Kajian Sosial Budaya Presentation Japan

Japan Aftershock
Indira
Lidya Oktariani
Jessica
Lia

Latar Belakang
Jepang merupakan negara kepulauan. Ada 6.852
pulau. Jepang yang rawan gempa ini terletak pada
empat lempeng tektonik sekaligus. Keempat
lempeng tektonik tersebut adalah lempeng Pasifik,
lempeng laut Filipina, lempeng Okhots (Amerika
Utara), dan lempeng Eurasia. Pergerakan dari
lempeng-lempeng
tektonik
inilah
yang
mengakibatkan permukaan bumi saling bertumpuk,
retak, atau bengkok ketika lempeng-lempeng
tersebut bergerak melintasi satu sama lain. Itulah
pemicu terjadinya gempa bumi.


Cerita Hani Yamashita-san
14:46, 11 Maret 2011
Sore itu listrik padam. Mereka merasakan ada
getaran keras dan goyangan dalam rumah. Fotofoto di dinding pun mulai berjatuhan. Anak-anak
langsung berlindung di bawah meja belajar masingmasing. Lolongan anjing tiada berhenti. Akhirnya
mereka bertiga keluar rumah dan mendengar suara
melalui alat pengeras. Suara itu adalah peringatan
ada gempa yang sedang terjadi. Mereka semua
keluar. Tapi tidak panik. Sampai malam pun masih
mati lampu.

Karena gempa ini merupakan gempa yang
cukup
besar,
media
massa
bergegas
memberitahukan keadaan beberapa kota.
Sendai rusak parah dihantam gempa bumi 9

skala ritcher dan tsunami 10 meter.
Sejak tanggal 11 Maret 2011, wilayah Jepang
bagian timur laut atau Touhoku, seperti Tokyo
Saitama Chiba Ibaraki Fukushima Iwate dan
Miyagi merasakan imbas krisis listrik.

Beberapa hari setelahnya, Hani sedang menonton
berita di TV. Ia kaget melihat tulisan Dalam
beberapa menit secara otomatis siaran TV akan
dimatikan.
Anak-anaknya bertanya tentang istana kekaisaran
dan rumah para PM. Ternyata, mereka turut
merasakan padamnya listrik.
Sejak saat itu masyarakat Jepang berupaya untuk
menghemat listrik. Di supermarket hanya
menggunakan separuh penerangan saja. Makanan
beku yang membutuhkan banyak listrik untuk
sementara tidak dijual. Nattou, baterai, tisu, telur
beras, roti, mie instan pun tidak ada.


Pemerintah Jepang pada saat itu memberi
peringatan agar orangtua mengawasi anakanaknya supaya tidak minum air keran karena
sudah terkena radiasi dalam jumlah yang
banyak. Dilaporkan level iodin radioaktif yang
terkandung dalam air mencapai 210 becquerels
per kg. Udara pun mulai tercemar.
Yang lebih memprihatinkan adalah kelangkaan
bensin. Namun biar begitu, mereka tetap tenang
dan berusaha untuk bertahan hidup.

Karena kelangkaan bensin tersebut, mereka sudah tidak
lagi menggunakan mobil. Jadi mereka mengganti dengan
sepeda atau berjalan kaki.
Setelah bencana alam 11 Maret 2011, bantuan melalui
darat tidak bisa segera dilakukan karena kerusakan yang
amat parah di semua infrastruktur. Dibutuhkan waktu 1
minggu untuk memperbaiki highway. Hebatnya, jalan tol
Great Kanto Highway berhasil diperbaiki dalam waktu 6
hari (12 Maret 2011-17 Maret 2011)
Ketika bencana terjadi, orang-orang Jepang selalu berusaha

langsung mematikan aliran gas dan membuka pintu lebarlebar. Kemudian, menyimpan sepatu bersih di bawah
tempat tidur. Fungsinya untuk melindungi kaki dari
pecahan kaca. Dan menaruh sepeda di halaman supaya
bisa menjadi alat transportasi paling tepat.

Ternyata, hanya butuh waktu 1 minggu saja untuk
memulihkan kondisi kelangkaan bahan bakar di
wilayah Tokyo-Saitama.
Pada tanggal 22 Maret, Hani sering melihat antrean
panjang bahkan sampai 2-4 km. Tapi mereka tetap
tenang. Kalau sudah selesai membeli bahan bakar,
mereka sumringah. Begitu juga dengan antrean
minyak tanah.
28 Maret 2011, dikabarkan dari pihak TEPCO
(Perusahaan Listrik pemilik reaktor nuklir Fukushima
Daiichi) bahwa tingkat radiasi pada reaktor no. 2 di
Reaktor Nuklir Fukushima Daiichi melonjak hingga
100.000 kali dari batas normal.

Sejak bencana 11 Maret tersebut, Saitama Super

Arena menjadi tempat pengungsian lebih dari 5000
pengungsi karena Saitama termasuk lokasi aman
dalam radius radiasi.
Para pengungsi turun dari bis dan tidak ada air
mata dari orang-orang yang baru saja kehilangan
keluarganya, rumah, atau mungkin pekerjaannya.
Mereka tidak berkeluh kesah. Saat memasuki
arena, mereka bahkan melepas sepatunya,
menenteng dan menaruhnya di kardus.
Relawan yang datang berasal dari berbagai bidang.
Ada psikolog, dokter, para ibu rumah tangga yang
bertugas memasak dan bersih-bersih, bahkan ada
anak-anak sekolah yang memberikan jasa pijat
gratis bagi pengungsi yang kecapaian.

1 bulan setelah gempa, lebih dari 1.500 orang
rela merawat anak-anak yatim piatu yang
kehilangan orangtua mereka pada saat bencana.
Sekolah-sekolah yang terkena dampak bencana,
dibersihkan secara bergilir oleh para guru dan

murid-murid. Mereka tidak menunggu bantuan
pemerintah. Setiap hari mereka berusaha
membersihkan lingkungan sekolah dari puingpuing dan dalam 1 bulan sudah terlihat kegiatan
aktif di sekolah-sekolah.

Pemulihan infrastruktur terlihat juga pada tiga
hari setelah bencana, kereta api listrik yang
menghubungkan
Fukushima-Iwake
telah
beroperasi. 30 hari setelah bencana, Sendai
airport di prefektur Miyagi pun berhasil
diperbaiki dan kembali dibuka pada 13 April
2011. Dan pada 1 September 2011, Sendai
airport
resmi
melakukan
penerbangan
internasional dan aktivitas normal kembali.


Semangat Ganbarou
Prinsip dan nilai-nilai ganbari sudah mendarah
daging bagi rakyat Jepang. Tidak hanya pada
saat bencana alam saja, mereka setiap harinya
selalu berusaha bersemangat dalam menjalani
kehidupan.
Pasca gempa dan tsunami 11 Maret 2011, tidak
ada orang Jepang yang mengeluh atau meratapi
nasib mereka. Justru sebaliknya, semakin banyak
beban yang ditanggungnya, semakin semangat
untuk melanjutkan hidup.

Simpulan
Usaha-usaha yang Dilakukan Jepang
1. Pemerintah Jepang terus memacu proses
evakuasi dan distribusi bantuan
2. Pengerjaan perbaikan infrastruktur berjalan
dengan cepat tanpa membuang-buang waktu
3. Walaupun kelaparan dan krisis air bersih
melanda, korban tetap sabar

4. Bahaya radiasi nuklir akibat tiga ledakan dan
kebakaran pada PLTN Fukushima Daiichi
membuat pemerintah segera memperbaiki
sistem PLTN lebih baik lagi

Referensi
• Hani Yamashita & Junanto Herdiawan. Japan
Aftershock, Kisah-kisah Berani Menghadapi
Tsunami. 2012