Kontribusi Silvikultur dalam Upaya Pengu
KONTRIBUSI SILVIKULTUR DALAM UPAYA PENGURANGAN EMISI
DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN 1)
Kiswanto
2)
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Menurut data dari Kementerian Kehutanan, Indonesia memiliki kawasan hutan sekitar 108 juta
hektar, dimana lebih dari 50% nya merupakan kawasan hutan produksi yang dikelola untuk tujuan
produksi hasil hutan kayu melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan
pembayaran jasa lingkungan melalui Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL). Kawasan
hutan produksi yang luas tersebut kini memiliki peran sangat penting yang menentukan apakah
target penurunan emisi bagi Indonesia sebesar 26% secara mandiri dapat berhasil atau tidak.
Pasalnya sekitar 60% dari total pengurangan emisi tersebut diharapkan dapat dicapai dari sektor
kehutanan (Masripatin, 2010).
Jika sistem pengelolaan hutan yang selama ini ada di Indonesia, terlepas dari baik atau tidak,
diasumsikan sebagai sebuah skenario Business as Usual (BAU), maka adanya upaya dan komitmen
tambahan dari sektor kehutanan dengan menerapkan sistem pengelolaan hutan lestari secara
benar dan menyeluruh (Improved Forest Management-IFM), dapat dianggap sebagai additionality
di sektor kehutanan di dalam pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan
(Solichin dan Riyanto, 2010).
Di dalam Bali Road Map, pengelolaan hutan lestari merupakan salah satu mekanisme pengurangan
emisi karbon yang termasuk di dalam upaya Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
Plus (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation Plus -REDD+). Karena itu para
pengelola IUPHHK di kawasan hutan produksi juga berperan besar di dalam upaya mitigasi
perubahan iklim dengan terlibat aktif di dalam upaya penurunan emisi karbon melalui SMF.
Pengelolaan hutan secara lestari tentunya perlu ditunjang dengan pemikiran silvikultur yang tepat,
sehingga menghasilkan pengelolaan hutan secara tepat untuk menjamin keberlangsungan di masa
mendatang. Dalam urusan silvikultur, Pemerintah Indonesia awalnya telah menetapkan kebijakan
silvikultur secara tepat, yaitu: hutan alami dikelola dengan mempertahankan bentuk hutan alami
agar terjaga keanekaragaman hayati, dan kawasan hutan yang tidak lagi berhutan dapat dikelola
dengan peremajaan buatan. Meskipun pada tahun 2004 muncul gagasan penanaman bibit genetik
unggul meranti dalam larikan di hutan alami produksi, tujuannya sama yaitu untuk meningkatkan
produksi kayu pertukangan kualitas vinir dengan mempertahankan keanekaragaman hayati.
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Nomor: P.9/VI/BPHA/2009,
Sistem Silvikultur yang diterapkan di dalam areal IUPHHK pada Hutan Produksi di Indonesia adalah
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Tebang Rumpang dan
Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB). Namun seiring dengan berjalannya waktu,
pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan pun akhirnya mengizinkan penerapan lebih
dari satu sistem silvikultur dalam satu unit pengelolaan hutan, yang kini dikenal dengan istilah
multisistem silvikultur. Namun penerapan multisistem silvikultur tersebut hendaknya tidak hanya
dipandang dari aspek ekonomis semata, melainkan menyesuaikan dengan aspek ekologis berupa
kondisi lingkungan dan potensi tegakan (standing stock) dari kawasan hutan yang sedang dikelola
oleh unit pengelolaan hutan tersebut. Makalah ini disampaikan untuk curah pendapat mengenai
kontribusi silvikultur dalam upaya pengurangan emisi di kawasan hutan, sekaligus menciptakan
pengelolaan hutan secara lestari.
) Disa paika pada Expert Meeti g o “ustai a le Forest Ma age e t Pra ti es i the Fra e of Cli ate Cha ge
yang dilaksanakan di Balikpapan, 27-28 Desember 2010.
2
) Dosen Laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman
1
|1
KONDISI HUTAN SAAT INI
Sampai saat ini belum ada keseragaman data mengenai luas hutan Indonesia, termasuk luas
hutan di Kalimantan Timur. Namun hampir semua sepakat bahwa telah terjadi penurunan luas
hutan dari tahun ke tahun. Penurunan luas hutan itu sebagian besar diakibatkan oleh banyaknya
konversi lahan hutan menjadi peruntukkan lain. Bahkan banyak lembaga pemerintah maupun non
pemerintah yang mencoba merilis laju deforestasi dari tahun ke tahun. Menurut WWF Indonesia,
laju deforestasi di Kalimantan Timur hingga tahun 2008 mencapai 183.189,14 ha.
Gejala perubahan kawasan hutan juga ditunjukkan pada usulan Rencana Tata Ruang Wilayah
Propinsi (RTRWP) Kalimantan Timur, yang saat ini masih menunggu tahap pengesahan. Luas
kawasan budidaya kehutanan (KBK) akan mengalami pengurangan hingga 10,32%, sementara
kawasan budidaya non kehutanan (KBNK) akan mengalami penambahan hingga 7,03%. Hal
tersebut tentu tidak bisa dipandang ringan, pasalnya kawasan hutan akan kembali dikonversi
untuk peruntukkan yang lain.
Belum lagi ditambah dengan informasi banyaknya lahan kritis yang tersebar di kabupaten/kota se
Kalimantan Timur. Berdasarkan data yang dirilis WWF Indonesia pada tahun 2009, luas lahan kritis
di Kalimantan Timur mencapai 8.782.585,31 ha dari sekitar 19.748.616,10 ha luas lahan yang ada.
Dari luas tersebut, terdiri atas Sangat Kritis seluas 493.199,69 ha, Kritis (873.779,18 ha), Agak
Kritis (3.954.824,51 ha), Potensial Kritis (3.460.781,93 ha) dan Tidak Kritis (10.966.030,79 ha).
Melihat perkembangan dunia kehutanan di tanah air akhir-akhir ini, terutama setelah terjadinya
perubahan politik pemerintahan, nampak bahwa perkembangan fisik biologis hutan dipengaruhi
oleh fungsi dan penguasaan lahan hutan. Data dan informasi di atas tentu saja menjadi
pertimbangan tersendiri untuk mengatur strategi yang tepat dalam mendukung upaya
pengurangan emisi dari sektor kehutanan. Diperlukan pemikiran yang tajam dan pengalaman yang
luas untuk mengatasi berbagai persoalan bidang kehutanan, terutama yang berkaitan dengan
pengelolaan kawasan hutan secara lestari.Perubahan kondisi hutan, menyebabkan pula perlunya
pemikiran konsep silvikultur tepat guna.
PERAN SILVIKULTUR DALAM PEMBINAAN HUTAN
Silvikultur dapat diartikan secara sederhana sebagai seni dalam mengelola hutan. Dikatakan seni
karena setiap wilayah akan mendapatkan perlakuan yang berbeda, disesuaikan dengan kondisi
yang ditunjukkan dalam wilayah tersebut. Sasaran silvikultur adalah pengaturan tegakan hutan
(komposisi, struktur dan kerapatan), persiapan, perbaikan dan pemeliharaan kesuburan tanah,
serta pengaturan iklim mikro. Silvikultur terdiri atas teknik dan sistem silvikultur. Teknik silvikultur
adalah satu kegiatan/pengelolaan fisik terhadap hutan baik tanaman maupun alami teknik
regenerasi, teknik pemeliharaan dan teknik pemanenan. Sementara sistem silvikultur diartikan
sebagai rangkaian kegiatan terencana terhadap pengelolaan fisik tegakan hutan yang terdiri atas
beberapa teknik silvikultur dengan intensitas dan frekuensi yang berbeda.
Sebagai cabang ilmu kehutanan, kegiatan silvikultur mempunyai tugas memelihara tegakan hutan
yang telah ada, meremajakan tegakan hutan yang terlampau tua, dan menghutankan kembali
kawasan hutan yang kosong (reboisasi) bekas panen atau bekas kerusakan (api, longsor). Daya
dukung tapak dipertahankan, produktivitas (riap) tegakan ditingkatkan melalui pengetahuan
terbaru pemuliaan, pemupukan dan perilaku tumbuh/hidup tumbuhan/hewan.
Dalam kehutanan tradisional yang aman konflik, manfaat ekonomis hutan hampir-hampir hanya
kayu saja. Dengan demikian ilmu silvikultur sangat didominasi oleh “pengetahuan menghasilkan
kayu secara produktif dan berkelanjutan di hutan produksi”. Tetapi di Indonesia, peran silvikultur
sebenarnya tidak lagi sederhana seperti itu, karena hutan dibedakan menurut:
|2
(1) fungsi hutan: hutan negara dialokasikan menjadi tiga fungsi: konservasi, lindung, dan
produksi, yang tentu masing-masing memerlukan perlakuan silvikultur yang berbeda,
(2) kepemilikan: hutan negara yang luas dan hutan milik yang sempit akan dikelola dengan
intensitas perlakuan silvikultur yang sangat kontras berbeda,
(3) mutu hutan: hutan yang baik dan hutan rusak memerlukan perlakuan silvikultur yang jelas
sangat berbeda.
Dengan demikian, tugas pokok silvikutur adalah membangun dan memelihara hutan agar dapat
berfungsi maksimal, mengalirkan manfaat maksimal kepada masyarakat luas dan pemiliknya. Ilmu
silvikultur harus dapat mengidentifikasi kegiatan fisik apa yang diperlukan dalam setiap satuan
lahan dan satuan waktu. Rangkaian dan rincian kegiatan tersebut disebut rencana kegiatan atau
rencana silvikultur. Rencana silvikultur inilah yang harus dijalankan oleh setiap pengelola hutan,
yang merupakan dasar penyusunan rencana biaya, rencana tenaga, rencana mesin, rencana sosial
dan rencana lainnya.
Bentuk hutan, komposisi jenis tumbuhan hutan, daya dukung tapak hutan, ancaman terhadap
keamanan sebidang hutan, keterjangkauan hutan dan banyak penciri tegakan lainnya
menyebabkan perlakuan dari satu tegakan hutan ke tegakan hutan lainnya tidak harus dan bahkan
tidak mungkin disamakan. Sebagai contoh: hutan alami yang aman perambahan dan berisi
permudaan alami pohon jenis komersial tentu tidak memerlukan penanaman melainkan
memerlukan pemeliharaan terhadap permudaan alami, hutan alami fungsi lindung untuk
melindungi sebuah perairan umum tentu tidak boleh dipanen pohon-pohonnya secara tebang
habis, melainkan dengan tebang pilih yang hati-hati atau bahkan tidak dipanen kayunya sama
sekali kecuali hasil hutan bukan kayunya saja, hutan tanaman jati harus dilindungi oleh program
kemitraan dengan masyarakat lokal dan dibarengi pengelolaan tanaman lain yang memberikan
peluang partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kemakmuran mereka agar tanaman jati tidak
dirambah, dan banyak sekali contoh kondisi yang berbeda yang menjadi dasar pertimbangan
perumusan sistem dan teknik silvikultur tepatguna. Dengan ilustrasi seperti dikemukakan di atas,
jelaslah bahwa setiap hutan memerlukan teknik silvikultur yang mungkin tidak sama.
MULTISISTEM SILVIKULTUR HARUS “DIRUMUSKAN” BUKAN “DIPILIH”
Pengetahuan silvikultur adalah pengetahuan teori, praktis dan mendalam tentang perlakuan
tepatguna dalam aspek 4W1H: what, where, when, who, how (apa, dimana, bilamana, oleh siapa,
bagaimana). Bagi manager perusahaan juga diperlukan kemampuan menghitung analisis biaya
dan pendapatan berdasarkan hasil ujicoba dan penelitian, cara manakah yang perlu dan terbaik
dilakukan di lokasi sendiri. Rangkaian perlakuan silvikultur yang diperlukan untuk membentuk
tegakan hutan dengan tujuan pengusahaan tertentu disebut sistem silvikultur (Sutisna, 2005).
Meskipun pemerintah telah menetapkan beberapa sistem silvikultur yang dapat dilakukan di unit
pengelolaan hutan (IUPHHK), namun pemegang IUPHHK hendaknya tidak sekedar memilih salah
satu sistem tersebut secara penuh, melainkan mengkombinasikan teknik/perlakuan silvikultur
sesuai kebutuhan tegakan di lapangan, berdasarkan penafsiran gejala perilaku tumbuh pohon atau
tumbuhan binaan dalam tegakan. Dengan demikian tidak ada resep umum perlakuan silvikultur
yang dapat dibaca dalam buku resep silvikultur dari wilayah atau negeri lain yang telah lebih
berpengalaman, karena perilaku tumbuh pohon berbeda menurut iklim, tanah, dan spesies.
Sebagai contoh, tegakan kayu pertukangan perlu dijarangi pada saat tinggi tegakan (pohon-pohon
dominan/peninggi) mencapai 8-10 m. Tinggi tegakan pohon dominan tersebut dicapai oleh
tanaman jati di Pulau Jawa yang ditanam dari biji pada tahun ke-10, jati di Kalimantan Timur pada
th ke-4, tanaman sengon di Kalimantan Timur pada akhir tahun ke-2 (Sutisna, 2010). Dengan
demikian, rimbawan lokal yang seyogyanya mengerti perlakuan apa, kapan, bagaimana, dimana,
berapa, oleh siapa dilakukan agar tegakan hutan tumbuh maksimal dengan biaya minimal.
|3
Karena berbeda sifat fisik dan habitatnya, maka setiap tegakan hutan boleh dikatakan memerlukan
perlakuan yang selalu berbeda. Kalau ada persamaan maka sifatnya hanya kebetulan karena umur
sama, jenis tanah sama, komposisi jenis sama, dan resiko ancamannya sama. Intensitas perlakuan
silvikultur ditentukan oleh faktor-faktor keterjangkauan, fisik hutan, dan resiko ancaman terhadap
hutan. Tegakan hutan alami yang berada berdekatan dengan pemukiman atau jalur transportasi
jalan dan sungai merupakan hutan yang paling mudah dikerjakan karena tercapai oleh tenaga
kerja, paling dekat ke pasar hasil hutan, dan juga paling rawan terhadap ancaman resiko
kebakaran dan perambahan. Hutan yang berada jauh dari jalan dan kampung mengalami prospek
ekonomis dan sosial yang sebaliknya. Keadaan demikian menunjukkan bahwa intensitas perlakuan
terhadap hutan produksi tidak dapat disamaratakan.Selain jarak dari pemukiman dan pasar,
kondisi lapangan juga menentukan intensitas perlakuan terhadap hutan alami produksi.
Sistem silvikultur tepatguna merupakan program jangka panjang dari perlakuan terhadap tegakan
hutan yang memenuhi serangkaian suasana. Sistem silvikultur bukan dicomot dari daftar sistem
silvikultur siap saji yang diinginkan. Buku ini juga bukan daftar resep atau katalog untuk petunjuk
teknis melakukan, melainkan bimbingan untuk merumuskan. Perumusan sistem silvikultur diawali
dengan analisis situasi faktor-faktor alami (biogeofisik) dan sosial-ekonomi. Sistem yang dibuat
harus memenuhi beberapa aspek, antara lain:
(1) Sesuai tujuan pengelolaan dan karakteristik kepemilikan hutan
Pemilik hutan pertama-tama harus menentukan tujuan pengelolaannya untuk menghasilkan
apa: kayu pertukangan, kayu pulp, jasa wisata, arboretum, taman buru, tataair, atau manfaat
serbaguna. Rimbawan yang bekerja dalam unit pengelolaan hutan itu akan memodifikasi
struktur dan komposisi tegakan hutan diselaraskan dengan tujuan pengelolaan yang telah
ditetapkan.
(2) Jaminan peremajaan hutan
Kelangsungan hidup sebidang hutan tergantung keberadaan peremajaan alami. Untuk
menghidupkan pohon muda, naungan pohon tua harus dikurangi. Tidak perlu mengharapkan
keberadaan semai sepanjang daur. Semai hanya diperlukan pada saat peremajaan sebidang
lahan hutan bekas panen.
(3) Penggunaan ruang dan tapak secara efisien
Vegetasi hutan akan selalu segera mengisi ruang kosong, tetapi tidak semua species vegetasi
diinginkan oleh pemilik hutan. Tergantung tujuan pengelolaan, bisa saja rerumputan sama
diperlukannya dengan pepohonan. Para pemilik hutan harus memilih jenis pohon sesuai
dengan tujuan pengelolaan hutan masing-masing. Penjarangan merupakan efisiensi
penggunaan ruang hanya untuk pohon yang diinginkan. Sistem silvikultur adalah program
alokasi ruang hutan sepanjang daur. Lahan hutan harus selalu diisi hanya oleh jenis vegetasi
yang diinginkan. Lebih baik terisi vegetasi berguna yang kurus daripada berisi gulma. Lahan
berisi gulma adalah pemborosan. Tetapi terisi penuh jangan diartikan berisi vegetasi yang
berdesak-desakan, karena juga merugikan daur. Understocking (tidak penuh) sama
merugikannya dengan overstocking (terlampau rapat).
(4) Kendali kerusakan lahan hutan
Silvikultur yang berhasil adalah silvikultur yang bisa membentuk tegakan hutan yang resisten
terhadap serangga, jamur, api, dan gangguan biotik dan fisik yang lain. Modifikasi silvikultur
harus dibuat untuk menghindari ancaman utama setempat, misalnya bahwa pohon yang
dominan lebih tahan daripada pohon tertekan dalam tegakan, tegakan campuran lebih tahan
daripada tegakan murni, tegakan tidak seumur lebih tahan daripada tegakan seumur, tegakan
yang mirip hutan alami lebih tahan daripada tegakan buatan.
(5) Jaminan kelestarian hasil
Kaidah dasar kelestarian manfaat hutan adalah pengambilan manfaat setiap tahun harus sama,
misalnya luas tebangan, luas tanaman, volume kegiatan, nilai hasil, nilai jasa, dan jasa-jasa
|4
lainnya dari sebuah unit pengelolaan hutan harus merata sepanjang masa. Gangguan
terhadap pemerataan beban dan hasil setiap tahun pasti selalu ada, misalnya akibat gangguan
hama/penyakit, kebakaran, dan gangguan lainnya yang menyebabkan luas atau produktivitas
tegakan tidak seragam, walaupun dikoreksi terus menerus. Dengan demikian, kelestarian hasil
dan beban hanya selalu dapat didekati, tetapi tidak pernah dapat dicapai. Wujud pengaturan
kelestarian hasil dan kelestarian pekerjaan di hutan yang dikelola dinyatakan dengan adanya
etat luas dan etat volume.
(6) Optimalisasi modal dan potensi tegakan
Pohon hutan tumbuh lama sampai dapat dipanen, maka silvikultur sangat dikendalikan oleh
kebijakan investasi jangka panjang. Optimalisasi modal dilakukan dengan menghitung semua
biaya yang dikeluarkan pada tahun yang berbeda dengan menerapkan perhitungan bungaberbunga (compound interest). Setiap kegiatan silvikultur (cara peremajaan hutan, panjang
daur, cara penjarangan, teknik pemanenan) harus secara mendalam dianalisis dan
dibandingkan, mana yang paling efisien menggunakan modal. Sementara investasi tegakan
dioptimalkan dengan mempertahankan agar spesies pohon bernilai paling tinggi memiliki
pertumbuhan tegakan maksimum, dengan menanami areal kosong, mencegah kegagalan
akibat gangguan, dan meningkatkan riap melalui pemupukan dan atau pemuliaan pohon.
Tegakan yang penuh dan subur akan menghasilkan hasil maksimum dari pengelolaan hutan.
(7) Pengaturan lokasi kegiatan terpusat dan efisien.
Dalam struktur biaya silvikultur, biaya panen kayu merupakan komponen terbesar. Efisiensi
biaya pengelolaan, khususnya biaya panen dapat diatur dengan memusatkan tegakan yang
akan dipanen pada satu wilayah, karena biaya angkut hasil hutan merupakan komponen biaya
yang signifikan dalam silvikultur.
SILVIKULTUR INTENSIF, BAGIAN DARI TEKNIK SILVIKULTUR
Istilah silvikultur intensif (Silin) mulai dikenal secara luas ketika pemerintah menerapkan sistem
silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII), yang kini digabung dalam TPTJ. Namun
Silin sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai sistem silvikultur melainkan bagian dari teknik
silvikultur yang bisa diterapkan di hutan alami maupun tanaman. Silvikultur intensif menekankan
pada 3 (tiga) kegiatan penting, yakni penanaman jenis-jenis unggul, pengendalian hama terpadu
dan manipulasi lingkungan (Kiswanto, 2008).
(a) Penanaman jenis-jenis unggul
Silin merekomendasikan pemegang IUPHHK untuk melakukan penanaman jenis-jenis lokal
unggulan yang bisa diperoleh dari pohon induk pilihan, pemuliaan pohon bahkan kultur
jaringan. Hal tersebut cukup berasalan, mengingat tanaman lokal yang unggul memiliki
kemampuan adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan tanaman yang diperoleh dari pohon
induk dengan kualitas biasa. Untuk memperoleh jenis-jenis unggulan tersebut, pemegang
IUPHHK disarankan untuk melakukan uji jenis, uji tanaman dan uji keturunan sebelum
memutuskan jenis tanaman mana yang tergolong bibit berkualitas unggul, sehingga tanaman
yang ditanam akan sehat, pertumbuhan riapnya lebih besar dan siap panen dalam waktu yang
lebih singkat.
(b) Pengendalian hama terpadu
Salah satu kegiatan Silin adalah meneliti keberadaan hama dan penyakit yang menyerang
tanaman unggulan, serta mencari solusi pencegahan dan penanggulangannya secara cepat
dan tepat. Harapannya adalah tanaman unggulan tadi bisa tumbuh sehat tanpa ada gangguan
hama dan penyakit, sehingga pertumbuhannya pun menjadi cepat dan hasilnya sesuai dengan
harapan.
|5
(c) Manipulasi lingkungan
Dalam silvikultur, pertumbuhan tanaman menjadi fokus utama untuk diperhatikan. Berbagai
upaya terus dilakukan untuk memberikan pertumbuhan optimal dari pohon binaan, antara lain
memberikan ruang tumbuh yang lebih luas kepada pohon binaan agar mendapatkan sinar dan
hara yang cukup untuk mempercepat pertumbuhannya, penyiangan yang dilakukan secara
intensif untuk mengurangi gangguan gulma terhadap tanaman, dan sebagainya. Kegiatan
manipulasi lingkungan ini memang ditujukan agar pohon binaan memiliki pertumbuhan yang
optimal.
Ketiga kegiatan silvikultur intensif tersebut bisa dilakukan pada pengelolaan hutan alami maupun
tanaman, dengan tujuan yang sama yaitu memberikan peluang yang lebih besar kepada
tanaman/pohon binaan untuk tumbuh besar dengan cepat, sehat dan berkualitas unggul sehingga
bisa menghasilkan volume kayu yang besar pula.
KONTRIBUSI SILVIKULTUR DALAM PENGURANGAN EMISI
Pengelolaan hutan secara lestari kini menjadi topik penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim
di sektor kehutanan. Apalagi kehutanan diharapkan mampu menyumbang 60% dari target
pengurangan emisi sebesar 26% yang dicanangkan pemerintah Indonesia. Lalu, apa dan
bagaimana kontribusi silvikultur dalam pengurangan emisi tersebut?
Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dapat dilakukan dengan berbagai cara,
diantaranya :
1.
Stop konversi lahan hutan
Konversi lahan hutan menjadi penggunaan lainnya hendaknya segera dihentikan, termasuk
menjadi kawasan budidaya non kehutanan (KBNK) dan areal penggunaan lainnya (APL).
Bahkan jika perlu, lahan yang telah dikonversi diupayakan sedapat mungkin kembali menjadi
kawasan hutan. Silvikultur dapat berperan dalam upaya perbaikan kawasan hutan asalkan
kawasan tersebut masih ditetapkan sebagai hutan. Kawasan hutan yang telah rusak
(potensinya berkurang) akibat kebakaran, pembalakan liar, tambang, perkebunan dan
sebagainya masih dapat diperbaiki (ditingkatkan potensinya) asalkan kawasan tersebut masih
sebagai hutan, namun tidak akan mungkin memperbaiki kawasan yang telah dikonversi
menjadi pemukiman, kebun sawit, areal tambang dan sebagainya yang tidak disertai niat
mengembalikan menjadi kawasan hutan.
2.
Perumusan multisistem silvikultur yang tepatguna
Penggunaan sistem dan teknik silvikultur yang tidak tepat bisa menyebabkan berkurangnya
kualitas tegakan dalam hutan. Contohnya tegakan hutan dengan permudaan yang cukup
(100-200 bt pohon binaan per hektar) hendaknya tidak dianjurkan untuk melakukan
penanaman, melainkan pemeliharaan saja. Jika diterapkan penanaman sistem jalur bersih
selebar 3 m sebagaimana diatur dalam TPTJ pada areal tersebut, tentu akan mematikan
permudaan alami yang ada, sementara tanaman yang ditanam belum tentu cocok dan
tumbuh baik. Silvikultur yang dirumuskan secara tepatguna justru akan meningkatkan kualitas
tegakan hutan, sehingga degradasi hutan bisa tertanggulangi dengan cara yang benar.
3.
Penerapan silvikultur intensif
Kegiatan-kegiatan dalam silvikultur intensif berupa penanaman jenis unggul, pengendalian
hama terpadu dan manipulasi lingkungan dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas
tanaman. Kegiatan silvikultur intensif tersebut tidak hanya diperlukan pada pengelolaan hutan
alami melainkan juga pada hutan tanaman, sehingga tanaman maupun pohon binaan yang
dihasilkan pada hutan produksi bisa memiliki kualitas unggul sesuai tujuan pengelolaan hutan
dan jaminan peremajaan hutan, sehingga pengelolaan hutan bisa dilakukan secara lestari.
|6
4.
Pembinaan hutan dengan tindakan yang tepat
Pembinaan hutan dilakukan sesuai kebutuhan tegakan yang ditunjukkan oleh gejala perilaku
tumbuh pohon atau tumbuhan binaan dalam tegakan. Misalnya untuk menghasilkan kayu
pertukangan yang bagus diperlukan batang yang besar dan tinggi. Peningkatan riap diameter
dan tinggi dapat dilakukan dengan penjarangan, sementara pemangkasan dilakukan untuk
menghasilkan kayu dengan bebas cabang tinggi. Contoh lain adalah kegiatan penjarangan
pohon besar tidak dapat dilakukan dengan cara penebangan karena akan merusak permudaan
di sekitarnya, maka bisa disarankan untuk melakukan peracunan, sehingga pohon mati berdiri.
5.
Pemilihan teknik pemanenan yang tepat
Teknik pemanenan yang tepat sangat diperlukan agar tidak merusak permudaan alami yang
ada di kawasan tersebut. Menyelamatkan permudaan alami pasca penebangan akan menjadi
pekerjaan yang lebih murah dibandingkan melakukan penanaman (pengayaan) kembali pasca
pemanenan. Penggunaan teknik pemanenan yang tepat dapat menentukan tingkat kerusakan
pasca pemanenan.
KESIMPULAN
1) Pengurangan emisi dari deforestasi bisa dilakukan dengan cara pencegahan/pengurangan
konversi hutan menjadi peruntukkan lainnya, sementara degradasi hutan bisa ditanggulangi
dengan cara penerapan silvikultur yang tepatguna untuk menghasilkan tegakan dengan
kuantitas dan kualitas terbaik.
2)
Multisistem silvikultur yang diterapkan dalam unit pengelolaan hutan bukan dicomot dari
daftar sistem silvikultur siap saji yang diinginkan, melainkan dirumuskan berdasarkan kajian
menyeluruh mengenai faktor-faktor alami (biogeofisik) dan sosial-ekonomi yang ditunjukkan di
lapangan.
BAHAN BACAAN
Kiswanto, 2008. Pertumbuhan Permudaan Alami dan Tanaman pada Areal Ujicoba Sistem TPTII di
PT Balikpapan Forest Industries. Tesis pada Program Pascasarjana Ilmu Kehutanan
Universitas Mulawarman. Samarinda.
Masripatin, N. 2010. Implementasi REDD Indonesia: Apa yang Harus Dipersiapkan di Berbagai
Level?. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Peningkatan Kapasitas Lokal dalam
Rangka Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Samarinda.
Solichin dan Riyanto, B. 2010. Pemanfaatan IHMB untuk Pengukuran Karbon di Kawasan Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Hutan Produksi Kalimantan Timur. Makalah
disampaikan pada Roundtable Discussions: Peran IUUPHK dalam Mitigasi Perubahan Iklim di
Sektor Kehutanan. Balikpapan.
Sutisna, M. 2005. Silvikultur Umum. Bahan Kuliah pada Fakultas Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.
Sutisna, M. 2010. Silvikultur Hutan Alami. Bahan Kuliah pada Fakultas Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.
|7
DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN 1)
Kiswanto
2)
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Menurut data dari Kementerian Kehutanan, Indonesia memiliki kawasan hutan sekitar 108 juta
hektar, dimana lebih dari 50% nya merupakan kawasan hutan produksi yang dikelola untuk tujuan
produksi hasil hutan kayu melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan
pembayaran jasa lingkungan melalui Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL). Kawasan
hutan produksi yang luas tersebut kini memiliki peran sangat penting yang menentukan apakah
target penurunan emisi bagi Indonesia sebesar 26% secara mandiri dapat berhasil atau tidak.
Pasalnya sekitar 60% dari total pengurangan emisi tersebut diharapkan dapat dicapai dari sektor
kehutanan (Masripatin, 2010).
Jika sistem pengelolaan hutan yang selama ini ada di Indonesia, terlepas dari baik atau tidak,
diasumsikan sebagai sebuah skenario Business as Usual (BAU), maka adanya upaya dan komitmen
tambahan dari sektor kehutanan dengan menerapkan sistem pengelolaan hutan lestari secara
benar dan menyeluruh (Improved Forest Management-IFM), dapat dianggap sebagai additionality
di sektor kehutanan di dalam pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan
(Solichin dan Riyanto, 2010).
Di dalam Bali Road Map, pengelolaan hutan lestari merupakan salah satu mekanisme pengurangan
emisi karbon yang termasuk di dalam upaya Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
Plus (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation Plus -REDD+). Karena itu para
pengelola IUPHHK di kawasan hutan produksi juga berperan besar di dalam upaya mitigasi
perubahan iklim dengan terlibat aktif di dalam upaya penurunan emisi karbon melalui SMF.
Pengelolaan hutan secara lestari tentunya perlu ditunjang dengan pemikiran silvikultur yang tepat,
sehingga menghasilkan pengelolaan hutan secara tepat untuk menjamin keberlangsungan di masa
mendatang. Dalam urusan silvikultur, Pemerintah Indonesia awalnya telah menetapkan kebijakan
silvikultur secara tepat, yaitu: hutan alami dikelola dengan mempertahankan bentuk hutan alami
agar terjaga keanekaragaman hayati, dan kawasan hutan yang tidak lagi berhutan dapat dikelola
dengan peremajaan buatan. Meskipun pada tahun 2004 muncul gagasan penanaman bibit genetik
unggul meranti dalam larikan di hutan alami produksi, tujuannya sama yaitu untuk meningkatkan
produksi kayu pertukangan kualitas vinir dengan mempertahankan keanekaragaman hayati.
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Nomor: P.9/VI/BPHA/2009,
Sistem Silvikultur yang diterapkan di dalam areal IUPHHK pada Hutan Produksi di Indonesia adalah
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Tebang Rumpang dan
Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB). Namun seiring dengan berjalannya waktu,
pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan pun akhirnya mengizinkan penerapan lebih
dari satu sistem silvikultur dalam satu unit pengelolaan hutan, yang kini dikenal dengan istilah
multisistem silvikultur. Namun penerapan multisistem silvikultur tersebut hendaknya tidak hanya
dipandang dari aspek ekonomis semata, melainkan menyesuaikan dengan aspek ekologis berupa
kondisi lingkungan dan potensi tegakan (standing stock) dari kawasan hutan yang sedang dikelola
oleh unit pengelolaan hutan tersebut. Makalah ini disampaikan untuk curah pendapat mengenai
kontribusi silvikultur dalam upaya pengurangan emisi di kawasan hutan, sekaligus menciptakan
pengelolaan hutan secara lestari.
) Disa paika pada Expert Meeti g o “ustai a le Forest Ma age e t Pra ti es i the Fra e of Cli ate Cha ge
yang dilaksanakan di Balikpapan, 27-28 Desember 2010.
2
) Dosen Laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman
1
|1
KONDISI HUTAN SAAT INI
Sampai saat ini belum ada keseragaman data mengenai luas hutan Indonesia, termasuk luas
hutan di Kalimantan Timur. Namun hampir semua sepakat bahwa telah terjadi penurunan luas
hutan dari tahun ke tahun. Penurunan luas hutan itu sebagian besar diakibatkan oleh banyaknya
konversi lahan hutan menjadi peruntukkan lain. Bahkan banyak lembaga pemerintah maupun non
pemerintah yang mencoba merilis laju deforestasi dari tahun ke tahun. Menurut WWF Indonesia,
laju deforestasi di Kalimantan Timur hingga tahun 2008 mencapai 183.189,14 ha.
Gejala perubahan kawasan hutan juga ditunjukkan pada usulan Rencana Tata Ruang Wilayah
Propinsi (RTRWP) Kalimantan Timur, yang saat ini masih menunggu tahap pengesahan. Luas
kawasan budidaya kehutanan (KBK) akan mengalami pengurangan hingga 10,32%, sementara
kawasan budidaya non kehutanan (KBNK) akan mengalami penambahan hingga 7,03%. Hal
tersebut tentu tidak bisa dipandang ringan, pasalnya kawasan hutan akan kembali dikonversi
untuk peruntukkan yang lain.
Belum lagi ditambah dengan informasi banyaknya lahan kritis yang tersebar di kabupaten/kota se
Kalimantan Timur. Berdasarkan data yang dirilis WWF Indonesia pada tahun 2009, luas lahan kritis
di Kalimantan Timur mencapai 8.782.585,31 ha dari sekitar 19.748.616,10 ha luas lahan yang ada.
Dari luas tersebut, terdiri atas Sangat Kritis seluas 493.199,69 ha, Kritis (873.779,18 ha), Agak
Kritis (3.954.824,51 ha), Potensial Kritis (3.460.781,93 ha) dan Tidak Kritis (10.966.030,79 ha).
Melihat perkembangan dunia kehutanan di tanah air akhir-akhir ini, terutama setelah terjadinya
perubahan politik pemerintahan, nampak bahwa perkembangan fisik biologis hutan dipengaruhi
oleh fungsi dan penguasaan lahan hutan. Data dan informasi di atas tentu saja menjadi
pertimbangan tersendiri untuk mengatur strategi yang tepat dalam mendukung upaya
pengurangan emisi dari sektor kehutanan. Diperlukan pemikiran yang tajam dan pengalaman yang
luas untuk mengatasi berbagai persoalan bidang kehutanan, terutama yang berkaitan dengan
pengelolaan kawasan hutan secara lestari.Perubahan kondisi hutan, menyebabkan pula perlunya
pemikiran konsep silvikultur tepat guna.
PERAN SILVIKULTUR DALAM PEMBINAAN HUTAN
Silvikultur dapat diartikan secara sederhana sebagai seni dalam mengelola hutan. Dikatakan seni
karena setiap wilayah akan mendapatkan perlakuan yang berbeda, disesuaikan dengan kondisi
yang ditunjukkan dalam wilayah tersebut. Sasaran silvikultur adalah pengaturan tegakan hutan
(komposisi, struktur dan kerapatan), persiapan, perbaikan dan pemeliharaan kesuburan tanah,
serta pengaturan iklim mikro. Silvikultur terdiri atas teknik dan sistem silvikultur. Teknik silvikultur
adalah satu kegiatan/pengelolaan fisik terhadap hutan baik tanaman maupun alami teknik
regenerasi, teknik pemeliharaan dan teknik pemanenan. Sementara sistem silvikultur diartikan
sebagai rangkaian kegiatan terencana terhadap pengelolaan fisik tegakan hutan yang terdiri atas
beberapa teknik silvikultur dengan intensitas dan frekuensi yang berbeda.
Sebagai cabang ilmu kehutanan, kegiatan silvikultur mempunyai tugas memelihara tegakan hutan
yang telah ada, meremajakan tegakan hutan yang terlampau tua, dan menghutankan kembali
kawasan hutan yang kosong (reboisasi) bekas panen atau bekas kerusakan (api, longsor). Daya
dukung tapak dipertahankan, produktivitas (riap) tegakan ditingkatkan melalui pengetahuan
terbaru pemuliaan, pemupukan dan perilaku tumbuh/hidup tumbuhan/hewan.
Dalam kehutanan tradisional yang aman konflik, manfaat ekonomis hutan hampir-hampir hanya
kayu saja. Dengan demikian ilmu silvikultur sangat didominasi oleh “pengetahuan menghasilkan
kayu secara produktif dan berkelanjutan di hutan produksi”. Tetapi di Indonesia, peran silvikultur
sebenarnya tidak lagi sederhana seperti itu, karena hutan dibedakan menurut:
|2
(1) fungsi hutan: hutan negara dialokasikan menjadi tiga fungsi: konservasi, lindung, dan
produksi, yang tentu masing-masing memerlukan perlakuan silvikultur yang berbeda,
(2) kepemilikan: hutan negara yang luas dan hutan milik yang sempit akan dikelola dengan
intensitas perlakuan silvikultur yang sangat kontras berbeda,
(3) mutu hutan: hutan yang baik dan hutan rusak memerlukan perlakuan silvikultur yang jelas
sangat berbeda.
Dengan demikian, tugas pokok silvikutur adalah membangun dan memelihara hutan agar dapat
berfungsi maksimal, mengalirkan manfaat maksimal kepada masyarakat luas dan pemiliknya. Ilmu
silvikultur harus dapat mengidentifikasi kegiatan fisik apa yang diperlukan dalam setiap satuan
lahan dan satuan waktu. Rangkaian dan rincian kegiatan tersebut disebut rencana kegiatan atau
rencana silvikultur. Rencana silvikultur inilah yang harus dijalankan oleh setiap pengelola hutan,
yang merupakan dasar penyusunan rencana biaya, rencana tenaga, rencana mesin, rencana sosial
dan rencana lainnya.
Bentuk hutan, komposisi jenis tumbuhan hutan, daya dukung tapak hutan, ancaman terhadap
keamanan sebidang hutan, keterjangkauan hutan dan banyak penciri tegakan lainnya
menyebabkan perlakuan dari satu tegakan hutan ke tegakan hutan lainnya tidak harus dan bahkan
tidak mungkin disamakan. Sebagai contoh: hutan alami yang aman perambahan dan berisi
permudaan alami pohon jenis komersial tentu tidak memerlukan penanaman melainkan
memerlukan pemeliharaan terhadap permudaan alami, hutan alami fungsi lindung untuk
melindungi sebuah perairan umum tentu tidak boleh dipanen pohon-pohonnya secara tebang
habis, melainkan dengan tebang pilih yang hati-hati atau bahkan tidak dipanen kayunya sama
sekali kecuali hasil hutan bukan kayunya saja, hutan tanaman jati harus dilindungi oleh program
kemitraan dengan masyarakat lokal dan dibarengi pengelolaan tanaman lain yang memberikan
peluang partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kemakmuran mereka agar tanaman jati tidak
dirambah, dan banyak sekali contoh kondisi yang berbeda yang menjadi dasar pertimbangan
perumusan sistem dan teknik silvikultur tepatguna. Dengan ilustrasi seperti dikemukakan di atas,
jelaslah bahwa setiap hutan memerlukan teknik silvikultur yang mungkin tidak sama.
MULTISISTEM SILVIKULTUR HARUS “DIRUMUSKAN” BUKAN “DIPILIH”
Pengetahuan silvikultur adalah pengetahuan teori, praktis dan mendalam tentang perlakuan
tepatguna dalam aspek 4W1H: what, where, when, who, how (apa, dimana, bilamana, oleh siapa,
bagaimana). Bagi manager perusahaan juga diperlukan kemampuan menghitung analisis biaya
dan pendapatan berdasarkan hasil ujicoba dan penelitian, cara manakah yang perlu dan terbaik
dilakukan di lokasi sendiri. Rangkaian perlakuan silvikultur yang diperlukan untuk membentuk
tegakan hutan dengan tujuan pengusahaan tertentu disebut sistem silvikultur (Sutisna, 2005).
Meskipun pemerintah telah menetapkan beberapa sistem silvikultur yang dapat dilakukan di unit
pengelolaan hutan (IUPHHK), namun pemegang IUPHHK hendaknya tidak sekedar memilih salah
satu sistem tersebut secara penuh, melainkan mengkombinasikan teknik/perlakuan silvikultur
sesuai kebutuhan tegakan di lapangan, berdasarkan penafsiran gejala perilaku tumbuh pohon atau
tumbuhan binaan dalam tegakan. Dengan demikian tidak ada resep umum perlakuan silvikultur
yang dapat dibaca dalam buku resep silvikultur dari wilayah atau negeri lain yang telah lebih
berpengalaman, karena perilaku tumbuh pohon berbeda menurut iklim, tanah, dan spesies.
Sebagai contoh, tegakan kayu pertukangan perlu dijarangi pada saat tinggi tegakan (pohon-pohon
dominan/peninggi) mencapai 8-10 m. Tinggi tegakan pohon dominan tersebut dicapai oleh
tanaman jati di Pulau Jawa yang ditanam dari biji pada tahun ke-10, jati di Kalimantan Timur pada
th ke-4, tanaman sengon di Kalimantan Timur pada akhir tahun ke-2 (Sutisna, 2010). Dengan
demikian, rimbawan lokal yang seyogyanya mengerti perlakuan apa, kapan, bagaimana, dimana,
berapa, oleh siapa dilakukan agar tegakan hutan tumbuh maksimal dengan biaya minimal.
|3
Karena berbeda sifat fisik dan habitatnya, maka setiap tegakan hutan boleh dikatakan memerlukan
perlakuan yang selalu berbeda. Kalau ada persamaan maka sifatnya hanya kebetulan karena umur
sama, jenis tanah sama, komposisi jenis sama, dan resiko ancamannya sama. Intensitas perlakuan
silvikultur ditentukan oleh faktor-faktor keterjangkauan, fisik hutan, dan resiko ancaman terhadap
hutan. Tegakan hutan alami yang berada berdekatan dengan pemukiman atau jalur transportasi
jalan dan sungai merupakan hutan yang paling mudah dikerjakan karena tercapai oleh tenaga
kerja, paling dekat ke pasar hasil hutan, dan juga paling rawan terhadap ancaman resiko
kebakaran dan perambahan. Hutan yang berada jauh dari jalan dan kampung mengalami prospek
ekonomis dan sosial yang sebaliknya. Keadaan demikian menunjukkan bahwa intensitas perlakuan
terhadap hutan produksi tidak dapat disamaratakan.Selain jarak dari pemukiman dan pasar,
kondisi lapangan juga menentukan intensitas perlakuan terhadap hutan alami produksi.
Sistem silvikultur tepatguna merupakan program jangka panjang dari perlakuan terhadap tegakan
hutan yang memenuhi serangkaian suasana. Sistem silvikultur bukan dicomot dari daftar sistem
silvikultur siap saji yang diinginkan. Buku ini juga bukan daftar resep atau katalog untuk petunjuk
teknis melakukan, melainkan bimbingan untuk merumuskan. Perumusan sistem silvikultur diawali
dengan analisis situasi faktor-faktor alami (biogeofisik) dan sosial-ekonomi. Sistem yang dibuat
harus memenuhi beberapa aspek, antara lain:
(1) Sesuai tujuan pengelolaan dan karakteristik kepemilikan hutan
Pemilik hutan pertama-tama harus menentukan tujuan pengelolaannya untuk menghasilkan
apa: kayu pertukangan, kayu pulp, jasa wisata, arboretum, taman buru, tataair, atau manfaat
serbaguna. Rimbawan yang bekerja dalam unit pengelolaan hutan itu akan memodifikasi
struktur dan komposisi tegakan hutan diselaraskan dengan tujuan pengelolaan yang telah
ditetapkan.
(2) Jaminan peremajaan hutan
Kelangsungan hidup sebidang hutan tergantung keberadaan peremajaan alami. Untuk
menghidupkan pohon muda, naungan pohon tua harus dikurangi. Tidak perlu mengharapkan
keberadaan semai sepanjang daur. Semai hanya diperlukan pada saat peremajaan sebidang
lahan hutan bekas panen.
(3) Penggunaan ruang dan tapak secara efisien
Vegetasi hutan akan selalu segera mengisi ruang kosong, tetapi tidak semua species vegetasi
diinginkan oleh pemilik hutan. Tergantung tujuan pengelolaan, bisa saja rerumputan sama
diperlukannya dengan pepohonan. Para pemilik hutan harus memilih jenis pohon sesuai
dengan tujuan pengelolaan hutan masing-masing. Penjarangan merupakan efisiensi
penggunaan ruang hanya untuk pohon yang diinginkan. Sistem silvikultur adalah program
alokasi ruang hutan sepanjang daur. Lahan hutan harus selalu diisi hanya oleh jenis vegetasi
yang diinginkan. Lebih baik terisi vegetasi berguna yang kurus daripada berisi gulma. Lahan
berisi gulma adalah pemborosan. Tetapi terisi penuh jangan diartikan berisi vegetasi yang
berdesak-desakan, karena juga merugikan daur. Understocking (tidak penuh) sama
merugikannya dengan overstocking (terlampau rapat).
(4) Kendali kerusakan lahan hutan
Silvikultur yang berhasil adalah silvikultur yang bisa membentuk tegakan hutan yang resisten
terhadap serangga, jamur, api, dan gangguan biotik dan fisik yang lain. Modifikasi silvikultur
harus dibuat untuk menghindari ancaman utama setempat, misalnya bahwa pohon yang
dominan lebih tahan daripada pohon tertekan dalam tegakan, tegakan campuran lebih tahan
daripada tegakan murni, tegakan tidak seumur lebih tahan daripada tegakan seumur, tegakan
yang mirip hutan alami lebih tahan daripada tegakan buatan.
(5) Jaminan kelestarian hasil
Kaidah dasar kelestarian manfaat hutan adalah pengambilan manfaat setiap tahun harus sama,
misalnya luas tebangan, luas tanaman, volume kegiatan, nilai hasil, nilai jasa, dan jasa-jasa
|4
lainnya dari sebuah unit pengelolaan hutan harus merata sepanjang masa. Gangguan
terhadap pemerataan beban dan hasil setiap tahun pasti selalu ada, misalnya akibat gangguan
hama/penyakit, kebakaran, dan gangguan lainnya yang menyebabkan luas atau produktivitas
tegakan tidak seragam, walaupun dikoreksi terus menerus. Dengan demikian, kelestarian hasil
dan beban hanya selalu dapat didekati, tetapi tidak pernah dapat dicapai. Wujud pengaturan
kelestarian hasil dan kelestarian pekerjaan di hutan yang dikelola dinyatakan dengan adanya
etat luas dan etat volume.
(6) Optimalisasi modal dan potensi tegakan
Pohon hutan tumbuh lama sampai dapat dipanen, maka silvikultur sangat dikendalikan oleh
kebijakan investasi jangka panjang. Optimalisasi modal dilakukan dengan menghitung semua
biaya yang dikeluarkan pada tahun yang berbeda dengan menerapkan perhitungan bungaberbunga (compound interest). Setiap kegiatan silvikultur (cara peremajaan hutan, panjang
daur, cara penjarangan, teknik pemanenan) harus secara mendalam dianalisis dan
dibandingkan, mana yang paling efisien menggunakan modal. Sementara investasi tegakan
dioptimalkan dengan mempertahankan agar spesies pohon bernilai paling tinggi memiliki
pertumbuhan tegakan maksimum, dengan menanami areal kosong, mencegah kegagalan
akibat gangguan, dan meningkatkan riap melalui pemupukan dan atau pemuliaan pohon.
Tegakan yang penuh dan subur akan menghasilkan hasil maksimum dari pengelolaan hutan.
(7) Pengaturan lokasi kegiatan terpusat dan efisien.
Dalam struktur biaya silvikultur, biaya panen kayu merupakan komponen terbesar. Efisiensi
biaya pengelolaan, khususnya biaya panen dapat diatur dengan memusatkan tegakan yang
akan dipanen pada satu wilayah, karena biaya angkut hasil hutan merupakan komponen biaya
yang signifikan dalam silvikultur.
SILVIKULTUR INTENSIF, BAGIAN DARI TEKNIK SILVIKULTUR
Istilah silvikultur intensif (Silin) mulai dikenal secara luas ketika pemerintah menerapkan sistem
silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII), yang kini digabung dalam TPTJ. Namun
Silin sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai sistem silvikultur melainkan bagian dari teknik
silvikultur yang bisa diterapkan di hutan alami maupun tanaman. Silvikultur intensif menekankan
pada 3 (tiga) kegiatan penting, yakni penanaman jenis-jenis unggul, pengendalian hama terpadu
dan manipulasi lingkungan (Kiswanto, 2008).
(a) Penanaman jenis-jenis unggul
Silin merekomendasikan pemegang IUPHHK untuk melakukan penanaman jenis-jenis lokal
unggulan yang bisa diperoleh dari pohon induk pilihan, pemuliaan pohon bahkan kultur
jaringan. Hal tersebut cukup berasalan, mengingat tanaman lokal yang unggul memiliki
kemampuan adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan tanaman yang diperoleh dari pohon
induk dengan kualitas biasa. Untuk memperoleh jenis-jenis unggulan tersebut, pemegang
IUPHHK disarankan untuk melakukan uji jenis, uji tanaman dan uji keturunan sebelum
memutuskan jenis tanaman mana yang tergolong bibit berkualitas unggul, sehingga tanaman
yang ditanam akan sehat, pertumbuhan riapnya lebih besar dan siap panen dalam waktu yang
lebih singkat.
(b) Pengendalian hama terpadu
Salah satu kegiatan Silin adalah meneliti keberadaan hama dan penyakit yang menyerang
tanaman unggulan, serta mencari solusi pencegahan dan penanggulangannya secara cepat
dan tepat. Harapannya adalah tanaman unggulan tadi bisa tumbuh sehat tanpa ada gangguan
hama dan penyakit, sehingga pertumbuhannya pun menjadi cepat dan hasilnya sesuai dengan
harapan.
|5
(c) Manipulasi lingkungan
Dalam silvikultur, pertumbuhan tanaman menjadi fokus utama untuk diperhatikan. Berbagai
upaya terus dilakukan untuk memberikan pertumbuhan optimal dari pohon binaan, antara lain
memberikan ruang tumbuh yang lebih luas kepada pohon binaan agar mendapatkan sinar dan
hara yang cukup untuk mempercepat pertumbuhannya, penyiangan yang dilakukan secara
intensif untuk mengurangi gangguan gulma terhadap tanaman, dan sebagainya. Kegiatan
manipulasi lingkungan ini memang ditujukan agar pohon binaan memiliki pertumbuhan yang
optimal.
Ketiga kegiatan silvikultur intensif tersebut bisa dilakukan pada pengelolaan hutan alami maupun
tanaman, dengan tujuan yang sama yaitu memberikan peluang yang lebih besar kepada
tanaman/pohon binaan untuk tumbuh besar dengan cepat, sehat dan berkualitas unggul sehingga
bisa menghasilkan volume kayu yang besar pula.
KONTRIBUSI SILVIKULTUR DALAM PENGURANGAN EMISI
Pengelolaan hutan secara lestari kini menjadi topik penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim
di sektor kehutanan. Apalagi kehutanan diharapkan mampu menyumbang 60% dari target
pengurangan emisi sebesar 26% yang dicanangkan pemerintah Indonesia. Lalu, apa dan
bagaimana kontribusi silvikultur dalam pengurangan emisi tersebut?
Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dapat dilakukan dengan berbagai cara,
diantaranya :
1.
Stop konversi lahan hutan
Konversi lahan hutan menjadi penggunaan lainnya hendaknya segera dihentikan, termasuk
menjadi kawasan budidaya non kehutanan (KBNK) dan areal penggunaan lainnya (APL).
Bahkan jika perlu, lahan yang telah dikonversi diupayakan sedapat mungkin kembali menjadi
kawasan hutan. Silvikultur dapat berperan dalam upaya perbaikan kawasan hutan asalkan
kawasan tersebut masih ditetapkan sebagai hutan. Kawasan hutan yang telah rusak
(potensinya berkurang) akibat kebakaran, pembalakan liar, tambang, perkebunan dan
sebagainya masih dapat diperbaiki (ditingkatkan potensinya) asalkan kawasan tersebut masih
sebagai hutan, namun tidak akan mungkin memperbaiki kawasan yang telah dikonversi
menjadi pemukiman, kebun sawit, areal tambang dan sebagainya yang tidak disertai niat
mengembalikan menjadi kawasan hutan.
2.
Perumusan multisistem silvikultur yang tepatguna
Penggunaan sistem dan teknik silvikultur yang tidak tepat bisa menyebabkan berkurangnya
kualitas tegakan dalam hutan. Contohnya tegakan hutan dengan permudaan yang cukup
(100-200 bt pohon binaan per hektar) hendaknya tidak dianjurkan untuk melakukan
penanaman, melainkan pemeliharaan saja. Jika diterapkan penanaman sistem jalur bersih
selebar 3 m sebagaimana diatur dalam TPTJ pada areal tersebut, tentu akan mematikan
permudaan alami yang ada, sementara tanaman yang ditanam belum tentu cocok dan
tumbuh baik. Silvikultur yang dirumuskan secara tepatguna justru akan meningkatkan kualitas
tegakan hutan, sehingga degradasi hutan bisa tertanggulangi dengan cara yang benar.
3.
Penerapan silvikultur intensif
Kegiatan-kegiatan dalam silvikultur intensif berupa penanaman jenis unggul, pengendalian
hama terpadu dan manipulasi lingkungan dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas
tanaman. Kegiatan silvikultur intensif tersebut tidak hanya diperlukan pada pengelolaan hutan
alami melainkan juga pada hutan tanaman, sehingga tanaman maupun pohon binaan yang
dihasilkan pada hutan produksi bisa memiliki kualitas unggul sesuai tujuan pengelolaan hutan
dan jaminan peremajaan hutan, sehingga pengelolaan hutan bisa dilakukan secara lestari.
|6
4.
Pembinaan hutan dengan tindakan yang tepat
Pembinaan hutan dilakukan sesuai kebutuhan tegakan yang ditunjukkan oleh gejala perilaku
tumbuh pohon atau tumbuhan binaan dalam tegakan. Misalnya untuk menghasilkan kayu
pertukangan yang bagus diperlukan batang yang besar dan tinggi. Peningkatan riap diameter
dan tinggi dapat dilakukan dengan penjarangan, sementara pemangkasan dilakukan untuk
menghasilkan kayu dengan bebas cabang tinggi. Contoh lain adalah kegiatan penjarangan
pohon besar tidak dapat dilakukan dengan cara penebangan karena akan merusak permudaan
di sekitarnya, maka bisa disarankan untuk melakukan peracunan, sehingga pohon mati berdiri.
5.
Pemilihan teknik pemanenan yang tepat
Teknik pemanenan yang tepat sangat diperlukan agar tidak merusak permudaan alami yang
ada di kawasan tersebut. Menyelamatkan permudaan alami pasca penebangan akan menjadi
pekerjaan yang lebih murah dibandingkan melakukan penanaman (pengayaan) kembali pasca
pemanenan. Penggunaan teknik pemanenan yang tepat dapat menentukan tingkat kerusakan
pasca pemanenan.
KESIMPULAN
1) Pengurangan emisi dari deforestasi bisa dilakukan dengan cara pencegahan/pengurangan
konversi hutan menjadi peruntukkan lainnya, sementara degradasi hutan bisa ditanggulangi
dengan cara penerapan silvikultur yang tepatguna untuk menghasilkan tegakan dengan
kuantitas dan kualitas terbaik.
2)
Multisistem silvikultur yang diterapkan dalam unit pengelolaan hutan bukan dicomot dari
daftar sistem silvikultur siap saji yang diinginkan, melainkan dirumuskan berdasarkan kajian
menyeluruh mengenai faktor-faktor alami (biogeofisik) dan sosial-ekonomi yang ditunjukkan di
lapangan.
BAHAN BACAAN
Kiswanto, 2008. Pertumbuhan Permudaan Alami dan Tanaman pada Areal Ujicoba Sistem TPTII di
PT Balikpapan Forest Industries. Tesis pada Program Pascasarjana Ilmu Kehutanan
Universitas Mulawarman. Samarinda.
Masripatin, N. 2010. Implementasi REDD Indonesia: Apa yang Harus Dipersiapkan di Berbagai
Level?. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Peningkatan Kapasitas Lokal dalam
Rangka Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Samarinda.
Solichin dan Riyanto, B. 2010. Pemanfaatan IHMB untuk Pengukuran Karbon di Kawasan Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Hutan Produksi Kalimantan Timur. Makalah
disampaikan pada Roundtable Discussions: Peran IUUPHK dalam Mitigasi Perubahan Iklim di
Sektor Kehutanan. Balikpapan.
Sutisna, M. 2005. Silvikultur Umum. Bahan Kuliah pada Fakultas Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.
Sutisna, M. 2010. Silvikultur Hutan Alami. Bahan Kuliah pada Fakultas Kehutanan Universitas
Mulawarman. Samarinda.
|7