Meta edukasi dalam Gugon Tuhon menurut P
META-EDUKASI DALAM GUGON TUHON MASYARAKAT JAWA DALAM
PERSPEKTIF TEORI ARTI WILLIAM P. ALSTON
MAKALAH TUGAS AKHIR
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir matakuliah Filsafat Bahasa
yang diampu oleh Dr. Rizal Muztansyir
Nail Hikam Faqihuddin
15/381266/FI/04066
FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan sarana yang penting dalam membentuk karakter individu.
Salah satu bentuk pendidikan yang efektif menurut Ki Hadjar Dewantoro adalah
pendidikan keluarga. Dalam sistem pendidikan pragmatisme, pendidikan tak hanya
berupa pemberian materi pelajaran di sekolah, tetapi sudah harus dimulai dari rumah atau
keluarga. Antara Ki Hadjar Dewantoro dengan pragmatisme seperti John Dewey
memiliki kesamaan yaitu memandang lingkungan keluarga sebagai faktor penting dalam
mendidik anaknya. Salah satu bentuk pendidikan keluarga yang masih ada tetapi sudah
jarang ditemui di masyarakat suku Jawa adalah gugon tuhon.
Gugon tuhon, atau bisa disebut proposisi ora ilok, berisi petuah-petuah yang bersifat
metafisis untuk menakut-nakuti seseorang agar ia tidak melakukan sesuatu yang dianggap
melanggar norma dan etika lingkungan tempat ia tinggal. Peneliti berasumsi bahwa gugon
tuhon memiliki aspek edukatif dari segi pemaknaan dan penyampaian terhadap anak.
Salah satu contoh gugon tuhon adalah “Aja lungguh ing ngarep lawang, mundhak wong
sing nglamar mbalik” (Jangan duduk di depan pintu, agar orang yang ingin melamar tidak
pergi). Edukasi yang terlihat sebenarnya adalah norma sopan santun untuk tidak duduk di
depan pintu karena menghalangi jalan. Alasan lain karena duduk di depan pintu bisa
menyebabkan masuk angin karena kencangnya angin di luar pintu. Pendidikan yang
diutarakan bersifat simbolis dan metafisis sehingga membutuhkan penafsiran secara logis
penyebab kausalnya. Oleh karena itu peneliti memakai pendekatan Teori Arti William P.
Alston untuk menganalisis segi meta-edukasi dalam proposisi ora ilok atau gugon tuhon.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, rumusan masalahnya sebagai berikut.
a. Bagaimana konsep makna dalam Teori Arti William P. Alston?
b. Bagaimana contoh bentuk ungkapan edukasi gugon tuhon masyarakat Jawa?
c. Apa makna yang terkandung dalam ungkapan edukasi gugon tuhon menurut Teori
Arti?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang gugon tuhon masyarakat Jawa pernah diteliti oleh beberapa peneliti
dengan tema berbeda-beda, antara lain:
1
a. N.H. Faqihuddin, P. D. Citrawati, & T. Cahyaning, 2016, Gugon Tuhon dalam
Perspektif Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, menggambarkan bahwa
gugon tuhon merupakan bentuk pendidikan keluarga yang mengajarkan budi
pekerti.
b. Erwin Prasetyo Widodo, 2015, Proposisi Ora Ilok dalam Konteks Kekinian,
menggambarkan transformasi dan dinamika gugon tuhon dalam konteks
kontemporer sebagai hasil dari kearifan lokal masyarakat Jawa yang mengandung
nasihat.
c. Ambar Pristiana, 2014, Maksud, Makna, Lan Tegese Gugon Tuhon Ngenani Wong
Mbobot Ing Desa Purworejo Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung, berisi
maksud, makna dan arti gugon tuhon tentang wanita hamil di desa yang diteliti.
Penelitian tentang Meta-Edukasi dalam Gugon Tuhon Masyarakat Jawa dalam
Perspektif Teori Arti William P. Alston belum pernah dilakukan sehingga dijamin
keasliannya.
3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberi manfaat, antara lain
a. bagi peneliti sendiri, penelitian ini merupakan suatu upaya untuk memperluas
wawasan pemikiran dan membantu memahami cara mendidik masyarakat Jawa;
b. bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini berguna untuk pengembangan teori ilmiahfilsafati, terutama Filsafat Bahasa, untuk menganalisis fenomena aktual dalam
kearifan lokal suku-suku di Indonesia;
c. bagi pembangunan Indonesia, penelitian ini berguna untuk memperkaya khazanah
filosofis dan sosial-budaya tentang edukasi, sehingga pemahaman terhadap
konsep pendidikan menjadi lebih luas dan variatif, serta mengangkat kearifan
lokal Indonesia.
B. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian tentang meta-edukasi gugon tuhon ini meliputi:
a. Menggambarkan konsep makna dalam Teori Arti William P. Alston
b. Menggambarkan bentuk-bentuk ungkapan edukasi gugon tuhon masyarakat Jawa
c. Mengungkap makna yang terkandung dalam ungkapan edukasi gugon tuhon
menurut Teori Arti William P. Alston
2
C. TINJAUAN PUSTAKA
Istilah gugon tuhon berasal dari ‘gugu’ dan ‘tuhu’ yang berakhiran –an. ‘Gugu’ berarti
sifat mempercayai terhadap suatu ucapan atau cerita, dan ‘tuhu’ berarti sifat mudah
percaya pada ucapan orang lain (Arifah, 2011, p. 13). Padmosoekotjo (2009, p. 167)
mengatakan takrifan kata gugon tuhon adalah sebagai berikut.
1. Sifat yang mudah mempercayai dan melaksanakan apa saja yang dikatakan orang atau
dongeng yang sesungguhnya tidak perlu dipercayai, apa lagi dilaksanakan.
2. Sebagai kata nama, kata ini berarti percakapan atau dongeng (oleh orang yang
mempercayai gugon tuhon) dianggap mempunyai kekuatan.
Purwadi mengatakan bahwa gugon tuhon termasuk dalam kepercayaan adat dan
takhayul (Purwadi, 2004, p. 139; Arifah, 2011, p. 13). Takhayul tidak hanya mencakup
kepercayaan saja (belief), melainkan juga kelakuan (behavior), pengalaman (experience),
ada kalanya juga alat, dan biasanya juga ungkapan serta sajak (Danandjaja, 1984, p. 153;
Arifah, 2011, p. 13). Sejarah yang menunjukkan asal-usul gugon tuhon tidak berhasil
ditemukan. Akan tetapi, Padmosoekotjo mengungkapkan bahwa gugon tuhon biasanya
berasal dari nenek moyang yang menjadi generasi pertama yang bermukim di [tempat
tersebut] (Padmosoekotjo, 2009, p. 170). Leluhur atau nenek moyang yang bermukim di
tempat tersebut biasanya pernah mengalamai kejadian sial atau kemalangan.
Padmosoekoetjo mencontohkan hal ini sebagai berikut.
Sewaktu Panembahan Senapati berperang melawan Arya Penangsang di
Jipang, dia menaiki kuda yang berambut batilan [kuda yang rambutnya dipotong
pendek, catatan penerjemah]. Kuda yang dinaiki Arya Penangsang bernama
Gagak Rimang. Setelah kedua satriya ini sudah akan mulai berperang, kuda
Panembahan Senapati lari tidak tentu arah. Panembahan Senapati merasa sangat
malu dan hampir-hampir mengalami kemalangan. Oleh [karena] itu,
Panembahan Senapati kemudian sedemikian: “Semua keturunanku, jika maju
perang, jangan menaiki kuda batilan.
Misalan yang lain adalah Adipati dari Banyumas mengalami kemalangan
ketika bepergian pada hari Sabtu pahing. Sang Adipati kemudian melarang anak
cucunya untuk bepergian pada hari Sabtu pahing. Sampai sekarang, masih ramai
orang di Banyumas tidak berani melanggar larangan ini, yaitu tidak bepergian
pada hari sabtu pahing. (Padmosoekotjo, 2009, p. 170)
Padmosoekotjo membagi gugon tuhon menjadi tiga: gugon tuhon kang salugu, gugon
tuhon yang berisi wasita sinandi, dan gugon tuhon yang termasuk wewaler (larangan)
atau pepecuh. Contoh yang diungkapkan di atas termasuk dalam gugon tuhon wewaler
atau pepecuh. Berikut ini adalah contoh gugon tuhon kang salugu.
3
-
Aja mangan koredan, mundhak guneme mencla-mencle. (jangan makan sisa
makanan yang tertinggal pada pinggan, nanti yang dicakapkan selalu berubahubah atau tidak memiliki ketetapan hati)
-
Aja mangan brutu, mundhak guneme mencla-mencle. (jangan makan ekor ayam,
nanti yang dicakapkan selalu berubah-ubah atau tidak memiliki ketetapan hati)
-
Aja mangan tlampik, mundhak ditampik dening wanita, tumrap wanita mundhak
ditampik dening priya. (jangan makan sayap ayam bagian ujung, agar tidak
ditolak oleh wanita; jika wanita, agar tidak ditolak oleh pria.)
D. KERANGKA TEORI
Persoalan dalam filsafat bahasa tidak akan lepas dari perbedaan antara pernyataan
yang bermakna (meaningfull) dan pernyataan tidak bermakna (meaningless) (Mustansyir,
1988, p. 10). Problem arti atau makna ungkapan di kalangan para filsuf melahirkan
beberapa teori seperti teori ideasi (ideational theory), teori tingkah laku (behavioural
theory), dan teori acuan (referential theory) (Mustansyir, 2014, p. 5). Beberapa filsuf
yang telah mengkaji persoalan bahasa dimulai dari Moore, dilanjutkan Russell dan
Wittgenstein, sampai pada William P. Alston. Alston dalam bukunya Philosophy of
Language (1964), menjelaskan masing-masing teori arti di atas sebagai berikut.
1. Teori Ideasi (Ideational Theory)
Teori ideasi adalah two expressions have the same use if and only if the are associated
with the same idea(s) (Alston, 1964, p. 22). Prinsip umum teori ini menggariskan bahwa
kata mengandung makna lantaran manusia mempergunakan bahasa (Mustansyir, 2014, p.
5). Menurut teori ini, paling tidak ada beberapa hal yang harus dipenuhi jika suatu kata
atau pernyataan bahasa itu dipergunakan (Mustansyir, 2001, p. 176; Novianna, 2007, pp.
32-33). (i) Gagasan atau ide itu harus hadir dalam pemikiran si pembicara. (ii) Pembicara
haruslah melontarkan ungkapan itu sehingga pendengarnya mengetahui bahwa gagasan
atau ide tersebut ada dalam pikiran si pembicara pada saat itu. (iii) Sejauh komunikasi itu
berhasil, maka ungkapan bahasa itu haruslah membangkitkan gagasan atau ide yang sama
dalam pikiran si pendengar. Pada intinya, keberhasilan teori ideasi ditentukan dari apakah
gagasan yang diutarakan pembicara pada pendengar dapat diterima atau tidak.
2. Teori Tingkah Laku (Behavioral Theory)
Teori tingkah laku adalah two expressions have the same use if and only if they are
involved in the same stimulus-response connections (Alston, 1964, p. 22). Inti dari teori
4
tingkah laku terletak pada situasi pengucapan yang dilakukan pembicara sehingga
menimbulkan tanggapan dari pendengar (Mustansyir, 2014, p. 6). Paling tidak, ada dua
pengandaian dalam teori ini (Novianna, 2007, p. 38). (i) Harus ada bentuk-bentuk yang
umum dan khas pada semua situasi sehingga pada saat suatu ungkapan bahasa itu
diucapkan, maka ia akan memberi suatu pengertian (Alston, 1964, p. 26). (ii) Harus ada
bentuk-bentuk yang umum dan khas pada semua tanggapan (response) yang ditimbulkan
oleh pengucapan dari ungkapan yang diajukan itu tadi (Alston, 1964, p. 26).
3. Teori Acuan (Referential Theory)
Teori acuan didasarkan atas asumsi bahwa setiap ungkapan bahasa yang
dipergunakan itu membicarakan atau mengacu pada sesuatu (Mustansyir, 2014, p. 6).
Teori ini memilik dua versi: naïve dan sophisticated. Menurut Alston, kedua versi
menganut pada pernyataan bahwa agar sebuah ungkapan memiliki makna harus merujuk
pada sesuatu selain dari dirinya sendiri, tetapi maknanya berada di wilayah yang berbeda
dari situasi acuan. (Alston, 1964, p. 12). Pandangan naif menyatakan bahwa acuan
terletak pada sesuatu yang diacunya, sedangkan pandangan yang lebih maju
(sophisticated) menyatakan bahwa arti suatu ungkapan itu dikenal atau diidentifikasi
dengan hubungan antara ungkapan dan sesuatu yang diacunya, bahwasanya hubungan
itulah yang merupakan arti (Novianna, 2007, pp. 26-27).
E. METODE PENELITIAN
1. Bahan/materi Penelitian
Bahan penelitian ini bersumber pada pustaka tentang gugon tuhan, antara lain sbb.
Alston, W. P., 1964. The Philosophy of Language. New Jersey: Englewood Cliffs.
Arifah, K. N., 2011. Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan
Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Danandjaja, J., 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta:
PT Temprint.
Dewantara, K. H., 2011. Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan.
Faqihuddin, N. H., Citrawati, P. D. & Cahyaningsih, T., 2016. Gugon Tuhon dalam
Perspektif Filsafat Pendidikan Keluarga Ki Hadjar Dewantara, Yogyakarta: Fakultas
Filsafat UGM.
5
Mustansyir, R., 1988. Arti Sebagai Suatu Entitas Dalam Problematika Filsafat Bahasa,
Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Mustansyir, R., 2001. Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para
Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mustansyir, R., 2014. Meta-Demokrasi dalam Bahasa Melayu Sambas Kalimantan
Barat: Tinjauan Teori Arti Filsafat Analitis, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Novianna, 2007. Iklan Rokok Sampoerna di Televisi Ditinjau dari Teori Arti William P.
Alston, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Padmosoekotjo, S., 2009. Gugon Tuhon. Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu,
1(1), pp. 167-171.
Pristina, A., 2014. Maksud, Makna, lan Tegese Gugon Tuhon Ngenani Wong Mbobot
ing Desa Purworejo, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung, Surabaya: Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya.
Purwadi, 2004. Upacara Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suparlan, H., 2015. Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi
Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat, Februari, 25(1), pp. 56-74.
Suratman, K., 1987. Tugas Kita Sebagai Pamong Taman Siswa. Yogyakarta: Majelis
Luhur.
Widodo, E. P., 2015. Proposisi Ora Ilok dalam Konteks Kekinian. [Online]
Available at: https://dokumen.tips/documents/proposisi-ora-ilok-dalam-kontekskekinian.html
[Accessed 18 Desember 2017].
a)
2. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini hanyalah laptop dan koneksi internet.
3. Tahap Penelitian
-
Mengumpulkan buku, artikel, dan penelitian tentang gugon tuhon
-
Mengelompokkan tulisan tentang gugon tuhon
-
Menganalisis hasilnya dengan teknik analisis data
4. Teknik Analisis Hasil
6
Analisis
-
Deskripsi
Interpretasi
Refleksi
Analisis digunakan untuk memahami istilah edukasi/pendidikan dalam gugon
tuhon, maka dipakai cara analisis yaitu menguraikan arti terminology
-
Deskripsi adalah memaparkan gugon tuhon dalam masyarakat Jawa yang
peneliti dapatkan dari beberapa literature
-
Interpretasi yaitu melakukan penafsiran atas pemikiran yang berkaitan dengan
terminoogi edukasi dalam gugon tuhon masyarakat Jawa
-
Refleksi berkaitan dengan merefleksikan konsep meta-edukasi dalam gugon
tuhon masyarakat Jawa sehingga dapat dipahami konsep edukasi sebagai
problem penting dalam kehidupan manusia secara universal
7
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Edukasi dalam Gugon Tuhon
1. Pengertian Edukasi dan Meta-Edukasi
Pengertian edukasi dalam pembahasan ini difokuskan pada pemikiran Ki Hadjar
Dewantara, mengacu pada referensi utama penelitian ini yaitu Gugon Tuhon dalam
Perspektif Filsafat Pendidikan Keluarga Ki Hadjar Dewantara (2016). Ki Hadjar
Dewantara mengajukan beberapa konsep pendidikan untuk mewujudkan tercapainya
tujuan pendidikan, yaitu Tri Pusat Pendidikan: (1) pendidikan keluarga; (2) pendidikan
dalam alam perguruan; dan (3) pendidikan dalam alam pemuda atau masyarakat
(Suparlan, 2015, p. 57). Di antara ketiga konsep pemikiran beliau, gugon tuhon adalah
praktik pendidikan dalam ranah keluarga (Faqihuddin, et al., 2016).
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah usaha kebudayaan yang bermaksud
memberikan bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak didik agar dalam garisgaris kodrat pribadinya serta pengaruh-pengaruh lingkungan, mendapat kemajuan hidup
lahir batin (Suratman, 1987, p. 11; Suparlan, 2015, p. 61). Pendidikan merupakan salah
satu usaha pokok untuk memberikan nilai-nilai kebatinan yang ada dalam hidup rakyat
yang berkebudayaan kepada tiap-tiap turunan baru (penyerahan kultur), tidak hanya
berupa pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan
kebudayaan, menuju ke arah keseluruhan hidup kemanusiaan (Dewantara, 2011, p. 344).
Oleh karena gugon tuhon juga merupakan suatu kebudayaan dan kearifan lokal Jawa,
serta mengajarkan etiket dan pelajaran-pelajaran hidup, maka konsep edukasi dalam
gugon tuhon sesuai dengan pengertian Ki Hadjar Dewantara.
Metaedukasi artinya analisis yang dilakukan atas terminologi yang berkembang
dalam edukasi. Pengertian ini merujuk pada metaetika sebagai kajian yang menganalisis
terminologi dalam bidang etika (Mustansyir, 2014, p. 15). Penelitian ini dimaksudkan
untuk menganalisis terminologi edukasi (metaedukasi) yang berkembang dalam gugon
tuhon masyarakat Jawa.
2. Sejarah Gugon Tuhon
Istilah gugon tuhon berasal dari ‘gugu’ dan ‘tuhu’ yang berakhiran –an. ‘Gugu’ berarti
sifat mempercayai terhadap suatu ucapan atau cerita, dan ‘tuhu’ berarti sifat mudah
percaya pada ucapan orang lain (Arifah, 2011, p. 13). Padmosoekotjo (2009, p. 167)
8
mengatakan takrifan kata gugon tuhon adalah sebagai berikut. (1) Sifat yang mudah
mempercayai dan melaksanakan apa saja yang dikatakan orang atau dongeng yang
sesungguhnya tidak perlu dipercayai, apa lagi dilaksanakan. (2) Sebagai kata nama, kata
ini berarti percakapan atau dongeng (oleh orang yang mempercayai gugon tuhon)
dianggap mempunyai kekuatan.
Purwadi mengatakan bahwa gugon tuhon termasuk dalam kepercayaan adat dan
takhayul (Purwadi, 2004, p. 139; Arifah, 2011, p. 13). Takhayul tidak hanya mencakup
kepercayaan saja (belief), melainkan juga kelakuan (behavior), pengalaman (experience),
ada kalanya juga alat, dan biasanya juga ungkapan serta sajak (Danandjaja, 1984, p. 153;
Arifah, 2011, p. 13). Sejarah yang menunjukkan asal-usul gugon tuhon tidak berhasil
ditemukan. Akan tetapi, Padmosoekotjo mengungkapkan bahwa gugon tuhon biasanya
berasal dari nenek moyang yang menjadi generasi pertama yang bermukim di [tempat
tersebut] (Padmosoekotjo, 2009, p. 170). Leluhur atau nenek moyang yang bermukim di
tempat tersebut biasanya pernah mengalamai kejadian sial atau kemalangan.
Padmosoekoetjo mencontohkan hal ini sebagai berikut.
Sewaktu Panembahan Senapati berperang melawan Arya Penangsang di
Jipang, dia menaiki kuda yang berambut batilan [kuda yang rambutnya dipotong
pendek, catatan penerjemah]. Kuda yang dinaiki Arya Penangsang bernama
Gagak Rimang. Setelah kedua satriya ini sudah akan mulai berperang, kuda
Panembahan Senapati lari tidak tentu arah. Panembahan Senapati merasa sangat
malu dan hampir-hampir mengalami kemalangan. Oleh [karena] itu,
Panembahan Senapati kemudian sedemikian: “Semua keturunanku, jika maju
perang, jangan menaiki kuda batilan.
Misalan yang lain adalah Adipati dari Banyumas mengalami kemalangan
ketika bepergian pada hari Sabtu pahing. Sang Adipati kemudian melarang anak
cucunya untuk bepergian pada hari Sabtu pahing. Sampai sekarang, masih ramai
orang di Banyumas tidak berani melanggar larangan ini, yaitu tidak bepergian
pada hari sabtu pahing. (Padmosoekotjo, 2009, p. 170)
Gugon tuhon yang disampaikan oleh orang tua memberikan nilai pendidikan yang
mendasar. Nilai pendidikan yang mendasar pada gugon tuhon berupa nilai baik dan buruk
terhadap perbuatan yang dilakukan oleh sang anak. Orang tua memiliki kedudukan
sebagai seorang guru atau penuntun dalam keluarga. Melalui gugon tuhon orang tua
memperankan dirinya sebagai seorang guru atau penuntun. Gugon tuhon yang
disampaikan oleh orang tua memiliki makna. Ketika orang tua menyampaikan gugon
tuhon tersebut orang tua berperan sebagai seorang penuntun bagi anak-anaknya.
9
Orang tua juga bertindak sebagai seorang pengajar dan sebagai pemberi contoh.
Orang tua adalah lingkungan pertama dan paling penting yang dikenal oleh anak-anak.
Tindakan yang dilakukan orang tua menjadi contoh bagi anak-anaknya. Selain anak-anak
mampu mendidik diri mereka sendiri melalui gugon tuhon untuk membedakan antara
perbuatan baik buruk.
Landasan filosofis yang ada pada gugon tuhon sebagai sebuah bentuk pendidikan
adalah ajaran tentang budi pekerti atau tingkah laku karena dalam gugon tuhon
terkandung makna bagaimana harus berperilaku atau bertingkah laku, terutama orang tua
sebagai seorang penuntun, pengajar, pendidik dan orang pertama yang dikenal oleh sang
anak. Pendidikan ini bersifat metafisis karena penyampainnya bersifat simbolis dan
membutuhkan penafsiran baik secara positif maupun metafisis. Pemakaian gugon tuhon
dalam proses mendidik bukanlah hal yang keliru jika disertakan alasan mengapa gugon
tuhon tersebut dilarang untuk dilakukan. Konsep mendidik seperti ini peneliti sebut
sebagai konsep meta-edukasi.
3. Ungkapan Edukasi Gugon Tuhon
No
Ungkapan
1
Aja mangan koredan,
mundhak guneme
mencla-mencle
2
Aja mangan bruthu,
mundhak guneme
mencla-mencle
Nasihat dan etiket
saat makan
3
Aja mangan tlampik,
mundhak ditampik
dening wanita (tumrap
wanita mundhak
ditampik dening priya
Aja lungguh ing ngarep
lawang, mundhak wong
sing nglamar mbalik
Aja lungguh ana ing
bantal, mundhak
wudunen
Aja ngidoni sumur,
mundhak lambe suwing
Nasihat dan etiket
saat makan
4
5
6
Konteks
Penggunaan
Nasihat dan etiket
saat makan
Terjemahan
Nasihat dan etiket
untuk menjaga
nama baik keluarga
Nasihat dan etiket
saat di tempat tidur
Jangan makan sisa makanan
yang tertinggal pada pinggan,
nanti apa yang diucapkan
selalu berubah-ubah atau tidak
mempunyai ketetapan hati
Jangan makan ekor/pantat
ayam, nanti apa yang
diucapkan selalu berubah-ubah
atau tidak mempunyai
ketetapan hati
Jangan makan sayap ayam di
bagian ujung, supaya jika
lelaki tidak ditolak perempuan
dan jika perempuan tidak
ditolak laki-laki
Jangan duduk di depan pintu,
agar orang yang ingin melamar
tidak pergi
Jangan duduk di atas bantal,
nanti bisulan
Nasihat dan etiket
saat menimba air
Jangan meludahi sumur, nanti
bibirnya menjadi sumbing
10
7
Aja kudungan kukusan,
mundhak dicaplok baya
8
Aja nglungguhi sapu,
mundhak dicakot lintah
Nasihat dan etiket
memakai barang
sesuai fungsinya
Nasihat dan etiket
memakai barang
sesuai fungsinya
Nasihat dan etiket
untuk menepati
janji
Ujarmu (kaulmu,
nadarmu) kudu tumuli
koluwari, mundhak
kowe dicakot ula
10 Janjimu rak arep
Nasihat dan etiket
menehi aku potlot aku. untuk menepati
Lah endi? Yen ora sida, janji
kowe mesti timbilen,
lho!
11 Barang wis
Nasihat dan etiket
kowenehake, aja
saat bertransaksi
kojaluk bali, mundhak
sesuatu dengan
kowe gondhoken
orang lain
12 Bocah wadon wis
Nasihat dan etiket
prawan, yen wis wayah bagi anak gadis
rep aja dolan, ora ilok
13 Menawa mangan,
Nasihat dan etiket
ajange aja kosonggo,
saat makan
ora ilok
14 Aja mangan karo
Nasihat dan etiket
ngadeg mundhak
saat makan
wetenge dadi dawa
15 Bocah wadon aja
Nasihat dan etiket
lungguh jegang, ora
bagi wanita saat
ilok
duduk
B. Analisis Teori Arti dalam Gugon Tuhon
9
Jangan berkerudung kukusan
(alat untuk menanak nasi),
nanti akan dimakan buaya
Jangan menduduki sapu, nanti
digigit lintah
Jika bernazar mesti segera
ditunaikan, kalau tidak nanti
digigit ular
Kamu sudah berjanji
meminjami saya pensil. Mana?
Kalau tidak jadi nanti matamu
bisulan!
Barang yang sudah terlanjur
diberikan, jangan diminta
balik, nanti terkena penyakit
gondok
Anak gadis kalau hari sudah
petang jangan keluar, tidak
baik
Jika makan piringnya jangan
disangga, tidak baik
Jangan makan sambil berdiri,
nanti perutnya jadi memanjang
Anak gadis tidak boleh duduk
jegang (menekuk satu kaki ke
atas), tidak baik
1. Analisis Teori Ideasi dalam Gugon Tuhon
No
1
Ungkapan
Aja mangan koredan,
mundhak guneme
mencla-mencle
Ide penyampaian
Gagasan dilarang
memakan sisa
makanan
2
Aja mangan bruthu,
mundhak guneme
mencla-mencle
Gagasan dilarang
memakan
pantat/ekor ayam
3
Aja mangan tlampik,
mundhak ditampik
dening wanita (tumrap
Gagasan dilarang
memakan sayap
ayam
11
Sebab rasional
Selain karena tidak etis, yaitu
dengan menjilati sisa makanan
di atas piring, sisa makanan
bisa saja mengandung bakteri
yang berbahaya bagi tubuh
Pantat ayam diketahui
mengandung lemak yang
tinggi, yang mana bagian itu
adalah tempat eksresi ayam,
sehingga terkesan jijik
Meski dibantah bahwa sayap
ayam dapat menyebabkan
kanker, tetapi itu tetap
wanita mundhak
ditampik dening priya
4
Aja lungguh ing ngarep
lawang, mundhak wong
sing nglamar mbalik
5
Aja lungguh ana ing
bantal, mundhak
wudunen
6
Aja ngidoni sumur,
mundhak lambe suwing
7
Aja kudungan kukusan,
mundhak dicaplok baya
8
Aja nglungguhi sapu,
mundhak dicakot lintah
9
Ujarmu (kaulmu,
nadarmu) kudu tumuli
koluwari, mundhak
kowe dicakot ula
Janjimu rak arep
menehi aku potlot aku.
Lah endi? Yen ora sida,
kowe mesti timbilen, lo!
Barang wis
kowenehake, aja
kojaluk bali, mundhak
kowe gondhoken
10
11
12
Bocah wadon wis
prawan, yen wis wayah
rep aja dolan, ora ilok
mengandung lebih banyak
kulit sehingga kandungan
kolesterolnya lebih tinggi
daripada bagian dada
Gagasan dilarang
Duduk di depan pintu
duduk di depan
menghalangi akses mobilisasi
pintu
dan tiupan angin dari luar
dapat menyebabkan masuk
angin
Gagasan dilarang
Bantal merupakan tempat
duduk di atas bantal untuk kepala bukan pantat,
sehingga terkesan tidak
senonoh. Jika diduduki juga
dapat mengotori bantal
Gagasan dilarang
Air sumur digunakan untuk
meludahi sumur
membersihkan tubuh dan
pakaian. Meludah dapat
mengotori sumur bahkan
menularkan berbagai penyakit
Gagasan dilarang
Kukusan merupakan barang
memakai kukusan
yang mudah rusak dan jika
sebagai penutup
dipakai menghalangi visibilitas
kepala
mata
Gagasan dilarang
Bagian bawah sapu pasti kotor,
menduduki sapu
banyak kuman dan bakteri.
Jika diduduki tidak hanya
membuat kotor baju/celana,
tetapi juga membuat gatal
Gagasan untuk
Janji memang harus ditepati.
menepati janji
Jika dilanggar ia tidak akan
dipercaya lagi dan mendapat
malu
Gagasan untuk
Janji memang harus ditepati.
menepati janji
Jika dilanggar ia tidak akan
dipercaya lagi dan mendapat
malu
Gagasan dilarang
Mengambil sesuatu yang telah
mengambil kembali diberikan, sama seperti
apa yang sudah
menjilat ludah sendiri,
diberikan
perbuatan memalukan dan
mengecewakan orang yang
telah diberi
Gagasan dilarang
Malam hari sangat rawan
keluar malam bagi
terjadi tindak kriminal,
anak gadis
terutama anak gadis tidak
boleh keluar malam
12
13
14
15
Menawa mangan,
ajange aja kosonggo,
ora ilok
Aja mangan karo
ngadeg mundhak
wetenge dadi dawa
Gagasan dilarang
menyangga piring
saat makan
Gagasan dilarang
makan sambil
berdiri
Bocah wadon aja
lungguh jegang, ora
ilok
Gagasan dilarang
duduk jegang bagi
wanita
Menyangga piring dapat
membuat makanan jatuh di
lantai dan mengotorinya
Makan sambil berdiri
menyebabkan terjadinya reflux
asam lambung yang tidak baik
bagi kesehatan
Baik lelaki maupun
perempuan, duduk jegang
dianggap tidak sopan karena
terkesan tidak menghormati
lawan bicara
2. Analisis Teori Tingkah Laku dalam Gugon Tuhon
No
1
2
3
4
5
6
Ungkapan
Aja mangan koredan,
mundhak guneme
mencla-mencle
Aja mangan bruthu,
mundhak guneme
mencla-mencle
Aja mangan tlampik,
mundhak ditampik
dening wanita (tumrap
wanita mundhak
ditampik dening priya
Aja lungguh ing ngarep
lawang, mundhak wong
sing nglamar mbalik
Aja lungguh ana ing
bantal, mundhak
wudunen
Aja ngidoni sumur,
mundhak lambe suwing
7
Aja kudungan kukusan,
mundhak dicaplok baya
8
Aja nglungguhi sapu,
mundhak dicakot lintah
Ujarmu (kaulmu,
nadarmu) kudu tumuli
koluwari, mundhak
kowe dicakot ula
Janjimu rak arep
menehi aku potlot aku.
9
10
Stimulus
Perilaku memakan
sisa makanan
Respon
Memakan sisa makanan
dianggap rakus dan jorok
Perilaku memakan
pantat/ekor ayam
Perilaku duduk di
depan pintu
Memakan brutu dianggap jijik.
Dalam kedokteran, brutu
mengandung lemak tinggi
Sayap dianggap bagian tubuh
yang enak selain ceker karen
banyak kulit (apalagi yang
kremes) meski tingkat
kolesterolnya tinggi
Menghalangi mobilisasi,
menyebabkan masuk angin
Perilaku duduk di
atas bantal
Tidak sopan, berbuat dzolim,
mengotori bantal
Perilaku memakan
sayap ayam
Perilaku meludahi
sumur
Jijik, dapat menularkan
penyakit sehingga tak mau
memakai air sumur tersebut
Perilaku memakai
Menghalangi visibilitas,
kukusan sebagai
sedangkan kukusan sendiri
penutup kepala
mudah rusak
Perilaku menduduki Sapu itu kotor, membuat gatal
sapu
jika duduk di atasnya
Perilaku menasihati Janji sudah pasti wajib ditepati
untuk menepati
janji
Perilaku menagih
janji yang telah
diucapkan
13
Janji sudah pasti wajib ditepati
11
12
13
14
15
Lah endi? Yen ora sida,
kowe mesti timbilen, lo!
Barang wis
kowenehake, aja
kojaluk bali, mundhak
kowe gondhoken
Bocah wadon wis
prawan, yen wis wayah
rep aja dolan, ora ilok
Menawa mangan,
ajange aja kosonggo,
ora ilok
Aja mangan karo
ngadeg mundhak
wetenge dadi dawa
Bocah wadon aja
lungguh jegang, ora
ilok
Perilaku mengambil
barang yang telah
diberikan pada
orang lain
Perilaku bermain di
waktu malam
Mengambil barang yang telah
diberikan kepada orang lain
ibarat menjilat ludah sendiri
Perilaku
menyangga piring
Bagi perempuan, khususnya,
malam hari kejahatan lebih
rawan, jadi tidak boleh keluar
Tidak sopan dan malah
menyebabkan lantai kotor
Perilaku makan
sambal berdiri
Dapat membahayakan
kesehatan lambung
Perilaku duduk
jegang
Tidak sopan kepada lawan
bicara
3. Analisis Teori Acuan dalam Gugon Tuhon
No
1
Ungkapan
Aja mangan koredan,
mundhak guneme
mencla-mencle
2
Aja mangan bruthu,
mundhak guneme
mencla-mencle
3
Aja mangan tlampik,
mundhak ditampik
dening wanita (tumrap
wanita mundhak
ditampik dening priya
4
Aja lungguh ing ngarep
lawang, mundhak wong
sing nglamar mbalik
5
Aja lungguh ana ing
bantal, mundhak
wudunen
Acuan
Mengacu pada
etiket saat di meja
makan
Keterangan
Selain karena tidak etis, yaitu
dengan menjilati sisa makanan
di atas piring, sisa makanan
bisa saja mengandung bakteri
yang berbahaya bagi tubuh
Mengacu pada
Pantat ayam diketahui
tinjauan medis
mengandung lemak yang
memakan
tinggi, yang mana bagian itu
pantat/ekor ayam
adalah tempat eksresi ayam,
sehingga terkesan jijik
Mengacu pada
Meski dibantah bahwa sayap
tinjauan medis
ayam dapat menyebabkan
memakan sayap
kanker, tetapi itu tetap
ayam
mengandung lebih banyak
kulit sehingga kandungan
kolesterolnya lebih tinggi
daripada bagian dada
Mengacu pada
Duduk di depan pintu
perilaku yang
menghalangi akses mobilisasi
mengganggu
dan tiupan angin dari luar
mobilitas serta
dapat menyebabkan masuk
tinjauan medis
angin
Mengacu pada
Bantal merupakan tempat
etiket memakai
untuk kepala bukan pantat,
barang dan menjaga sehingga terkesan tidak
kebersihan
14
6
Aja ngidoni sumur,
mundhak lambe suwing
Mengacu pada
etiket sosial dan
tinjauan medis
7
Aja kudungan kukusan,
mundhak dicaplok baya
8
Aja nglungguhi sapu,
mundhak dicakot lintah
Mengacu pada
ketidaksesuaian
memakai barang
dan fungsinya
Mengacu pada
tinjauan medis
tentang kebersihan
9
Ujarmu (kaulmu,
nadarmu) kudu tumuli
koluwari, mundhak
kowe dicakot ula
Janjimu rak arep
menehi aku potlot aku.
Lah endi? Yen ora sida,
kowe mesti timbilen, lo!
Barang wis
kowenehake, aja
kojaluk bali, mundhak
kowe gondhoken
Mengacu pada
moral universal
untuk menepati
janji
Mengacu pada
moral universal
untuk menepati
janji
Mengacu pada
etiket bertransaksi
dan moral universal
dalam bertindak
12
Bocah wadon wis
prawan, yen wis wayah
rep aja dolan, ora ilok
Mengacu pada
keselamatan diri
saat malam hari
13
Menawa mangan,
ajange aja kosonggo,
ora ilok
Aja mangan karo
ngadeg mundhak
wetenge dadi dawa
Mengacu pada
etiket saat makan
dan jaga kebersihan
Mengacu pada
etiket makan dan
tinjauan medis
Bocah wadon aja
lungguh jegang, ora
ilok
Mengacu pada
etiket duduk bagi
wanita
10
11
14
15
15
senonoh. Jika diduduki juga
dapat mengotori bantal
Air sumur digunakan untuk
membersihkan tubuh dan
pakaian. Meludah dapat
mengotori sumur bahkan
menularkan berbagai penyakit
Kukusan merupakan barang
yang mudah rusak dan jika
dipakai menghalangi visibilitas
mata
Bagian bawah sapu pasti kotor,
banyak kuman dan bakteri.
Jika diduduki tidak hanya
membuat kotor baju/celana,
tetapi juga membuat gatal
Janji memang harus ditepati.
Jika dilanggar ia tidak akan
dipercaya lagi dan mendapat
malu
Janji memang harus ditepati.
Jika dilanggar ia tidak akan
dipercaya lagi dan mendapat
malu
Mengambil sesuatu yang telah
diberikan, sama seperti
menjilat ludah sendiri,
perbuatan memalukan dan
mengecewakan orang yang
telah diberi
Malam hari sangat rawan
terjadi tindak kriminal,
terutama anak gadis tidak
boleh keluar malam
Menyangga piring dapat
membuat makanan jatuh di
lantai dan mengotorinya
Makan sambil berdiri
menyebabkan terjadinya reflux
asam lambung yang tidak baik
bagi kesehatan
Baik lelaki maupun
perempuan, duduk jegang
dianggap tidak sopan karena
terkesan tidak menghormati
lawan bicara
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan berupa poin-poin
sebagai berikut.
Pertama, konsep teori arti Alston mengasumsikan dalam suatu ungkapan terdapat
gagasan, perilaku, dan acuan yang dapat dianalisis melalui ideational, behavioural, and
referential theory. Teori arti berusaha mengungkapkan makna suatu ungkapan melalui
ketiga subteori tersebut.
Kedua, bentuk-bentuk edukasi dalam gugon tuhon tercermin dari ajaran etiket dan
budi pekerti yang diajarkan oleh orang tua kepada anak. Bentuk pendidikan budi pekerti
ini berada dalam ranah pendidikan keluarga menurut Ki Hadjar Dewantoro.
Ketiga, makna yang terkandung dalam berbagai ungkapan gugon tuhon dapat
ditelusuri dalam teori ideasi, perilaku, dan acuan. Gagasan yang terkandung di dalamnya
rata-rata berupa ajaran etiket dalam berperilaku. Perilaku yang dilarang atau dianjurkan
dalam gugon tuhon sesuai dengan budaya masyarakat setempat, utamanya Jawa. Acuan
yang digunakan dalam ungkapan tersebut lebih banyak mengacu pada budaya, yang mana
beberapa di antaranya memang dapat dibuktikan secara ilmiah.
16
Daftar Pustaka
Alston, W. P., 1964. The Philosophy of Language. New Jersey: Englewood Cliffs.
Arifah, K. N., 2011. Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan
Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.
Danandjaja, J., 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta:
PT Temprint.
Dewantara, K. H., 2011. Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan.
Faqihuddin, N. H., Citrawati, P. D. & Cahyaningsih, T., 2016. Gugon Tuhon dalam
Perspektif Filsafat Pendidikan Keluarga Ki Hadjar Dewantara,
Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Mustansyir, R., 1988. Arti Sebagai Suatu Entitas Dalam Problematika Filsafat Bahasa,
Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Mustansyir, R., 2001. Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para
Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mustansyir, R., 2014. Meta-Demokrasi dalam Bahasa Melayu Sambas Kalimantan
Barat: Tinjauan Teori Arti Filsafat Analitis, Yogyakarta: Fakultas
Filsafat UGM.
Novianna, 2007. Iklan Rokok Sampoerna di Televisi Ditinjau dari Teori Arti William P.
Alston, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Padmosoekotjo, S., 2009. Gugon Tuhon. Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu,
1(1), pp. 167-171.
Pristina, A., 2014. Maksud, Makna, lan Tegese Gugon Tuhon Ngenani Wong Mbobot
ing Desa Purworejo, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung,
Surabaya: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya.
Purwadi, 2004. Upacara Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suparlan, H., 2015. Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi
Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat, Februari, 25(1), pp. 56-74.
Suratman, K., 1987. Tugas Kita Sebagai Pamong Taman Siswa. Yogyakarta: Majelis
Luhur.
Widodo, E. P., 2015. Proposisi Ora Ilok dalam Konteks Kekinian. [Online]
Available at: https://dokumen.tips/documents/proposisi-ora-ilok-dalamkonteks-kekinian.html
[Diakses 18 Desember 2017].
17
PERSPEKTIF TEORI ARTI WILLIAM P. ALSTON
MAKALAH TUGAS AKHIR
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir matakuliah Filsafat Bahasa
yang diampu oleh Dr. Rizal Muztansyir
Nail Hikam Faqihuddin
15/381266/FI/04066
FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan sarana yang penting dalam membentuk karakter individu.
Salah satu bentuk pendidikan yang efektif menurut Ki Hadjar Dewantoro adalah
pendidikan keluarga. Dalam sistem pendidikan pragmatisme, pendidikan tak hanya
berupa pemberian materi pelajaran di sekolah, tetapi sudah harus dimulai dari rumah atau
keluarga. Antara Ki Hadjar Dewantoro dengan pragmatisme seperti John Dewey
memiliki kesamaan yaitu memandang lingkungan keluarga sebagai faktor penting dalam
mendidik anaknya. Salah satu bentuk pendidikan keluarga yang masih ada tetapi sudah
jarang ditemui di masyarakat suku Jawa adalah gugon tuhon.
Gugon tuhon, atau bisa disebut proposisi ora ilok, berisi petuah-petuah yang bersifat
metafisis untuk menakut-nakuti seseorang agar ia tidak melakukan sesuatu yang dianggap
melanggar norma dan etika lingkungan tempat ia tinggal. Peneliti berasumsi bahwa gugon
tuhon memiliki aspek edukatif dari segi pemaknaan dan penyampaian terhadap anak.
Salah satu contoh gugon tuhon adalah “Aja lungguh ing ngarep lawang, mundhak wong
sing nglamar mbalik” (Jangan duduk di depan pintu, agar orang yang ingin melamar tidak
pergi). Edukasi yang terlihat sebenarnya adalah norma sopan santun untuk tidak duduk di
depan pintu karena menghalangi jalan. Alasan lain karena duduk di depan pintu bisa
menyebabkan masuk angin karena kencangnya angin di luar pintu. Pendidikan yang
diutarakan bersifat simbolis dan metafisis sehingga membutuhkan penafsiran secara logis
penyebab kausalnya. Oleh karena itu peneliti memakai pendekatan Teori Arti William P.
Alston untuk menganalisis segi meta-edukasi dalam proposisi ora ilok atau gugon tuhon.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, rumusan masalahnya sebagai berikut.
a. Bagaimana konsep makna dalam Teori Arti William P. Alston?
b. Bagaimana contoh bentuk ungkapan edukasi gugon tuhon masyarakat Jawa?
c. Apa makna yang terkandung dalam ungkapan edukasi gugon tuhon menurut Teori
Arti?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang gugon tuhon masyarakat Jawa pernah diteliti oleh beberapa peneliti
dengan tema berbeda-beda, antara lain:
1
a. N.H. Faqihuddin, P. D. Citrawati, & T. Cahyaning, 2016, Gugon Tuhon dalam
Perspektif Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, menggambarkan bahwa
gugon tuhon merupakan bentuk pendidikan keluarga yang mengajarkan budi
pekerti.
b. Erwin Prasetyo Widodo, 2015, Proposisi Ora Ilok dalam Konteks Kekinian,
menggambarkan transformasi dan dinamika gugon tuhon dalam konteks
kontemporer sebagai hasil dari kearifan lokal masyarakat Jawa yang mengandung
nasihat.
c. Ambar Pristiana, 2014, Maksud, Makna, Lan Tegese Gugon Tuhon Ngenani Wong
Mbobot Ing Desa Purworejo Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung, berisi
maksud, makna dan arti gugon tuhon tentang wanita hamil di desa yang diteliti.
Penelitian tentang Meta-Edukasi dalam Gugon Tuhon Masyarakat Jawa dalam
Perspektif Teori Arti William P. Alston belum pernah dilakukan sehingga dijamin
keasliannya.
3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberi manfaat, antara lain
a. bagi peneliti sendiri, penelitian ini merupakan suatu upaya untuk memperluas
wawasan pemikiran dan membantu memahami cara mendidik masyarakat Jawa;
b. bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini berguna untuk pengembangan teori ilmiahfilsafati, terutama Filsafat Bahasa, untuk menganalisis fenomena aktual dalam
kearifan lokal suku-suku di Indonesia;
c. bagi pembangunan Indonesia, penelitian ini berguna untuk memperkaya khazanah
filosofis dan sosial-budaya tentang edukasi, sehingga pemahaman terhadap
konsep pendidikan menjadi lebih luas dan variatif, serta mengangkat kearifan
lokal Indonesia.
B. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian tentang meta-edukasi gugon tuhon ini meliputi:
a. Menggambarkan konsep makna dalam Teori Arti William P. Alston
b. Menggambarkan bentuk-bentuk ungkapan edukasi gugon tuhon masyarakat Jawa
c. Mengungkap makna yang terkandung dalam ungkapan edukasi gugon tuhon
menurut Teori Arti William P. Alston
2
C. TINJAUAN PUSTAKA
Istilah gugon tuhon berasal dari ‘gugu’ dan ‘tuhu’ yang berakhiran –an. ‘Gugu’ berarti
sifat mempercayai terhadap suatu ucapan atau cerita, dan ‘tuhu’ berarti sifat mudah
percaya pada ucapan orang lain (Arifah, 2011, p. 13). Padmosoekotjo (2009, p. 167)
mengatakan takrifan kata gugon tuhon adalah sebagai berikut.
1. Sifat yang mudah mempercayai dan melaksanakan apa saja yang dikatakan orang atau
dongeng yang sesungguhnya tidak perlu dipercayai, apa lagi dilaksanakan.
2. Sebagai kata nama, kata ini berarti percakapan atau dongeng (oleh orang yang
mempercayai gugon tuhon) dianggap mempunyai kekuatan.
Purwadi mengatakan bahwa gugon tuhon termasuk dalam kepercayaan adat dan
takhayul (Purwadi, 2004, p. 139; Arifah, 2011, p. 13). Takhayul tidak hanya mencakup
kepercayaan saja (belief), melainkan juga kelakuan (behavior), pengalaman (experience),
ada kalanya juga alat, dan biasanya juga ungkapan serta sajak (Danandjaja, 1984, p. 153;
Arifah, 2011, p. 13). Sejarah yang menunjukkan asal-usul gugon tuhon tidak berhasil
ditemukan. Akan tetapi, Padmosoekotjo mengungkapkan bahwa gugon tuhon biasanya
berasal dari nenek moyang yang menjadi generasi pertama yang bermukim di [tempat
tersebut] (Padmosoekotjo, 2009, p. 170). Leluhur atau nenek moyang yang bermukim di
tempat tersebut biasanya pernah mengalamai kejadian sial atau kemalangan.
Padmosoekoetjo mencontohkan hal ini sebagai berikut.
Sewaktu Panembahan Senapati berperang melawan Arya Penangsang di
Jipang, dia menaiki kuda yang berambut batilan [kuda yang rambutnya dipotong
pendek, catatan penerjemah]. Kuda yang dinaiki Arya Penangsang bernama
Gagak Rimang. Setelah kedua satriya ini sudah akan mulai berperang, kuda
Panembahan Senapati lari tidak tentu arah. Panembahan Senapati merasa sangat
malu dan hampir-hampir mengalami kemalangan. Oleh [karena] itu,
Panembahan Senapati kemudian sedemikian: “Semua keturunanku, jika maju
perang, jangan menaiki kuda batilan.
Misalan yang lain adalah Adipati dari Banyumas mengalami kemalangan
ketika bepergian pada hari Sabtu pahing. Sang Adipati kemudian melarang anak
cucunya untuk bepergian pada hari Sabtu pahing. Sampai sekarang, masih ramai
orang di Banyumas tidak berani melanggar larangan ini, yaitu tidak bepergian
pada hari sabtu pahing. (Padmosoekotjo, 2009, p. 170)
Padmosoekotjo membagi gugon tuhon menjadi tiga: gugon tuhon kang salugu, gugon
tuhon yang berisi wasita sinandi, dan gugon tuhon yang termasuk wewaler (larangan)
atau pepecuh. Contoh yang diungkapkan di atas termasuk dalam gugon tuhon wewaler
atau pepecuh. Berikut ini adalah contoh gugon tuhon kang salugu.
3
-
Aja mangan koredan, mundhak guneme mencla-mencle. (jangan makan sisa
makanan yang tertinggal pada pinggan, nanti yang dicakapkan selalu berubahubah atau tidak memiliki ketetapan hati)
-
Aja mangan brutu, mundhak guneme mencla-mencle. (jangan makan ekor ayam,
nanti yang dicakapkan selalu berubah-ubah atau tidak memiliki ketetapan hati)
-
Aja mangan tlampik, mundhak ditampik dening wanita, tumrap wanita mundhak
ditampik dening priya. (jangan makan sayap ayam bagian ujung, agar tidak
ditolak oleh wanita; jika wanita, agar tidak ditolak oleh pria.)
D. KERANGKA TEORI
Persoalan dalam filsafat bahasa tidak akan lepas dari perbedaan antara pernyataan
yang bermakna (meaningfull) dan pernyataan tidak bermakna (meaningless) (Mustansyir,
1988, p. 10). Problem arti atau makna ungkapan di kalangan para filsuf melahirkan
beberapa teori seperti teori ideasi (ideational theory), teori tingkah laku (behavioural
theory), dan teori acuan (referential theory) (Mustansyir, 2014, p. 5). Beberapa filsuf
yang telah mengkaji persoalan bahasa dimulai dari Moore, dilanjutkan Russell dan
Wittgenstein, sampai pada William P. Alston. Alston dalam bukunya Philosophy of
Language (1964), menjelaskan masing-masing teori arti di atas sebagai berikut.
1. Teori Ideasi (Ideational Theory)
Teori ideasi adalah two expressions have the same use if and only if the are associated
with the same idea(s) (Alston, 1964, p. 22). Prinsip umum teori ini menggariskan bahwa
kata mengandung makna lantaran manusia mempergunakan bahasa (Mustansyir, 2014, p.
5). Menurut teori ini, paling tidak ada beberapa hal yang harus dipenuhi jika suatu kata
atau pernyataan bahasa itu dipergunakan (Mustansyir, 2001, p. 176; Novianna, 2007, pp.
32-33). (i) Gagasan atau ide itu harus hadir dalam pemikiran si pembicara. (ii) Pembicara
haruslah melontarkan ungkapan itu sehingga pendengarnya mengetahui bahwa gagasan
atau ide tersebut ada dalam pikiran si pembicara pada saat itu. (iii) Sejauh komunikasi itu
berhasil, maka ungkapan bahasa itu haruslah membangkitkan gagasan atau ide yang sama
dalam pikiran si pendengar. Pada intinya, keberhasilan teori ideasi ditentukan dari apakah
gagasan yang diutarakan pembicara pada pendengar dapat diterima atau tidak.
2. Teori Tingkah Laku (Behavioral Theory)
Teori tingkah laku adalah two expressions have the same use if and only if they are
involved in the same stimulus-response connections (Alston, 1964, p. 22). Inti dari teori
4
tingkah laku terletak pada situasi pengucapan yang dilakukan pembicara sehingga
menimbulkan tanggapan dari pendengar (Mustansyir, 2014, p. 6). Paling tidak, ada dua
pengandaian dalam teori ini (Novianna, 2007, p. 38). (i) Harus ada bentuk-bentuk yang
umum dan khas pada semua situasi sehingga pada saat suatu ungkapan bahasa itu
diucapkan, maka ia akan memberi suatu pengertian (Alston, 1964, p. 26). (ii) Harus ada
bentuk-bentuk yang umum dan khas pada semua tanggapan (response) yang ditimbulkan
oleh pengucapan dari ungkapan yang diajukan itu tadi (Alston, 1964, p. 26).
3. Teori Acuan (Referential Theory)
Teori acuan didasarkan atas asumsi bahwa setiap ungkapan bahasa yang
dipergunakan itu membicarakan atau mengacu pada sesuatu (Mustansyir, 2014, p. 6).
Teori ini memilik dua versi: naïve dan sophisticated. Menurut Alston, kedua versi
menganut pada pernyataan bahwa agar sebuah ungkapan memiliki makna harus merujuk
pada sesuatu selain dari dirinya sendiri, tetapi maknanya berada di wilayah yang berbeda
dari situasi acuan. (Alston, 1964, p. 12). Pandangan naif menyatakan bahwa acuan
terletak pada sesuatu yang diacunya, sedangkan pandangan yang lebih maju
(sophisticated) menyatakan bahwa arti suatu ungkapan itu dikenal atau diidentifikasi
dengan hubungan antara ungkapan dan sesuatu yang diacunya, bahwasanya hubungan
itulah yang merupakan arti (Novianna, 2007, pp. 26-27).
E. METODE PENELITIAN
1. Bahan/materi Penelitian
Bahan penelitian ini bersumber pada pustaka tentang gugon tuhan, antara lain sbb.
Alston, W. P., 1964. The Philosophy of Language. New Jersey: Englewood Cliffs.
Arifah, K. N., 2011. Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan
Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Danandjaja, J., 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta:
PT Temprint.
Dewantara, K. H., 2011. Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan.
Faqihuddin, N. H., Citrawati, P. D. & Cahyaningsih, T., 2016. Gugon Tuhon dalam
Perspektif Filsafat Pendidikan Keluarga Ki Hadjar Dewantara, Yogyakarta: Fakultas
Filsafat UGM.
5
Mustansyir, R., 1988. Arti Sebagai Suatu Entitas Dalam Problematika Filsafat Bahasa,
Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Mustansyir, R., 2001. Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para
Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mustansyir, R., 2014. Meta-Demokrasi dalam Bahasa Melayu Sambas Kalimantan
Barat: Tinjauan Teori Arti Filsafat Analitis, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Novianna, 2007. Iklan Rokok Sampoerna di Televisi Ditinjau dari Teori Arti William P.
Alston, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Padmosoekotjo, S., 2009. Gugon Tuhon. Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu,
1(1), pp. 167-171.
Pristina, A., 2014. Maksud, Makna, lan Tegese Gugon Tuhon Ngenani Wong Mbobot
ing Desa Purworejo, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung, Surabaya: Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya.
Purwadi, 2004. Upacara Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suparlan, H., 2015. Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi
Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat, Februari, 25(1), pp. 56-74.
Suratman, K., 1987. Tugas Kita Sebagai Pamong Taman Siswa. Yogyakarta: Majelis
Luhur.
Widodo, E. P., 2015. Proposisi Ora Ilok dalam Konteks Kekinian. [Online]
Available at: https://dokumen.tips/documents/proposisi-ora-ilok-dalam-kontekskekinian.html
[Accessed 18 Desember 2017].
a)
2. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini hanyalah laptop dan koneksi internet.
3. Tahap Penelitian
-
Mengumpulkan buku, artikel, dan penelitian tentang gugon tuhon
-
Mengelompokkan tulisan tentang gugon tuhon
-
Menganalisis hasilnya dengan teknik analisis data
4. Teknik Analisis Hasil
6
Analisis
-
Deskripsi
Interpretasi
Refleksi
Analisis digunakan untuk memahami istilah edukasi/pendidikan dalam gugon
tuhon, maka dipakai cara analisis yaitu menguraikan arti terminology
-
Deskripsi adalah memaparkan gugon tuhon dalam masyarakat Jawa yang
peneliti dapatkan dari beberapa literature
-
Interpretasi yaitu melakukan penafsiran atas pemikiran yang berkaitan dengan
terminoogi edukasi dalam gugon tuhon masyarakat Jawa
-
Refleksi berkaitan dengan merefleksikan konsep meta-edukasi dalam gugon
tuhon masyarakat Jawa sehingga dapat dipahami konsep edukasi sebagai
problem penting dalam kehidupan manusia secara universal
7
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Edukasi dalam Gugon Tuhon
1. Pengertian Edukasi dan Meta-Edukasi
Pengertian edukasi dalam pembahasan ini difokuskan pada pemikiran Ki Hadjar
Dewantara, mengacu pada referensi utama penelitian ini yaitu Gugon Tuhon dalam
Perspektif Filsafat Pendidikan Keluarga Ki Hadjar Dewantara (2016). Ki Hadjar
Dewantara mengajukan beberapa konsep pendidikan untuk mewujudkan tercapainya
tujuan pendidikan, yaitu Tri Pusat Pendidikan: (1) pendidikan keluarga; (2) pendidikan
dalam alam perguruan; dan (3) pendidikan dalam alam pemuda atau masyarakat
(Suparlan, 2015, p. 57). Di antara ketiga konsep pemikiran beliau, gugon tuhon adalah
praktik pendidikan dalam ranah keluarga (Faqihuddin, et al., 2016).
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah usaha kebudayaan yang bermaksud
memberikan bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak didik agar dalam garisgaris kodrat pribadinya serta pengaruh-pengaruh lingkungan, mendapat kemajuan hidup
lahir batin (Suratman, 1987, p. 11; Suparlan, 2015, p. 61). Pendidikan merupakan salah
satu usaha pokok untuk memberikan nilai-nilai kebatinan yang ada dalam hidup rakyat
yang berkebudayaan kepada tiap-tiap turunan baru (penyerahan kultur), tidak hanya
berupa pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan
kebudayaan, menuju ke arah keseluruhan hidup kemanusiaan (Dewantara, 2011, p. 344).
Oleh karena gugon tuhon juga merupakan suatu kebudayaan dan kearifan lokal Jawa,
serta mengajarkan etiket dan pelajaran-pelajaran hidup, maka konsep edukasi dalam
gugon tuhon sesuai dengan pengertian Ki Hadjar Dewantara.
Metaedukasi artinya analisis yang dilakukan atas terminologi yang berkembang
dalam edukasi. Pengertian ini merujuk pada metaetika sebagai kajian yang menganalisis
terminologi dalam bidang etika (Mustansyir, 2014, p. 15). Penelitian ini dimaksudkan
untuk menganalisis terminologi edukasi (metaedukasi) yang berkembang dalam gugon
tuhon masyarakat Jawa.
2. Sejarah Gugon Tuhon
Istilah gugon tuhon berasal dari ‘gugu’ dan ‘tuhu’ yang berakhiran –an. ‘Gugu’ berarti
sifat mempercayai terhadap suatu ucapan atau cerita, dan ‘tuhu’ berarti sifat mudah
percaya pada ucapan orang lain (Arifah, 2011, p. 13). Padmosoekotjo (2009, p. 167)
8
mengatakan takrifan kata gugon tuhon adalah sebagai berikut. (1) Sifat yang mudah
mempercayai dan melaksanakan apa saja yang dikatakan orang atau dongeng yang
sesungguhnya tidak perlu dipercayai, apa lagi dilaksanakan. (2) Sebagai kata nama, kata
ini berarti percakapan atau dongeng (oleh orang yang mempercayai gugon tuhon)
dianggap mempunyai kekuatan.
Purwadi mengatakan bahwa gugon tuhon termasuk dalam kepercayaan adat dan
takhayul (Purwadi, 2004, p. 139; Arifah, 2011, p. 13). Takhayul tidak hanya mencakup
kepercayaan saja (belief), melainkan juga kelakuan (behavior), pengalaman (experience),
ada kalanya juga alat, dan biasanya juga ungkapan serta sajak (Danandjaja, 1984, p. 153;
Arifah, 2011, p. 13). Sejarah yang menunjukkan asal-usul gugon tuhon tidak berhasil
ditemukan. Akan tetapi, Padmosoekotjo mengungkapkan bahwa gugon tuhon biasanya
berasal dari nenek moyang yang menjadi generasi pertama yang bermukim di [tempat
tersebut] (Padmosoekotjo, 2009, p. 170). Leluhur atau nenek moyang yang bermukim di
tempat tersebut biasanya pernah mengalamai kejadian sial atau kemalangan.
Padmosoekoetjo mencontohkan hal ini sebagai berikut.
Sewaktu Panembahan Senapati berperang melawan Arya Penangsang di
Jipang, dia menaiki kuda yang berambut batilan [kuda yang rambutnya dipotong
pendek, catatan penerjemah]. Kuda yang dinaiki Arya Penangsang bernama
Gagak Rimang. Setelah kedua satriya ini sudah akan mulai berperang, kuda
Panembahan Senapati lari tidak tentu arah. Panembahan Senapati merasa sangat
malu dan hampir-hampir mengalami kemalangan. Oleh [karena] itu,
Panembahan Senapati kemudian sedemikian: “Semua keturunanku, jika maju
perang, jangan menaiki kuda batilan.
Misalan yang lain adalah Adipati dari Banyumas mengalami kemalangan
ketika bepergian pada hari Sabtu pahing. Sang Adipati kemudian melarang anak
cucunya untuk bepergian pada hari Sabtu pahing. Sampai sekarang, masih ramai
orang di Banyumas tidak berani melanggar larangan ini, yaitu tidak bepergian
pada hari sabtu pahing. (Padmosoekotjo, 2009, p. 170)
Gugon tuhon yang disampaikan oleh orang tua memberikan nilai pendidikan yang
mendasar. Nilai pendidikan yang mendasar pada gugon tuhon berupa nilai baik dan buruk
terhadap perbuatan yang dilakukan oleh sang anak. Orang tua memiliki kedudukan
sebagai seorang guru atau penuntun dalam keluarga. Melalui gugon tuhon orang tua
memperankan dirinya sebagai seorang guru atau penuntun. Gugon tuhon yang
disampaikan oleh orang tua memiliki makna. Ketika orang tua menyampaikan gugon
tuhon tersebut orang tua berperan sebagai seorang penuntun bagi anak-anaknya.
9
Orang tua juga bertindak sebagai seorang pengajar dan sebagai pemberi contoh.
Orang tua adalah lingkungan pertama dan paling penting yang dikenal oleh anak-anak.
Tindakan yang dilakukan orang tua menjadi contoh bagi anak-anaknya. Selain anak-anak
mampu mendidik diri mereka sendiri melalui gugon tuhon untuk membedakan antara
perbuatan baik buruk.
Landasan filosofis yang ada pada gugon tuhon sebagai sebuah bentuk pendidikan
adalah ajaran tentang budi pekerti atau tingkah laku karena dalam gugon tuhon
terkandung makna bagaimana harus berperilaku atau bertingkah laku, terutama orang tua
sebagai seorang penuntun, pengajar, pendidik dan orang pertama yang dikenal oleh sang
anak. Pendidikan ini bersifat metafisis karena penyampainnya bersifat simbolis dan
membutuhkan penafsiran baik secara positif maupun metafisis. Pemakaian gugon tuhon
dalam proses mendidik bukanlah hal yang keliru jika disertakan alasan mengapa gugon
tuhon tersebut dilarang untuk dilakukan. Konsep mendidik seperti ini peneliti sebut
sebagai konsep meta-edukasi.
3. Ungkapan Edukasi Gugon Tuhon
No
Ungkapan
1
Aja mangan koredan,
mundhak guneme
mencla-mencle
2
Aja mangan bruthu,
mundhak guneme
mencla-mencle
Nasihat dan etiket
saat makan
3
Aja mangan tlampik,
mundhak ditampik
dening wanita (tumrap
wanita mundhak
ditampik dening priya
Aja lungguh ing ngarep
lawang, mundhak wong
sing nglamar mbalik
Aja lungguh ana ing
bantal, mundhak
wudunen
Aja ngidoni sumur,
mundhak lambe suwing
Nasihat dan etiket
saat makan
4
5
6
Konteks
Penggunaan
Nasihat dan etiket
saat makan
Terjemahan
Nasihat dan etiket
untuk menjaga
nama baik keluarga
Nasihat dan etiket
saat di tempat tidur
Jangan makan sisa makanan
yang tertinggal pada pinggan,
nanti apa yang diucapkan
selalu berubah-ubah atau tidak
mempunyai ketetapan hati
Jangan makan ekor/pantat
ayam, nanti apa yang
diucapkan selalu berubah-ubah
atau tidak mempunyai
ketetapan hati
Jangan makan sayap ayam di
bagian ujung, supaya jika
lelaki tidak ditolak perempuan
dan jika perempuan tidak
ditolak laki-laki
Jangan duduk di depan pintu,
agar orang yang ingin melamar
tidak pergi
Jangan duduk di atas bantal,
nanti bisulan
Nasihat dan etiket
saat menimba air
Jangan meludahi sumur, nanti
bibirnya menjadi sumbing
10
7
Aja kudungan kukusan,
mundhak dicaplok baya
8
Aja nglungguhi sapu,
mundhak dicakot lintah
Nasihat dan etiket
memakai barang
sesuai fungsinya
Nasihat dan etiket
memakai barang
sesuai fungsinya
Nasihat dan etiket
untuk menepati
janji
Ujarmu (kaulmu,
nadarmu) kudu tumuli
koluwari, mundhak
kowe dicakot ula
10 Janjimu rak arep
Nasihat dan etiket
menehi aku potlot aku. untuk menepati
Lah endi? Yen ora sida, janji
kowe mesti timbilen,
lho!
11 Barang wis
Nasihat dan etiket
kowenehake, aja
saat bertransaksi
kojaluk bali, mundhak
sesuatu dengan
kowe gondhoken
orang lain
12 Bocah wadon wis
Nasihat dan etiket
prawan, yen wis wayah bagi anak gadis
rep aja dolan, ora ilok
13 Menawa mangan,
Nasihat dan etiket
ajange aja kosonggo,
saat makan
ora ilok
14 Aja mangan karo
Nasihat dan etiket
ngadeg mundhak
saat makan
wetenge dadi dawa
15 Bocah wadon aja
Nasihat dan etiket
lungguh jegang, ora
bagi wanita saat
ilok
duduk
B. Analisis Teori Arti dalam Gugon Tuhon
9
Jangan berkerudung kukusan
(alat untuk menanak nasi),
nanti akan dimakan buaya
Jangan menduduki sapu, nanti
digigit lintah
Jika bernazar mesti segera
ditunaikan, kalau tidak nanti
digigit ular
Kamu sudah berjanji
meminjami saya pensil. Mana?
Kalau tidak jadi nanti matamu
bisulan!
Barang yang sudah terlanjur
diberikan, jangan diminta
balik, nanti terkena penyakit
gondok
Anak gadis kalau hari sudah
petang jangan keluar, tidak
baik
Jika makan piringnya jangan
disangga, tidak baik
Jangan makan sambil berdiri,
nanti perutnya jadi memanjang
Anak gadis tidak boleh duduk
jegang (menekuk satu kaki ke
atas), tidak baik
1. Analisis Teori Ideasi dalam Gugon Tuhon
No
1
Ungkapan
Aja mangan koredan,
mundhak guneme
mencla-mencle
Ide penyampaian
Gagasan dilarang
memakan sisa
makanan
2
Aja mangan bruthu,
mundhak guneme
mencla-mencle
Gagasan dilarang
memakan
pantat/ekor ayam
3
Aja mangan tlampik,
mundhak ditampik
dening wanita (tumrap
Gagasan dilarang
memakan sayap
ayam
11
Sebab rasional
Selain karena tidak etis, yaitu
dengan menjilati sisa makanan
di atas piring, sisa makanan
bisa saja mengandung bakteri
yang berbahaya bagi tubuh
Pantat ayam diketahui
mengandung lemak yang
tinggi, yang mana bagian itu
adalah tempat eksresi ayam,
sehingga terkesan jijik
Meski dibantah bahwa sayap
ayam dapat menyebabkan
kanker, tetapi itu tetap
wanita mundhak
ditampik dening priya
4
Aja lungguh ing ngarep
lawang, mundhak wong
sing nglamar mbalik
5
Aja lungguh ana ing
bantal, mundhak
wudunen
6
Aja ngidoni sumur,
mundhak lambe suwing
7
Aja kudungan kukusan,
mundhak dicaplok baya
8
Aja nglungguhi sapu,
mundhak dicakot lintah
9
Ujarmu (kaulmu,
nadarmu) kudu tumuli
koluwari, mundhak
kowe dicakot ula
Janjimu rak arep
menehi aku potlot aku.
Lah endi? Yen ora sida,
kowe mesti timbilen, lo!
Barang wis
kowenehake, aja
kojaluk bali, mundhak
kowe gondhoken
10
11
12
Bocah wadon wis
prawan, yen wis wayah
rep aja dolan, ora ilok
mengandung lebih banyak
kulit sehingga kandungan
kolesterolnya lebih tinggi
daripada bagian dada
Gagasan dilarang
Duduk di depan pintu
duduk di depan
menghalangi akses mobilisasi
pintu
dan tiupan angin dari luar
dapat menyebabkan masuk
angin
Gagasan dilarang
Bantal merupakan tempat
duduk di atas bantal untuk kepala bukan pantat,
sehingga terkesan tidak
senonoh. Jika diduduki juga
dapat mengotori bantal
Gagasan dilarang
Air sumur digunakan untuk
meludahi sumur
membersihkan tubuh dan
pakaian. Meludah dapat
mengotori sumur bahkan
menularkan berbagai penyakit
Gagasan dilarang
Kukusan merupakan barang
memakai kukusan
yang mudah rusak dan jika
sebagai penutup
dipakai menghalangi visibilitas
kepala
mata
Gagasan dilarang
Bagian bawah sapu pasti kotor,
menduduki sapu
banyak kuman dan bakteri.
Jika diduduki tidak hanya
membuat kotor baju/celana,
tetapi juga membuat gatal
Gagasan untuk
Janji memang harus ditepati.
menepati janji
Jika dilanggar ia tidak akan
dipercaya lagi dan mendapat
malu
Gagasan untuk
Janji memang harus ditepati.
menepati janji
Jika dilanggar ia tidak akan
dipercaya lagi dan mendapat
malu
Gagasan dilarang
Mengambil sesuatu yang telah
mengambil kembali diberikan, sama seperti
apa yang sudah
menjilat ludah sendiri,
diberikan
perbuatan memalukan dan
mengecewakan orang yang
telah diberi
Gagasan dilarang
Malam hari sangat rawan
keluar malam bagi
terjadi tindak kriminal,
anak gadis
terutama anak gadis tidak
boleh keluar malam
12
13
14
15
Menawa mangan,
ajange aja kosonggo,
ora ilok
Aja mangan karo
ngadeg mundhak
wetenge dadi dawa
Gagasan dilarang
menyangga piring
saat makan
Gagasan dilarang
makan sambil
berdiri
Bocah wadon aja
lungguh jegang, ora
ilok
Gagasan dilarang
duduk jegang bagi
wanita
Menyangga piring dapat
membuat makanan jatuh di
lantai dan mengotorinya
Makan sambil berdiri
menyebabkan terjadinya reflux
asam lambung yang tidak baik
bagi kesehatan
Baik lelaki maupun
perempuan, duduk jegang
dianggap tidak sopan karena
terkesan tidak menghormati
lawan bicara
2. Analisis Teori Tingkah Laku dalam Gugon Tuhon
No
1
2
3
4
5
6
Ungkapan
Aja mangan koredan,
mundhak guneme
mencla-mencle
Aja mangan bruthu,
mundhak guneme
mencla-mencle
Aja mangan tlampik,
mundhak ditampik
dening wanita (tumrap
wanita mundhak
ditampik dening priya
Aja lungguh ing ngarep
lawang, mundhak wong
sing nglamar mbalik
Aja lungguh ana ing
bantal, mundhak
wudunen
Aja ngidoni sumur,
mundhak lambe suwing
7
Aja kudungan kukusan,
mundhak dicaplok baya
8
Aja nglungguhi sapu,
mundhak dicakot lintah
Ujarmu (kaulmu,
nadarmu) kudu tumuli
koluwari, mundhak
kowe dicakot ula
Janjimu rak arep
menehi aku potlot aku.
9
10
Stimulus
Perilaku memakan
sisa makanan
Respon
Memakan sisa makanan
dianggap rakus dan jorok
Perilaku memakan
pantat/ekor ayam
Perilaku duduk di
depan pintu
Memakan brutu dianggap jijik.
Dalam kedokteran, brutu
mengandung lemak tinggi
Sayap dianggap bagian tubuh
yang enak selain ceker karen
banyak kulit (apalagi yang
kremes) meski tingkat
kolesterolnya tinggi
Menghalangi mobilisasi,
menyebabkan masuk angin
Perilaku duduk di
atas bantal
Tidak sopan, berbuat dzolim,
mengotori bantal
Perilaku memakan
sayap ayam
Perilaku meludahi
sumur
Jijik, dapat menularkan
penyakit sehingga tak mau
memakai air sumur tersebut
Perilaku memakai
Menghalangi visibilitas,
kukusan sebagai
sedangkan kukusan sendiri
penutup kepala
mudah rusak
Perilaku menduduki Sapu itu kotor, membuat gatal
sapu
jika duduk di atasnya
Perilaku menasihati Janji sudah pasti wajib ditepati
untuk menepati
janji
Perilaku menagih
janji yang telah
diucapkan
13
Janji sudah pasti wajib ditepati
11
12
13
14
15
Lah endi? Yen ora sida,
kowe mesti timbilen, lo!
Barang wis
kowenehake, aja
kojaluk bali, mundhak
kowe gondhoken
Bocah wadon wis
prawan, yen wis wayah
rep aja dolan, ora ilok
Menawa mangan,
ajange aja kosonggo,
ora ilok
Aja mangan karo
ngadeg mundhak
wetenge dadi dawa
Bocah wadon aja
lungguh jegang, ora
ilok
Perilaku mengambil
barang yang telah
diberikan pada
orang lain
Perilaku bermain di
waktu malam
Mengambil barang yang telah
diberikan kepada orang lain
ibarat menjilat ludah sendiri
Perilaku
menyangga piring
Bagi perempuan, khususnya,
malam hari kejahatan lebih
rawan, jadi tidak boleh keluar
Tidak sopan dan malah
menyebabkan lantai kotor
Perilaku makan
sambal berdiri
Dapat membahayakan
kesehatan lambung
Perilaku duduk
jegang
Tidak sopan kepada lawan
bicara
3. Analisis Teori Acuan dalam Gugon Tuhon
No
1
Ungkapan
Aja mangan koredan,
mundhak guneme
mencla-mencle
2
Aja mangan bruthu,
mundhak guneme
mencla-mencle
3
Aja mangan tlampik,
mundhak ditampik
dening wanita (tumrap
wanita mundhak
ditampik dening priya
4
Aja lungguh ing ngarep
lawang, mundhak wong
sing nglamar mbalik
5
Aja lungguh ana ing
bantal, mundhak
wudunen
Acuan
Mengacu pada
etiket saat di meja
makan
Keterangan
Selain karena tidak etis, yaitu
dengan menjilati sisa makanan
di atas piring, sisa makanan
bisa saja mengandung bakteri
yang berbahaya bagi tubuh
Mengacu pada
Pantat ayam diketahui
tinjauan medis
mengandung lemak yang
memakan
tinggi, yang mana bagian itu
pantat/ekor ayam
adalah tempat eksresi ayam,
sehingga terkesan jijik
Mengacu pada
Meski dibantah bahwa sayap
tinjauan medis
ayam dapat menyebabkan
memakan sayap
kanker, tetapi itu tetap
ayam
mengandung lebih banyak
kulit sehingga kandungan
kolesterolnya lebih tinggi
daripada bagian dada
Mengacu pada
Duduk di depan pintu
perilaku yang
menghalangi akses mobilisasi
mengganggu
dan tiupan angin dari luar
mobilitas serta
dapat menyebabkan masuk
tinjauan medis
angin
Mengacu pada
Bantal merupakan tempat
etiket memakai
untuk kepala bukan pantat,
barang dan menjaga sehingga terkesan tidak
kebersihan
14
6
Aja ngidoni sumur,
mundhak lambe suwing
Mengacu pada
etiket sosial dan
tinjauan medis
7
Aja kudungan kukusan,
mundhak dicaplok baya
8
Aja nglungguhi sapu,
mundhak dicakot lintah
Mengacu pada
ketidaksesuaian
memakai barang
dan fungsinya
Mengacu pada
tinjauan medis
tentang kebersihan
9
Ujarmu (kaulmu,
nadarmu) kudu tumuli
koluwari, mundhak
kowe dicakot ula
Janjimu rak arep
menehi aku potlot aku.
Lah endi? Yen ora sida,
kowe mesti timbilen, lo!
Barang wis
kowenehake, aja
kojaluk bali, mundhak
kowe gondhoken
Mengacu pada
moral universal
untuk menepati
janji
Mengacu pada
moral universal
untuk menepati
janji
Mengacu pada
etiket bertransaksi
dan moral universal
dalam bertindak
12
Bocah wadon wis
prawan, yen wis wayah
rep aja dolan, ora ilok
Mengacu pada
keselamatan diri
saat malam hari
13
Menawa mangan,
ajange aja kosonggo,
ora ilok
Aja mangan karo
ngadeg mundhak
wetenge dadi dawa
Mengacu pada
etiket saat makan
dan jaga kebersihan
Mengacu pada
etiket makan dan
tinjauan medis
Bocah wadon aja
lungguh jegang, ora
ilok
Mengacu pada
etiket duduk bagi
wanita
10
11
14
15
15
senonoh. Jika diduduki juga
dapat mengotori bantal
Air sumur digunakan untuk
membersihkan tubuh dan
pakaian. Meludah dapat
mengotori sumur bahkan
menularkan berbagai penyakit
Kukusan merupakan barang
yang mudah rusak dan jika
dipakai menghalangi visibilitas
mata
Bagian bawah sapu pasti kotor,
banyak kuman dan bakteri.
Jika diduduki tidak hanya
membuat kotor baju/celana,
tetapi juga membuat gatal
Janji memang harus ditepati.
Jika dilanggar ia tidak akan
dipercaya lagi dan mendapat
malu
Janji memang harus ditepati.
Jika dilanggar ia tidak akan
dipercaya lagi dan mendapat
malu
Mengambil sesuatu yang telah
diberikan, sama seperti
menjilat ludah sendiri,
perbuatan memalukan dan
mengecewakan orang yang
telah diberi
Malam hari sangat rawan
terjadi tindak kriminal,
terutama anak gadis tidak
boleh keluar malam
Menyangga piring dapat
membuat makanan jatuh di
lantai dan mengotorinya
Makan sambil berdiri
menyebabkan terjadinya reflux
asam lambung yang tidak baik
bagi kesehatan
Baik lelaki maupun
perempuan, duduk jegang
dianggap tidak sopan karena
terkesan tidak menghormati
lawan bicara
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan berupa poin-poin
sebagai berikut.
Pertama, konsep teori arti Alston mengasumsikan dalam suatu ungkapan terdapat
gagasan, perilaku, dan acuan yang dapat dianalisis melalui ideational, behavioural, and
referential theory. Teori arti berusaha mengungkapkan makna suatu ungkapan melalui
ketiga subteori tersebut.
Kedua, bentuk-bentuk edukasi dalam gugon tuhon tercermin dari ajaran etiket dan
budi pekerti yang diajarkan oleh orang tua kepada anak. Bentuk pendidikan budi pekerti
ini berada dalam ranah pendidikan keluarga menurut Ki Hadjar Dewantoro.
Ketiga, makna yang terkandung dalam berbagai ungkapan gugon tuhon dapat
ditelusuri dalam teori ideasi, perilaku, dan acuan. Gagasan yang terkandung di dalamnya
rata-rata berupa ajaran etiket dalam berperilaku. Perilaku yang dilarang atau dianjurkan
dalam gugon tuhon sesuai dengan budaya masyarakat setempat, utamanya Jawa. Acuan
yang digunakan dalam ungkapan tersebut lebih banyak mengacu pada budaya, yang mana
beberapa di antaranya memang dapat dibuktikan secara ilmiah.
16
Daftar Pustaka
Alston, W. P., 1964. The Philosophy of Language. New Jersey: Englewood Cliffs.
Arifah, K. N., 2011. Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan
Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.
Danandjaja, J., 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta:
PT Temprint.
Dewantara, K. H., 2011. Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan.
Faqihuddin, N. H., Citrawati, P. D. & Cahyaningsih, T., 2016. Gugon Tuhon dalam
Perspektif Filsafat Pendidikan Keluarga Ki Hadjar Dewantara,
Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Mustansyir, R., 1988. Arti Sebagai Suatu Entitas Dalam Problematika Filsafat Bahasa,
Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Mustansyir, R., 2001. Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para
Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mustansyir, R., 2014. Meta-Demokrasi dalam Bahasa Melayu Sambas Kalimantan
Barat: Tinjauan Teori Arti Filsafat Analitis, Yogyakarta: Fakultas
Filsafat UGM.
Novianna, 2007. Iklan Rokok Sampoerna di Televisi Ditinjau dari Teori Arti William P.
Alston, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Padmosoekotjo, S., 2009. Gugon Tuhon. Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu,
1(1), pp. 167-171.
Pristina, A., 2014. Maksud, Makna, lan Tegese Gugon Tuhon Ngenani Wong Mbobot
ing Desa Purworejo, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung,
Surabaya: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya.
Purwadi, 2004. Upacara Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suparlan, H., 2015. Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi
Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat, Februari, 25(1), pp. 56-74.
Suratman, K., 1987. Tugas Kita Sebagai Pamong Taman Siswa. Yogyakarta: Majelis
Luhur.
Widodo, E. P., 2015. Proposisi Ora Ilok dalam Konteks Kekinian. [Online]
Available at: https://dokumen.tips/documents/proposisi-ora-ilok-dalamkonteks-kekinian.html
[Diakses 18 Desember 2017].
17