HUBUNGAN URBAN COMPACTNESS DENGAN POLA P

HUBUNGAN URBAN COMPACTNESS DENGAN POLA
PERGERAKAN PENDUDUK KAWASAN KOTA SURAKARTA

Tendra Istanabi, Rizon Pamardhi Utomo, Murtanti Jani Rahayu
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota,
Fakultas Teknik
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
email: [email protected]

Abstract: Nowadays the development of the cities are more and more rapid and complex as in Surakarta City.
The problem of physical development occurs in Surakarta City especially in in the southern of the city where
massive physical development is underway. It causes deferent levels of urban compactness inside the city. The
deference enables movement from an area with low level urban compactness to higher level urban compactness
because the area provide sophisticated facilities. Then compact city concept concerning with centralizing the
development of area rises. The concept can decrease the conversion of vacant land by intensifying the land use
through mixed land use that has the goal in reducing movement. Meanwhile urban compactness is a
methodological approach to measure the level of compactness based on the concept of compact city. The
objective of this research is to find out the correlation between the levels of urban compactness with the
patterns of population movement. This research is conducted at functional border of the city of administrative
border of Surakarta City. The method to determine the level of urban compactness is by scoring three variables.
They are density, mixed land use, and transportation and connectivity. On the other hand, the patterns of

population movement are viewed from mileage variable, movement spreads variable, movement time and
transportation modes that are seen from five movement purposes consisting of working, studying, shopping,
health, and recreation or entertainment. The finding of this research shows less significant correlation between
the levels of urban compactness and the patterns of population movement. It means that there are different
patterns of population movement in the area of certain urban compactness levels. However the level of urban
compactness in Surakarta City is not completely linear with the patterns of population movement.
Keywords: Compact City, Urban Compactness, Movement Pattern

I. PENDAHULUAN
Perkembangan kota saat ini cenderung
semakin pesat dan semakin kompleks. Banyak
sekali otokritik terhadap perkembangan kota
yang menurut beberapa orang menjadi sebuah
paradoks terhadap kemajuan jaman yang
dicapai saat ini. Perkembangan kota yang pesat
tentu akan berdampak pada peningkatan
kebutuhan lahan untuk mewadahi
perkembangan tersebut. Walaupun harga lahan
semakin tinggi namun kebutuhan lahan tetap
tinggi karena jumlah penduduk semakin

bertambah, akibatnya terjadi ekstensifikasi
penggunaan lahan dan perkembangan kota
semakin melebar dan bahkan tidak teratur

fenomena ini yang kemudian disebut urban
sprawl.
Galster dkk, 2011 (dalam Atianta, 2014)
menjelaskan bahwa salah satu kunci efisiensi
pemanfaatan ruang adalah dengan konsep
compact city. Konsep tersebut menitikberatkan
pada pemusatan pembangunan di suatu
kawasan yang dapat menekan konversi lahan
kosong dengan intensifikasi penggunaan lahan
melalui penggunaan lahan yang beragam.
Sementara itu Scoffham dan Vale, 1996
(dalam Xie, 2010) menjelaskan bahwa
compact city diibaratkan sebuah kota otonom
yang mampu memenuhi kebutuhan kota

Arsitektura,

sendiri yang lebih independen dan tidak terlalu
bergantung pada kawasan perkotaan lainnya.
Konsep compact city selayaknya konsepkonsep pengembangan kota saat ini seperti
green city, smart city, dan lain-lain merupakan
sebuah goal atau visi dalam mewujudkan kota
kedepannya dengan menggunakan kriteriakriteria tertentu. Tentu saja sebuah konsep
tidak akan secara serta-merta diterapkan secara
sempurna pada setiap kota. Maka dari itu
kemudian muncul metode untuk mengukur
seberapa besar tingkat ketercapaian suatu kota
sesuai dengan kriteria-kriteria tersebut. Maka
kemudian dikenal istilah seperti indeks green
city, indeks smart city, dan kemudian dalam
kajian ini akan memuncukan indeks compact
city atau biasa disebut urban compactness.
Urban compactness secara sederhana
merupakan tingkat kekompakan sebuah kota
atau kawasan kota. Indeks dalam hal ini
merupakan skala artinya kota atau kawasan
yang memiliki nilai atau indeks lebih tinggi

dapat dikatakan lebih kompak daripada
kawasan yang lain dan sebaliknya.
Salah satu komponen utama yang
mendukung kekompakan suatu kota adalah
pemusatan kegiatan. Pemusatan kegiatan dan
fasilitas di pusat kota berdampak pada
peningkatan pergerakan penduduk menuju
pusat kota. Jika ditinjau dari lebih jauh terlihat
bahwa semakin jauh dari pusat kota,
kesempatan kerja semakin rendah, dan
sebaliknya kepadatan perumahan semakin
tinggi. Bangkitan pergerakan kemudian akan
muncul dari berbagai kawasan yang berbedabeda sehingga setiap kawasan akan muncul
karakteristik pergerakan yang berbeda pula.
Karakteristik tersebut yang kemudian
memunculkan pola pergerakan setiap kawasan.
Kota Surakarta, selayaknya kota skala
sedang di Indonesia sedang mengalami
pertumbuhan dan ekspansi perkotaan yang
cukup pesat, sehingga saat ini mengalami

gejala permasalahan umum perkotaan seperti
kepadatan penduduk yang tinggi, maupun
terkait penyediaan sarana maupun prasarana
perkotaan. Terdapat sebuah isu utama terkait
dengan permasalahan perkembangan fisik
perkotaan di Surakarta yaitu konsentrasi
perkembangan fisik secara masif terjadi pada
bagian selatan kota. Hal ini menimbulkan
perbedaan tingkat kekompakan antar kawasan
perkotaan. Secara umum kondisi ini tidak

2

begitu menguntungkan bagi perkembangan
Kota Surakarta secara keseluruhan dan
cenderung akan menimbulkan ketimpangan
pelayanan fasilitas publik bagi masyarakat
Kota Surakarta.
Perbedaan tingkat kekompakan
memungkinkan terjadinya pergerakan antara

kawasan yang memiliki tingkat urban
compactness rendah menuju kawasan yang
memiliki tingkat urban compactness tinggi
karena kawasan tersebut memiliki ketersediaan
fasilitas cukup tinggi. Kawasan yang memiliki
tingkat urban compactness tinggi akan
menjadi tarikan pergerakan bagi kawasan
lainnya. Akibatnya pola pergerakan cenderung
akan terkonsentrasi menuju kawasan tertentu
dan kawasan dengan tingkat urban
compactness rendah cenderung membutuhkan
usaha pergerakan yang lebih menuju setiap
pusat kegiatan. Bangkitan pergerakan dari
kawasan dengan tingkat urban compactness
rendah menuju tarikan pergerakan pada
kawasan dengan tingkat urban compactness
tinggi ditambah juga dengan pergerakan pada
masing-masing kawasan kemudian akan
membentuk pola pergerakan penduduk tertentu
di Kota Surakarta.

Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana hubungan antara
tingkat urban compactness dengan pola
pergerakan penduduk kawasan Kota Surakarta.
Hasil penelitian ini diharapkan salah satunya
menjadi bahan pertimbangan pemerintah
terhadap kemampuan pelayanan kota kepada
masyarakat sehingga akan tercipta kawasan
kota dengan pelayanan ideal.
II. METODE
A. Ruang Lingkup
Ruang lingkup wilayah penelitian yaitu
kawasan di dalam administrasi Kota Surakarta
yang mampu menunjukan batasan fungsional
yang jelas dan mampu secara proporsional
membagi wilayah administrasi Kota Surakarta
menjadi bagian-bagian wilayah yang
menunjukan karakteristik urban compactness
tertentu dan ciri pola pergerakan penduduk
pada setiap kawasannya.

Sementara secara substansi urban
compactness merupakan turunan kajian dari
perencanaan transportasi dikaitkan dengan
spasial dan keruangan dan kajian ilmu
perencanaan wilayah dan kota, kemudian

Tendra Istanabi dkk, Hubungan urban compactness dengan...
dilakukan sebagai bagian dari konsep bentukan
struktur ruang dan variabel yang digunakan
berkaitan dengan keruangan. Sementara
hubungan urban compactness dengan pola
pergerakan dilakukan dalam kerangka melihat
kecenderungan keruangan kawasan.
B. Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan batasan Bagian
Wilayah Perkotaan (BWP) sebagai interpretasi
dari kawasan-kawasan perkotaan di Kota
Surakarta. Analisis yang digunakan dalam
penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap:
1. Analisis skoring tingkat urban compactness,

dengan melakukan penjumlahan dan
penyetaraan nilai pada setiap sub variabel,
yaitu:
a. Kepadatan: Kepadatan penduduk bruto,
kepadatan penduduk netto, kepadatan
bangunan dan analisis tetangga terdekat
b. Keragaman penggunaan lahan: proporsi
luas kawasan perdagangan jasa terhadap luas
kawasan, proporsi luas kawasan perkantoran
terhadap luas kawasan, proporsi luas fasilitas
pendidikan terhadap luas kawasan, proporsi
luas fasilitas kesehatan terhadap luas
kawasan, proporsi luas fasilitas industri
terhadap luas kawasan, dan proporsi luas
fasilitas RTH Aktif terhadap luas kawasan.
c. Transportasi dan konektivitas:
Perbandingan panjang rute bus dan panjang
jalan, serta konektivitas dan kepadatan
jaringan jalan yang meliputi perbandingan
panjang jalan, kepadatan simpul, kepadatan

lingkage, dan indeks bheta.
2. Analisis pola pergerakan, dilakukan dengan
menggunakan analisis distribusi frekuensi
dengan pengolahan data dari hasil kuesioner
yang didapatkan dengan menggunakan
variabel meliputi jarak tempuh pergerakan,
sebaran pergerakan, waktu tempuh
pergerakan, dan moda transportasi yang
digunakan. Selanjutnya variabel tersebut
akan dilihat berdasarkan lima tujuan
pergerakan yaitu tujuan bekerja, bersekolah,
belanja, kesehatan, dan rekreasi atau
hiburan.
3. Analisis hubungan tingkat urban
compactness dengan pola pergerakan
penduduk, dilakukan dengan metode analisis
statistik dengan SPSS

7


Tabel 1 Penggunaan Analisis Statistik SPSS
Hubungan
Skala Data
Nilai Urban
Nominal Compactness
Rasio
dengan Jarak
Nilai Urban
Nominal Compactness
Rasio
dengan Waktu
tempuh
Nilai Urban
Nominal Compactness
Nominal
dengan Sebaran
Nilai Urban
Nominal Compactness
Nominal
dengan Moda
transportasi
Sumber: Analisis, 2015

Analisis
Kruskal Wallis
& Eta
Kruskal Wallis
& Eta

Chi Square &
coefficient
contingency
Chi Square &
coefficient
contingency

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tingkat Urban Compactness
Berdasarkan kajian di enam bagian
kawasan di Surakarta didapatkan skoring nilai
yaitu:
Tabel 2 Nilai Tingkat Urban Compactness
Nlai Urban
BWP
Compactness
BWP 1
79.69
BWP 2
88.63
BWP 3
58.16
BWP 4
57.54
BWP 5
76.41
BWP 6
100.00
Sumber: Analisis, 2015
Di Kota Surakarta semakin padat kawasan
menyebabkan tingkat urban compactness
cenderung semakin tinggi pula. Kawasan yang
memiliki tingkat urban compactness rendah
memiliki lahan yang tidak terbangun cukup
banyak. Kota kompak yaitu ketika kota
mampu memaksimalkan lahan yang tersedia
untuk dijadikan kawasan perkotaan sebelum
menggunakan lahan hijau di sekitarnya, Lock,
1995 (dalam Xie, 2010). Artinya Kota
Surakarta belum secara baik mampu
memaksimalkan lahan yang tersedia karena
terdapat kawasan tertentu dengan kepadatan
yang tinggi namun pada kawasan lainnya
terdapat perkembangan yang bersifat acak dan
sprawl.

Arsitektura,
Kemudian semakin tinggi tingkat urban
compactness keragaman penggunaan lahan
juga semakin banyak dan memiliki proporsi
yang tinggi. Di Kota Surakarta semakin
kompak juga cenderung kawasan tersebut
memiliki pusat-pusat kegiatan berskala besar
seperti perdagangan jasa, pendidikan,
kesehatan maupun tempat rekreasi atau
hiburan. Sementara kawasan yang memiliki
tingkat urban compactness rendah cenderung
memiliki pula keterbatasan pusat kegiatan dan
keragaman penggunaan lahan ditambah skala
pelayanan yang kecil. Menurut Bai (2009)
kekompakan ditentukan dengan proporsi lahan
untuk kebutuhan penduduk.
Artinya tidak hanya jumlah penggunaan
lahan tetapi juga proporsi karena proporsi
tersebut akan mempengaruhi seberapa besar
luas lahan yang digunakan dibandingkan
dengan luas kawasannya. Semakin luas
proporsi lahan yang digunakan semakin besar
kemampuan skala layanan.

Gambar 1 Skema Keragaman Penggunaan
Lahan Kota Surakarta
Sumber: Draft RDTRK Kota Surakarta 2013
dan Analisis, 2015

4

Dalam penelitian ini transportasi diartikan
sebagai sarana angkutan umum yang ada di
Surakarta dan konektivitas diartikan dengan
jaringan jalan. Di Kota Surakarta semakin
tinggi tingkat urban compactness menunjukan
kawasan tersebut juga semakin banyak
terlayani dengan trayek angkutan umum.
Menurut Xie (2010) transportasi publik berupa
penggunaan bus umum akan meningkatkan
kekompakan kota. Sementara semakin tinggi
tingkat urban compactness juga menunjukan
semakin banyak jaringan jalan skala kota yang
terdapat di kawasan tersebut. Pola jaringan
jalan akan membentuk dan memengaruhi
mobilitas penduduk (Wicaksono, 2013).
Artinya semakin banyak jaringan jalan akan
semakin banyak simpul yang bisa
terhubungkan sehingga akan semakin banyak
alternatif pergerakan oleh penduduk sehingga
akhirnya tidak hanya bertumpu pada suatu
jaringan jalan tertentu seperti terjadi pada
kawasan dengan tingkat urban compactness
tinggi di Kota Surakarta. Semakin tinggi
tingkat urban compactness juga menunjukan
semakin baik pula jaringan transportasi dan
konektivitas yang dimiliki.
Selain itu apabila dicermati dan dikaitkan
dengan bahasan sebelumnya penggunaan lahan
terkonsentrasi tinggi akan selalu mengikuti
pola jaringan terutama jaringan jalan. Dalam
teori klasik yang menjadi teori dasar bagi
struktur ruang kota R.V. Retcliff, 1949 (dalam
Astuti, 2014) menyatakan bahwa pusat kota
atau pusat kegiatan kota dianggap sebagai
suatu tempat yang mempunyai aksesibilitas
terbesar dan dari lokasi inilah centrality value.
Kemudian menurut Pontoh dan Kustiwan,
2009 (dalam Astuti, 2014) salah satu
pembentuk struktur ruang adalah jaringan
transportasi. Artinya keberadaan jaringan
menjadi sebuah katalisator yang akan memicu
pertumbuhan penggunaan lahan tertentu
sehingga akan meningkatkan urban
compactness kawasan pada akhirnya yang
akan selalu berkembang. Seperti pendapat
Yunus (1999) struktur kota dapat berkembang
melalui pola-pola seperti concenctric zone,
radial sector, dan multiple nuclei.
Di Kota Surakarta semakin tinggi tingkat
urban compactness linear pula dengan tingkat
kepadatan, proporsi penggunaan lahan aktif,
dan jaringan serta konektivitasnya.

Tendra Istanabi dkk, Hubungan urban compactness dengan...
B. Pola Pergerakan Penduduk
1. Jarak dan sebaran pergerakan

Gambar 2 Diagram Jarak Pergerakan RataRata BWP Kota Surakarta
Sumber: Analisis, 2015
Di Kota Surakarta pergerakan tujuan
belanja, merupakan tujuan pergerakan yang
cenderung paling ramah lingkungan karena
pergerakan belanja relatif menempuh jarak
paling dekat sehingga sebagian besar
pergerakan dilakukan pada internal kawasan.
Selanjutnya pergerakan tujuan kesehatan dan
sekolah masih didominasi dengan pergerakan
dalam lingkup internal kawasan artinya tarikan
pergerakan untuk kedua tujuan tersebut bisa
ditemui pada masing-masing kawasan.
Kemudian pergerakan tujuan berkerja
memiliki pola yang sangat bervariasi di
seluruh kawasan. Artinya tujuan pekerjaan
bisa ditemui di seluruh kawasan dengan variasi
jarak yang acak pada kawasan tertentu.
Pergerakan rekreasi atau hiburan merupakan
pergerakan yang membutuhkan usaha
pergerakan paling besar.
Perjalanan terbentuk karena adanya
kegiatan yang dilakukan bukan di tempat
tinggal sehingga pola sebaran tata guna lahan
suatu kota akan sangat mempengaruhi pola
perjalanan orang, (Tamin, 2000). Sementara
itu menurut Atianta (2014) dalam pergerakan
terdapat prioritas faktor pendorong yang
berbeda-beda berdasarkan setiap tujuan
pergerakan.
Artinya perbedaan pola pergerakan
disebabkan faktor pendorong yang berbeda
pada setiap tujuan pergerakan dan ketersediaan
fasilitas berupa pusat-pusat kegiatan dalam
skala kecil maupun besar relatif tidak merata
dan dimiliki pada masing-masing kawasan
sehingga dibutuhkan usaha ke kawasan lain
untuk menjangkau fasilitas tersebut.

7

Gambar 3 Skema Pola Pergerakan Penduduk
Kota Surakarta
Sumber: Analisis, 2015
2. Waktu Tempuh Pergerakan
Di Kota Surakarta waktu tempuh
pergerakan bervariasi pada masing-masing
tujuan pergerakan. Namun demikian hal
tersebut masih berbanding lurus dengan variasi
jarak tempuh pergerakan. Pergerakan tujuan
belanja merupakan pergerakan yang dapat
ditempuh paling cepat hal tersebut sesuai
dengan jarak tempuh menuju tujuan belanja
yang juga paling dekat. Selanjutnya secara
berturut-turut diikuti pergerakan tujuan
kesehatan, sekolah bekerja dan terakhir
rekreasi atau hiburan. Pergerakan
membutuhkan waktu tempuh paling lama yaitu
pergerakan menuju tempat rekreasi atau
hiburan.

Gambar 4 Diagram Waktu Tempuh Rata-Rata
BWP Kota Surakarta
Sumber: Analisis, 2015

Arsitektura,
3. Moda Transportasi Pergerakan
Di Kota Surakarta pergerakan cenderung
didominasi oleh pergerakan individu daripada
pergerakan menggunakan transportasi massal.
Kemudian pergerakan juga didominasi oleh
kendaraan bermotor dari pada kendaraan tidak
bermotor. Artinya pergerakan di Kota
Surakarta masih dilakukan secara sporadis dan
acak. Akibatnya pola pergerakan tidak terlalu
bergantung pada kondisi persebaran pusat
kegiatan. Penduduk Surakarta memiliki
kemampuan untuk menjangkau pusat kegiatan
tersebut walaupun harus dengan usaha
pergerakan yang lebih.

Dapat dilihat pada pola kurva hubungan di
bawah ini ada ketidakteraturan pola
pergerakan pada kawasan dengan kekompakan
paling tinggi. Dalam terminologi matematika
bentuk kurva pangkat tiga dengan dua titik
puncak yang secara sederhana berarti kondisi
fungsi jauh dari kondisi yang linear. Kondisi
yang ingin digambarkan dari bentuk tersebut
bahwa terdapat penyimpangan yang cukup
jauh antara besarnya jarak dan tingkat
kekompakannya
Jenks, 2000 (dalam Atianta, 2014)
menjelaskan bahwa kota yang kompak akan
mampu mereduksi jarak tempuh perjalanan
sehingga dapat menurunkan tingkat mobilitas
penduduk. Hal tersebut tidak terjadi secara
keseluruan kawasan di Kota Surakarta. Artinya
tingkat urban compactness belum secara
simultan mereduksi pergerakan di Kota
Surakara.

Gambar 6 Kurva Hubungan Urban
Compactness dengan Jarak Tempuh
Sumber: Analisis, 2015
Gambar 5 Skema Pola Penggunaan Moda
Transportasi Kota Surakarta
Sumber: Draft RDTRK Kota Surakarta 2013
dan Analisis, 2015
C. Hubungan Tingkat Urban Compactness
dengan Pola Pergerakan Penduduk
Berdasarkan hasil analisis yang telah
dilakukan didapatkan bahwa terdapat
hubungan antara tingkat urban compactness
dengan pola pergerakan penduduk di Kota
Surakarta walaupun dalam bentuk hubungan
yang lemah. Hubungan tersebut
mengindikasikan ada perbedaan pola
pergerakan pada tingkat urban compactness
tertentu. Secara lebih detail bahasan mengenai
hubungan urban compactness dengan variabel
pola pergerakan akan dibahas di bawah ini.

6

Sementara itu di Kota Surakarta
kecenderungan internalisasi sebaran
pergerakan sesuai dengan tingkat kekompakan
ditunjukan pada pergerakan tujuan sekolah,
belanja, bekerja dan rekreasi atau hiburan
namun. Terdapat pola kurva yang justru ketika
pada titik kawasan dengan kekompakan
tertinggi tren sebaran pergerakan menjadi
kembali naik artinya jumlah pergerakan
ekternal pada kawasan dengan kekompakan
tinggi cenderung masih cukup banyak.
Menurut Thomas dan Cousins, 1996 (dalam
Xie, 2010) compact city adalah intensifikasi
perkotaan yang mampu mewadahi kegiatan
harian dalam batas kawasan kota tersebut.
Artinya di Kota Surakarta pergerakan peran
internalisasi kegiatan belum berjalan baik pada
seluruh kawasan.

Tendra Istanabi dkk, Hubungan urban compactness dengan...

Gambar 7 Kurva Hubungan Urban
Compactness dengan Sebaran Pergerakan
Sumber: Analisis, 2015
Kemudian pada variabel waktu tempuh
terdapat pola yang juga bertolak belakang.
Kawasan yang tidak kompak cenderung
membutuhkan waktu tempuh pergerakan lebih
cepat daripada kawasan yang relatif lebih
kompak. Apabila dikaitkan dengan teori
sebelumnya yang menyatakan bahwa
kekompakan dapat mereduksi pergerakan
maka seharunya ketika jarak semakin dekat
juga waktu tempuh yang dibutuhkan semakin
berkurang. Dapat diartikan bahwa kawasan
yang lebih kompak memiliki potensi hambatan
pergerakan lebih besar apabila kawasan
tersebut menjadi pusat orientasi pergerakan
bagi kawasan lainnya atau karena tarikan yang
terlalu kuat pada kawasan yang lebih lebih
kompak.

Gambar 8 Kurva Hubungan Urban
Compactness dengan Waktu Tempuh
Sumber: Analisis, 2015
Terakhir kawasan yang memiliki tingkat
kekompakan tinggi belum mampu mengurangi
secara signifikan penggunaan kendaraan
bermotor. Menurut Marsh dan Couland, 1996
(dalam Xie, 2010) manfaat dari compact city
yaitu di antaranya mampu mereduksi

7

penggunaan kendaraan pribadi untuk beralih
menggunakan transportasi umum sehingga
lebih ramah lingkungan.
Apabila dicermati terdapat pula
kecenderungan yang tidak linier pada kawasan
yang paling kompak. Artinya kawasan yang
memiliki tingkat kekompakan tinggi belum
mengurangi secara signifikan penggunaan
kendaraan bermotor. Dapat dikatakan pula
kawasan yang lebih kompak di Kota Surakarat
belum mampu merubah pola pergerakan
menjadi lebih ramah lingkungan.

Gambar 9 Kurva Hubungan Urban
Compactness dengan Moda Transportasi
Sumber: Analisis, 2015
Apabila dilihat secara komprehensif maka
ketidakteraturan hubungan tingkat urban
compactness di Kota Surakarta dengan pola
pergerakan penduduk mengindikasikan adanya
ketidaksempurnaan sistem compact city.
Secara spasial menurut Roychansyah (2005)
compact city menekankan pada hierarki
pelayanan antar level kawasan dalam suatu
kota dengan mengutamakan interaksi internal
suatu kawasan. Kota dibangun dari kumpulan
beberapa kawasan yang membentuk satu
kesatuan, sehingga akan ada istilah pusat kota
dan pusat kawasan atau distrik. Artinya konsep
ini membentuk agar setiap kawasan mampu
secara maksimal memenuhi kebutuhannya
sendiri tanpa harus menuju ke pusat kota
sehingga akan muncul interaksi berbasis
komunitas lokal. Setiap kawasan kota akan
akan secara mandiri memenuhi kebutuhan
kegiatan pada level kawasan sementara untuk
kebutuhan kegiatan tertentu akan dilayani pada
hierarki yang lebih luas. Akan tetapi peran
masing-masing kawasan untuk mendukung
sistem tersebut masih kurang sehingga terdapat
ketergantungan pada kawasan tertentu.

Arsitektura,
Hal tersebut disebaban karena secara
morfologis Kota Surakarta membentuk pola
konsentris dengan konsentrasi pusat kegiatan
di tengah kota yang merupakan pengembangan
dari pusat kota Surakarta. Pola konsentris
menjelaskan bahwa pusat kota merupakan
kawasan CBD. Pola tersebut menyebabkan
nilai lahan yang ada di tengah kota menjadi
tinggi dan cukup strategis untuk dijadikan
pusat kegiatan yang bersifat komersil sehingga
keberadaan fasilitas pelayanan dan komersial
seperti perdagangan jasa dan perkantoran
cenderung berada di tengah kota. Apabila
dilihat kekompakan kawasannya maka
memang kawasan yang berada di sekitar
tengah kota memiliki tingkat urban
compactness paling tinggi dan secara geografis
berada di Kota Surakarta bagian selatan.
Kemudian pusat kota tersebut akan menjadi
magnet tarikan pergerakan dari kawasan lain
untuk datang.
IV. KESIMPULAN
Pola pergerakan di Kota Surakarta masih
dilakukan secara sporadis dan acak.
Pergerakan didominasi oleh pergerakan
berbasis individu bukan pergerakan masal
melalui sarana transportasi perkotaan.
Akibatnya pola pergerakan tidak terlalu
bergantung pada kondisi persebaran pusat
kegiatan.
Pergerakan yang sudah bersifat pergerakan
skala neighbourhood yaitu pergerakan tujuan
berbelanja. Sementara itu pergerakan tujuan
sekolah dan kesehatan bersifat pergerakan
kawasan artinya pergerakan tersebut
cenderung dilakukan di dalam kawasan namun
dengan jangkauan yang lebih besar dari pada
pergerakan skala neighbourhood. Terakhir
pergerakan tujuan bekerja dan rekreasi atau
hiburan lebih bersifat pada pergerakan skala
kota artinya pergerakan yang terjadi cenderung
dilakukan lintas kawasan.
Hubungan lemah antara tingkat urban
compactness dengan pola pergerakan
disebabkan karena dua faktor, faktor pertama
karena secara spasial terjadi
ketidaksempurnaan sistem compact city. Di
Kota Surakarta masing-masing kawasan belum
mampu secara simultan membentuk sistem
compact city di mana sistem tersebut
menekankan pada hierarki pelayanan antar
level kawasan dalam suatu kota dengan

8

mengutamakan interaksi internal suatu
kawasan sehingga terdapat ketergantungan
pada kawasan tertentu.
Faktor kedua terkait dengan pola
pergerakan yaitu adanya faktor penarik dan
pendorong pergerakan. Dalam kajian ini faktor
penarik tersebut merupakan tingkat
kekompakan, namun juga terdapat faktor
pendorong pergerakan yang menjadi motif dan
menentukan kemampuan penduduk untuk
melakukan pergerakan yaitu karakteristik
penduduk.
REFERENSI
Astuti, Intan Dwi, 2014, Peran Perkembangan
Aktivitas industi dan Perdagangan Jasa
Terhadap Perubahan Struktur Ruang
Kawasan Solo Baru. Tugas Akhir S1
Program Studi Perencanaan Wilayah dan
Kota Universitas Sebelas Maret Surakarta
Atianta, Lanthika, 2014, Pengaruh Urban
Compactness terhadap Pola pergerakan
Penduduk Kota Yogyakarta. Skrispsi S1
Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Bai, Yongping, 2009, “Comprehensive Level of
Urban Compactness and its Influence
Factors in the Cities along Longhai-Lanxin
Railway”.International Conference on
Artificial Intelligence and Soft Computing
Lecture Notes in Information Technology,
12, 1-8
Ofyzar, Z Tamin, 2000, Perencanaan dan
Permodelan Transportasi, Bandung: ITB.
Roychansyah, Sani, 2006, “Paradigma Kota
kompak: Solusi Masa Depan Tata Ruang
Kota?”, Inovasi, 7, 19-27
Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R&D, Bandung: Alphabeta
Wicaksono, Agus Dwi, 2013, Perumusan Konsep
Peningkatan Efektivitas Urban Compactness
di Kota Surabaya. Desertasi S3 Program
Studi Perencanaan Wilayah dan Kota
Institut Teknologi Sepuluh November
Surabaya
Xie, Yongqing, 2010, Urban Compaction and its
Impact on Urban Development in China: A
Chase Study of Beijing. Thesis.S2 The
University of Hongkong
Yunus, Hadi Sabari, 1999, Struktur Tata Ruang
Kota, Yogyakarta: Pustaka Pelajar