representasi kolonialisme dalam tjerita a25289df

REPRESENTASI KOLONIALISME
DALAM “TJERITA NJI PAINA” KARYA H. KOMMER
REPRESENTATION OF COLONIALISM
IN “TJERITA NJI PAINA” BY H. KOMMER
Diah Meutia Harum
Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Jalan Beringin II No. 40 Kompleks Gubernur Telukbetung, Bandarlampung, Indonesia
Telepon (0721) 486407, Faksimile (0721) 486408
Pos-el: dmharum@gmail.com
Naskah diterima: 28 Juli 2017; direvisi: 3 Desember 2017; disetujui: 14 Desember 2017
Abstrak
Karya H Kommer yang berjudul “Tjerita Nji Paina” ini bercerita tentang representasi dan perlakuan kaum kolonial terhadap pribumi di masa penjajahan Belanda. H.
Kommer adalah salah satu penulis di zaman Hindia Belanda yang sering mengkritik
pemerintah pendudukan Belanda, khususnya terhadap kaum pengusaha gula. Karyakaryanya menyuarakan perlawanan terhadap pengusaha gula yang menindas pekerja pribumi
di masa itu. Rumusan masalah penelitian ini untuk mengungkapkan representasi kolonial
Belanda melalui penokohannya dan memahami mekanisme tatanan kolonial antara penjajah
dan bangsa jajahannya yang melahirkan hegemoni dan dominasi di antara kedua oposisi
biner. Metode pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode pustaka dengan teknik
baca catat. Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan pengungkapan gambaran
kolonialisme melalui deskripsi tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita ini, yang dianalisis
dengan menggunakan teori penokohan. Teori poskolonial digunakan untuk mengungkapkan fakta cerita dalam cerita pendek ini. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis

deskriptif dengan teknik interpretatif. Hasil dan pembahasan ini menunjukkan bahwa setiap
tokoh merepresentasikan oposisi biner, superior, dan inferior dalam masyarakat kolonial di
Hindia Belanda pada masa itu. Cerpen “Tjerita Nji Paina” memperlihatkan hegemoni dan
dominasi yang mendapat legitimasi dari penguasa Belanda, yang memperdaya tokoh Niti
sebagai bawahan di pabrik gula melalui Tokoh Tuan Briot untuk menyerahkan anak gadisnya
menjadi nyai atau gundik. Dominasi dan hegemoni terhadap perempuan juga tampak pada
penokohan Nji Paina yang diposisikan sebagai liyan karena ia seorang pribumi sekaligus juga
perempuan yang tidak memiliki suara. Oleh karena itu, melalui tokoh-tokoh pribumi dalam
cerpen ini dapat dilihat bentuk representasi kolonial Belanda terhadap penjajahan pribumi.
Kata kunci: representasi, poskolonialisme, pribumi, dominasi, hegemoni
Abstract
H. Kommer’s work titled “Tjerita Nji Paina” tells the story of the colonial representation
and treatment of indigenous people during the Dutch occupation. H. Kommer was one of
the writers in the Dutch East Indies era that often criticized by the Dutch occupation government, especially against sugar entrepreneurs. His works voiced the resistance to sugar
entrepreneurs who suppressed indigenous workers at that time. This research issues summarize the Dutch colonial representation through its understanding and understands the
the mechanism of colonial order between colonists and colonies that gave rise to hegemony
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017


155

Representasi Kolonialisme dalam “Tjerita Nji Paina” Karya H. Kommer (Diah Meutia Harum)

Halaman 155 — 169

and dominance between the two binary opposition. The data collection method used literature method with reading technique. This type of research is descriptive qualitative about
the expression of colonialism through the description of the characters contained in this
story, which is analyzed using the theory of characterization. Postcolonial theories are used
to reveal the facts of the story in this short story.The research method used is descriptive
analysis with interpretative technique. The results shows that each character represents the
binary, superior, and inferior opposition in colonial society in the Dutch East Indies at that
time. “Tjerita Nji Paina” short story shows the hegemony and domination that has been
legitimized by the Dutch ruler, who deceived Niti’s character as a subordinate in the sugar
mill through Mr. Briot’s token to hand over his to be a concubine or mistress. Domination
and hegemony against women also appears in Nji Paina’s stance as ‘other’ because she as
well as a woman who has no voice. Therefore, through indigenous character in this short
story can be seen the form of Dutch colonial representation of indigenous occupation.
Keywords: representation, postcolonialism, pribumi, dominance, hegemony


PENDAHULUAN
Dalam rentang ratusan tahun penjajahan,
bangsa Indonesia mengalami penderitaan di
bawah jajahan pemerintahan kolonial Belanda.
Di masa-masa pendudukan itulah, karya-karya
sastra Hindia Belanda berkembang. Kisahkisah yang berasal dari awal abad ke-20 di
Indonesia tentunya berkaitan erat dengan masa
pendudukan Belanda. Pada zaman itu, karyakarya sastra banyak ditulis oleh sastrawan
yang didominasi oleh pengarang keturunan
Belanda dan pengarang peranakan Cina.
Literatur di masa itu cenderung membawakan
tema seputar kehidupan masyarakat kolonial
Belanda dan pribumi di Indonesia. Bahasa
yang digunakan adalah bahasa Melayu rendah
atau bahasa Melayu pasar yang umum dipakai
masyarakat pada masa itu.
Genre yang paling umum ditulis pada
zaman itu adalah karya sastra dalam bentuk
cerita pendek dan puisi. Hal ini disebabkan
oleh jenis cerita pendek ataupun puisi yang

lebih mudah untuk dipublikasikan di majalah
mingguan atau bulanan dan ini berlaku
hingga tahun 1970-an. Penulisan cerita
pendek dan puisi ini umumnya diterbitkan di
surat kabar. Penerbitan dalam bentuk buku
semacam novel amat jarang ditemui. Bahkan,
proses penerbitan yang memakan waktu
156

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

yang lama hingga lima sampai sepuluh tahun
sampai sebuah karya sastra dapat diterbitkan
(Sumardjo, 2004, hlm. 4).
Berbicara tentang sastra di awal abad ke20, tidak dapat lepas dari operasi kekuasaan
kolonial Belanda terhadap masyarakat
pribumi. Cara pandang penjajah terhadap
koloninya berpengaruh pada setiap elemen
masyarakat
yang

berkuasa
terhadap
jajahannya. Cerpen “Tjerita Nji Paina” yang
dimuat dalam antologi sastra pra-Indonesia
yang dikumpulkan oleh Pramoedya Ananta
Toer (2003), mengisahkan tokoh utama yang
bernama Niti Atmojo dan anak perempuannya
Nji Paina. Diceritakan bahwa Niti Atmojo
adalah seorang pribumi dari suku Jawa yang
memiliki kehidupan serba lumayan karena
pekerjaannya di sebuah pabrik gula. Dalam
pengantar buku antologi yang disusun oleh
Toer (2003) tersebut dijelaskan bahwa karya
H. Kommer yang berjudul lengkap Tjerita Nji
Paina”-Satoe Anak Gadis jang Amat Berboedi
dan Satiawan, pertama kali dicetak pada tahun
1900 di percetakan A. Veit & Co, Batavia.
Lebih lanjut Toer (2003, hlm. vii)
berpendapat bahwa H. Kommer dikenal
sebagai sastrawan pada masanya dengan

karyanya “Tjerita Nji Paina” dan Tjerita
Njonja Kong Hong Nio yang diterbitkan di
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Halaman 155 — 169

(Diah Meutia Harum) Representation Of Colonialismn “Tjerita Nji Paina” By H. Kommer

Betawi pada tahun 1900. Beberapa ulasan
disampaikan terhadap karya Kommer dalam
karyanya “Tjerita Nji Paina” karena dianggap
telah melancarkan kecaman tajam terhadap
kaum gula, yang justru pada saat itu menjadi
tulang punggung pemerintahan kolonial
Belanda. Seorang pengamat pada masa itu,
W.V. Sykorsky (1980, hlm. 136) mengatakan
bahwa tulisannya ini mengandung nada
anti kolonial dan sosial. Dengan membaca
kisah Nji Paina, kita dapat memperoleh
gambaran tentang Jawa di zaman kolonial

dan ketidakadilan sosial yang terjadi di segala
tingkat, juga gambaran tentang feodalisme
Jawa.
Kisah “Tjerita Nji Paina” yang dikarang
oleh H. Kommer ini berkisah tentang kuasa
penjajah terhadap jajahannya. Selama ini telah
ada beberapa penelitian yang dilakukan terhadap novel Nji Paina diantaranya dilakukan oleh
Andri R.M. (2015) dengan judul Feminisme
Dalam Prosa Lama “Tjerita Nji Paina” Karangan H. Kommer, dalam tulisannya, ia mengambil premis tentang “Tjerita Nji Paina” bahwa
kesediaan Paina menjadi nyai demi sang ayah
adalah bentuk aksi yang menyatakan bahwa
perempuan memiliki kekuatan untuk bertindak
dan memutuskan sesuatu tidak hanya berdasarkan pada orientasi tubuh semata. Perempuan
yang berdasarkan budaya patriarkat selalu
ditempatkan dalam posisi inferior ternyata
mampu menyelamatkan dan melindungi lakilaki, golongan yang selama ini menyudutkannya dengan kelemahan dan keterbatasan yang
perempuan miliki. Selain itu, ada pula penelitian yang dilakukan oleh Pujiharto dkk. (2014)
yang berjudul Identitas Pra-Indonesia Dalam
Cerita-Cerita Pra-Indonesia. Tulisan tersebut
membahas tokoh Nji Paina yang sadar diri akan

ketertindasannya dan kemudian melakukan
perlawanan terhadap yang menindas dan perlawanannya pun berhasil.
Ada pula penelitian Maier (1990, hlm.172)
yang menyatakan bahwa Kommer tidak meISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

nampilkan tokoh nyai untuk menunjukkan
adanya pertentangan rasial, tetapi untuk menyadarkan para pembaca akan ketidakadilan sosial di sekitarnya, dan kedua untuk membebaskannya dari ketergantungan ‘sindrom Caliban’
(sindrom yang disebutkan oleh Shakespeare
tentang kepribadian yang saling beroposisi,
baik-buruk, terang ataupun gelap).
Penelitian ini mengungkapkan bahwa
bagaimana seorang pribumi yang berposisi
sebagai inferior mengalami kekerasan dalam
keluarga dan masyarakat. Hegemoni itu
melekat dalam setiap bentuk tindakan dan
kerangka pemikiran individu yang dibentuk
oleh tatanan masyarakat patriarkat, dan
mendapat legitimasi dalam sistem kolonial.
Dipilihnya cerpen “Tjerita Nji Paina”
berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama,

cerpen “Tjerita Nji Paina” merupakan
karya yang kaya dan sarat makna tentang
kemanusiaan; kedua cerpen “Tjerita Nji
Paina” ini salah satunya berbicara tentang
poskolonialisme yang merepresentasikan
oposisi biner, superior dan inferior yang
beroperasi dalam kehidupan tokoh utama
dalam cerita ini, yaitu Briot, Niti dan Nyi Paina.
Cerpen tersebut dianalisis dengan beberapa
teori, yaitu pertama, teori penokohan. Kedua,
teori poskolonialisme milik Edward Said
untuk mengungkap fakta yang terdapat dalam
cerpen “Tjerita Nji Paina”.
Analisis cerpen “Tjerita Nji Paina”
mengurai struktur penokohan, untuk mengetahui bagaimana representasi kolonialisme tergambar dalam cerita ini. Fakta
cerita diungkap melalui analisis adalah
penokohannya. Tokoh adalah individu rekaan
yang mengalami peristiwa atau pelaku dalam
berbagai peristiwa dalam cerita. Analisis tokoh
menjadi pintu masuk bagi penerapan teori

selanjutnya. Fakta cerita dalam sebuah karya,
meliputi alur, tokoh, dan latar. Penokohan
merupakan salah satu dari unsur naratif.
Herman (2000, hlm.78) menyatakan bahwa
, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

157

Representasi Kolonialisme dalam “Tjerita Nji Paina” Karya H. Kommer (Diah Meutia Harum)

apabila cerita berkaitan dengan peran abstrak
maka narasi melibatkan konkretisasi dari
penceritaan dengan melihat berbagai unsur di
dalamnya. Bagaimanakah sebuah penokohan
direpresentasikan dalam narasi menjadi
sebuah pertanyaan utama dalam membedah
sebuah cerita. Melalui analisis penokohan
dapat melihat bagaimana penokohan ini
dapat menjalin menjadi sebuah teks. Ada
beberapa metode yang dapat diterapkan dalam

menganalisis penokohan.
Konsep dasar poskolonial didasarkan
pada pemikiran Said (1977, hlm. 54)
yang mempermasalahkan wacana tentang
Timur sebagai sumber pengetahuan yang
berlandaskan ideologi dan kepentingan
kolonial. Wacana ini didukung oleh tradisi,
kekuasaan, lembaga dan disebarluaskan
sebagai suatu ilmu pengetahuan baru yang
membatasi dirinya pada pengetahuan tentang
tanah jajahan. Wacana tersebut menciptakan
mitos dan stereotip tentang Timur yang
dikontraskan dengan Barat. Hal itu merupakan
cermin negatif untuk membesarkan citra Eropa
sebagai pelopor peradaban.
Kaum kolonial menciptakan dan membentuk serangkaian wacana tentang masyarakat
pribumi. Masyarakat pribumi sendiri akhirnya
menerima wacana tersebut sebagai suatu
ketetapan dan kebenaran yang memengaruhi
hidupnya. Di sisi lain, ukuran nilai antara penjajah dan terjajah tentunya tidak sama dan yang
diterima oleh kaum pribumi adalah nilai-nilai
yang dianut oleh kaum penjajah.
Boehmer dalam Hartono (2005, hlm.3)
menjelaskan bahwa poskolonial bisa dipahami
sebagai efek tekstual atau strategi pembacaan.
Secara praktis postkolonial bekerja dalam dua
tataran. Pada tataran pertama, postkolonial
diartikan sebagai upaya untuk menjelaskan
postkolonialisme yang melekat pada teksteks tertentu. Pada tataran kedua, poskolonial
diartikan sebagai upaya untuk menyingkap
dan membongkar (dekonstruksi) kekuasaan
158

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

Halaman 155 — 169

kolonialisme yang teraktualisasi dalam wacana
sastra poskolonial. Wacana sastra poskolonial
adalah wacana sastra yang melihat secara
kritis hubungan kekuasaan yang terjadi dalam
sistem kolonialisme yang terlihat dalam teksteks sastra. Secara umum sastra poskolonial
menunjuk pada semua praktik penulisan dan
pembacaan tentang pengalaman-pengalaman
kolonial yang terjadi di luar Eropa sebagai
akibat ekspansi dan eksploitasi yang dilakukan
oleh bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa
lain.
Era kolonialisme menghadirkan dominasi
dalam hal apapun, dan cenderung melahirkan
ketidaksetaraan karena satu pihak ingin
mengontrol pihak lainnya. Kecenderungan
tersebut terlihat dari posisi superiorinferior antara kedua belah pihak. Dengan
demikian terjadi relasi tidak seimbang, salah
satu menduduki posisi subordinat. Dalam
masyarakat kolonial, dominasi terjadi dalam
relasi majikan dan hamba. Pihak yang
lebih kuat dalam hal ini adalah majikan
menginternalisasikan visi dominan mereka
dan menyesuaikannya dengan kehendak
mereka. Tulisan ini mencoba membongkar
praktik kolonialisme terhadap pribumi yang
menghasilkan dominasi dan kekerasan. Hal
tersebut akan diungkap melalui penokohannya,
yaitu tokoh Niti, Briot, dan Nji Paina sendiri.
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi
salah satu wawasan untuk mengetahui posisi
perempuan di Indonesia yang kebanyakan
masyarakatnya menganut sistem patriarkat.
METODE
Penelitian dengan teori poskolonialisme dalam
cerpen “Tjerita Nji Paina” ini adalah penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif ini dilakukan
dengan pendeskripsian fenomena, peristiwa,
aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi,
pemikiran orang secara individu maupun
kelompok. Dengan kata lain, penelitian
kualitatif berupaya mendeskripsikan fakta
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Halaman 155 — 169

(Diah Meutia Harum) Representation Of Colonialismn “Tjerita Nji Paina” By H. Kommer

secara logis. Unsur-unsur pembentuk struktur
dianalisis dan dimaknai dalam kaitan dengan
pengungkapan relasi kuasa pada cerita pendek
ini.
Sumber data dalam penelitian ini adalah
cerita pendek berjudul “Tjerita Nji Paina”.
Dalam penelitian kualitatif, data formal
menurut Ratna (2004, hlm. 24) adalah katakata, kalimat, dan wacana. Untuk itulah,
wujud data dalam penelitian ini berupa katakata, frasa, kalimat, dan wacana yang terdapat
dalam cerpen “Tjerita Nji Paina” karya H.
Kommer. Langkah-langkah yang dilakukan
adalah mengumpulkan data kualitatif berupa
latar kolonial dan representasi yang dibawakan
oleh tokoh-tokoh yang terdapat dalam teks.
Pendeskripsian ini dilakukan dengan mengkaji
salah satu unsur pembentuknya, yaitu tokoh
dan penokohan.
Metode yang digunakan adalah metode
analisis data. Data yang diperoleh dari
cerita pendek “Tjerita Nji Paina” dianalisis
dan diinterpretasi lalu dideskripsikan agar
didapatkan pemahaman yang logis dan
dapat
dipertanggungjawabkan.
Teknik
yang dilakukan adalah dengan mengadakan
studi kepustakaan untuk mendapatkan
data kolonialisasi dari teks cerpen melalui
penggambaran dan dialog tokoh. Selanjutnya
mengindentiikasi data yang diperoleh yang
berkaitan dengan representasi poskolonial
dan pada akhirnya merumuskan simpulan
penelitian tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Cerita pendek “Tjerita Nji Paina” mengambil
tempat di Pulau Jawa di tahun 1900-an
berkisah tentang keluarga Niti yang memunyai
dua orang anak, salah seorang di antaranya
bernama Nyi Paina. Niti adalah seorang pekerja
di pabrik gula milik Belanda. Ia diserahi
tanggung jawab menulis buku keuangan pabrik
sehingga upah yang didapatkannya pun cukup
besar. Dengan keuangan yang memadai, Niti
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

hidup berkecukupan bersama keluarganya.
Permasalahan bagi Niti dimulai ketika pabrik
tempat Niti bekerja berganti kepemilikan.
Sabermoela di tjeritaken, adalah satoe
roemah ketjil di desa Poerwo di tanah Djawa
Wetan, poenjanja saorang Djawa, bernama
Niti Atmodjo, djoeroetoelis fabriek goela,
dan roemah itoe ada terdiri di bawah satoe
boekit, iang adanja di pinggir kali, iang tiada
dalam airnja. Di roemah itoe, Niti tinggal
sama istri dan anak-anaknya, laki-laki dan
prampoean (Toer, 2003, hlm. 377).

Selanjutnya, pembahasan difokuskan
pada karakter dalam cerita pendek “Tjerita
Nji Paina”. Teori penokohan digunakan untuk
melihat karakter tokoh yang terdapat dalam
cerita pendek ini dan alasan yang melegitimasi
mereka untuk melakukan hegemoni dan
dominasi terhadap oposisi biner.
Penokohan Cerpen “Tjerita Nji Paina”
Ada beberapa penokohan utama dalam cerpen
“Tjerita Nji Paina”. Tiga tokoh utama yang
menjadi sentral penceritaan adalah Niti, Tuan
Briot, dan Nji Paina. Berikut karakteristik
masing-masing tokoh utama penelitian ini.
Penokohan Niti Atmodjo
Niti Atmodjo adalah seorang pekerja di sebuah
pabrik gula milik Belanda. Ia adalah seorang
pekerja keras dan jujur sehingga kariernya di
pabrik gula cukup cemerlang. Niti dipercaya
oleh administratur pabrik gula untuk mengisi
buku besar keuangan. Pekerjaannya cukup
memuaskan sehingga Niti diberi gaji yang
cukup besar bagi pegawai dari golongan
pribumi di masa itu.
Di masa pendudukan Belanda saat
itu, sulit sekali bekerja di perusahaan milik
pemerintah Belanda. Apalagi sampai mendapatkan kedudukan sebagai bendahara
pabrik. Niti sangat menjaga kepercayaan
yang diberikan dengan memelihara keuangan
, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

159

Representasi Kolonialisme dalam “Tjerita Nji Paina” Karya H. Kommer (Diah Meutia Harum)

Halaman 155 — 169

pabrik dari pekerja-pekerja yang suka berbuat banyak pengaruhnya terhadap ketentraman
hati ialah ikhlas (nrimo). Dengan prinsip ini,
curang.
orang Jawa merasa puas dengan nasibnya.
“Maka Niti Admodjo sampei sekarang ini ada Apapun yang sudah terpegang di tangannya
hidoep beroentoeng sekali. Ia sendiri dapet
dikerjakan dengan senang hati.
gadjih f 60 seboelan, dan gajih itoe boleh di
kata betoel banjak, djikaloe di piker iang pada
waktoe itoe ada moesin soesah” (Toer, 2003,
hlm. 378).

Niti hidup berada berkat keuletannya
dalam bekerja sehingga kehidupan keluarganya
tercukupi dan harmonis. Kesuksesan Niti
dalam pekerjaan meningkatkan
status
sosialnya dalam masyarakat. Keberadaan
Niti di pabrik dengan posisi penting yang
diberikan oleh administratur membuat Niti
sering dimintai tolong oleh kerabatnya untuk
memasukkan mereka untuk bekerja di pabrik
gula.
Soedah 15 taon Niti kerdja di fabriek itoe,
maka koeliling ia telah berkenal pada semoea
orang iang kerdja di fabriek dan pada bebrapa
orang iang dateng dari tempat djaoeh aken
mentjari pekerdjahan (Toer, 2003, hlm. 378).

Sampai suatu saat, pabrik tempat Niti
bekerja mengalami kebangkrutan sehingga
pabrik gula itu dijual. Sementara itu,
administratur dan beberapa orang kepercayaan
pergi mencari pekerjaan baru. Pemilik pabrik
yang baru pun menunjuk administratur baru.
Pengelola yang baru ini rupanya adalah
seorang Belanda yang kikir, ia menganggap
para pekerja pabrik gula itu dibayar terlalu
tinggi oleh pemilik sebelumnya. Niti menjadi
sasaran ketidaksukaan administratur yang
baru karena dianggap pekerjaannya terlalu
ringan, tetapi gaji yang diterima terlalu
besar. Administratur baru memanggil para
pekerjanya untuk memberikan tugas-tugas
baru yang lebih berat dari pada biasanya.
Niti dengan tipikal watak Jawanya hanya
bisa patuh ketika ia diserahi pekerjaan yang
jauh lebih berat. Prinsip hidup orang Jawa yang
160

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

Kehormatan ia boleh dapet, kerna orang iang
dipertjajaken satoe kas di dalem satoe fabriek,
nistjaja orang itoe dihormati oleh koeli-koeli
tiada maoe-maoenja. Aken tetapi perkara
pegang kas boleh membikin soesah pada Niti,
djikaloe ia tiada maoe kakoerangan satoe
cent, dan kaloe ada kakoerangan satoe cent,
tentoe djoeroe pegang boekoe nanti timboel
marahnja jang amat besar. Niti sudah mengarti
ini hlm. Maka takoetnja soedah djadi satoe
dengan kebentjiannja pada Toean Briot dan
seboleh-boleh Niti maoe djaga, soepaja tiada
djadi roesoeh (Toer, 2003, hlm. 381).

Nrimo berarti tidak menginginkan
milik orang lain serta tidak iri hati terhadap
kebahagiaan orang lain. Mereka percaya
bahwa hidup manusia di dunia ini diatur oleh
Yang Maha Kuasa sedemikian rupa sehingga
tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan
sesuatu (Herusatoto, 2008, hlm. 68).
Bahkan Tuan administratur menunjuk
seorang Belanda yang kasar perangainya
untuk mengawasi Niti. Selama ini Niti
telah terbiasa dengan tugas lama yang biasa
diembannya, tetapi sekarang harus mendapat
tugas tambahan untuk membayar upah kuli
harian dan berada di bawah pengawasan Tuan
Briott, mandor yang diberi wewenang untuk
mengawasi para pekerja pabrik. Penderitaan
Niti dimulai ketika Briott ditunjuk sebagai
atasannya langsung, dari sinilah segala
permasalahan menimpa keluarga Niti.
Penokohan Briot
Karakter Briot adalah seorang yang digambarkan kasar dan tidak dapat dipercaya. Ia
adalah seorang Belanda yang bengis dan tidak
disukai orang. Selama ini, Briot dipercaya
sebagai juru bayar dan pemegang kas kecil,
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Halaman 155 — 169

(Diah Meutia Harum) Representation Of Colonialismn “Tjerita Nji Paina” By H. Kommer

tugasnya membayarkan upah buruh harian seorang bangsa pribumi.
yang bekerja di pabrik gula itu.
Penokohan Nyi Paina
Tiada lama. Datenglah satoe toean iang tegap Nyi Paina adalah salah satu tokoh sentral
badannja dan moekanja bengis bolong-bolong,
yang menjadi pusat penceritaan. Ia adalah
tiada disoekai orang, serta ramboetnya ada
salah satu anak Niti Atmodjo. Selain status
amat kasar, maka toean ini berdiri di hadapan
administrateur beberapa lamanja. (Toer, 2003, sosial Nyi Paina yang berasal dari keluarga
terpandang, Ia digambarkan sebagai gadis
hlm. 380).
yang cantik.
Briott dikenal suka mabuk-mabukan. Ia
“Karna Nji Paina amat tjantiknja, koelitnja
dipercaya menjadi mandor yang mengawasi
langsep dan ramboetnja patah majang,
para pekerja di pabrik gula. Wataknya sangat
teroerai-oerai ditioep angin, maka toean Briot
culas sehingga tidak disukai oleh Niti.
lantas djatoh birahi, dan tiada dapet menahan
Kesukaan Briot yang suka mabuk-mabukan
hatinja lagi, sahingga ia mengaloearken soeara
terkenal di kalangan warga pribumi sehingga
seperti satoe babi roesa iang baroe mendapet
tidak ayal lagi, ia dijuluki sebagai si celeng.
makanan di oetan” (Toer, 2003, hlm. 382).
Hatta, maka Ma Baira iang anter Nji Paina,
tiada boleh tahan lagi aken tjeritaken tingkah
lakunja Toean Briot pada waktoe itoe. Purwo
soedah djadi amat gregetan dan soedah tjelah
tingkah lakoenja Toean Briot. Hingga anakanak kampoeng moesti tertawa, mendengar
satoe soeara seperti soearanja babi. Anakanak itoe lantas bertreak “tjeleng tjeleng”, dan
nama tjeleng ini soedah dibriken pada Toean
Briot (Toer, 2003, hlm. 384).

Di samping sifatnya yang kasar dan
berperangai buruk, Briot juga senang main
perempuan disebabkan oleh kegemarannya
yang suka mabuk-mabukan. Dunianya hanya
berkisar dari pabrik dan minuman keras
membuatnya tidak awas dengan lingkungan
sekelilingnya. Ditambah lagi dengan sifatnya
yang buruk.
Briot digambarkan dalam narasi sebagai
perwujudan kolonial. Hartono (2005,hlm.
248) menyatakan, di kalangan masyarakat
kolonial dikenal tiga pembagian golongan
masyarakat, yaitu masyarakat Belanda,
masyarakat Indo, keturunan Cina, dan Arab,
dan terakhir masyarakat pribumi. Briot dalam
kedudukannya sebagai pejabat di pabrik gula
berperan sebagai majikan atas Niti yang
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Sebagaimana adat istiadat yang berlaku
di Jawa, sejak kecil, ia sudah dijodohkan oleh
orang tuanya. Apalagi paras kedua putri Niti
Atmadja cantik rupanya, sehingga masingmasing putrinya sudah memiliki jodoh
untuk dinikahi ketika mereka telah beranjak
dewasa. Lihat dalam kutipan berikut.
Maka menoeroet adat bangsa Djawa, kadoea
anak ini koetika masih ketjil soedah dikasih
nikah, satoe sama putranja mantri oeloe-oeloe,
dan iang lain sama poetranja saorang Djawa
hartawan iang ada poenja banjak sawah dan
hewan (Toer, 2003, hlm. 378).

Kecantikan Nyi Paina inilah yang di
kemudian hari menjadi sumber petaka
ketika pada suatu hari ia pulang berkunjung
dari rumah calon mertuanya, tanpa sengaja
berpapasan dengan Tuan Briot yang segera
saja jatuh hati padanya dan berniat untuk
memilikinya.
Tokoh Nji Paina sebagai seorang
perempuan menyesuaikan perilakunya sesuai
dengan konsep perempuan dalam masyarakat
patriarkat.
Ia
digambarkan
memiliki
kecenderungan alamiah untuk merawat dan
menjaga orang lain sesuai dengan kodrat
, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

161

Representasi Kolonialisme dalam “Tjerita Nji Paina” Karya H. Kommer (Diah Meutia Harum)

Halaman 155 — 169

Niti yang sudah bekerja begitu lama
perempuan. Nji Paina harus merelakan diri
berkorban demi ayahnya agar tidak dipenjara mengemban tugas-tugas yang cukup banyak,
namun dianggap masih belum sesuai dengan
dengan kesediaannya diperistri oleh Briot.
jumlah gaji yang diterimanya sehingga ia
Hegemoni dan Dominasi terhadap Pribumi ditambahi pekerjaan yang seharusnya menjadi
tugas Tuan Briot. Kepala pabrik gula tersebut
dan Perempuan
Cerpen ini berhasil menunjukkan kejahatan menganggap bahwa Niti seorang pribumi tidak
kolonialisme dalam posisi superior terhadap pantas digaji dalam jumlah banyak, bahwa
inferior, seperti: dominasi, diskriminasi ras, setiap sen yang dikeluarkan harus dibayar
gender, dan hukum yang kejam dan tidak oleh keringat Niti. Ini terlihat dalam kutipan
adil, dan egois. Hegemoni kolonial bermain berikut.
di setiap sisi kehidupan manusia saat itu.
“Hamba pegang boekoe besar soepaja
Dominasi kolonial menjadi hubungan antara
pekerdjahan djangan djadi kablakangan,
pihak superior dengan inferior. Hubungan
joega hamba pegang boekoe kahar kahar
yang terjadi adalah pribumi yang berada dalam
teboe, boekoe besi rail, boekoe goelingan dan
posisi inferior menerimanya dengan tunduk
lain sebaginja,” menjahoet Niti dengan soeara
dan kepatuhan. Dominasi secara nyata maupun
takoet (hlm. 380).
secara simbolik biasanya terjadi berailiasi
“Nah, sekarang kaoe dari ini hari moesti
pegang kas ketjil djoega dan kaoe saben hari
pada kekerasan. Kekerasan semacam ini
moesti bajar oerang koeli, tetapi panggil
berpotensi mengarah pada kekerasan isik.
djoeroe pegang boekoe, kami maoe bitjara
Dalam wacana kolonial, menurut Said
padanja” (Toer, 2003, hlm. 380).
(1977, hlm. 42), masyarakat pribumi adalah
masyarakat yang belum beradab sehingga
Niti sebagai seorang juru tulis pabrik yang
penjajahan merupakan salah satu upaya
sudah bekerja cukup lama, dianggap tidak
untuk memberadabkan masyarakat pribumi
kompeten dalam tugas-tugasnya sehingga
(civilizing mission). Posisi masyarakat
harus diawasi pekerjaannya. Ketidakpercayaan
pribumi sebagai the other (liyan) dianggap
ini datang dari administratur pabrik yang baru,
tidak memiliki peradaban dan dengan dalih
menganggap bangsa pribumi harus mendapat
menjalankan misi pemberadaban, kaum
pengawasan dari orang Belanda sehingga
penjajah justru melakukan eksploitasi di tanah
ia menunjuk Tuan Briot. Padahal dalam
jajahan. Status Niti sebagai seorang pribumi
kenyataannya, Tuan Briot adalah orang sangat
menjadikannya berada pada posisi inferior dan
tidak kompeten karena wataknya yang culas
tidak memiliki hak, serta harus menghamba
dan kegemarannya mabuk-mabukan.
pada majikannya di pabrik.
Maka lantas datenglah saorang Djawa,
iang tiada moeda lagi dan iang berdjalan di
dalem pekarangan fabriek, teroes jongkok
dengan hormat di depan pintoe dan koetika di
prentah masoek ia masoek dengan manggut
serta bertindak iang amat pantesnja dan kain
saroengnja iang dikandji ada berboenji-boenji.
Kamoedian ia menoenggoe titah toeannja
(Toer, 2003, hlm.379).

162

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

Kamoedian Toean Administrateur berkata:”
Briot, kamoe kasi tiap tiap hari pada ini joeroe
toelis sedikit oeang, sebab kamoi maoe, ia
saben hari moesti bayar ongkos ketjil. Ia dapet
terlaloeh banjak gajih, jangan kamoe kasihanin
padanja, maski di waktoe malem sekalipoen.
Kaloe ia bantahan, nanti kami oesir padanja.
Sekarang djuga kau moesti serahken kas ketjil
padanja,” dan sambil menoenjoek pada Niti,
toean administrateur prentah aken toeroet
toean Briot (Toer, 2003, hlm. 380).
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Halaman 155 — 169

(Diah Meutia Harum) Representation Of Colonialismn “Tjerita Nji Paina” By H. Kommer

Pembedaan rasial dan status sosial
menjadi isu utama dalam masyarakat kolonial.
Keluarga Niti dan statusnya sebagai pribumi
membuatnya rendah di mata hukum. Hukum
kolonial bermain sampai pada tataran
yang paling dalam bahwa dengan status
dan kedudukannya sebagai pribumi akan
membuatnya kehilangan hak-haknya sebagai
pekerja walaupun ia jujur dan sangat rajin.

Niti memikul tanggung jawab besar
karena ia harus membayar upah buruh harian
sehingga ia membawa uang tersebut ke sana
ke mari. Briott yang memang sejak awal tidak
menyukai Niti, berencana menjebak Niti agar
ia lalai dalam menjaga kaleng pembayaran
upah buruh harian. Briot menjalankan skenario
untuk menjebak Niti agar ia dapat mengambil
putri Niti sebagai nyainya.

Sjahadan toean Administrateur doedoek di
krosinya dan bunjikan ginta ketjil. Ia maoe
liat semoea djoeroetoelis bangsa djawa (Toer,
2003, hlm. 379).
Di mana pada zaman ini orang dengar iang
satoe djoeroetoelis Djawa makan gadjih
begitoe besar. Doea poeloeh lima roepiah
masih terlaloe banjak boeat satoe djoeroetoelis
orang Djawa (Toer, 2003, hlm. 379).

Tuan Briot dengan sengadja panggil padanja,
tiap-tiap ia maoe bajar orang koeli (Toer,
2003, hlm. 384).
Maka koetika itoe hari Niti dipanggil oleh
toean Briot, ia tinggalken tommol oeangnja
terboeka dan satoe mandoer koeli laloeh tjoeri
ampat ringgit dengan tiada diliat satoe orang.
Dari hari itu oewangnja ditjoeri saban-saban
ia dipanggil oleh Toean Briot, kadang-kadang
ditjoeri banjak kadang-kadang ditjoeri sedikit
(Toer, 2003, hlm. 384).

Permasalahan bagi Niti dimulai ketika
Briott mendapat mandat untuk mengawasi
para pekerja di pabrik gula. Sejak awal Niti
tidak menyukai Tuan Briott karena ia adalah
seorang yang kasar, kurang sopan, dan tidak
dapat dipercaya.
Tuan administratur menunjuk Briot untuk
mengawasi pabriknya karena Briot juga
orang Belanda sehingga Tuan Administratur
lebih nyaman menyerahkan tugas kepadanya.
Dalam pandangan pemilik baru, pribumi
bukanlah orang yang bisa diserahi tanggung
jawab. Oleh karena itu, ia lebih memilih
menyerahkan wewenang kepada sesama orang
Belanda.
Sjahadan sedatengnja di kantor, Toean Briot
boeang dirinja di satoe korsi males, dan sambil
tertawa palsoe ia pandang pada Niti iang lagi
berdjongkok. “Kami nanti bri padamoe ini
hari f200 boeat ongkos-ongkos ketjil,”kata
Toean Briot, “ tetapi kaoe moesti djaga baikbaik, jikaloe nanti ada koerang satoe doeit,
kami nanti bikin perkara dan kaoe masoek
boei atau dihoekoem krakal” (Toer, 2003,
hlm. 381).

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Penggambaran kejahatan terhadap perempuan juga sangat terasa dalam teks ini.
Perjuangan dan penderitaan perempuan yang
diwakili oleh tokoh Nyi Paina. Ia terdominasi
oleh hegemoni laki-laki dan sistem kolonial
pada masa itu. Nyi Paina dipaksa untuk
menjadi nyai atau gundik Tuan Briot dengan
ancaman ayahnya akan dipenjara apabila
keinginan Briot tidak dipenuhi.
Hatinja Niti amat soesah dan dengan soewara
goemetar ia ingatken perkatahannya toean
Briot, iang tiada maoe oewang, tetapi maoe
Nji Paina djoega, kaloe tiada, nistjaja Toean
Briot soeroeh boei padanja.
“... Sasoedahnja, terkoenjoeng-koenjoeng
is bangoen berdiri di depan ajahnja, seperti
satoe oerang iang memoetoeskan perkara,
seraya berkata: “Baiklah koetoeroet maoenja
Toean Briot aken djadi njainja (Toer, 2003,
hlm. 389).

Konsep maskulinitas dalam budaya Timur
seperti di Indonesia dipengaruhi oleh faktor
kebudayaan. Ketika seorang perempuan lahir
, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

163

Representasi Kolonialisme dalam “Tjerita Nji Paina” Karya H. Kommer (Diah Meutia Harum)

ke dunia, maka telah dibebankan beragam
norma, kewajiban dan setumpuk harapan keluarga terhadapnya. Berbagai aturan dan atribut
budaya telah diterima melalui beragam media,
seperti ritual adat, teks agama, pola asuh, jenis
permainan, tayangan televisi, buku bacaan,
petuah, atau ilosoi hidup.
Hal-hal sepele yang terjadi sehari-hari
selama berpuluh tahun yang bersumber dari
norma-norma budaya telah membentuk suatu
pencitraan diri dalam kehidupan seorang perempuan. Kondisi ini dapat dilihat dari selera dan
cara berpakaian, penampilan, bentuk aktivitas,
cara bergaul, cara penyelesaian permasalahan,
ekspresi verbal maupun nonverbal hingga jenis
aksesoris tubuh yang dipakai (Vigorito et.al.,
1998, hlm.1).
Dunia sastra, sebagaimana dijelaskan oleh
Aristoteles dalam Luxembourg (1986, hlm.17),
merupakan gambaran dari sebuah dunia kenyataan dan ide-ide yang berkaitan satu sama
lainnya sehingga karya sastra khas mewakili
individu dan perjuangan tentang memaknai
identitas adalah perjuangan dalam diri individu,
dan antara individu dengan kelompok. Karakter perjuangan semacam ini sesungguhnya
melawan sekaligus mematuhi norma sosial
dan harapan.
Sebuah karya sastra yang ditulis dengan
berdasarkan atas keprihatinan mengenai apa
artinya menjadi perempuan, itu artinya karya
tersebut juga menjelajahi bagaimana tuntutan
masyarakat (maskulin) membatasi kemungkinan-kemungkinan individu (feminin). Ini
terlihat dari perlakuan Briot terhadap Nyi Paina.
Briot memaksa Niti, ayah Nyi Paina untuk
mengambil Paina menjadi Nyai.
Pada masa itu, status Nyai menjadi sebuah
kehinaan di kalangan masyarakat pribumi
karena kebanyakan Nyai hanya dijadikan gundik atau perempuan peliharaan saja. Niti, ayah
Nyi Paina, secara tidak langsung melakukan kekerasan simbolik ketika ia meminta Nyi Paina
untuk menjadi Nyai dari Tuan Briot sebagai
164

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

Halaman 155 — 169

ganti agar dirinya tidak masuk penjara.
“Apa, djadi njainja tjeleng itoe?” tiada sekalikali. Bebrapa orang melamar padakoe, tetapi
koe soedah tampik dan sekarang koe hendak
didjadiken boedaknja si tjeleng alas itoe”
(Toer, 2003, hlm. 389).

Dalam hal ini, Fromm (2002, hlm.177)
berpendapat bahwa budaya patriarkal tidak
hanya berwujud ideologi, melainkan terkait
pula dengan struktur sosial, yakni laki-laki
memiliki superioritas, bahkan berhak mendominasi perempuan dengan berbagai cara.
Pendominasian tersebut sering pula diperkuat
oleh agama sehingga subordinasi laki-laki atas
perempuan tidak hanya bercorak dominasi,
tetapi juga mengarah kepada hegemoni.
Tiba-tiba Paina mendengar ajahnja berpantoen
satoe tjerita, iang betoel tiada bedahnya
dengan perkara ini, di mana diambil lakonnya
Briot, Niti, dan Paina, saolah-olah Niti
menjindir, soepaya atinja Paina tergerak dan
maoe toeroet pada toean itoe iang ditakoeti
orang, apabila tiada, nistjaja moesnalah
roemah tangganja Niti dan ia moesti masoek
boei (Toer, 2003, hlm. 389).

Budaya yang melandasi pendominasian
dan penghegemonian laki-laki atas perempuan
diinternalisasikan lewat pendidikan di lingkungan keluarga. Hal ini tidak bisa dilepaskan
dari fungsi keluarga, yakni menyumbangkan
kelahiran, pemeliharaan fisik anggota keluarga, penempatan anak dalam masyarakat,
pemasyarakatan, dan kontrol sosial sehingga
eksistensi masyarakat tetap terjaga (Goode,
1983, hlm. 68).
Dalam hal ini, sejak kecil Nyi Paina
ditekankan untuk menjadi perempuan yang
seutuhnya dengan menikahkan Nyi Paina
sejak kanak-kanak. Adat istiadat ini biasa dilakukan di kalangan orang Jawa di masa lalu.
Kebiasaan ini dilakukan untuk membiasakan
anak perempuan untuk bekerja dalam rumah
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Halaman 155 — 169

(Diah Meutia Harum) Representation Of Colonialismn “Tjerita Nji Paina” By H. Kommer

tangga melayani suami dan anak-anak.
Maka menoeroet adat bangsa Djawa, kadoea
anak ini koetika masih ketjil soedah dikasih
nikah, satoe sama putranja mantri oeloe-oeloe,
dan iang lain sama poetranja saorang Djawa
hartawan iang ada poenja banjak sawah dan
hewan (Toer, 2003, hlm. 378).

Pembatasan-pembatasan peran perempuan dalam budaya patriarkat membuat
perempuan terbelenggu. Budaya patriarki
memberikan otoritas dan dominasi kepada
laki-laki dalam kehidupan berumah tangga dan
bermasyarakat. Selain itu pelekatan berbagai
stereotip terhadap tubuh perempuan juga
memperparah kondisi perempuan. Menurut
Hall (1998, hlm.15—16), stereotip digunakan
untuk mendeinisikan perempuan dan
mengontrol mereka. Perempuan dideinisikan
dalam hubungannya dengan laki-laki, bahwa
perempuan dilekatkan dengan ciri feminim.
Perempuan diarahkan untuk bersikap dan
berpenampilan seperti yang diharapkan lakilaki (Toer, 2003, hlm.57).
“Karna Nji Paina amat tjantiknja, koelitnja
langsep dan ramboetnja patah majang,
teroerai-oerai ditioep angin, maka toean Briot
lantas djatoh birahi, dan tiada dapet menahan
hatinja lagi, sahingga ia mengaloearken soeara
seperti satoe babi roesa iang baroe mendapet
makanan di oetan” (Toer, 2003, hlm.382).

Stereotip ini merepresentasikan peran lakilaki dan perempuan tradisional, egaliterian,
kontemporer, dan peran ganda. Perbedaan
gender merepresentasikan bahwa perempuan
cenderung distereotipkan dan bahkan diharuskan agar bersifat lemah lembut, halus, sabar,
menjaga tata krama (tertib), setia, menerima
(nrimo), pasrah, lemah, tidak banyak bicara,
pasif, lebih mengedepankan perasaan dari pada
pikirannya, dan sejenisnya.
Ketika Niti dalam keadaan kesulitan
pekerjaan akibat jebakan Tuan Briot untuk
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

mengambil Paina sebagai nyainya, ia meminta
kepada anaknya untuk secara ikhlas menyerahkan dirinya kepada Tuan Briot. Keputusan agar
Paina menyerahkan diri kepada Briot dimusyawarahkan oleh keluarga Niti. Secara tidak
langsung Nyi Paina dipaksa untuk menyerahkan
diri sebagai ganti hukuman yang harus diterima
ayahnya dari Tuan Briot. Dominasi yang dilakukan oleh si kuat terhadap yang lemah biasanya
terjadi karena mendapatkan persetujuan dari
pihak tertindas sendiri sebagai pemaknaan
atas kepatuhan yang berlangsung dalam wacana patriarki. Dominasi dilakukan dengan
pembenaran sebagai norma yang berlaku dan
harus diikuti.
Koetika Niti sampei di roemahnya ia
lantas panggil istrinya dan Paina, teroes
tjeritaken kehendaknja Toean Briot. Nji
Paina tiada menjahoet satoe apa, tjoema
ia mengkeretkan giginya dari marah
serta liatin ajahnja dengan berdiri angkat
kepala, iang amat bagoesnya. Hatinja tiada
karoewan rasa, seperti ombak membanting
dirinja, pikirannja poen soedah kalang
kaboet, koetika dengar tjerita ajahnja.
Kamoedian Nji Paina tabahkan hatinja
dan dengan soewara tetap ia berkata:
“Apa, jadi njai tjeleng itoe?” Tiada sekalikali. Bebrapa orang melamar padakoe,
tetapi koe soedah tampik dan sekarang koe
hendak didjadiken boedaknja si tjeleng
alas itoe” (Toer, 2003, hlm. 389).
Karim (1995, hlm. 46) menyatakan bahwa
dalam budaya Jawa, sistem feodal yang diterapkan memberlakukan sistem kelas dan begitu
pula dengan pola relasi laki-laki dan perempuan, terdapat hierarki kedudukan yang tinggi
bagi laki-laki di atas perempuan. Sistem ini
harus dihormati sebagaimana stabilnya sistem
tersebut berlaku bagi kebanyakan orang Jawa.
Kekuasaan berada di tangan laki-laki sehingga
peran perempuan distabilisasi dalam rumah
tangga.
, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

165

Representasi Kolonialisme dalam “Tjerita Nji Paina” Karya H. Kommer (Diah Meutia Harum)

Maka menoeroet adat bangsa Djawa kadoea
anak ini keotika masih ketjil soedah dikasih
nikah, satoe sama poetranya mantri oeloe
oeleoe, dan iang lain sama poetranja saorang
Djawa hartaan iang ada poenja banjak sawah
dan hewan. (Toer, 2003, hlm.378).

Pembacaan cerpen Nji Paina tentang
kehidupan perempuan dalam masyarakat
kolonialisme dengan konstruksi maskulin,
dibentuk oleh masyarakat patriarkis. Ini
terlihat dari tokoh Nji Paina yang mengalami
opresi dari Briot, atasan ayahnya ditempatnya
bekerja. Nji Paina sebenarnya tidak terhubung
langsung dengan Briot, namun ia tetap terkena
dampak akibat relasi Niti dan Briot. Briot
merasa memiliki kuasa atas hidup Niti karena
Niti adalah bawahannya di kantor.
Kecantikan Nyi Paina menjadi sebab
bagi penderitaannya. Keindahan perempuan
dalam persepsi dunia maskulin dilihat dari
wujud kecantikan secara lahiriah sehingga
ketertarikan lelaki terhadap perempuan cantik
bagaikan ngengat yang terbang mendekati
nyala lilin. Nji Paina yang cantik dan elok,
dengan kulitnya yang langsat dan rambut
seperti mayang terurai menjadi sumber
inspirasi Briot untuk melakukan kejahatan
pada Niti untuk dapat memiliki Nyi Paina.
Nji Paina soedah timboelkan birahi dalem
atinja Toean Briot, maka lantas ia berpikir,
apa tiada ada daja aken dapet Nji Paina, iang
amat elok itoe (Toer, 2003, hlm. 383).

Briot menjadi terobsesi dengan keindahan
Nyi Paina, Briot bertekad menjadikan Nyi
Paina sebagai gundiknya, yang pada masa
itu disebut dengan julukan Nyai. Dalam
masyarakat pribumi, status Nyai dipandang
rendah oleh masyarakat karena biasanya
perempuan semacam itu menjadi peliharaan
tuan-tuan Belanda untuk memuaskan nafsu
syahwat mereka.
166

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

Halaman 155 — 169

Hal ini juga disadari betul oleh Nyi
Paina karena ia memrotes keinginan ayahnya
untuk menjadikan dirinya sebagai nyai Tuan
Briot. Bagi Nyi Paina, status baru tersebut
akan menjerumuskannya ke dalam jurang
kesengsaraan dan menjadi sarana pemuas
nafsu Tuan Briot. Ditambah lagi, status sosial
dan kondisi ekonomi keluarga Niti selama ini
dipandang tinggi oleh masyarakat sehingga
Nyi Paina mendapatkan pendidikan yang
cukup dan membuatnya menjadi seorang
perempuan terpelajar yang paham betul akan
harkat dan martabat dirinya sebagai seorang
perempuan.
Kamoedian Nji Paina tabahkan hatinja dan
dengan soewara tetap ia berkata:
“Apa, jadi njai tjeleng itoe?” Tiada sekalikali. Bebrapa orang melamar padakoe, tetapi
koe soedah tampik dan sekarang koe hendak
didjadiken boedaknja si tjeleng alas itoe”
(Toer, 2003, hlm. 389).

Pada akhirnya Nji Paina sampai pada
kesadaran bahwa ia harus membantu ayahnya
agar tidak dijebloskan ke dalam penjara. Untuk
itu ia harus menyetujui lamaran Tuan Briot,
meskipun bertentangan dengan nuraninya,
apalagi ia tidak mencintai Tuan Briot.
Tidak mudah bagi Nji Paina untuk
memutuskan menyerah pada kehendak
ayahnya, tetapi kewajiban sebagai anak harus
didahulukan dan sebagai seorang perempuan
ia harus patuh sesuai dengan nilai-nilai lama
bahwa perempuan harus selalu menurut.
Dalam tatanan masyarakat patriarkat, kaum
perempuan memiliki posisi yang lemah
dibandingkan dengan yang lainnya, pada
akhirnya nasib Nji Paina ditentukan oleh
keluarga besarnya (Toer, 2003, hlm.389).
Dengan berat hati Nji Paina menyetujui
permintaan Tuan Briot.
Sasoedahnja, terkoenjoeng-koenjoeng ia
bangun berdiri di depan ajahnja, seperti satoe
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Halaman 155 — 169

(Diah Meutia Harum) Representation Of Colonialismn “Tjerita Nji Paina” By H. Kommer

dirinya tanpa perlawanan. Sebelum pergi
menyerahkan dirinya kepada Tuan Briot, Nji
Paina sengaja menulari dirinya dengan virus
cacar dari penduduk setempat yang sedang
menderita cacar. Ini dilakukan agar ketika
Nji Paina dapat mengontrol emosinya bertemu dengan Briot, ia sudah membawa virus
dengan menerima lamaran Briot. Akan tetapi di yang mematikan tersebut dan menularinya
balik penerimaan Nji Paina, tersusun rencana kepada Briot (Toer, 2003, hlm. 390).
untuk melakukan pembalasan terhadap Briot.
Ia tetap tidak rela menjadi gundik Tuan Briot,
Kemoedian Nji Paina berangkat keroemah
apalagi ia telah dijodohkan sebelumnya.
toean Briot, iang memang soedah
Sebagai seorang perempuan dengan latar
toenggoe datengnja dengen tiada sabaran.
Koetika ia lihat Nji Paina dari djaoeh, ia
belakang pendidikan dan status terpandang
sigrah hampirken padanja, teroes pelok
dalam masyarakat, ia tidak hendak pasrah dan
dan tjioem Nji Paina, iang amat tjantik dan
menerima begitu saja. Pada masa itu penyakit
elok itoe. Sagenap hari Nji Paina moesti
cacar sedang mewabah di kampung Nji Paina.
doedoek di pangkoenja toean Briot dan
Ia berketetapan hendak menulari Tuan Briot
tiada brentinja ia ditjioemi oleh toean itoe.
dengan penyakit tersebut. Oleh karena itu
Hata maka sepoeloeh hari kemoedian,
ia menyusun rencana untuk bercampur gaul
toean Briot kena penjakit tjatjar amat
dengan penderita cacar. Di masa lalu penyakit
sangetnja. Bagimana djoega di obatin,
cacar cukup mematikan dan membuat
toean Briot tiada djadi semboeh, maka
penderitanya menderita kerusakan pada
ampat hari kamoedian, orang dapetin
wajahnya.
toean Briot mati terletak di atas oebin di
depan roemahnja dan roepanja seperti
Adapoen Nji Paina soedah ambil satoe
ia soedah menanggoeng sangsara besar
kepoetoesan. Sering kali ia dapet dengar
selama sakitnja itoe (Toer, 2003, hlm.
dari ajahnja dan dari orangorang lain kaloe
390—391).
satoe orang iang waras dateng bertjampoer
orang pada iang sakit tjatjar, penjakit itoe
Pada akhirnya Briot pun mati tertular
nanti mendjangkit dan menoelar padanja.
penyakit cacar, karena ia tidak dapat
Penjakit itoe gampang di pindahken dari
bertahan dan tidak dapat disembuhkan. Ia
satoe ka lain orang. Maka Nji Paina soedah
mati dengan sengsara. Sementara Nji Paina
tetapken atinja aken bikin mati toean Briot
dengan djalan iang sedemikian (Toer, diceritakan dapat sembuh dengan kerusakan
wajah yang parah. Pengorbanan Nji Paina
2003, hlm. 390).
diuji dan dibuktikan dalam perannya sebagai
Pengorbanan Nji Paina dilakukan dengan seorang perempuan dan sebagai seorang
kesadaran bahwa ia tidak mungkin menolak anak. Kepatuhan yang ditekankan pada
permintaan Tuan Briot dan mengorbankan perempuan sebagai salah satu fungsi gender
ayahnya untuk masuk penjara sehingga ia di masa lalu. Keperempuanannya dibuktikan
memilih untuk mengorbankan dirinya. Ia rela dengan mematuhi aturan-aturan yang dibuat
mengambil resiko tertular penyakit cacar yang oleh masyarakat pada masa itu. Pada akhir
mematikan. Dengan demikian, ia sekaligus cerita, dikisahkan Nyi Paina menikah
membalas perbuatan Tuan Briot terhadap walaupun dengan rupa yang rusak, tetapi ia
keluarganya dan menolak untuk menyerahkan berbahagia dengan pilihannya.
orang jang memoetoeskan perkara, seraja
berkata:”Baiklah koe toeroet maoenja toean
Briot aken djadi njainja” (Toer, 2003, hlm.
389).

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

167

Representasi Kolonialisme dalam “Tjerita Nji Paina” Karya H. Kommer (Diah Meutia Harum)

Halaman 155 — 169

karta: Jalasutra.
SIMPULAN
Analisis yang telah dilakukan terhadap
cerita pendek yang berjudul “Tjerita Nji
Paina” memperlihatkan bahwa cerita pendek
tersebut hendak mengkritik sistem kolonial
pendudukan Belanda. Dalam kisah ini dapat
dilihat tiga tatanan masyarakat sekaligus, yaitu
tatanan hukum kolonial yang diwakili oleh
perwujudan Tuan Briot, tatanan masyarakat
feodalisme dapat dilihat pada latar belakang
masyarakat pribumi dalam hal ini diwakili
oleh Niti, dan tatanan masyarakat patriarkis di
dalamnya selaras dengan tatanan kolonial dan
tatanan feodal.
Nji Paina memosisikan diri sebagai
seorang perempuan yang berada dalam
hegemoni laki-laki, sehingga ia rela berkorban
menuruti keinginan ayahnya dan menyerahkan
diri kepada Briot, walaupun diceritakan Nji
Paina melakukan pembalasan tetapi tetap
saja Nji Paina harus menanggung akibat
pembalasannya, yaitu dengan kerusakan
permanen pada wajahnya.
Sistem pemerintahan kolonial dengan
sendirinya memfasilitasi segala bentuk
dominasi dan hegemoni terhadap kaum
pribumi, khususnya perempuan yang paling
terdampak dengan tatanan masyarakat
kolonial. Cerita pendek “Tjerita Nji Paina”
menyuarakan
masyarakat
terpinggirkan
oleh sistem masyarakat, khususnya suara
perempuan.
DAFTAR PUSTAKA

Goode, W.J. (1983). Sosiologi Keluarga. Terjemahan Sahat Simamora. Jakarta: Bina
Aksara.
Hall, S. (1996). “Who Needs Identity”. Questions of Cultural Identity. In S. Hall and P.
Du Gay (Eds.). London: Sage.
Hartono. (2005). “Mimikri Pribumi Terhadap Kolonialisme Belanda Dalam Novel
Sitti Nurbaya Karya Marah Rusli (Kajian
Postkolonialisme)”. Jurnal Diksi, Vol. 12,
No. 2, Juli 2005, hlm. 248—266. https://
journal.uny.ac.id/index.php/diksi/article/
view/5267/4567.
Herman, L. and Bart Ver-vaeck. (2001). Handbook of Narrative Analysis. Lincoln: University Of Nebraska Press.
Herusatoto, B. (2008). Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Karim, M.R. (1995). ”Konlik Islam Kontemporer di Indonesia, Berbagai Variasi dan
Kerumitannya”. Prisma, No. 5 Mei 1995.
Luxemburg, J.V. (1984). Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
Maier, H.M.J. (1990). “Some genealogical remarks on the emergence of modern Malay
literature”. Journal of the Japan-Netherlands Institute 2, hlm. 159--177. (Papers
of the Dutch-Japanese Symposium on the
History of Dutch and Japanese Expansion,
In Memory of the Late Nagazumi Akira,
Tokyo and Kyoto, 9—14 October 1989).

Andri R.M., L. (2015). “Feminisme dalam Moleong. L.J. (2005). Metode Penelitian KualiProsa Lama“Tjerita Nji Paina” Karantatif. Bandung: Remaja Karya.
gan H. Komer”. Humanika,Volume 22,
Nomor 2, hlm. 22—33. https://ejournal. Pujiharto, Wening U., dan Mutiah A. (2014).
undip.ac.id/index.php/h