Etika dalam Politik Luar Negeri

Etika dalam Politik Luar Negeri 2012

Oleh: Adhitia Pahlawan Putra/Hubungan Internasional Universitas Brawijaya,
Konsentrasi International Development and International Political Economy

Abstrak
Etika dalam hubungan Internasinal menjadi sangat penting karena sering
digunakan dan disalahgunakan oleh negara-negara, terutama negara-negara barat dan
hegemon Seperti Amerika Serikat. Lebih lanjut, kajian etik pun melahirkan perdebatan
antrara pandangan kaum komunitarian versus Kosmopolitan yang menjelaskan tentang
bagaimana seharusnya negara bertindak dalam hubungan internasional. Substaninya
adalah apakah Ethics yang didahulukan atau kepentingan nasionalnya ?. akan tetapi
kaum akademisi hubungan internasional memberikan solusi mengenai hal tersebut.
Pertama, karena negara memiliki kesempatan untuk berbuat jahat, kebijakan yang
politis harus menemoatkan moralitas diatas kesempatan. Kedua, kepemimpinan moral
yang bergantung pada intergritas moral individu juga penting termasuk aspek
legitimasi pemimpin itu. Ketiga, kebijakan yang prudence harus mempertimbangkan
keadaan, menyeimbangkan untung rugi serta prinsip dan kepentingan.

Keywords: Politik Luar Negeri, PLN, Etika


1

Etika dalam Politik Luar Negeri 2012

BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, pembicaraan PLN tidak bisa dipisahkan dengan masalah
etik/ethics. Memang benar, dalam banyak buku PLN yang dijarkan diberbagai
universitas, persoalan etik diangap tidak penting karena sering diasumsikan
bertentangan dengan kepentingan nasional suatu negara. Negara dikatakan
harus memaksimalkan kepentingan nasionalnya, sedangkan etik menunjukan
kelemahan suatu negara karena mau berkompromi dengan berhubungan
dengan negara lain.
Pandangan demikian tentu saja tidak terlepas dari dominasi realsime
dalam PLN selama ini. Dalam asumsi realisme, negara adalah berdaulat dan
selalu mengejar kepentingan nasionalnya, termasuk, kalau perlu merugikan
negara lain. Kepetingan moralitas atau etik adalah nomor dua karema yang
paling penting adalah kepentingan yang didefinisikan dengan kepenti8ngan
untuk survive dari ancaman negara lain.
Subordinasi moralitas terhadap kekuasaan ini sering dipandang sebagai

fakta dalam kehidupan politik internasional. Kebanyakan orang akan setuju
dengan pernyataan Morgentahu bahwa “tindakan negara-negara ditentukan
bukan oleh prinsip-prinsip moral dan komtmen hukum tetapi pada
pertimbangan

kepentingan dan kekuasaan”

1

. ini juga didukung oleh

pernyataan Waltz yaitu negara-negara yang berada dalam anarki tidak mampu
untuk menggunakan moral. Kemungkinan bagi perilaku berdasarkan moral
1

Hans J. Morgenthau. Truth and Power, Essays of a decade , 1960-70. New York: Preager, 1970. Dalam
buku Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: Dari Realisme sampai Konstruktivisme , 2011.Hal 178

2


Etika dalam Politik Luar Negeri 2012

bergantung pada adanya sebuahb pemerintahan efektif yang dapat mencegah
dan menghukum tindakan-tindakan illegal.
Namun, asumsi realisme sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Dari dulu,
tidak ada negara yang tidak memperhatikan etik sama sekali dalam PLN-nya.
Tujuan ideal suatu negara umumnya untuk kesejahteraan masyarakat dan
masyarakat dunia dan untuk perdamaian abadi sebagaimana terlihat dalam
pembukaan UUD Indonesia, misalnya. Negara-negara bekas penjajah, seperti
Inggris dan Belanda, merasa mempunyai

tanggung jawab terhadap negara

bekas jajahannya. Inggris, Misalnya, membuat perhimpunan negara-negara
persemakmuran (commonwealth), sedangkan Belanda dulu menggalang dana
pembangunan untuk Indonesia lewat IGGI (Inter-Governmental Group on
Indonesia). Dewasa ini, berbagai negara membantu negara-negara yang
mengalami bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, dan tanah longsor
karena alas an kemanusiaan, etik dan moral. Dalam era global dimana muncul
berbagai actor politik internasional yang tidak terbatas hanya pada negara,

peran etik menjadi lebih penting.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan

latar

belakang

diatas

maka

masalah

yang

dapat

dirumuskan adalah sebagai berikut :
1.


Apa makna perspektif etik dalam hubungan internasional ? ; dan

2.

Bagaimana etik mempengaruhi PLN suatu negara ?

3

Etika dalam Politik Luar Negeri 2012

BAB II Pembahasan
2.1 Makna Perpspektif Etik dalam Hubungan Internasional
Ilmuwan HI telah member perhatian pada teori normative dan etik
dimasa lampau. Para pembuat keputusan yang melangkah dalam realisme
cenderung meremehkan teori normative dengan alasan bahwa: 1). Kepentingan
nasional seharusnya menjadi landasan. 2). Sebagai akibatnya perdebatan
tentang teori normative sering dipisahkan dari perdebatan pejabat pemerintah
tentang kebijakan. Sekarang, ketika pemerintah dan organisasi internasional
secara eksplisit menyatakan pentingya landasan etik bagi PLN setiap warga,

para pembuat keputusan dapat dan seharusnya menggunakan pencerahan yang
diberikan oleh teori normative.
Menurut Haas, etik dapat didefinisikan sebagai “suatu system
keyakinan, nilai-nilai, dan ide-ide yang koheren dan lengkap yang memberikan
kerangka untuk mengelompokan tindakan-tindakan apa sebagai jahat danm
karenanya harus dihindari dan tindakan-tindakan apa yang digolongkan baik
sehingga bisa ditolerir dan bahkan di promosikan dalam politik internasioal”2.
Sistem etik memenuhi beberapa criteria formal dan berakar pada waktu
dan tempat tertentu. Sistem itu terdiri atas stadar perilaku dimana negaranegara yang mengikutinya akan dapat menyatakan bahwa tindakan negara
tertentu baik atau buruk, dan dapat memutuskan jenis tindakan tertentu benar
E.B.Hass, “Beware the Slippery Slope: Notes Toward the Definition of Justifiable
Intervention”Insc.Int. Berkeley, CA: University of California. 1993. Hal .180

2

4

Etika dalam Politik Luar Negeri 2012

atau salah. Misalnya, ASEAN sangat menhargai prisnsip non-intervensi dan

kedaulatan negara-negara anggotanya.
Tetapi untuk menjadikan etik sebagai landasan PLN bukanlah hal yang
mudah, bahkan kalau sudah ada perjanjian sekalipun, karena ini menyangkut
posisi dan dilemma etik yang dihadapi suatu negara. Dengan kata lain,
dilemma pertama adalah apa yang dimaksud politik itu, apakah harus
mensejahterakan rakyat dahulu (dengan cara apapun) baru negara lain, karena
seringkali dalam praktik, salah satu harus dikorbankan terlebih dahulu. Inilah
kemudian

yang

menjadi

perdebatan

dalam

Perspektif

Komunitarian


(Konseqtualis) VS Kosmpolitanism (deantology)
A. Perspektif Komunitarian (Konseqtualis)
Kaum komunitarian berpendapat bahwa baik individu maupun
komunitas dibatasi oleh batas-batas begara dan karenanya tugas moral atau etik
mereka, termasuk pemerinntah, terbatas pada keperluan warganya (insider).
Sementara bagi para outsider, kepentingan da hak-hak mereka tidak mendapat
tempat penting. Etik yang paling layak hanyalah menjaga kepentingan diri dan
survival karena dunia yang anarkhis. (Para konseqtualis menilai tindakan
melalui pertimbangan)
B. Perspektif Kosmopolitan (deantology)
Akar pandangan cosmopolitan adalah pandangan deantologis yang
berpandapat bahwa moralitas adalah universal dan moral dapat diberlakukan
pada

tiap orang,

sama denga kantianisme,

yang


menekankan

pada

universalisme aturan.
Bagi,

Kosmopolitan,

batas-batas

nasional

tidak

relevan.

Kaum


cosmopolitan berpendapat bahwa kita hidup dalam masyarakat politik global
5

Etika dalam Politik Luar Negeri 2012

domana pembuatan kebijakan etik seharusnya

meletakan kepentingan

kemanusiaan secara umum ditempat yang lebih utama diatas batas-batas social
politik. Mereka juga menganggap moralitas itu satu dan universal dan
karenanya dapat diterpapkan dimana-mana.

2.2 Politik Luar Negeri Etik Sebagai Tujuan dan Sarana
Setelah melihat apa yang dimaksud dengan etik dalam kaitannya dengan
HI ada perbincangan posisi dan perkembangan etik didunia internasional.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana etik mempengaruhi PLN. Ada tiga
pandangan utama disini: yang pertama adalah bahwa etik mempengaruhi PLN
secara otomatis dimana negara-negara, karena kesadarannya, mengambil PLN
yang etik, seperti mempromosikam demokrasi dan hak-hak asasi manusia.

Motivasi kedua adalah karena paksaan, yaitu nrgara-negara melakukan
PLN yang bermoral karena ada paksaan dari negara besar atau organisasi
internasional. Tekanan juga bisa dating kekuatan-kekuatan politik di dalam
negeri.

Adapun panfangan yang ketiga yaitu gabungan dari sifat egois

mementingkan diri sendiri dan motif sukarela. Andrew Linkater mengatakan
bahwa negara-negara yang menerapkan PLN etik menempatkan kesejahteraan
masyarakat internasional diatas kepentingan nasional mereka sendiri.
Pandangan lain mengatakan bahwa perlu menjaga keseimbangan antara
kepetingan sendiri dan kepetingan orang lain. Seperti dikatakan oleh Chris
Brown, negara-negara mempunyai tugas utama untuk memenuhi kepentingan
rakyatnya tetapi dalam konteks tugas yang lebih luas terhadap negara-negara
lain dan kemanusiaan secara umum. Kedua tugas ini mempunyai kewajiban
moral dan adalah kesalahan untuk megira bahwa tugas yang pertama hanya
6

Etika dalam Politik Luar Negeri 2012

didasarkan kepentingan, sementara yang kedua merupakan dimensi etis PLN.
Kedua tugas itu meliputi, baik kepentingan sendiri maupun etik3.
Umumnya para akademisi HI. Sepakat bahwa tidak begitu logis untuk
membuat dikotomi antara PLN yang etis dan PLN yang tidak etis. Isunya
mnurut mereka labih pada bagaimana pemerintah bertindak secara ertik,
mengikuti criteria apa dan bagaimana mereka melaksanakannya. Mereka juga
sepakat bahwa pemerintah mestinya pragmatis dalam penerapan PLN dan
bahwa pemerintah harus terbuka terhadap berbagai pandangan dan terlibat
dalam dialog yang terbuka dan serius dengan para actor, baik pemerintahan
maupun non-pemerintah. PLN harus terbuka untuk pembicaraan dan harus
bersedia direview secara konstan untuk menjamin bahwa pemerintahan
mengikuti standar masyarakat.
Salah satu etik yang paling controversial adalah intervensi kemnusiaan.
Apakah negara mempunyai hak atau bahkan tugas untuk campur tangan
menghentikan pelanggaran HAM yang parah di negara-negara lain? Mervyn
Frost memberikan justifikasi moral untuk intervensi demikian. Dia menelusuri
perkembangan dua norma non-intervensi dalam HI. Yang pertama, menuntut
agar negara tidak intervensi dalam urusan internal negara-negara lain. Yang
kedua, mencerminkan perkembangan historis dari pembatasan kekuatan
negara dalam negara: negara harus mengizinkan kebebaan dan ruang untuk
masyarakat sipil. Frost berpendapat bahwa penerapan prinsip atau norma non
intervensi kepada negara-negara dikancah internasional bergantung pada
apakah negara-negara itu menunjukan respek pada norma non-intervensi
dalam hubungan dengan masyarakat sipilnya. Bilamana negara tidak
menghormatinya, norma internasional non-intervesi tidak berlaku. Intervensi
Chris Brown, “Ethics, Interest and Foreign Policy”, Cambrigde: Cambrigde University Press. 2001. Hal.
189
3

7

Etika dalam Politik Luar Negeri 2012

kemanusiaan harus diarahkan untuk melindungi masyarakat sipil, dan
memastikan tidak ada intervensi negara terhadap masyarakat sipil4.
Promosi HAM juga merupakan salah satu tujuan PLN etik. Apakah
alasan untuk memproosikan HAM sebagai politik luar negeri dan bagaimana
caranya adalah isu penting dalam analisis politik luar negeri, karena ini
menyangkut isu sensitive campur tangan terhadap urusan domestic negara lain
atau sering juga dikritik sebagai pemaksaan nilai-nilai barat kenagar-negara
non-barat. Dimana, seringkali HAM hanya menjadi slogan PLN barat.
Seharusnya pemerintah negara-negara non-barat mesti dimonitor oleh warga
dan lembaga-lembaga independen dan bahwa NGO harus memainkan peranan
untuk memantau pemerintahan yang mengklaim melaksanakan HAM dan
yang melanggarnya. Meskipun kemudian ada dilemma yang dihadapi oleh
NGO seperti halnya dana NGO. Yang terjadi kemudian, adalah independensi
dari NGO tersebut perlu dipertanyakan.
Lalu apa yang mesti dilakukan? sebagai solusinya bahwa PLN HAM barat
seharusnya memastikan bahwa kebijakan dan praktik domestic mereka
bersesuaian dengan komitmen internasional PLN dan memperkuat otoritas dan
kekuatan lembaga-lembaga internasional untuk menerapkan komitmen itu.
Selain itu, Kemuculan lembaga seperti International Criminal Court (ICC)
juga penting dalam pembahasan etik dari PLN karena disni individu yang
terlibat kejahatan internasional bisa diajukan ke mahkamah ini. Pembentukan
lembaga ini tentu saja merupakan kemajuan, tetapi ia dihadapkan pada

4 M, Frost, “The Ethics of Humanitarian Intervention: Protecting Civilians to Make Democratic
Citizenship Posibble: Cambrigde: Cambrigde University Press. 2001. Dalam J.L Holzgrefe dan
Robert O Keohane, “Humanitarian Intervention : Ethical, Legal and Political Dilemmas”,
Cambridge University Press. 2003. Hal 275
8

Etika dalam Politik Luar Negeri 2012

konsern negara-negara tradisional tentang masalah kedaulatan. Berfungsi nya
ICC bergatunng pada kerelaan negera-negara ini untuk meyerahkan warganya
yang bersalah.

9

Etika dalam Politik Luar Negeri 2012

BAB III Penutup
3.1 Kesimpulan
Etik kemudian menjadi penting dalam PLN karena banyak actor negara
sebagai actor internasional yang kurang peduli dengan etik. Actor-aktor seperti
Amerika Serikat, dan Uni Eropa sering mengatakan bahwa mereka mendukung
penerapan HAM tetapi ini hanya basa-basi untuk melindungi atau alasan untuk
tidak melakukan tindakan keras terhadap pelanggar HAM. Amerika Serikat,
misalnya menggunakan senjata untuk intervensi kemanusiaan dalam kasus
Afghanistan dan irak, yang dilakukan untuk kepentingan diri sendiri daripada
untuk

kepentingan

umum

(ini

sesuai

dengan

pandanagn

perspektif

komunitarian).
Sementara, disatu sisi perang juga dipandang sebagai sesuatu yang
immoral dan tidak beradab. Bahwa kekerasan secara umum dipandang sebagai
bentuk anarkis dari hubungan social. Mereka (para

kosmopoliatansm)

kemudian mengajukan dimensi etis dari PLN yaitu aturan yang universal.
Dimana mereka percaya bahwa pembuatan kebijakan haruslah etik untuk
kepentingan seleruh umat manusia, seharusnya meletakan kepentingan
kemanusiaan

secara

umum

ditempat

yang

utama

diatas

batas-batas

kepentingan social-politik.
Oleh karena itu, Pertama, karena negara memiliki kesempatan untuk
berbuat jahat, kebijakan yang politis harus menemoatkan moralitas diatas
kesempatan. Kedua, kepemimpinan moral yang bergantung pada intergritas
moral individu juga penting termasuk aspek legitimasi pemimpin itu. Ketiga,
kebijakan yang prudence harus mempertimbangkan keadaan, menyeimbangkan
untung rugi serta prinsip dan kepentingan.

10

Etika dalam Politik Luar Negeri 2012

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Chris. 2001. “Ethics, Interest and Foreign Policy”, Cambrigde: Cambrigde
University Press.
Hass, E.B..1993. “Beware the Slippery Slope: Notes Toward the Definition of Justifiable
Intervention”Insc.Int. Berkeley, CA: University of California.
Hara, Abu Bakar. 2011. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri dari Realisme sampai
Konstruktivisme, Penerbit Nuansa.
Holzgrefee, J.L and Keohane, R.O. 2003. Humanitarian Intervention : Ethics,
Legal, and Political Dillema, Cambrigde: Cambrigde University Press.

“Berbeda adalah Keunggulan”
11