Dialog Interpretatif dalam Kajian Litera

DIALOG INTERPRETATIF DALAM KAJIAN LITERATUR
Upaya Pemahaman terhadap Teks dan Penafsirannya
terhadap Dinamika Realitas
Makalah dipresentasikan pada:
“Program Pemberdayaan Pesantren dan Madrasah” untuk Santri
di Pesantren At-Tahdzib (PA) Rejoagung Ngoro Jombang

Kerjasama Pusat Kajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri
(UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pusat Kajian Dinamika Agama dan Budaya
Masyarakat (PUSKADIABUMA) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta
dengan Pesantren At-Tahdzib

Oleh :
Sokhi Huda
Staf Pengajar IAIN Sunan Ampel Surabaya,
Diperbantukan dan Pjs. Ketua Jurusan KPI pada Fakultas Dakwah
IKAHA Tebuireng Jombang

Jombang

Sabtu, 1 April 2006

DIALOG INTERPRETATIF DALAM KAJIAN LITERATUR
Upaya Pemahaman terhadap Teks dan Penafsirannya terhadap Dinamika Realitas *
Oleh: Sokhi Huda **

A. Pendahuluan
Teks—sebagai bagian dari literatur—, pada kondisi aslinya, hanyalah berbentuk
tulisan. Ia hanya diam dan dapat diperlakukan secara fisik oleh siapa pun, kapan pun,
dan di mana pun. Tetapi dalam teks ada informasi, dan dengan informasi itu, saat ia
dibaca oleh seseorang, terjadilah transformasi informasi dari teks kepada pembaca.
Dalam perkembangan selanjutnya sangat mungkin terjadi dialog hangat, kritis, atau
bahkan menegangkan.
Dalam transformasi dan dialog itulah teks berdaya memperlihatkan power-nya
sebagai sesuatu yang memiliki ruh yang mampu menggerakkan pikiran, perasaan,
perilaku, dan sikap para pembacanya. Ruh itu dapat berupa informasi ringan, pelajaran
dan ajaran, serta ideologi yang kelak mampu menggerakkan sebuah revolusi dalam
peradaban global umat manusia. Dalam sejarahnya sendiri, teks dapat menjadi teman,
entertainer, komandan, magic, penunjuk jalan, terapis, pembimbing, bahkan
penggerak gelora perjuangan berdarah.

Dari situ kemudian muncul sejumlah persoalan; (1) apa sebenarnya teks itu
dalam tradisi penciptaannya?, (2) adakah visi, misi, dan ideologi yang terkandung
dalam teks sebagai delegasi pemikiran penulisnya?, (3) bagaimanakah cara memahami
teks dalam dialog antara tiga pihak terkait (teks, pembaca, dan penulisnya)?, (4)
bagaimanakah cara penafsiran terhadap teks berbekal pemahaman dan sikap kritis
pembaca terhadap dinamika realitas yang berkembang?

*

Makalah dipresentasikan pada “Program Pemberdayaan Pesantren dan Madrasah” untuk Santri,
pada hari Sabtu, tanggal 1 April 2006, di Pesantren at-Tahdzib (PA) Rejoagung Ngoro Jombang.
Program ini diselenggarakan oleh Pusat Kajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pusat Kajian Dinamika Agama dan Budaya Masyarakat
(PUSKADIABUMA) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerjasama dengan
Pesantren at-Tahdzib.
**
Penulis adalah Staf Pengajar IAIN Sunan Ampel Surabaya, Diperbantukan (Dpk) dan Pjs. Ketua
Jurusan KPI pada Fakultas Dakwah IKAHA, dan Staf Pengajar Fakultas Syari’ah IKAHA Tebuireng
Jombang.


2
Untuk menjawab sejumlah persoalan tersebut di atas, tulisan ini menggunakan
metode interpretatif-analitis. Sedangkan fokus kajiannya adalah dua kitab klasik
(Ta’lim al-Muta’allim dan Uqud al-Lujain) yang sering dijadikan referensi kajian
tekstual dalam banyak pesantren di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, lebih khusus
lagi di Jawa Timur.
Alasan penentuan fokus tersebut adalah, secara referensial kedua kitab tersebut
mempunyai karakter khas yang menjadikannya terpilih untuk tetap dikaji di banyak
pesantren di Indonesia. Sedangkan penyajian makalah dan pola pembedahan
terhadapnya dalam forum disesuaikan dengan pola kegiatan dalam “In-Service
Training” pada “Program Pemberdayaan Pesantren dan Madrasah” untuk Santri.

B. Pembahasan
1. Sekilas tentang Nilai-Nilai Kepesantrenan
Sebatas wacana penulis, di Indonesia terdapat tiga tipe/model pondok pesantren,
yaitu: (1) klasik/salaf, (2) modern, dan (3) semi-modern. Tipe pondok salaf
merupakan tipe tertua dan terbanyak dalam perkembangannya hingga paruh pertama
tahun 1970-an. Kemudian muncul beberapa pondok bertipe kedua, yaitu pondok
modern dengan visi, misi dan manajemen modern pula sesuai identitasnya, seperti
pondok modern “Darussalam” Gontor yang dirintis pertama kali oleh KH. Zarkasyi

pada tahun 1939. Setelah itu, pada tahun 1999 muncul pondok modern baru dengan
beberapa terobosan konseptual yang lebih maju, yaitu Pondok “al-Zaytun” di
Indramayu Jawa Barat, yang dipimpin oleh KH. Panji Gumilang (alumni pondok
modern Gontor). Di antara tipe pondok salaf dan modern itu terdapat tipe ketiga,
yakni pondok semi-modern yang mulai tumbuh subur pada paruh kedua tahun 1970an. Pondok semi-modern tersebut lahir dan berkembang dari kesadaran akan
tantangan-tantangan baru dalam kehidupan, yang mau tidak mau mendorong model
pesantren untuk menyesuaikan diri terhadap tantangan-tantangan tersebut. Oleh
karena modelnya yang semi-modern itu, maka penyesuaiannya terhadap tuntutan yang
berkembang hanya ditekankan pada penyediaan sekolah-sekolah formal. Di sisi lain,
model pengelolaannya masih lekat dengan ciri tradisional. Demikian juga, kurikulum
pondoknya pun secara mayor masih menggunakan model klasik.

3
Dari hasil analisis sementara yang dilakukan oleh penulis, ditemukan asumsi
baru bahwa untuk masa kini dan masa mendatang masing-masing ketiga tipe pondok
tersebut di atas memerlukan pengayaan model keempat, yaitu model pondok
kontemporer. Mengapa demikian? Sebab, model pertama hanya mampu bertahan pada
segmen masyarakat yang tertutup, dan lulusannya tidak banyak yang dapat
mengadaptasikan terhadap perkembangan tantangan kehidupan yang dihadapi oleh
umat Islam khususnya. Sementara tipe kedua, dengan gaya dan manajemen

modernnya, dapat mengalami kekurangan atau kekeringan “ruh kepesantrenan” oleh
karena pola dan gaya yang dikembangkannya lebih banyak bersifat mekanistik, di
mana

“ruh

kultural Islam”

ditempatkan

sebagai hal yang tidak

banyak

diperhitungkannya. Dalam ilustrasi yang sederhana, tipe pondok modern identik
dengan gaya modern dan biaya mahal, sehingga masyarakat ekonomi menengah—ke
bawah relatif tidak dapat menikmatinya. Kemudian tipe ketiga, dengan model semimodernnya, cenderung setengah-setengah dan berada dalam posisi tarik-menarik
antara keinginan memfasilitasi pendidikan formal secara baik dan hegemoni kuat pola
kurikulum dan manajemen pondok tradisional/klasik.
Tetapi di sisi lain, ada sesuatu yang khas (unik) dan bersahaja dalam tipe

pertama pondok pesantren, yaitu tipe tradisional/klasik. Di dalamnya terdapat nilainilai moral yang menggunakan ukuran akhlaq karimah (budi pekerti luhur) yang
dijunjung tinggi. Di antaranya adalah nilai-nilai (1) keimanan, (2) kesopanan (unggahungguh), (3) kejujuran, (4) kesederhanaan, (5) keberkahan, (6) ketekunan dan
keuletan, (7) kebersamaan, (8) keprihatinan, (9) keikhlasan, (10) kesabaran, dan (11)
tawakkal kepada Allah SWT.
Nilai-nilai itu sepenuhnya dimiliki oleh tradisi pondok pesantren klasik.
Sedangkan pondok pesantren modern mengutamakan nilai-nilai ketekunan dan
keuletan. Sedangkan nilai-nilai lainnya lebih dipahami dan diporsikan sebagai
“bonus” dan “hal teknis”. Kemudian pondok pesantren semi-modern berpegang pada
nilai-nilai ketekunan dan keuletan, sambil berusaha mempertahankaan nilai
keberkahan sebagai antisipasi terhadap kondisi darurat; seperti menghadapi ujian
pendidikan, persaingan karir di dunia nyata, dan sebagainya. Ketika nilai keberkahan
tidak dapat diandalkannya, maka kemudian nilai kepasrahan dijadikan tempat pelarian
dengan wujud riil penyesalan diri dan mungkin, penyalahan kepada Tuhan. Untuk ini,

4
kita dapat saksikan sejumlah fenomena yang kontra-kepesantrenan: (1) seorang
mantan santriwan tulen yang ketika di rumah rajin main kartu dengan busana
kesukaan celana pendek, padahal rumahnya berdekatan dengan masjid, (2) seorang
mantan santriwati tulen yang ketika di tengah-tengah masyarakat bergaya ‘ala gadis
model, (3) dan sejumlah fakta yang seirama dengan itu. Memang perlu diakui bahwa

pesantren tidak dapat sepenuhnya “menakdirkan” alumninya menjadi Kyai atau
Ustadz, akan tetapi setidaknya pesantren menghendaki target minimalnya dapat
terwujud, yaitu bahwa para alumninya dapat menjadi teladan yang baik bagi
masyarakat dalam aspek apa pun yang digelutinya, dan menjadi pembimbing dalam
hal keagamaan.

2. Sekilas tentang Santri
Dalam khazanah literatur kultural, dalam istilah “santri” terdapat lima huruf,
yakni: ‫ )ﺳﻨﺘﺮي( س ن ت ر ي‬Huruf-huruf itu mengandung arti sebagai berikut:
a.

‫ س‬berasal dari kata ‫رة‬

‫ا‬

b.

‫ ن‬berasal dari kata

c.


‫ ت‬berasal dari kata

d.

‫ ر‬berasal dari kata

‫ا‬

e.

‫ ي‬berasal dari kata

(yakin, mantap, percaya diri).

(menutup aurot),

‫ا‬

(mencegah kemungkaran),


‫( ك ا‬meninggalkan perbuatan maksiat),
‫( ر‬menjaga dari hawa nafsu), dan

Kelima unsur kata dalam istilah “santri” tersebut menggambarkan sosok santri
sebagai sebuah indentitas komunitas.
Dalam sejarahnya, “santri” merupakan sebutan bagi orang yang belajar di
pondok pesantren, meskipun hingga sekarang belum ditemukan referensi tentang siapa
yang pertama kali membuat atau menggunakan istilah itu.
Di samping itu, ada ada beberapa pendapat tentang “santri”. Di antaranya adalah
pertama, “santri” berarti “tiga matahari”. Arti ini diambil dari bahasa Inggris yang diIndonesia-kan “sun” (matahari) dan “three” (tiga). Maksudnya adalah bahwa santri
adalah orang yang berpegangteguh pada tiga hal, yakni Iman, Islam, dan Ihsan.
Kedua, “santri” berarti “jagalah tiga hal”. Arti ini diambil dari gabungan bahasa Arab
dan bahasa Inggris yang di-Indonesia-kan, yaitu “san” (bahasa Arab, berarti

5
“jagalah”) dan “three” (bahasa Inggris, berarti “tiga”). Maksud yang dikehendaki oleh
kata santri ini adalah jagalah kepatuhan kepada tiga pihak, yakni Allah, Rasulullah,
dan Ulil-Amri.
Meski bagaimanapun arti “santri” yang dimaksudkan sebagai simbol sosok dan

identitas komunitas, yang penting dipahami dalam kaitan dengan topik tulisan ini
adalah bahwa santri adalah identitas bagi orang yang belajar agama (termasuk
mempelajari teks-teks atau literatur-literaturnya) dan kelak diharapkan menjadi
pewaris khazanah ajaran dan ilmu agama Islam, sekaligus penerus pengembangannya
dalam upaya pembinaan masyarakat dan tata lehidupan yang Islami.
Di situlah santri memperoleh amanat luhur. Tetapi yang perlu diperhatikan
adalah santri memiliki dan berada dalam sebuah identitas komunitas yang telah
memiliki idealisme, ideologi, serta corak kultur khas tersendiri. Kaitanya dengan
dinamika kajian literatur, santri dihadapkan pada pesan-pesan dan berbagai informasi
dalam berbagai literatur yang dipelajari secara kurikuler di pesantrennya maupun
literatur apa saja yang dipelajari secara mandiri di luar kurikulum itu. Berbagai pesan
dan infornasi ini menjadi bekal ilmu sekaligus tantangan baginya dalam dinamika
pemahaman teks (literatur) dan dalam pelaksanaan amanatnya sebagai generasi
penerus Islam.

3. Pesantren dan Kajian Literatur
Sebatas wacana penulis, sebagian besar pondok pesantren bertahan dalam kajian
kitab-kitab klasik yang lebih dikenal dengan istilah “kitab kuning”. Kitab-kitab klasik
ditempatkan sebagai kelompok materi kajian fondasional. Sedangkan kitab-kitab
lainnya jarang dijadikan perhatian untuk dikaji, kecuali pada pesantren-pesantren

modern.
Sebenarnya ada alasan yang sama yang dapat penulis pahami, mengapa kitabkitab klasik itu dijadikan materi kajian fondasional, baik oleh pesantren-pesantren
salaf maupun modern. Alasan itu adalah bahwa kitab-kitab klasik merupakan produk
Islam pada masa formatifnya 1, yakni abad klasik sejarah peradaban Islam (abad ke-7

1

Masa formatif adalah masa pembentukan karakter sejarah. Masa ini menjadi rujukan pokok yang
bersifat universal dan terus-menerus dala kelangsungan sejarah peradaban Islam.

6
sampai abad ke-13), khususnya pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah (750-1258
M.). Pada periode klasik, dapat dijumpai sumbangan penting dan fundamental
peradaban Islam terhadap peradaban dunia (termasuk peradaban modern di Barat
sekarang), terutama aspek moral dan ilmu pengetahuan. Kecuali masa Dinasti
Umayyah, konsentrasi utamanya pada perluasan wilayah.
Dinamika produktifitas karya-karya keilmuan pada masa itu sangat pesat, hingga
Islam pada masa itu memperoleh julukan “the Golden Age of Islam” (Masa Keemasan
Islam). Khalifah yang berjasa besar sebagai pembuka pintu dinamika produktifitas
keilmuan dalam Islam adalah Khalifah al-Ma’mun (813-833 M), melalui “aktifitas
terjemahan”.2 Gerakan ini memberi kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan dan
perkembangan ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu lainnya. Dalam ilmu-ilmu
keislaman, pengaruhnya terbaca dalam bidang-bidang tafsir, hadis, fikih, dan teologi,
nahwu, kalam (teologi) dan tasawuf (mistisisme Islam). Munculnya tafsir bi al-ra’y
(dalam bidang tafsir), rasionalisme Imam Ahmad bin Hanbal (dalam bidang fikih) dan
kaum Mu’tazilah (dalam bidang teologi) 3, logika Yunani Abu al-Hasan al-Asy’ari,
merupakan sebagian indikasinya.
Kemudian, dalam ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, cendekiawan muslim
sedemikian piawai mengukir prestasi dengan sejumlah karya akal-budinya di bidang
ilmu-ilmu alam (astronomi, optika, kimia), matematika, filsafat, ilmu medis, dan ilmuilmu sosial (geografi, sejarah).
Khalifah al-Ma’mun membangun “Bayt al-Hikmah” (House of Wisdom) sebagai
pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan
yang besar. Untuk menggalakkan penerjemahan, al-Ma’mun menggaji para
penerjemah yang ahli di bidangnya dari golongan Kristen, Sabi, dan bahkan
penyembah bintang. Terdapat sejumlah penerjemah terkenal kala itu. Di antaranya
adalah Tsabit bin Qurra (834-901 M), seorang Sabi dari Harran dan beberapa muslim,
al-Kindi (wafat setelah 870 M), muridnya al-Sarakhsiy (wafat 899 M), al-Farabi

2

Upaya penerjemahan berlangsung tiga fase; pertama (masa al-Mansur-Harun al-Rasyid)
mayoritas menerjemahkan bidang astronomi dan mantiq, kedua (masa al-Ma’mun-899 M.)
menerjemahkan bidang filsafat dan kedokteran, dan ketiga (setelah 899 M, adanya pembuatan kertas)
menerjemahkan bidang-bidang yang semakin luas. Lihat Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hh. 55-56.
3
Gelombang Hellenisme pertama bersentuhan dengan pemikiran Islam lebih banyak terlihat dala m
pemikiran teologi. Tentang hal ini, lihat Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam
(Jakarta: P3M, 1987), hh. 54-113; bandingkan dengan G.E.von Grunebaum. Classical Islam:....., h. 96.

7
(wafat 950 M), Abu Sulayman al-Mantiqi al-Sijistaniy (wafat 985 M), dan al-Amiriy. 4
Pada masa inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Perhatian yang tinggi terhadap pendidikan, berakibat dijadikannya masjid
sebagai tempat kuliah. Oleh karenanya, masjid juga berfungsi sebagai “al-Jami’ah”
(universal). Orang Barat lalu mengadopsinya menjadi “university” (universitas).
Masa keemasan peradaban keilmuan abad klasik sejarah Islam ketika itu terlukis
indah dalam berbagai penyataan abstraktif beberapa penulis dan peneliti. 5 Cristopher
Dawson menyebut periode kemajuan Islam (masa Dinasti Abbasiyah) bersamaan
masanya dengan abad kegelapan di Eropa.6 H.Mc. Neill menjelaskan bahwa
kebudayaan Kristen di Eropa di antara 600-1000 M sedang mengalami masa surut
yang rendah. Lebon mengatakan bahwa “orang Arablah yang menyebabkan kita
mempunyai peradaban, karena mereka adalah imam kita selama enam abad”.
Penyelidikan Rom Landau mengakui, bahwa dari periode Islam klasik orang Barat
belajar berpikir objektif, dan belajar berdada lapang saat terpasungnya pikiran dan
tidak adanya toleransi terhadap kaum minoritas, sebagai bimbingan bagi renaissance
Eropa yang kemudian membawa pada kemajuan dan peradaban Barat sekarang.
Jacques C. Rislar menegaskan ilmu pengetahuan dan teknik Islam amat dalam
mempengaruhi kebudayaan Barat.
Untuk konteks tulisan ini, fakta-fakta historis di atas penting dipahami dalam
kaitannya dengan pemahaman tentang pesantren dan kajian literatur, termasuk dalam
pemahaman tentang sistem kurikulum sebagian besar pesantren yang bertahan pada
kajian kitab-kitab klasik.

4

Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, 6, sebagaimana dikutip oleh Yudian Wahyudi,
et.al., The Dinamics of Islamic Civilization (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1988), h. 62.
5
Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, I (Jakarta: UI-Press, 1985), hh. 74-75.
Masing-masing abstraksi disebutkan sumbernya untuk pelacakan referensi lebih lanjut.
6
Seirama dengan Cristopher Dawson, Hasan. History of Islam:...., h. 16, menegaskan bahwa sejak
abad VII renaissance Islam (era of the promotion of knowledge, and the cultivation of scientific spirit)
telah dikibarkan, kala Eropa masih terselubungi oleh abad kegelapan (Dark Age).

8
4. Dialog Interpretatif dalam Kajian Literatur (Analisis Historis dan
Kontekstual)
Dalam dinamika kajian literatur, aspek-aspek historis dan kontekstual
menduduki posisi penting. Sebab dengan kedua aspek itulah seorang pengkaji literatur
kokoh dengan “sikap percaya diri” dalam pemahaman terhadap teks (dalam aspek
literal dan historisnya) dan upaya kontekstualisasinya terhadap realitas yang
berkembang. Di sinilah pengkaji literatur diharapkan memiliki daya interpretasi yang
kuat dalam dialog interpretatifnya dengan literatur yang dikaji.
Penulis ambil salah satu contoh dalam kitab

(On Teaching

the Pupil) karya Burhanuddin al-Zarnuji (1203). Kitab ini merupakan salah satu di
antara 28 kitab monumental di bidang pendidikan. Bahkan dapat dikatakan bahwa ia
merupakan kitab terpopuler di bidang pendidikan pada abad klasik sejarah Islam,
sebagaimana hasil penelitian Mehdi Nakosteen dalam bukunya History of Islamic
Origins of Western Education A.D. 800-1350; with an Introduction to Medieval
Muslim Education (Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis
Abad Keemasan Islam). Kitab tersebut (Ta’lim al-Muta’allim) diterjemahkan dari
bahasa Arab kedalam bahasa Latin dengan judul baru Enchridion Studiosi pada tahun
1709 oleh H. Reland, kemudian diterjemahkan lagi pada tahun 1838 oleh Caspari.
Imam al-Ghazali pernah menyusun karya di bidang pendidikan, yaitu “Fatihatul
Ulum”, tetapi karya ini kalah populer dibanding Ta’lim al-Muta’allim.
Meskipun ada pandangan kritis bahwa kitab tersebut merupakan kitab yang
pembelenggu dan meninabobokkan santri, tetapi bagi seorang pengkaji literatur yang
handal, dia tidak mudah terpancing emosinya oleh pandangan kritis tersebut. Isi
literatur, dan berbagai kritik terhadapnya sekalipun, dipahaminya dalam khazanah
histotris dan kontekstualnya.
Misalnya dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim terdapat sebuah syair yang terkenal
di kalangan para santri, yaitu:

ٍ ِ ِ ‫ﺎل اﻟْﻌِﻠ‬
ِ ‫ﻚ َﻋﻦ ﻣ ْﺠﻤﻮ ِﻋ َﻬﺎ ﺑِ ﺒ ـ ﻴ‬
‫ﺎن‬
ََ
ْ ُ َ ْ َ ‫ َﺳﺄُﻧْﺒِْﻴ‬# ‫ﺔ‬‫ ﺑِﺴﺘ‬‫ْﻢ اﻻ‬
َ ُ ‫أَﻻَﻻَ ﺗَ ـَﻨ‬
ٍ ْ ‫ﺎد أ‬
ِ ‫ وِار َﺷ‬# ‫اﺻ ِﻄﺒﺎ ٍر و ﺑ ـ ْﻠﻐَ ٍﺔ‬
ٍ ‫ذَ َﻛ ٍﺎء َوِﺣ ْﺮ‬
◌ِ ‫ﻣﺎن‬
َ‫ُﺳَﺘﺎذ َوﻃُ ْﻮِل اﻟﺰ‬
َْ
ُ َ َ ْ ‫ص َو‬
Secara interpretatif, syair tersebut dapat dipahami sebagai strategi belajar, baik
itu di pesantren, sekolah-sekolah, atau bahkan di perguruan tinggi. Strategi belajar

9
adalah cara yang dipandang terbaik dan sesuai untuk mencapai prestasi terbaik dalam
belajar. Cara ini dapat berupa manajemen belajar maupun pendekatan dan metodenya.
Dalam kaitan hal tersebut, strategi belajar yang dapat diinterpretasikan dari syair
di atas, dalam wacana sederhana dan sementara penulis makalah, adalah: nilai-nilai
kualitas waktu belajar dan etika belajar.
a. Kualitas Waktu Belajar
1) Kualitas waktu studi dapat menghasilkan kualitas sekaligus kuantitas
ilmu/informasi. Ada ungkapan sederhana bahwa 1 tahun studi yang berkualitas
= 10 tahun studi yang tidak berkualitas. Contoh: Usia dan karya-karya Imam
Shafi’i dan Imam Ghazali.
2) Metodologi (cara studi) sangat menentukan terhadap kualitas waktu studi.
Contoh dalam skala global: Perbandingan Barat dan Timur (masa embrio,
transformasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan, dari masa klasik sejarah
Islam sampai dengan kemajuan abad modern).
b. Etika Studi
1) Inklusif (Terbuka)
a) Setiap saat siap menerima dan menggali informasi.
b) Bersikap lapang dada/terbuka. Sikap ini dapat membuka pintu-pintu
informasi baru maupun pengembangan informasi sebelumnya.
2) Ulet (sabar) = kesungguhan. Di kalangan pesantren ada ungkapan “man jadda
wajada” (siapa yang bersungguh-sungguh, niscaya berhasil). Ini sama dengan
ungkapan dalam khazanah budaya daerah “sapa kang temen, yekti ketemu”
atau ungkapan yang religius “sapa kang temen, yekti diwelasi dening
Pengeran” (siapa yang yang bersungguh-sungguh, niscaya dikasihani oleh
Tuhan). Untuk itulah diperlukan “cengkir” –singkatan dari kencenge pikir—
(kencangnya pikiran) dalam arti “tuhu marang tujuan” (konsisten dalam
mencapai tujuan) studi. Contoh: Ibn Hajar (Penulis kitab Fath al-Bari –Sharh
kitab Hadis Shahih al-Bukhari) dan Stephen Howking (Penulis buku Black
Whole).
3) Syukur = Sikap spiritualistik sebagai lanjutan dari sikap inklusif. Gerak
syukur: vertikal (kepada Tuhan) dan horisontal (kepada sesama manusia,
terutama kepada orang-orang yang pernah menjadi pintu gerbang informasi).

10
4) Berdo’a (Spiritualitas)
a) Dalam tradisi pesantren ada ungkapan ‫ص‬
ٍ َ &ِ 'َ(ْ ُ َ+ ِ‫ ُ ْ ٌر َو ُ ْ ُرﷲ‬/ُ &ْ ِ ْ َ‫( أ‬ilmu iti
adalah nur, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang
bermaksiat). Maksiat dapat berarti perbuatan yang terlarang oleh agama,
sikap arogan, kontra-kebenaran, eksklusif/simplifikatif.
b) Ilham = intelek dalam studi agama, kashf dalam tasawuf, metode
iluminasionisme dalam filsafat ilmu. Contoh: Prof. DR. Harun Nasution
dan para peneliti sejarah (khususnya dari Belanda).
c) Catatan: Bersiaplah menghadapi kebuntuan, kejenuhan, dan kegundahan
pikir, jika hanya mengandalkan rasio. Dengan demikian, ijtihad ilmiah
niscaya melibatkan seluruh potensi rohani, terutama potensi spiritualitas.
Usaha spiritualitas merupakan partisipasi aktif manusia untuk menjemput
ilham dari Tuhan.
5) Sanad dan Berkah Ilmu
a) Dalam hadis dikenal ada sanad hadis. Sanad (transmisi) ini merupakan
garansi (jaminan) bagi otentisitas dan kredibilitas hadis.
b) Di pesantren ada istilah (dalam arti: tradisi) ijazah dan barokah. Tradisi ini
terutama dimodali oleh model kitab Ta’lim al-Muta’allim di atas.
c) Di kalangan para orientalis (ahli studi ketimuran/keislaman) ada tradisi
jalur transformasi ilmu. Oleh karena tradisi ini muncul belakangan, maka
ia sebenarnya merupakan imitasi dari tradisi sanad hadis Islam dan tradisi
ijazah pesantren.
Paparan di atas hanyalah sebuah contoh. Sedangkan cara melakukan interpretasi
dala dialog historis dan kontekstual, dapat digunakan cara sebagaimana penjelasan di
bawah ini.
Lingkaran Dialog Interpretatif dalam Kajian Literatur
Teks

Autor (Penulis Teks)

Audiens (Pembaca Teks)

11
Pertama: teks, diusahakan untuk dilacak sejumlah informasi tentang; apa
muatannya, kapan dan dalam situasi apa ditulis. Kedua: autor, diupayakan untuk
dikumpulkan informasi mengenai; siapa dia, latar belakangnya, kapan ia hidup, dan
problem-problem sosio-kultur-politik yang melingkupinya. Ketiga: audiens memiliki
otoritas vertikal terhadap teks dan otoritas horisontal terhadap autor. Dengan kedua
otoritas ini, pembaca, dengan daya interpretatifnya, dapat mengembangkan
interpretasi sesuai dengan jalan pikirannya dalam konteks historisitas.

5. Cara Kerja Dialog Interpretatif dalam Kajian Literatur
Cara kerja “dialog interpretatif dalam kajian literatur (dengan analisis historis
dan kontekstual)” terdiri dari dua hal, yaitu: (1) interpretasi dan maksud autor dan (2)
interpretasi dan subjektivisme.
a. Interpretasi dan Maksud Autor
Dalam hal ini pembaca berupaya mengungkap gagasan orisinil autor yang
tertuang dalam literatur yag dipelajari. Kemudian pembaca dapat memahami teks
tersebut secara dinamis disebabkan oleh rentang waktu maupun perbedaan situasi,
kondisi, dan tradisi antara autor dan audiens. Meskipun demikian, pemahaman
pembaca terhadap teks tetap memperhatikan hubungan antar data yang menyekitari
teks tersebut.
Otoritas pembaca terhadap teks didasarkan pada pertimbangan terhadap
interpretasi pembaca dan penekanannya pada pemahaman interpreter. Pembaca dapat
melakukan

interpretasi

terhadapnya

sesuai

dengan

pemahamannya.

Untuk

membangun interpretasi ini, pembaca berupaya untuk memperhatikan aspek
historisitas dalam ide dasar teks tersebut, dan sedapat mungkin mendiskusikannya
dengan wacana yang berkembang.
Dengan cara penekanan pada pemahaman interpreter itulah dapat dicapai
interpretasi yang benar. Sebab, tidak ada satu teks pun yang dapat berbicara, apabila
tidak

berbicara

dengan

bahasa

yang

dapat

dimengerti

oleh

orang

lain

(audience/reader), dan sebuah karya dianggap hebat apabila mampu menyatakan
kebenaran yang dapat ditembus oleh pemerhati kaitannya dengan situasi mereka
sendiri. Di sini, yang disebut subjek bukan autor atau pembaca, tetapi subject-matter
dalam teks itu sendiri.

12
Sedangkan objek historikal yang benar bukanlah objek, tetapi kesatuan antara
satu bagian dengan bagian yang lain (fusion of horizon), suatu hubungan yang di
dalamnya terdapat realitas sejarah penulis dan realitas pemahaman historisitas
pembaca. Di sinilah didapati dinamika teks yang bersifat kontekstual.
b. Interpretasi dan Subjektifistik
Pemberian otoritas terhadap historisitas interpreter menjadikan interpretasi itu
bersifat subjektif.
Pemahaman terhadap arti teks, karya seni, permainan, maupun peristiwa
kesejarahan hanya berdasarkan pada otoritas pembaca, dan hanya berhubungan
dengan situasi dan kondisinya; dapat mungkin terjadi pemahaman yang berbeda antara
pembaca dan penulis.
Subjektifistik pembaca terdiri dari empat unsur, yaitu: (1) rehabilitasi prasangka
dan tradisi, (2) antisipasi kelengkapan, (3) pemahaman dan penerapan, dan (4) struktur
dialogis pemahaman.
1) Rehabilitasi Prasangka dan Tradisi
Agar subjektifistik interpreter tidak terjebak pada oportunitas background
pengetahuan dan kekuatan normatifnya (keduanya merupakan blind prejudice), maka
interpreter hendaknya menggunakan enabling prejudice yang mampu memproduksi
ilmu pengetahuan karena sikap keterbukaannya.
Sikap terbuka ini dilakukan oleh pembaca dengan berbagai pandangan dan
pemegang otoritas di bidang pokok masalah yang terkandung dalam teks.
2) Antisipasi Kelengkapan
Antisipasi kelengkapan berisi bukan hanya elemen formal bahwa teks harus
mengekspresikan maknanya secara lengkap, tetapi juga bahwa apa yang dikatakan itu
adalah kebenaran lengkap. Ini berarti bahwa interpreter dibolehkan untuk menguji
asumsi tentang sebuah teks dan pokok masalah dengan hubungan timbal-balik.
Selanjutnya, ketika interpreter meninggalkan blind prejudice dan tradisinya,
kemudian membawa teks kepada historisitasnya, sehingga dapat memahami informasi
dari teks, maka apa yang telah dipahaminya itu harus diyakininya sebagai apa yang
mungkin benar. Kemudian, untuk pengujian terhadap hasil pemahaman ini, diperlukan
diskusi dengan orang lain.

13
3) Pemahaman dan Penerapan
Pemahaman interpreter hendaknya disesuaikan dengan kemungkinan aplikasi
pemahaman, yang dipengaruhi oleh berbagai situasi dan kepentingan, sehingga
interpretasi dapat berbeda sesuai dengan perbedaan kepentingan dan isu-isu, di mana
objek interpretasi dipahami. Sebaliknya, aplikasi tidak dapat berbuat banyak apabila
terlepas dari teks.
4) Struktur Dialogis Pemahaman
Struktur dialogis pemahaman mengandung unsur integritas pemahaman, yakni
integritas antara pemahaman awal dengan pemahaman hasil konsensus dan integritas
antara cakrawala penulis dan cakrawala pembaca.
Pemahaman awal berasal dari pemaksaan praduga atas kebutuhan terhadap objek
yang dipahami sebagai dugaan mengenai penerapan. Sedangkan pemahaman hasil
konsensus atau pemahaman murni –sebagai pemahaman yang benar—merupakan
hasil partisipasi partisipan dan patnernya, dengan mengembangkan keterbukaan;
menyadari kelebihan dan kelemahan, menghindari sikap pandangan absolutis, oleh
karena setiap partisipan berhak mengungkapkan pandangan, asumsi, menjelaskan, dan
menginterpretasi-kan pokok-pokok persoalan sesuai dengan pemahamannya.
Dalam struktur dialogis pemahaman, proses pemahaman terhadap teks
mengandung usaha untuk menyesuaikan dan mengintegrasikannya dalam pemahaman
partisipan (interpreter) tentang pokok persoalan, dengan menyadari kelebihan dan
kekurangan, menuju tercapainya posisi dan produksi yang lebih baik. Hasilnya
merupakan suatu penyatuan dan persetujuan, berada di luar posisi-posisi asli berbagai
macam partisipasi partisipan.

6. Piranti Pengaman dalam Dialog Interporetatif Kajian Litertur
Ada seorang alumni pesantren salaf yang kuliah di IAIN Sunan Ampel
Surabaya, kemudian ia keluar darinya, karena merasa (berpandangan) bahwa saat
kuliah dicekoki oleh teori-teori “orang-orang kafir”.
Itu adalah sebuah contoh sederhana dalam hal memahami dan menyikapi
literatur yang dipelajari. Kisah itu dapat dipahami sebagai fakta ekspresif dalam kaitan
dengan topik tulisan ini. Mengapa demikian? Karena dalam literatur ternyata ada

14
sejumlah hal terkait, di antaranya adalah tokoh (penulis), ideologi, informasi, dan
segenap implikasi yang muncul dari ideologi dan informasi tersebut. Implikasi ini
dapat berupa pemahaman, corak pemikiran, perasaan, bahkan perilaku dan sikap
tertentu. Oleh karena itulah diperlukan piranti pengaman, agar pembaca literatur
(khususnya santri) dapat tetap tegar dengan identitas dirinya sebagai aktivis ilmu yang
agamis, Islami, ber-akhlaq karimah.
Piranti pengaman, dalam pandangan penulis, adalah tetap berpegangteguh
terhadap kesadaran tauhid dan adanya kebenaran tertinggi dalam ideologi Islam dan
atau ideologi aliran yang dianutnya. Sebebas apapun gaya dan corak pemikiran kritis
santri pengkaji literatur, seluas apapun macam-macam corak pemikiran dan informasi
yang terkandung dalam teks yang dibaca, serta seberapa banyakpun teman diskusi, itu
semua dikendalikan secara kokoh dalam koridor kesadaran itu. Jika tidak demikian,
maka batas-batas ideologi dalam kandungan informasi berbagai literatur yang
dipelajari menjadi kabur atau bahkan tercabik-cabik.
Oleh karena itulah dapat dipahami, mengapa Imam al-Ghazali melakukan kritik
hebat terhadap filsafat yang dimuat dalam karyanya “tahafut al-falasifah” (kerancuan
filsafat). Sebenarnya, dalam hemat penulis, apa yang dikehendaki oleh Imam alGhazali adalah, “silakan anda umat Islam menggunakan kebebasan berpikir dengan
filsafat, tetapi jangan lupa, bahwa sebagai umat yang mempunyai ideologi Islam dan
kewajiban syar’iyah”. Setelah tahap karya tersebut diluncurkan ke permukaan, Imam
al-Ghazali melanjutkan karirnya ke bidang Tasawuf. Hal ini dapat dipahami secara
historis dan kontekstual bahwa tasawuf sebenarnya dapat dijadikan sebagai bagian
(bukan alat utama) dalam konstruksi piranti pengaman tadi. Bahkan secara filosofis
maupun

metodologis,

terdapat

kecenderungan

kuat

dalam pengkajian

dan

pengembangan ilmu-ilmu keislaman untuk menggunakan metode kasyfi (salah satu
cara usaha yang dikembangkan dalam tasawuf), di samping metode-metode bayaniy,
ta’liliy, dan istislahiy yang sering digunakan dalam kajian hukum Islam misalnya.
Metode kasyf tersebut merupakan sebagian dari berbagai aliran epistemologis
dalam Islam, di antaranya adalah: (1) al-Madzhab al-Naqliy (Tradisionalisme), (2) alMadzhab al-Tarikhiy (Historisisme), (3) al-Madzhab al-‘Aqliy (Rasionalisme), (4) alMadzhab al-Tajribiy (Empirisisme), (5) al-Madzhab al-Naqdiy (Kritisisme), dan (6)
al-Madzhab al-Shufi (Mistisisme).

15
C. Penutup
Santri adalah aktifis ilmu-ilmu agama yang memiliki identitas dan citra khas
dibanding dengan komunitas lainnya. Santri pada umumnya, dalam koridor tradisi
kepesantrenan, mengutamakan kajian kitab-kitab klasik, di samping berusaha
menyerap berbagai informasi literatur yang dapat menunjang pengembangan wawasan
keagamaannya.
Dengan citra khasnya itu santri dapat megembangkan khazanah keilmuan diri
dengan dialog interpretatif dalam kajian literatur yang dipelajarinya dalam upaya
pemahaman terhadap teks dan penafsirannya terhadap dinamika realitas. Oleh karena
dalam teks sangat mungkin ada ideologi tertentu, di samping informasi yang
terkandung di dalamnya, maka santri hendaklah mempersiapkan piranti pengaman
bagi dirinya dalam dinamika kajian literatur yang berasal dari luar kurikulum
pesantren atau yang tidak seideologi dengannya. Caranya adalah tetap berpegangteguh
terhadap kesadaran tauhid dan adanya kebenaran tertinggi dalam ideologi Islam dan
atau ideologi aliran yang dianutnya.
Piranti pengaman tersebut hendaklah tetap diporsikan dalam kesadaran akan
pentingnya metode (manhaj) yag dipandang efektif, akurat, dan optimal dalam kajian
lieratur tersebut.
Tulisan ini hanyalah sebuah refleksi dari penulis sesuai dengan plus-minus
wawasannya. Apa yang terpenting adalah ghirah santri untuk mengkaji dan
mengembangkan khazanah-ilmu-ilmu keislaman (khususnya ilmu agama dari warisan
sejarah Islam) dalam dialektika historis dan kontekstual perkembangan zaman.
Wallahu A’lam.