: Sistem Informasi Penelitian Universitas Kristen Satya Wacana M02441

UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN

SUSUNAN DEWAN REDAKSI

PROSIDING SEMINAR NASIONAL HUMANIORA DAN SAINTEK I LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UBT “Pembangunan Wilayah Perbatasan dan Pengembangan Sumber Daya Laut Tropis”

Ketua Redaksi: Dr.Ing. Daud Nawir, S.T., M.T.

Dewan Redaksi:

Prof. Dr. Adri Patton, M.Si Dr. Adi Sutrisno, M.P. Dr. Muhammad Yunus Abbas, M.Si Dr. M. Djaya Bakri, S.T., M.T. Dr. Nia Kurniasih S.,S.P.,M.P.

Sekertariat/Sirkulasi:

Mohammad Wahyu Agang Ankardiansyah Pandu Pradana Arif Fadllullah Ruslan Mustari

Sulaiman Kartina Mas Ayu Dewi Ratna Swari

ISSN No: 2615 – 3548 VOLUME DAN TAHUN TERBIT : Volume 1 , 2018

Sekretariat: LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

Universitas Borneo Tarakan Jalan Amal Lama No.1 Tarakan

Email:snhs.borneo@gmail.com Telp./Fax:08115307023, 0551-2052558

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Alloh SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga dapat terselenggara Seminar Humaniora dan Saintek dengan tema “PEMBANGUNAN WILAYAH PERBATASAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAUT TROPIS”. Seminar ini merupakan seminar pertama yang akan diselenggarakan secara rutin oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Borneo Tarakan. Melalui Seminar Humaniora dan Saintek ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan serta dapat memberikan sumbangan positif bagi pembangunan daerah perbatasan dan pengembangan potensi sumberdaya laut tropis. Pertama-tama, atas nama panitia pelaksana, kami mengucapkan terima kasih yang tulus atas bantuan tenaga, pemikiran, moral, dan material kepada seluruh pihak yang telah mendukung berlangsungnya seminar ini. Seminar ini diikuti oleh berbagai kelompok mulai dari dosen, mahasiswa, lembaga dan instansi pemerintah terkait, para peneliti dan praktisi dan industri, dengan Keynote Speaker Direktur Pengembangan Daerah Perbatasan Kemendes PDTT, Ibu Dra. Endang Supriyani , MM . Kami menerima sekitar 43 makalah ilmiah untuk disajikan dalam seminar dan diterbitkan dalam prosiding. Diharapkan prosiding seminar ini nantinya bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Tarakan, Desember 2017 Ketua Panitia

PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL DI INDONESIA STUDI PADA PULAU KERA KABUPATEN KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR

Oleh:

Wilson M.A. Therik 1) Astrid B. Lusi 2) Yesaya Sandang 3)

1. Fakultas Pascasarjana Interdisiplin, Universitas Kristen Satya Wacana E-mail: wilson.therik@staff.uksw.edu

2. Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana E-mail: astrid.lusi@staff.uksw.edu

3. Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Kristen Satya Wacana E-mail: yesaya.sandang@staff.uksw.edu

ABSTRAK

Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi kepulauan di Indonesia dengan jumlah pulau sebanyak 1.192 di mana 43 pulau diantaranya adalah pulau yang dihuni oleh manusia, salah satu diantaranya adalah Pulau Kera yang terletak di kawasan Teluk Kupang dengan luas daratan 48,17 ha yang seharusnya merupakan pulau yang tidak berpenduduk karena terletak pada wilayah Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 18/KPTS-II/1993 tanggal 28 Januari 1993. Namun faktanya sudah sejak lama Pulau Kera ditempati oleh warga pendatang musiman dengan bangunan rumah semi permanen dan permanen. Secara administratif, penduduk Pulau Kera baru mendapat “pengakuan” dari Pemerintah Kabupaten Kupang menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum 2014 ( Kompas, 18/8/2015 ) di mana Pulau Kera menjadi bagian dari wilayah RT 02, Desa Uiasa, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang. Pada pulau-pulau kecil seperti di Pulau Kera, pilihan pembangunan yang sustainable secara ekologis maupun ekonomi sangat terbatas (Hein, 1990). Kemampuan untuk mengembangkan dirinya tanpa bantuan dari luar ( self-sufficiency ) hampir tidak mungkin. Inilah salah satu alasan mengapa penulis memandang perlu untuk melakukan penelitian lapangan ( field research ) di Pulau Kera dengan fokus pada kehidupan sosial masyarakat di Pulau Kera ditinjau dari aspek sosial ekonomi, sosial budaya, sosial politik dan sosial ekologis. Untuk memperoleh data yang valid dan reliable maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam ( in-depth interview ), pengamatan lapangan (observasi), serta studi dokumentasi dan kearsipan untuk menelusuri sejarah penghunian Pulau Kera. Seluruh data yang dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis menggunakan metode analisis induktif (Bungin, 2007) dan triangulasi dari berbagai data (Creswell, 2015). Keluaran dari penelitian ini adalah terumuskannya rekomendasi kebijakan ( policy paper ) bagi Pemerintah Kabupaten Kupang dan Pemerintah Provinsi NTT untuk mengelola Pulau Kera sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) dengan tetap memperhatikan kearifan lokal yang telah dibangun oleh para penduduk Pulau Kera selain memperhatikan keberlanjutan ekologis yang ada di Pulau Kera Kabupaten Kupang Provinsi NTT.

Kata kunci: Pulau Kecil, Pariwisata, Pembangunan Berkelanjutan

1. PENDAHULUAN

Dari 1.192 pulau yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), salah satu diantaranya adalah pulau Kera yang terletak di kawasan Teluk Kupang dengan luas daratan + 25 ha yang seharusnya merupakan pulau yang tidak berpenduduk karena terletak pada wilayah Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 18/KPTS- II/1993 tanggal 28 Januari 1993 untuk dimanfaatkan sebagai daerah wisata berbasis konservasi berdekatan dengan pulau Tikus dan pulau Burung. Namun faktanya sudah sejak lama pulau Kera ditempati oleh warga pendatang musiman yang kini seluruhnya bekerja sebagai nelayan tradisional.

Secara geografis, pulau Kera berada pada posisi 10o 05’ ββ” Lintang Selatan dan 123o γγ’β4”. Dilihat dari aspek fisik, pulau Kera berbentuk elips dengan sisi utara lebih luas dari sisi selatan. Wilayah perairan pulau belum banyak dimanfaatkan karena merupakan TWAL, sedangkan wilayah daratan, hanya bagian selatan saja yang ditempati oleh pemukiman penduduk dengan topografi datar 0-3 mdpl dengan pantai berpasir putih.

Transportasi laut adalah satu-satunya akses menuju Pulau Kera dengan menggunakan kapal/perahu sewaan karena memang tidak tersedia transportasi reguler menuju Pulau Kera dengan lama perjalanan antara 1-1,5 jam dan sangat disarankan untuk berlayar ke Pulau Kera pada pagi hari menjelang matahari terbit dan kembali menjelang matahari terbenam agar terhindar dari angin kencang dan gelombang besar Pada akhir pekan saat cuaca bersahabat Pulau Kera ramai dikunjungi oleh warga dari Kupang maupun dari luar Kupang untuk pesiar, berenang dan mengambil gambar (foto maupun video) apalagi didukung keindahan landscape Pulau Kera yang cocok untuk penggemar fotografi.

Jumlah penduduk di Pulau Kera sampai dengan bulan Februari 2015 tercatat sebanyak 92 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah jiwa sebanyak 316 jiwa yang tersebar di dua wilayah Rukun Tetangga (RT) yakni RT 01 dan RT 02 Pulau Kera-Desa Uiasa, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang. Mayoritas penduduk Pulau Kera beragama Islam (91 KK) dan hanya 1 KK yang beragama Kristen Katholik, dari 92 KK hanya 10 KK yang memiliki Kartu BPJS Kesehatan. Rata-rata penduduk di Pulau Kera tidak menyelesaikan pendidikannya hingga tuntas baik pada tingkat SD, SMP maupun SMA, bahkan ada yang tidak bersekolah.

Pulau Kera: “Nama dan Sekilas Sejarah”

Kata “Kera” yang melekat pada pulau seluas + 25 ha ini tentu menarik untuk dibahas namun menelusuri sejarah dari Pulau Kera adalah pekerjaan yang tidak mudah karena terbatasnya ketersediaan data baik data primer maupun data sekunder tentang sejarah Pulau Kera sebagaimana yang dikemukakan oleh Dhakidae (2008) bahwa masyarakat di Kawasan Timur Indonesia adalah bagian dari Sejarah Masyarakat Tanpa Sejarah karena dibesarkan dalam tradisi tuturan/lisan, berbeda dengan masyarakat di Pulau Jawa yang dibesarkan dalam tradisi tulisan. Satu-satunya metode yang bisa digunakan untuk mengungkapkan sejarah kehidupan masyarakat di Pulau Kera adalah Metode Sejarah Lisan ( Oral History Method ).

Sampai dengan laporan penelitian ini ditulis, penulis belum menemukan literatur/dokumen sejarah yang bisa dipercaya ( valid ) untuk menjelaskan asal usul nama dari Pulau Kera, menurut Dope Candring (salah satu tokoh masyarakat Pulau Kera, usia 71 Tahun) Kera berasal dari Sampai dengan laporan penelitian ini ditulis, penulis belum menemukan literatur/dokumen sejarah yang bisa dipercaya ( valid ) untuk menjelaskan asal usul nama dari Pulau Kera, menurut Dope Candring (salah satu tokoh masyarakat Pulau Kera, usia 71 Tahun) Kera berasal dari

Lochana (2011) menulis bahwa Pulau Kera pada mulanya merupakan pulau yang tidak berpenghuni dan sering dijadikan tempat untuk mencari telur penyu, pulau yang tidak berpenghuni ini diberi nama sesuai dengan bahasa suku-suku yang pernah melakukan pencarian telur penyu di pulau tersebut. Oleh nelayan dari Pulau Rote menyebut pulau ini adalah “Pulau Kea” ( Kea dalam bahasa Rote berarti Penyu), nelayan dari Suku Helong menyebut “Pulau Ke” atau “Pul Ke” ( Ke dalam bahasa suku Helong berarti Penyu).

Pada bagian lain, Lochana (2011) juga menulis bahwa pada masa pemerintahan Fetor Bissilisin, Pulau Kera dijadikan tempat pengasingan bagi orang yang oleh raja telah dituntut bersalah, tetapi yang bersangkutan berniat mengajukan permohonan ampun. Selama raja memikirkan keputusan terhadap permohonan ampun yang diajukan oleh orang yang sebelumnya telah dituntut bersalah, orang diasingkan di Pulau Kera sehingga oleh masyarakat suku Helong pulau tersebut diberi nama Ku Kedang Lau Taik yang dalam bahasa Helong berarti kugantung kesalahanmu untuk selanjutnya kuputuskan sanksinya. Selain sebagai tempat pengasingan sementara, pada masa pemerintahan Fetor Bissilisin, Pulau Kera juga merupakan tempat yang dikeramatkan bagi kelompok masyarakat suku Helong.

Kata “Kera” yang melekat pada pulau yang semula tidak berpenghuni itu karena dua kemungkinan, yakni: Pertama, bentuk kesalahan dengar terhadap pengucapan kata “Kea” sebagai “Kera” oleh penduduk berbahasa melayu Kupang di Kota Kupang. Kedua, karena kisah tentang Takera yang kemudian menjadi Kera. Satu hal yang pasti adalah Pulau Kera tidak ada hubungannya dengan nama dari hewan pemakan pisang yakni Kera/Monyet, karena memang tidak ada Kera atau pun Monyet di Pulau Kera.

Dope Candring dan Hamdani Saba tidak bisa memastikan kapan persisnya awal penghunian masyarakat di Pulau Kera, mereka berdua hanya mendengar tuturan dari orang tua mereka kalau Pulau Kera mulai dihuni pada Tahun 1900 an awal. Menurut Yahyah dan Arafah (2009), Pulau Kera pertama kali dihuni oleh etnis Bajo dan Bugis dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, kedua etnis ini diundang datang ke Pulau Timor oleh Raja Kupang untuk bersama- sama mempertahankan Pulau Timor dari penjajahan, sehingga mereka ditempatkan di Pulau Kera. Namun menurut Direktori Pulau- Pulau Kecil di Indonesia yang dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan melaporkan bahwa kedatangan Etnis Bajo dan Bugis ke Pulau Kera atas undangan dari Raja Kupang untuk melatih masyarakat Timor tentang berlaut/teknik menangkap ikan dengan peralatan tradisional di masa itu. Sedangkan Abdul Syukur (Ketua HMI Cabang Kupang) melalui situs Berdikari Online (www.berdikarionline.co m) menceritakan bahwa awal penghunian masyarakat di Pulau Kera adalah pada Tahun 1915. Sumber yang lain (Lochana, 2011) menyebutkan bahwa Suku Helong adalah pemegang hak ulayat atas Pulau Kera di bawah kekuasaan Raja Helong yakni Fetor Bisilisin. Media online Seputar NTT (www.seputar- ntt.com) yang mengutip pernyataan Camat Semau Paulus Ndun bahwa pemilik sah tanah yang ada di Pulau Kera adalah keluarga besar dari Fetor Bisilisin yang menetap di Kota Kupang dan sebagian lagi adalah lahan milik Pemerintah Kabupaten Kupang.

Dalam dunia dimana waktu luang ( leisure ) dan melakukan perjalanan ( mobility ) dianggap sebagai hak asasi (Breakey & Breakey, 2013; B. F. Higgins-Desbiolles, 2006; Veal, 2003), maka Dalam dunia dimana waktu luang ( leisure ) dan melakukan perjalanan ( mobility ) dianggap sebagai hak asasi (Breakey & Breakey, 2013; B. F. Higgins-Desbiolles, 2006; Veal, 2003), maka

Pada kenyataannya kini pariwisata adalah salah satu sektor yang terus bertumbuh dan berkembang pesat di dunia (UNWTO, 2017). Namun ibarat sekeping mata uang, perkembangan aktivitas pariwisata memiliki dua sisi pada keping yang sama. Pada satu sisi terdapat kemanfaatan yang dapat dibawa oleh hadirnya pariwisata dan disisi yang lain pariwisata pun dapat membawa mudarat yang fatal (Cole & Morgan, 2010).

Merespon situasi yang semacam itu, terdapat beberapa upaya yang dilakukan oleh berbagai kalangan guna lebih memaksimalkan dampak negatif dari pariwisata sekaligus pada saat yang bersamaan menekan dampak negatifnya. Organisasi pariwisata international seperti UNWTO misalnya melansir panduan etika global bagi kepariwisataan (UNWTO, 1999). Adapun upaya- upaya semacam itu juga bahu-membahu dengan kehadiran beberapa konsep-konsep kunci dalam bidang pariwisata yang hendak memberikan basis teoritis bagi pengembangan pariwisata yang dapat dijustifikasi secara moral juga bermanfaat secara aplikatif bagi seluruh pemangku kepentingan pariwisata, diantaranya adalah: sustainable tourism, community based tourism , dan pro-poor tourism .

Melanjutkan konsep dan panduan aplikatif tersebut, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir terdapat sebuah paradigma yang mencoba memberikan sudut pandang baru yang mengkombinasikan pendekatan aksi transformatif dalam upaya untuk menghasilkan suatu pemahaman pariwisata yang berbeda. Paradigma ini dikenal dengan sebagai hopeful tourism (Ateljevic, Morgan, & Pritchard, 2013; Pritchard, Morgan, & Ateljevic, 2011). Mengambil inspirasi dari salah satu agenda yang ditawarkan oleh hopeful tourism (agenda yang ketiga), maka di dalam makalah ini akan dibahas pentingnya memperhatikan isu hak asasi manusia dalam pengembangan pariwisata di Indonesia demi mendukung martabat manusia dan terciptannya keadilan dalam (dan melalui) bidang pariwisata.

Dalam konteks Indonesia harapan akan masa depan pariwisata yang lebih baik sebenarnya telah bersambut manakala agenda hak asasi manusia telah mendapatkan pengakuan yang diletakan dalam undang-undang tentang kepariwisataan. Hal ini berarti bahwa prinsip- prinsip hak asasi manusia (bersama-sama dengan prisnsip-prinsip lainnya) secara normatif harus dijadikan pedoman dalam berbagai dimensi pembangungan pariwisata (paradigma, pengembangan produk, pendekatan, perencanaan, dan ekseskusi). Namun mengelola hak asasi manusia sebagai suatu norma dalam bidang pariwisata memiliki kemungkinan kesenjangan antara yang dicita-dicitakan (dan yang telah diatur) dengan apa yang terjadi dilapangan. Beberapa hasil penelitian dan laporan menunjukan bahwa dilapangan masih terdapat persoalan yang secara langsung terkait isu hak asasi manusia. Laporan dari Tourism Concern misalnya, menunjukan pelanggaran terhadap hak atas tanah yang dimiliki masyarakat lokal di Lombok (Eriksson et al ., 2009). Lain lagi di Bali yang kasusnya terkait dengan dengan hak-hak pekerja (Beers, 2013; Pande Sudirja S, Markeling I Ketut, 2013), dan hak terhadap air (Cole, 2014). Sedangkan di Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir ini muncul kegelisahan terhadap persoalan yang sama dengan Bali (hak terhadap air) diikuti dengan penolakan dari beberapa kelompok masyarakat terhadap pembangunan hotel dan komodifikasi (Watchdoc, 2016).

Oleh karena itu pembahasan dalam makalah berikut ini menjadi relevan guna memahami kesenjangan antara “law in the book” dan “law in the action”, yang pada akhirnya dapat

memberikan kontribusi dalam mendekatkan celah antara keduanya. Hal tersebut dilakukan melalui eksplorasi konseptual antara pariwisata dan hak asasi manusia dalam konteks Indonesia yang dilengkapi dengan sebuah laporan hasil penelitian lapangan pada salah konteks pariwisata Indonesia. Lebih jauh, dalam khasanah penelitian hukum, pembahasan semacam ini dapat dikategorikan kedalam kajian socio-legal dan critical legal studies yang mengintegrasikan wawasan dan metode dari berbagai lintas disiplin ilmu (McConville & Chui, 2007). Sehingga pada akhirnya diharapkan melalui pendekatan semacam ini dapat terbuka peluang untuk menghasilkan wawasan kritis terhadap isu hak asasi manusia dalam sektor pariwisata di Indonesia.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan ( field research ) yang bersifat eksploratif dan eksplanatif karena bermaksud untuk menelusuri dan kemudian menjelaskan kehidupan masyarakat di pulau Kera Kabupaten Kupang. Untuk mengakses data yang valid (sahih) dan reliable (andal), maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Makna pendekatan kualitatif di sini terkait dengan teknik dan instrumen pengumpulan data, serta teknik analisis dan interpretasi data yang tidak menggunakan statistik (Strauss dan Corbin, 2003). Dalam kaitan ini terdapat sejumlah alasan yang sahih untuk melakukan penelitian kualitatif, salah satu diantaranya adalah tujuan dari dari penelitian ini yakni ingin memperoleh gambaran yang jelas tentang kehidupan sosial kemasyarakatan masyarakat di Pulau Kera.

Penulis melakukan pengumpulan data dengan beberapa metode yakni Pertama, melakukan Wawancara Mendalam ( In-depth Interview ) pada Bapak Hamdani Saba yang telah menetap di pulau Kera sejak Tahun 1988 dan tentu telah mengenal betul dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan masyarakat pulau Kera, inilah salah satu alasan mengapa penulis memilih Bapak Hamdani Saba sebagai Informan Kunci ( Key Informan ) dan Bapak Dope Candring (Ketua RT di Kelurahan Sulamu) dan Lurah Sulamu, sebagai Informan Pendukung, hasil wawancara mendalam dicatat pada buku catatan ( Log Book ); Kedua, penulis juga melakukan Observasi/Pengamatan Lapangan ( Field Observation ) dengan alat bantu berupa Digital Camera Canon SLR EOS 1100D untuk merekam secara visual aktivitas masyarakat di pulau Kera, Ketiga, selain wawancara mendalam dan observasi lapangan, penulis juga melakukan pengumpulan data sekunder dengan metode studi literatur/dokumentasi dan kearsipan baik melalui penelusuran di internet maupun penelusuran dari kliping media cetak dan penelusuran hasil-hasil penelitian terkait di perpustakaan terutama untuk mengungkap sejarah penghunian pulau Kera yang sangat terbatas literaturnya.

Wawancara dilakukan dalam suasana informal, santai tapi serius dan penuh keakraban yang diawali dengan perkenalan diri oleh penulis dan sekaligus penulis menjelaskan maksud serta tujuan dari penelitian ini selain menunjukkan surat ijin penelitian dari pemerintah Kabupaten Kupang.

Untuk melengkapi data sekunder tentang pulau Kera penulis juga sempatkan waktu untuk berkunjung ke Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan NTT serta ke Perpustakaan Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang dan Perpustakaan Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang.

Untuk analisis data, penulis menggunakan metode triangulasi data ( data triangulation ) yang dikembangkan oleh Creswell (2015) yakni penulis menggunakan berbagai jenis sumber data yaitu informan, waktu dan ruang. Yang dimaksud dengan informan adalah data-data dikumpulkan dari orang-orang berbeda yang melakukan aktivitas yang sama. Yang dimaksud dengan waktu adalah, data-data dikumpulkan pada waktu yang berbeda. Dan yang dimaksud dengan ruang adalah data- data dikumpulkan di tempat yang berbeda, jika data-data konsisten maka validitas data terpenuhi dan selanjutnya laporan penelitian dapat disusun (untuk diseminarkan dan kemudian dipublikasikan).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengelolaan pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir di Indonesia dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan ( sustainable development ) dihadapkan pada kondisi yang bersifat mendua atau berada di persimpangan jalan. Di satu pihak ada banyak kawasan yang belum sama sekali tersentuh oleh aktivitas pembangunan, namun di pihak lain terdapat beberapa kawasan pulau- pulau kecil dan pesisir yang telah dimanfaatkan (dikembangkan) dengan intensif. Akibatnya terlihat indikasi telah terlampauinya daya dukung atau kapasitas berkelanjutan (potensi lestari) dari ekosistem pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap lebih ( over fishing ), degradasi fisik habitat pesisir, dan abrasi pantai, telah muncul di kawasan-kawasan pesisir. Fenomena ini telah dan masih berlangsung, terutama di kawasan- kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang padat penduduknya dan tinggi tingkat pembangunannya, seperti di Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Bali, Lombok, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Selatan (Dahuri et al . 2004).

Adalah merupakan suatu ironi bagi sebuah negara maritim seperti Indonesia bahwa masyarakat nelayan merupakan golongan masyarakat yang paling miskin. Walau data agregatif dan kuantitatif yang terpercaya tidak mudah diperoleh, pengamatan visual/langsung ke kampung- kampung nelayan dapat memberikan gambaran yang jauh lebih gamblang tentang kemiskinan nelayan di tengah kekayaan laut yang begitu besar. Pemandangan yang sering kita jumpai di perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup yang kumuh serta rumah- rumah sangat sederhana. Kalaupun ada beberapa rumah yang menonjolkan tanda-tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah dan berantena parabola), rumah-rumah tersebut umumnya rumah pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang jumlahnya tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas sangat kecil. Dalam kondisi demikian, sangat sulit para nelayan ke-luar dari lingkaran kemiskinan dan bersaing dalam pemanfaatan hasil laut. Mereka akan selalu kalah bersaing dengan perusahaan penangkapan ikan, baik asing maupun nasional, yang berperalatan modern. Oleh karena itu, pemberdayaan komunitas nelayan merupa-kan langkah yang sangat krusial dalam mencapai tujuan pemanfaat-an kekayaan laut Indonesia (Sarosa, 2005).

Menurut Mulyadi (2005) ketergantungan nelayan terhadap teknologi penangkapan itu sangat tinggi. Hal tersebut disebab-kan selain kondisi sumber daya perikanan yang bersifat mobile, yaitu mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain, juga untuk menangkapnya nelayan perlu sarana bantu untuk dapat bertahan lama hidup di atas air. Pada umumnya para nelayan masih mengalami keterbatasan teknologi penangkapan. Dengan alat tangkap yang sederhana, wilayah operasi pun menjadi terbatas, hanya di sekitar perairan pantai. Di samping itu, ketergantungan terhadap musim sangat tinggi, sehingga tidak setiap saat nelayan bisa turun melaut, Menurut Mulyadi (2005) ketergantungan nelayan terhadap teknologi penangkapan itu sangat tinggi. Hal tersebut disebab-kan selain kondisi sumber daya perikanan yang bersifat mobile, yaitu mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain, juga untuk menangkapnya nelayan perlu sarana bantu untuk dapat bertahan lama hidup di atas air. Pada umumnya para nelayan masih mengalami keterbatasan teknologi penangkapan. Dengan alat tangkap yang sederhana, wilayah operasi pun menjadi terbatas, hanya di sekitar perairan pantai. Di samping itu, ketergantungan terhadap musim sangat tinggi, sehingga tidak setiap saat nelayan bisa turun melaut,

Motif Bermigrasi

Migrasi diartikan sebagai perpindahan tempat tinggal seorang atau sejumlah penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain. Pendu-duk yang bermigrasi tersebut disebut migran. Migrasi menurut wila-yah tujuan dibagi menjadi dua yaitu: migrasi internasional dan migrasi internal. Migrasi internasional adalah migrasi dengan tujuan lintas negara sedangkan migrasi internal hanya lintas daerah dalam suatu negara. (Todaro, 2004). Secara umum alasan migrasi meli-puti motivasi ekonomi maupun non-ekonomi. Hamid (1999) mengung-kapkan bahwa motivasi ekonomi merupakan faktor dominan di samping karena adanya berbagai fasilitas di tempat yang baru yang lebih baik, yang tidak atau sukar diperoleh di tempat asal, seperti fasilitas pendidikan, hiburan, listrik, dan sebagainya. Menurut Lee (dalam Munir, 2000) ada 4 faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk bermigrasi, yaitu: 1) faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, 2) faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan, 3) rin-tangan-rintangan penghambat dan

4) faktor-faktor pribadi. Dabidede (2002) pada penelitiannya di kota Kupang, NTT mengungkapkan bahwa kelompok nelayan pendatang (nelayan migran) di kota Kupang berasal dari dua kelompok masyarakat. Kelompok pertama berasal dari daerah-daerah yang stagnan perekonomiannya. Mereka bermigrasi untuk mencari hidup di daerah lain yang lebih menjanjikan secara ekonomi, karena mere-ka hanya bisa hidup sebagai nelayan, kelompok nelayan ini mene-mukan laut di Kota Kupang belum terjamah oleh aktivitas nelayan. Kelompok kedua berasal dari daerah yang cukup maju namun mere-ka adalah kelompok miskin di daerah asalnya, di samping itu kelom-pok nelayan kedua ini memiliki tingkat pendidikan lebih rendah di-bandingkan dengan kelompok nelayan pertama. Alasan kemiskinan ini menyebabkan mereka mencari daerah lain untuk mendapatkan pekerjaan sebagai nelayan.

Dimensi Ekologis Masyarakat

Mengacu pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 18/KPTS-II/1993 tanggal 28 Januari 1993 seharusnya Pulau Kera merupakan pulau yang tidak berpenduduk karena terletak pada Wilayah Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang. Masih dalam ketentuan yang sama, Pulau Kera memang dapat dimanfaatkan sebagai daerah wisata berbasis konservasi yang secara strategis berdekatan dengan Pulau Tikus dan Pulau Burung. Faktanya hingga kini Pulau Kera masih dihuni oleh masyarajat Bajo yang sebagian besar adalah nelayan tradisional. Kehadiran mereka semata-mata menjadikan pulau tersebut untuk transit menangkap ikan dan akibat dari tekanan kepadatan penduduk di pemukiman komunitas Bajo di Sulamu (Kampung Bajo). Selain daripada itu pulau Kera juga dianggap strategis sebagai akses ke kota Kupang sehingga mempermudah proses perekonomian.

Terhadap ekologi di Pulau Kera kehadiran masyarakat Bajo yang dikenal amat menggantungkan penghidupannya dari laut memang berkorelasi langsung dengan permasalahan ekologis yang muncul, seperti tekanan terhadap terumbu karang yang berkurang dan menurunnya habitat penyu laut. Sebagaimana diakui oleh salah seorang narasumber kunci bahwa memang pernah ada masa dimana penangkapan ikan yang merusak lingkungan akibat dari pengunaan bahan peledak dan pukat. Dahulu juga masyarakat juga melakukan praktek penangkapan penyu atas dasar motif ekonomis. Namun, seiring dengan upaya pemerintah dalam mensosialisasikan aturan tentang cara-cara penangkapan ikan yang dilarang serta perhatian terhadap spesies yang dilindungi, pada waktu sekarang ini masyarakat mulai berhenti melakukan hal-hal tersebut. Persoalan ekologis lainnya yang juga muncul adalah (dugaan) semakin berkurangnya daratan di pulau tersebut. Hal ini sinyalir oleh karena proses abrasi dan juga proses ekskavasi untuk keperluan material pembangunan rumah di Kota dan Kabupaten Kupang.

Relasi Negara dan Masyarakat

Sejarah lisan tentang awal penghunian Pulau Kera adalah sejak Tahun 1900-an dari berbagai versi cerita, namun pengakuan terhadap masyarakat Pulau Kera sebagai bagian dari masyarakat Kabupaten Kupang baru terjadi di Tahun 2014 menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu). Secara formal masyarakat Pulau Kera oleh Pemerintah Kabupaten Kupang telah diakui sebagai bagian dari administrasi pemerintahan Kecamatan Semau-Kabupaten Kupang, tepatnya Pulau Kera merupakan bagian dari Dusun I Desa Uiasa yang terbagi di dalam 2 wilayah Rukun Tetangga (RT) dan 1 wilayah Rukun Warga (RW).

Jika dilihat dari pertumbuhan penduduk, maka dari tahun ketahun terdapat peningkatan jumlah penduduk di pulau tersebut yang sebagain besar adalah masyarakat Bajo yang memiliki hubungan dengan kampun Bajo di Sulamu. Demikian adanya, walaupun secara administratif pulau Kera termasuk dalam wilayah kecamatan Semau, pemerintah yang menjalankan peranan secara riil adalah pemerintahan dari kecamatan Sulamu. Hal ini tercermin dari layanan kesehatan kepada ibu dan anak yang juga turut difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat (Yayasan Tanpa Batas).

Namun selain daripada itu penduduk di pulau Kera menjalankan aktivitas lainnya secara mandiri dalam hal pendidikan dasar. Oleh karena status pulau yang seharusnya tidak berpenghuni tersebut pemerintah tidak memberikan perhatian yang serius maupun sarana dan prasarana. Sedangkan terkait status kependudukan baru pada tahun 2014 masyarakat pulau Kera diberikan Kartu Tanda Penduduk dengan domisil wilayah kecamatan Sulamu. Hal inilah yang kemudian memicu perlawanan masyarakat Pulau Kera terhadap pemerintah terkait penetapan Pulau Kera sebagai bagian dari Kecamatan Semau.

Secara sosiologis, relasi antara Negara dan masyarakat Bajo di Sulamu tidak dapat dipisahkan dari gambaran umum konfigurasi masyarakat yang multi etnis. Dimana sebagai etnis yang bukan aseli dari kawasan Nusa Tenggara Timur dan memang dikenal sebagai pelaut nomaden, suku Bajo memiliki tempat yang unik dalam konteks relasi sosial. Pada satu sisi masyarakat Bajo identik dengan pemeluk agama Islam yang notabene secara statistic adalah komunitas kecil dalam demografi kabupaten Kupang. Walau demikian masyarakat Bajo di pulau Kera dan Sulamu memiliki sikap terbuka (inklusif). Sikap terbuka ini bisa dilihat dari status perkawinan masyarakat Secara sosiologis, relasi antara Negara dan masyarakat Bajo di Sulamu tidak dapat dipisahkan dari gambaran umum konfigurasi masyarakat yang multi etnis. Dimana sebagai etnis yang bukan aseli dari kawasan Nusa Tenggara Timur dan memang dikenal sebagai pelaut nomaden, suku Bajo memiliki tempat yang unik dalam konteks relasi sosial. Pada satu sisi masyarakat Bajo identik dengan pemeluk agama Islam yang notabene secara statistic adalah komunitas kecil dalam demografi kabupaten Kupang. Walau demikian masyarakat Bajo di pulau Kera dan Sulamu memiliki sikap terbuka (inklusif). Sikap terbuka ini bisa dilihat dari status perkawinan masyarakat

Relasi Bisnis dan Masyarakat

Selaras dengan derasnya berbagai narasi pariwisata pada tingkat regional, pulau Kera juga dilirik oleh pengusaha (investor) untuk dikembangkan kearah pariwisata. Namun persoalannya sejak ambisi ini tertangkap radar media yang muncul adalah suatu gambaran akan pariwisata dalam prespektif massal yang rentan tidak terhadap keberlanjutan. Pada saat yang bersamaan pemerintah tidak memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam pariwisata di TWAL, jika dilihat dari perhatian pemerintah terhadap pulau tersebut dan penduduknya. Hal ini kemudian berdampak terhadap lebih dominannya sepak terjang pengusaha untuk mengembangkan pulau tersebut.

Dari hasil penelitian terdahulu terkait perencanaan pariwisata pulau Kera, telah diberikan rekomendasi untuk melakukan RRA guna ( rapid rural appraisal ) guna mengetahui program pemberdayaan masyarakat yang sesuai untuk dikembangan. Dilain sisi secara ekologis diperlukan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan melalui pendekatan pengeloaan partisipatoris agar bersama-sama dapat menjaga kelestarian hayati yang ada. Namun hingga saat ini situasi tindak lanjut terhadap masukan tersebut belum nampak. Pada kenyataannya pengusaha lebih menginginkan agar warga direlokasi yang hingga saat ini masih belum menemukan titik temu dengan masyarakat.

Masyarakat sendiri sebenarnya terbuka terhadap kemungkinan untuk pengembangan sector pariwisata, hanya memang diakui bahwa dari sisi kapasitas masih sangatlah terbatas. Berbekal keahlian menangkap ikan secara tradisional, sebagian besar warga tidak memiliki bekal pendidikan formal yang memadai untuk melakukan diversifikasi usaha. Secara seporadis memang pulau Kera telah menjadi salah satu daya tarik wisata yang dalam prakteknya tidak melibatkan masyarakat setempat. Wisatawan yang datang biasanya adalah wisatawan ekskursi baik dari jalur Rote maupun Kota Kupang.

Perempuan Pulau Kera Dibawa/Dibawah Laki-Laki

Perempuan Bajo yang tinggal di pulau Kera atau yang kami singkat perempuan pulau Kera adalah perempuan yang dibawa laki-laki. Tidak ada perempuan pulau Kera yang asli. Semua perempuan pulau Kera berasal dari pulau lain yang diajak merantau oleh sang suami. Dari lima orang perempuan yang saya wawancarai hanya seorang perempuan yang berasal dari Nusa Tenggara Timur, dalam hal ini Rote, sedangkan empat perempuan lainnya berasal dari Sulawesi. Ada yang baru menetap di pulau Kera selama tiga bulan lebih tetapi ada yang telah menetap bertahun-tahun bahkan sampai mati tinggal di pulau Kera.

Perempuan pulau Kera juga merupakan perempuan yang berada di bawah laki-laki. Posisi di bawah laki-laki ini mengacu pada penerapan sistem patriarkat yang sangat kuat di pulau Kera. Pengambilan keputusan dalam rumah tangga diserahkan kepada laki-laki. Pemimpin atau tokoh-tokoh masyarakat adalah laki-laki. Pemandangan yang menajubkan terjadi ketika kami datang. Pada waktu itu yang mengantar dan menunjukkan arah kepada kami adalah seorang perempuan, namun yang berdiskusi dengan kami adalah seorang laki-laki. Ketika laki-laki menerima tamu, berdiskusi dengan orang asing, perempuan justru berada di belakang, di dekat Perempuan pulau Kera juga merupakan perempuan yang berada di bawah laki-laki. Posisi di bawah laki-laki ini mengacu pada penerapan sistem patriarkat yang sangat kuat di pulau Kera. Pengambilan keputusan dalam rumah tangga diserahkan kepada laki-laki. Pemimpin atau tokoh-tokoh masyarakat adalah laki-laki. Pemandangan yang menajubkan terjadi ketika kami datang. Pada waktu itu yang mengantar dan menunjukkan arah kepada kami adalah seorang perempuan, namun yang berdiskusi dengan kami adalah seorang laki-laki. Ketika laki-laki menerima tamu, berdiskusi dengan orang asing, perempuan justru berada di belakang, di dekat

Perempuan berbeda namun juga sama dengan laki-laki. Ada kondisi umum yang membuat perempuan sama dengan laki-laki, namun ada pula kondisi khusus yang dimiliki perempuan yang membuatnya berbeda, tetapi bukan berarti untuk dibedakan. Peran perempuan, dan laki-laki masyarakat Bajo dibedakan oleh ruang privat dan ruang publik. Perempuan dan anak menempati ruang privat, sedangkan laki-laki menempati ruang publik. Penetapan tersebut mengkonstruksi identitas mereka.

Dalam wawancara dengan masyarakat pulau Kera, ada perbedaan pandangan tentang pekerjaan dan status perempuan pulau Kera menurut Bapak Arsyad dan menurut perempuan- perempuan pulau Kera. Pandangan Bapak Arsyad mewakili perspektif laki-laki sekaligus tokoh masyarakat Bajo di Pulau Kera. Menurut Bapak Arsyad, perempuan pulau Kera memiliki posisi sejajar dengan laki-laki. Perempuan pulau Kera pun ikut melaut guna membantu memenuhi kebutuhan suami dan atau keluarga. Pandangan ini ditentang oleh perempuan-perempuan pulau Kera.

Beberapa perempuan pulau Kera yang saya wawancarai mengatakan bahwa perempuan pulau Kera tidak pernah melaut. Melaut adalah pekerjaan laki-laki. Setiap harinya perempuan pulau Kera bekerja mengambil air di sumur, mencuci, memasak, mengurus suami dan anak, serta berbelanja kebutuhan rumah tangga di Kupang, jika angin tidak kencang. Menurut perempuan pulau Kera, seluruh pekerjaan tersebut adalah tugas mereka sebagai perempuan. Seorang Ibu pun berkata, “Perempuan memang bekerja seperti itu. Pekerjaan tersebut bukan tugas laki-laki.” Pekerjaan perempuan Bajo yang tinggal di pulau Kera berbeda dengan pekerjaan perempuan Bajo di Sulamu. Para perempuan Bajo di Sulamu ikut melaut membantu pekerjaan suami dan atau keluarga. Mereka tidak hanya diikutkan dalam ruang privat tetapi juga ruang publik.

Pandangan Bapak Arsyad dan perempuan- perempuan pulau Kera menyatakan bahwa persoalan dualisme ruang privat dan ruang publik tidak diakui secara jujur oleh kaum laki-laki bahkan pada saat yang sama perempuan pun tidak merasa bahwa dualisme tersebut adalah masalah yang harus diselesaikan. Para perempuan pulau Kera justru dengan tegas mengidentifikasikan pekerjaan di ruang privat dengan identitas mereka sebagai perempuan.

Perempuan dan Kemiskinan

Kemiskinan yang tidak pernah berakhir membuat perempuan pulau Kera kebal terhadap kemiskinan. Para perempuan pulau Kera menceritakan perihal kemiskinan secara gamblang tanpa ekspresi kesedihan dan ketakutan. Rasanya kemiskinan yang mendarah daging itu membuat mereka hanya berpikir tentang cara untuk bertahan hidup.

Perempuan-perempuan pulau Kera mengisahkan bahwa setiap hari suami mereka pulang membawa uang tetapi tidak jarang sang suami hanya pulang dengan membawa hutang. Mereka tidak punya tabungan karena uang yang diperoleh hanya bisa digunakan untuk membeli kebutuhan pokok. Secara umum biaya per hari yang diberikan oleh suami adalah Rp 300.000,00 bahkan lebih tetapi tidak sampai juta-an. Jadi kira-kira Rp 500.000,00 per hari. Keuntungan tersebut untuk Perempuan-perempuan pulau Kera mengisahkan bahwa setiap hari suami mereka pulang membawa uang tetapi tidak jarang sang suami hanya pulang dengan membawa hutang. Mereka tidak punya tabungan karena uang yang diperoleh hanya bisa digunakan untuk membeli kebutuhan pokok. Secara umum biaya per hari yang diberikan oleh suami adalah Rp 300.000,00 bahkan lebih tetapi tidak sampai juta-an. Jadi kira-kira Rp 500.000,00 per hari. Keuntungan tersebut untuk

Situasi berbeda dialami oleh perempuan yang menjanda. Ada dua orang perempuan pulau Kera yang ditinggal mati suami. Kedua perempuan ini memiliki anak-anak yang harus dihidupi. Mereka pun berjualan kue namun keuntungan yang diperoleh sangat sedikit, bahkan tidak ada keuntungan sama sekali. Mereka menjual 1 kue dengan harga Rp 1.000,00. Kadang kala jualan tersebut laris dan mereka mendapatkan keuntungan Rp 50.000,00. Namun keuntungan tersebut digunakan untuk menutupi hutang Rp 50.000,00 yang mereka pinjam untuk membeli bahan kue, seperti tepung terigu dan bahan-bahan lainnya. Ada kalanya keuntungan Rp 50.000,00 tersebut tidak langsung mereka peroleh karena para pembeli tidak langsung membayar kue tersebut. Dengan kata lain, para pembeli berhutang kepada penjual yang berhutang kepada orang lain yang bukan tidak mungkin juga berhutang kepada orang lain. Tidak ada keuntungan yang didapatkan oleh kedua penjual kue tersebut. Kisah di atas menunjukkan bahwa kemiskinan, hutang yang tak berkesudahan melekat dalam kehidupan perempuan pulau Kera. Ini situasi yang sungguh memilukan hati.

Perempuan, Anak dan Pendidikan

Secara umum, pemerintah kabupaten Kupang tidak memberikan perhatian bagi pendidikan masyarakat pulau Kera. Pencapaian tertinggi dalam pendidikan bagi perempuan pulau Kera adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ketika kami datang hanya ada satu orang pengajar di pulau tersebut. Tampaknya proses belajar mengajar tidak berjalan dengan baik karena banyak anak pulau Kera yang buta huruf.

Tidak tersedianya fasilitas pendidikan yang memadai, kurangnya tenaga pengajar dan kemiskinan menjadikan pendidikan sebagai hal mewah yang susah sekali diperoleh oleh masyarakat Bajo. Anak pulau Kera yang berhasil bersekolah hingga tingkat SMP adalah anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi yang lebih baik. Ketidaksetaraan dalam pendidikan ini menyatakan bahwa institusi pendidikan justru sadar atau tidak menciptakan kelas-kelas ekonomi. Pendidikan hanya diberikan bagi mereka yang sanggup membayar. Hubungan kekuasaan antara ekonomi kuar dan lemah terlihat gamblang sehingga kelompok miskin tereksploitasi dan berada dalam kebodohan terus- menerus.

Situasi semakin bertambah pelik ketika pendidikan dikaitkan dengan relasi yang tidak sejajar antara perempuan dan laki-laki. Pendidikan yang berpihak kepada laki-laki terbukti dalam dualisme ruang privat dan publik di pulau Kera. Pendidikan yang bias gender ini mengakibatkan perempuan pulau Kera dengan tingkat perekonomian yang rendah mendapatkan diskriminasi berlapis-lapis.

Perempuan, Anak dan Perkawinan

“Anak perempuan mau kerja apa, sekolah juga tidak. Jadi mereka tunggu jodoh. Kalau sudah ketemu jodoh mau apa lagi, langsung dinikahkan saja.” Pernyataan di atas adalah pernyataan para perempuan pulau Kera. Perkawinan dilihat sebagai satu-satunya masa depan yang bisa dicapai oleh perempuan pulau Kera. Semua perempuan pulau Kera menikah dalam usia muda, 14-19 tahun. The Convention on the Rights of the Child mendefinisikan anak sebagai setiap manusia yang “Anak perempuan mau kerja apa, sekolah juga tidak. Jadi mereka tunggu jodoh. Kalau sudah ketemu jodoh mau apa lagi, langsung dinikahkan saja.” Pernyataan di atas adalah pernyataan para perempuan pulau Kera. Perkawinan dilihat sebagai satu-satunya masa depan yang bisa dicapai oleh perempuan pulau Kera. Semua perempuan pulau Kera menikah dalam usia muda, 14-19 tahun. The Convention on the Rights of the Child mendefinisikan anak sebagai setiap manusia yang

Menurut United Nations Population Fund (UNFPA) pada “ Fact Sheet yang berjudul “Marrying Too Young – End Child Marriage ” halaman 11 menyatakan bahwa pernikahan anak

berkaitan erat dengan pernikahan yang diatur sepihak oleh orang tua atau wali. Berdasarkan pernyataan tersebut, pernikahan anak secara jelas telah bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (the Universal Declaration of Human Rights) pada pasal 16 (2) menegaskan bahwa “Marriage shall be entered into only with the free and full consent of the intending spouses.”

Ada inkonsistensi mengenai batas usia minimal menikah yang diatur dalam perundang- undangan. Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan, pasal 7 (1) menyatakan “Pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Pada ayat (β) dikatakan bahwa “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.” Pada pasal lain, pasal 47 (1) dikatakan bahwa, “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaa nnya.” Dalam Undang- undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Inkonsistensi dalam peraturan tersebut menegaskan bahwa pemerintah masih belum serius bahkan terkesan acuh tak acuh memberantas praktik perkawinan anak.

Perkawinan anak membawa dampak negatif. Menurut sosiolog Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Dr. Partini, perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun berpotensi keguguran, anak dan ibu rentan terhadap penyakit, kualitas anak yang dilahirkan rendah, gizi buruk, dan putus sekolah. Perkawinan anak membuat anak kehilangan kesempatan untuk belajar dan bermain. Anak juga kehilangan masa-masa dimana mereka seharusnya bisa mendapat lebih banyak pengalaman dalam hidup. Meskipun perempuan pulau Kera memilih menikah di usia dini karena putus sekolah, namun pernikahan di usia dini membawa pengaruh buruk bagi kesehatan ibu dan anak.

Terkait erat dengan perkawinan, menurut penuturan perempuan pulau Kera, sebagian besar perempuan pulau Kera memilih untuk kawin lari karena tidak mampu melanjutkan sekolah dan calon suami mereka bertentangan dengan kemauan orangtua. Kawin lari adalah pelanggaran terhadap pasal 332 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang dapat dijatuhi hukuman 7-9 tahun penjara.

Perempuan dan Kesehatan

Pemerintah tidak memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat Bajo. Berdasarkan penuturan Bapak Arsyad, pelayanan kesehatan melalui posyandu baru “kemarin” diberikan bagi masyarakat. Selama ini pelayanan kesehatan diberikan oleh dukun.

Persoalan yang tidak kalah penting adalah kelangkaan air bersih. Masyarakat Bajo mengalami kelangkaan air bersih. Selama ini masyarakat mengkonsumsi air payau berasal dari satu Persoalan yang tidak kalah penting adalah kelangkaan air bersih. Masyarakat Bajo mengalami kelangkaan air bersih. Selama ini masyarakat mengkonsumsi air payau berasal dari satu

Kurangnya perhatian pemerintah dan kelangkaan air bersih berakibat buruk bagi kesehatan masyarakat Bajo. Yayasan Tanpa Batas mencatat bahwa masyarakat Bajo mengalami gangguan dalam hal kesehatan reproduksi dan kelamin.

Dalam pembahasan mengenai kesehatan alat kelamin, masyarakat Bajo mempraktikkan sunat atau khitan perempuan. Praktik sunat ini didasarkan pada ajaran Al-Quran dan kepercayaan bahwa sunat bertujuan untuk membersihkan alat kelamin. Bagi masyarakat Bajo, praktik sunat perempuan dilakukan oleh dukun atau orangtua.

Menurut Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), ada empat tipe praktik sunat perempuan, yaitu clitoridectomy (membuang sebagian atau seluruh klitoris), excision (membuang sebagian atau seluruh klitoris dan labia minora, terkadang disertai pemotongan labia mayora, bibir yang mengelilingi vagina), infibulasi (memperkecil mulut vagina dengan membuat penutupnya, yaitu memotong labia minora dan bagian dalam labia mayora, lalu menjahitkan dan merekatkan sisanya, dengan atau tanpa memotong klitoris) dan prosedur lainnya terhadap genitalia perempuan untuk tujuan non-medis misalnya menghilangkan, mengucilkan, menggores, mengikis dan membakar daerah genitalia.

Mayoritas pemeluk Islam di Indonesia mengikuti Mazhab Syafi’iyah yang mengajarkan bahwa sunat perempuan adalah wajib. Ajaran tersebut tentu tidak berpihak kepada perempuan. Dalam pandangan Syafii, perempuan adalah manusia yang tidak bisa menentukan hidupnya kecuali di bawah perintah laki-laki. Karena itu ajaran Syafii terhadap sunat perempuan perlu dibaca dalam konteks androsentrisme.

Dokumen yang terkait

ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN PENGANGKUT SAMPAH KOTA MALANG (Studi Kasus : Pengangkutan Sampah dari TPS Kec. Blimbing ke TPA Supiturang, Malang)

24 196 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Khutbah Washil bin Atho' wa ma fiha minal asalib al-insyaiyah al-thalabiyah : dirasah tahliliyah

3 67 62

Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Peningkatan Produktivitas sekolah : penelitian di SMK al-Amanah Serpong

20 218 83

Analysis On Students'Structure Competence In Complex Sentences : A Case Study at 2nd Year class of SMU TRIGUNA

8 98 53