TAPPDF.COM PDF DOWNLOAD IMPLEMENTASI PROGRAM RASKIN (BERAS UNTUK ... REPOSITORY USU

(1)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia masih menghadapi masalah kemiskinan dan kerawanan pangan. Masalah ini menjadi perhatian nasional dan penanganannya perlu dilakukan secara terpadu melibatkan berbagai sektor baik di tingkat pusat maupun daerah. Upaya-upaya tersebut telah dicantumkan menjadi salah satu program prioritas dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2008

Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 1998 jumlah penduduk miskin berjumlah 36,5 juta jiwa atau 17,86% dari total jumlah penduduk Indonesia, kemudian jumlah penduduk miskin pada tahun 2003 mengalami peningkatan yakni mencapai 37,34 juta jiwa. Sedangkan menurut data BPS Provinsi Sumatera Utara tahun 2006 bahwa jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara mengalami turun naik dari tahun 1993-2006. Jumlah penduduk miskin pada tahun 1993 sebesar 1,33 juta jiwa atau sebesar 12,31% dari total jumlah penduduk Sumatera Utara. Sedangkan pada tahun 1996 jumlah penduduk miskin mengalami penurunan yakni sebesar 1,23 juta jiwa dengan persentase sebesar 10,92 persen. Namun karena terjadi krisis moneter pada pertengahan tahun 1998, jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara mengalami peningkatan menjadi 1,97 juta jiwa dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 1,98 juta jiwa akibat kenaikan harga BBM (BPS.Prov.Sumut, 2007:39). Kebijakan pemerintah

(http://www.menkokesra.go.id/pdf/deputi2/raskin/pedomanumumraskinawardweb.


(2)

mencapai 126% membuat masyarakat gelisah dalam memenuhi kebutuhan pokok kehidupan sehari-hari. Dampak dari kebijakan tersebut dirasakan oleh setiap lapisan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat yang berada pada garis kemiskinan.

Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan menginstruksikan Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen tertentu, serta Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia untuk melakukan upaya peningkatan pendapatan petani, ketahanan pangan, pengembangan ekonomi perdesaan dan stabilitas ekonomi nasional. Secara khusus kepada Perum Bulog diinstruksikan untuk menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan, yang penyediaannya mengutamakan pengadaan beras dari gabah petani dalam negeri.

Pemerintah berupaya mengedepankan peran partisipasi masyarakat dengan mengacu pada teori Bottom-Up. Dalam hal ini pemerintah berharap masyarakat dapat terpacu untuk bisa menembus perangkap kemiskinan yang melekat pada dirinya sehingga dapat mengurangi jumlah masyarakat miskin. Salah satunya adalah dengan dicanangkannya Program Raskin.

Program Raskin (Program Penyaluran Beras Untuk Keluarga Miskin) adalah sebuah program dari pemerintah. Program ini dilaksanakan di bawah tanggung jawab Departemen Dalam Negeri dan Perum Bulog sesuai dengan SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Dalam Negeri dengan Direktur Utama Perum Bulog Nomor : 25 Tahun 2003 dan Nomor : PKK-12/07/2003, yang melibatkan instansi terkait, Pemerintah Daerah dan masyarakat.


(3)

Program Raskin pada dasarnya merupakan kelanjutan dari Program Operasi Pasar Khusus (OPK) yang diluncurkan pada Juli 1998 di bawah Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Beberapa penyesuaian yang telah dilakukan antara lain meliputi perubahan nama, jumlah beras per rumah tangga, frekuensi distribusi, sumber dan jenis data sasaran penerima manfaat, dan penyediaan lembaga pendamping.

Pada 2002, pemerintah mengganti nama OPK (Operasi Pasar Khusus) menjadi Program Raskin agar lebih mencerminkan sifat program, yakni sebagai bagian dari program perlindungan sosial bagi RTM (Rumah Tangga Miskin), tidak lagi sebagai program darurat penanggulangan dampak krisis ekonomi. Penetapan jumlah beras per bulan per RTM yang pada awalnya 10 kg, selama beberapa tahun berikutnya bervariasi dari 10 kg hingga 20 kg, dan pada 2009 menjadi 15 kg. Frekuensi distribusi yang pada tahun-tahun sebelumnya 12 kali, pada 2006 berkurang menjadi 10 kali, dan pada 2007 sampai sekarang ini kembali menjadi 12 kali per tahun. Sasaran penerima manfaat yang sebelumnya menggunakan data keluarga prasejahtera (KPS) dan keluarga sejahtera 1 (KS-1) alasan ekonomi hasil pendataan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), sejak 2006 berubah menggunakan data RTM hasil pendataan BPS (Badan Pusat Statistik) (www.pnpm-mandiri.org/elibrary/download.php?id=15).

Program ini dilaksanakan sebagai konsekuensi logis dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang subsidinya ditarik oleh pemerintah pusat. Kenaikan harga BBM tersebut jelas berdampak pada naiknya harga bahan pangan (sembilan bahan pokok), salah satunya beras.


(4)

Program Raskin ini bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran dari rumah tangga miskin sebagai bentuk dukungan dalam meningkatkan ketahanan pangan dengan memberikan perlindungan sosial beras murah dengan jumlah maksimal 15 Kg/rumah tangga miskin/bulan dengan masing-masing seharga Rp. 1600,00/Kg (Netto) di titik distribusi. Program ini mencakup di seluruh provinsi, sementara tanggung jawab dari distribusi beras dari gudang sampai ke titik distribusi di pegang oleh Perum Bulog

Tujuan mulia pemerintah untuk memberikan bantuan pada keluarga miskin tidak luput dari penyimpangan. Menurut pemantauan di lapangan, ada lima masalah dalam penyaluran program raskin. Pertama, mengenai salah sasaran. Program raskin yang semestinya disalurkan atau dijual kepada keluarga-keluarga miskin ternyata (banyak juga yang) jatuh pada kelompok masyarakat lain (keluarga sejahtera). Salah sasaran ini banyak disebabkan oleh human error, di mana para petugas lapangan justru membagi-bagikan kupon raskin pada keluarga dekat atau teman kerabatnya. Bahkan tidak sedikit keluarga sejahtera yang "menagih jatah" beras murah tersebut. Menurut Lembaga Penelitian SMERU

(www.digilib.itb.ac.id).

Sasaran dari Program Raskin ini adalah meningkatkan akses pangan kepada keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam rangka menguatkan ketahanan pangan rumah tangga dan mencegah penurunan konsumsi energi dan protein. Dalam memenuhi kebutuhan pangan tersebut, Program Raskin perlu dilaksanakan agar masyarakat miskin benar-benar bisa merasakan manfaatnya, yakni dapat membeli beras berkualitas baik dengan harga terjangkau. Sebagai Daerah dengan jumlah penduduk miskin yang masih tergolong tinggi, Kelurahan Kota Bangun termasuk daerah yang menjadi target penyaluran Raskin.


(5)

(dalam www.ppk.or.id) mengatakan bahwa Raskin menjangkau 52,6% rumah tangga miskin, namun rumah tangga tidak miskin yang terjangkau juga relatif tinggi, yakni 36,9%. Bahkan World Bank (2006: 215) melaporkan bahwa Raskin lebih banyak diterima oleh rumah tangga bukan miskin.

Kedua, jumlah beras yang dibagikan sering tidak sesuai dengan apa yang telah diprogramkan. Jumlah raskin yang dijual kepada masyarakat (miskin) sudah pasti berkurang karena pembagian beras, sering tidak diukur dalam bentuk kilogram (sesuai dengan program) tetapi dalam liter, sehingga kuantitas beras yang diterima tak sesuai dengan apa yang telah diprogramkan. Kekurangan jumlah itu juga terjadi karena petugas lapangan berusaha untuk bertindak adil dengan membagikan raskin kepada (hampir) seluruh warga termasuk yang tidak menerima kupon. World Bank (2005: 3) mengemukakan bahwa penerima manfaat rata-rata hanya memperoleh 6-10 kg per distribusi. Universitas Indonesia (2004: 142) menyatakan bahwa beras yang diperoleh penerima manfaat hanya 8–16 kg per distribusi. Menurut data Bulog, penerima manfaat memperoleh 9,8–14,9 kg per bulan, sedangkan menurut data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) BPS (Badan Pusat statistik) hanya 5,7–8,9 kg per bulan. Jumlah tersebut masing-masing hanya mencapai 65%–78% dan 35%–45% dari jatah alokasi per penerima manfaat

Permasalahan ketiga, berhubungan dengan masalah sebelumnya, yakni disebabkan kesalahan data jumlah keluarga miskin. Hal ini terjadi akibat masih buruknya koordinasi antara birokrasi baik dari pusat, provinsi, kabupaten/kota,


(6)

didata bisa lebih besar atau lebih sedikit dari yang sebenarnya, sehingga Raskin yang dibagikan akan berdampak pada kekurangan atau (bahkan) kelebihan jatah. Menurut tinjauan dokumen yakni berdasarkan hasil penelitian dari Lembaga Penelitian Smeru (dalam www.ppk.or.id), penargetan merupakan poin utama kelemahan Program Raskin karena tidak seluruh rumah tangga miskin menerima beras Raskin dan banyak rumah tangga tidak miskin yang menerimanya. Hasil analisis data Susenas pun menyimpulkan kondisi yang sama, yakni Beras Raskin diterima oleh semua kelompok rumah tangga berdasarkan tingkat kesejahteraan (kuintil pengeluaran rumah tangga per kapita). Rumah tangga dari kuintil 1 dan 2 yang merupakan kelompok paling tidak sejahtera hanya mencapai 53% dari total penerima; dengan kata lain, terdapat kebocoran sebesar 47%. Selama 2005–2006, proporsi rumah tangga miskin yang terjangkau Program Raskin meningkat 19,8 titik persen dari 62,9% menjadi 82,7%. Akan tetapi, peningkatan jangkauan terhadap rumah tangga miskin tersebut juga dibarengi dengan peningkatan jangkauan terhadap rumah tangga tidak miskin sebesar 8 titik persen dari 23,8% menjadi 31,8%.

Keempat, harga yang tidak sesuai dengan perencanaan awal. Naiknya harga raskin yang harus ditebus warga disebabkan oleh alasan yang seringkali dimunculkan para petugas untuk menjawab ketidaktersediaan dana untuk pengangkutan (distribusi beras atau biaya transportasi), pengadaan kantong plastik, dan lain-lain. Akibatnya, biaya ini dibebankan kepada warga, sehingga tidak heran kalau harga awal berbeda dengan harga di lapangan (


(7)

Dari paparan implementasi Program Raskin tersebut dapat disimpulkan bahwa penyaluran raskin amat rentan terhadap kesalahan, penyelewengan, dan bahkan manipulasi. Dengan melihat banyaknya permasalahan dalam penyaluran raskin kepada Rumah Tangga Miskin maka dengan itu penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai “Implementasi Program Raskin (Beras Untuk Rakyat Miskin) Dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraaan Masyarakat Miskin (Studi Kasus Pada Kelurahan Kota Bangun Kecamatan Medan Deli, Kota Medan).

I.2 Perumusan Masalah

Untuk mempermudah penelitian ini nantinya dan agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam penulisan skripsi, maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahan yang akan diteliti. Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis merumuskan permasalahan pokok penelitian ini adalah:

“Bagaimana implementasi kebijakan program beras untuk rakyat miskin (Raskin) dalam upaya meningkatkat kesejahteraan masyarakat miskin”

I.3 Tujuan Penelitian

1. Menggambarkan kebijakan Program Raskin.

2. Untuk mengetahui implementasi Program Raskin berjalan sesuai dengan Pedoman Umum Raskin.

I.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini akan memberikan manfaat bagi berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun manfaat-manfaat tersebut adalah:


(8)

Untuk menambah khasanah pengetahuan ilmiah dalam studi administrasi dan pembangunan umumnya dan pembangunan bidang kesejahteraan masyarakat khususnya dengan kaitannya dengan Program Raskin

2. Manfaat secara teknis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut :

a. Dapat dijadikan sebagai kontribusi terhadap pemecahan masalah terkait yakni Program Raskin

b. Secara subjektif diharapkan penelitian ini sebagai suatu tahap untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir secara sistematis dan teoritis dalam memecahkan suatu permasalahan secara objektif dan kritis melalui suatu karya ilmiah sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang bersifat teruji dan berguna.

3. Manfaaat secara akademis

Sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian studi Strata-1 di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Social Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

I.5 Kerangka Teori

Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau memecahkan permasalahan perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah tersebut disoroti. Selanjutnya teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, definisi dan proposisi untuk


(9)

menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep (Singarimbun, 1989:37).

Berdasarkan rumusan diatas, maka dalam bab ini penulis akan mengemukakan teori, pendapat, gagasan yang akan dijadikan titik tolak landasan berfikir dalam penelitian ini.

1.5.1 Hierarki Kebutuhan

Kebutuhan adalah sesuatu yang diperlukan oleh manusia sehingga dapat mencapai kesejahteraan, sehingga bila ada di antara kebutuhan tersebut yang tidak terpenuhi maka manusia akan merasa tidak sejahtera atau kurang sejahtera. Dapat dikatakan bahwa kebutuhan adalah suatu hal yang harus ada, karena tanpa itu hidup kita menjadi tidak sejahtera atau setidaknya kurang sejahtera. Kebutuhan adalah salah satu aspe aktivitas-aktivitasnya dan menjadi dasar (alasan) berusaha.

Dalam menjalani kehidupan, manusia membutuhkan berbagai jenis dan macam barang-barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia sejak lahir hingga meninggal dunia tidak terlepas dari kebutuhan akan segala sesuatunya. Untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan diperlukan pengorbanan untuk mendapatkannya.

Abraham Maslow mengemukakan sejumlah proporsi penting tentang perilaku manusia yakni Manusia merupakan makhluk yang serba berkeinginan, ia senantiasa menginginkan sesuatu dan menginginkannya lebih banyak. Tetapi, apa yang diinginkannya, tergantung pada apa yang sudah dimiliki olehnya. Setelah salah satu di antara keinginan manusia dipenuhi muncullah keinginan lain. Proses


(10)

dunia. Maka kebutuhan-kebutuhannya pada umumnya tidak mungkin terpuaskan semuanya.

Kebutuhan manusia diatur dalam suatu seri tingkatan-suatu hirarki menurut pentingnya masing-masing kebutuhan. Setelah kebutuhan yang paling mendasar terpenuhi, meningkatlah pada kebutuhan selanjutnya yang lebih tinggi, yang menuntut pemuasan.

Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Kelima tingkatan kebutuhan itu, menurut Maslow, ialah:

Kebutuhan Fisiologis dalam gambar diatas diletakkan di bagian paling atas dalam susunan hierarki kebutuhan. Pada dasarnya, manusia harus memenuhi kebutuhan fisiologisnya untuk dapat bertahan hidup. Pada hierarki yang paling atas ini, manusia harus memenuhi kebutuhan makanan, tidur, minum, seks, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan fisik badan. Bila kebutuhan dasar ini belum terpenuhi, maka manusia akan mengalami kesulitan untuk berfungsi secara normal. Misalnya, seseorang mengalami kesulitan untuk mendapatkan makanan, sehingga ia menderita kelaparan, maka ia tidak akan mungkin mampu untuk memikirkan kebutuhan akan keamanannya ataupun kebutuhan aktualisasi diri.


(11)

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri dan harus dapat berinteraksi dengan orang lain. Di dalam setiap interaksi itu kadang kala membawa masalah. Pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan yang mencakup segala sendi kehidupan bermasyarakat harus dapat mengatasi masalah-masalah yang timbul tersebut yakni dengan lahirnya kebijakan-kebijakan tapi kadang kala, kebijakan itu tidak dapat menjawab kebutuhan masyarakat dan menyelesaikan permasalahan yang ada.

Menurut H. Hugh Heglo (dalam Abidin 2004:21) kebijakan adalah suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan Anderson (dalam Islamy 1997:4) mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.

Carl I. Friedrick dikutib oleh Riant D. Nugroho (2004 : 4) mendefinisikannya sebagai: Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada, di mana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada rangka mencapai tujuan tertentu.

Kebijakan dapat pula diartikan sebagai bentuk ketetapan yang mengatur yang dikeluarkan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan, jika ketetapan tersebut memiliki sasaran kehidupan orang banyak atau masyarakat luas maka kebijakan itu dikategorikan sebagai kebijakan publik. Dalam perkembangan Ilmu Administrasi Negara baik di negara berkembang bahkan di negara maju


(12)

sekalipun, kebijakan publik merupakan masalah politik yang menarik untuk dikaji dan dibahas.

Dari kedua penjelasan diatas dapat ditarik konsep dasar bahwa : kebijakan itu adalah prosedur memformulasikan sesuatu berdasarkan aturan tertentu yang kemudian digunakan sebagai alat untuk memecahkan permasalahan dalam mencapai suatu tujuan. Dalam setiap kebijakan pasti membutuhkan orang-orang sebagai perencana atau pelaksana kebijakan maupun objek dari kebijakan itu sendiri. Sebagaimana penjelasan Irfan Islamy (1999:5) kebijakan adalah suatu program kegiatan yang dipilih oleh seorang atau sekelompok orang dan dapat dilaksanakan serta berpengaruh terhadap sejumlah besar orang dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu

Dari beberapa pandangan tentang kebijakan negara tersebut, dengan mengikuti paham bahwa kebijakan negara itu adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh rakyat, maka (M. Irfan Islamy 1997:20) menguraikan beberapa elemen penting dalam kebijakan publik, yaitu :

1. Bahwa kebijakan publik itu dalam bentuk Perdanya berupa penetapan tindakan-tindakan pemerintah;

2. Bahwa kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk yang nyata;

3. Bahwa kebijakan publik, baik untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi maksud dan tujuan tertentu;


(13)

4. Bahwa kebijakan publik itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat.

Menurut Anderson (dalam Tangkilisan 2003:2) kebijakan publik adalah pengembangan dari kebijakan yang dilakukan oleh institusi pemerintah dan aparaturnya dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa:

a. Kebijakan pemerintah selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan.

b. Kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah.

c. Kebijakan itu merupakan apa yang benar-benar dilakukan pemerintah, jadi bukan apa yang baru menjadi maksud atau pernyataan pemerintah untuk melakukan sesuatu.

d. Kebijakan pemerintah ini dilandaskan pada perundang-undangan dan bersifat memaksa.

Hogwood dan Peters menganggap ada sebuah proses linier pada sebuah kebijakan yaitu : policy innovation – policy succession – policy maintenance –

policy termination. Policy innovation adalah saat di mana pemerintah berusaha

memasukkan sebuah problem baru yang diambil dari hiruk pikuk kepentingan yang ada di masyarakat untuk kemudian dikonstruksi menjadi sebuah kebijakan yang relevan dengan konteks tersebut. Policy succession, setelah aspirasi itu ditangkap maka pemerintah akan mengganti kebijakan yang ada dengan kebijakan baru yang lebih baik. Policy maintenance adalah sebuah pengadaptasian atau penyesuaian kebijakan baru yang dibuat tersebut untuk keep the policy on track.


(14)

Policy termination adalah saat dimana kebijakan yang ada tersebut dan dianggap

sudah tidak sesuai lagi maka kebijakan tersebut dihentikan (Putra, 2003:115-116). Terdapat berbagai macam strategi untuk menghentikan kebijakan, apakah itu dengan mencabut kebijakan, membatalkannya, atau menggantinya dengan sebuah kebijakan baru. Substansi utama dari proses linier yang digagas oleh Hogwood dan Peters secara lugas mendeskripsikan kepada kita bahwa kebijakan publik merupakan siklus yang mekanistik.

Dalam konsep lainnya seorang pakar bernama William N. Dunn (1994) mengatakan proses analisis kebijakan publik merupakan serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis itu nampak pada serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Sementara aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan sebagai aktivitas yang lebih bersifat intelektual, dapat diamati melalui tabel berikut :

Tabel : 1

Proses Kebijakan Publik

Tahap Karakteristik

Perumusan Masalah : Memberikan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah

Forecasting (Peramalan) : Memberikan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari diterapkannya alternatif kebijakan, termasuk apabila tidak membuat kebijakan


(15)

Rekomendasi Kebijakan : Memberikan informasi mengenai manfaat bersih dari setiap alternatif, dan merekomendasikan alternatif kebijakan yang memberikan manfaat bersih paling tinggi

Monitoring Kebijakan : Memberikan informasi mengenai konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan termasuk kendala-kendalanya

Evaluasi Kebijakan : Memberikan informasi mengenai kinerja atau hasil dari suatu kebijakan

Sumber : AG. Subarsono (2005:9)

Korten (dalam Tangkilisan 2003:7) mengatakan bahwa suatu kebijakan berhasil ditentukan oleh hubungan dari tiga aspek yaitu : jenis kebijakan, penerima kebijakan dan organisasi pelaksana kebijakan. Organisasi pelaksana kebijakan harus mampu merumuskan apa yang menjadi ekspresi kebutuhan calon penerima kebijakan atau kelompok sasaran dalam sebuah kebijakan. Ini dimaksudkan agar penerima kebijakan memerlukan persyaratan teknis yang harus dipenuhi oleh organisasi pelaksana. Setiap jenis kebijakan memerlukan persyaratan teknis yang berbeda sesuai dengan sifat kebijakan. Oleh karena itu organisasi pelaksana harus memiliki kompetensi supaya dapat dapat berhasil. Selanjutnya outcome dari suatu kebijakan harus sesuai sengan kebutuhan masyarakat penerima kebijakan atau target group supaya kebijakan tersebut terasa


(16)

manfaatnya. Apabila outcome kebijakan tidak seperti yang dikehendaki masyarakat penerima kebijakan maka terjadi pemborosan biaya kebijakan.

I.5.3 Implementasi Kebijakan A. Pengertian Implementasi

Dalam kamus Webster (Wahab, 1997:64) pengertian implementasi dirumuskan secara pendek, dimana “to implementasi" (mengimplementasikan) berarti “to provide means for carrying out; to give practical effect to” (menyajikan alat bantu untuk melaksanakan; menimbulkan dampak/berakibat sesuatu).

Selanjutnya Mazmanian dan Sabatier (dalam Wahab 1997:65) menjelaskan lebih lanjut tentang konsep implementasi kebijakan sebagaimana berikut:

“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yaitu kejadian-kejadian atau kegiatan yang timbul setelah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara, yaitu mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian."

Menurut Wahab (1991 : 45): Implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari keseluruhan proses kebijakan, implementasi kebijakan tidak hanya sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik kedalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi melainkan lebih dari itu. Ini menyangkut masalah konflik, keputusan dari siapa dan memperoleh apa dari suatu kebijakan.

Ia juga mengatakan, dalam implementasi khususnya yang dilibatkan oleh banyak organisasi pemerintah sebenarnya dapat dilihat dari 3 (tiga)


(17)

sudut pandang yakni : ”(1) pemprakarsa kebijakan/pembuat kebijakan (the

center atau pusat); (2) pejabat-pejabat pelaksana di lapangan (the periphery);

(3) aktor-aktor perorangan diluar badan-badan pemerintah kepada siapa program-program itu diwujudkan yakni kelompok-kelompok sasaran (target

group)" (Wahab, 1997 : 63).

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa fungsi implementasi kebijakan adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan atau sasaran kebijakan negara diwujudkan sebagai “Out come“ (hasil akhir) kegiatan kegiatan yang dilakukan pemerintah. Sebab itu fungsi implementasi mencakup pula penciptaan apa yang dalam ilmu kebijakan negara tersebut “Policy delivery system” (sistem penyampaian/penerusan kebijakan negara) yang biasanya terdiri dari cara-cara atau sarana tertentu yang dirancang/didesain secara khusus serta diarahkan menuju tercapainya tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dikehendaki (Wahab; 1990 : 123-124).

Menurut Ripley & Franklin(1986:54) ada dua hal yang menjadi fokus perhatian dalam implementasi, yaitu compliance (kepatuhan) dan What”s

happening ? (Apa yang terjadi ). Kepatuhan menunjuk pada apakah para

implementor patuh terhadap prosedur atau standard aturan yang telah ditetapkan. Sementara untuk “what’s happening” mempertanyakan bagaimana proses implementasi itu dilakukan, hambatan apa yang muncul, apa yang berhasil dicapai, mengapa dan sebagainya.


(18)

kemampuannya secara nyata dalam meneruskan/ mengoperasionalkan program-program yang telah dirancang sebelumnya. Sebaliknya keseluruhan proses implementasi kebijakan dapat dievaluasikan dengan cara mengukur atau membandingkan antara hasil akhir dari program-program tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan.

Berdasarkan pada pendapat tersebut di atas, nampak bahwa implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada tindakan atau perilaku badan alternatif atau unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan dari target grup, namun lebih dari itu juga berlanjut dengan jaringan kekuatan politik sosial ekonomi yang berpengaruh pada perilaku semua pihak yang terlibat dan pada akhirnya terdapat dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan:

Menurut George C. Edward III (dalam Subarsono 2005:90) ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor komunikasi, sumber daya, struktur birokrasi dan disposisi.

1.) Komunikasi

Secara umum Edward membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni (Winarno, 2002:126):

a. Transmisi

Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksananya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang


(19)

langsung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan diabaikan atau seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan yang dikeluarkan.

b. Konsistensi

Jika implementasi ingin berlangsung efektif, maka perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah tersebut mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik.

c. Kejelasan

Edwards mengidentifikasikan enam faktor terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut adalah kompleksitas kebijakan, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan.

2.) Sumber Daya

Sumber daya adalah faktor paling penting dalam implementasi kebijakan agar efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumber daya financial. Tanpa adanya sumber daya, kebijakan hanya tinggal dikertas saja menjadi dokumen.

3.) Disposisi (kecenderungan atau tingkah laku)


(20)

memiliki disposisi yang baik, dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

4.) Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementsikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standar operating procedure atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi implementor dalam bertindak.

Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Dan pada akhirnya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

Sedangkan menurut Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono, 2005:99) ada enam variable yang mempengaruhi kinerja implementasi yakni:

1. Standar dan Sasaran Kebijakan

Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standard dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiimplementasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi.

2. Sumber Daya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia.


(21)

Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk ini diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

4. Karakteristik agen pelaksana

Agar pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu program.

5. Kondisi sosial, ekonomi dan politik

Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.

6. Disposisi implementor

Disposisi implementor ini mencakup tiga hal, yakni (a) respon implementor terhadap kebijakan, yang akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

I.5.4 Beras Untuk Keluarga Miskin (RASKIN) A. Pengertian Raskin


(22)

untuk mengurangi beban pengeluaran dari rumah tangga miskin sebagai bentuk dukungan dalam meningkatkan ketahanan pangan dengan memberikan perlindungan sosial beras murah dengan jumlah maksimal 15 kg/rumah tangga miskin/bulan dengan masing-masing seharga Rp. 1600,00 per kg (netto) di titik distribusi. Program ini mencakup di seluruh provinsi, sementara tanggung jawab dari distribusi beras dari gudang sampai ke titik distribusi di kelurahan dipegang oleh Perum Bulog.

Istilah-istilah yang digunakan dalam petunjuk teknis antara lain adalah: 1. Tim Koordinasi program Raskin tingkat Provinsi adalah tim koordinasi

yang ditetapkan berdasarkan keputusan Gubernur dan terdiri dari unsur pemerintah daerah Provinsi (Biro Sarana Perekonomian, Biro Bina Produksi, BPMD, Bappeda, BPS (Badan Pusat Statistik), BKKBN, Perum Bulog, Divisi Regional, Kepolisian, Kejaksaan serta stakeholders yang terkait.

2. Tim Koordinasi Divisi Regional (Divre) Provinsi adalah satuan kerja Perum Bulog Divre Provinsi yang dibentuk Kadivre yang bertugas dan bertanggung jawab mengkoordinasi dalam pelaksanaan Program Raskin di Sub Divre.

3. Satker Raskin adalah satuan kerja Perum Bulog Sub Divre yang dibentuk Kasub Divre yang bertugas dan bertanggung jawab mengangkut beras dari gudang Perum Bulog sampai dengan titik distribusi dan menyerahkan kepada pelaksana distribusi.

4. Tim Koordinasi Raskin Kecamatan adalah tim yang dibentuk di tingkat Kecamatan yang dipimpin oleh Camat sebagai ketua yang beranggotakan


(23)

unsur Kecamatan, Polsek, Pengelola Program KB Kecamatan dan Koordinator Sensus Kecamatan (KSK) yang bertugas mengkoordinir pelaksanaan Program Raskin di Kecamatan.

5. Pelaksana Distribusi adalah Kelompok Kerja (Pokja) dititik distribusi yang dibentuk berdasarkan musyawarah Desa/Kelurahan yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa/Lurah, terdiri dari Aparat Desa/ Kelurahan, Lembaga Masyarakat, dan unsur-unsur masyarakat yang bertugas dan bertanggung jawab mendistribusikan Raskin kepada penerima manfaat Raskin.

6. Titik Distribusi (TD) adalah tempat atau lokasi penyerahan beras oleh Satuan Kerja (Satker) Raskin Sub Divre kepada pelaksana distribusi di Desa. Kelurahan yang dapat dijangkau penerima manfaat Raskin atau lokasi lain yang ditetapkan atas dasar kesepakatan secara tertulis antara Pemerintah Daerah dan Sub Divre.

7. Rumah Tangga Miskin (RTM) adalah penerima manfaat Program Raskin di Desa/Kelurahan sesuai hasil pendataan Sosial Ekonomi tahun 2005 BPS dengan kategori sangat miskin, miskin, dan sebagian hampir miskin. 8. Musyawarah Desa/Kelurahan adalah forum komunikasi di tingkat

Desa/Kelurahan untuk menetapkan RTM yang berhak menerima Raskin. 9. Beras Standar Kualitas Bulog adalah beras kualitas medium, kondisi baik

dan tidak berhama.

10. Unit Pengaduan Masyarakat (UPM) adalah lembaga yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur di Provinsi dan Keputusan Bupati/Walikota


(24)

pengaduan masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung termasuk media cetak dan elektronik.

B. Tujuan dan Sasaran Program RASKIN 1. Tujuan

Tujuan Program Raskin adalah mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Miskin melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras.

2. Sasaran

Sasaran Program Raskin Tahun 2010 adalah berkurangnya beban pengeluaran 17,5 juta RTS berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), melalui pendistribusian beras bersubsidi sebanyak 2,73 juta ton selama setahun dengan harga tebus Rp 1.600 per kg netto di Titik Distribusi.

C. Prinsip Pengelolaan

Prinsip pengelolaan Raskin adalah suatu nilai-nilai dasar yang selalu menjadi landasan atau acuan dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan yang akan diambil dalam pelaksanaan rangkaian kegiatan Raskin. Nilai-nilai dasar tersebut diyakini mampu mendorong terwujudnya tujuan Raskin. Keberpihakan kepada Rumah Tangga Miskin (RTM), yang maknanya mendorong RTM untuk ikut berperan aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelestarian seluruh kegiatan Raskin baik di desa dan kecamatan, termasuk menerima manfaat atau menikmati hasilnya. Transparansi, yang maknanya membuka akses informasi kepada lintas pelaku Raskin terutama masyarakat penerima Raskin, yang harus tahu, memahami dan mengerti (www.bapeda-jabar.go.id).


(25)

D. Pengorganisasian

Dalam rangka pelaksanaan program Raskin tahun 2010 dipandang perlu mengatur organisasi pelaksana program Raskin. Untuk mengefektifkan pelaksanaan program dan pertanggungjawabannya, dibentuk Tim Koordinasi Raskin di tingkat pusat sampai kecamatan dan Pelaksana Distribusi Raskin di tingkat desa/kelurahan serta tim lainnya sesuai kebutuhan yang diatur dan ditetapkan melalui keputusan pejabat yang berwenang.

Penanggung jawab pelaksanaan program Raskin di pusat adalah Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, di provinsi adalah gubernur, di kabupaten/kota adalah bupati/walikota, di kecamatan adalah camat dan di desa/kelurahan adalah kepala desa/lurah.

a. Tim Koordinasi Raskin Pusat

Tim Koordinasi Raskin Pusat beranggotakan unsur dari Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Sosial, Departemen Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Perum BULOG.

1) Kedudukan

Tim Koordinasi Raskin Pusat berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.


(26)

pelaksanaan, fasilitasi, monitoring dan evaluasi serta menerima pengaduan dari masyarakat tentang pelaksanaan program Raskin.

3) Fungsi

Mengkoordinasikan dan merumuskan kebijakan Raskin sebagai bagian dari kebijakan penanggulangan kemiskinan.

4) Struktur dan Keanggotaan Tim Koordinasi Raskin Pusat

Tim Koordinasi Raskin Pusat terdiri dari Pengarah, Pelaksana dan Sekretariat. Pengarah terdiri dari Ketua dari unsur Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Anggota terdiri dari unsur Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Departemen Sosial, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, BPS, BPKP dan Perum BULOG.

Pelaksana terdiri dari ketua, wakil ketua/ketua bidang dan Anggota. Ketua Pelaksana adalah Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; Wakil Ketua I /Bidang Kebijakan Perencanaan adalah Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas; Wakil Ketua II /Bidang Kebijakan Anggaran adalah Direktur Anggaran III, Ditjen Anggaran Departemen Keuangan; Wakil Ketua III /Bidang Pelaksanaan dan Distribusi adalah Direktur Pelayanan Publik Perum BULOG; Wakil Ketua IV /Bidang Fasilitasi, Monev dan Pengaduan adalah Direktur Usaha Ekonomi Masyarakat Ditjen PMD Departemen Dalam Negeri.


(27)

Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Sosial, Departemen Pertanian, Badan Pusat Statistik, BPKP, dan Perusahaan Umum BULOG.

b.Tim Koordinasi Raskin Provinsi

Gubernur bertanggung jawab atas pelaksanaan program Raskin di wilayahnya dengan membentuk Tim Koordinasi Raskin Tingkat Provinsi sebagai berikut :

1) Kedudukan

Tim Koordinasi Raskin Provinsi adalah pelaksana program Raskin di provinsi, yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur.

2) Tugas

Tim Koordinasi Raskin Provinsi mempunyai tugas melakukan koordinasi perencanaan, anggaran, pelaksanaan distribusi, monitoring dan evaluasi serta menerima pengaduan dari masyarakat tentang pelaksanaan program Raskin.

3) Fungsi

Dalam melaksanakan tugas tersebut, Tim Koordinasi Raskin Provinsi mempunyai fungsi :

a) Koordinasi perencanaan program Raskin di provinsi. b) Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Program Raskin.


(28)

informasi program Raskin.

d) Pembinaan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Tim Koordinasi Raskin Kabupaten/Kota.

e) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program Raskin di kabupaten/kota.

4) Struktur dan Keanggotaan Tim Koordinasi Raskin Provinsi

Tim Koordinasi Raskin Provinsi terdiri dari penanggung jawab, ketua, sekretaris, dan beberapa bidang antara lain: perencanaan, pelaksanaan distribusi, monev dan pengaduan masyarakat, yang ditetapkan dengan keputusan gubernur.

Tim Koordinasi Raskin Provinsi beranggotakan unsur-unsur instansi terkait di tingkat provinsi antara lain Setda (Sekertaris Daerah), Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan daerah), badan/dinas/lembaga yang berwenang dalam pemberdayaan masyarakat, Dinas Sosial, Badan Pusat Statistik, badan/dinas/kantor yang berwenang dalam ketahanan pangan, Perwakilan BPKP dan Divisi Regional/Sub Divisi Regional Perum BULOG serta lembaga lain sesuai dengan kondisi dan kebutuhan.

c. Tim Koordinasi Raskin Kabupaten/Kota

Bupati/Walikota sebagai penanggung jawab program Raskin di tingkat kabupaten/kota bertanggung jawab atas pengalokasian Pagu Raskin bagi seluruh RTS-PM Raskin, penyediaan dan pendistribusian beras, penyelesaian pembayaran HPB (Hasil Penjualan beras) dan adminstrasi distribusi Raskin di wilayahnya. Untuk penyelenggaraan program Raskin di wilayahnya, bupati/walikota membentuk Tim Koordinasi Raskin sebagai berikut :


(29)

Tim Koordinasi Raskin Kabupaten/Kota adalah pelaksana program Raskin di kabupaten/kota, yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota.

2)Tugas

Tim Koordinasi Raskin Kabupaten/Kota mempunyai tugas melakukan koordinasi perencanaan, anggaran, pelaksanaan distribusi, monitoring dan evaluasi serta menerima pengaduan dari masyarakat tentang pelaksanaan program Raskin.

3)Fungsi

Dalam melaksanakan tugas tersebut, Tim Koordinasi Raskin Kabupaten/Kota mempunyai fungsi :

a) Perencanaan program Raskin di kabupaten/kota.

b) Penyusunan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Program Raskin di kabupaten/kota.

c) Fasilitasi lintas pelaku, komunikasi interaktif, dan penyebarluasan informasi program Raskin di kabupaten/kota.

d) Pembinaan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Tim Koordinasi Raskin Kecamatan dan Pelaksana Distribusi Raskin di desa/kelurahan.

e) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program Raskin di kecamatan, desa/kelurahan.

f) Penyelesaian HPB dan administrasi pelaksanaan Raskin.

4) Struktur dan Keanggotaan Tim Koordinasi Raskin Kabupaten/Kota


(30)

Distribusi, Monev dan Pengaduan Masyarakat, yang ditetapkan dengan keputusan bupati/walikota.

Keanggotaan Tim Koordinasi Raskin Kabupaten/Kota terdiri dari unsur-unsur instansi terkait di tingkat kabupaten/kota antara lain Setda, Bappeda, badan/dinas/lembaga yang berwenang dalam pemberdayaan masyarakat, Dinas Sosial, Badan Pusat Statistik, badan/dinas/kantor yang berwenang dalam ketahanan pangan, Divre/Subdivre /Kansilog Perum BULOG dan lembaga lain sesuai dengan kondisi dan kebutuhan.

d. Tim Koordinasi Raskin Kecamatan

Camat sebagai penanggung jawab di tingkat kecamatan bertanggung jawab atas pelaksanaan distribusi Raskin, penyelesaian pembayaran HPB dan adminstrasi distribusi Raskin di wilayahnya. Untuk penyelenggaraan program Raskin di wilayahnya, camat membentuk Tim koordinasi Raskin sebagai berikut :

1)Kedudukan

Tim Koordinasi Raskin Kecamatan adalah pelaksana program Raskin di kecamatan, yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada camat.

2)Tugas

Tim Koordinasi Raskin Kecamatan mempunyai tugas merencanakan, melaksanakan, mengendalikan, sosialisasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan program Raskin serta melaporkan hasilnya kepada Tim Koordinasi Raskin Kabupaten/Kota.


(31)

3)Fungsi

Dalam melaksanakan tugas tersebut, Tim Koordinasi Raskin Kecamatan mempunyai fungsi :

a) Perencanaan distribusi program Raskin di kecamatan.

b) Fasilitasi lintas pelaku, komunikasi interaktif, dan penyebarluasan informasi program Raskin di kecamatan.

c) Pembinaan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Pelaksana Distribusi Desa/Kelurahan.

d) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program Raskin di desa/kelurahan.

4)Struktur dan Keanggotaan Tim Koordinasi Raskin Kecamatan

Tim Koordinasi Raskin Kecamatan terdiri dari penanggung jawab yaitu camat, ketua yaitu sekretaris kecamatan, sekretaris yaitu Kasi Kesejahteraan Sosial, dan anggota terdiri dari aparat Kecamatan, Koordinator Statistik Kecamatan (KSK), anggota Satker Raskin dan pihak terkait yang dipandang perlu.

e. Pelaksana Distribusi Raskin di Desa/Kelurahan

Kepala desa/lurah sebagai penanggung jawab di tingkat desa/kelurahan bertanggung jawab atas pelaksanaan distribusi Raskin, penyelesaian pembayaran HPB dan adminstrasi distribusi Raskin di wilayahnya. Untuk pelaksanaan distribusi Raskin di wilayahnya, kepala desa/lurah dapat memilih dan menetapkan salah satu dari 3 alternatif Pelaksana Distribusi Raskin yaitu :


(32)

3) Kelompok Masyarakat (Pokmas)

Pembentukan Pokmas dan Warung Desa diatur dalam Pedoman Teknis tersendiri yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Pedum Raskin

a)Kedudukan

Pelaksana Distribusi Raskin berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala desa/lurah.

b)Tugas

(1) Menerima dan mendistribusikan beras Raskin dari Satker Raskin dan menyerahkan/menjual kepada RTS-PM Raskin di Titik Distribusi (TD). (2) Menerima Hasil Penjualan Beras (HPB) dari RTS-PM Raskin secara tunai

dan menyetorkan ke rekening Bank yang ditunjuk Divre/Subdivre/Kansilog Perum BULOG atau menyetor secara tunai kepada Satker Raskin.

(3) Menyelesaikan administrasi distribusi Raskin yaitu Berita Acara Serah Terima (BAST) dan Daftar Penjualan Beras sesuai model DPM-2.

c) Fungsi

(1) Pendistribusian Raskin kepada RTS-PM Raskin.

(2) Penerimaan uang hasil penjualan beras Raskin secara tunai dari RTS-PM Raskin dan penyetorannya kepada Satker Raskin atau ke rekening bank yang ditetapkan Divre/Subdivre/Kansilog Perum Bulog.

(3) Pengadministrasian distribusi Raskin kepada RTS-PM Raskin.

f. Satker Raskin 1) Kedudukan

Satker Raskin berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kadivre/Kasubdivre/Kakansilog Perum BULOG sesuai tingkatannya.


(33)

2) Organisasi

Satker Raskin terdiri dari : a) Ketua

b) Anggota :

(1) Pegawai Perum BULOG yang ditetapkan melalui Surat Perintah (SP) Kadivre/Kasubdivre/Kakansilog Perum BULOG.

(2) Tenaga bantuan yang ditetapkan oleh ketua satker atas sepengetahuan Kadivre/Kasubdivre/Kakansilog Perum BULOG.

3) Tugas dan Kewenangan

Satker Raskin mempunyai tugas, kewenangan dan tanggung jawab : a) Ketua :

(1) Mempunyai kewenangan mengangkat dan memberhentikan tenaga bantuan di wilayah kerjanya atas sepengetahuan Kadivre/Kasubdivre/Kakansilog Perum BULOG.

(2) Mempunyai tugas dan bertanggung jawab atas pelaksanaan distribusi, penyelesaian HPB, dan administrasi Raskin.

b) Anggota mempunyai tugas membantu dan bersama ketua sebagai berikut : (1) Mendistribusikan beras dari gudang Perum BULOG sampai dengan TD dan

menyerahkan kepada Pelaksana Distribusi Raskin di TD.

(2) Menerima uang HPB atau bukti setor bank dari Pelaksana Distribusi Raskin dan menyetorkan ke rekening HPB Bulog.

(3) Menyelesaikan administrasi distribusi Raskin yaitu Delivery Order (DO), BAST, Rekap BAST di kecamatan (model MBA-0) dan pembayaran HPB


(34)

2 dari TD.

(4) Melaporkan pelaksanaan tugas antara lain : realisasi jumlah distribusi beras, setoran HPB dan BAST di wilayah kerjanya kepada Kadivre/Kasubdivre/ Kakansilog Perum BULOG secara periodik setiap bulan.

E. Penentuan Pagu

a. Pagu Raskin Nasional dialokasikan ke provinsi di seluruh Indonesia oleh Tim Koordinasi Raskin Pusat berdasarkan data RTS dari BPS dan kuantum Pagu Raskin Nasional sesuai dengan Undang Undang No. 47 tahun 2009 tentang APBN 2010.

b. Pagu Raskin Provinsi dialokasikan ke kabupaten/kota oleh Tim Koordinasi Raskin Provinsi yang dituangkan dalam Keputusan Gubernur. Untuk Sumatera Utara ini sendiri dituangka n dalam Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor :501/670/K/ Tahun 2009 tanggal 2 Maret 2009 tentang penetapan Pagu beras Raskin untuk RTM Kabupaten/kota se-Sumatera Utara Tahun 2009 dan Pemko Medan mendapat alokasi pagu RTM sebanyak 86.323 RTM yang masing-masing memperoleh beras Raskin sebanyak 15 Kg /RTM/perbulan dengan harga Rp.1.600/Kg. Sedangkan penetapan Pagu Raskin Kabupaten/Kota didasarkan pada:

1) Pagu Raskin Provinsi.

2) Data RTS Kabupaten/Kota dari BPS, untuk kota Medan ini sendiri berdasarkan pada Surat Kepala Badan Pusat Statistik Kota Medan (BPS) Nomor : 12752/02.020 tanggal 23 Februari 2009 dan surat Nomor :


(35)

12752.028 6 Maret 2009 tentang pengiriman data RTM di Kota Medan sebanyak 86.323 RTM.

c. Pagu Raskin Kecamatan/Kelurahan/Desa ditetapkan oleh Tim Koordinasi Raskin Kabupaten/Kota dengan Keputusan Bupati/Walikota. Penetapan pagu Raskin Kecamatan dan Desa/Kelurahan didasarkan pada:

1) Pagu Raskin Kabupaten/Kota

2) Data RTS Kecamatan, Desa/Kelurahan dari BPS

d. Distribusi Pagu Raskin tahun 2010 berakhir sampai dengan 31 Desember 2010 dan apabila ada sisa pagu, tidak dapat disalurkan pada tahun 2011.

F. Pembiayaan Operasional

Pemerintah Provinsi menyediakan anggaran untuk pembinaan, koordinasi, monitoring dan evaluasi Raskin dari APBD setempat. Pemerintah Kabupaten/Kota mengalokasikan anggaran untuk biaya operasional dari Titik Distribusi sampai di tangan Rumah Tangga Miskin (Penerima Manfaat Raskin) yang bersumber dari APBD dengan tetap mendorong keterlibatan/partisipasi masyarakat. Disamping itu anggaran Daerah hendaknya diarahkan juga untuk pembinaan UPM, koordinasi, monitoring dan evaluasi Raskin di tingkat Kabupaten/Kota.

G. Penentuan Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat


(36)

b. Dalam rangka mengakomodir adanya dinamika RTM ditingkat desa/kelurahan, maka perlu dilakukan Mudes/Muskel untuk menetapkan kebijakan lokal:

1) Melakukan verifikasi nama RTS hasil PPLS 08 BPS yang sudah tidak layak atau pindah alamat keluar desa/kelurahan dapat diganti oleh RTM yang belum terdaftar sebagai RTS. Sedangkan untuk RTS yang meninggal dunia diganti oleh salah satu anggota rumah tangganya. Apabila RTS yang meninggal dunia merupakan rumah tangga tunggal (tidak memiliki anggota rumah tangga) dapat digantikan RTM yang belum terdaftar.

2) RTM yang belum terdaftar sebagai RTS hasil PPLS 08 BPS dan butir 1) diatas, yang dinilai layak sesuai kriteria RTS BPS dapat diberikan Raskin. c. RTS BPS yang telah diverifikasi dan hasil Mudes/Muskel yang memutuskan

nama rumah tangga penerima manfaat Raskin tersebut butir b. diatas dimasukkan dalam daftar RTS-PM sesuai model DPM-1, yang ditetapkan oleh kepala desa/lurah dan disahkan oleh camat.

d. Data RTS-PM Raskin di desa/kelurahan direkap di tingkat kecamatan dan dilaporkan kepada Tim Koordinasi RASKIN Kabupaten/Kota.

H. Mekanisme Distribusi Raskin

1. Bupati/walikota mengajukan Surat Permintaan Alokasi (SPA) kepada kepala Sub Divisi Regional Perum Bulog berdasarkan alokasi pagu Raskin dan rumah tangga sasaran penerima manfaat di masing-masing Kecamatan/Desa/Kelurahan.


(37)

2. SPA yang tidak dapat dilayani sebagian atau seluruhnya dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan, maka pagu dapat direlokasikan ke daerah lain dengan menerbitkan SPA baru yang menunjuk pada SPA yang tidak dapat dilayani.

3. Berdasarkan SPA, Sub Divre menerbitkan SPPB DO beras untuk masing-masing Kecamatan/Desa/Kelurahan kepada pelaksana Raskin. Apabila terdapat tunggakan Harga Penjualan Beras (HPB) pada periode sebelumnya maka penerbitan SPPB DO periode berikutnya ditangguhkan sampai ada pelunasan.

4. Berdasarkan SPPB DO, pelaksana Raskin mengambil beras di gudang penyimpanan Perum Bulog, mengangkut dan menyerahkan beras Raskin kepada pelaksana distribusi di titik distribusi. Kualitas beras yang diserahkan, sesuai dengan standar kualitas Bulog. Apabila tidak memenuhi standar kualitas Bulog. Apabila tidak memenuhi standar kualitas maka beras dikembalikan kepada pelaksana Raskin untuk ditukar/diganti.

5. Serah terima beras Raskin dari pelaksana Raskin kepada pelaksana distribusi di titik distribusi dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima (BAST) yang merupakan pengalihan tanggung jawab.

6. Pelaksana distibusi menyerahkan beras kepada Rumah Tangga Miskin. 7. Mekanisme distribusi secara rinci diatur dalam Pedoman Teknis Raskin

Kabupaten/Kota dengan kondisi objektif masing-masing daerah. (Sumber :


(38)

Kriteria Untuk Menentukan Keluarga/Rumah Tangga Miskin

Menurut BPS, ada 14 kriteria untuk menentukan keluarga/rumah tangga miskin, yaitu :

1. Luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.

2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. 3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas

rendah/tembok tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun

10. Hanya sanggup makan hanya satu/dua kali dalam sehari.

11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. 12. Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 500

m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,- (Enam Ratus Ribu) per bulan.

13. Pendidikan tertinggi kepala keluarga : tidak bersekolah/tidak tamat SD/hanya SD.


(39)

14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,- (Lima Rus Ribu Rupiah), seperti sepeda motor kredit/non-kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Jika minimal 9 variabel terpenuhi, maka dikategorikan sebagai rumah tangga miskin.

I.5.5. Kesejahteraan Masyarakat

Sesuai dengan tujuan nasional, pembangunan bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dalam wadah Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dalam suasana kehidupan berbangsa yang tertib, aman, dan dinamis.

Kesejahteraan bermula dari kata “sejahtera” yang artinya aman sentosa, terlepas dari segala gangguan dan kesukaran (Nurdin, 1989:27). Secara umum kesejahteraan sering diartikan sebagai kondisi sejahtera, yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan perawatan kesehatan.

Pasal 33 UUD 1945 mengenai kesejahteraan sosial, antara lain menyebutkan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran perseorangan. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas usaha kekeluargaan. Kesejateraan rakyat berarti kesejahteraan lahir-batin dari rakyat. Hal itu berarti bahwa tidak hanya kesejahteraan fisik saja, yaitu terpenuhinya kebutuhan fisik, akan tetapi juga kebutuhan-kebutuhan non fisiknya, kebutuhan rohaninya juga haruslah tercukupi juga. Berhubungan dengan


(40)

dengan pembangunan watak, etika, tatakrama dan budi luhur akan mengandung bahaya adanya ketidakseimbangan sikap batin manusia yang dapat berkembang hingga merupakan sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam masyarakat yang berupa kesenjangan lahir-batin, ketidakpuasan, frustasi, kericuhan masyarakat dan kegaduhan-kegaduhan. Secara umum hal ini dapat menyebabkan terjadinya “instability” dalam masyarakat. Tidaklah dapat dipungkiri bahwa kesejahteraan itupun tidak akan lepas dari faktor kecerdasan, ketertiban dan keamanan masyarakat (www.transparansi.co.id).

Kesejahteraan rakyat tanpa meningkatkan kecerdasan bangsa, maka kesejahteraan itu tidak akan dapat terwujud, dan dapat menghalangi kemajuan bangsa dalam dunia antar bangsa-bangsa, akan tetapi juga akan dapat membuat manusia dalam masyarakat itu lupa pada TuhanNya. Namun haruslah tetap diingat, bahwa makin cerdas suatu bangsa, maka masyarakat bangsa itu tentulah semakin banyak pula keinginan dan tuntutan-tuntutannya. Pada gilirannya semakin banyak masalah-masalah (issue) yang timbul sehingga memerlukan penyelesaian dan pemenuhan. Hal itu berarti akan makin banyak pula kebijakan-kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan. Kebijakan pemerintah itu haruslah selalu dilandaskan pada Asas Pancasila, terutama sekali pada nilai-nilai pokok yang dicantumkan pada pembukaan UUD 1945, ialah kemerdekaan, perdamaian dan keadilan. Berdasarkan tiga nilai luhur itulah kepentingan masyarakat (public

interest) dapat terpenuhi dengan diambilnya kebijaksanaan pemerintah, sehingga

kesejahteraan lahiriyah (jasmani) dan kesejahteraan bathiniah (rohaniyah) dapat terwujud (Soenarko, 2003:46).


(41)

Pemerintah sebagai pelaku kebijakan publik, perlu sekali memperhatikan tuntutan masyarakat (public demand) dalam proses politik sesuai dengan asas demokrasi Pancasila. Dengan demikian bukannya hanya hasil yang baik saja yang menjadi jangkauan kebijakan, akan tetapi juga proses kegiatan-kegiatan untuk tercapainya tujuan itu perlu mendapat perhatian dalam mempersiapkannya.

Dimock mengatakan bahwa di dalam masyarakat yang merdeka, maka kepentingan-kepentingan yang tidak melanggar hukum adalah bebas bersaing untuk maju, sedangkan tugas utama dari pemerintah adalah membantu pihak yang satu dan lainnya atau memadukan diantara kepentingan-kepentingan itu, semuanya didasarkan pada terciptanya kepentingan masyarakat, yaitu meningkatkan ketertiban dan keamanan, kemantapan kehidupan ekonomi dan kemajuan rakyat (Soenarko, 2003:100).

Adapun tujuan dari peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara menyeluruh yang mencakup : (Suharto, 2005)

a. Peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan sosial dan jaminan sosial segenap lapisan masyarakat

b. Peningkatan keberdayaan melalui penetapan sistem dan kelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang menjunjung tinggi harga diri dan martabat masyarakat/kemanusiaan.

c. Penyempurnaan kebebasan melalaui perluasan aksesibilitas dan pilihan-pilihan kesempatan sesuai aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan/kemasyarakatan.


(42)

Konsep adalah istilah atau definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1989:33). Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variabel yang diteliti. Oleh karena itu untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang akan diteliti maka penulis mengemukakan definisi konsep seperti dibawah ini, yaitu:

1. Implementasi kebijakan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.

2. Program Raskin (program penyaluran beras untuk keluarga miskin) adalah sebuah program dari pemerintah. Program tersebut adalah sebuah upaya untuk mengurangi beban pengeluaran dari rumah tangga miskin sebagai bentuk dukungan dalam meningkatkan ketahanan pangan dengan memberikan perlindungan sosial beras murah.

3. Kesejahteraan masyarakat adalah terpenuhinya segala kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan.

I.7 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel atau suatu informasi ilmiah yang membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama (Singarimbun, 1989:46-47). Dari informasi tersebut, peneliti akan mengetahui bagaimana caranya pengukuran atas variabel itu dapat dilakukan dan dengan


(43)

demikian peneliti dapat menentukan apakah prosedur pengukuran yang sama akan dilakukan atau diperlukan prosedur yang jelas.

Adapun yang menjadi indikator dari implementasi Program Raskin adalah: 1) Standar dan Sasaran Kebijakan meliputi:

a. Tingkat kesesuaian data RTS (Rumah Tangga Sasaran) penerima raskin sesuai dengan daftar penerima manfaat yang dikeluarkan BPS b. Tingkat kesesuaian jumlah raskin yang diterima RTS berdasarkan

pedoman umum raskin yakni sebesar 15Kg/RTM/Bulan selama 12 bulan

c. Tingkat kesesuaian harga tebus raskin oleh RTM berdasarkan standar pedoman umun Raskin yakni Rp. 1600,-

d. Kelayakan Beras Raskin untuk dikonsumsi 2) Sumber Daya, yaitu meliput i:

a. Sumber daya manusia yaitu kemampuan para pengelola Program Raskin untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.

b. Sumber daya finansial yaitu merupakan dana yang disediakan pemerintah untuk pengadaan Raskin dan ketersediaan dana dari masyarakat penerima manfat itu sendiri untuk menebus Beras Raskin ini.

3) Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas yaitu meliputi sosialisasi internal (pelaksana/pengelola Program Raskin), dan sosialisasi eksternal (masyarakat penerima raskin), serta koordinasi antara instansi terkait.


(44)

4) Disposisi yakni karakteristik yang dimiliki oleh implementor seperti kejujuran, kemauan dalam menjalankan kebijakan tersebut.

Dan yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat adalah:

1) Kemampuan yang berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan saat ini. 2) Adanya jaminan keamanan dalam pemenuhan kebutuhan, terutama

pemenuhan pangan.

I.8 Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep, definisi operasional, sistematika penulisan.

BAB II : METODE PENELITIAN

Berisikan metode penelitian, lokasi penelitian, populasi, sampel, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.

BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Berisikan gambaran umum mengenai lokasi penelitian, batas wilayah, penduduk, sosial budaya, serta hal-hal yang berkaitan dengan penelitian.

BAB IV : PENYAJIAN DATA

Berisikan penyajian data dari jawaban responden yang diperoleh dari lapangan dan menganalisisnya.

BAB V : ANALISA DATA

Berisikan analisa data dari jawaban responden yang diperoleh dari lapangan dan menganalisisnya.


(1)

14.Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,- (Lima Rus Ribu Rupiah), seperti sepeda motor kredit/non-kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Jika minimal 9 variabel terpenuhi, maka dikategorikan sebagai rumah tangga miskin.

I.5.5. Kesejahteraan Masyarakat

Sesuai dengan tujuan nasional, pembangunan bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dalam wadah Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dalam suasana kehidupan berbangsa yang tertib, aman, dan dinamis.

Kesejahteraan bermula dari kata “sejahtera” yang artinya aman sentosa, terlepas dari segala gangguan dan kesukaran (Nurdin, 1989:27). Secara umum kesejahteraan sering diartikan sebagai kondisi sejahtera, yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan perawatan kesehatan.

Pasal 33 UUD 1945 mengenai kesejahteraan sosial, antara lain menyebutkan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran perseorangan. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas usaha kekeluargaan. Kesejateraan rakyat berarti kesejahteraan lahir-batin dari rakyat. Hal itu berarti bahwa tidak hanya kesejahteraan fisik saja, yaitu terpenuhinya kebutuhan fisik, akan tetapi juga kebutuhan-kebutuhan non fisiknya, kebutuhan rohaninya juga haruslah tercukupi juga. Berhubungan dengan hal itu, adanya program-program pembangunan ekonomi yang tidak dibarengi


(2)

dengan pembangunan watak, etika, tatakrama dan budi luhur akan mengandung bahaya adanya ketidakseimbangan sikap batin manusia yang dapat berkembang hingga merupakan sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam masyarakat yang berupa kesenjangan lahir-batin, ketidakpuasan, frustasi, kericuhan masyarakat dan kegaduhan-kegaduhan. Secara umum hal ini dapat menyebabkan terjadinya “instability” dalam masyarakat. Tidaklah dapat dipungkiri bahwa kesejahteraan itupun tidak akan lepas dari faktor kecerdasan, ketertiban dan keamanan masyarakat (www.transparansi.co.id).

Kesejahteraan rakyat tanpa meningkatkan kecerdasan bangsa, maka kesejahteraan itu tidak akan dapat terwujud, dan dapat menghalangi kemajuan bangsa dalam dunia antar bangsa-bangsa, akan tetapi juga akan dapat membuat manusia dalam masyarakat itu lupa pada TuhanNya. Namun haruslah tetap diingat, bahwa makin cerdas suatu bangsa, maka masyarakat bangsa itu tentulah semakin banyak pula keinginan dan tuntutan-tuntutannya. Pada gilirannya semakin banyak masalah-masalah (issue) yang timbul sehingga memerlukan penyelesaian dan pemenuhan. Hal itu berarti akan makin banyak pula kebijakan-kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan. Kebijakan pemerintah itu haruslah selalu dilandaskan pada Asas Pancasila, terutama sekali pada nilai-nilai pokok yang dicantumkan pada pembukaan UUD 1945, ialah kemerdekaan, perdamaian dan keadilan. Berdasarkan tiga nilai luhur itulah kepentingan masyarakat (public interest) dapat terpenuhi dengan diambilnya kebijaksanaan pemerintah, sehingga kesejahteraan lahiriyah (jasmani) dan kesejahteraan bathiniah (rohaniyah) dapat terwujud (Soenarko, 2003:46).


(3)

Pemerintah sebagai pelaku kebijakan publik, perlu sekali memperhatikan tuntutan masyarakat (public demand) dalam proses politik sesuai dengan asas demokrasi Pancasila. Dengan demikian bukannya hanya hasil yang baik saja yang menjadi jangkauan kebijakan, akan tetapi juga proses kegiatan-kegiatan untuk tercapainya tujuan itu perlu mendapat perhatian dalam mempersiapkannya.

Dimock mengatakan bahwa di dalam masyarakat yang merdeka, maka kepentingan-kepentingan yang tidak melanggar hukum adalah bebas bersaing untuk maju, sedangkan tugas utama dari pemerintah adalah membantu pihak yang satu dan lainnya atau memadukan diantara kepentingan-kepentingan itu, semuanya didasarkan pada terciptanya kepentingan masyarakat, yaitu meningkatkan ketertiban dan keamanan, kemantapan kehidupan ekonomi dan kemajuan rakyat (Soenarko, 2003:100).

Adapun tujuan dari peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara menyeluruh yang mencakup : (Suharto, 2005)

a. Peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan sosial dan jaminan sosial segenap lapisan masyarakat

b. Peningkatan keberdayaan melalui penetapan sistem dan kelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang menjunjung tinggi harga diri dan martabat masyarakat/kemanusiaan.

c. Penyempurnaan kebebasan melalaui perluasan aksesibilitas dan pilihan-pilihan kesempatan sesuai aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan/kemasyarakatan.


(4)

Konsep adalah istilah atau definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1989:33). Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variabel yang diteliti. Oleh karena itu untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang akan diteliti maka penulis mengemukakan definisi konsep seperti dibawah ini, yaitu:

1. Implementasi kebijakan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.

2. Program Raskin (program penyaluran beras untuk keluarga miskin) adalah sebuah program dari pemerintah. Program tersebut adalah sebuah upaya untuk mengurangi beban pengeluaran dari rumah tangga miskin sebagai bentuk dukungan dalam meningkatkan ketahanan pangan dengan memberikan perlindungan sosial beras murah.

3. Kesejahteraan masyarakat adalah terpenuhinya segala kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan.

I.7 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel atau suatu informasi ilmiah yang membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama (Singarimbun, 1989:46-47). Dari informasi tersebut, peneliti akan mengetahui bagaimana caranya pengukuran atas variabel itu dapat dilakukan dan dengan


(5)

demikian peneliti dapat menentukan apakah prosedur pengukuran yang sama akan dilakukan atau diperlukan prosedur yang jelas.

Adapun yang menjadi indikator dari implementasi Program Raskin adalah: 1) Standar dan Sasaran Kebijakan meliputi:

a. Tingkat kesesuaian data RTS (Rumah Tangga Sasaran) penerima raskin sesuai dengan daftar penerima manfaat yang dikeluarkan BPS b. Tingkat kesesuaian jumlah raskin yang diterima RTS berdasarkan

pedoman umum raskin yakni sebesar 15Kg/RTM/Bulan selama 12 bulan

c. Tingkat kesesuaian harga tebus raskin oleh RTM berdasarkan standar pedoman umun Raskin yakni Rp. 1600,-

d. Kelayakan Beras Raskin untuk dikonsumsi 2) Sumber Daya, yaitu meliput i:

a. Sumber daya manusia yaitu kemampuan para pengelola Program Raskin untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.

b. Sumber daya finansial yaitu merupakan dana yang disediakan pemerintah untuk pengadaan Raskin dan ketersediaan dana dari masyarakat penerima manfat itu sendiri untuk menebus Beras Raskin ini.

3) Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas yaitu meliputi sosialisasi internal (pelaksana/pengelola Program Raskin), dan sosialisasi eksternal (masyarakat penerima raskin), serta koordinasi antara instansi terkait.


(6)

4) Disposisi yakni karakteristik yang dimiliki oleh implementor seperti kejujuran, kemauan dalam menjalankan kebijakan tersebut.

Dan yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat adalah:

1) Kemampuan yang berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan saat ini. 2) Adanya jaminan keamanan dalam pemenuhan kebutuhan, terutama

pemenuhan pangan. I.8 Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep, definisi operasional, sistematika penulisan.

BAB II : METODE PENELITIAN

Berisikan metode penelitian, lokasi penelitian, populasi, sampel, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.

BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Berisikan gambaran umum mengenai lokasi penelitian, batas wilayah, penduduk, sosial budaya, serta hal-hal yang berkaitan dengan penelitian.

BAB IV : PENYAJIAN DATA

Berisikan penyajian data dari jawaban responden yang diperoleh dari lapangan dan menganalisisnya.

BAB V : ANALISA DATA

Berisikan analisa data dari jawaban responden yang diperoleh dari lapangan dan menganalisisnya.