Penggambaran Tokoh Putri Princess Dalam (1)

PENGGAMBARAN TOKOH PUTRI (PRINCESS)
DALAM FILM KARTUN DISNEY
(ANALISIS KOMPARASI ERA KLASIK VS ERA KONTEMPORER)

Dhian Kartika Febriyanti
Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya

ABSTRAK
Film sebagai salah satu media massa dapat memberikan efek sosial kepada
penontonnya, terutama anak-anak apabila di konsumsi secara terus menerus untuk
menciptakan realitas mengenai perempuan. Maka pada penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji penggambaran tokoh putri (princess) dalam film kartun Disney. Penelitian ini
menggunakan metode analisis isi kuantitatif dan kualitatif, dimana analisis isi kuantitatif
sebagai data utama dari penelitian serta analisis isi kualitatif untuk mempertajam dengan
memaknai lebih dalam dari data utama untuk menganalisa kecenderungan konstruksi
perempuan dalam kemasan princess, pada penampilan fisik dan sifat internal tokoh
Cinderella dan Merida yang merepresentasikan dari era klasik dan era kontemporer.
Hasil dari penelitian ini, peneliti menemukan adanya pergeseran pada penggambaran
tokoh princess klasik ke princess kontemporer. Pada penampilan fisik, jenis princess klasik
cinderella merepresentasikan perempuan yang dilekatkan pada standar perempuan ideal dari
penampilan fisik di media seperti rambut sempurna, tubuh kurus, kulit wajah putih, dan

tekstur kulit flawless, pada sifat internalnya selalu dikaitkan dengan kepasifan, kepatuhan,
dan kebergantungan. Sedangkan pada princess kontemporer merepresentasikan perempuan
yang tidak berkaitan dengan gambaran perempuan ideal di media seperti rambut messy look,
tubuh curvy, wajah bulat dengan tekstur freckless. Pada sifat internal, Merida
merepresentasikan sebagai perempuan yang berdaya, melakukan aksi penyelamatan, dan
terlepas dari peran serta relasi laki-laki atau pangeran. Disamping itu masih terdapat
kontradiksi pada kedua princess tersebut, dimana media masih terlihat mempertahankan
representasi pada kecantikan fisik dari princess klasik, seperti kulit yang putih, bentuk
hidung, dan bentuk alis yang rapi masih ditampilkan. Sedangkan dari hasil penelitian sifat
internal juga ditemukan kontradiksi bahwa jenis princess kontemporer masih terlihat
mempertahankan representasi perempuan itu sendiri, seperti pada karakter ceroboh dan
nurturing atau female modesty. Disney seakan menjadikan sebuah patokan gambaran
perempuan princess yang dapat memberikan pesan kepada anak-anak bahwa perempuan yang
cantik dan superior adalah perempuan princess Disney. Maka dari itu, dari penjabaran di atas
dapat disimpulkan bahwa bahwa Disney sekali lagi meneguhkan konsep kecantikan yang
sudah ada di media.
Kata-kata kunci : konstruksi perempuan, princess klasik dan kontemporer, film animasi

PENDAHULUAN
Walt Disney merupakan salah satu

produsen media dan hiburan yang
mendunia bahkan menjadi bagian dari
budaya Amerika karena keberhasilannya
dalam industri film, salah satunya adalah
film kartun atau animasi yang disertai
lini“Disney princess”. “Disney princess
adalah waralaba perusahaan Walt Disney
yang didasarkan dari tokoh fiksi Disney,
dimulai pada awal tahun 2000” (Shaffer,
2010, h. 32).
“Film Disney princess ini menjadi
tontonan favorit bagi semua kalangan,
tokoh animasi Disney, lagu, tema cerita,
dan pernak-pernik, mereka adalah ikon
budaya yang dihormati dan dipercayai oleh
orang dewasa maupun anak-anak, baik
yang tinggal di kota-kota besar maupun di
pedesaan, dan di seluruh dunia” (Faherty,
2001).
Disney

terbukti
telah
mampu
mendominasi budaya tidak hanya melalui
film, tapi juga memproduksi pernak-pernik
yang menjadi konsumsi massa. seperti
yang diulas oleh New York Times
magazine,
“Princess,” as some Disney execs call
it, is not only the fastest-growing brand
the company has ever created; they say
it is on its way to becoming the largest
girls’ franchise on the planet
(Orenstein, 2006).”

Salah satu media massa, khususnya film
memiliki pengaruh yang spesifik dan
terukur pada konsep viewers dari realitas.
“Semakin banyak waktu seseorang
menghabiskan media, semakin banyak

sumber-sumber informasi, gagasan, dan
kesadaran terkait persepsi realitas yang
diberikan oleh media. Demikian juga
semakin banyak media yang dikonsumsi,
semakin banyak persepsi “mainstreamed”
(Gerbner, Gross, Morgan, & Signorielli,

1980). Intinya dengan adanya konsumsi
media secara terus-menerus, dapat
memberikan
efek
sosial
kepada
penontonnya untuk menciptakan realitas
bahwa perempuan seharusnya seperti
tokoh-tokoh yang mereka tonton dan
kagumi. Wynss dan Rosenfeld juga
menambahkan:
“The Media as holding a powerful role
in forming the attitudes, value, and

behaviours of its viewers (2003, h. 91)”.

Melalui film Disney princess, anakanak akan menerima pesan tentang
gambaran perempuan dari segi penampilan
dan karakter melalui tokoh yang
ditampilkan. karena mereka tidak hanya
menonton, namun juga berinteraksi,
terlebih lagi mereka akan berpenampilan
atau berperilaku seperti tokoh kesukaan
mereka.
Menurut
Villa
(2013)
dalam
penelitiannya yang berjudul “Konsep Diri
Anak Penonton Barbie dan Bukan
Penonton Barbie”, menyatakan bahwa
“anak-anak menerima pesan dalam film
memiliki kecenderungan untuk lebih
menerima karakteristik tokoh utama. Pesan

dan isi yang diterima ialah kehidupan
Barbie seperti mahkota, putri dan kerajaan
serta kecantikan Barbie bahwa cantik
berupa kulit putih dan langsing.”
Hal
yang
terpenting
untuk
dipertimbangkan dalam konteks film
animasi Disney, “karena anak-anak yang
menontonnya
masih
belum
dapat
membedakan antara dunia fiksi dan
realitas, mereka bahkan berpikir bahwa
tokoh dalam film tersebut nyata dan
hidup” (Gökçearslan, 2010).
Merujuk pada istilah “Princess”
merupakan sebuah notion barat mengenai

perempuan yang ideal, sesuatu yang

superior yang artinya perempuan dengan
sebutan princess dikatakan memiliki citra
positif yang berkualitas tinggi atas
kecantikan, penampilan, peran, karakter,
serta perilaku yang lebih tinggi sebagai
seorang perempuan.
Peneliti
disini
tertarik
untuk
mempelajari dan meneliti film Cinderella
dan Brave. Kedua film ini memiliki
periode waktu yang berbeda, Cinderella di
tahun 1950 dan Brave 2012. Penelitian ini
mengkaji mengenai perbandingan antara
jenis princess klasik dan kontemporer,
dimana tokoh Cinderella merupakan
representasi jenis princess klasik dan

tokoh Merida dalam film Brave yang
merepresentasikan
jenis
princess
kontemporer. Tokoh Cinderella dianggap
menarik untuk diteliti dikarenakan sosok
yang sangat populer dikalangan anak-anak
perempuan karena disebut sebagai “perfect
female” seperti asumsi Ford dan Mitchell
(2004, h. 35-36).
“Physical image Disney’s Cinderella is
quite perfect and Cinderella stands for
female perfection”.

Disamping itu, kepopuleran Cinderella
juga berasal dari ciri khas slipper glass dan
dress-nya, bahkan ketika ada perayaan
Halloween dan acara ulang tahun pun
anak-anak
perempuan

seringkali
menggunakan dresscode ataupun tema
tokoh princess ini. Seperti yang diulas oleh
The New York Times,
“It’s everywhere i turn, and she’s
obsessed with it. It’s all about who has
the nicest (Halloween) costume.
Everyone is going to be Cinderella. It’s
who’s got the tiara’s, the dresses, the
shoes” (Kantor, 2005).

romance, dan ending happily ever after
berupa pernikahan yang biasanya menjadi
ciri khas cerita dalam film Disney
princess. Salah satu artikel menyatakan
sebagai berikut:
“Merida was created to break that
mould," she added. "To give young girls a
better, stronger role model, a more
attainable role model; something of

substance, not just a pretty face that waits
around for romance." (Child, 2013).

Maka dari itu, film Brave dinilai cukup
penting untuk memberikan pesan kepada
anak-anak bagaimana penggambaran
perempuan
notion
princess
dalam
memandang dirinya sendiri. Karena anakanak belajar mengenai lingkungan
sosialnya dari apa yang mereka tonton.
Berdasarkan adanya fenomena Disney
princess di dunia dan pada anak-anak
perempuan dan penggambaran notion
princess itu sendiri. Penelitian ini
kemudian akan meneliti bagaimana
perbandingan
penggambaran
tokoh

Cinderella
dan
Merida
khususnya
perempuan yang dikonstruksi oleh Disney
dengan cara membandingkan representasi
jenis princess klasik dan jenis princess
kontemporer tersebut.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah penggambaran tokoh putri
(princess) dalam film kartun Disney?
TUJUAN
Untuk mengetahui
untuk
penggambaran tokoh putri
dalam film kartun Disney.

mengkaji
(princess)

TINJAUAN PUSTAKA
Princess jenis kontemporer seperti
tokoh Merida menarik untuk diteliti
dikarenakan didalam film menceritakan
peniadaan pada peran pangeran, kisah

2.1. Film Kartun sebagai Komunikasi
Massa
“Film dimulai ketika akhir abad ke-19
sebagai salah satu bentuk baru dari novel,

tetapi berbeda dalam isi dan fungsi”
(McQuail, 2000, h. 23). “Film sebagai
komunikasi massa ditujukan kepada
sejumlah besar khalayak (DeVito, 1997, h.
506), karena film dengan cepat dapat
menjangkau populasi masyarakat yang
besar di berbagai daerah.” Tidak terkecuali
film Cinderella dan Brave yang dibahas
dalam penelitian ini juga merupakan salah
satu alat komunikasi massa.
Film juga dapat ditonton kapanpun,
bersama siapapun, dan dimanapun.
Dengan teknologi yang semakin maju,
film mengalami perkembangan dalam
pembuatannya, salah satunya adalah film
animasi.
Film animasi 2 dimensi atau yang lebih
dikenal dengan sebutan film kartun, pada
umumnya diciptakan untuk anak-anak,
karena bentuknya yang full colour, ceria,
dan lucu. Menurut M. Horn (2007, h. 4),
“Animation comes from the Latin word,
anima. The word means “spirit”,
“breath”, or “life”. Animations make
drawings, paintings, paper cutouts,
clay, puppet, or computer image appear
to come alive. Methods differ. But all
animators find ways to fool the human
eye.”

Dalam bentuk kartun, setiap tokoh
digambarkan melalui tampilan fisik dan
karakter. Animator membuatnya menjadi
menarik, sehingga penggambaran sifat
karakter pada tokoh kartun dapat diketahui
melalui pesan yang disampaikan dialur
cerita suatu film, khususnya film kartun
Disney Princess.
2.2 Kajian Isi dan Pesan dalam Film
Disney Princess
Film kartun sebagai komunikasi massa
merupakan milik umum dan dapat
memberikan pesan kepada penonton.
Pesan tersebut disampaikan dengan media

bahasa, gambar, dan suara dalam sebuah
film.
“Film is powerful storyteller, employing
narrative, visuals, music
enhances
its ower to communicate a vision of
moral living (Ward, 2002, h. 5).”

Isi dan pesan yang disampaikan oleh
film disney princess ialah mengenai
perempuan itu sendiri. Anak-anak
perempuan yang menonton akan menerima
pesan berupa bagaimana seharusnya
seorang perempuan dalam bertindak atau
berperilaku, berpikir, dan berpenampilan.
isi pesan mengenai perempuan itu sendiri
dapat terlihat disaat tokoh utama dalam
film pertama kali dimunculkan.
“Pesan merupakan sesuatu yang
disampaikan pengirim kepada penerima”
(Cangara, 2010, h. 24). “Pesan sendiri bisa
berbentuk verbal dan nonverbal, pesan
verbal dikelompokkan dalam bahasa lisan
dan bahasa tulisan” (Daryanto, 2010, h.
24). “Sedangkan pesan nonverbal menurut
Littlejohn (2009, h. 158), adalah kumpulan
perilaku
yang
digunakan
untuk
menyampaikan arti.”
Kajian isi dan pesan dalam film ini
ialah karakter tokoh princess Cinderella
dan Merida, karakter kedua tokoh ini
digambarkan melalui bentuk pesan verbal
dan nonverbal, yaitu berupa dialog dengan
lawan mainnya serta perilaku atau tingkah
laku tokoh tersebut. Intinya, dengan pesan
yang ditampilkan di film Disney, maka
dapat
diketahui
bahwa
Disney
mengkonstruksi
perempuan
princess
melalui film kartun.
2.3 Konstruksi Film atas Perempuan
Disney Princess
Film merupakan salah satu media yang
hampir secara keseluruhan dikonstruksi
oleh produser dan tim produksinya.
Sebagian
besar
unsur-unsur
yang

terkandung di dalamnya adalah hasil
konstruksi. Bahkan film yang berdasarkan
kisah nyata pun, merupakan hasil
konstruksi karena proses produksinya tetap
mengandalkan interpretasi dari tim
produksi tersebut.
Seperti yang diungkapkan oleh Graeme
Turmer (2008, h. 27), “film merupakan
representasi dari realitas masyarakat dan
bukan sekedar “memindahkan” realitas ke
layar lebar tanpa merubah realitas tersebut.
Film bukan saja menceritakan budaya
namun juga mengkonstruksi budaya
tersebut”. Maka dapat disimpulkan, bahwa
isi media bukanlah realitas yang
sesungguhnya.
Baudrillard (dalam Durham dan
Kellner, 2006, h. 448) mengungkapkan
bahwa gambaran yang tampak pada media
sebenarnya adalah sebuah hypereal.
Gambaran mengenai perempuan seringkali
dikonstruksi pada kecantikan ideal, dimana
produsen media dan hiburan Walt Disney
terlihat membawa konsep ideal tersebut
melalui film-film dengan tokoh utama
perempuan yang melalui lini Disney
princess, hal itu didukung oleh asumsi
Wolf (2002, h. 3) yang menyatakan
bahwa konsep ideal yang dikirimkan oleh
media tidak terjadi begitu saja, namun
berujung pada politik tertentu yang
memiliki tujuan untuk produksi massal
suatu produk.
Pada film kartun Disney, sosok princess
dikemas untuk menyatakan sebagaimana
sifat atau karakter dan penampilan fisik
ideal yang melekat pada seorang
perempuan di dalam masyarakat. Hollows
berpendapat (2010, h. 14), “sering
dinyatakan
bahwa
gadis
remaja
disosialisasikan pada nilai dan perilaku
feminin yang dikaitkan dengan kepasifan,
kepatuhan,
dan
kebergantungan.”
Kebanyakan dari princess tersebut

dikonstruksi memiliki penggambaran
perempuan yang sedemikian rupa.
2.3.1
Physical
Appearance
pada
Perempuan Disney Princess
Physical appearance atau penampilan
fisik merupakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan penampilan luar yang
mudah diamati atau dinilai oleh orang lain.
Hal tersebut juga didukung oleh
pernyataan Owen (2006, h. 59) bahwa,
“The Physical appearance of others, in
terms of body size, shape, and
attractiveness, also affect our behaviour
and expectations.”

Begitu juga pada gambaran perempuan
princess Dinsey, gambaran fisik pada
perempuan dinilai dari bentuk tubuh dan
warna kulit sehingga menjadikan sebuah
tolak ukur pada kecantikan perempuan.
Dalam budaya barat, hal tersebut dianggap
cukup
penting
untuk
menghargai
kecantikan seorang perempuan. Wood
(2008, h. 100) juga menambahkan sebagai
berikut,
“Western culture places an extremely
high value on physical appearance and
on spesific aspects of appearance. we
first notice obvious physical qualities
such as sex, skin colour, and size. Based
on physical qualities, we may make
inferences about other personalities.”

Hecht (2011) dalam penelitiannya yang
berjudul Happily Ever After: Construction
of Family in Disney Princess Collection
Films, menyampaikan bahwa “Disney
masih menggambarkan pandangan tentang
physical appearance. Hal ini bisa menjadi
hasil dari perusahaan berusaha untuk
mempertahankan identitas merek didalam
koleksi film-film Disney.”
Kebanyakan film kartun disney princess
menggambarkan bagaimana seharusnya
physical appearance pada sosok princess.

Baran (2012, h. 14) “memberikan contoh
banyaknya
film-film
yang
mengkonstruksikan cantik dengan langsing
dan putih.” Penggambaran perempuan
tersebut di dalam film dikonstruksi secara
terus-menerus dan semakin memperkuat
bahwa perempuan yang cantik adalah
perempuan yang langsing dan putih, Hal
tersebut juga diperkuat oleh asumsi
Cheu (2013, h. 271) yang menyatakan,
“Perhaps most tellingly, in this regard
are Disney’s princesses, who with
excesses of femininity, an innate
connection with nature, impossible
thinness, beautiful flawless skin, and
perfect hair, attire and poise, always
manage to get the prince and live
happily ever after”

Adanya penggambaran mengenai tokoh
utama perempuan Disney princess
terutama mengenai nilai penampilan fisik
didukung oleh pendapat Ford dan Mitchell
(2004, h. 35-36) pada tokoh Disney
princess Cinderella,
“Physical image Disney’s Cinderella is
quite perfect and Cinderella stands for
female perfection”.

Begitu pula dengan Lester (2010, h. 294)
yang menambahkan mengenai gambaran
penampilan fisik perempuan pada tokoh
utama Cinderella,
“Cinderella is often called "the blonde
with the tiny feet" (Lester, 2010, h.
294).”

2.3.2
Sifat-sifat
Internal
Tokoh
dalam Film
Sifat internal merupakan sifat atau
karakter yang diciptakan di dalam tokoh
dongeng atau fiksi. Menurut Lauther
(2004, h. 3), “sifat internal dalam sebuah
tokoh fiksi tidak selalu terlihat didalam
cerita. Penulis harus membiarkan pembaca
penasaran, tetapi pada saat yang sama ia
mungkin memilih untuk menyimpan

setidaknya satu sifat internal tersembunyi
dari tokoh yang lain dalam cerita.”
“sifat internal juga diperoleh dari waktu ke
waktu tergantung pada pengalaman si
tokoh,
misalnya
pendidikan
dan
lingkungan sosial, atau insiden spesifik
yang telah terjadi dalam hidupnya”
(Lauther, 2004, h. 3). Maka dari itu, akan
terlihat gambaran sifat internal yang
dibentuk oleh Disney pada tokoh
Cinderella dan Brave.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis isi
kuantitatif dan kualitatif. Mcnamara
(2003) menyatakan, “analisis isi kuantitatif
merupakan analisis yang sesuai dengan
metode ilmiah dan menghasilkan temuan
yang dapat diandalkan. Analisis isi
kualitatif teks diperlukan untuk memahami
makna lebih dalam dan kemungkinan
besar interpretasi oleh khalayak, pastinya
tujuan akhir dari menganalisis isi media.
Jadi kombinasi dari kedua metode tersebut
bisa menjadi pendekatan yang ideal.”
Menurut Neundorf (2002, h. 1)
“analisis isi dapat didefinisikan secara
singkat sebagai sistematis, objektif,
analisis kuantitatif karakteristik pesan”.
Tujuan dari penelitian analisis isi adalah
“menggambarkan isi pesan dalam media
massa” (Neundorf, 2002, h. 5).
Analisis
isi
kualitatif
menurut
(Kriyantono, 2006, h. 251) ialah “analisis
yang memahami produk isi media dan
mampu
mengubungkannya
dengan
konteks sosial atau realitas yang terjadi
sewaktu pesan dibuat.”

Penelitian dengan menggunakan metode
analisis
isi
dapat
mengungkap
kecenderungan yang ada pada isi pesan
dalam film. Dalam penelitian ini, analisis
isi kuantitatif berfungsi sebagai data utama
dalam
menggambarkan
isi
pesan,
sedangkan kualitatif digunakan untuk
mempertajam dengan memaknai lebih
dalam mengenai penggambaran tokoh
putri (princess) dalam film kartun Disney.
3.2 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi
yang diterapkan dan menjadi indikator
untuk mendefinisikan konsep (Adiputra,
2008, h. 111). Adiputra menambahkan,
“definisi operasional ini menunjukkan
bagaimana peneliti akan mengukur
sesuatu.” Berikut definisi operasional
dalam penelitian ini :
1. Film Kartun atau animasi
Film animasi 2 dimensi atau yang lebih
dikenal dengan sebutan film kartun.
Menurut Horn (2007, h. 4) “Animation
comes from the Latin word, anima. The
word means “spirit”, “breath”, or “life”.
Animations make drawings, paintings,
paper cutouts, clay, puppet, or computer
image appear to come alive. Methods
differ. But all animators find ways to fool
the human eye.”
2. Disney princess
“Disney princess adalah waralaba milik
perusahaan Walt Disney yang didasarkan
dari tokoh fiksi Disney, dimulai pada awal
tahun 2000” (Shaffer, 2010, h. 32).
3. Physical appearance
Physical appearance atau penampilan fisik
merupakan
segala
sesuatu
yang

berhubungan dengan penampilan luar yang
mudah diamati atau dinilai oleh orang lain.
4.

Sifat internal
Menurut
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia (2009, h. 392), Sifat atau
karakter diartikan sebagai “sifat-sifat
kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang
menjadi ciri khas seseorang.” Lauther
(2004, h. 3) menyatakan, “sifat internal
bisa diperoleh dari waktu ke waktu
tergantung pada pengalaman karakter,
misalnya pendidikan dan lingkungan
sosial, atau insiden spesifik yang telah
terjadi dalam hidupnya. Sebuah sifat atau
karakter adalah hasil dari apa yang dilihat,
didengar, atau dialami.”

3.3 Unit Analisis
Carney (dalam Neundorf, 2002, h. 71)
menjelaskan dalam analisis isi, “unit
adalah pesan yang dapat diidentifikasi atau
komponen pesan, (a) yang berfungsi
sebagai dasar untuk mengidentifikasi
populasi dan menggambar sampel, (b)
dimana variabel diukur, atau (c) yang
berfungsi sebagai dasar untuk pelaporan
analisis. Unit dapat kata-kata, karakter,
tema, periode waktu, interaksi, atau hasil
lainnya dari memecah sebuah komunikasi
ke dalam bentuk-bentuk yang lebih
spesifik.” Peneliti menentukan unit analisis
dalam penelitian ini, yakni Character Unit.
Character unit dalam penelitian
ini adalah
“Animation
comes from the Lati
karakter tokoh Cinderella dalam film
Cinderella dan tokoh Merida dalam film
Brave.
3.4 Sampel
Sampling analisis isi media terdiri dari tiga
langkah, Newbold et al (dalam Mcnamara,
2003, h. 13) mengemukakan sebagai
berikut:
1. Pemilihan bentuk media yaitu,
(koran, majalah, radio, TV,

film) dan genre (berita,
peristiwa saat ini, drama, opera
sabun,
dokumenter,
dan
seterusnya). Bentuk media yang
dipilih oleh peneliti dalam
penelitian ini ialah film.
Sedangkan genrenya ialah film
kartun atau animasi. Yaitu film
Cinderella dan Brave.
2. Pemilihan isu atau tanggal
(periode). Pemilihan periode
penelitian ini ialah era klasik
dan era kontemporer.
3. Sampling konten yang relevan
dari dalam media tersebut.
Sampel konten dalam media ini
ialah karakter tokoh Cinderella
dan Brave.
3.5 Koder
Karakteristik dalam pemilihan koder ini
adalah paling tidak koder yang memahami
ilmu komunikasi dasar dan komunikasi
massa serta pernah mempelajari mengenai
sinematografi. Kedua koder tersebut yaitu
:
1. Koder
kedua
adalah
Gita
Puspitasari,
mahasiswi
ilmu
komunikasi FISIP Universitas
Brawijaya Malang.
2. Koder ketiga adalah Tri Sari Arum,
mahasiswi ilmu komunikasi FISIP
Universitas Brawijaya Malang.
3.6 Sumber Data
Berdasarkan sumbernya, data dalam
penelitian ini adalah, data Primer. “Data
primer adalah data yang diperoleh dari
sumber data pertama atau tangan pertama
di lapangan. Dalam analisis isi, data
primernya adalah isi komunikasi yang
diteliti” (Kriyantono, 2006, h. 41-42). Data
primer dalam penelitian ini berupa
dokumentasi film, yaitu film kartun
Disney princess Cinderella dan Brave.

3.7 Pilot Coding
“Praktek coding, yang disebut pilot
coding, dapat menginformasikan para
peneliti
untuk
keterandalan
dan
kelangsungan skema coding. Kemudian
revisi dapat dilakukan sebelum final
coding.” (Neundorf, 2002, h. 133).
Dalam tahapan ini, pengkodingan
dilakukan dengan mengikutsertakan pihak
koder. Hal pertama yang dilakukan ialah
melakukan pelatihan coding dengan tujuan
“coder dapat mengerti dengan baik
kategori yang dipakai dalam penelitian,
definisi dari masing-masing kategori dan
dapat mengaplikasikan secara benar
protokol pelatihan, dan pemahaman yang
sama terhadap lembar coding dan
protokol” (Eriyanto, 2011, h. 254).
Tahapan kedua ialah melakukan
praktek coding atau pilot coding untuk
menyamakan pendapat agar tidak terjadi
perbedaan makna dalam proses penelitian
sesuai dengan unit analisis yang ditentukan
sebelumnya.
Peneliti
menentukan
kesepakatan bersama dengan para coder
dari kategorisasi yang telah dirumuskan.
Ketika dalam proses pilot coding tidak
sepakat, maka kategorisasi dirumuskan
kembali dengan menambahkan indikator
baru maupun mengurangi indikator.
3.8 Validitas dan Reliabilitas
3.8.1 Validitas
“Didalam penelitian analisis isi terdapat
beberapa tipe validitas diantaranya adalah
face validity, criterion validity, content
validity,
dan
construct
validity”
(Neundorf, 2002).
Validitas yang paling tepat di dalam
penelitian ini adalah construct validity.
Neundorf (dalam Eriyanto, 2011, h. 268)
menyatakan “validitas konstruk adalah
validitas yang melihat apakah alat ukur

disusun atau diturunkan dari suatu
kerangka teori tertentu.” Dalam hal ini
peneliti
telah
mengkategorisasikan
instrumen penelitian berdasarkan teoriteori yang ada.
3.8.2 Reliabilitas
“Realibilitas melihat pada alat ukur
dapat dipercaya menghasilkan temuan
yang sama, ketika dilakukan oleh orang
yang berbeda” (Eriyanto, 2011, h. 282).
Kriyantono menyatakan (2006, h. 238)
“bahwa salah satu uji reliabilitas yang
dapat digunakan adalah berdasarkan rumus
oleh R. Holsty. Di sini periset melakukan
pre test dengan cara mengkoding sampel
ke dalam kategorisasi. Kemudian hasil
pengkodingan
dibandingkan
dengan
menggunakan rumus Holsty, yaitu:
Keterangan:
CR
= Coeficient Reliability
M
= Jumlah pernyataan yang
disetujui oleh koder
N1,N2
= Jumlah pernyataan yang
diberi kode oleh koder
CR 

2M
N1  N 2

Hasil yang diperoleh dari rumus Holsti
disebut Observed Agreement (persetujuan
yang
diperoleh
dari
penelitian).
Selanjutnya untuk memperkuat hasil uji
reliabilitas di atas, digunakan rumus Scott
sebagai berikut:

pi
= nilai keterandalan
Observed agreement = hasil pengamatan
tiap coder

Expected agreement = angka kesepakatan
yang diharapkan
Kriyantono (2006, h. 240) mengatakan
“ambang penerimaan yang sering dipakai
untuk uji reliabilitas kategorisasi adalah
0,75. Jika persetujuan antarkoder tidak
mencapai
0,75,
maka
kategorisasi
operasional mungkin perlu dirumuskan
lebih spesifik lagi. Artinya, kategorisasi
yang dibuat belum mencapai tingkat
keterandalan atau keterpercayaan.”
3.9 Teknik Analisis Data
Menurut Eriyanto (2011, h. 208)
pengukuran membutuhkan suatu alat,
dalam analisis isi alat itu adalah instrumen
yang berisi tentang item dan kategori yang
ingin diketahui dalam analisis isi.
Instrumen ini kerap disebut sebagai lembar
coding (coding sheet), “Sampel yang telah
didokumentasi diolah melalui proses
pengkodingan,
diolah
dengan
menggunakan lembar koding dan panduan
codebook bagi koder” (Wimmer dan
Dominick, 2011, h. 168). Penelitian ini
menggunakan ukuran data nominal,
dimana setiap kategori diberi angka atau
nilai. Angka atau nilai ini hanya sebagai
label
untuk
mengidentifikasi
atau
mengkategorikan isi. Ukuran data nominal
dipilih karena karena kategorisasi yang
digunakan
dalam
penelitian
tidak
mempunyai jenjang atau tingkatan.
Data diklasifikasikan sesuai dengan unit
analisis, variabel, spesifikasi, dan indikator
yang telah ditetapkan dalam penelitian.
Variabel merupakan bagian-bagian dari
unit analisis. Spesifikasi adalah penjabaran
lebih lanjut dari variabel, dan indikator
menjadi pembatas dari masing-masing
spesifikasi.
Hasil dari pengkodingan masingmasing koder kemudian dicocokkan guna

menemukan pendapat-pendapat yang
sama. Jumlah pernyataan yang sama akan
dihitung sebagai nilai frekuensi masingmasing spesifikasi di setiap potongan
adegan (scene) film yang diamati.
Penyajian data ini sendiri menggunakan
tabel frekuensi serta bentuk grafik.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sintesis
Hasil dari analisis isi kuantitatif dan
kualitatif ini memberikan ringkasan data
mengenai
kecenderungan
konstruksi
perempuan yang ditampilkan dalam
kemasan princess milik Disney, yaitu pada
penampilan fisik dan sifat internal tokoh
Cinderella dan Merida. Perbandingan
diantara kedua princess tersebut akan
dijabarkan kedalam tabel di bawah ini.
Tabel 1.4 Tabel Penampilan Fisik Princess
Klasik dan Princess Kontemporer

Jenis Princess
Jenis Princess
Klasik
Kontemporer
Cinderella (1950)
Merida (2012)
Penampilan Fisik
Penampilan Fisik
1. Rambut
1. Rambut
Cinderella
Merida
ditampilkan
ditampilkan
dengan
warna
dengan warna
rambut
blond,
rambut
redbentuk
rambut
flame
(merah
lurus cenderung
api),
bentuk
mengembang,
rambut
curly
dan
tampilan
(keriting), dan
rambut
yang
tampilan rambut
selalu rapi.
yang cenderung
messy
look
(berantakan).
2. Wajah
Bentuk
wajah 2. Wajah
oval, warna kulit
Bentuk
wajah
putih,
tekstur
bulat,
warna
wajah flawless
kulit
putih,

(halus
tanpa
noda),
bentuk
alis tipis dan
rapi, serta bentuk
hidung
yang
mancung.
3. Tubuh
Cinderella
memiliki bentuk
tubuh slim-skinny
(kurus)

tekstur
wajah
freckless
(berbintik),
bentuk alis tebal
dan rapi, serta
bentuk hidung
yang mancung.
3. Tubuh
Merida memiliki
bentuk
tubuh
yang
curvy
(berisi)

4. Gerakan
saat
beraktifitas 4. Gerakan saat
Gaya berbicara
beraktifitas
ditampilkan
Gaya berbicara
dengan lembut,
ditampilkan oleh
Merida dengan
Cinderella hanya
tegas,
Merida
terlihat
juga ditampilkan
menampilkan
dengan gerakan
gerakan
tubuh
tubuh
yang
yang
anggun,
sporty, aktifitas
aktifitas
fisik
menyanyi,
fisik
yang
aktifitas bersolek
dilakukan
menata rambut
Merida adalah
dan
menyisir
memanah,
rambut.
aktifitas
Kekuatan fisik
bersolek
juga
yang
dimiliki
ditampilkan
cenderung
dengan menata
lemah. Namun
poni rambutnya.
masih
Dan
kekuatan
menampilkan
fisik
yang
kekuatan
fisik
dimiliki
ialah
kuat.
fisik kuat.
Dari tabel di atas, dapat disimpulkan
bagaimana konstruksi penampilan fisik
“princess” Disney yang merepresentasikan
dari dua era, yaitu era klasik dan era
kontemporer. Pada princess jenis klasik

Cinderella
terlihat
menggambarkan
perempuan dengan penampilan fisik yang
dianggap sebagai standar kecantikan oleh
media mulai dari rambut hingga bentuk
tubuhnya.

Karakteristik rambut Cinderella
digambarkan oleh Media dianggap sebagai
perfect hair tampaknya pada era tersebut,
karakteristik rambut seperti Cinderella
memang sedang populer. Namun seiring
dengan berubahnya zaman, karakteristik
rambut di era klasik mengalami pergeseran
ke era kontemporer, khususnya pada
gambaran princess Disney. Merida sebagai
jenis princess kontemporer menjadi role
model baru yang menampilkan kecantikan
dan kemenarikan perempuan dari sisi yang
berbeda. Namun dari segi wajah, beberapa
persamaan dari kedua princess tersebut
masih terlihat menampilkan standar pada
perempuan ideal.
Pergeseran selanjutnya terlihat dari
adanya perbedaan bentuk tubuh diantara
kedua princess tersebut. Bentuk tubuh
yang menarik bukan lagi ditampilkan
dengan bentuk tubuh yang slim-skinny atau
kurus. Ketika zaman berubah, maka roda
perputaran kecantikan dan kemenarikan
pada bentuk tubuh perempuan juga
mengalami
perubahan.
Di
era
kontemporer, bentuk tubuh yang menarik
ialah perempuan dengan bentuk tubuh
curvy seperti yang dimiliki oleh jenis
princess kontemporer Merida.
Kemudian
pada
gerakan
saat
beraktifitas, dapat disimpulkan bahwa
jenis princess kontemporer tidak banyak
menampilkan gerakan aktifitas yang
identik dilakukan oleh princess pada
umumnya. Terlihat pergeseran yang lebih
terlihat variatif pada jenis princess
kontemporer. Princess tidak lagi monoton
ditampilkan dengan gerakan aktifitas
seperti penjabaran tabel di atas.
Berikutnya pada ringkasan data dari
hasil
pembahasan
diperoleh
hasil
mengenai sifat internal pada jenis princess

klasik dan jenis princess kontemporer.
Data yang ditemukan diantara kedua
princess tersebut akan dijabarkan kedalam
tabel di bawah ini.
Tabel 1.5 Tabel Sifat internal Princess
Klasik dan Princess Kontemporer

Jenis Princess
Klasik
Cinderella (1950)
Sifat internal
1. Ceroboh
Sifat
internal
pada Cinderella
terlihat
menampilkan
perempuan tidak
hati-hati,
cenderung
ceroboh.
2. Optimistic dan
Pessimistic
Cinderella
menampilkan
sifat
yang
optimis dan juga
pesimis ketika
dihadapkan
situasi tertentu.
3. Restrained
Cinderella
memiliki
sifat
yang restrained
dimana ia hanya
terlihat menahan
emosinya ketika
sedang marah.
4. Unadventurous
Cinderella
terlihat
lebih
menyukai
kehidupan
di
istana daripada
alam bebas. Ia

Jenis Princess
Kontemporer
Merida (2012)
Sifat internal
1. Cermat dan
Ceroboh
Tokoh Merida
terlihat
menampilkan
perempuan
yang memiliki
sifat
yang
cermat
dan
ceroboh.
Namun
cenderung
bersifat cermat.
2. Optimistic
Sifat
yang
dimiliki oleh
Merida
cenderung
terlihat
optimis.
Ketika
dihadapkan
situasi
yang
buruk.
3. Unrestrained
Merida tampak
memiliki sifat
yang
unrestrained,
dimana terlihat
melepaskan
emosi secara
terangterangan.

memiliki
sifat
yang
unadventurous.
5. Timid
Cinderella
cenderung
menampilkan
sifat timid atau
takut ketimbang
sifat berani.

4. Adventurous
Merida terlihat
lebih
menyukai
kehidupan di
hutan
dan
bebas
dari
aturan istana,
ia
memiliki
sifat
yang
adventurous.

6. Tertarik
dengan lawan
jenis
Cinderella
terlihat
menampilkan
ketertarikannya
dengan laki-laki,
khususnya pada
pangeran.

5. Courageous
Merida
cenderung
menampilkan
sifat internal
yang
courageous
atau berani

7. Submissive
Cinderella
menampilkan
sifat
yang
mematuhi segala
perintah Ibu tiri
dan
kedua
saudari tirinya.

6. Tidak tertarik
dengan lawan
jenis
Pada
Merida
terlihat
menampilkan
sifat yang tidak
tertarik
terhadap
pangeran.

8. Nurturing
Cinderella
terlihat
menampilkan
sifat yang
keibuan hanya
pada temanteman
hewannya.

7. Rebellious
Merida lebih
terlihat
menampilkan
sifat
yang
rebellious
(melawan atau
menentang).
8. Nurturing
Merida juga
terlihat
menampilkan
sifat yang
nurturing
“mengasuh”
pada ketiga

adiknya,
meskipun
terkesan kurang
lembut.
Dari tabel di atas, dapat disimpulkan
bagaimana gambaran perempuan itu
sendiri melalui kemasan “princess” Disney
yang merepresentasikan dari dua era, yaitu
era klasik dan era kontemporer.
Pada sifat internal Cinderella tampak
bagaimana gambaran perempuan dari jenis
princess klasik itu sendiri. Terlihat sifat
yang masih menampilkan pakem Disney
ketika diuji pada jenis princess
kontemporer Merida yang masih tampak
sedikit beberapa persamaan sifat diantara
Merida dan Cinderella.
Pada jenis princess kontemporer, sifat
internal lebih cenderung ditampilkan
berbeda dan tampak memiliki kepribadian
yang kuat dari jenis princess klasik
Cinderella, seperti sifat yang lebih cermat,
optimis, berani, berjiwa petualang, tidak
tertarik lawan jenis, dan berani menentang
tradisi. Hal tersebut dikarenakan adanya
pengembangan sifat pada perempuan itu
sendiri juga disesuaikan seiring dengan
perubahan zaman untuk dijadikan role
model yang baru bagi anak-anak.
Diskusi Hasil
Berdasarkan
dari
penggambaran
perempuan secara utuh. Dari data yang
diperoleh peneliti menemukan bahwa
konstruksi perempuan di media tidak
hanya berdasarkan pada penampilan fisik,
melainkan juga pada sifat perempuan itu
sendiri.
Media
banyak
mengkonstruksi
mengenai standar kecantikan perempuan,
terutama pada perempuan princess Disney,
dimana perempuan yang cantik selalu
dilekatkan dengan kulit putih, hal tersebut

didukung pernyataan Baran (2012, h. 14)
yang “memberikan contoh banyaknya
film-film yang mengkonstruksikan cantik
dengan langsing dan putih.” Asumsi Baran
mengenai
konstruksi
cantik
pada
perempuan di media mendukung hasil
penelitian yang ditemukan oleh peneliti
pada warna kulit Cinderella dan
menariknya peneliti juga menemukan hal
yang sama pada warna kulit Merida.
Cinderella sebagai jenis princess klasik
tampak
sekali
merepresentasikan
perempuan yang dilekatkan pada standar
perempuan ideal dari penampilan fisik.
Representasi
pada
Cinderella
membenarkan pernyataan Cheu (2013, h.
271) tentang gambaran fisik yang
menyatakan bahwa,
“Perhaps most tellingly, in this regard
are Disney’s princesses, who with
excesses of femininity, an innate
connection with nature, impossible
thinness, beautiful flawless skin, and
perfect hair, attire and poise, always
manage to get the prince and live
happily ever after”

Dari
penelitian
yang dilakukan
mengenai princess kontemporer Merida,
peneliti juga mendapatkan bahwa Merida
merepresentasikan penampilan fisik yang
tidak
berkaitan
dengan
gambaran
perempuan ideal di media seperti tubuh
curvy, tekstur kulit freckless (berbintik),
rambut yang keriting dan tampilan messy
look dengan artian Merida menjadi role
model baru yang tidak dilekatkan pada
standar perempuan ideal.
Media juga seringkali mengkonstruksi
mengenai penggambaran perempuan itu
sendiri yang didukung pernyataan Hollows
(2010, h. 14), yaitu “sering dinyatakan
bahwa gadis remaja disosialisasikan pada
nilai dan perilaku feminin yang dikaitkan

dengan
kepasifan,
kepatuhan,
dan
kebergantungan”.
Dari hasil temuan pada kedua princess
tersebut
ditemukan
bagaimana
penggambaran mengenai perempuan itu
sendiri. Pada tokoh Cinderella, analisis
Hollows mengenai perempuan di media
membenarkan gambaran perempuan itu
sendiri yang sangat tampak dengan
kepasifan, kepatuhan, dan kebergantungan.
Berbeda
dengan
jenis
princess
kontemporer Merida, dari hasil penelitian
yang dilakukan pada sifat internalnya,
peneliti tidak membenarkan analisis
Hollows yang mengaitkan gambaran
perempuan dengan kepasifan, kepatuhan,
dan kebergantungan karena Merida
tampak meniadakan gambaran yang
melekat pada konstruksi perempuan itu
sendiri di media karena Merida
merepresentasikan sebagai perempuan
yang
berdaya,
melakukan
aksi
penyelamatan, dan terlepas dari peran serta
relasi laki-laki atau pangeran. Merida
terlihat tidak mendambakan dan berpikir
bahwa pernikahan adalah akhir yang
bahagia atau “happily ever after”.
Seiring dengan berkembangnya
zaman, berkembang pula mengenai
gambaran perempuan itu sendiri, sehingga
mematahkan standar yang seringkali
dilekatkan pada gambaran perempuan
terhadap penampilan fisik dan sifat-sifat
perempuan di media.
Dari keseluruhan sintesis mengenai
konstruksi penggambaran perempuan
princess pada penampilan fisik dan sifat
perempuan itu sendiri. Terlihat bahwa ada
beberapa bagian, baik dari penampilan
fisik dan sifat perempuan pada jenis
princess kontemporer yang mengalami
perubahan cukup signifikan, namun ada
pula beberapa bagian dari penampilan fisik
dan sifat gambaran perempuan itu sendiri

yang masih tampak merepresentasikan dari
princess klasik Cinderella dan menjadi
patokan perempuan Disney.
Dari hasil penelitian ini ditemukan hal
baru pada gambaran perempuan di media,
bahwa
media
menciptakan
tokoh
perempuan yang kontemporer, namun
tetap mempertahankan gambaran tokoh
perempuan klasik, terbukti dari perbedaan
era tokoh Cinderella dan Merida selama
beberapa dekade, media masih sedikit
melekatkan standar perempuan ideal pada
Merida dan hanya mengubah beberapa
bagian penampilan fisik dan sifat
perempuan
kontemporer
dengan
melakukan penyatuan dari gambaran
perempuan klasik dan kontemporer
kedalam tokoh Merida. Peneliti juga
menemukan, bahwa hasil penelitian ini
didukung oleh asumsi Wood (2008, h.
265) yang menyatakan,
“Perhaps the most interesting trend in
media is combining traditional and non
traditional and non traditional images
in single character”

Maka bisa dikatakan, bahwa Disney
sekali lagi meneguhkan konsep kecantikan
yang sudah ada di media, meskipun
memberi pembeda pada tokoh princess
kontemporer. Tampak bahwa gambaran
kecantikan fisik masih dijadikan suatu
nilai penting dalam menggambarkan
peempuan, hal tersebut di dukung oleh
Craven (2002) yang berasumsi bahwa,
“that viewers tended to think they had
been educated about feminism as well
as entertained but, in reality, the
education was really about the
importance of beauty. The feminine
beauty ideal, or the socially constructed
idea that physical attractiveness is
among the most important assets a
woman has, is represented in many fairy
tale”.

PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian maka
dapat disimpulkan penggambaran tokoh
putri (princess) dalam film Cinderella dan
Merida sebagai berikut :
1. Walt Disney merupakan institusi
yang memproduksi budaya massa
dengan mengkonstruksi dunia anakanak melalui film yang bertemakan
princess. Dimana anak-anak akan
menerima pesan melalui tokoh
princess dari segi penampilan
maupun karakter.
2. Representasi perempuan princess
Disney dapat terlihat dari bagaimana
media mengkonstruksi perempuan
itu sendiri melalui tokoh jenis klasik
Cinderella dan jenis kontemporer
Merida.
Cinderella
cenderung
tampak sekali merepresentasikan
perempuan yang dilekatkan pada
standar perempuan ideal dari
penampilan fisik di media seperti
rambut yang sempurna, tubuh kurus,
tekstur kulit flawless. Jenis princess
kontemporer
lebih
cenderung
merepresentasikan penampilan fisik
yang tidak berkaitan dengan
gambaran perempuan ideal di media
seperti, rambut messy look, tubuh
curvy, dan tekstur wajah freckless.
3. Terdapat
kontradiksi
diantara
gambaran perempuan princess klasik
dan kontemporer, yaitu pada warna
kulit, bentuk hidung, alis yang rapi.
Dari hasil penelitian yang dilakukan
juga ditemukan hal yang berbeda,
yaitu secara mayoritas terdapat
pergeseran pada penampilan fisik
dan karakter jenis princess klasik
Cinderella dan jenis princess
kontemporer Merida.

4. Hasil penelitian dari kedua princess
tersebut
juga
memperlihatkan
relevansi konstruksi di media saat ini
yang
menunjukkan,
bahwa
kecantikan fisik pada perempuan
masih menjadi suatu nilai penting di
media, bahkan produsen media pun
juga turut menampilkan kecantikan
melalui tokoh film kartun, sehingga
menginternalisasi anak-anak dalam
memandang dirinya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Ardianto, E. & Komala, L. & Karlinah, S.
(2007). Komunikasi massa suatu
pengantar edisi revisi. Bandung :
Simbiosa Rekatama Media.
Baran, S. (2012). Pengantar komunikasi
massa melek media dan budaya
(edisi 1 jilid 5). Jakarta: Erlangga.
Cangara, H. (2010). Pengantar ilmu
komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Cheu, J. (2013). Diversity in Disney
Films: Critical
Essays
on
Race, Ethnicity, Gender, Sexuality
and Disability. North Carolina:
McFarland, and company, inc.,
publisher. Tersedia dari Google
books.
Daryanto. (2010). Ilmu
Bandung: Satu Nusa.

komunikasi.

DeVito, J. A. (1997). Komunikasi antar
manusia. Jakarta: Profesional book.
Dill, E. K. (2009). How Fantasy Becomes
Reality: Seeing Through Media
Influence. New York: Oxford
University Press. Tersedia dari
Google books.

Durham, M.G. & Kellner, D.M (eds.).
(2006). Media and Cultural Studies
Keyworrks.
Oxford:
Blackwell
Publishing.
Eriyanto. (2011). Analisis isi: pengantar
metodologi untuk penelitian ilmu
komunikasi dan ilmu-ilmu sosial
lainnya. Jakarta: Kencana.a
Ford, E. A. & Mitchell D. C. (2004). The
makeover in movies. North Carolina:
McFarland, and company, inc.,
publisher.
Hollows, J. (2000). Feminisme, feminitas,
dan budaya Populer.Yogyakarta:
Jalasutra.
Horn, M. G. (2007). Movie animation.
USA: Gareth Stevens Publishing.
Tersedia dari Google books.
Kriyantono, R. (2006). Teknik praktis riset
komunikasi, disertai contoh praktis
riset media, public relations,
advertising, komunikasi organisasi,
komunikasi pemasaran. Jakarta:
Kencana.
Lauther, H. (2004). Creating characters : a
writer's reference to the personality
traits that bring fictional people to
life. North Carolina: Mc Farland &
company, Inc., Publishers. Tersedia
dari Google books.
Littlejohn, S. W. & Foss, K. A. (2009).
Theories of human communicaion
(9th ed). (M. Yusuf Hamdan,
Terjemahan).
Jakarta:
Salemba
Humanika
McQuail, D. (1987). Mass communication
theory: An Introduction (2nd ed).
London Sage Publication Ltd.

McQuail, D. (1994). Teori Komunikasi
Massa Suatu Pengantar. Jakarta:
Erlangga.

Sobur,
A.
(2006). Semiotika
Komunikasi, Bandung : Remaja
Rosdakarya.

McQuail, D. (2000). Mass Communication
Theory (4th ed). London: Sage
Publication Ltd.

Tim Prima Pena. (2009). Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Terbaru.
Jakarta : Gitamedia Press.

Megawangi, R. (1999). Membiarkan
Berbeda Sudut Pandang Baru
Tentang Relasi Gender. Bandung:
Mizan.

Turmer, G. (2008). Film as social
practice. New York: Routledge

Milady. (2007). Milady’s standard
cosmetology. USA: Wadsworth
Cengage Learning. Tersedia dari
Google books.
Narendra, P. (2008). Metodologi riset
komunikasi. Yogyakarta: BPPI dan
Pusat Kajian Media dan Budaya
Populer.
Neuendorf, K. A. (2002). The content
analysis guidebook. USA: Sage
Publication Ltd.
Owen, H. (2006). The handbook of
communication skills (3rd Ed). New
York: Routledge. Tersedia dari
Google books.
Seger, L. (1987). Making A Good Script
Great, Hollywood : Samuel French
Trade.
Shaffer, J. C. (2010). Discovering the
magic kingdom: an unofficial
disneyland vacation guide. USA:
AuthorHouse. Tersedia dari Google
books.
Sherrow, V. (2001). For Appearance'
Sake: The Historical Encyclopedia
of Good Looks, Beauty, and
Grooming.
USA:
Greenwood
Publishing Group. Tersedia dari
Google books.

Ward. A. R. (2002). Mouse Morality: The
Rhetoric of Disney Animated Film.
USA: University of Texas Press.
Tersedia dari Google books
Wimmer, R. D. & Dominick, J. R. (2011).
Mass
Media
Research:
An
Introduction
(9th
ed).
USA:
Wadsworth. Tersedia dari Google
books
Wolf, N. (2002). The Beauty Myth: How
Images of Beauty Are Used Against
Women.
New
York:
Harper
CollinsPublisherInc.
Wood, J. T. (2008). Gendered Lives :
Communication, gender, and culture
(8th ed). USA: Wadsworth Cengage
Learning. Tersedia dari Google
books
Wood, J. T. (2008). Communication
mosaics : an introduction to the field
of communication (5th Ed). USA:
Thomson Wadsworth.
Yasyin, S. (1997). Kamus lengkap bahasa
indonesia. Surabaya: Amanah.
JURNAL
Craven, Allison (2002). Beauty and the
belles: Discourses of feminism and
femininity in Disneyland. European
Journal of Womens Studies, 9(2),
123-142.

Faherty, V. E. (August, 2001). Is the
mouse sensitive? A study of race,
gender, and social vulnerability in
Disney animated films. studies in
media & information literacy
education. 1(3). 1-8. Retrieved
march 3, 2013.
Gerber, George; Gross, Larry; Morgan,
Michael; & Signorielle, Nancy
(1980). The “mainstreaming” of
America: Violence profile No. 11.
Journal of Communication, 30(3),
10-29.
Mcnamara, J. (2005). Media content
analysis: Its Uses, Benefits, and Best
practice Methodology. Asia Pacific
Public Relations Journal. 6 (1), 134.
Lester, N. A. (2012). Disney’s the princess
and the frog: the pride, the pressure,
and the politics of being a first. The
Journal of American Culture, 33 (4),
294.
Patton, T. O. (2006) Hey Girl, Am I More
than My Hair?: African American
Women and Their Struggles with
Beauty, Body Image, and Hair.
National
Women’s
Studies
Association Journal. 18 (2), 30.
Towbin, M. A., Haddock, S. A.,
Zimmerman, T. S., Lund, L. K.,
&Tanner, L. R. (2003). Images of
gender, race, age, and sexual
orientation in Disney feature-length
animated films. Journal of Feminist
Family Therapy, 15, 19–44.
Wiserma, B. A. (2001). The gendered
world of Disney: A content analysis
of gender themes in full-length
animated Disney feature films

(Abstract). Dissertation Abstracts
International, 61, 4973.
Wynns, Scarlet L. and Rosenfeld,
Lawrence B.(2003) Father-daughter
relationships in Disney's animated
films, Southern Communication
Journal, 68 (2), 91.
SKRIPSI
May, B. Beyond the Prince: Race and
Gender Role Portrayal in Disney
Princess Films. (Skripsi, Saint
Mary’s Collage, Notre Dame IN,
2011).
Diakses
dari
https://www.saintmarys.edu/files/Fin
al%20Senior%20Paper-May.pdf
Villa,

M. Z. (Skripsi, Universitas
Brawijaya Malang, 2013). Konsep
Diri Anak Penonton Barbie dan
Bukan Penonton Barbie.

THESIS
Hecht, J. (2011). Happily Ever After:
Construction of Family in Disney
Princess Collection Films. (Thesis,
San José State University, 2011).
Diakses
dari
http://scholarworks.sjsu.edu/cgi/viewc
ontent.cgi?article=5093&context=etd_
theses
WEBSITE
Website resmi disney princess.(n.d ).
Diakses pada 10 Februari 2014, dari
http://www.disney.co.uk/princess/pri
ncesses/cinderella.jsp#
Website resmi disney princess. (n.d).
Diakses pada 10 Februari 2014, dari
http://princess.disney.com/merida

ARTIKEL KORAN ELEKTRONIK
Orenstein, P. (2006, December). What’s
wrong with Cinderella? New
York Times Magazine. Retrieved
from http://www.nytimes.com/
2006/12/24/magazine/24princess.t.ht
ml
Child, B. ( 2013). Disney retreats from
Princess Merida makeover after
widespread criticism.
Retrieved
from
http://www.theguardian.com/film/20
13/may/16/disney-princess-meridamakeover
ARTIKEL MAJALAH
Kantor, J. (2005, November 3). Love the
riches, lose the rags. The New York
Times, p.G1.
GAMBAR
Cover Film Cinderella (image) (n,d)
Diakses pada 10 Februari 2014 dari
http://www.imdb.com/title/tt004233
2/
Cover Film Brave (image) (n,d) Diakses
pada 10 Februari 2014 dari
http://www.imdb.com/title/tt121720
9/