T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Merek NonTradisional Berbasis Daya Pembeda di Indonesia T1 BAB I
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kompleksnya mekanisme pasar dalam sistem pasar bebas, telah
menyebabkan Indonesia kebanjiran berbagai barang dan jasa sejenis dengan ciri
pengenalan yang hampir sama. Situasi tersebut berdampak panjang yaitu terjadinya
persaingan usaha yang curang antara pelaku usaha yang bukan hanya merugikan
produsen melainkan juga konsumen yang mana terkait dengan kualitas barang
tiruan. Atas hal ini progresifitas hukum merek menjadi tuntutan dalam dunia
perdagangan di Indonesia.
Sebagai bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), merek
(trademark) merupakan tanda (signs) yang berfungsi untuk mengidentifikasi asal
barang dan jasa (an indication of origin). Dalam fungsi ini, merek berperan sebagai
tanda pembeda antara barang.1 Artinya dalam pemasaran suatu barang atau jasa,
merek hadir sebagai tanda pengenal sekaligus pembeda. Dalam perkembangannya 2,
merek kemudian dibedakan menjadi merek tradisional dan merek non-tradisional.
Pengertian merek tradisional terlihat eksklusif3 dalam Undang-undang (UU) Merek
1
Gatot Supramono, Menyelesaikan Sengketa Merek Menuru Hukum Indonesia , Rineka
Cipta, Jakarta, 2008, h. 18.
2
Marie Jeanne menegaskan perkembangan teknologi dan globalisasi dalam perdagangan
telah menyebabkan pergeseran metode dan strategi merek dalam perdagangan. Ia menggambarkan
“historically, the conventional way of distinguishing products or services of one person from those
of another was through the use of traditional trade-marks. however, the expansion of the Internet,
the growing use of new technologies, and the globa lization of markets have led to the development
of a wide variety of new methods and strategies to distinguish products and services. As a result,
conventional trade-marks, which are essentially limited to the use of words and designs, are joined
by innovative, non-traditional trade-marks.” Marie Jeanne, Canada’s Current Position with
Respect to Sound Marks Registration: A Need for Change? , Canadian Journal Of Law And
Technology, Universit´e de Montr´eal, 2010, h.32.
3
Sebenarnya pengertian merek tradisional terlihat pada UU Merek dan Indikasi Geografis,
tetapi dalam UU tersebut merek tradisional telah diartikan bersama dengan non-tradisional.
2
sebelumnya, yaitu Pasal 1 ayat (1) Undang undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek, bahwa “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, hurufhuruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut
yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang
atau jasa.”
Jenis tanda tradisional di atas oleh Landa dan Robin (2006: 4-7) dijelaskan
sebagai tanda yang bersifat identitas visual (brand identity), yaitu melekat dan dapat
diidentifikasi secara kasat mata pada suatu barang dan jasa. Sedangkan, pengertian
tentang merek non-tradisional telah disinggung pada Pasal 1 angka (1) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi
Geografis, yang menyatakan bahwa:
“Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa
gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam
bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram,
atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk
membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau
badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.”
Penegasan daya pembeda pada UU Merek di atas adalah sedikit
menjelaskan pengertian merek nontrasisional. Sebab, pada hakikatnya merek nontradisional adalah tanda yang memiliki daya pembeda dengan penampilan baru dan
inovatif dari jenis tanda tradisional. Artinya, bukan eksis karena penampilan grafis
melainkan daya pembedanya4. Lebih jauh menjelaskan eksistensi tanda nontradisional, Jarome Gilson menerangkan sebagai berikut:
Sehingga sekalipun tidak lagih berkekuatan hukum, UU Merek sebelumnya tetap dikutip
pengertiannya sebagai perbandingan dengan UU Merek yang baru.
4
Tulisan ini berdasar pada “daya pembeda adalah yang utama dan tanda non-tradisional
harus dilindungii olehkarenanya”. Atas hal ini, “UU Merek saat ini yaitu UU No. 20/2016 benar
telah memperluas perlindungan tanda non-tradisional sebagai merek, tetapi secara prinsip
perlindungan yang diberikan bersifat inapplicable yaitu mempersulit dan bahkan menutup
kemungkinan perlindungan tanda tersebut sebagai merek. Lihat, halaman 66.
3
You can see, smell, taste, touch and hear them. You can even store
your firewood in them, feed your dog with them, sit on them, clean
your pool with them and, if hunger strikes, eat them. What, if
anything, do they have in common? They are all nontraditional
trademarks 5.
Ragam tanda yang diterangkan Gilson di atas adalah tiga jenis tanda yang
dewasa ini telah dilindungii sebagai merek di beberapa Negara di dunia. Ketiga
tanda tersebut melipuri; Bentuk, berupa bentuk alat seperti botol/ kemasan suatu
produk. Pendaftarannya sebagai merek telah dilakukan oleh Coca Cola di Amerika
Serikat pada 1916;6 Bunyi, tanda berupa alunan nada yang menggambarkan barang
atau jasa dalam pemasarannya. Pendaftaran bunyi telah dilakukan atas deru motor
oleh Harley Davidson di Amerika pada 1997;7 Aroma, yaitu tanda yang
memberikan bau dan harum yang berbeda sebagai pembeda antara produk. Prospek
pendaftarannya terkenal dengan kasus smell of fresh cut grass di Belanda 19968.
Ketiga jenis tanda tersebut sampai saat ini belum dilindungii di Indonesia. Namun,
apakah jenis tanda tersebut saat ini eksis di Indonesia? Ya, tanda bunyi misalnya.
Alunan nada dengan gambaran kata “paddle pop... paddle pop... super-duper
yummy” merupakan tanda yang dikenal untuk membedakan pemasaran ice cream
dari PT Walls dengan ice cream dari pelaku usaha lain di Indonesia.
Tesis bahwa merek non-tradisional harus dilindungii di Indonesia
merupakan langkah nyata pembaharuan hukum merek nasioal. Saat ini Indonesia
dalam situasi terjebak pada pengertian literal tentang merek (UU Merek
Jerome Gilson dan Anne Gilson LaLonde, “Cinnamon Buns, Marching Ducks And
Cherry-Scented Racecar Exhaust: Protecting Nontraditional Trademarks ”, Official Journal of the
International Trademark Association: Vol. 95 , INTA, 2005, h. 773.
6
Rahmi Jened, Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan hak Eksklusif, Airlangga
5
University Press, Surabaya, 2007, h. 89.
7
Verena V.Boomhard, European Trademark Law, Planck Institute, Jerman, 2004, h.28.
8
Carsten Schaal, The Registration of Smell Trademark in Europe; another EU
Harmonisation
Challenge,
http://www.inter-lawyer.com/lex-e-scripta/articles/trademarksregistration-smell-EU.htm, dikunjungi pada tanggal 14 Mei 2016 pukul 10.46.
4
sebelumnya) dan miskonsepsi atas syarat penampilan secara grafis suatu tanda (UU
Merek). Dalam situasi seperti ini ada kekosongan hukum dalam UU Merek. Di lain
sisi jika melihat perkembangan hukum merek di dunia, Negara-negara diantaranya
Amerika Serikat telah melindungi merek non-tradisional sejak 1916, sehingga
apakah saat ini 2016 Indonesia masih tidak akan memberikan perlindungan? Tidak,
Indonesia harus memberikan perlindungan.
Perlindungan merek non-tradisional harus memenuhi syarat perlindungan
dalam hukum merek. Untuk dapat dilindungii sebagai merek, tanda haruslah dibuat
atas dasar itikad baik, tidak bertentangan dengan peraturan perundangan dan
kepatutan, harus memiliki daya pembeda, tidak menjadi milik umum, tidak
membingungkan pada penampilannya, dan sebagai syarat tambahan adalah dapat
ditampilkan secara grafis. Dari ketujuh syarat tersebut,9 ketiga syarat yang menjadi
kontroversial atas gagasan perlindungan merek non-tradisional adalah penampilan
secara grafis (be visually perceptible), daya pembeda (capable of distinguishing )
dan tidak bersifat membingunkan (likelihood of confusion ).
Penulis berargumen bahwa daya pembeda merupakan syarat yang sifatnya
substansial atau alpha terhadap kedua syarat yang lain. Daya pembeda adalah syarat
yang menentukan dapat
atau tidaknya tanda non-tradisional
diberikan
perlindungan. Pendirian tersebut sejalan dengan pendapat Wauran dan Kurnia, yang
menegaskan bahwa: Konsep daya pembeda memiliki fungsi yang sifatnya vital dan
fundamental dalam suatu merek. Keberadaan daya pembeda suatu merek, akan
9
Ketujuh syarat tersebut diatur dalam UU Merek dan indikasi Geografis dan yang
dihormati dalam hukum merek secara umum. Lihat halaman 16
5
berdampak pada
kemampuan merek tersebut untuk tidak menyebabkan
kebingungan pada waktu dipasarkan”10.
Selain menempatkan kedudukan daya pembeda sebagai premis mayor
dalam perlindungan merek, Wauran dan Kurnia juga menegaskan korelasi antara
syarat memiliki daya pembeda (capable of distinguishing ) dan syarat penampilan
yang membingunkan (likelihood of confusion). Kedua syarat tersebut terlihat
memiliki hubungan kausalitas, yaitu ditemukannya pembeda pada suatu tanda
menjadi jaminan bahwa tanda tersebut tidak bersifat membingungkan ketika
dipasarkan. Selanjutnya mengenai hubungan antara syarat penampilan secara grafis
(be visually perceptible) dan syarat daya pembeda (capable of distinguishing ),
penting untuk memperhatikan klausul Pasal 15 ayat (1) Trade-Related Aspects of
Intellectual Property Rights (TRIPS):
“Any sign, or any combination of signs capable of distinguishing
goods or services of one undertaking from those of undertakings
shall capable of constituting of trademark. such signs, in
particular words including names, letters, numerals, figurative
elements and combinations of colours of such signs shall be eligible
for registration of trademarks. Where signs are not inherently
capable of distinguishing the relevant good or services, member
may make registerably dependend on distinctiviness acquired
through use. Member may require as a condition of registration
that signs be visually perceptible”.
Berdasarkan klausul di atas, terlihat bahwa bahwa kedudukan antara kedua syarat
jelas berbeda. Syarat daya pembeda lebih diutamakan ketimbang syarat penampilan
grafis11. Hal ini senada dengan Kritarth Pandey yang berpendapat bahwa: “It further
10
Wauran dan Kurnia, confusion dan Pembatalan Merek oleh Pengadilan , UGM: Mimbar
Hukum Vol.27, Yogyakarta, 2015, h.276.
11
Syarat penampilan secara grafis dalam perlindungan merek juga bukanlah syarat yang
harus dipenuhi oleh suatu tanda pada waktu pemasaran, yang mana tidak mungkin dilakukan oleh
tanda non-tradisonal. Misalnya, bagaimana bisa suatu bunyi ditampilkan secara grafis waktu
digunakan? Tentu tidak mungkin, penampilan secara grafis yang dimaksud adalah bukan pada waktu
pemasaran melainkan pada waktu registrasi suatu tanda untuk menjadi merek ( condition of
6
states that Members may require, as a condition of registration, signs to be visually
perceptible. This means that it is not compulsory for the Trademark to be visually
perceptible so far TRIPs Agreement is concerned.12”
Sebagai bentuk uji, pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah terkait
penyebutan spesifik tanda pada pasal 15 di atas yaitu tidak meliputi jenis tanda
tradisional. Sehingga, apakah tanda nontradisonal seperti bunyi, aroma, dan bentuk
tidak termasuk sebagai tanda berdasarkan Pasal tersebut? Tidak. Jenis tanda di luar
Pasal tersebut seperti diantaranya bentuk, aroma, dan bunyi, haruslah tetap
dianggap sebagai tanda berdasarkan Pasal. Hal ini disebabkan penyebutan jenis
tanda pada Pasal 15 di atas adalah tidak bersifat terbatas melainkan tidak
terbatas. Sebagaimana terlihat pada penyebutan tanda yang mencantumkan frasa
“such signs”.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka pertanyaan yang paling substansial
yang akan diulas dalam tulisan ini adalah, apakah tanda non-tradisional memiliki
daya pembeda sehingga layak dikategorikan sebagai merek? Dan sejauh mana
kemampuan membedakan yang dimilikinya sebagai merek? Menanggapi isu ini,
Jeremy Philips mengatakan “a sound, smell or tactile sensation as applied to goods
will be incapable of being a mark”.13 Ketidakmampuan (incapable) yang
dimaksud oleh Jeremy, lebih jauh terlihat pada pandangannya atas Bentuk:
“A container is not generally reckoned to be a ‘mark’. On this basis
the distinctive Cola Cola bottle could not be registered as a ‘mark’
in respect on beverages, even though a drawing of the bottle would
registration ) misalnya bunyi untuk didaftarkan harus didaftar melaui konotasi nada/ not yang
digunakan.
12
Kritarth
Pandey,
Non
Conventional
Mark:
A
Legal
Analysis ,
https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2399286. dikunjungi pada tanggal 15
September pukul 15.47.
13
Jeremy Phillips, Introduction to Intelelectual Property Law, Buttrerworths, London,
1986, h. 227.
7
be a ‘device’ and therefor a mark. This conclusion is hard to justify
when one considers that a container can be as effective as any other
means of indicating a link between a trader and his goods”14
Dikuatirkan sebagai tanda yang tidak mampu mengidentifikasi asal barang.
Juga merupakan pandangan yang dipertimbangkan Jerome dan Anne, yang
menyatakan:
“Another major problem with enforcement in this context is that
consumers may not perceive certain nontraditional marks as
trademarks at all. They may see them as merely decorative, as an
inherent part of the product or as an attempt to amuse rather than
to indicate the source of the goods ”15
Ketimbang menjadi pembeda barang dalam menentukan sumbernya, merek nontradisional lebih dipandang sebagai pelengkap atau dekorasi atas barang sehingga
tidak dapat dilindungii sebagai merek dagang.
Di lain sisi, merek non-tradisional disebutkan memiliki kemungkinan untuk
dilindungii sebagai merek. Sebagai oposisi, Jerome dan Anne dalam jurnalnya tetap
menegaskan hal tersebut. Ia mengutip pendapat Martin Lindstrom, dalam tulisan
BRAND sense: Build Powerful Brands through Touch, Taste, Smell, Sight, and
Sound, yang menjelaskan:
“if branding wishes to survive another century it will need to change
track. More communication in an already overcrowded world simply
won’t do it.” Even distinctive brands need more than traditional
television or print advertising in order to reach consumers. The new
track would have brands go beyond sight and sound to reach
consumers through smell, touch and taste ”16
Merek non-tradisional merupakan transformasi dari tanda tradisional
terhadap perkembangan zaman. Merek non-tradisional memiliki cara khusus untuk
membedakan barang atau jasa. Martin Lindstrom menyebut hal ini dengan istilah
14
Ibid .,
Jerome Gilson dan Anne Gilson LaLonde, Op.cit., h. 777.
16
Ibid., h. 774.
15
8
“emotional connection.17” Ia menjelaskan: “Sight may convey information well, but
even at best it creates a less deeply felt emotional response.., an emotional
connection to a brand makes the brand more compelling and engenders consumer
loyalty18.”
Pembedaan pada merek non-tradisional adalah khas yaitu dengan
menciptakan emotional response konsumen terhadap barang dan jasa. Hubungan
emosional antara tanda dengan konsumen terhadap barang akan memicu respon
emosional yang dalam (creates a less deeply felt emotional response ) untuk setia
memilih barang dan jasa tertentu sehingga dapat dilindungii sebagai merek dagang.
Sehingga merek non-tradisional sudah seharusnyanya dilindungii yaitu sebagai
merek yang memiliki daya pembeda berbasis hubungan emosional.
Pro dan kontra keberadaan syarat pembeda pada merek non-tradisional di
atas dikarenakan kekuatiran terhadap karakteristik bunyi, bentuk dan aroma yang
disangkahkan memiliki penampilan yang membingungkan. Atas hal ini pararel
dengan penjelasan sebelumnya bahwa daya pembeda merupakan hal yang
menentukan membingungkan atau tidaknya penampilan suatu tanda. Maka
penelitian dalam tulisan ini akan dilakukan dengan menempatkan syarat daya
pembeda sebagai premis mayor. Yaitu eksistensinya ikut mempengaruhi dan
menentukan pertimbangan syarat perlindungan merek yang lain.
17
Secara harafiah istilah emotional connection terdiri dari kata emotion yang berarti
“strong feeling of any kind ”, dan kata connection yang diartikan sebagai “the act of connecting ”
(Geddes and Grosset, English Dictionary, David Dale House: Scotland, 2002). Sehingga pengertian
lain tentang emotional connection adalah suatu perbuatan yang berdasarkan pada ikatan emosional
yang disebut respon.
18
Martin Lindstrom, BRAND sense: Build Powerful Brands Through Touch, Taste, Smell,
Sight, and Sound , Kogan Page Ltd, New York, 2005, h.161.
9
Saya menegaskan bahwa merek non-tradisional memiliki daya pembeda
sehingga harus dilindungii sebagai merek dagang di Indonesia. Konsep pembedaan
tersebut bersifat membangun hubungan emosional (emotional connection) antara
merek suatu barang dengan konsumen yang akan membeli barang. Dalam kaitannya
dengan penampilan membingungkan dan grafis, merek non-tradisional berdasarkan
functionality doctrine adalah tidak bersifat fungsional melainkan memiliki keadaan
khusus. Yaitu tetap hadir secara subtansial sebagai pembeda sekalipun pada saat
bersamaan bersifat features barang dan jasa. Pembedaan tersebut diakukan secara
unik dan menarik, yang dalam hukum merek disebut pembedaann dengan sifat
“fanciful”. Dalam semangat tersebut, saat ini Indonesia membutuhkan pengaturan
yang tepat tentang pengertian Merek. yaitu dengan tidak mendasarkan pada
penampilan grafis karena justru akan menghalangi perlindungan BBA. Melainkan
pengaturan perlindungan merek dagang yang berbasis pada daya pembeda.
B. Rumusan Masalah
Berpijak pada uraian di atas, rumusan masalah yang menjadi fokus dari
penelitian ini adalah: Apakah merek nontradisonal memiliki daya pembeda,
sehingga dapat dilindungii sebagai merek?
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan pemaknaan secara
komprehensif mengenai bagaimana daya pembeda pada merek nontradisonal.
Sehingga pada akhirnya akan menghasilkan preskripsi mengenai pengaturan
perlindungan merek yang tepat di Indonesia.
10
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian ini dari segi teoritis adalah
untuk memperjelas makna daya pembeda dalam hukum merek, terkait dengan
merek nontradisonal. Sementara itu, pada tataran praktis akan membantu legislator
dalam penyusunan materi muatan Undang-Undang Merek kedepannya (ius
constituendum) agar lebih progresif dengan perkembangan perdagangan barang dan
jasa.
E. Metode Penelitian
Penelitian yang hendak dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum
(legal research) yang ditujukan pada konsep perlindungan merek non-tradisonal di
Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam peneitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual
approach),
dan pendekatan perbandingan (comparison
approach),
serta
pendekatan kasus (cases approach). Pendekatan perundang-undangan karena
bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah meliputi perjanjian
internasional dan dokumen hukum internasional. Sementara, pendekatan
konseptual, karena penulis akan merujuk pada pandangan sarjana dan doktrin
hukum. Pendekatan perbandingan karena tulisan juga akan merujuk pada berbagai
ketentuan perlindungan merek non-tradisional di berbagai Negara. Sedangkan
pendekatan kasus dikarenakan Penulis akan mendasarkan gagasanya pada berbagai
putusan pengadilan dalam perlindungan merek non-tradisional. Yaitu sebagai
kebiasaan hukum (jurisprudence) dalam perlindungan tanda sebagai merek.
Keempat pendekatan ini digunakan penulis dalam rangka meletakkan secara tepat
11
konsep daya pembeda yang berbasis hubungan emosional pada merek
nontradisonal.
F. Sistematika Penulisan
Tulisan ini akan terbagi atas 5 bab, yang sistematikanya adalah sebagai
berikut. Bab I akan menguraikan mengenai latar belakang masalah yakni alasan
penulis memilih judul dan gambaran mengenai permasalahan penelitian, yaitu
berkaitan dengan daya pembeda dalam perlindungan merek non-tradisional,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian. Bab
II akan menguraikan hukum merek, yaitu terbagi atas hukum merek di Indonesia
dan pemaknaan tanda serta konsep daya pembeda dalam perlindunga merek. Bab
III Penulis akan menganalisis tesis bahwa sebagai merek non-tradisional Bunyi,
Bentuk dan Aroma (BBA) memiliki daya pembeda. Yaitu dengan membahas
mengenai konsep daya pembeda yang berbasis hubungan emsoional. Bahwa
karakteristik tanda dalam BBA tidak bersifat fungsional melainkan pembeda, yaitu
dengan juga menganalisi tentang functionality doktrin . Kemudian juga akan
dibahas kedudukan daya pembeda sebagai premis mayor dalam perlindungan
merek. Bab IV akan membahas tentang bentuk perlindungan merek non-tradisional
di Indonesia. Sebagamana terdiri dari penelusuran atas eksistensi BBA di
Indonesia, perbandingan perlindungan BBA di Amerika, Uni Eropa, dan Australia.
Serta memberikan penjelasan atas penempatan perlindungan BBA berbasis
hubungan emosional sebagai daya pembeda dalam hukum merek nasional. Bab V,
Penulis akan menguraikan mengenai kesimpulan dan saran.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kompleksnya mekanisme pasar dalam sistem pasar bebas, telah
menyebabkan Indonesia kebanjiran berbagai barang dan jasa sejenis dengan ciri
pengenalan yang hampir sama. Situasi tersebut berdampak panjang yaitu terjadinya
persaingan usaha yang curang antara pelaku usaha yang bukan hanya merugikan
produsen melainkan juga konsumen yang mana terkait dengan kualitas barang
tiruan. Atas hal ini progresifitas hukum merek menjadi tuntutan dalam dunia
perdagangan di Indonesia.
Sebagai bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), merek
(trademark) merupakan tanda (signs) yang berfungsi untuk mengidentifikasi asal
barang dan jasa (an indication of origin). Dalam fungsi ini, merek berperan sebagai
tanda pembeda antara barang.1 Artinya dalam pemasaran suatu barang atau jasa,
merek hadir sebagai tanda pengenal sekaligus pembeda. Dalam perkembangannya 2,
merek kemudian dibedakan menjadi merek tradisional dan merek non-tradisional.
Pengertian merek tradisional terlihat eksklusif3 dalam Undang-undang (UU) Merek
1
Gatot Supramono, Menyelesaikan Sengketa Merek Menuru Hukum Indonesia , Rineka
Cipta, Jakarta, 2008, h. 18.
2
Marie Jeanne menegaskan perkembangan teknologi dan globalisasi dalam perdagangan
telah menyebabkan pergeseran metode dan strategi merek dalam perdagangan. Ia menggambarkan
“historically, the conventional way of distinguishing products or services of one person from those
of another was through the use of traditional trade-marks. however, the expansion of the Internet,
the growing use of new technologies, and the globa lization of markets have led to the development
of a wide variety of new methods and strategies to distinguish products and services. As a result,
conventional trade-marks, which are essentially limited to the use of words and designs, are joined
by innovative, non-traditional trade-marks.” Marie Jeanne, Canada’s Current Position with
Respect to Sound Marks Registration: A Need for Change? , Canadian Journal Of Law And
Technology, Universit´e de Montr´eal, 2010, h.32.
3
Sebenarnya pengertian merek tradisional terlihat pada UU Merek dan Indikasi Geografis,
tetapi dalam UU tersebut merek tradisional telah diartikan bersama dengan non-tradisional.
2
sebelumnya, yaitu Pasal 1 ayat (1) Undang undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek, bahwa “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, hurufhuruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut
yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang
atau jasa.”
Jenis tanda tradisional di atas oleh Landa dan Robin (2006: 4-7) dijelaskan
sebagai tanda yang bersifat identitas visual (brand identity), yaitu melekat dan dapat
diidentifikasi secara kasat mata pada suatu barang dan jasa. Sedangkan, pengertian
tentang merek non-tradisional telah disinggung pada Pasal 1 angka (1) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi
Geografis, yang menyatakan bahwa:
“Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa
gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam
bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram,
atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk
membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau
badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.”
Penegasan daya pembeda pada UU Merek di atas adalah sedikit
menjelaskan pengertian merek nontrasisional. Sebab, pada hakikatnya merek nontradisional adalah tanda yang memiliki daya pembeda dengan penampilan baru dan
inovatif dari jenis tanda tradisional. Artinya, bukan eksis karena penampilan grafis
melainkan daya pembedanya4. Lebih jauh menjelaskan eksistensi tanda nontradisional, Jarome Gilson menerangkan sebagai berikut:
Sehingga sekalipun tidak lagih berkekuatan hukum, UU Merek sebelumnya tetap dikutip
pengertiannya sebagai perbandingan dengan UU Merek yang baru.
4
Tulisan ini berdasar pada “daya pembeda adalah yang utama dan tanda non-tradisional
harus dilindungii olehkarenanya”. Atas hal ini, “UU Merek saat ini yaitu UU No. 20/2016 benar
telah memperluas perlindungan tanda non-tradisional sebagai merek, tetapi secara prinsip
perlindungan yang diberikan bersifat inapplicable yaitu mempersulit dan bahkan menutup
kemungkinan perlindungan tanda tersebut sebagai merek. Lihat, halaman 66.
3
You can see, smell, taste, touch and hear them. You can even store
your firewood in them, feed your dog with them, sit on them, clean
your pool with them and, if hunger strikes, eat them. What, if
anything, do they have in common? They are all nontraditional
trademarks 5.
Ragam tanda yang diterangkan Gilson di atas adalah tiga jenis tanda yang
dewasa ini telah dilindungii sebagai merek di beberapa Negara di dunia. Ketiga
tanda tersebut melipuri; Bentuk, berupa bentuk alat seperti botol/ kemasan suatu
produk. Pendaftarannya sebagai merek telah dilakukan oleh Coca Cola di Amerika
Serikat pada 1916;6 Bunyi, tanda berupa alunan nada yang menggambarkan barang
atau jasa dalam pemasarannya. Pendaftaran bunyi telah dilakukan atas deru motor
oleh Harley Davidson di Amerika pada 1997;7 Aroma, yaitu tanda yang
memberikan bau dan harum yang berbeda sebagai pembeda antara produk. Prospek
pendaftarannya terkenal dengan kasus smell of fresh cut grass di Belanda 19968.
Ketiga jenis tanda tersebut sampai saat ini belum dilindungii di Indonesia. Namun,
apakah jenis tanda tersebut saat ini eksis di Indonesia? Ya, tanda bunyi misalnya.
Alunan nada dengan gambaran kata “paddle pop... paddle pop... super-duper
yummy” merupakan tanda yang dikenal untuk membedakan pemasaran ice cream
dari PT Walls dengan ice cream dari pelaku usaha lain di Indonesia.
Tesis bahwa merek non-tradisional harus dilindungii di Indonesia
merupakan langkah nyata pembaharuan hukum merek nasioal. Saat ini Indonesia
dalam situasi terjebak pada pengertian literal tentang merek (UU Merek
Jerome Gilson dan Anne Gilson LaLonde, “Cinnamon Buns, Marching Ducks And
Cherry-Scented Racecar Exhaust: Protecting Nontraditional Trademarks ”, Official Journal of the
International Trademark Association: Vol. 95 , INTA, 2005, h. 773.
6
Rahmi Jened, Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan hak Eksklusif, Airlangga
5
University Press, Surabaya, 2007, h. 89.
7
Verena V.Boomhard, European Trademark Law, Planck Institute, Jerman, 2004, h.28.
8
Carsten Schaal, The Registration of Smell Trademark in Europe; another EU
Harmonisation
Challenge,
http://www.inter-lawyer.com/lex-e-scripta/articles/trademarksregistration-smell-EU.htm, dikunjungi pada tanggal 14 Mei 2016 pukul 10.46.
4
sebelumnya) dan miskonsepsi atas syarat penampilan secara grafis suatu tanda (UU
Merek). Dalam situasi seperti ini ada kekosongan hukum dalam UU Merek. Di lain
sisi jika melihat perkembangan hukum merek di dunia, Negara-negara diantaranya
Amerika Serikat telah melindungi merek non-tradisional sejak 1916, sehingga
apakah saat ini 2016 Indonesia masih tidak akan memberikan perlindungan? Tidak,
Indonesia harus memberikan perlindungan.
Perlindungan merek non-tradisional harus memenuhi syarat perlindungan
dalam hukum merek. Untuk dapat dilindungii sebagai merek, tanda haruslah dibuat
atas dasar itikad baik, tidak bertentangan dengan peraturan perundangan dan
kepatutan, harus memiliki daya pembeda, tidak menjadi milik umum, tidak
membingungkan pada penampilannya, dan sebagai syarat tambahan adalah dapat
ditampilkan secara grafis. Dari ketujuh syarat tersebut,9 ketiga syarat yang menjadi
kontroversial atas gagasan perlindungan merek non-tradisional adalah penampilan
secara grafis (be visually perceptible), daya pembeda (capable of distinguishing )
dan tidak bersifat membingunkan (likelihood of confusion ).
Penulis berargumen bahwa daya pembeda merupakan syarat yang sifatnya
substansial atau alpha terhadap kedua syarat yang lain. Daya pembeda adalah syarat
yang menentukan dapat
atau tidaknya tanda non-tradisional
diberikan
perlindungan. Pendirian tersebut sejalan dengan pendapat Wauran dan Kurnia, yang
menegaskan bahwa: Konsep daya pembeda memiliki fungsi yang sifatnya vital dan
fundamental dalam suatu merek. Keberadaan daya pembeda suatu merek, akan
9
Ketujuh syarat tersebut diatur dalam UU Merek dan indikasi Geografis dan yang
dihormati dalam hukum merek secara umum. Lihat halaman 16
5
berdampak pada
kemampuan merek tersebut untuk tidak menyebabkan
kebingungan pada waktu dipasarkan”10.
Selain menempatkan kedudukan daya pembeda sebagai premis mayor
dalam perlindungan merek, Wauran dan Kurnia juga menegaskan korelasi antara
syarat memiliki daya pembeda (capable of distinguishing ) dan syarat penampilan
yang membingunkan (likelihood of confusion). Kedua syarat tersebut terlihat
memiliki hubungan kausalitas, yaitu ditemukannya pembeda pada suatu tanda
menjadi jaminan bahwa tanda tersebut tidak bersifat membingungkan ketika
dipasarkan. Selanjutnya mengenai hubungan antara syarat penampilan secara grafis
(be visually perceptible) dan syarat daya pembeda (capable of distinguishing ),
penting untuk memperhatikan klausul Pasal 15 ayat (1) Trade-Related Aspects of
Intellectual Property Rights (TRIPS):
“Any sign, or any combination of signs capable of distinguishing
goods or services of one undertaking from those of undertakings
shall capable of constituting of trademark. such signs, in
particular words including names, letters, numerals, figurative
elements and combinations of colours of such signs shall be eligible
for registration of trademarks. Where signs are not inherently
capable of distinguishing the relevant good or services, member
may make registerably dependend on distinctiviness acquired
through use. Member may require as a condition of registration
that signs be visually perceptible”.
Berdasarkan klausul di atas, terlihat bahwa bahwa kedudukan antara kedua syarat
jelas berbeda. Syarat daya pembeda lebih diutamakan ketimbang syarat penampilan
grafis11. Hal ini senada dengan Kritarth Pandey yang berpendapat bahwa: “It further
10
Wauran dan Kurnia, confusion dan Pembatalan Merek oleh Pengadilan , UGM: Mimbar
Hukum Vol.27, Yogyakarta, 2015, h.276.
11
Syarat penampilan secara grafis dalam perlindungan merek juga bukanlah syarat yang
harus dipenuhi oleh suatu tanda pada waktu pemasaran, yang mana tidak mungkin dilakukan oleh
tanda non-tradisonal. Misalnya, bagaimana bisa suatu bunyi ditampilkan secara grafis waktu
digunakan? Tentu tidak mungkin, penampilan secara grafis yang dimaksud adalah bukan pada waktu
pemasaran melainkan pada waktu registrasi suatu tanda untuk menjadi merek ( condition of
6
states that Members may require, as a condition of registration, signs to be visually
perceptible. This means that it is not compulsory for the Trademark to be visually
perceptible so far TRIPs Agreement is concerned.12”
Sebagai bentuk uji, pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah terkait
penyebutan spesifik tanda pada pasal 15 di atas yaitu tidak meliputi jenis tanda
tradisional. Sehingga, apakah tanda nontradisonal seperti bunyi, aroma, dan bentuk
tidak termasuk sebagai tanda berdasarkan Pasal tersebut? Tidak. Jenis tanda di luar
Pasal tersebut seperti diantaranya bentuk, aroma, dan bunyi, haruslah tetap
dianggap sebagai tanda berdasarkan Pasal. Hal ini disebabkan penyebutan jenis
tanda pada Pasal 15 di atas adalah tidak bersifat terbatas melainkan tidak
terbatas. Sebagaimana terlihat pada penyebutan tanda yang mencantumkan frasa
“such signs”.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka pertanyaan yang paling substansial
yang akan diulas dalam tulisan ini adalah, apakah tanda non-tradisional memiliki
daya pembeda sehingga layak dikategorikan sebagai merek? Dan sejauh mana
kemampuan membedakan yang dimilikinya sebagai merek? Menanggapi isu ini,
Jeremy Philips mengatakan “a sound, smell or tactile sensation as applied to goods
will be incapable of being a mark”.13 Ketidakmampuan (incapable) yang
dimaksud oleh Jeremy, lebih jauh terlihat pada pandangannya atas Bentuk:
“A container is not generally reckoned to be a ‘mark’. On this basis
the distinctive Cola Cola bottle could not be registered as a ‘mark’
in respect on beverages, even though a drawing of the bottle would
registration ) misalnya bunyi untuk didaftarkan harus didaftar melaui konotasi nada/ not yang
digunakan.
12
Kritarth
Pandey,
Non
Conventional
Mark:
A
Legal
Analysis ,
https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2399286. dikunjungi pada tanggal 15
September pukul 15.47.
13
Jeremy Phillips, Introduction to Intelelectual Property Law, Buttrerworths, London,
1986, h. 227.
7
be a ‘device’ and therefor a mark. This conclusion is hard to justify
when one considers that a container can be as effective as any other
means of indicating a link between a trader and his goods”14
Dikuatirkan sebagai tanda yang tidak mampu mengidentifikasi asal barang.
Juga merupakan pandangan yang dipertimbangkan Jerome dan Anne, yang
menyatakan:
“Another major problem with enforcement in this context is that
consumers may not perceive certain nontraditional marks as
trademarks at all. They may see them as merely decorative, as an
inherent part of the product or as an attempt to amuse rather than
to indicate the source of the goods ”15
Ketimbang menjadi pembeda barang dalam menentukan sumbernya, merek nontradisional lebih dipandang sebagai pelengkap atau dekorasi atas barang sehingga
tidak dapat dilindungii sebagai merek dagang.
Di lain sisi, merek non-tradisional disebutkan memiliki kemungkinan untuk
dilindungii sebagai merek. Sebagai oposisi, Jerome dan Anne dalam jurnalnya tetap
menegaskan hal tersebut. Ia mengutip pendapat Martin Lindstrom, dalam tulisan
BRAND sense: Build Powerful Brands through Touch, Taste, Smell, Sight, and
Sound, yang menjelaskan:
“if branding wishes to survive another century it will need to change
track. More communication in an already overcrowded world simply
won’t do it.” Even distinctive brands need more than traditional
television or print advertising in order to reach consumers. The new
track would have brands go beyond sight and sound to reach
consumers through smell, touch and taste ”16
Merek non-tradisional merupakan transformasi dari tanda tradisional
terhadap perkembangan zaman. Merek non-tradisional memiliki cara khusus untuk
membedakan barang atau jasa. Martin Lindstrom menyebut hal ini dengan istilah
14
Ibid .,
Jerome Gilson dan Anne Gilson LaLonde, Op.cit., h. 777.
16
Ibid., h. 774.
15
8
“emotional connection.17” Ia menjelaskan: “Sight may convey information well, but
even at best it creates a less deeply felt emotional response.., an emotional
connection to a brand makes the brand more compelling and engenders consumer
loyalty18.”
Pembedaan pada merek non-tradisional adalah khas yaitu dengan
menciptakan emotional response konsumen terhadap barang dan jasa. Hubungan
emosional antara tanda dengan konsumen terhadap barang akan memicu respon
emosional yang dalam (creates a less deeply felt emotional response ) untuk setia
memilih barang dan jasa tertentu sehingga dapat dilindungii sebagai merek dagang.
Sehingga merek non-tradisional sudah seharusnyanya dilindungii yaitu sebagai
merek yang memiliki daya pembeda berbasis hubungan emosional.
Pro dan kontra keberadaan syarat pembeda pada merek non-tradisional di
atas dikarenakan kekuatiran terhadap karakteristik bunyi, bentuk dan aroma yang
disangkahkan memiliki penampilan yang membingungkan. Atas hal ini pararel
dengan penjelasan sebelumnya bahwa daya pembeda merupakan hal yang
menentukan membingungkan atau tidaknya penampilan suatu tanda. Maka
penelitian dalam tulisan ini akan dilakukan dengan menempatkan syarat daya
pembeda sebagai premis mayor. Yaitu eksistensinya ikut mempengaruhi dan
menentukan pertimbangan syarat perlindungan merek yang lain.
17
Secara harafiah istilah emotional connection terdiri dari kata emotion yang berarti
“strong feeling of any kind ”, dan kata connection yang diartikan sebagai “the act of connecting ”
(Geddes and Grosset, English Dictionary, David Dale House: Scotland, 2002). Sehingga pengertian
lain tentang emotional connection adalah suatu perbuatan yang berdasarkan pada ikatan emosional
yang disebut respon.
18
Martin Lindstrom, BRAND sense: Build Powerful Brands Through Touch, Taste, Smell,
Sight, and Sound , Kogan Page Ltd, New York, 2005, h.161.
9
Saya menegaskan bahwa merek non-tradisional memiliki daya pembeda
sehingga harus dilindungii sebagai merek dagang di Indonesia. Konsep pembedaan
tersebut bersifat membangun hubungan emosional (emotional connection) antara
merek suatu barang dengan konsumen yang akan membeli barang. Dalam kaitannya
dengan penampilan membingungkan dan grafis, merek non-tradisional berdasarkan
functionality doctrine adalah tidak bersifat fungsional melainkan memiliki keadaan
khusus. Yaitu tetap hadir secara subtansial sebagai pembeda sekalipun pada saat
bersamaan bersifat features barang dan jasa. Pembedaan tersebut diakukan secara
unik dan menarik, yang dalam hukum merek disebut pembedaann dengan sifat
“fanciful”. Dalam semangat tersebut, saat ini Indonesia membutuhkan pengaturan
yang tepat tentang pengertian Merek. yaitu dengan tidak mendasarkan pada
penampilan grafis karena justru akan menghalangi perlindungan BBA. Melainkan
pengaturan perlindungan merek dagang yang berbasis pada daya pembeda.
B. Rumusan Masalah
Berpijak pada uraian di atas, rumusan masalah yang menjadi fokus dari
penelitian ini adalah: Apakah merek nontradisonal memiliki daya pembeda,
sehingga dapat dilindungii sebagai merek?
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan pemaknaan secara
komprehensif mengenai bagaimana daya pembeda pada merek nontradisonal.
Sehingga pada akhirnya akan menghasilkan preskripsi mengenai pengaturan
perlindungan merek yang tepat di Indonesia.
10
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian ini dari segi teoritis adalah
untuk memperjelas makna daya pembeda dalam hukum merek, terkait dengan
merek nontradisonal. Sementara itu, pada tataran praktis akan membantu legislator
dalam penyusunan materi muatan Undang-Undang Merek kedepannya (ius
constituendum) agar lebih progresif dengan perkembangan perdagangan barang dan
jasa.
E. Metode Penelitian
Penelitian yang hendak dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum
(legal research) yang ditujukan pada konsep perlindungan merek non-tradisonal di
Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam peneitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual
approach),
dan pendekatan perbandingan (comparison
approach),
serta
pendekatan kasus (cases approach). Pendekatan perundang-undangan karena
bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah meliputi perjanjian
internasional dan dokumen hukum internasional. Sementara, pendekatan
konseptual, karena penulis akan merujuk pada pandangan sarjana dan doktrin
hukum. Pendekatan perbandingan karena tulisan juga akan merujuk pada berbagai
ketentuan perlindungan merek non-tradisional di berbagai Negara. Sedangkan
pendekatan kasus dikarenakan Penulis akan mendasarkan gagasanya pada berbagai
putusan pengadilan dalam perlindungan merek non-tradisional. Yaitu sebagai
kebiasaan hukum (jurisprudence) dalam perlindungan tanda sebagai merek.
Keempat pendekatan ini digunakan penulis dalam rangka meletakkan secara tepat
11
konsep daya pembeda yang berbasis hubungan emosional pada merek
nontradisonal.
F. Sistematika Penulisan
Tulisan ini akan terbagi atas 5 bab, yang sistematikanya adalah sebagai
berikut. Bab I akan menguraikan mengenai latar belakang masalah yakni alasan
penulis memilih judul dan gambaran mengenai permasalahan penelitian, yaitu
berkaitan dengan daya pembeda dalam perlindungan merek non-tradisional,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian. Bab
II akan menguraikan hukum merek, yaitu terbagi atas hukum merek di Indonesia
dan pemaknaan tanda serta konsep daya pembeda dalam perlindunga merek. Bab
III Penulis akan menganalisis tesis bahwa sebagai merek non-tradisional Bunyi,
Bentuk dan Aroma (BBA) memiliki daya pembeda. Yaitu dengan membahas
mengenai konsep daya pembeda yang berbasis hubungan emsoional. Bahwa
karakteristik tanda dalam BBA tidak bersifat fungsional melainkan pembeda, yaitu
dengan juga menganalisi tentang functionality doktrin . Kemudian juga akan
dibahas kedudukan daya pembeda sebagai premis mayor dalam perlindungan
merek. Bab IV akan membahas tentang bentuk perlindungan merek non-tradisional
di Indonesia. Sebagamana terdiri dari penelusuran atas eksistensi BBA di
Indonesia, perbandingan perlindungan BBA di Amerika, Uni Eropa, dan Australia.
Serta memberikan penjelasan atas penempatan perlindungan BBA berbasis
hubungan emosional sebagai daya pembeda dalam hukum merek nasional. Bab V,
Penulis akan menguraikan mengenai kesimpulan dan saran.