Peran Pemerintah Untuk Meningkatkan Penggunaan Produk Industri Dalam Negeri Melalui Pengadaan Barang Dan Jasa Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian Chapter III V

BAB III
ASPEK HUKUM PENGADAAN BARANG DAN JASA MENURUT
PERATURAN PRESIDEN (PERPRES) NOMOR 54 TAHUN 2010
TENTANG PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

A.

Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa

1.

Tinjauan Umum Pengadaan Barang dan Jasa

a.

Perkembangan Pengadaan Barang dan Jasa
Pengadaan barang dan jasa merupakan suatu kegiatan dalam rancangan

kerja untuk memenuhi kebutuhan bagi pengguna barang maupun jasa atau yang
memberi pekerjaan. Barang yang dimaksud adalah setiap benda berwujud maupun
tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak yang merupakan kebutuhan

pengguna barang tersebut. 66 Sedangkan jasa yang dimaksud terdiri dari input,
proses, dan/atau output.67 Dari defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pengadaan barang jauh lebih sederhana dibandingkan dengan jasa. Untuk
pengadaan barang, utamanya dilihat dari output saja. Sementara itu, proses tidak
lebih dari sekedar pelengkap. 68
Pengadaan

barang

dan

jasa

dimulai

dari

adanya

transaksi


pembelian/penjualan barang di pasar secara langsung (tunai). Kemudian
berkembang kearah pembelian berjangka waktu pembayaran, dengan membuat

66

Perpres Nomor 54 Tahun 2010, Pasal 1 angka 14 dan lihat juga Pasal 503-518 BW.
Perpres Nomor 54 Tahun 2010, Pasal 15-17 dan jasa masuk ke dalam ketegori barang
tidak berwujud, misalnya jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan pendidikan, jasa konsultasi,
jasa supervisi, jasa manajemen, dll.
68
Samsul Ramli, Bacaan Wajib Sertifikasi Ahli Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
(Cetakan I: Jakarta: Visi Media, 2014), hlm. 6.
67

Universitas Sumatera Utara

dokumen pertanggungjawaban (pembeli dan penjual), dan pada akhirnya melalui
pengadaan dan proses pelelangan. Dalam prosesnya, pengadaan barang dan jasa
melibatkan beberapa pihak terkait, sehingga perlu ada etika, norma, dan prinsip

pengadaan barang dan jasa, untuk dapat mengatur atau yang dijadikan dasar
penetapan kebijakan pengadaan barang dan jasa. 69
Banyaknya jumlah dan jenis barang yang akan dibeli, tentunya akan
membutuhkan waktu lama bila harus dilakukan tawar menawar, biasanya
pengguna akan membuat daftar jumlah dan jenis barang yang akan dibeli secara
tertulis, yang selanjutnya diserahkan kepada penyedia barang agar mengajukan
penawaran secara tertulis pula. Daftar barang yang disusun secara tertulis tersebut
merupakan asal-usul dokumen pembelian, sedangkan penawaran harga yang
dibuat secara tertulis merupakan asal usul dokumen penawaran. 70
Pada perkembangan selanjutnya, pihak pengguna menyampaikan daftar
barang yang akan dibeli tidak hanya kepada satu tetapi kepada beberapa penyedia
barang. Dengan meminta penawaran kepada beberapa penyedia barang, pengguna
dapat memilih harga penawaran yang paling murah dari setiap jenis barang yang
akan dibeli. Cara yang demikian merupakan cika-bakal pengadaan barang dengan
cara lelang. Namun demikian, pembelian barang tidak terbatas pada pembelian
barang yang telah ada di pasar saja, tetapi juga pembelian barang yang belum
tersedia di pasar. Pembelian barang yang belum ada di pasar dilakukan dengan
cara pesanan. Agar barang yang dipesan dapat dibuat seperti yang diinginkan,

69


Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai
Permasalahannya, (Edisi I: Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm 1.
70
Ibid., hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara

maka pihak pemesan (pengguna) menyusun nama, jenis, jumlah barang yang
dipesan beserta spesifikasinya secara tertulis dan menyerahkannya kepada pihak
penyedia barang. Dokumen ini selanjutnya disebut dokumen pemesanan barang
yang menjadi cikal-bakal dokumen lelang. 71
Pengadaan barang dengan cara pemesanan ternyata tidak terbatas pada
pesanan barang bergerak, tetapi juga barang tidak bergerak seperti rumah, gedung,
jembatan, bendungan dan lain-lainnya. Untuk pemesanan barang berupa
bangunan, pihak pengguna biasanya menyediakan gambar rencana atau gambar
teknis dari bangunan yang dipesan. Pemesanan atau pengadaan barang berupa
bangunan tersebut merupakan asal-usul pengadaan pekerja pemborongan yang
kemudian disebut pengadaan jasa pemborongan. 72
b.


Hakikat Pengadaan Barang dan Jasa
Pengadaan barang dan jasa atau dalam istilah asing disebut sebagai

procurement muncul karena adanya kebutuhan akan suatu barang atau jasa, mulai
dari pensil, seprei, aspirin untuk kebutuhan rumah sakit, bahan bakar kendaraan
milik pemerintah, peremajaan mobil dan armada truk, peralatan sekolah dan
rumah sakit, perlengkapan perang untuk instansi militer, perangkat ringan atau
berat untuk perumahan, pembangunan, untuk jasa konsultasi serta kebutuhan jasa
lainnya (seperti pembangunan stasiun pembangkit listrik atau jalan tol hingg

71
72

Loc. Cit..
Adrian Sutedi, Edisi I, Ibid., hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara

menyewa jasa konsultan bidang teknik, keuangan, hukum atau fungsi konsultasi

lainnya). 73
Istilah pengadaan barang dan jasa atau procurement diartikan secara luas,
mencakup penjelasan dari tahap persiapan, penentuan dan pelaksanaan atau
administrasi tender untuk pengadaan barang, lingkup pekerjaan atau jasa lainnya.
Pengadaan barang dan jasa juga tak hanya sebatas pada pemilihan rekanan proyek
dengan bagian pembelian (purchasing) atau perjanjian resmi kedua belah pihak
saja, tetapi mencakup seluruh proses sejak awal perencanaan, persiapan, perijinan,
penentuan pemenang tender hingga tahap pelaksanaan dan proses administrasi
dalam pengadaan barang, pekerjaan atau jasa seperti jasa konsultasi teknis, jasa
konsultasi keuangan, jasa konsultsi hukum atau jasa lainnya. 74
Berdasarkan uraian dan pengertian tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa
filosofi pengadaan barang dan jasa adalah upaya untuk mendapatkan barang dan
jasa yang diinginkan dengan dilakukannya atas dasar pemikiran yang logis dan
sistematis (the system of thought), mengikuti norma dan etika yang berlaku,
berdasarkan metoda dan proses pengadaan yang baku. 75
c.

Para Pihak 76
Pengadaan barang/jasa melibatkan beberapa pihak. Para pihak ini terbagi


menjadi dua yaitu pengguna dan penyedia. Di sisi pengguna, struktur para pihak
dibagi sesuai dengan tugas pokok, fungsi, dan kewenangan dalam setiap tahapan.
1)

Pengguna Anggaran
73

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai
Permasalahannya, (Edisi II: Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm 3.
74
Ibid., hlm. 4.
75
Ibid., hlm. 5.
76
Samsul Ramli, Op. Cit., hlm.24.

Universitas Sumatera Utara

Pengguna anggaran (PA) adalah pejabat pemegang kewenangan pengguna
anggaran kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah atau pejabat

yang disamakan pada institusi lain pengguna APBN/APBD.
Wewenang pengguna anggaran oleh presiden selaku kepala pemerintahan
dikuasakan

kepada

menteri/pimpinan

lembaga

atas

kementerian

negara/lembaga yang dipimpinnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 2
Undang-Undang Nomo 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Sementera untuk daerah, presiden menyerahkan kekuasaan pemerintahan
kepada kepala daerah. Kepala daerah kemudian menguasakan kewenangan
pengguna anggaran kepada kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD)
yang diatur dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005

tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Tugas Pengguna Anggaran (PA),
sebagai berikut.
a)

Menetapkan dan mengumumkan rencana umum pengadaan (RUP).

b)

Mengawasi pelaksanaan anggaran.

c)

Menetapkan PKK, PP, PPHP, tim teknis, dan tim juri.

d)

Menetapkan

pemenang


pengadaan,

yakni:

barang/pekerjaan

konstruksi/jasa lainnya > Rp100 miliar dan Jasa konsultansi > Rp10
miliar.

2)

e)

Pelaporan keuangan.

f)

Menyimpan seluruh dokumen.

g)


Menyelesaikan perselisihan pihak yang diangkat.

Kuasa Pengguna Anggaran

Universitas Sumatera Utara

Kuasa pengguna anggaran (KPA) adalah pejabat yang ditetapkan oleh PA
untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh kepala daerah untuk
menggunakan APBD. Tugas pokok KPA adalah melaksanakan sebagian
kewenangan pengguna anggaran yang dilimpahkan kepadanya.
3)

Pejabat Pembuat Komitmen
Pejabat pembuat komitmen (PKK) adalah pejabat yang bertanggung jawab
atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Tugas pokok PKK, sebagai
berikut.
a)

Menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah
(spesifikasi teknis, harga perkiraan sendiri (HPS), dan rancangan
kontrak).

b)

Menerbitkan surat penunjukan penyedia barang/jasa (SPPBJ) dan
menandatangani kontrak.

c)

Melaksanakan dan mengendalikan kontrak.

d)

Melaporkan kemajuan pekerjaan dan hambatannya.

e)

Melaporkan pelaksanaan dan menyerahkan hasil pekerjaan.

f)

Menyimpan seluruh dokumen pelaksanaan.

PKK dilarang mengadakan ikatan perjanjian dengan menandatangani
kontrak untuk penyedia barang/jasa apabila belum tersedia anggaran atau
tidak cukup tersedia anggaran yang dapat mengakibatkan dilampauinya
batas anggaran yang tersedia untuk kegiatan yang dibiayai dari
APBN/APBD.
4)

Unit Layanan Pengadaan (ULP)

Universitas Sumatera Utara

Unit

Layanan

pengadaan

kementerian/lembaga/pemerintah

(ULP)

adalah

unit

organisasi

daerah/institusi

yang

berfungsi

melaksanakan pengadaaan barang/jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri
sendiri, atau melekat pada unit yang sudah ada.
5)

Kelompok kerja ULP
Kelompok kerja adalah tim kepanitiaan berjumlah gasal yang dibentuk oleh
unit layanan pengadaan untuk melaksanakan proses pemilihan penyedia.

6)

Pejabat Pengadaan
Pejabat pengadaan adalah personel yang ditunjuk untuk melaksanakan
pengadaan langsung.

7)

PPHP
Panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan (PPHP) adalah panitia/pejabat yang
ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil
pekerjaan.

8)

Penyedia
Penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang
menyediakan barang/pekerjaan konstruksi/jasa konsultansi/jasa lainnya.

2.

Etika, Norma, dan Prinsip Pengadaan Barang dan Jasa
Pengadaan barang dan jasa pada dasarnya melibatkan dua pihak yaitu pihak

pengguna barang/jasa dan pihak penyedia barang/jasa, tentunya dengan
keinginan/kepentingan berbeda bahkan dapat dikatakan bertentangan. Pihak
pengguna barang/jasa menghendaki memperolah barang dan jasa dengan harga
semurah-murahnya, sedang pihak penyedia barang/jasa dalam menyediakan

Universitas Sumatera Utara

barang/jasa sesuai kepentingan pengguna barang/jasa ingin mendapatkan
keuntungan yang setinggi-tingginya. Dua keinginan/kepentingan ini akan sulit
dipertemukan kalau tidak ada saling pengertian dan kemauan untuk mencapai
kesepakatan. Untuk itu perlu adanya etika dan norma yang harus disepakati dan
dipatuhi bersama. 77
a.

Etika Pengadaan Barang dan Jasa
Etika adalah asas-asas akhlak/moral (Kamus Umum Bahasa Indonesia asas-

asas adalah dasar-dasar atau pondasi atau sesuatu kebenaran yang menjadi dasar
atau tumpuan berfikir. akhlak adalah watak, tabiat, budi pekerti sedangkan moral
adalah perbuatan baik-buruk). Etika dalam pengadaan barang dan jasa adalah
perilaku yang baik dari semua pihak yang terlibat dalam proses pengadaan. Yang
dimaksud perilaku yang baik adalah perilaku untuk saling menghormati terhadap
tugas dan fungsi masing-masing pihak, bertindak secara profesional, dan dan tidak
saling mempengaruhi untuk maksud tercela atau untuk kepentingan/ keuntungan
pribadi dan atau kelompok dengan merugikan pihak lain. 78
Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi
etika sebagai berikut.79
1)

Melaksanakan tugas secara tertib disertai rasa tanggung jawab untuk
mencapai sasaran, kelancaran, dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan
barang/jasa.

77

Adrian Sutedi, Edisi II, Ibid., hlm. 39.
Loc. Cit.
79
Samsul Ramli, Op. Cit., hlm. 23.

78

Universitas Sumatera Utara

2)

Bekerja secara profesional, mandiri, dan menjaga kerahasiaan dokumen
pengadaan barang/jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk
mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa.

3)

Tidak saling mempengaruhi baik, langsung maupun tidak langsung yang
berakibat terjadinya persaingan tidak sehat.

4)

Menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan
sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak.

5)

Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak
yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses
pengadaan barang/jasa.

6)

Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran
keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa.

7)

Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi
dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan

atau pihak lain yang

secara langsung atau tidak langsung merugikan negara.
8)

Tidak menerima, menawarkan, atau menjanjikan untuk memberi atau
menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan apapun dari atau kepada
siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan
barang/jasa.
Dari uraian di atas maka perbuatan yang tidak patut dilakukan dan sangat

bertentangan dengan etika pengadaan adalah apabila salah satu pihak atau secara
bersama-sama melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Pengadaan barang dan jasa dapat menjadi titik rawan terjadinya praktek KKN,

Universitas Sumatera Utara

oleh karena itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan mutu pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa. Upaya tersebut diantaranya dapat dilakukan melalui
penyempurnaan

peraturan

perundang-undangan

yang

berkaitan

dengan

pengadaan, meningkatkan profesionalisme para pelaku pengadaan, meningkatkan
pengawasan serta penegakan hukum. 80
b.

Norma Pengadaan Barang dan Jasa
Agar tujuan pengadaan barang dan jasa dapat tercapai dengan baik, maka

semua pihak yang terlibat dalam proses pengadaan harus mengikuti norma yang
berlaku. Suatu norma baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena
norma pada dasarnya mengatur tata cara bertingkah laku seseorang terhadap orang
lain atau terhadap lingkungannya. 81
Sebagaimana norma lain yang berlaku, norma pengadaan barang dan jasa
terdiri dari norma tidak tertulis dan norma tertulis. Norma tidak tertulis pada
umumnya adalah norma yang bersifat ideal, sedangkan norma tertulis pada
umumnya adalah norma yang bersifat operasional. Norma ideal pengadaan barang
dan jasa antara lain tersirat dalam pengertian tentang hakekat, filosofi, etika,
profesionalisme dalam bidang pengadaan barang dan jasa. Sedangkan norma
pengadaan barang dan jasa bersifat operasional pada umunya telah dirumuskan
dan dituangkan dalam peraturang perundang-undangan yaitu berupa undangundang, peraturan, pedoman, petunjuk, dan bentuk produk statuter lainnya. 82
c.

Prinsip Pengadaan Barang dan Jasa
80

Adrian Sutedi, Edisi II, Op. Cit., hlm. 40.
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, (Jakarta: Kanisius, 1998), hlm. 6.
82
Adrian Sutedi, Edisi II, Op. Cit., hlm. 41.
81

Universitas Sumatera Utara

Prinsip Pengadaan adalah tata nilai utama yang harus dipenuhi dalam setiap
proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Tata nilai ini mencakup keseluruhan
proses. Ada tujuh prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah yang diatur dalam
Perpres Nomor 54 Tahun 2010, yaitu: 83
1)

Efisien, berarti pengadaan barang/jasa menggunakan dana dan daya yang
minimal untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan
atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan
kualitas yang maksimal. Kata kunci terkait prinsip ini adalah hemat yaitu
hemat sumber daya dan sumber dana.

2)

Efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan
sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesarbesarnya. Kata kunci prinsip ini adalah tepat, yaitu tepat kualitas, kuantitas,
waktu, tempat, dan/atau harga yang selalu ada di bagian akhir.

3)

Transparan,

berarti

semua

ketentuan

dan

informasi

mengenai

pengadaan barang/jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh
penyedia
umumnya.

barang/jasa
Salah

satu

yang

berminat

penerapan

serta oleh

prinsip

ini

masyarakat

adalah

pada

memberikan

informasi variabel-variabel yang digunakan dalam evaluasi penawaran
kepada publik. Dengan demikian, publik tidak hanya penyedia, tetapi
juga masyarakat mengetahui kriteria penilaian yang akan digunakan dalam
pemilihan penyedia. Kata kunci prinsip ini adalah memberikan informasi
kepada publik.

83

Samsul Ramli, Op. Cit., hlm. 18

Universitas Sumatera Utara

4)

Terbuka, berarti pengadaan barang/jasa dapat diikuti oleh semua
penyedia

barang/jasa

yang

memenuhi

persyaratan/kriteria

tertentu

berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas.
5)

Bersaing, berarti pengadaan barang/jas harus dilakukan melalui persaingan
yang sehat di antara sebanyak mungkin penyedia barang/jasa yang setara
dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh barang/jasa yang
ditawarkan secara kompetetif dan tidak ada intervensi yang mengganggu
terciptanya mekanisme pasar dalam

6)

pengadaan barang/jasa.

Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi
semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi
keuntungan

kepada

kepentingan

nasional.

pihak

tertentu,

Contoh

dengan

perlakuan

tetap

memperhatikan

diskriminatif

ini

adalah

pemberlakuan persyaratan “setempat”, misalnya wajib mempunyai KTP
setempat atau kartu anggota asosiasi setempat.
7)

Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang

terkait

dengan pengadaan barang/jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Artinya, setiap keputusan yang diambil dalam proses pengadaan harus dapat
dipertanggungjawabkan dasar hukumnya.
3.

Kebijakan Umum Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
Kebijakan umum pengadaan barang/jasa pemerintah bertujuan untuk

menciptakan sinergi antara ketentuan pengadaan barang/jasa dan kebijakankebijakan di sektor lainnya. Langkah-langkah kebijakan yang akan ditempuh

Universitas Sumatera Utara

pemerintah dalam pengadaan barang/jasa sebagaimana diatur dalam Perpres
Nomor 54 Tahun 2010, sebagai berikut.84
a.

Peningkatan penggunaan produksi barang/jasa dalam

negeri yang

sasarannya untuk memperluas kesempatan kerja dan basis industri dalam
negeri dalam rangka meningkatkan ketahanan ekonomi dan daya saing
nasional.
b.

Kemandirian industri pertahanan, industri alat utama sistem senjata
(Alutsista) dan industri alat material khusus (Almatsus) dalam negeri.

c.

Peningkatan peran serta usaha mikro, usaha kecil, koperasi kecil, dan
kelompok masyarakat dalam pengadaan barang/jasa.

d.

Perhatian

terhadap

pelestarian

fungsi

aspek

pemanfaatan

lingkungan hidup

sumber

daya

secara arif untuk

alam

dan

menjamin

terlaksananya pembangunan berkelanjutan.
e.

Peningkatan penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik.

f.

Penyederhanaan ketentuan dan tata cara untuk mempercepat proses
pengambilan keputusan dalam pengadaan barang/jasa.

g.

Peningkatan profesionalisme, kemandirian, dan tanggung jawab para
pihak yang terlibat dalam perencanaan dan proses pengadaan barang/jasa.

h.

Peningkatan penerimaan negara melalui sektor perpajakan.

i.

Penumbuhkembangan peran usaha nasional.

j.

Penumbuhkembangan industri kreatif inovatif, budaya dan hasil penelitian
laboratorium atau institusi pendidikan dalam negeri.

84

Samsul Ramli, Ibid., hlm. 21.

Universitas Sumatera Utara

k.

Memanfaatkan sarana/prasarana penelitian dan pengembangan dalam
negeri.

l.

Pelaksanaan pengadaan barang/jasa di dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, termasuk di Kantor Perwakilan Republik Indonesia.

m.

Pengumuman secara terbuka

rencana dan

pelaksanaan pengadaan

barang/jasa di masing-masing kementerian/lembaga/satuan kerja Pemerintah
Daerah/Institusi lainnya kepada masyarakat luas.
4.

Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa melalui Pemberian Pinjaman
Perjanjian pinjaman luar negeri merupakan salah satu perjanjian yang

dikenal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengadaan Pinjaman, Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan Hibah
Luar Negeri. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tidak disebutkan
secara eksplisit tentang pengertian perjanjian pinjaman luar negeri. Hal yang
disebutkan secara eksplisit dalam peraturan pemerintah itu, hanya berkaitan
dengan pinjaman luar negeri dan naskah perjanjian pinjaman luar negeri
(NPPLN). Pengertian pinjaman luar negeri kita temukn dalam Pasal 1 angka 4
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006. Pinjaman luar negeri adalah setiap
penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan,
rupiah, maupun dalam bentuk barang/jasa yang diperoleh dari pemberian
pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. 85

85

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di luar KUH Perdata, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2008), hlm. 47.

Universitas Sumatera Utara

a.

Lembaga Keuangan Internasional (International Financial Institution –
IFIS) 86
Lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan

Asia, Bank Pembangunan Afrika, Bank Pembangunan InterAmerika, Bank Eropa
untuk rekonstruksi dan pembangunan dan bank-bank pembangunan nasional
(seperti Kreditanstalt fur Wiederaufbau di Jerman) selama bertahun-tahun telah
mengembangkan peraturan mengenai pengadaan barang dan jasa sesuai
kepentingan mereka. Panduan Bank Dunia tentang pengadaan barang dan jasa
(termasuk mengenai penentuan konsultan) merupakan sistem yang paling
kompleks dan juga telah diadopsi lembaga keuangan lainnya.
Panduan ini juga memasukkan sistem yang terbukti berhasil mengurangi
korupsi, namun karena sistem ini dijalankan oleh staf pemerintahan, peserta
tender dan staf lembaga keuangan internasional, menyebabkan sistem ini sangat
rentan. Dimana staf lembaga keuangan internsional dapat terlibat dalam kasus
suap bersama peserta tender. Modus adalah keengganan menerapkan transparansi
penuh dalam sistem pengadaan barang dan jasa. Meski masih memiliki
kelemahan, namun panduan Bank Dunia ini masih merupakan standar
internasional yang terbaik saat ini.
b.

Kredit Ekspor dan Lembaga Penjamin Kredit Ekspor (ECAS) 87
Banyak

pemerintah

menawarkan

ekspor

dan

penanaman

modal

internasional ke perusahaan-perusahaan domestik dengan cara menyediakan
dukungan keuangan dalam bentuk kredit atau asuransi ekspor penanaman modal.
86
87

Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 43.
Ibid., hlm. 44.

Universitas Sumatera Utara

Lembaga

penjamin

kredit

ekspor

(selanjutnya

disebut

ECAS)

banyak

menyediakan dukungan dalam penjualan dan pembelian proyek infrastruktur di
seluruh dunia.
Sebelumnya hanya ECAS yang menjadi anggota kelompok negara-negara
maju (OECD) yang mendukung upaya mengidentifikasi korupsi dan menolak
perlindungan bagi pelaku korupsi. Dukungan ini diperkuat lagi dengan Action
Agreement yang dilakukan oleh OECD Export Credit Working Group pada bulan
April 2006. Meski masih menuai tantangan saat akan ditetapkan di seluruh dunia,
Action Agreement 2006 ini menjadi alat yang penting untuk mencegah dan
mengawasi praktik korupsi dalam transaksi-transaksi bisnis Internasional,
diantaranya:
a)

ECAS menginformasikan adanya konsekuensi hukum atas tindakan
penyuapan kepada para eksportir;

b)

Persyaratan bagi perusahaan penjamin untuk memasukan surat pernyataan
bahwa kontrak ekspor yang didanai atau dijaminnya, tidak didapat dengan
cara suap atau korupsi;

c)

Kemungkinan bagi ECAS untuk menerapkan secara efektif sanksi dan
hukuman lainnya jika terjadi pelanggaran;

d)

Kemungkinan bagi ECAS untuk meminta informasi tentang para agen,
komisi yang diterima dan mandatnya kepada para eksportir;

e)

Kemungkinan bagi ECAS untuk mengumumkan ekspor yang disetujui.

Universitas Sumatera Utara

c.

Bank Komersial
Bank-bank komersial sebenarnya memegang peran penting dalam

pencegahan korupsi dan memantau transaksi bisnis. Meski hal ini jarang sekali
dilakukan. Bank-bank tersebut lebih sering berperan sebagai penyedia informasi
yang dapat menjadi indikasi kuat terjadinya korupsi yang melibatkan agen di luar
negeri, terutama pembayaran komisi dan kontrak yang tidak jelas, pergerakan
uang untuk pajak pendapatan dan ketidakjelasan struktur kepemilikan perusahaan.
Seharusnya, bank-bank tersebut dapat menerapkan due diligence 88 kepada
nasabahnya serta meningkatkan ketertarikan untuk mengurangi resiko sekaligus
mengurangi resiko korupsi.
d.

Lembaga Donor89
Lembaga donor memiliki peran penting dalam pelaksanaan sistem

transparansi dan akuntabilitas, baik diluar kegiatan yang didanai maupun kegiatan
operasionalnya sendiri. Setiap lembaga donor memiliki sistem pengadaan barang
dan jasa sendiri, yang masih memilki kelemahan dari sisi transparansi dalam mata
rantai proyek yang mereka danai. Kesulitan yang muncul adalah ketika terjadi
disharmoni antara penerapan aturan donor dengan peraturan di negara yang
didanainya. Namun hal ini telah di bahas secara mendalam melalui Increasing Aid
88

Due diligence adalah istilah yang digunakan untuk kegiatan pemeriksaan secara
seksama dari segi hukum yang dilakukan oleh konsultan hukum terhadap suatu perusahaan atau
obyek transaksi sesuai dengan tujuan transaksi, untuk memperoleh informasi atau fakta material
yang dapat menggambarkan kondisi suatu perusahaan atau obyek transaksi. Pemeriksaan dan
penilaian yang dilakukan oleh konsultan hukum tersebut (Legal Due Diligence), merupakan suatu
analisa hukum terhadap satu atau lebih dokumen perusahaan yang dilakukan untuk: 1. memperoleh
status hukum atau penjelasan hukum terhadap dokumen yang diaudit atau diperiksai; 2.
Memeriksa legalitas suatu badan hukum/badan usaha; 3. Memeriksa tingkat ketaatan suatu badan
hukum/badan usaha; 4. memberikan pandangan hukum atau kepastian hukum dalam suatu
kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan. “Strategi Pembuatan Legal Due Diligence yang Tanpa
Celah”, www.hukumonline.com (diakses 3 Juni 2016).
89
Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 45.

Universitas Sumatera Utara

Effectiveness dalam Deklarasi Paris yang ditandatangani sebagian besar lembaga
donor dan negara-negara penerima bantuan pada tahun 2005.
Isi deklarasi Paris (dilengkapi dengan indikator perkembangan), termasuk
komitmen negara berkembang, dalam penerapan standar kerjasama saling
menguntungkan serta reformasi jangka menengah dan jangka panjang tentang
sistem pengadaan barang dan jasa. Lembaga donor juga harus berkomitmen untuk
membantu bila negara penerima bantuan yang telah menerapkan standarisasi
sistem pengadaan barang dan jasanya. Komitmen lainnya adalah lembaga donor
akan melakukan pendekatan secara terpadu bila sistem nasional negara
bersangkutan tidak berhasil menerapkan standarisasi yang diharapkan.
OECD-DAC Joint Venture on Procurement bekerjasama dengan Bank
Dunia dan pemerintah negara berkembang untuk menyepakati 4 skala peringkat
(A-D) dalam penerapan sistem pengadaan barang dan jasa di seluruh negara. Data
yang diperoleh mengacu pada indikator yang telah disetujui dalam alat
standarisasi penilaian sistem pengadaan barang dan jas OECD (the OECD
Benchmark and Assesment Tool for Public Procurement System) versi empat yang
dirilis tahun 2006.

B.

Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

1.

Prinsip dan Aturan Hukum Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah
Pengaturan

pelaksanaan

pengadaan

barang/jasa

melalui

penyedia

barang/jasa di dalam Bab VI Perpres Nomor 54 Tahun 2010, dimulai dari
persiapan pengadaan (Pasal 33) sampai dengan serah terima pekerjaan (Pasal 95).

Universitas Sumatera Utara

a.

Persiapan Pengadaan 90
Tahap persiapan pengadaan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Perpres

Nomor 54 Tahun 2010, meliputi: perencanaan pemilihan penyedia barang/jasa;
pemilihan sistem pengadaan; penetapan metode penilaian kualifikasi; penyusunan
jadwal pemilihan penyedia barang/jasa; penyusunan dokumen pengadaan, dan
penetapan HPS. Namun, sebelum masuk kedalam tahap persiapan pengadaan,
penggunaan anggaran (PA) terlebih dahulu menyusun dan menetapkan rencana
umum

pengadaan

barang/jasa

sesuai

dengan

kebutuhan

K/L/D/I

dan

mengumumkan paling tidak dalam website K/L/D/I.
Rencana itu meliputi kegiatan dan anggaran pengadaan yang akan dibiayai
oleh K/L/D/I sendiri, dan/atau kegiatan dan anggaran pengadaan yang akan
dibiayai berdasarkan kerjasama antar K/L/D/I secara pembiayaan bersama (cofinancing). Sedangkan kegiatan-kegiatan tersebut meliputi : a) identifikasi
kebutuhan barang/jasa, b) penyusunan dan penetapan rencana penganggaran, c)
penetapan kebijakan umum tentang pemaketan pekerjaan, cara pelaksanaan,
pengorganisasian pengadaan dan penetapan penggunaan produk dalam negeri, dan
d) penyusunan kerangka acuan kerja (KAK), yang paling sedikit memuat: uraian
kegiatan, waktu pelaksanaan, spesifikasi teknis barang/jasa, dan besarnya total
perkiraan biaya pekerjaan.
Sedangkan rencana pengadaan barang/jasa melalui swakelola 91 meliputi: a)
penetapan sasaran, rencana kegiatan dan jadwal pelaksanaan; b) penyusunan

90

Y. Sogar Simamora, Hukum Kontrak: Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah di Indonesia, (Edisi II, Surabaya: Wins & Partners, 2012), hlm. 130.

Universitas Sumatera Utara

jadwal pelaksanaan; c) perencanaan teknis dan penyiapan metode pelaksanaan; d)
penyusunan rencana keperluan tenaga, bahan dan peralatan secara rinci serta
dijabarkan dalam rencana kerja bulanan, rencana kerja mingguan dan/atau rencana
kerja harian; dan e) penyusunan rencana total biaya secara rinci dalam rencana
biaya bulanan dan/atau biaya mingguan yang tidak melampaui pagu anggaran.
Terkait panitia pengadaan, dalam Perpres ini lebih dikenal dengan Unit
Layanan Pengadaan (ULP) yang wajib dibentuk oleh K/L/D/I. di dalam
pelaksanaannya, pemilihan penyedia barang/jasa dilakukan Kelompok Kerja
(Pokja) ULP, yang wajib ditetapkan untuk pengadaan barang/pekerjaan
konstruksi/jasa lainnya dengan nilai diatas Rp 200.000.000,00. (dua ratus juta
rupiah), dan untuk pengadaan jasa konsultansi dengan nilai Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah). Sama halnya dengan Keppres Nomor 80 Tahun 2003,
salah satu syarat untuk dapat menjadi anggota pokja ULP/pejabat pengadaan
adalah harus memiliki sertifikat keahlian, yaitu tanda bukti pengakuan atas
kompetensi dan kemampuan profesi di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah
kecuali untuk Kepala ULP. Di samping itu terdapat tiga aspek yang harus dikuasai
atau dipahami oleh anggota Pokja ULP, yaitu: pekerjaan/kegiatan yang akan
diadakan; jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas ULP/Pokja ULP/Pejabat
Pengadaan yang bersangkutan; dan isi dokumen, metode dan prosedur pengadaan.
Sedangkan terkait dengan pembentukan Pokja ULP, sama halnya dengan Keppres
Nomor 80 Tahun 2003, Perpres ini juga menentukan bahwa keanggotaan Pokja

91

Swakelola adalah pengadaan barang/jasa dimana pekerjaannya direncanakan,
dikerjakan, dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran, instansi
pemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat. Perpres Nomor 54 Tahun 2010, Pasal 1 angka 20.

Universitas Sumatera Utara

ULP harus berjumlah gasal, paling kurang berjumlah 3 (tiga) orang, namun
Perpres Nomor 54 Tahun 2010 menambahkan bahwa keanggotaan Pokja ULP
dapat dibantu oleh tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis.
b.

Pelaksanaan Pengadaan 92
Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah dapat dilakukan

dengan dua cara, yaitu pengadaan yang dilakukan oleh penyedia barang/jasa dan
pengadaan dengan cara swakelola. 93 Pengadaan pada cara yang pertama
dibedakan menjadi dua yaitu pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya
dan pengadaan untuk jasa konsultansi. Tahap ini merupakan tahap yang sangat
penting dan menentukan dalam pencapaian tujuan pengadaan. Prinsip dasar
pengadaan, yaitu: prinsip efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak
diskriminatif dan akuntabel sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Perpres Nomor 54
Tahun 2010 hanya akan bermakna jika prosedur dan tata cara pelaksanaan
pengadaan secara konsisten mengacu pada prinsip tersebut.94

2.

Prinsip dan Aturan Hukum Dalam Tahap Pra Kontrak dan Penerapannya
Dalam Kontrak Pengadaan
Dari uraian mengenai prosedur dan tata cara pelaksanaan pengadaan

barang/jasa yang diselenggarakan dengan penyedia barang/jasa sebagaimana
ditetapkan dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 nampak bahwa sebelum terjadi
92

Y. Sogar Simamora, Op. Cit., hlm. 140.
Perpres Nomor 54 Tahun 2010, Pasal 27.
94
Pada prinsipnya pemilihan penyedia barang dan jasa dilakukan melalui metode
pelelangan atau seleksi umum. Namun demikian dalam situasi tertentu pemilihan penyedia barang
dan jasa dapat pula dilakukan dengan pelelangan atau seleksi sederhana, pelelangan terbatas,
pemilihan langsung, penunjukan langsung, pengadaan langsung, dan sayembara/kontes. Y. Sogar
Simamora, Loc. Cit.
93

Universitas Sumatera Utara

kesepakatan antara pengguna barang/jasa (pemerintah) dengan penyedia
barang/jasa terdapat tahap pemilihan penyedia barang/jasa. Terdapat beberapa
metode pemilihan tergantung dari obyek pengadaannya, yaitu pelelangan/seleksi
umum, pelelangan/seleksi sederhana, pelelangan terbatas, pemilihan langsung,
penunjukan langsung, pengadaan langsung, dan sayembara/kontes. Tahap
pemilihan penyedia barang/jasa ini merupakan tahap menuju terciptanya kontrak
bagi kedua belah pihak. Dalam kaitan ini prinsip transparansi berikut prinsip
kompetitif dan responsiveness 95 merupakan prinsip utama yang harus diterapkan
untuk mencapai tujuan pengadaan tidak saja sepadan dengan besarnya uang yang
dibelanjakan tetapi juga dari segi kualitas dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu terhadap kontrak pemerintah, termasuk kontrak pengadaan,
berlaku prinsip dan aturan yang berlaku bagi kontrak privat pada umumnya maka
prinsip dan aturan umum tentang Hukum Perikatan 96 yang terdapat dalam Bab I
sampai Bab IV, Buku III BW berlaku bagi kontrak pengadaan disamping kaidahkaidah yang terdapat dalam yurisprudensi kita. Oleh sebab itu syarat-syarat yang
diwajibkan oleh BW bagi pembentukkan kontrak sebagaimana terdapat dalam
Pasal 1320 BW 97 berlaku juga bagi kontrak pengadaan.

95

Responsiveness artinya kemampuan reaksi. www.kbbi.web.id, (diakses 6 Juni 2016).
Perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua
orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya,
sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Adapun barang
sesuatu
yang dapat dituntut dinamakan “prestasi” yang menurut undang-undang dapat berupa:
menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Subekti, “Pokok-Pokok Hukum Perdata”, (Jakarta: Intermasa, 2001), hlm. 122-123.
97
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya, 2. Kecapakan untuk membuat suatu perikatan, 3. Suatu hal tertentu, 4. Suatu
sebab yang halal. Pasal 1320 BW.
96

Universitas Sumatera Utara

Kesepakatan merupakan syarat pertama dalam pembentukan kontrak.
Dalam konteks kontrak pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah terdapat
beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum persesuaian kehendak (meeting of
minds) menuju kesepakatan itu tercapai. Tahapan tersebut adalah yang terkait
dengan persiapan dan pelaksanaan pengadaan khususnya mengenai metode
pemilihan penyedia barang dan jasa berikut evaluasi terhadap dokumen
penawaran. Pada prinsipnya pembentukan kontrak itu diawali dengan pelelangan
(tender) atau seleksi, dan dalam hal tertentu dapat pula melalui proses negosiasi.
Setelah bagian yang menjelaskan elemen kesepakatan, termasuk didalamnya
pelelangan dan seleksi sebagai bagian dari cara pembentukan kesepakatan, akan
ditelaah pula kekuatan hukum Memorandum of Understanding (MOU), syarat
kewenangan dan prinsip-prinsip dalam perancangan kontrak (contract drafting).
a.

Prinsip Konsensualisme: Penawaran dan Akseptasi 98
Prinsip konsensualisme merupakan prinsip yang sangat penting dalam

hukum kontrak, khususnya pada aspek pembentukkan. Ini merupakan syarat
mutlak dalam setiap kontrak dan berfungsi untuk menjamin kepastian hukum.
Dengan prinsip ini dipahami bahwa kontrak dianggap telah terjadi dan karenanya
mengingkat para pihak sejak tercapainya kata sepakat. Prinsip ini berlaku
universal. Setiap kelompok sistem hukum menganut prinsip ini, bahkan dalam
perkembangannya prinsip konsensualisme memperoleh penjabaran lebih detail
dalam legislasi di beberapa negara, termasuk dalam BW baru Belanda dan dalam

98

Y. Sogar Simamora, Op. Cit., hlm. 166.

Universitas Sumatera Utara

berbagai model hukum kontrak, seperti PICC dan PECL serta konvensi seperti
CISG.
Dalam Hukum Positif kita, syarat kesepakatan merupakan syarat pertama
yang tertuang dalam Pasal 1320 BW. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai
hal-hal yang berhubungan dengan kata sepakat, kecuali tentang cacat kehendak
sebagaimana di atur dari Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1328 BW. Dari
berbagai kepustakaan dapat disimpulkan bahwa kesepakatan adalah keadaan
dimana pernyataan pihak yang satu “cocok” dengan pernyataan kehendak pihak
lain. Cocok yang dimaksudkan adalah terdapat persesuaian, jadi bukan berarti
sama.
1)

Penawaran 99
Secara luas dipahami bahwa penawaran merupakan pernyataan kehendak
yang mengandung maksud untuk membuat kontrak. Penawaran dengan
demikian adalah usulan atau ajakan untuk mengadakan perjanjian. Namun
demikian tidak setiap usulan itu dapat dinilai sebagai penawaran. Dalam
penawaran harus diungkapkan secara jelas pokok yang diperjanjikan. Dalam
penawaran harus dikemukakan unsur pokok dari perjanjian. Hal yang pokok
dari perjanjian ini lazim disebut unsur essentialia. Dalam jual beli misalnya,
penawaran yang dimaksud harus mengemukakan unsur esensial dari jual
beli yakni barang dan harganya. Hal-hal yang tidak termasuk unsur pokok
tidak harus dikemukakan dalam penawaran. Apa yang terkandung dalam
penawaran secara hukum mengikat. Artinya, bila pihak lain melakukan

99

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

akseptasi maka isi penawaran itu berlaku baik mengenai unsur pokok yang
secara tegas telah dikemukakan, maupun unsur-unsur tambahan bila tentang
hal ini juga dikemukakan.

2)

Akseptasi 100
Akseptasi merupakan pernyataan penerimaan oleh pihak yang ditawari atas
penawaran yang diajukan kepadanya. Akseptasi itu meliputi syarat dan
ketentuan dalam penawarannya. Akseptasi yang bersyarat tidak dapat dinilai
sebagai akseptasi melainkan penawaran balik (counter offer). Dalam proses
negosiasi yang panjang, sering terjadi counter offer karena penerimaan tidak
cocok (match) dengan penawarannya. Apabila terjadi counter offer maka
penawaran kehilangan kekuatannya karena adanya penolakan (rejection).
Menjadi pertanyaan dalam hal terjadi counter offer, siapa yang kemudian
menjadi pihak pemberi penawaran (offeror) dalam situasi seperti itu? Dalam
kaitan ini maka yang menjadi offeror adalah pihak yang melakukan counter
offer.
Terjadinya akseptasi menandai terjadinya kesepakatan. Oleh sebab itu
penentuan waktu terjadinya akseptasi sangat penting. Hak dan kewajiban
para pihak efektif berlaku setelah kesepakatan terbentuk. Para pihak tidak
dapat menuntut sama terhadap yang lain sebelum mereka mencapai
kesepakatan. Dengan demikian para pihak hanya saling terikat pada
kewajiban kontraktualnya manakala mereka telah mencapai kesepakatan.

100

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Dalam kaitan inilah maka isu mengenai waktu terjadinya akseptasi
merupakan isu yang sangat penting dijawab.

b.

Itikad Baik Dalam Pembentukkan Kontrak dan Negosiasi 101
Dalam studi hukum kontrak modern, prinsip itikad baik (good faith)

merupakan salah satu isu yang selalu mendapatkan perhatian istimewa khususnya
dalam studi perbandingan hukum. Dikotomi civil law

dan common law,

diantaranya terletak pada penerapan prinsip ini dalam proses kontrak. Sebagai
suatu kewajiban hukum, prinsip yang berakar dari Hukum Romawi ini
berkembang kira-kira sejak tahun 1870-an pada masa kelahiran ajaran legal
positivism dan the laissez-faire theory yang menjadi basis dari teori hukum
kontrak klasik. Sekalipun terdapat perbedaan penekanan pada daya kerjanya,
prinsip ini dapat dikatakan telah diterima secara universal sebagai prinsip umum
dalam hukum kontrak sebagaimana nampak dari substansi konvensi CISG dan
model hukum PICC dan PECL.
Pada mulanya dipahami bahwa kewajiban itikad baik atau bona fides
berlaku pada saat para pihak akan melaksanakan kontrak. Walaupun itikad baik
para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap praperjanjian, secara
umum itikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian sehingga
kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya. 102

101
102

Ibid., hlm. 186.
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),

hlm. 7.

Universitas Sumatera Utara

c.

Perjanjian Pendahuluan dan Tanggung Gugatnya 103
Perjanjian pendahuluan (pactum de contrabendo) merupakan perjanjian

yang digunakan sebagai pendahuluan untuk mengadakan perjanjian lain yang
lebih pasti. Di Indonesia landasan hukum yang digunakan dalam praktek
penggunaan perjanjian pendahuluan bertumpu pada prinsip kebebasan berkontrak.
Dengan demikian dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 1320 jo. 1338 104 ayat
(1) BW. Esensi perjanjian pendahuluan adalah kesepakatan untuk membuat
perjanjian (agreed to agree). Dengan demikian apa yang disepakati dalam
perjanjian pendahuluan belum merupakan perjanjian yang sesungguhnya. Apa
yang dituangkan di dalamnya belum secara rinci mengatur hak dan kewajiban
bagi para pihak melainkan baru menentukan pokok-pokonya saja. Rincian lebih
lanjut dari perjanjian pendahuluan itu akan dituangkan ke dalam perjanjian
tertentu sesuai dengan kesepakatan mereka, misalnya jual beli, sewa-menyewa
atau joint venture.
Dalam situasi dimana terjadi pengingkaran terhadap perjanjian, perlu
dijawab pertanyaan apakah jenis perjanjian ini secara hukum mengikat dan
karenanya melahirkan kewajiban kontraktual. Seperti telah dikemukakan, tidak
ada aturan yang spesifik mengatur hal ini dalam BW. Namun demikian syarat
pembuatan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW dapat diterapkan
untuk mengukur apakah telah terpenuhi empat syarat yang diwajibkan, yakni:
kesepakatan, kecapakan, objek dan causa yang dibolehkan dalam perjanjian

103

Ibid., hlm. 193.
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Pasal 1338 ayat (1) BW.
104

Universitas Sumatera Utara

pendahuluan. Jika perjanjian pendahuluan yang dibentuk konsisten dengan makna
aslinya maka syarat objek dan causa tidak akan terpenuhi karena dalam perjanjian
pendahuluan belum secara detail diatur hak dan kewajiban bagi para pihak. Tetapi
jika substansi yang termuat dalam perjanjian pendahuluan itu telah tercerminkan
suatu kontrak maka perjanjian pendahuluan yang dimaksud tidak ada bedanya
dengan perjanjian yang sesungguhnya dan dengan demikian berlakulah maksim
Pacta Sunt Servanda. 105
Dalam kaitan dengan kontrak pengadaan, Perpres Nomor 54 Tahun 2010
tidak mengatur mengenai perjanjian pendahuluan. Setiap jenis pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa harus mengacu pada aturan dalam perpres tersebut
yang

menyangkut

metode

pemilihan

penyedia

barang/jasa,

yaitu:

pelelangan/seleksi umum, pelelangan/seleksi sederhana, pelelangan terbatas,
pemilihan

langsung,

penunjukan

langsung,

pengadaan

langsung

dan

sayembara/kontes. Dengan memperhatikan prosedur dan tata cara dalam setiap
metode ini yang didalam prosesnya selalu bertitik tolak dari prinsip transparansi,
prinsip kompetisi dan responsiviness, maka perjanjian pendahuluan tidak
mungkin dapat diterapkan karena hakikat perjanjian pendahuluan justru
bertentang dengan prinsip-prinsip dalam metode pemilihan penyedia barang dan
jasa. Oleh sebab itu dalam kontrak pengadaan tidak tepat jika dibuat perjanjian
pendahuluan dari segi tujuannya jelas bertentangan dengan prinsip pengadaan

105

Pacta Sunt Servanda (Asas Mengikatnya Kontrak) adalah setiap orang yang membuat
kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janjijanji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya
undang-undang. Ahmad Miru, Op. Cit., hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara

yang dimaksudkan untuk memperoleh barang dan jasa dengan kualitas dan harga
terbaik sepadan dengan besarnya uang yang dikeluarkan oleh negara.
Dari sisi Hukum Kontrak, status perjanjian pendahuluan dalam rangka
pelaksanaan pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah adalah batal demi hukum
(nietig van rechtwege) dan karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Implikasi selanjutnya adalah perjanjian yang demikian ini tidak dapat dilanjutkan
ke dalam fase yang berikutnya, yaitu penandatanganan kontrak pengadaan.
Apabila substansi perjanjian pendahuluan ini telah mengandung kewajibankewajiban kontraktual, dengan kata lain perjanjian pendahuluan dimanfaatkan
sebagai rekayasa kontrak, maka praktek pengadaan dengan cara demikian ini dari
sisi Hukum Kontrak perjanjiannya juga batal demi hukum.
d.

Syarat Kewenangan 106
Kewenangan merupakan salah satu syarat yang menentukan keabsahan

kontrak yang dibuat oleh badan hukum, baik badan hukum privat maupun badan
hukum publik. Dalam kaitan dengan kontrak pengadaan oleh pemerintah,
perhatian terhadap pemenuhan syarat kewenangan tidak saja pada tahap
penandatangan kontrak, tetapi juga pada proses pengadaannya. Penandatanganan
kontrak pengadaan hanya dapat dilakukan apabila proses pengadaan telah
dilaksanakan secara sah, yakni jika seluruh aturan dan prosedur dalam pengadaan
barang/jasa telah dipenuhi. Kontrak pengadaan mempunyai kekuatan hukum yang
sah dan mengikat jika kontrak itu ditandatangani oleh pejabat yang mempunya
kapasitas untuk itu. Syarat kewenangan demikian meliputi dua aspek, yaitu

106

Y. Sogar Simamora, Op. Cit., hlm. 204.

Universitas Sumatera Utara

kewenangan

pada

proses

pengadaannya

dan

kewenangan

pada

tahap

penandatanganan kontrak pengadaan. 107
e.

Jenis dan Isi Kontrak 108
Pemahaman mengenai jenis kontrak dalam pelaksanaan pengadaan

barang/jasa perlu dilakukan untuk mengetahui jenis hubungan hukum yang
mengikat para pihak dan aturan hukum yang berlaku. Prinsip kebebasan
berkontrak memungkinkan pemerintah secara leluasa mengatur standarisasi syarat
dan ketentuan dalam hubungan hukum itu. Standarisasi ini penting tidak saja
untuk tujuan efisiensi tetapi juga memudahkan kontrol terhadap praktek
pelaksanaan kontrak pengadaan oleh berbagai lembaga pemerintahan. Dalam
konteks kontrak pengadaan, standar pada dasarnya merupakan suatu aturan, oleh
karenanya daya berlaku bersifat memaksa. Inilah yang oleh Collins disebut
sebagai mandatory standards. Standar dapat mencakup elemen baik yang bersifat
substansial maupun prosedural. Termasuk kedalam kategori standar adalah aturan
yang menentukan keabsahan kontrak, syarat-syarat yang diwajibkan dan setiap
aturan yang menentukan prosedur dalam pembuatan kontrak agar dapat berlaku
(anforceable contracts). Dalam kaitan dengan aturan pengadaan barang dan jasa
oleh Pemerintah di Indonesia, materi yang termuat di dalamnya sudah
menunjukkan segi-segi yang substansial khususnya yang menyangku standar
dalam pengaturan syarat dan ketentuan yang harus dituangkan dalam kontrak,
yaitu dengan diterbitkannya Perka LKPP No. 6/2010 jo. Perka LKPP No. 2/2011
tentang Standar Dokumen Pengadaan, yang didalamnya dituangkan pula
107
108

Perpres Nomor 54 Tahun 2010, Pasal 8.
Y. Sogar Simamora, Op. Cit., hlm. 211.

Universitas Sumatera Utara

mengenai syarat-syarat umum kontrak (SSUK) dan syarat-syarat khusus kontrak
(SSKK). 109
f.

Kontrak Manajemen 110
Kontrak manajemen dipergunakan dalam ruang lingkup yang beragam, di

antaranya yang teridentifikasi adalah:
1)

Kontrak manajemen sebagai statement of corporate intent (SCI);

2)

Kontrak manajemen sebagai salah satu bentuk kerjasama;

3)

Kontrak manajemen dalam bidang konstruksi;
Kontrak manajemen sebagai SCI dapat dijumpai dalam Pasal 16 ayat (3)

UU No. 19/2003. Dalam kaitan ini kontrak manajemen merupakan kontrak antara
pemegang saham dengan direksi. Kontrak ini wajib ditandatangani direksi karena
merupakan syarat bagi pengangkatan direksi. Substansi kontrak manajemen pada
intinya adalah janji atau pernyataan direksi untuk memenuhi segala target yang
ditetapkan oleh pemegang saham. Dari segi inilah kemudian nampak bahwa
kontrak manajemen merupakan SCI.
Sebagai bagian dari jenis kerja sama, substansi kontrak manajemen pada
dasarnya merupakan kerjasama pengolahan. Batasan kontrak manajemen, seperti
misalnya yang terdapat dalam pasal 1 angka (4) keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan tentang Kerjasama antar Perguruan Tinggi adalah “kerjasama
dalam pengolahan operasional perguruan tinggi dengan pemberian bantuan
sumberdaya baik manusia, finansial, informasi, maupun fisik serta konsultasi”.
109

Jenis kontrak dalam pengadaan barang dan jasa dapat berupa jual beli, kontrak
konstruksi, kontrak pengadaan jasa konsultansi, kontrak pengadaan jasa lainnya, perjanjian kerja
sama. Ibid., hlm. 212.
110
Ibid., hlm. 230.

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan dalam bidang industri konstruksi, kontrak manajemen pada
dasarnya adalah kontrak antara penyedia jasa dengan pengguna jasa dalam mana
penyedia jasa ini bertanggung jawab atas pengelolaan (manajemen) dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan atau proyek yang kompleks.
Dari gambaran di atas jelas bahwa kontrak manajemen bidang konstruksilah
yang merupakan jenis dari kontrak pengadaan. Kontrak manajemen dilingkungan
BUMN sebagai persyaratan pengangkatan direksi jelas bukan kontrak pengadaan.
Sedangkan kontrak manajemen sebagai bagian dari jenis kerjasama dapat
dikategorikan sebagai kontrak pengadaan jika substansi kontrak memang
ditujukan dalam rangka pengadaan dan terdapat pengeluaran atas keuangan
negara.
g.

Aspek Perancangan Kontrak 111
Dalam konteks perancangan kontrak (contract drafting), istilah “kontrak”

ditujukan pada kontrak yang dibuat secara tertulis. Dengan prinsip kebebasan
berkontrak (freedom of contract), dari segi bentuk, kontrak dapat saja dibuat
secara lisan sehingga tidak diperlukan perancangan. Kontrak pada dasarnya dibuat
oleh para pihak untuk menjamin kelancaran bisnis sekaligus menghindari
terjadinya kerugian. Oleh karena itu prinsip dasar dalam peranca

Dokumen yang terkait

PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH MELALUI PROSES TENDER SECARA ADIL (FAIRNESS) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999

0 30 59

Analisis terhadap Briding Loan dalam Praktik Pengadaan Barang dan Jasa Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Junctis Peraturan Perundang-Undang tentang Pengadaan Barang dan Jasa.

0 2 37

UNDANG- UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN

0 0 85

Peranan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Perasuransian di Indonesia Ditinjau Dari Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian Chapter III V

0 0 35

Peran Pemerintah Untuk Meningkatkan Penggunaan Produk Industri Dalam Negeri Melalui Pengadaan Barang Dan Jasa Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian

0 0 10

Peran Pemerintah Untuk Meningkatkan Penggunaan Produk Industri Dalam Negeri Melalui Pengadaan Barang Dan Jasa Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian

0 0 1

Peran Pemerintah Untuk Meningkatkan Penggunaan Produk Industri Dalam Negeri Melalui Pengadaan Barang Dan Jasa Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian

0 1 26

Peran Pemerintah Untuk Meningkatkan Penggunaan Produk Industri Dalam Negeri Melalui Pengadaan Barang Dan Jasa Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian

0 1 20

Peran Pemerintah Untuk Meningkatkan Penggunaan Produk Industri Dalam Negeri Melalui Pengadaan Barang Dan Jasa Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian

0 0 4

Peran Akuntan Publik Dalam Penerbitan Obligasi Daerah Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Chapter III V

0 0 65