BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stres - Perbandingan Reminiscence Therapy dan Problem Solving Therapy untuk Menurunkan Stres Pada Penderita Gagal Jantung

   

 

     

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stres Stres dalam arti secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang. Dalam bahasa sehari – hari stres di kenal sebagai stimulus atau respon yang

  menuntut individu untuk melakukan penyesuaian. Sarafino (1994) mengartikan stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang.

  Ivancevich (2001), mendefinisikan stres sebagai respon adaptif yang dimediasi oleh perbedaan individu dan proses psikologi yang merupakan konsekuensi dari keadaan eksternal, situasi atau kejadian yang berdampak pada keadaan fisik atau psikologis seseorang. Wijono (1997), Stres adalah reaksi alami tubuh untuk mempertahankan diri dari tekanan secara psikis. Tubuh manusia dirancang khusus agar bisa merasakan dan merespon gangguan psikis ini.

  Tujuannya agar manusia tetap waspada dan siap untuk menghindari bahaya.

  Menurut Lazarus & Folkman (1986) stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Stres juga adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis ( Chapplin, 1999). Stres juga diterangkan sebagai suatu istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme yang memberikan tekanan kepada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatan adaptifnya. (McGrath, dan Wedford dalam Arend dkk, 1997).

  Kondisi ini jika berlangsung lama akan menimbulkan perasaan cemas, takut dan tegang. Berdasarkan dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa stres merupakan suatu kondisi pada individu yang tidak menyenangkan dimana dari hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya tekanan fisik maupun psikologis pada individu. Kondisi yang dirasakan tidak menyenangkan itu disebabkan karena adanya tuntutan-tuntutan dari lingkungan yang dipersepsikan oleh individu sebagai sesuatu yang melebih kemampuannya atau sumber daya yang dimilikinya, karena dirasa membebani dan merupakan suatu ancaman bagi kesejahteraannya.

  Menurut Lazarus & Folkman (1986) stres memiliki memiliki tiga bentuk yaitu:

1. Stimulus, yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang menimbulkan stres atau disebut juga dengan stressor.

  2. Respon, yaitu stres yang merupakan suatu respon atau reaksi individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang muncul dapat secara psikologis, seperti: jantung berdebar, gemetar, pusing, serta respon psikologis seperti: takut, cemas, sulit berkonsentrasi, dan mudah tersinggung.

  3. Proses, yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku, kognisi maupun afeksi. Rice (2002) mengatakan bahwa stres adalah suatu kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan individu merasa tegang. Atkinson (2000) mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini disebut sebagai penyebab stres dan reaksi individu terhadap situasi stres ini sebagai respon stres. Berdasarkan berbagai penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa stres merupakan suatu keadaan yang menekan diri individu. Stres merupakan mekanisme yang kompleks dan menghasilkan respon yang saling terkait baik fisiologis, psikologis, maupun perilaku pada individu yang mengalaminya, dimana mekanisme tersebut bersifat individual yang sifatnya berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain 2.1.1.

  Penyebab Stres atau Stressor Peristiwa atau keadaan yang menantang secara fisik atau psikologis disebut juga dengan stressor. (Sarafino, 2008) Menurut Lazarus & Folkman (dalam

  Morgan, 1987) kondisi fisik lingkungan dan sosial yang merupakan penyebab dari kondisi stres disebut dengan stressor. Stressor adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan terjadinya respon stres. Stressor dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga muncul pada situasi kerja, dirumah, dalam kehidupan sosial, dan lingkungan luar lainnya. Istilah stressor diperkenalkan pertama kali oleh Selye (dalam Rice, 2002). Menurut Lazarus & Folkman (1986) stressor dapat berwujud atau berbentuk fisik (seperti polusi udara) dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial (seperti interaksi sosial). Pikiran dan perasaan individu sendiri yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stressor.

  Menurut Lazarus & Cohen (1977), tiga tipe kejadian yang dapat menyebabkan stres yaitu: a.

  Daily hassles yaitu kejadian kecil yang terjadi berulang-ulang setiap hari seperti masalah kerja di kantor, sekolah dan sebagainya.

  b.

  Personal stressor yaitu ancaman atau gangguan yang lebih kuat atau kehilangan besar terhadap sesuatu yang terjadi pada level individual seperti kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, masalah keuangan dan masalah pribadi lainnya.

  c.

  Ditambahkan Freese Gibson (dalam Rachmaningrum, 1999) umur adalah salah satu faktor penting yang menjadi penyebab stres, semakin bertambah umur seseorang, semakin mudah mengalami stres. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar. Pengalaman kerja juga mempengaruhi munculnya stres kerja.

  Individu yang memiliki pengalaman kerja lebih lama, cenderung lebih rentan terhadap tekanan tekanan dalam pekerjaan, daripada individu dengan sedikit pengalaman (Koch & Dipboye, dalam Rachmaningrum,1999). Selanjutnya masih ada beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat stres, yaitu kondisi fisik, ada tidaknya dukungan sosial, harga diri, gaya hidup dan juga tipe kepribadian tertentu (Dipboye, Gibsin, Riggio dalam Rachmaningrum, 1999).

  

Appraisal: Penilaian terhadap suatu keadaan yang dapat menyebabkan stres

  disebut stress appraisals. Menilai suatu keadaan yang dapat mengakibatkan stress tergantung dari 2 faktor, yaitu faktor yang berhubungan dengan orangnya (Personal factors) dan faktor yang berhubungan dengan situasinya. Personal

  factors didalamnya termasuk intelektual, motivasi, dan personality

characteristics . Sedangkan faktor situasi yang ,mempengaruhi stress appraisals,

  yaitu: a.

  Kejadian yang melibatkan tuntutan yang sangat tinggi dan mendesak sehingga menyebabkan ketidaknyamanan b.

  Life transitions, dimana kehidupan mempunyai banyak kejadian penting yang menandakan berlalunya perubahan dari kondisi atau fase yang satu ke yang lain, dan menghasilkan perubahan substansial dan tuntutan yang baru dalam kehidupan kita.

  c.

  Timing juga berpengaruh terhadap kejadian-kejadian dalam kehidupan kita, dimana apabila kita sudah merencanakan sesuatu yang besar dalam kehidupan kita dan timing-nya meleset dari rencana semula, juga dapat menimbulkan stres.

  d.

  Ambiguity, yaitu ketidakjelasan akan situasi yang terjadi e. Desirability, ada beberapa kejadian yang terjadi diluar dugaan kita f.

  Controllability, yaitu apakah seseorang mempunyai kemampuan untuk merubah atau menghilangkan stressor. Seseorang cenderung menilai suatu situasi yang tidak terkontrol sebagai suatu keadaan yang lebih stressful, daripada situasi yang terkontrol. Ancaman merupakan konsep kunci dalam memahami stress. Lazarus (1986) mengungkapkan bahwa individu yang tidak akan merasakan suatu kejadian sebagai suatu gangguan bila stressor tersebut diinterpretasikan sebagai hal yang wajar. Ancaman adalah suatu penilaian subjektif dari pengaruh negatif yang potensial dari stressor. Transactions yang mengarah pada kondisi stres umumnya melibatkan proses assesment yang disebut sebagai cognitive appraisals (Lazarus & Folkman, 1986). Cognitive

  

appraisals adalah suatu proses mental, dimana ada dua factor yang dinilai oleh

  seseorang: (1) apakah sebuah tuntutan mengancam kesejahteraannya dan (2)

  

resources yang tersedia untuk memenuhi tuntutan tersebut. Menurut Lazarus

  (1986) ada dua macam penilaian yang dilakukan individu untuk menilai apakah suatu kejadian yang dapat atau tidak menimbulkan stress bagi individu, yaitu:

  a) Primary appraisals yaitu penilaian pada waktu kita mendeteksi suatu kejadian yang potensial untuk menyebabkan stress. Peristiwa yang diterima sebagai keadaan stress selanjutnya akan dinilai menjadi 3 akibat yaitu harmloss (tidak berbahaya), threat (ancaman) dan

  challenge (tantangan)

  b) Secondary appraisals mengarah pada resources yang tersedia pada diri kita atau yang kita miliki untuk menanggulangi stres.

2.1.2. Reaksi terhadap Stres a.

  Aspek Fisiologis Walter Canon (dalam sarafino, 1994) memberikan deskripsi mengenai bagaiman reaksi tubuh terhadap suatu peristiwa yang mengancam.

  Ia menyebutkan reaksi tersebut sebagai fight-or-fight response karena respon fisiologis mempersiapkan individu untuk menghadapi atau menghindari situasi yang mengancam tersebut. Fight-or-fight response menyebabkan individu dapat berespon dengan cepat terhadap situasi yang mengancam. Akan tetapi bila arousal yang tinggi terus menerus muncul dapat membahayakan kesehatan individu. Selye (dalam Sarafino, 1994) mempelajari akibat yang diperoleh bila stressor terus menerus muncul. Ia mengembangkan istilah

  General Adaptation Syndrome (GAS) yang terdiri atas rangkaian tahapan

  reaksi fisiologis terhadap stressor yaitu: 1.

  Fase reaksi yang mengejutkan ( alarm reaction ) Pada fase ini individu secara fisiologis merasakan adanya ketidakberesan seperti jantungnya berdegup, keluar keringat dingin, muka pucat, leher tegang, nadi bergerak cepat dan sebagainya. Fase ini merupakan pertanda awal orang terkena stres.

  2. Fase perlawanan (Stage of Resistence ) Pada fase ini tubuh membuat mekanisme perlawanan pada stres, sebab pada tingkat tertentu, stres akan membahayakan. Tubuh dapat mengalami disfungsi, bila stres dibiarkan berlarut-larut. Selama masa perlawanan tersebut, tubuh harus cukup tersuplai oleh gizi yang seimbang, karena tubuh sedang melakukan kerja keras.

  3. Fase keletihan ( Stage of Exhaustion ) Fase disaat orang sudah tak mampu lagi melakukan perlawanan. Akibat yang parah bila seseorang sampai pada fase ini adalah penyakit yang dapat menyerang bagian – bagian tubuh yang lemah.

  b.

  Aspek psikologis Reaksi psikologis terhadap stressor meliputi: 1.

  Kognisi Cohen menyatakan bahwa stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktifitas kognitif.

  2. Emosi cenderung terkait stres.individu sering menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres dan pengalaman emosional (Maslach, Schachter & Singer, dalam Sarafino, 1994). Reaksi emosional terhadap stres yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi, perasaan sedih dan marah.

  3. Perilaku sosial stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain. Individu dapat berperilaku menjadi positif dan negatif (dalam Sarafino, 1994). Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial negatif cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif (Donnerstein & Wilson, dalam Sarafino, 1994).

  Morris (1998) mengklasifikasikan stressor ke dalam lima kategori, yaitu: 1.

  Frustasi (Frustration) terjadi ketika kebutuhan pribadi terhalangi dan seseorang gagal dalam mencapai tujuan yang diinginkannya. frustrasi dapat terjadi sebagai akibat dari keterlambatan, kegagalan, kehilangan, kurangnya sumber daya, atau diskriminasi.

  2. Konflik (Conflicts), jenis sumber stres yang kedua ini hadir ketika pengalaman seseorang dihadapi oleh dua atau lebih motif secara bersamaan.

  Morris (1998) mengidentifikasi empat jenis konflik yaitu,: approach-

  approach , avoidence-avoidence , approach-avoidence , dan multiple approach-avoidance conflict .

  3. Tekanan (Pressure), jenis dari sumber stress yang ketiga yang diakui oleh Morris, tekanan didefinisikan sebagai stimulus yang menempatkan individu dalam posisi untuk mempercepat, meningkatkan kinerjanya, atau mengubah perilakunya.

  4. Mengidentifikasi perubahan (Changes), tipe sumber stres yang keempat ini seperti halnya yang ada di seluruh tahap kehidupan, tetapi tidak dianggap penuh tekanan sampai mengganggu kehidupan seseorang baik secara positif maupun negative

  5. Self-Imposed merupakan sumber stres yang berasal dalam sistem keyakinan pribadi pada seseorang, bukan dari lingkungan. Ini akan dialami oleh seseorang ketika ada tidaknya stres eksternal yang nyata. Morris (1998) juga mengidentifikasikan empat reaksi terhadap stres:

  1) Reaksi dari fisiologis terhadap stres menekankan hubungan antara pikiran dan fisik.

  2) Reaksi dari emosional yang diamati dalam reaksi emosional terhadap stres ini adalah melalui emosi seperti rasa ketakutan, kecemasan, rasa bersalah, kesedihan, depresi atau kesepian.

  3) Reaksi dari kognitif mengacu pada pengalaman individu terhadap stres dan penilaian kognitif yang terjadi dengan penilaiannya mengenai peristiwa stres dan kemudian apa strategi koping yang mungkin paling tepat untuk mengelola stres.

  4) Reaksi dari perilaku yang berkaitan dengan reaksi emosional seseorang terhadap stres yang dapat memberikan reaksi menangis, menjadi kasar kepada orang lain atau diri sendiri dan, penggunaan mekanisme pertahanan seperti rasionalisasi.

2.1.3. Sumber-sumber Stres

  Sumber stres dapat berubah seiring dengan berkembangnya individu, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap saat selama hidup berlangsung. Menurut Sarafino (1994) sumber datangnya stres ada tiga yaitu: 1)

  Diri individu Hal ini berkaitan dengan adanya konflik. Menurut Miller dalam Sarafino

  (2008), pendorong dan penarik dari konflik menghasilkan dua kecenderungan yang berkebalikan, yaitu approach dan avoidance. Kecenderungan ini menghasilkan tipe dasar konflik (Sarafino, 1994), yaitu : a.

   Approach-approach Conflict Muncul ketika kita tertarik terhadap dua tujuan yang sama-sama baik.

  Contohnya, individu yang mencoba untuk menurunkan berat badan untuk meningkatkan kesehatan maupun untuk penampilan, namun konflik sering terjadi ketika tersedianya makanan yang lezat.

  b.

   Avoidance-avoidance Conflict

  Muncul ketika kita dihadapkan pada satu pilihan antara dua situasi yang tidak menyenangkan. Contohnya, pasien dengan penyakit serius mungkin akan dihadapkan dengan pilihan antara dua perlakuan yang akan mengontrol atau menyembuhkan penyakit, namun memiliki efek samping yang sangat tidak diinginkan. Sarafino (2008) menjelaskan bahwa orang-orang dalam menghindari konflik ini biasanya mencoba untuk menunda atau menghindar dari keputusan tersebut. Oleh karena itu, biasanya avoidance-avoidance conflict ini sangat sulit untuk diselesaikan.

  c.

   Approach-avoidance Conflict

  Muncul ketika kita melihat kondisi yang menarik dan tidak menarik dalam satu tujuan atau situasi. Contohnya, seseorang yang merokok dan ingin berhenti, namun mereka mungkin terbelah antara ingin meningkatkan kesehatan dan ingin menghindari kenaikan berat badan serta keinginan mereka untuk percaya terjadi jika mereka ingin berhenti. 2)

  Keluarga Sarafino (2008) menjelaskan bahwa perilaku, kebutuhan, dan kepribadian dari setiap anggota keluarga berdampak pada interaksi dengan orang-orang dari anggota lain dalam keluarga yang kadang-kadang menghasilkan stres. Menurut Sarafino (2008) faktor dari keluarga yang cenderung memungkinkan munculnya stres adalah hadirnya anggota baru, perceraian dan adanya keluarga yang sakit, cacat, dan kematian

  3) Komunitas dan Masyarakat Kontak dengan orang di luar keluarga menyediakan banyak sumber stres.

  Misalnya, pengalaman anak di sekolah dan persaingan. Adanya pengalaman- pengalaman seputar dengan pekerjaan dan juga dengan lingkungan dapat menyebabkan seseorang menjadi stres. (Sarafino, 1994) 2.1.4.

  Gejala Stres Stres dapat berpengaruh pada kesehatan dengan dua cara. Pertama, perubahan yang diakibatkan oleh stres secara langsung mempengaruhi fisik sistem tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Kedua, secara tidak langsung stres mempengaruhi perilaku individu sehinggga menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada (Safarino, 1994). Kondisi dari stres memiliki dua aspek : fisik/biologis (melibatkan materi atau tantangan yang menggunakan fisik) dan psikologis (melibatkan bagaimana individu memandang situasi dalam hidup mereka) dalam Sarafino, 1994.

  a) Aspek Biologis

  Ada beberapa gejala fisik yang dirasakan ketika seseorang sedang mengalami stres, diantaranya adalah sakit kepala yang berlebihan, tidur menjadi tidak nyenyak, gangguan pencernaan, hilangnya nafsu makan, gangguan kulit, dan produksi keringat yang berlebihan di seluruh tubuh (Sarafino, 1994).

  b) Aspek Psikologis

  Ada 3 gejala psikologis yang dirasakan ketika seseorang sedang mengalami stres. Ketika gejala tersebut adalah gejala kognisi, gejala emosi, dan gejala tingkah laku (Sarafino, 1994): 1.

  Gejala kognisi Gangguan daya ingat (menurunnya daya ingat, mudah lupa dengan suatu hal), perhatian dan konsentrasi yang berkurang sehingga seseorang tidak fokus dalam melakukan suatu hal, merupakan gejala-gejala yang muncul pada aspek gejala kognisi

  2. Gejala emosi Mudah marah, kecemasan yang berlebihan terhadap segala sesuatu, merasa sedih dan depresi merupakan gejala-gejala yang muncul pada aspek gejala emosi

  3. Gejala tingkah laku Tingkah laku negatif yang muncul ketika seseorang mengalami stres pada aspek gejala tingkah laku adalah mudah menyalahkan orang lain dan mencari kesalahan orang lain, suka melanggar norma karena dia tidak bisa mengontrol perbuatannya dan bersikap tak acuh pada lingkungan, dan suka melakukan penundaan pekerjaan.

2.1.5. Penilaian Kognitif (Cognitive Appraisal)

  Setiap orang memiliki perbedaan dalam menghadapi stres. Menurut Lazarus & Folkman (1984: 31) penilaian kognitif (cognitive appraisal) yaitu merupakan proses evaluatif yang menentukan mengapa dan sampai sejauh mana transaksi yang spesifik atau serangkaian transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan stres. Selain itu kognitif dapat diartikan sebagai suatu proses pengkategorian terhadap stimulus atau situasi yang dihadapi, dengan perhitungan makna serta pengaruhnya terhadap kesejahteraan seseorang. Penilaian kognitif dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman (1984: 31) terdiri dari penilaian primer

  

(primary appraisal) dan penilaian sekunder (secondary appraisal). Kedua jenis

  penilaian ini tidak dapat dipandang sebagai proses yang terpisah karena keduanya saling bergantung dan saling mempengaruhi satu sama lain. Penilaian primer dan sekunder berinteraksi satu sama lain membentuk derajat stres serta kualitas atau kekuatan reaksi emosional sehingga akan membuat situasi semakin kompleks.

  1. Penilaian Primer (Primary Appraisal) Proses ini merupakan suatu proses mental yang berkaitan dengan evaluasi terhadap suatu situasi. Proses ini terjadi untuk menentukan apakah suatu stimulus atau situasi yang dihadapi berada dalam derajat penghayatan tertentu.

  2. Penilaian Sekunder (Secondary Appraisal) Penilaian sekunder adalah keputusan tentang apa yang mungkin dapat dilakukan meliputi evaluasi tentang pilihan strategi pengelolaan yang sesuai dan evaluatif tentang konsekuensi yang akan muncul dalam konteks tuntutan dan hambatan baik yang berasal dari internal maupun eksternal.

  3. Penilaian Kembali (Reappraisal)

  Penilaian kembali menunjukkan pada perubahan penilaian yang terjadi karena didasari oleh masuknya informasi baru, baik informasi yang berasal dari lingkungan maupun informasi yang berasal dari reaksi siswa. Proses penilaian kembali merubah bentuk penilaian yang didasarkan pada informasi baru dari lingkungan atau diperoleh siswa berdasarkan pengalamannya. Beberapa hal yang mendasari pentingnya konsep penilaian kognitif menurut Lazarus dan Folkman (1986: 55) sebagai berikut:

  a) Faktor Personal

  Ada dua karakteristik individu yang berpengaruh atau menentukan suatu penilaian kognitif yaitu komitmen (commitment) dan keyakinan (belief).

  b) Faktor Situasional Faktor situasional

  Faktor situasional yang mempengaruhi penilaian kognitif terbagi menjadi dua faktor yaitu faktor situasional yang potensial dan temporal (Lazarus & Folkman, 1986: 83).

  Stress adalah suatu kejadian atau rangsangan (stimulus) dari luar (stressor) yang menyebabkan individu akan merasa tegang. Gejala stress dapat berupa aspek biologis yaitu sakit kepala yang berlebihan, tidur menjadi tidak nyenyak, gangguan pencernaan, hilangnya nafsu makan, gangguan kulit dan produksi keringat yang berlebihan serta aspek psikologis yaitu gejala kognisi, gejala emosi dan gejala tingkah laku..

  Ahli saraf Walter Cannon menciptakan istilah homeostasis untuk lebih menentukan keseimbangan dinamis yang telah dijelaskan Bernard. Dia memperkenalkan bahwa stresors dapat berupa emosional maupun fisik. Melalui eksperimen, dia menunjukkan respons "fight or flight" yang timbul pada manusia dan binatang ketika terancam. Selanjutnya, Cannon juga mengatakan bahawa reaksi ini juga disebabkan oleh pelepasan neurotransmitters (neurotransmiter adalah bahan kimia dalam tubuh yang membawa pesan ke dan dari saraf) dari kelenjar adrenal, medula. Medula adrenal mengeluarkan dua jenis neurotransmiter, yaitu epinefrin atau disebut sebagai adrenalin dan norepinefrin (noradrenalin), dalam respon terhadap stres. Pelepasan neurotransmiter menyebabkan efek fisiologis terlihat pada respon "fight or flight", misalnya, denyut jantung yang cepat, peningkatan kewaspadaan, dan lain-lain. (Nasution I. K., 2007). Hans Selye, mengatakan bahwa selain daripada respons tubuh, semasa stres kelenjar pituitary juga memainkan peranan. Dia menggambarkan kontrol oleh kelenjar sekresi hormon (misalnya, kortisol) yang penting dalam respon fisiologis terhadap stres dengan bagian lain dari kelenjar adrenal yang dikenal sebagai korteks. Selain itu, Selye sebenarnya memperkenalkan istilah tegangan dari fisika dan rekayasa dan didefinisikan sebagai "respons bersama yang terjadi di setiap bagian tubuh, fisik atau psikologis." (Nasution I. K., 2007). Dalam eksperimennya, Selye menginduksi stres pada tikus dalam berbagai cara. Pada tikus yang terkena tegangan konstan, berlakunya pembesaran kelenjar adrenal, ulkus gastrointestinal dan atrofi sistem imun. (Nasution I. K., 2007) Stres menyebabkan kelenjar hipotalamus melepaskan hormon adrenalin dan kortisol melalui kelenjar adrenal. Hormon-hormon ini menyebabkan reaksi metabolisme tertentu sehingga tubuh berekasi untuk menghadapi sebuah situasi

yang penuh tekanan dan tantangan. Reaksi ini meliputi peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan produksi glukosa untuk meningkatkan pasokan energi serta menonaktifkan sementara sistem kekebalan tubuh dan sistem pencernaan. Ini yang mungkin terjadi pada kelompok kontrol apabila tidak penderita tidak diberikan psikoterapi apapun selama dirawat.

Tabel 2.1. Tahapan Stres dan Gejala

  Dr. Robert J. Van Amberg (1979, cit. Hawari, 2001) membagi stres atas enam tahap. yaitu :

NO TAHAPAN STRESS TANDA DAN GEJALA

  1 Stres tahap – I Merupakan tahapan stres yang paling ringan

   semangat kerja yang berlebihan (overacting)  penglihatan "tajam" tidak sebagaimana biasanya  merasa senang dengan suatu pekerjaan dan semakin semangat  mengerjakannya, namun tanpa disadari cadangan energi semakin menipis bahkan dihabiskan (all out)  rasa gugup yang berlebihan

  2 Stres tahap – II Pada tahap ini dampak stres yang semula menyenangkan mulai menghilang dan mulai timbul keluhan-keluhan karena kekurangan energi yang disebabkan waktu istirahat yang kurang.

   merasa letih saat bangun pagi dimana seharusnya pada saat bangun pagi orang merasa segar.  merasa lelah sesudah makan siang  lekas capai menjelang sore hari  jantung berdebar-debar  sering mengalami keluhan pada lambung atau perut (bowel discomfort) otot punggung dan tengkuk terasa tegang  tidak bisa santai

  3 Stres tahap – III Pada tahap ini keluhan yang terjadi semakin nyata dan mengganggu, hal ini diakibatkan karena keluhan yang terjadi pada stres tahap II diabaikan dan orang tetap memaksakan dirinya untuk bekerja.

   gangguan pada lambung dan usus (gastritis dan diare)  ketegangan otot semakin terasa  ketegangan emosional dan rasa tidak tenang semakin meningkat  gangguan tidur (insomnia)  koordinasi tubuh terganggu (badan terasa lemas dan serasa mau pingsan). Sebaiknya individu yang mengalami stres pada tahap ini, berkonsult dokter untuk memperoleh terapi. Selain itu individu tersebut sebaik mengurangi beban stres serta memberi kesempatan tubuh untuk istin menambah suplai energi yang sudah mengalami defisit.

  4 Stres tahap – IV  Terasa sulit untuk bertahan sepanjang hari Bila individu yang mengalami stres tahap  Aktivitas pekerjaan yang semula

  III dinyatakan sehat oleh dokter yang terasa menyenangkan dan mudah memeriksanya sehingga individu tersebut diselesaikan menjadi terasa terus memaksakan dirinya bekerja tanpa membosankan dan lebih sulit istirahat maka akan timbul gejala stres

   Yang semula tanggap terhadap situasi tahap IV. menjadi kehilangan kemampuan untuk merespon secara ade kuat

   Tidak mampu melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari  Gangguan pola tidur disertai mimpi yang menegangkan  Seringkali menolak ajakan karena tidak ada semangat dan gairah  Daya konsentrasi dan daya ingat menurun  Timbul rasa ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya

  5 Stres tahap – V  Kelelahan fisik dan mental semakin mendalam Bila keadaan stres terus berlanjut maka

individu akan mengalami stres tahap V  Tidak mampu menyelesaikan pekerjaan

sehari-hari yang walaupun ringan dan sederhana  Gangguan sistem pencemaan semakin parah (gastro-intestinal disorder)  Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin meningkat mudah bingung dan panic

  6 Stres tahap – VI  Jantung berdebar sangat keras Merupakan tahap klimaks dimana  Susah bernapas (sesak dan megap- megap) individu mengalami panic attack dan  Sekujur badan terasa gemetar, dingin, perasaan takut mati. Tidak jarang individu dan keringat bercucuran yang mengalami stres tahap ini seringkali  Tidak ada tenaga untuk melakukan hal- dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD) hal yang ringan sekalipun meskipun pada akhirnya individu tersebut  Pingsan dan kolaps dipulangkan kembali karena tidak ditemukan kelainan fisik dan organ tubuh.

2.2. Reminiscence Therapy 2.2.1.

  Reminiscence Therapy Menurut Asosiasi Psikologi Amerika adalah suatu penggunaan riwayat hidup baik melalui tulisan, ucapan/lisan ataupun keduanya yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kenyamanan. Reminiscence therapy pertama kali diperkenalkan oleh seorang psikiatrik ternama yaitu Robert Butler pada tahun 1960. Reminiscence therapy digunakan dengan tepat seperti menggunakan photo, music atau benda-benda yang sangat familiar pada masa lalunya, untuk mendorong pasien untuk berbicara mengenai memori mereka sebelumnya. Terapi ini lebih disarankan kepada orang dewasa yang mempunyai masalah mood atau masalah memori atau kepada orang yang membutuhkan kesulitan seseorang dalam kesiapan memasuki usia tua.

  Menurut Bluck dan Levine (1998, dalam Collings, 2006) reminiscence adalah proses yang dikehendaki atau tidak dikehendaki untuk mengumpulkan kembali memori-memori seseorang pada masa lalu. Memori tersebut dapat merupakan suatu peristiwa yang mungkin tidak bisa dilupakan atau peristiwa yang sudah terlupakan yang dialami langsung oleh individu. Kemudian memori tersebut dapat sebagai kumpulan pengalaman pribadi atau “disharingkan” dengan orang lain. Johnson (2005) mendefenisikan reminiscence adalah proses mengingat kembali kejadian dan pengalaman masa lalu, dan telah dibentuk sebagai suatu topik utama baik dalam teori maupun aplikasi pada psikogerontologi. Menurut Fontaine dan Fletcher (2003) reminiscence atau kenangan adalah suatu kemampuan pada lansia yang dipandu untuk mengingat memori masa lalu dan “disharingkan” (disampaikan) memori tersebut dengan keluarga, kelompok atau staf. Meiner dan Lueckenotter (2006) menjelaskan bahwa therapy reminiscence adalah suatu terapi pada orang yang didorong (dimotivasi) untuk mendiskusikan kejadian-kejadian masa lalu untuk mengidentifikasi keterampilan penyelesaian masa lalu yang telah dilakukan mereka pada masa lalu. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa terapi kelompok reminiscence adalah suatu terapi yang dilakukan pada penderita secara berkelompok dengan cara memotivasi penderita untuk mengingat kembali kejadian dan pengalaman masa lalu serta kemampuan penyelesaian masalahnya kemudian disampaikan dengan keluarga, teman, kelompok atau staf.

  Therapy reminiscence adalah suatu terapi yang ditujukan untuk memulihkan

  depresi perasaan stress pada pasien. Dalam kegiatan terapi ini, terapis akan membantu pasien yang mengalami stress pada gagal jantung untuk mengingat kembali aspek positif dan hal-hal yang berarti bagi penderita pada masa lalunya. Kemudian terapis juga membantu pasien untuk mengintegrasikan hal positif tersebut dalam kehidupan sehari-hari pada saat ini. Proses ini diharapkan dapat membantu penderita untuk menilai kehidupan yang telah dilaluinya sehingga penderita dapat merasakan kepuasan atas kehidupannya tersebut. Therapy

  

reminiscence merupakan hasil langsung dari hipotesis teori life review (Butler,

  1963). Terapi ini pada dasarnya menekankan individu untuk merefleksikan kehidupan mereka kembali atau mengulang kembali memori masa lalu. Melalui refleksi ini individu untuk menyelesaikan konflik, mengatasi pengalaman masa lalu yang menyakitkan sehingga individu tersebut mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi saat ini. Therapy reminiscence sangat membantu untuk pribadi individu dan keterampilan interpersonal seperti pada penderita Alzheimer’s.

  

Reminiscence melibatkan pertukaran memori antara orang tua dengan orang

  muda, teman dengan keluarga, caregivers dengan professional, melalui informasi, kebijaksanaan dan keterampilan. Pada intinya memberikan suatu nilai, kepentingan, kebersamaan, kekuatan dan damai kepada penderita Alzheimer’s. Aktivitas therapy reminiscence biasanya digunakan dalam kehidupan kita sehari- hari. Therapy reminiscence ini kita gunakan untuk mengatasi stress seperti dalam situasi berduka. Terapi ini membantu mengurangi gambaran diri yang buruk, menciptakan perasaan intim serta memberikan arti yang special ketika berinteraksi dengan orang lain. Media yang dapat digunakan dalam therapy reminiscence adalah : 1.

  Secara visual; foto, lukisan yang mengingatkan kejadian masa lalu yang menyenangkan

  2. Musik; menggunakan lagu-lagu yang familiar dari radio, CD, atau menciptakan musik menggunakan berbagai macam alat musik

3. Melalui indera pengecapan dan penghiduan; menggunakan parfum, makanan 4.

  Melalui indera peraba; memegang objek tertentu, merasakan tekstur, melukis dan puisi.

  Tipe terapi dan aktivitas reminiscence dapat digunakan oleh individu, kelompok dan keluarga. Kategori therapy reminiscence dibagi menjadi 3 kategori utama yaitu: 1.

  Simple reminiscence.

  Terapi ini merupakan refleksi informasi masa lalu dengan cara yang menyenangkan.

  2. Evaluative reminiscence adalah evaluasi masa lalu dan digunakan sebagai pendekatan pemecahan konflik

  3. Offensive-defensive reminiscence merupakan kegiatan pengulangan informasi yang tidak menyenangkan dan meningkatkan stress. Keluarga dan teman terdekat dapat memberikan informasi dan subjek penting yang menyedihkan bagi lanjut usia sehingga membutuhkan dukungan yang penuh dari perawat.

  Berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti dinyatakan bahwa reminiscence

  

therapy dapat memberikan kemudahan untuk memperbaiki perasaan depresi dan

  perasaan kesepian dan meningkatkan kenyamanan psikologi. Penelitian juga menyokong pandangan bahwa reminiscence therapy termasuk riwayat pekerjaan dapat meningkatkan hubungan antara orang yang mengalami dementia dan karir mereka dengan cara memberikan keuntungan pada keduanya. Keuntungan lain dilaporkan termasuk peningkatan kesempatan untuk memberikan perawatan secara personal dan individual dan membantu individu untuk bergerak antara perbedaan lingkungan perawatan seperti perawatan dirumah atau diantara perawatan dirumah.

  Reminiscence therapy dapat diselenggarakan secara formal atau informal

  secara individu, keluarga atau group. Reminiscence therapy menyajikan perbedaan fungsi psikologi termasuk taxonomy yang diperkenalkan oleh Webster.

  Skala fungsi reminiscence yang dibuat Webster’s termasuk delapan alasan kenapa orang mengingat : penurunan rasa bosan, peningkatan kebencian, persiapan kematian, percakapan, identitas, mempertahankan keintiman, pemecahan masalah, dan ajaran/informasi. Psikologis memandang bahwa penggunaan therapy

  

reminiscence untuk meningkatkan efek dan kemampuan koping, walaupun

keefektifan terapi ini masih diperdebatkan.

  Therapy reminiscence merupakan salah satu terapi modalitas yang dapat

  menurunkan beberapa gangguan kesehatan yang dialami lansia, antara lain lupa ingatan, dimensia, depresi dan kecemasan (Winslow, 2009). Menurut Coaten (2001) therapy reminiscence atau mengenang suatu kejadian di masa lalu dapat memberikan rasa nyaman dan tenang tentang apa yang telah terjadi sebelumnya di masa lalu. Pasien diharapkan dapat terlibat aktif dalam berbagi cerita masa lalu pada suatu kelompok. Selain itu, therapy reminiscence dapat meningkatkan interaksi sosial penderita dengan orang lain yang menjadi lawan bicaranya.

  Reminiscence therapy terdiri dari berbicara, komunikasi dan inklusi pada

  seorang pasien dengan pasangannya atau group. Terapi ini berguna dalam hubungannya antara 2 (dua) orang atau lebih untuk menstimulus memori manusia yang mempunyai dementia dengan menggunakan isi seperti gambar-gambar dan hal-hal fisik sebagai katalisator dalam merangsang memori. Hal tersebut akan mengirimkan sinyal kepusat informasi, pada pusat perawatan dirumah. Satu keuntungan utama dari reminiscence therapy adalah bahwa ini adalah merupakan proses yang informal yang memerlukan latihan yang panjang maupun kualifikasi untuk mengaturnya. Hal ini dapat digunakan pada hal dasar dan dapat juga dikombinasikan dengan terapi yang lain secara personal ataupun sesi grup. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan reminiscence therapy juga menciptakan ikatan yang lebih kuat antara karir dan tempat tinggal dengan keadaan perawatan dirumah dan memberikan level yang lebih besar dalam memahami tentang individu dengan latar belakang demensia. Ini memberikan transisi yang lebih lembut dan lebih cepat dalam menseting perawatan dirumah dan dapat juga menolong provider dalam memberikan perawatan dirumah dengan pendekatan langsung pada pasien.

  Reminiscence menunjukkan memori panjang pada masa lampau. Hal ini sangat familiar pada kita dan dapat dimanfaatkan untuk keuntungan yang lainnya.

  Untuk orang dengan penyakit alzheimer akan memberi harapan untuk melakukan

  

reminiscence yang sangat bermanfaat pada diri mereka sendiri dan kemampuan

  interpersonal. Reminiscence mempengaruhi perubahan memori pada orang tua dan muda, teman dan keluarga, dengan caregiver dan profesional, menyampaikan informasi, kebijaksanaan dan keahlian. Ini adalah suatu hal yang memberikan orang dengan penyakit alzheimer akan mempunyai nilai, kepentingan, kasih sayang, kekuatan dan kedamaian.

  Kegiatan reminiscence therapy digunakan secara berkesinambungan pada kehidupan sehari-hari pada waktu stress seperti saat berkabung, ini juga dapat menurunkan kejadian kecelakaan pada gambaran diri dan dapat mengkreasikan perasaan yang intim dan memberikan arti spesial untuk bersosialisasi dengan orang lain. Inti kegiatan therapy reminiscence yang berfokus pada eksplorasi keberhasilan yang pernah dicapai penderita akan sangat mendukung pemulihan stress pada penderita gagal jantung. Dalam proses kegiatan terapi ini tentunya terapi dapat memotivasi dan memfasilitasi penderita untuk mengingat kembali pengalaman keberhasilan atau suka cita yang pernah dialami penderita sehingga menimbulkan perasaan bahagia, senang dan bangga pada saat proses terapi berlangsung. Perasaan bahagia dan bangga ini kemudian diintegrasikan dengan kemampuan dan keberhasilan penderita saat ini. Dengan demikian melalui kegiatan therapy reminiscence ini penderita masih dapat memotivasi dirinya untuk menimbulkan perasaan bahagia dan bangga dengan diri sendiri sehingga perasaan- perasaan negatif dan kesedihan yang dirasakan dapat menjadi berkurang atau bahkan hilang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chiang, et al., (2009) bahwa

  

therapy reminiscence dapat menurunkan stress dan perasaan-perasaan negatif

  pada penderita gagal jantung. Frazer, Christensen dan Griffiths (2005) dalam penelitian pada 23 orang lansia menyimpulkan therapy reminiscene efektif untuk menurunkan depresi. Timbulnya perasaan senang dan bangga merupakan upaya untuk meminimalkan tanda dan gejala stress dan depresi. Bohlmeijer (2003; Haight & Burnside, 1993, dalam Ebersole, et al., 2005) menyatakan bahwa

  

therapy reminiscence dapat menjadi suatu terapi yang efektif untuk gejala stress

  dan depresi. Menurut pernyataan Stuart (2009) bahwa therapy reminiscence digunakan untuk membantu individu mencapai perasaan integritasi, meningkatkan harga diri dan menstimulasi individu untuk berpikir tentang dirinya sendiri dan perawat mempunyai kesempatan untuk memfokuskan, memberikan refleksi dan penguatan atas perasaan individu terhadap nilai dirinya sendiri. Pada therapy

  

reminiscence penderita mendapat kesempatan untuk menyampaikan kemampuan

  positif yang telah dialaminya. Kemampuan positif tersebut dapat berkaitan dengan kegiatan fisik seperti pengalaman bermain pada masa anak-anak, pengalaman rekreasi pada masa remaja dan pengalaman pekerjaan pada masa dewasa. Topik ini dapat mengingatkan kembali akan kemampuan yang pernah dimiliki penderita dan barangkali masah ada sebagian kemampuan tersebut yang masih dimiliki penderita sampai saat ini. Selanjutnya dalam proses terapi, terapi dapat menerapkan konsep caring terhadap penderita. Terapi dapat membantu penderita untuk menemukan kembali kemampuan-kemampuan yang masih dimiliki oleh penderita. Hal ini dapat menjadikan therapy reminiscence dapat memulihkan perasaan ketidakberdayaan dan stress pada penderita gagal jantung. Sesuai dengan pernyataan Fontaine dan Fletcher (2003) diri dan memahami diri serta beradaptasi terhadap stress.

  Frisch dan Frisch (2006) menegaskan bahwa therapy reminiscence dilakukan untuk meningkatkan fungsi kognitif. Peningkatan fungsi kognitif diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penderita untuk menilai kehidupan yang telah dilaluinya khususnya yang berkaitan dengan pengalaman positif sehingga penderita dapat mencapai kepuasan pada hidupnya. Stuart (2009) juga menegaskan bahwa therapy reminiscence berguna untuk membantu penderita menstimulasi pikirannya tentang diri sendiri. Dalam proses kegiatan therapy

  

reminiscence terapi memberikan kesempatan pada penderita untuk melakukan

  hubungan dan komunikasi dengan orang lain sesama anggota kelompok. Kegiatan ini tentunya dapat memberikan dampak positif pada kemampuan penderita dalam menciptakan hubungan antara interaksi dengan orang lain. Boyd dan Nihart (1998) menyatakan bahwa therapy reminiscence bertujuan untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi dan hubungan dengan orang lain dan juga meningkatkan kemampuan komunikasi. Reminiscence adalah proses mengingat kembali kejadian dan pengalaman masa lalu (Johnson, 2005). Reminiscence therapy adalah suatu terapi yang memberikan perhatian terhadap kenangan terapeutik pada manusia (Webster, 1999), dalam Collins 2006). Dalam kegiatan terapi ini, terapi akan memfasilitasi penderita untuk mengumpulkan kembali memori-memori masa lalu sejak masa anak, remaja dan dewasa serta hubungan penderita dengan keluarga kemudian dilakukan sharing dengan penderita lain. Melalui terapi ini diharapkan penderita akan mengenang kembali masa lalunya yang menyenangkan.

  Eriskson (1963, dalam Johnson, 2005) mendefenisikan bahwa kenangan masa lalu akan meningkatkan integritias penerimaan diri dan siklus hidup sebagai sesuatu yang telah terjadi dan apa adanya oleh karena kebutuhan, dikehendaki tanpa ada penggantian. Therapy reminiscence ini memberikan manfaat untuk memelihara identitas individu karena penderita akan menggunakan pengalaman masa lalunya untuk mempertahankan pendapatnya dari kritik (Lewis, 1971, dalam Johnson, 2005). Berdasarkan yang telah dilakukan oleh Lewis ini, intervensi

  

therapy reminscence pada penderita gagal jantung dapat meningkatkan integritas

  dirinya yang tentunya juga akan meningkatkan harga diri. Peningkatan harga diri pada pasien berarti telah mengeliminasi perasaan tidak berharga dan tidak berguna yang dialaminya.

  Life review menurut Butler (1963, dlam Wheeler, 2008) adalah suatu proses

  “melihat masa lalu” individu dan diobservasi nilai terapeutiknya yang direfleksikan dengan segera pada saat itu juga dan dijadikan sebagai cara penyelesaian masalah saat ini. Wheeler (2008) secara terperinci memberikan perbedaan therapy reminiscence dan life review yang disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 2.2. Perbedaan therapy reminiscence dan life riview

  No Kriteria Reminiscence Life Review

  1 Sifat   Interaksi verbal antara 2 Dilakukan antara terapi dan orang atau lebih yang penderita yaitu 1 : 1 Proses mengingat kembali

  • menimbulkan memori

   seluruh kejadian semasa hidup Melibatkan ingatan secara cepat (kilat) dan interaksi secara berurutan

  • yang spontan atau diksusi Daya ingat (recall) harus berisi kelompok dengan tema suatu evaluasi atau analisa yang telah difokuskan komponen untuk persiapan

   waktu yang akan datang Tidak ada evaluasi

  • kehidupan berfokus pada Mengingat kembali kejadian- memori yang kejadian dan pengalaman- menyenangkan pengalaman masa lalu atau sekarang Berfokus pada kejadian-

   kejadian atau pengalaman- pengalaman masa lalu buka kejadian-kejadian sekarang

  2 Kejadian yang   Kedua; waktu bahagia dan Keduanya; waktu bahagia dan sedih sedih diingat kembali

  • 3 Batasan waktu  Tdak ada alokasi waktu Biasanya menggunakan 4-6 yang spesifik minggu

  4 Tujuan   Menurunkan isolasi Integritas

  •  Meningkatakan sosialisasi, Meningkatkan harga diri
  • hubungan dan persahabatan Menurunkan depresi

     Meningkatan kepuasan Kedamaian hidup

  • Meningkatkan harga diri Meningkatkan kepuasan hidup

  5 Karakteristik Lansia dengan kognitif Kognitif yang baik dan yang baik dan kerusakan kerusakan kognitif ringan pasien

  • kognitif tingkat ringan dan Berfokus pada diri sendiri sedang Biasanya pengalaman yang
  •  mencetuskan kejadian dalam Dapat berfokus pada diri sendiri dan pada orang lain hidup dalam kelompok Mungkin lebih sulit dalam

   kelompok reminiscence jika pasien mempunyai banyak kejadian traumatik atau berhati-hati

  Dari perbedaan yang dikemukan Wheeler diatas, life review hanya dapat dilakukan secara individu, penderita harus mempunyai kemampuan untuk menilai atau menganalisa kejadian hidupnya dan tujuan yang dicapai adalah meningkatkan harga diri dan menurunkan depresi dan stress. Secara khusus terapi ini belum memberikan kesempatan pada penderita untuk meningkatkan interaksi dengan orang lain, sehingga penyelesaian masalah isolasi sosial belum tentu dapat tercapai secara optimal. Untuk membedakan terapi ini dari reminiscence, Butler (1963, dalam Wheeler, 2008) juga mengatakan bahwa life review merupakan suatu tipe dari therapy reminiscence. Frazer, Christensen dan Griffiths (2005) menyatakan bahwa life review serupa dengan reminiscence. Reminiscence lebih mengarah pada kegiatan mengingat kembali kejadian spontan pada masa lalu yang menyenangkan sedangkan therapy life review lebih terstruktur dan melibatkan evaluasi tentang kehidupan individu.

  Therapy reminiscence merupakan salah satu intervensi keperawatan spesialis

  yang dapat dilaksanakan secara individu maupun kelompok. Terapi ini lebih utama ditujukan pada penderita yang mengalami depresi. Therapy reminiscence yang dilakukan secara kelompok akan lebih memberikan kesempatan kepada sesama pasien untuk saling berbagi pengalaman masa lalu untuk mencapai integritas diri.

2.2.2. Manfaat Therapy Reminiscence