan skor PPH bermanfaat bagi tingkat kabupaten/kotamadya untuk mengetahui besar dan luasnya masalah konsumsi pangan di kecamatan dan kelompok desa serta melihat perkembangan dan keragaman konsumsi pangan.

  Tersedianya informasi mengenai distribusi kabupaten menurut tingkat konsumsi gizi dan skor PPH di tingkat provinsi digunakan sebagai perbandingan antar kabupaten/kotamadya. Informasi mengenai perkembangan tingkat konsumsi pangan dan skor PPH setiap tahunnya dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan yang terjadi apakah mengalami peningkatan atau penurunan, serta kesesuaian dengan AKG maupun skor PPH.

  2.2 Pola Konsumsi Pangan Menurut Departemen Pertanian (2005) dalam Arbaiyah (2013), pola konsumsi pangan adalah sejumlah makanan dan minuman yang dimakan atau diminum seseorang atau sekelompok orang atau penduduk dalam rangka memenuhi kebutuhan hayati. Sedangkan menurut Suhardjo (1986), pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah pangan rata- rata perorang perhari yang umum dikonsumsi penduduk dalam jangka waktu tertentu.

  Menurut BKP (2005) dalam Rosida (2011), jenis pangan atau kelompok pangan dalam Pola Pangan Harapan terdiri dari sembilan kelompok antara lain: 1) Padi-padian (beras, jagung, tepung terigu, gandum, dan lain-lain), 2) Umbi- umbian (ubi jalar, kentang, singkong, talas, wortel, dan lain-lain), 3) Pangan Hewani (daging ruminansia, daging unggas, telur, susu, ikan, dan lain-lain), 4) Minyak dan Lemak (minyak kelapa, minyak sawit, minyak jagung, dan lain-lain), 5) Buah/Biji Berminyak (kelapa, kemiri, dan lain-lain), 6) Kacang-kacangan (kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, kacang merah), 7) Gula (gula aren, gula pasir, dan lain-lain), 8) Sayur dan Buah (sayur-sayuran dan buah-buahan), dan 9) Lain-lain (minuman, bumbu, dan lain-lain).

  Secara umum pola konsumsi pangan masyarakat di Indonesia diwarnai dengan berbagai jenis-jenis bahan makanan yang umum dan dapat diproduksi setempat. Misalnya, penduduk nelayan di daerah-daerah pantai, ikan merupakan makanan yang dipilih sehari-hari karena dapat dihasilkan sendiri. Masyarakat daerah pertanian padi, maka pola konsumsi pangan pokok mereka adalah beras. Daerah-daerah yang produksi utamanya adalah jagung, seperti Madura dan Jawa Timur bagian Selatan berpola pangan pokok jagung. Dan beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur masyarakatnya berpola pangan ubi kayu yang merupakan produksi utama mereka (Suhardjo, 1986).

  Perilaku konsumsi pangan masyarakat dilandasi oleh kebiasaan makan (food habit) yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga melalui proses sosialisasi. Kebiasaan makan tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan ekologi suatu daerah seperti ciri tanaman pangan, ternak, atau ikan yang tersedia dan dapat dibudidayakan di daerah tersebut (Arbaiyah, 2013).

  Pola konsumsi pangan masyarakat dapat menunjukkan tingkat keberagaman pangan masyarakat yang diamati dari parameter pola pangan harapan (PPH). Pola makan atau kebiasaan makan yang terdapat dalam suatu masyarakat dapat dicermati melalui adanya pantangan atau larangan atau tabu.

  Biasanya, pangan pantangan ini ditujukan pada anak kecil, ibu hamil, dan ibu menyusui. Padahal mereka merupakan kelompok penduduk yang rawan gizi (Baliwati, 2004).

  Penganekaragaman konsumsi pangan bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi dan mengurangi ketergantungan konsumsi pangan pada salah satu jenis atau kelompok pangan. Berbagai penelitian menunjukkan keanekaragaman pangan dapat meningkatkan konsumsi berbagai antioksidan pangan, konsumsi serat, dan menurunkan risiko hiperkolesterol, hipertensi, dan penyakit jantung koroner. Penganekaragaman pangan akan berdampak pada perbaikan kesehatan penduduk (Hardinsyah, 1996 dalam Baliwati, 2004).

  Menurut Departemen Pertanian (2013), ada empat faktor pendukung utama yang memengaruhi pola konsumsi pangan antara lain: (1) ketersediaan; (2) kondisi sosial ekonomi; (3) letak geografis daerah (desa-kota); dan (4) karateristik rumah tangga. Ketersediaan pangan secara makro (nasional/tingkat wilayah) sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya produksi pangan dan distribusi pangan di daerah tersebut. Sedangkan ketersediaan pangan secara mikro (tingkat rumah tangga) dipengaruhi oleh pendapatan atau daya beli rumah tangga tersebut. Selanjutnya, kondisi sosial ekonomi masyarakat dilihat dari tingkat pendapatan, harga pangan dan nonpangan, selera, dan kebiasaan makan. Letak geografis dapat ditinjau dengan melihat lokasi desa-kota dari rumah tangga yang bersangkutan. Dan yang terakhir yaitu karateristik rumah tangga dilihat dari struktur umur, jenis kelamin, pendidikan, dan lapangan pekerjaan.

  Menurut Suhardjo (1986), faktor-faktor yang memengaruhi pola konsumsi pangan ada tiga faktor yaitu: 1) ketersediaan pangan, 2) pola sosial budaya, 3) faktor-faktor pribadi. Ketersediaan pangan dipengaruhi oleh produksi pangan, dimana produksi sangat dipengaruhi oleh cara bertani, mutu dan luas lahan, pola penguasaan lahan, pola pertanaman, tempat tinggal, perangsang produksi, peranan sosial, dan tingkat pendapatan (Baliwati, 2004). Pola sosial budaya terdiri dari pola makanan, pembagian makanan dalam keluarga, besar keluarga, dan akseptabilitas. Sedangkan faktor-faktor pribadi terdiri dari pengetahuan gizi, preferensi, dan status kesehatan.

  2.3 Pola Pangan Harapan Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH). PPH tidak hanya berperan sebagai standar dalam mengukur pemenuhan kecukupan gizi namun juga sebagai pedoman dalam meningkatkan keseimbangan gizi yang didukung oleh cita rasa, daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas, dan kemampuan daya beli. Melalui pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan (dietary score), sehingga semakin tinggi skor mutu pangan hal ini menunjukkan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisinya (BKP, 2013).

  Pola pangan harapan adalah susunan pangan yang beragam yang didasarkan pada sumbangan energi baik secara absolut maupun relatif dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. PPH pertama kali diperkenalkan oleh FAO-RAPA tahun 1989 yang dikenal dengan Desirable Dietary Pattern, yang didefenisikan sebagai komposisi pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. Tujuan utama disusunnya PPH yaitu untuk membuat suatu reasionalisasi pola konsumsi pangan yang dianjurkan yang terdiri dari kombinasi keanekaragaman pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai cita rasa (FAO-RAPA, 1989 dalam Sembiring, 2002).

  Pola pangan ini dapat digunakan sebagai ukuran keseimbangan dan keanekaragaman gizi. Terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, secara implisit akan memenuhi hampir semua kebutuhan zat gizi, kecuali pada zat gizi yang sangat defisit pada suatu kelompok pangan. Oleh karena itu skor PPH dapat mencerminkan mutu gizi dan keragaman konsumsi pangan. Disamping itu dalam pemberian nilai bobot setiap kelompok pangan, telah dipertimbangkan kepadatan energi, zat gizi esensial, zat gizi mikro, kandungan serat, volume pangan, dan tingkat kelezatan (Hardinsyah, 2001 dalam Arbaiyah, 2013).

  Pangan dalam PPH, dikelompokkan menjadi sembilan kelompok pangan. Diantaranya yaitu: 1) padi-padian yang terdiri dari beras, jagung, terigu, dan lainnya; 2) umbi-umbian yang terdiri dari kentang, ubi kayu, ubi jalar, sagu, talas, dan lainnya; 3) pangan hewani yang terdiri dari ikan, daging, telur, susu, dan lemak hewani; 4) lemak dan minyak yang terdiri dari minyak kelapa, minyak jagung, minyak kelapa sawit, dan margarin; 5) buah biji berminyak yang terdiri dari kelapa, kemiri, kenari, mete, dan coklat; 6) kacang-kacangan yang terdiri dari kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan lainnya; 7) gula yang terdiri dari gula pasir, gula merah, dan lainnya; 8) sayur dan buah yang terdiri dari seluruh jenis sayur dan buah yang dapat dan biasa dikonsumsi manusia; 9) lain-lain terdiri dari kopi, teh, bumbu makanan, dan minuman beralkohol.

  Skor pangan dalam metode PPH diperoleh dari hasil perkalian antara tingkat kontribusi energi kelompok pangan dengan bobotnya. Tabel 2.9 dibawah ini merupakan bobot dari setiap kelompok pangan yang sudah ditetapkan oleh FAO-RAPA (1989) yang didasarkan pada konsentrasi energi, kepadatan energi, zat gizi esensial, zat gizi mikro, kandungan serat, volume pangan, dan tingkat kelezatan.

Tabel 2.1 Kriteria Pemberian Bobot Untuk Setiap Kelompok Pangan No. Kelompok Pangan Bobot Kriteria

  1 Padi-padian 0,5 Konsentrasi energi

  2 Umbi-umbian 0,5 Konsentrasi energi

  

3 Pangan Hewani 2,0 Zat gizi esensial, citarasa, kepadatan energi

  4 Lemak dan minyak 1,0 Konsentrasi energi

  5 Buah dan biji berminyak 0,5 Konsentrasi energi

  6 Kacang-kacangan 2,0 Nilai gizi pemakan nabati

  7 Gula 0,5 Konsentrasi energi

  8 Sayur dan buah 2,0 Zat gizi mikro, volume, kandungan serat

  9 Lain/lain 0,0 Penambah citarasa Sumber: FAO-RAPA (1989) dalam Sembiring 2002

  Berdasarkan kesepakatan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998 yang menggunakan bobot atau rating FAO RAPA (1989) yang terus disempurnakan menjadi Pola Pangan Harapan (PPH) yang disepakati bahwa tahun 2020 skor mutu pangan yang ideal untuk hidup sehat bagi penduduk Indonesia adalah 100. Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG

  VIII) tahun 2004, susunan Pola Pangan Harapan untuk kebutuhan konsumsi per orang per hari sebesar 2000 kalori adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2 Susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Berat Energi No. Kelompok Pangan % (AKG) (gr/kap/hari) (kkal/kap/hari)

  1 Padi-padian 275 1000

  50

  2 Umbi-umbian 100 120

  6

  3 Pangan hewani 150 240

  12

  4 Lemak dan minyak 20 200

  10

  5 Buah dan biji berminyak

  

10

  60

  3

  6 Kacang-kacangan 35 100

  5

  7 Gula 30 100

  5

  8 Sayur dan buah 250 120

  6

  • -

    9 Lain-lain

  60

  3 Total 2000 100 Sumber: BKP Kementerian Pertanian dalam Sibuea, 2012 (diolah)

  Suhardjo (1998) dalam Sembiring (2002) melakukan penilaian terhadap keberhasilan diversifikasi pangan berdasarkan skor mutu PPH yang dicapai dengan kategori sebagai berikut ini: a. Segitiga Perunggu Skor mutu pangan = < 78, dengan ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Energi dari padi-padian dan umbi-umbian masih tinggi diatas norma PPH.

  2. Energi dari pangan hewani, sayur, dan buah serta kacang-kacangan masih rendah dibawah norma PPH.

  3. Energi dari minyak dan gula relatif sudah memenuhi norma PPH.

  b. Segitiga Perak Skor mutu pangan = 78 – 87, dengan ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Energi dari padi-padian dan umbi-umbian makin menurun, namun masih diatas norma PPH.

  2. Energi dari pangan hewani, sayur, dan buah masih rendah dibawah norma PPH masing-masing antara 8-12% dan 4-5%.

  3. Energi dari minyak, kacang-kacangan, dan gula relatif sudah memenuhi norma PPH.

  c. Segitiga Emas

  1. Energi dari padi-padian dan umbi-umbian sedikit diatas norma PPH atau relatif sama.

  2. Energi dari pangan hewani diatas 12% atau relatif sama dengan norma PPH.

  3. Energi dari kelompok pangan lain sudah memenuhi norma PPH.

2.3.1 Penilaian Situasi Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH

  Menurut BKP (2013), penilaian situasi konsumsi pangan dilakukan dengan menganalisis dua aspek penilaian yaitu aspek kuantitas konsumsi (% AKE) dan aspek kualitas konsumsi (mutu konsumsi – skor PPH).

  1. Aspek Kuantitas Penilaian aspek kuantitas ditinjau dari volume pangan yang dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung bahan pangan. Digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan sudah dapat memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat yang dikenal dengan Angka Kecukupan Gizi.

  Parameter yang digunakan untuk menilai kuantitas konsumsi pangan masyarakat yaitu Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan Tingkat Kecukupan Protein (TKP). Beberapa studi menyebutkan bahwa jika konsumsi energi dan protein sudah terpenuhi dan sesuai dengan norma atau angka kecukupan gizi dan konsumsi pangan beragam, maka kebutuhan akan zat-zat gizi lain juga akan terpenuhi dari konsumsi pangan.

  2. Aspek Kualitas Penilaian pada aspek kualitas lebih ditekankan pada penganekaragaman pangan, bukan hanya keragaman makanan pokok saja namun juga keragaman jenis pangan yang lainnya. Semakin beragam dan seimbang pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizinya, karena pada hakekatnya tidak ada satu jenis pangan yang mengandung semua zat gizi. untuk menilai keanekaragaman pangan digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Semakin tinggi skor PPH yang didapatkan dari perhitungan skor mutu PPH menunjukkan konsumsi pangan semakin beragam dan komposisinya semakin baik atau berimbang.

2.3.1.1 Kecukupan Energi Rata-Rata Keluarga

  Menurut Hardinsyah (1992), untuk menilai tingkat konsumsi energi rata- rata suatu keluarga atau rumah tangga (bukan individu) diperlukan Angka Kecukupan Energi Rata-rata keluarga (AKERK). Sedangkan Angka Kecukupan Energi Keluarga (AKEK) diperlukan untuk menyusun menu keluarga. AKEK merupakan penjumlahan Angka Kecukupan Energi Individu dari setiap anggota keluarga yang mengonsumsi makanan dalam suatu keluarga atau rumah tangga.

  Dalam menaksir AKEK dapat dilakukan dengan cara Unit Konsumen dengan menggunakan konsumen tertentu sebagai patokan kecukupan energi, biasanya digunakan pria dewasa dengan nilai 1,000 yang setara dengan 2700 kal/org/hr. AKE kelompok umur yang lain dibandingkan terhadap AKE patokan ini, sehingga diperoleh nilai-nilai perbandingan kecukupan energi, yang disebut Faktor Unit Konsumen Energi (UE).

  Dengan menggunakan faktor UE dapat dihitung AKEK dan AKERK dengan menggunakan rumus sebagai berikut: = ( ) (2700)

  (∑ ) (2700) =

  Keterangan: AKEK = Angka Kecukupan Energi keluarga AKERK = Angka Kecukupan Rata-Rata Keluarga UEi = Faktor Unit Konsumen Energi dari anggota keluarga ke-i n = jumlah individu yang mengonsumsi makanan dalam suatu keluarga i = individu (anggota keluarga) ke-i yang makan dalam suatu keluarga 2700 = nilai UE sama dengan 1,000

  Tabel di bawah ini merupakan faktor UE yang dihitung berdasarkan hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi 1988, dengan patokan kecukupan energi pria dewasa (20 – 59 tahun), berat badan 56 kg, dan aktivitas sedang. Faktor UE = 1,000 yang setara dengan 2700 kal/org.hr.

Tabel 2.3 Faktor Unit Konsumen Energi (UE) Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur. Kelompok Umur (tahun) Kecukupan Energi (Kal/org/hr) Faktor Unit Konsumen Energi* (1,000 = 2700)

  0,5 – 1 800 0,296 1 – 3 1220 0,452 4 – 6 1720 0,637 7 – 9 1860 0,689

  Pria 10 – 12 1950 0,722 13 – 15 2200 0,815 16 – 19 2360 0,874 20 – 59

  2400/2700/3250** 0,889/1,000/1,204** >= 60 1960 0,726

  Wanita 10 – 12 1750 0,648 13 – 15 1900 0,703 16 – 19 1850 0,685 20 – 59

  1900/2100/2400** 0,704/0,778/0,889** >= 60 1700 0,630

  Tambahan: Hamil 200/245/285** 0,074/0,091/0,106** Menyusui 500 0,185

  Sumber: Hardinsyah & Martianto, 1992

  Keterangan: * = Dihitung berdasarkan Kecukupan Energi hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1988

  • = Disajikan secara berurutan dari kiri ke kanan menurut tingkat kegiatan ringan, sedang, dan berat.

2.3.1.2 Kecukupan Protein Rata-Rata Keluarga

  Untuk menghitung Angka Kecukupan Protein Keluarga (AKPK) dan Angka Kecukupan Protein Rata-Rata Keluarga (AKPRK) juga menggunakan faktor unit konsumen dengan patokan angka kecukupan protein pria atau wanita dewasa. Berikut rumus untuk menghitung AKPK dan AKPRK:

  = ( ) (50) =

  (∑ ) (50) Keterangan: AKPK = Angka Kecukupan Protein Keluarga AKPRK = Angka Kecukupan Protein Rata-Rata Keluarga UPi = Faktor Unit Konsumen Protein bagi anggota keluarga ke-i n = Jumlah anggota keluarga 50 = Nilai UP sama dengan 1,00

Tabel 2.4 di bawah ini merupakan faktor unit konsumen protein (UP) yang dihitung berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1988 dengan

  patokan kecukupan protein pria dewasa, berat badan 56 kg.

Tabel 2.4 Faktor Unit Konsumen Protein (UP) Menurut Kelompok Umur Kelompok Umur (tahun) Kecukupan Protein (gr/org/hr) Faktor Unit Konsumen Protein* (1,00 = 50)

  0,5 – 1 15 0,30 1 – 3 23 0,46 4 – 6 32 0,64 7 – 9 36 0,72

  Pria 10 – 12 45 0,90 13 – 15 57 1,14 16 – 19 62 1,24 20 – 59 50 1,00

  >= 60 50 1,00 Wanita 10 – 12

  49 0,98 13 – 15 57 1,14 16 – 19 47 0,94 20 – 59 44 0,88

  >= 60 44 0,88 Tambahan:

  Hamil 0,24

  Menyusui 0,32 Sumber: Hardinsyah & Martianto, 1992.

  Keterangan: * = Faktor Unit Konsumsi (UP) ini dihitung berdasarkan hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1988

2.3.2 Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan

  Skor mutu PPH dapat ditentukan dengan beberapa cara yaitu sebagai berikut: pertama, mengelompokkan bahan makanan/makanan yang dikonsumsi menjadi 9 kelompok pangan; kedua, menghitung konsumsi energi menurut kelompok pangan dengan bantuan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM); ketiga, menghitung presentase kontribusi energi menurut AKG tiap kelompok pangan terhadap total energi; keempat, prentase masing-masing kelompok dikalikan dengan rating (bobot) menurut FAO (BKP, 2013).

2.4 Keluarga Perokok

  Menurut Hasibuan (1994), keluarga adalah ayah, ibu, dan anak-anak serta famili yang menjadi penghuni rumah. Sedangkan menurut BPS (2000) dalam Arbaiyah (2013), keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal atau hidup dalam satu rumah tangga dan ada ikatan darah. Berdasarkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak.

  Fungsi keluarga sebagai tempat belajar berbagai dasar kehidupan bermasyarakat sangat tepat dijadikan sebagai filter utama untuk membentuk pola hidup sehat guna menjaga ketahanan keluarga. Keluarga yang dibangun dengan dasar yang kuat dan memiliki individu yang sehat akan menjadi keluarga yang berpengaruh kuat dalam pembangunan semua bidang. Karena dengan kondisi keluarga yang sehat, sebuah keluarga akan mencapai tahapan kesejahteraan (Sudaryati, 2013).

  Keluarga yang sehat pada masa sekarang ini sulit untuk dicapai khususnya keluarga kelompok rawan seperti memiliki balita dalam keluarga tersebut.

  Kekurangan konsumsi pangan dan gizi pada masa balita mengakibatkan berbagai kemungkinan penyakit akibat kurang gizi. Kekurangan protein dalam waktu yang lama mengakibatkan pertumbuhan anak terhambat. Anak yang mengalami keadaan seperti ini berat badan dan tinggi badan menurut umurnya rendah (Hardinsyah & Martianto, 1992).

  Keluarga perokok adalah sebuah keluarga dimana satu atau lebih anggotanya merokok baik perempuan maupun laki-laki. Merokok saat ini sudah menjadi kebiasaan sebagian besar orang dewasa, kebanyakan dari mereka yaitu laki-laki. Sebagai kepala keluarga sering sekali mereka tidak menyadari bahwa rokok yang mereka hisap tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri namun juga berdampak buruk bagi anggota keluarganya yang lain, khususnya anggota keluarga yang merupakan kelompok rawan seperti balita, ibu hamil, dan anak usia sekolah.

  Secara langsung nikotin dengan ribuan bahaya beracun yang berasal dari asap rokok akan masuk ke dalam saluran pernapasan bayi dan dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan. Selain itu, racun dari nikotin yang berasal dari asap rokok juga dapat masuk ke dalam tubuh yang masih menyusu dari ibu yang telah terpapar oleh asap rokok tersebut. Sehingga racun tersebut akan terakumulasi di dalam tubuh bayi dan tentu saja membahayakan kesehatan si kecil (Hidayat, 2005 dalam Trisnawati & Juwarni, 2012).

  Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Oktaviasari (2010), menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan terhadap kebiasaan ayah

  (kepala keluarga) dengan status gizi balita. Sehingga menurutnya, perlu adanya kesadaran orangtua terutama ayah untuk dapat membatasi pengeluaran rokok dan kebiasaan merokok agar anak bisa mendapat asupan gizi sesuai dengan kebutuhannya.

  Kebiasaan merokok yang lama dan merupakan suatu kebudayaan bagi Suku Karo akan sulit untuk diubah. Namun jika tidak segera diubah maka akan berdampak bagi kualitas SDM di masa depan yang akan terlihat dalam jangka waktu yang cukup lama. Karena itu sebuah keluarga yang mempunyai anggota perokok perlu diperhatikan bagaimana pola konsumsi keluarga tersebut. Karena jika kebiasaan merokok ditambah dengan pola konsumsi yang tidak baik dan tidak sesuai dengan yang dianjurkan akan memperburuk status gizi keluarga nantinya.

  Menurut Hardinsyah (1996) dalam Baliwati (2004), konsumsi pangan yang beragam dapat meningkatkan konsumsi berbagai antioksidan yang berasal dari pangan. Jadi ketika keluarga perokok mempunyai pola makan yang sehat dan beragam akan dapat mengurangi dampak kesehatan yang diakibatkan oleh rokok.

  Namun meskipun demikian mengurangi atau bahkan berhenti untuk merokok akan jauh lebih baik.

2.4.1 Karateristik Keluarga Perokok Setiap keluarga mempunyai perbedaan dalam hal konsumsi pangan.

  Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan karateristik setiap rumah tangga, seperti pengeluaran pangan dan non pangan, pendapatan, pendidikan, pekerjaan, dan jumlah anggota keluarga. Berdasarkan penelitian Akmal (2005) mengenai analisis pola konsumsi keluarga di Kecamatan Tallo menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor kondisi sosial ekonomi keluarga

  (pendapatan, jenis pekerjaan, pendidikan, dan ukuran keluarga) dengan pola konsumsi keluarga.

  Pendapatan merupakan salah satu faktor penting yang diduga sebagai determinan dalam keragaman konsumsi pangan. Pendapatan dikaitkan dengan daya beli pangan yang biasanya didefinisikan sebagai kemampuan ekonomi rumah tangga untuk memeroleh bahan pangan berdasarkan besarnya alokasi pendapatan untuk pangan, harga pangan yang dikonsumsi, dan jumlah anggota rumah tangga (Hardinsyah, 2007 dalam Arbaiyah, 2013).

  Apabila tingkat pendapatan meningkat maka jumlah dan jenis makanan cenderung membaik pula. Peningkatan pendapatan tidak hanya akan meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan dan peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi, tetapi juga terjadi peningkatan konsumsi di luar rumah. Jika pendapatan meningkat maka presentasi pengeluaran untuk pangan semakin kecil (Suhardjo, 1986).

  Menurut Marsetyo (1995), pendapatan yang dihasilkan oleh kepala keluarga atau anggota keluarga yang bekerja harus dibagi-bagi untuk berbagai macam keperluan. Akibatnya, nominal untuk pangan semakin kecil. Apalagi untuk rumah tangga yang memiliki anggota keluarga yang merokok, akan menurunkan pengeluaran terhadap pangan akibat pengeluaran rokok yang tinggi. Hal ini dikhawatirkan akan menurunkan kualitas dan kuantitas pangan pada keluarga perokok.

  Selain pendapatan, pendidikan seorang ibu rumah tangga juga ikut memengaruhi pola konsumsi pangan dalam rumah tangga. Menurut Hardinsyah (2007) dalam Arbaiyah (2013), semakin tinggi pendidikan seseorang maka akses terhadap informasi mengenai gizi juga semakin tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa ibu dengan pendidikan tinggi cenderung untuk tertarik terhadap informasi gizi lebih tinggi. Sehingga dapat dipastikan bahwa pengetahuan ibu yang semakin bertambah mengenai gizi akan memengaruhinya untuk mengubah pola pangan keluarganya ke arah yang lebih baik.

  Marsetyo (1995) mengatakan bahwa meskipun sebuah keluarga berpenghasilan rendah namun apabila mereka berpendidikan dan memiliki pengetahuan mengenai gizi maka mereka akan dapat menyusun suatu hidangan makanan yang mempunyai kandungan dan nilai gizi tinggi. Demikian pula sebaliknya, walaupun sebuah rumah tangga berpenghasilan tinggi tetapi tidak memiliki pengetahuan mengenai gizi maka makanan yang mereka konsumsi meski kelihatan lezat namun dapat merusak tubuh mereka.

  Demikian pula halnya dengan keluarga perokok. Meskipun kebiasaan merokok memang sulit untuk dihilangkan namun jika ibu rumah tangga yang berperan banyak terhadap konsumsi pangan keluarga memiliki pengetahuan mengenai gizi yang tinggi akan dapat menyusun menu keluarganya dengan baik dengan meningkatkan pangan sumber antioksidan untuk menjaga kesehatan anggota keluarganya.

  Jumlah anggota keluarga juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan dalam keluarga. Menurut BPS (2001) dalam Arbaiyah (2013), besarnya keluarga atau rumah tangga menyatakan seluruh anggota yang menjadi tanggungan dalam keluarga tersebut yang dapat memberi indikasi beban rumah tangga. Semakin tinggi besaran keluarga berarti semakin banyak anggota keluarga yang selanjutnya akan meningkatkan berat beban rumah tangga tersebut dalam memenuhi kebutuhannya.

  Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara laju kelahiran tinggi dengan gizi kurang. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka pangan untuk setiap anak akan berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa zat gizi yang diperlukan oleh anggota keluarga yang merupakan kelompok rawan pada umumnya memerlukan pangan bergizi yang lebih banyak daripada anggota keluarga lainnya (Suhardjo, 1986).

  Berbagai kajian telah membuktikan semakin besar sebuah keluarga maka angka kejadian gizi kurang semakin tinggi. Pada umumnya kasus ini terjadi pada keluarga miskin. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka pembagian makanan semakin sedikit sehingga tidak akan mungkin untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga.

2.5 Kerangka Konsep

  Pola konsumsi pangan keluarga perokok dipengaruhi oleh karateristik keluarga tersebut seperti pendapatan (pengeluaran pangan, pengeluaran non pangan, dan pengeluaran rokok), pendidikan ibu, dan jumlah anggota rumah tangga. Pola konsumsi pangan terdiri dari jenis pangan, jumlah pangan dalam bentuk kecukupan energi dan kecukupan protein rata-rata keluarga, dan frekuensi makan keluarga. Sedangkan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi keluarga akan memengaruhi tinggi/rendahnya skor PPH pada keluarga perokok.

  Karateristik Keluarga Perokok

  1. Pendapatan

  a. Pengeluaran pangan

  b. Pengeluaran non pangan c. Pengeluaran rokok

  2. Pendidikan ibu

  3. Jumlah anggota keluarga

  Jenis Pangan Skor PPH Jumlah Pangan

  1. Tingkat kecukupan

  Pola Konsumsi energi rata-rata

  keluarga

  Pangan Keluarga

  2. Tingkat kecukupan

  Perokok

  protein rata-rata keluarga

  Frekuensi Makan