Chapter II Insidensi Hepatitis B pada Pasien HIV AIDS di Klinik VCT Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan dari Januari tahun 2010 Dsember tahun 2012

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HIV/AIDS
2.1.1.

Definisi HIV/AIDS
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) merupakan tahap akhir dari

infeksi yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Retrovirus
yang menyerang sel CD4 yang menyebabkan kerusakan parah pada sistem kekebalan
tubuh. Human Immunodeficiency Virus (HIV) termasuk golongan retrovirus
diidentifikasi pada tahun 1983 oleh Montagnier di Prancis (Goldsmith) sebagai
patogen yang bertanggungjawab atas Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).
AIDS ditandai dengan perubahan populasi limfosit T-sel yang memainkan peran
kunci dalam sistem pertahanan kekebalan tubuh. Pada individu yang terinfeksi, virus
menyebabkan penipisan T-sel, yang disebut "sel T-helper", yang meyebabkan pasien
rentan terhadap infeksi oportunistik, dan keganasan tertentu (P. Feorino).
Gambar 2.1. Struktur sel HIV/ AIDS


Universitas Sumatera Utara

2.1.2.

Etiologi
Penyebab AIDS adalah virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human

Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan
kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy
Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984
mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional

pada tahun 1986

nama virus dirubah menjadi HIV( E. L. Palmer).
Human Immunodeficiency Virus adalah golongan virus RNA. Dalam bentuknya
yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai
sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia
mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T,
virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama

dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap
HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan
selama hidup penderita tersebut.
Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan
bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian
RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis protein.
Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120
berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus
(lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap
pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan
dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan
sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. Virus HIV
hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat
juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak (W. R.
McManus).

Universitas Sumatera Utara

2.1.3.


Cara Penularan
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu

penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan,
tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d entrée).
Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak
sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh.
Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan
kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti
menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau serviks dan darah penderita.
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini
cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui :
a) Transmisi Seksual
Penularan

melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual

merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini
berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan
dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV

tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seksdan jenis hubungan
seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti
terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada
pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti
pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
i.

Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat hubungan homoseksual

menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan sosial. Cara
hubungan seksual anogenital merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi
penularan HIV, khususnya bagi pasangan seksual yang pasif menerima ejakulasi
semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini disebabkan oleh mukosa rektum yang
sangat tipis dan mudah sekali mengalami perdarahan pada saat berhubungan secara
anogenital.
ii. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan

Universitas Sumatera Utara


heteroseksual dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria
maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
b) Transmisi Non Seksual
i.

Transmisi Parenteral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang

telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkotik suntik yang
menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat
juga terjadi melaui jarum suntik yang telah dipakai oleh petugas kesehatan tanpa
disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat
sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat
sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko
tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
ii. Transmisi Maternal
Penularan dari ibu yang HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%.
Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan waktu menyusui. Penularan

melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah. (Sudikno, Bona &
Siswanto)

2.1.4.

Patogenesis
Sistem kekebalan mempertahankan tubuh terhadap infeksi. Sistem ini terdiri dari

banyak jenis sel. Dari sel–sel tersebut sel T–helper sangat krusial karena
mengkoordinasi semua sistem kekebalan lainnya. Sel T–helper memiliki protein pada
permukaannya yang disebut CD4.HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel
T–helper dengan melekatkan dirinya pada protein CD4. Saat menginfeksi, RNA virus
masuk ke tubuh penderita, kemudian RNA berubah menjadi DNA (deoxyribonucleic
acid) dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut
menjadi bagian dari DNA manusia, yang akan menghasilkan virus-virus lainnya,
benda tersebut mulai menghasilkan virus–virus HI.
Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–virus yang
baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas dalam aliran

Universitas Sumatera Utara


darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang sedikit
demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem kekebalan tubuh dan menjadikan tubuh
mudah diserang oleh infeksi dan penyakit–penyakit yang lain.Dibutuhkan waktu
untuk menularkan virus tersebut dari orang ke orang. Respons tubuh secara alamiah
terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–sel yang terinfeksi dan mengantikan
sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk menghasilkan
kembali dirinya.
Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800–1200
sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya terhitung
dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik.
Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem
kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat
infeksi–infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang
pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal. Tanpa perawatan, viral load, yang
menunjukkan jumlah relatif virus bebas didalam plasma darah, akan meningkat
mencapai titik dimana tubuh tidak akan mampu melawannya.
Perkembangan dari HIV dapat dibagi dalam 4 fase yaitu infeksi utama
(Seroconversion), ketika kebanyakan pengidap HIV tidak menyadari dengan segera
bahwa mereka telah terinfeksi. Kemudian, fase asymptomatic, dimana tidak ada gejala

yang nampak, tetapi virus tersebut tetap aktif. Seterusnya, fase symptomatic, dimana
seseorang mulai merasa kurang sehat dan mengalami infeksi–infeksi oportunistik yang
bukan HIV tertentu melainkan disebabkan oleh bakteri dan virus–virus yang berada di
sekitar kita dalam segala keseharian kita. AIDS, yang berarti kumpulan penyakit yang
disebabkan oleh virus HIV, adalah fase akhir dan biasanya bercirikan suatu jumlah
CD4 kurang dari 200 (Departemen Kesehatan RI Jakarta 1989).

2.1.5.

Gejala Klinis
Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan, ruam kulit,

nyeri kepala, mual dan berkeringat di malam hari. AIDS ditandai dengan supresi
yang nyata pada sitem imun dan perkembangan infeksi oportunistik berat yang
sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum (terutama sarcoma Kaposi).

Universitas Sumatera Utara

Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh gejala
prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise, demam,

napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan
limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada saluran pencernaan, dari esophagus
sampai kolon merupakan penyebab utama kelemahan. Tanpa pengobatan interval
antara infeksi primer oleh HIV dan timbulnya penyakit klinis pertama kali pada
orang dewasa biasanya panjang, rata-rata sekitar 10 tahun (Jawet, 2005).
WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS,
sebagai berikut :
Table 2.1. Stadium Klinik WHO: HIV/AIDS (2011)
Stadium klinis 1



Asimtomatik
Limfadenopati generalisata persisten

Stadium klinis 2
 Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskana
 Erupsi pruritik papular
 Infeksi virus wart luas
 Angular cheilitis

 Moluskum kontagiosum luas
 Ulserasi oral berulang
 Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan
 Eritema ginggival lineal
 Herpes zoster
 Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea,
sinusitis, tonsillitis )
 Infeksi kuku oleh fungus

Stadium klinis 3


Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak

berespons secara

Universitas Sumatera Utara

adekuat terhadap terapi standara
 Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari

atau lebih ) a
 Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih
dari 37.5o C
intermiten atau konstan, > 1 bulan) a
 Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu
pertama kehidupan)
 Oral
hairy leukoplakia
 Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut
 TB kelenjar
 TB Paru
 Pneumonia bakterial yang berat dan berulang
 Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik
 Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik
termasuk
bronkiektasis
 Anemia yang tidak dapat dijelaskan ( 99%
2) Spesifisitas reagen kedua > 98%
3) Spesifisitas reagen ketiga

> 99%

4) Preparasi antigen atau prinsip tes dari reagen pertama, kedua, dan ketiga tidak
sama. Reagensia yang dipakai pada pemeriksaan kedua atau ketiga mempunyai
prinsip pemeriksaan (misalnya EIA, dot blot, immunokromatografi atau
aglutinasi) atau jenis antigen (misalnya lisat virus, rekombinan DNA atau
peptida sintetik) yang berbeda daripada reagensia yang dipakai pada
pemeriksaan pertama.
5) Prosentase hasil kombinasi dua reagensia pertama yang tidak sama (discordant)
kurang dari 5%.
6) Pemilihan jenis reagensia (EIA atau simple/rapid) harus didasarkan pada:
a. Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil
b. Jumlah spesimen yang diperiksa dalam satu kali pengerjaan
c. Sarana dan prasarana yang tersedia
Untuk tujuan surveilans, reagen pertama harus memiliki sensitivitas >99%, spesifisitas
reagen kedua >98%.
Keuntungan diagnosis dini:
1. Intervensi pengobatan fase infeksi asimtomatik dapat diperpanjangkan.
2. Menghambat perjalanan penyakit kearah AIDS.
3. Pencegahan infeksi oportunistik
4. Kounseling dan pendidikan untuk kesehatan umum penderita.
5. Penyembuhan (bila mungkin) hanya dapat terjadi bila pengoabatan pada fase
dini (Tjokronegoro & Hendra, 2003).

2.1.7.

Pengobatan

Universitas Sumatera Utara

Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS
tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat
yang kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara
medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orangyang mengidap HIV/AIDS
adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau
lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang
sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan:
1. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan
pencegahan proteinreverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari
viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
2. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat
reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim
viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan
materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine,
delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya
sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan.

2.2. Memulai terapi ARV dengan salah satu panduan di bawah ini
AZT + 3TC + NVP

(Zidovudine + Lamivudine +
Nevirapine)

ATAU

AZT + 3TC + EFV

(Zidovudine + Lamivudine +
Efavirenz)
(Tenofovir + Lamivudine (atau
Emtricitabine) + Nevirapine)

ATAU

TDF + 3TC (atau FTC) +
NVP

ATAU

TDF + 3TC (atau FTC) + EFV (Tenofovir + Lamivudine (atau
Emtricitabine) + Efavirenz)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011

Universitas Sumatera Utara

2.3. Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum
pernah mendapat terapi ARV (treatment-naïve)
Populasi Target
Dewasa dan anak

Pilihan yang
direkomendasikan
AZT atau TDF + 3TC
(atau FTC) + EFV atau
NVP

Catatan

Merupakan pilihan
paduan yang sesuai untuk
sebagian besar pasien
Gunakan FDC jika
tersedia
Perempuan hamil
AZT + 3TC + EFV atau
Tidak boleh
NVP
menggunakan EFV pada
trimester pertama
TDF bisa merupakan
pilihan
Ko-infeksi HIV/TB
AZT atau TDF + 3TC
Mulai terapi ARV segera
(FTC) + EFV
setelah terapi TB dapat
ditoleransi (antara 2
minggu hingga 8
minggu)
Gunakan NVP atau triple
NRTI bila EFV tidak
dapat digunakan
Ko-infeksi HIV/Hepatitis TDF + 3TC (FTC) +
Pertimbangkan
B kronik aktif
EFV atau NVP
pemeriksaan HBsAg
terutama bila TDF
merupakan paduan lini
pertama. Diperlukan
penggunaan 2 ARV yang
memiliki aktivitas
anti-HBV
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011

2.1.8.

Pencegahan
Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang

mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan,
persalinan dan masa menyusui. Jika tanpa pencegahan, kemungkinan bayi dari
seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua
pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak.

Universitas Sumatera Utara

Obat–obatan tersebut adalah:
1.

Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–28
minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan
angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada
kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu
rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi
telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan
Lamivudine (3TC).

2.

Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan
dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari. Diperkirakan bahwa
dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya
digunakan

pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa

persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
Post–exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral,
yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah
seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual
maupun terinfeksi occupational.Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP,
maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang yang
bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan orang
tersebut mengerti obat–obatan, keperluan untuk mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan
hubungan seks yang aman dan memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals
direkomendasikan untuk PEP termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi.
CDC telah memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP
yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi yang
potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun
terdapat bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka
keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak merekomendasikan proses
terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut
dapat memberikan efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak
aman(Family Health International).

Universitas Sumatera Utara

2.2. Hepatitis B
2.2.1.

Definisi
Menurut World Health Organization (2012) Hepatitis B adalah infeksi hati yang

berpotensi mengancam nyawa yang disebabkan oleh virus hepatitis B. Ini adalah
masalah kesehatan global utama dan jenis yang paling serius dari hepatitis virus. Hal
ini dapat menyebabkan penyakit hati kronis dan menempatkan orang pada risiko
tinggi kematian akibat sirosis hati dan kanker hati.

2.2. Skema virus Hepatitis B

Di seluruh dunia, diperkirakan dua miliar orang telah terinfeksi virus hepatitis B
dan lebih dari 240 juta memiliki infeksi (jangka panjang) hati kronis. Sekitar 600 000
orang meninggal setiap tahun karena konsekuensi akut atau kronis hepatitis B.
Vaksin hepatitis B telah tersedia sejak 1982. Vaksin hepatitis B adalah 95%
efektif dalam mencegah infeksi dan vaksin pertama melawan kanker manusia.

2.2.2.

Klasifikasi
a) Genom
Genom HBV adalah terbuat dari DNA melingkar, tetapi tidak biasa karenaDNA

tidak sepenuhnya beruntai ganda. Salah satu ujung untai panjang penuh ini terkait
dengan polimerase DNA virus. Genom 3020-3320 nukleotida panjang (untuk untai
panjang penuh) dan 1700-2800 nukleotida panjang (untuk jangka pendek-untai
panjang). Arti negatif-, (non-coding), adalah melengkapi mRNA virus. DNA virus

Universitas Sumatera Utara

ditemukan dalam inti segera setelah infeksi sel. Sebagian DNA beruntai ganda yang
diberikan penuh beruntai ganda dengan selesainya untai sense (+) dan penghapusan
sebuah molekul protein dari (-) akal dan urutan untai pendek RNA dari untai sense
(+). Basis non-coding dihapus dari ujung (-) untai sense dan ujung-ujungnya
bergabung. Ada empat gen yang dikode oleh genom dikenal, yang disebut C, X, P,
dan S. protein inti adalah dikodekan oleh gen C (HBcAg), dan kodon start adalah
didahului dengan hulu di-frame Agustus kodon mulai dari mana protein pra-inti
diproduksi. HBeAg dihasilkan oleh proses proteolitik dari protein pra-inti.
Polimerase DNA dikodekan oleh gen P. Gene S adalah gen yang mengkode antigen
permukaan (HBsAg). Gen HBsAg satu frame membaca panjang terbuka tetapi berisi
tiga dalam bingkai "mulai" (ATG) kodon gen yang membagi menjadi tiga bagian,
pra-S1, pra-S2, dan S. Karena kodon mulai beberapa, polipeptida dari tiga ukuran
yang berbeda yang disebut besar, menengah, dan kecil (pra-S1-S2 + pra + S, pra-S2
+ S, atau S) yang dihasilkan. Fungsi dari protein dikodekan oleh gen X adalah tidak
sepenuhnya dipahami(Chu SJ, Keeffe EB, Han SH, et al 2003).
b) Replikasi
Siklus hidup dari virus hepatitis B adalah kompleks. Hepatitis B adalah salah satu
dari beberapa yang dikenal non-retroviral virus yang menggunakan reverse transkripsi
sebagai bagian dari proses replikasi. Virus keuntungan masuk ke sel dengan mengikat ke
reseptor yang tidak diketahui pada permukaan sel dan masuk dengan endositosis. Karena
virus mengalikan melalui RNA dibuat oleh enzim inang, DNA genom virus harus
ditransfer ke inti sel dengan protein inang yang disebut pendamping. DNA beruntai virus
sebagian ganda ini kemudian dibuat sepenuhnya double stranded dan diubah menjadi
DNA sirkular kovalen tertutup (cccDNA) yang berfungsi sebagai template untuk
transkripsi mRNA virus empat. MRNA terbesar, (yang lebih panjang dari genom virus),
digunakan untuk membuat salinan baru dari genom dan untuk membuat protein inti
kapsid dan DNA polimerase virus. Keempat transkrip virus mengalami pengolahan
tambahan dan pergi untuk membentuk virion progeni yang dilepaskan dari sel atau
kembali ke inti dan didaur ulang untuk menghasilkan salinan bahkan lebih. MRNA
panjang kemudian diangkut kembali ke sitoplasma mana protein virion P mensintesis
DNA melalui aktivitas reverse transcriptasenya(Mohanty SR, Kupfer SS, Khiani V 2006).

Universitas Sumatera Utara

c) Serotipe
Virus ini dibagi menjadi empat serotipe utama (adr, adw, ayr, ayw) epitop antigenik
berdasarkan disajikan pada protein amplop, dan menjadi delapan genotipe (AH) menurut
variasi urutan nukleotida keseluruhan genom. Genotipe memiliki distribusi geografis
yang berbeda dan digunakan dalam melacak evolusi dan penularan virus. Perbedaan
antara genotipe mempengaruhi keparahan penyakit, kursus dan kemungkinan komplikasi,
dan respon terhadap pengobatan dan kemungkinan vaksinasi.

2.2.3.

Etiologi
HBV adalah diselimuti, noncytopathic, hepatotrophic, dan DNA virus yang

sangat menular yang termasuk dalam golongan hepadnaviruses(Lee WM 1997). Luar
amplop virus berisi 3 antigen permukaan terkait (HBsAg), yang paling melimpah
yang merupakan protein S. Perkembangan imunitas seluler dan humoral terhadap
HBsAg adalah pelindung. Di dalam amplop adalah nukleokapsid virus, atau inti,
yang berisi sebagian beruntai ganda melingkar DNA (HBcAg). Peptida HBcAg yang
diturunkan menginduksi respon imun seluler inang krusial melawan HBV. HBeAg
berfungsi sebagai penanda untuk replikasi aktif, tapi fungsinya tidak diketahui.
Protein X (HBX) mungkin memainkan peran dalam perkembangan karsinoma
hepatoseluler. DNA polimerase memiliki fungsi reverse transcriptase untuk sintesis
kedua untai negatif dan positif dari HBV DNA(Ganem D, Prince AM 2004).

2.2.4.

Gejala Klinis
Akut infeksi virus hepatitis b dikaitkan dengan akut virus hepatitis. Penyakit

yang dimulai dengan umum sakit, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, tubuh
sakit, demam ringan, urine gelap, dan kemudian akan pengembangan penyakit
kuning. Telah dicatat bahwa kulit gatal telah indikasi sebagai gejala mungkin semua
jenis virus hepatitis. Penyakit berlangsung selama beberapa minggu dan kemudian
secara bertahap meningkatkan di orang-orang yang paling terpengaruh.
Beberapa pasien mungkin lebih parah penyakit hati (fulminant hepatic
kegagalan), dan mungkin mati sebagai akibat dari itu. Infeksi mungkin sepenuhnya
asimtomatik dan mungkin pergi tidak diakui. Kronis infeksi virus hepatitis b dapat

Universitas Sumatera Utara

asimtomatik atau mungkin dikaitkan dengan peradangan kronis hati (hepatitis kronis),
menuju sirosis selama beberapa tahun. Jenis infeksi secara dramatis meningkatkan
insiden dunia akibat Hepatoma (kanker hati).
Operator kronis didorong untuk menghindari mengkonsumsi alkohol dan
meningkatkan risiko untuk kanker hati sirosis dan virus hepatitis b telah dikaitkan
dengan perkembangan membran glomerulonefritis (MGN).
2.2.5.

Cara Penularan
Infeksi hepattis B kornik sedikitnya diderita oleh 300 juta orang di seluruh dunia.

Di Eropa dan Amerika 15-25% penderita hepatitis B kronik akan meninggal karena
proses hati dan kanaker primer. Penelitian yang dilakukan di Taiwan pada 3.654 pria
Cina yagn HBsAg positif bahkan mendapatkan angka yang lebih besar, yaitu antara
40-50%.
Penyakit hepatits B ini dapat menular bahkan bahaya tingkat penularannya 100
kali lebih cepat dibanding dengan virus HIV. Ada dua golongan cara penularan
infeksi VHB, yaitu penularan horinzontal dan penularan vertikal. Cara penularan
horinzontal terjadi dari seorang pengidap infeksi VHB kepada individu yang masih
rentan di sekelilinginya. Penularan horinzontal dapat terjadi melalui kulit atau
melalui selaput lendir, sedangkan penularan vertikal terjadi dari seorang pengidap
yang hamil kepada bayi yang dilahirkannya(Bond WW, Favero MS, Petersen Nj, et al
1981).
a) Penularan melalui kulit
Penularan ini terjadi jika bahan yang mengandung partikel virus hepatitis B
(HBsAg) masuk ke dalam kulit. Contohnya, kasus penularan terjadi akibat transfusi
darah yang mengandung HBsAg positif, hemodialisis (cuci darah) pada penderita
gagal ginjal kronik, seta melalui alat suntik yang tidak steril, sperti penggunaan
jarum suntik bekas, jarum akupuntur yang tidak steril, alat tato, alat cukur dan yang
saat ini merupakan cara penularan terbanyak adalah melalui penyuntikan narkoba
secara bergantian.
Virus hepatitis B tidak bisa menembus pori-pori kulit, dapat masuk melalui kulit
yang terluka dan mengalami kelainan dermatologik(Wasley A, Miller JT 2005).

Universitas Sumatera Utara

b) Penularan melalui selaput lendir
Penularan dapat terjadi melalui mulut (per oral) yaitu jika bahan yang
mengandung virus mengenai selaput lendir mulut yang terluka, misalnya karena
peradangan mulut atau sesudah mencabut gigi dan bisa juga melalui ciuman. Selain
itu, penularan virus hepatits B dapat melalui selaput lendir alat kelamin (seksual)
akibat berhubungan seksual dengan pasangan yang mengandung HBsAg positif yang
bersifat infeksius, baik dengan pasangan heteroseksual maupun homoseksual(Lee
WM 1997).
c) Penularan vertika (penularan perinatal)
Penularan perinatal merupakan VHB dari ibu yang menderita hepatits B akut
atau pengidap hepatits B kronis kepada bayinya pada saat dalam kandungan (masa
kehamilan) atau sewaktu persalinan. Jika infeksi hepatits akut terjadi pada masa
kehamilan trisemester partama dan kedua, umumnya penularan jarang terjadi. Namun,
jika hepatits akut terjadi pada masa kehamilan trisemester ketiga maka penularan
lebih sering terjadi. Penularan dari ibu pengidap hepatits B kronis kepada bayinya
mengidap hepatits B kronis, bayi yang terinfeksi tersebut mungkin menderita
hepatitis akut atau lebih sering terjadi adalah akan berkembang menjadi infeksi yang
menetap dan menjadi kronik( Ghendom 1987).

2.2.6.

Diagnosis
Diagnosis penyakit Hepatits B surface antigen (HBsAg) merupakan petanda

infeksi VHB yang dapat dideteksi 2 minggu-2 bulan sebelum ada gejala klinik.
Umumnya HBsAg ini bertahan selama 2-3 bulan dan sifatnya menular. Bila HBsAg
positif menandakan adanya infeksi VH"B aktif, akut atau kronik. Adanya HBsAg
dalam darah diikuti dengan peningkatan aktifitas SGPT kemudian SGOT. Penurunan
aktifitas enzim ini diikuti dengan penurunan titer HBsAG. Selain HBsAg juga dapat
dijumpai DNA polimerase.
Akhir-akhir ini dikembangkan pemeriksaan HBsAg secara kuantitatif yang
dipergunakan untuk monitoring pasien dengan hepatitis kronik dlam pengobatan
maupun tanpa pengobatan. Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi carrier ini
aktif dan sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan polymerase chain

Universitas Sumatera Utara

reaction (PCR).
Infeksi dengan virus hepatits B umunya akan menimbulkan HBsAg dan anti-HBe,
HBeAg terdeteksi setelah timbul HBsAg. Titer HBsAg meningkatkan tajam pada saat
infeksi akut yang menunjukkan replikasi virus. Serokonversi HBeAg menjadi anti-HBe
merupakan petanda infeksi teratasi dan menunjukkan daya infeksi yang berkurang.
HBeAg dapat dijumpai bersamaan dengan HBsAg dan biasanya disertai dengan DNA
VHB dan DNA polimerase.(Mast EE, Weinbaum CM, Fiore AE, et al 2006).
Anti HBc
Pasca infeksi virus hepatits B didapatkan antiHBe merupakan antibodi terhadap
pada sel hati. Dekenal dua macam antiHBe yaitu HBe lgM dan anti HBc total. Waktu
antara hilangnya HBsAg dengan terbentuknya antiHBs disebut window period
(perode jendela). Window period ini bisa terjadi beberapa minggu, bulan atau tahun
dan pada keadaan ini anti-HBe lgM positif. Untuk mengetahui adanya infeksi virus
hepatits B bila HBsAg dan anti-HBs negatif, perlu dilakukan pemeriksaan anti HBc
lgM untuk memetikan apakah individu tersebut telah terpapar VHB.
Pada pasien tidak mempunyai informasi bahwa dia terpapar VHB dapt diketahui
dengan memriksa anti-HBc total, bila positif berarti terdapat dua kemungkinan yaitu
penderita dalam keadaan infeksi aktif atau imun/sembuh.
Anti HBs
Anti HBs adalah antibodi golongan lgG terhadap HBsAg yang timbul setelah
terpapar virus hepatits B yang bersifat protektif. Antibiotik yang timbul terhadap
determinata dari VHB adalah subtipe d, y, w1-w4, r dan q. Pada pasien yang
mendapatkan vaksinasi hepatits perlu pemeriksaan anti HBs untuk mengetahui
keberhasilan vaksinasi (kekebalan). Pada vaksinasi bila kadar anti-HBs 10mIU/ml dianggap reaktif (Mast EE,
Weinbaum CM, Fiore AE, et al 2006).
2.2.5.1. Pemeriksaan
Berbagai ragam bentuk perjalanan klinis infeksi hepatits yaitu bisa berupa
hepatits akut, sembuh atau berlanjut menjadi hepatits B carries inaktif, hepatits B
kronis inaktif, atau berlanjut menjadi kanker hati atau sirosis hati. Untuk memestikan
adanya infeksi VHB dan sejauh mana bentuk klinis infeksi hepatits tersebut,

Universitas Sumatera Utara

diperlukan beberapa pemeriksaan berikut:
a) Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Hepatitis B secara awam lazim disebut sebagai penyakit kuning, tidak selalu
menampakkan warna kunig di matanya (konjungtiva). Pada penyakit hepatits B, mata
kuning dijumpai pada sepertiga kasus. Untuk lebih mengarah pada diagnosis hepatits B,
perlu digali mengenai riwayat transfusi darah, hemodialisis, apakah ibu dan anak pernah
menderita hepatits B dan juga mempertanyakan kebiasaan-kebiasaan seperti hubungan
seks bebas dan pemakaian suntik narkoba sebelumnya. Didukungkan dengan
pemeriksaan fisik yang teliti untuk melihat kemungkinan tanda klinis seperti mata kuning,
penemuan adanya pembesaran hati, pembengkakkan perut dan kaki(Mast EE, Weinbaum
CM, Fiore AE, et al 2006).
b) Pemeriksaan fungsi hati
Organ hati mengemban berbagai macam tugas, seperti fungsi sintesis, ekskresi,
detoksifikasi dan penyimpan cadangan energi. Gangguan organ hati mungkin disebabkan
oleh penyakit apapun termasuk infeksi hepatitis B dengan sendirinya akan mempengaruh
fungsi hati(Mast EE, Weinbaum CM, Fiore AE, et al 2006).

c) Pemeriksaan Serologi
Tidak semua pemeriksaan serologi mutlak diterapkan pada seseorang yang
dicurigai menderita hepatitis B. Manfaat pemeriksaan ini adalah untuk mendiagnosis
adanya infeksi VHB dan memastikan sejauh mana infeksi VHB berada pada keadaan
infeksi akut, kronis atau telah sembuh. Berikut jenis pemeriksaan serologi pada
infeksi VHB.
Pemeriksaan HBsAg, pemeriksaan ini memastikan apakah seseorang menderita
hepatits B atau tidak. Hasil pemeriksaan hepatits B positif memestikan bahwa
seseorang menderita infeksi VHB. Pemeriksaan HBsAg positif yang menetap lebih
dari enam bulan disebut sebagai VHB kronis.
Anti HBs, meningkatnya kadar anti HBs memperlihatkan bahwa seseorang
memiliki kekebalan alami atau pernah mendapatkan vaksinasi hepatits B.
Pemeriksaan ini sebaiknya dilalukan bersama-sama dengan HBsAg ketika seseorang
perlu atau tidak mendapatkan vaksin hepatits B. Seseorang dengan hasil HBsAg

Universitas Sumatera Utara

negatif dan tidak ada kadar HBs (atau titer kurang dari 10 UI/ml), memberikan arti
bahwa orang tersebut tidak sedang menderita infeksi VHB dan tidak memiliki
perlindungan terhadap VHB sehingga ia perlu mendapatkan vaksin hepatitis B.
Namun, bila seseorang telah memiliki kadar anti HBs tinggi lebih dari 100 UI/ml, ia
tidak perlu mendapatkan aksinasi hepatitis B(Mast EE, Weinbaum CM, Fiore AE, et
al 2006).
d) Pemeriksaan DNA virus
Pemeriksaan DNA HBV dilakukan dengan metoda molekuler yaitu metode PCR.
Hasil pemeriksaan dapat dilaporkan secara kuantitatif maupun kualitatif.
Dikenal dua macam cara pencegahan yaitu dengan hepatitis B immune globin
(HBIG) dan hepatitis B vaksin. Penggunaan HBig adalah untuk mencegah infeksi
VHB secara aktif dan mendapatkan imunitas dalam jangka waktu yang lama.
Hubungi dokter anda untuk pencegahan infeksi VHB.

2.2.7.

Patogenesis
Virus tidak langsung membunuh hepatosit. Respon kekebalan host terhadap

antigen virus diduga menjadi penyebab cedera hati pada infeksi HBV. (Ganem D,
Prince AM 2004) Respon imun seluler, daripada respon imun humoral, tampaknya
terutama terlibat dalam patogenesis penyakit. (Guidotti LG, Rochford R, Chung J, et
al 1999) Induksi respon T-limfosit antigen-spesifik diperkirakan terjadi ketika tuan
rumah limfosit T disajikan dengan epitop virus dengan sel antigen-presenting dalam
organ limfoid. Sel-sel T antigen-spesifik matang dan berkembang dan kemudian
bermigrasi ke hati. Pada infeksi HBV akut, sebagian HBV DNA dibersihkan dari
hepatosit melalui efek noncytocidal produk sampingan inflamasi CD8 + T limfosit,
dirangsang oleh CD4 + limfosit T, terutama interferon-gamma dan tumor necrosis
factor-alfa. Ini menyebabkan downregulation replikasi virus, dan lisis langsung
memicu hepatosit yang terinfeksi oleh sel T HBV-spesifik CD8 + sitotoksik.
(Guidotti LG, Ishikawa, Hobbs MV et al 1996) Sebaliknya, orang dengan infeksi
HBV kronis menampilkan lemah, jarang, dan respons sel-T yang difokuskan secara
sempit HBV-spesifik, dan sebagian besar sel mononuklear dalam hati kronis
terinfeksi HBV orang nonantigen-spesifik.

Universitas Sumatera Utara

Disebabkan adanya HBV di situs ekstrahepatik, serta kehadiran DNA sirkular
kovalen tertutup (cccDNA) dalam hepatosit, pemberantasan virus merupakan tujuan
realistis berdasarkan obat yang tersedia saat ini. DNA sirkular kovalen tertutup
berfungsi sebagai cetakan untuk transkripsi pregenomic RNA, langkah awal yang
penting dalam replikasi HBV(Chisari FV, Ferrari C, 1995). Keberadaan rombongan
cccDNA dalam hepatosit dianggap sebagai penanda persistensi virus, Malangnya
terapi saat ini belum efektif dalam memberantas cccDNA dan hanya mampu
menurunkan tingkat(Tuttleman JS, Pourcel C, Summer J 1986). Persistensi bahkan
tingkat rendah cccDNA dalam inti hepatosit telah terbukti berkorelasi dengan
peningkatan viral load setelah penghentian terapi. Selain itu, integrasi HBV DNA ke
inti hepatosit selama proses replikasi bisa menjelaskan peningkatan risiko karsinoma
hepatoseluler(Zoulim F, 2005).

2.2.8.

Pengobatan
Akut infeksi hepatitis B biasanya tidak memerlukan pengobatan karena orang

dewasa yang paling jelas infeksi tersebut secara spontan. Pengobatan antivirus awal
hanya mungkin diperlukan dalam kurang dari 1% dari pasien, infeksi yang
mengambil

kursus

sangat

agresif

(hepatitis

fulminan)

atau

yang

immunocompromised. Di sisi lain, pengobatan infeksi kronis mungkin diperlukan
untuk mengurangi risiko sirosis dan kanker hati. Individu yang terinfeksi kronis
dengan serum alanine aminotransferase meningkat terus menerus, penanda kerusakan
hati, dan DNA HBV tingkat adalah kandidat untuk terapi.
Meskipun tidak ada obat yang tersedia dapat menghapus infeksi, mereka dapat
menghentikan virus dari replikasi, sehingga meminimalkan kerusakan hati. Saat ini,
ada tujuh obat berlisensi untuk pengobatan infeksi hepatitis B di Amerika Serikat. Ini
termasuk obat antivirus lamivudine (Epivir), adefovir (Hepsera), tenofovir
(tenofovir), telbivudine (Tyzeka) dan entecavir (Baraclude) dan dua modulator sistem
kekebalan interferon alfa-2a dan pegylated interferon alfa-2a (Pegasys). Penggunaan
interferon, yang membutuhkan suntikan harian atau tiga kali seminggu, telah
digantikan oleh long-acting pegylated interferon yang disuntikkan hanya sekali
seminggu.

Universitas Sumatera Utara

Bayi lahir dari ibu yang diketahui membawa hepatitis B dapat diobati dengan
antibodi terhadap virus hepatitis B (hepatitis B immune globulin atau HBIG). Ketika
diberikan dengan vaksin dalam waktu dua belas jam setelah kelahiran, risiko tertular
hepatitis B adalah berkurang 90%. Perawatan ini memungkinkan seorang ibu untuk
menyusui anaknya aman. Pada bulan Juli 2005, peneliti dari A STAR * dan National
University of Singapore mengidentifikasi hubungan antara protein pengikat DNA
milik kelas protein heterogen ribonucleoprotein K nuklir (hnRNP K) dan replikasi
HBV pada pasien. Mengontrol tingkat hnRNP K dapat bertindak sebagai pengobatan
yang mungkin untuk HBV.

2.2.9.

Pencegahan
Beberapa vaksin telah dikembangkan untuk pencegahan infeksi virus hepatitis B.

Ini bergantung pada penggunaan salah satu protein amplop virus (antigen permukaan
hepatitis B atau HBsAg). Vaksin ini awalnya dibuat dari plasma yang diperoleh dari
pasien yang mengalami infeksi virus hepatitis B lama. Namun, saat ini, ini lebih
sering dibuat dengan menggunakan teknologi DNA rekombinan, meskipun vaksin
plasma yang diturunkan terus digunakan, dua jenis vaksin yang sama efektif dan
aman.
Setelah vaksinasi, hepatitis B surface antigen dapat dideteksi dalam serum
selama beberapa hari, ini dikenal sebagai antigenaemia vaksin. Vaksin ini diberikan
baik dalam dua-, tiga, atau empat jadwal dosis ke bayi dan orang dewasa, yang
memberikan perlindungan bagi 85-90% dari individu. Perlindungan telah diamati 12
tahun terakhir pada individu yang menunjukkan respon awal yang memadai untuk
program utama vaksinasi, dan kekebalan yang diprediksi bertahan setidaknya 25
tahun.
Berbeda dengan hepatitis A, hepatitis B umumnya tidak menyebar melalui air
dan makanan. Sebaliknya, ditularkan melalui cairan tubuh. Pencegahan demikian
menghindari penularan tersebut dan kontak seksual tanpa pelindung.

2.3. Hepatitis B pada Pasien HIV/AIDS

Universitas Sumatera Utara

Koinfeksi dengan virus hepatitis B umum terjadi, dengan 70-90% penderita
HIV di Amerika Serikat juga terinfeksi oleh virus hepatitis B. 90% penderita HIV
yang menggunakan jarum suntik tidak steril juga terpapar oleh hepatitis B (anti-HBc
positif) dan 60% memiliki

riwayat

infeksi

dengan

adanya antibodi

permukaan

hepatitis B (anti-HBs) (Rodriguez- Mendez ML 2000).
Sindrom klinis pada infeksi hepatitis virus akut umumnya tidak spesifik dan disertai
gejala gastrointestinal, seperti
didapatkan

malaise, anoreksia, mual dan muntah. Selain itu juga

gejala-gejala flu, faringitis, batuk, sakit

kepala, mialgia dan lain-lain.

Orang yang terinfeksi HIV juga memiliki gejala-gejala seperti fatigue, malaise,
dannausea, sehingga terkadang

infeksi campuran oleh virus hepatitis tidak

nampak(CDC 2005). Koinfeksi HIV oleh virus hepatitis tidak mempengaruhi penyakit
oleh HIV tersebut maupun perkembangannya menjadi AIDS, tetapi HIV mempengaruhi
hepatitis B dengan meningkatnya progresifitas menjadi sirosis hati serta gagal hati(Levin
J 2005).Akan tetapi, sebuah studi terbaru yang dilakukan di Virginia menunjukkan bahwa
progresifitas terjadinya fibrosis pada pasien koinfeksi dan monoinfeksi adalah sama
berdasarkan pemeriksaan biopsi hati(Bradford D 2008).
Virus hepatitis B (HBV) dan human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus
yang ditularkan melalui darah yaitu melalui hubungan seksual dan penggunaan narkoba
suntikan. Karena mode ini bersama penularan, proporsi tinggi orang dewasa berisiko
terinfeksi HIV juga berisiko untuk infeksi HBV. Orang HIV-positif yang terinfeksi virus
Hepatitis B (HBV) berada pada peningkatan resiko untuk mengembangkan infeksi HBV
kronis dan harus diuji. Selain itu, orang-orang yang koinfeksi dengan HIV dan HBV
dapat memiliki komplikasi medis yang serius, termasuk peningkatan risiko morbiditas
dan mortalitas terkait hati. Untuk mencegah infeksi HBV pada orang yang terinfeksi HIV,
Komite Penasehat Praktek Imunisasi merekomendasikan yang universal Hepatitis B
vaksinasi pasien rentan dengan HIV / AIDS.

2.4. Terapi ARV untuk koinfeksi Hepatitis B

Universitas Sumatera Utara

Hepatitis B dan HIV mempunyai beberapa kemiripan karakter, di antaranya adalah
merupakan blood-borne disease, membutuhkan pengobatan seumur hidup, mudah terjadi
resisten terutama jika digunakan monoterapi dan menggunakan obat yang sama yaitu
Tenofovir, lamivudine dan emtricitabine. Entecavir, obat anti hepatits B mempunyai efek
anti retroviral pada HIV juga akan tetapi tidak digunakan dalam pengobatan HIV.
Perlu diwaspadai timbulnya flare pada pasien ko-infeksi HIV- Hep B jika
pengobatan HIV yang menggunakan TDF/3TC dihentikan karena alasan apapun.Mulai
ART pada semua individu dengan ko-infeksi HIV/HBV yang memerlukan terapi untuk
infeksi HBV-nya (hepatitis kronik aktif), tanpa memandang jumlah CD4 atau stadium
klinisnya. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) merekomendasikan memulai
terapi hepatitis B pada infeksi hepatitis B kronik aktif jika terdapat peningkatan
SGOT/SGPT lebih dari 2 kali selama 6 bulan dengan HBeAg positif atau HBV DNA
positif. Adanya rekomendasi tersebut mendorong untuk dilakukan diagnosis HBV pada
HIV dan terapi yang efektif untuk ko-infeksi HIV/HBV. Gunakan paduan antiretroviral
yang mengandung aktivitas terhadap HBV dan HIV, yaitu TDF + 3TC atau FTC untuk
peningkatan respon VL HBV dan penurunan perkembangan HBV yang resistensi obat.
Pada pengobatan ARV untuk koinfeksi hepatitis B perlu diwaspadai munculnya
hepatic flare dari hepatitis B. Penampilan flare khas sebagai kenaikan tidak terduga dari
SGPT/SGOT dan munculnya gejala klinis hepatitis (lemah, mual, nyeri abdomen, dan
ikterus) dalam 6-12 minggu pemberian ART. Flares sulit dibedakan dari reaksi toksik
pada hati yang dipicu oleh ARV atau obat hepatotoksik lainnya seperti kotrimoksasol,
OAT, atau sindrom pulih imun hepatitis B. Obat anti Hepatitis B harus diteruskan selama
gejala klinis yang diduga flares terjadi. Bila tidak dapat membedakan antara kekambuhan
hepatitis B yang berat dengan gejala toksisitas ARV derajat 4, maka terapi ARV perlu
dihentikan hingga pasien dapat distabilkan. Penghentian TDF, 3TC, atau FTC juga dapat
menyebabkan hepatic flare (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25