Konsumsi Dalam Ekonomi Islam doc

KONSUMSI DALAM EKONOMI ISLAM
A. Pengertian Konsumsi
Dalam mendefinisikan konsumsi terdapat perbedaan di antara
para pakar ekonom, namun konsumsi secara umum
didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam
konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki
perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan yang
mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah
tujuan
pencapaian
dari
konsumsi
itu
sendiri,
cara
pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah
islamiyyah.
Pelaku konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau
jasa untuk memenuhi kebutuhannya disebut konsumen.
Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam

melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya.
Dengan kata lain, perilaku konsumen adalah tingkah laku dari
konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian
untuk
membeli,
menggunakan,
mengevaluasi
dan
memperbaiki suatu produk dan jasa mereka.
Perilaku
konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana
manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya
dengan
memanfaatkan
sumberdaya
(resources)
yang
dimilikinya.
B. Urgensi Konsumsi
Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap

perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa
konsumsi. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi mengarah
kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Sebab,
mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan
juga mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya
dalam kehidupan.
Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan
penting. Adanya konsumsi akan mendorong terjadinya
produksi dan distribusi. Dengan demikian akan menggerakkan
roda-roda perekonomian.
C. Tujuan Konsumsi
Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana
penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya
mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan
1

stamina dalam ketaatan pengamdian kepada Allah akan
menjadikan konsumsi itu bernilai ibadah yang dengannya
manusia mendapatkan pahala. Sebab hal-hal yang mubah bisa
menjadi ibadah jika disertai niat pendekatan diri (taqarrub)

kepada Allah, seperti: makan, tidur dan bekerja, jika
dimaksudkan untuk menambah potensi dalam mengabdi
kepada Ilahi. Dalam ekonomi islam, konsumsi dinilai sebagai
sarana wajib yang seorang muslim tidak bisa mengabaikannya
dalam merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah dalam
penciptaan manusia, yaitu merealisasikan pengabdian
sepenuhnya hanya kepada-Nya, sesuai firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menghamba kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat:
56)
Karena itu tidak aneh, bila islam mewajibkan manusia
mengkonsumsi apa yang dapat menghindarkan dari kerusakan
dirinya, dan mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
dibebankan Allah kepadanya.
Sedangkan, konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional
dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan segala
bentuk kegiatan manusia di dalamnya, baik kegiatan ekonomi
maupun bukan. Berdasarkan konsep inilah, maka beredar
dalam ekonomi apa yang disebut dengan teori: “Konsumen
adalah raja”. Di mana teori ini mengatakan bahwa segala

keinginan konsumen adalah yang menjadi arah segala aktifitas
perekonomian untuk memenuhi kebutuhan mereka sesuai
kadar relatifitas keinginan tersebut. Bahkan teori tersebut
berpendapat bahwa kebahagiaan manusia tercermin dalam
kemampuannya mengkonsumsi apa yang diinginkan.
D. Sifat-Sifat Atau Norma Etika Konsumen
Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang
menjadi landasan dalam berperilaku konsumsi seorang muslim
antara lain:
1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi
sifat kikir.
Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk
disimpan, ditimbun atau sekedar dihitung-hitung tetapi
digunakan bagi kemaslahatan manusia sendiri serta
sarana beribadah kepada Allah. Konsekuensinya,
penimbunan harta dilarang keras oleh Islam dan
memanfaatkannya adalah diwajibkan.
2. Tidak melakukan kemubadziran.
2


Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya
untuk kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat dan tidak
berlebihan (boros/israf). Sebagaimana seorang muslim
tidak boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak akan
membelanjakannya untuk hal yang haram. Beberapa
sikap yang harus diperhatikan adalah:
a. Menjauhi berhutang
Setiap
muslim
diperintahkan
untuk
menyeimbangkan
pendapatan
dengan
pengeluarannya. Jadi berhutang sangat tidak
dianjurkan, kecuali untuk keadaan yang sangat
terpaksa.
b. Menjaga asset yang mapan dan pokok.
Tidak sepatutnya seorang muslim memperbanyak
belanjanya dengan cara menjual asset-aset yang

mapan dan pokok, misalnya tempat tinggal. Nabi
mengingatkan, jika terpaksa menjual asset maka
hasilnya hendaknya digunakan untuk membeli asset
lain agar berkahnya tetap terjaga.
3. Tidak hidup mewah dan boros.
Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri
dalam kenikmatan dan bermegah-megahan sangat
ditentang oleh ajaran Islam. Sikap ini selain akan
merusak pribadi-pribadi manusia juga akan merusak
tatanan masyarakat. Kemewahan dan pemborosan akan
menenggelamkan manusia dalam kesibukan memenuhi
nafsu birahi dan kepuasan perut sehingga seringkali
melupakan norma dan etika agama karenanya
menjauhkan diri dari Allah. Kemegahan akan merusak
masyarakat karena biasanya terdapat golongan minoritas
kaya yang menindas mayoritas miskin.
4. Kesederhanaan.
Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas
secukupnya adalah sikap terpuji bahkan penghematan
merupakan salah satu langkah yang sangat dianjurkan

pada saat krisis ekonomi terjadi. Dalam situasi ini sikap
sederhana yang dilakukan untuk menjaga kemaslahatan
masyarakat luas.
5. Mementingkan kehendak sosial dibandingkan dengan
keinginan yang benar-benar bersifat pribadi.
6. Konsumen akan berkumpul untuk saling bekerjasama
dengan masyarakat dan pemerintah untuk mewujudkan
semangat islam.
3

7. Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa
yang penggunaannya dilarang oleh agama islam.
E. Konsep Penting dalam Konsumsi
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu,
kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat).
Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi
suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus
mendapatkan manfaat darinya. Dalam prespektif ekonomi
Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat
(interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa

demikian?, ketika konsumsi dalam Islam diartikan sebagai
penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari
sesuatu yang diharamkan, maka, sudah barang tentu motivasi
yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas
konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu
sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat
secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam.
1. Kebutuhan (Hajat)
"manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai
unsur, baik ruh, akal, badan maupun hati. Unsur-unsur ini
mempunyai keterkaitan antar satu dengan yang lain.
Misalnya, kebutuhan manusia untuk makan, pada
dasarnya bukanlah kebutuhan perut atau jasmani saja,
namun, selain akan memberikan pengaruh terhadap
kuatnya jasmani, makan juga berdampak pada unsur
tubuh yang lain, misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu,
Islam mensyaratkan setiap makanan yang kita makan
hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh unsur
tubuh".
Ungkapan di atas hendaknya menjadi perhatian kita,

bahwa tidak selamanya sesuatu yang kita konsumsi
dapat memenuhi kebutuhan hakiki dari seluruh unsur
tubuh. Maksud hakiki di sini adalah keterkaitan yang
positif antara aktifitas konsumsi dengan aktifitas
terstruktur dari unsur tubuh itu sendiri. Apabila konsumsi
mengakibatkan terjadinya disfungsi bahkan kerusakan
pada salah satu atau beberapa unsur tubuh, tentu itu
bukanlah kebutuhan hakiki manusia. Karena itu, Islam
secara tegas mengharamkan minum-minuman keras,
memakan anjing, dan sebagainya dan seterusnya.
Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka
bumi, manusia juga dibebani kewajiban membangun dan
menjaganya, yaitu, sebuah aktifitas berkelanjutan dan
4

terus berkembang yang menuntut pengembangan
seluruh potensinya disertai keseimbangan penggunaan
sumber daya yang ada. Artinya, Islam memandang
penting pengembangan potensi manusia selama berada
dalam batas penggunaan sumber daya secara wajar.

Sehingga, kebutuhan dalam prespektif Islam adalah,
keinginan manusia menggunakan sumber daya yang
tersedia, guna mendorong pengembangan potensinya
dengan tujuan membangun dan menjaga bumi dan
isinya.
2. Kegunaan atau Kepuasan (manfaat)
Sebagaimana kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga
tercetak bahkan menyatu dalam konsumsi itu sendiri.
Para ekonom menyebutnya sebagai perasaan rela yang
diterima oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu
barang. Rela yang dimaksud di sini adalah kemampuan
seorang
konsumen
untuk
membelanjakan
pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan
tingkat harga yang berbeda.
Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari
pengertian rela di atas, yaitu pendapatan dan harga.
Kedua konsep ini saling mempunyai interdependensi

antar satu dengan yang lain, mengingat kemampuan
seseorang untuk membeli suatu barang sangat
tergantung
pada
pemasukan
yang
dimilikinya.
Kesesuaian di antara keduanya akan menciptakan
kerelaan dan berpengaruh terhadap penciptaan prilaku
konsumsi itu sendiri. Konsumen yang rasional selalu
membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis
barang dengan tingkat harga tertentu demi mencapai
batas kerelaan tertinggi.
Sekarang bagaimanakah Islam memandang manfaat,
apakah sama dengan terminologi yang dikemukakan oleh
para ekonom pada umumnya ataukah berbeda?
Beberapa ayat al-Qur’an mengisyaratkan bahwa manfaat
adalah
antonim
dari
bahaya
dan
terwujudnya
kemaslahatan. Sedangkan dalam pengertian ekonominya,
manfaat adalah nilai guna tertinggi pada sebuah barang
yang dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu
waktu. Bahkan lebih dari itu, barang tersebut mampu
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang
mencakup kemaslahatan, faidah dan tercegahnya
bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya
5

bisa dirasakan oleh anggota tubuh semata, namun lebih
dari itu, manfaat merupakan cermin dari terwujudnya
kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal yang tidak
berpotensi mendatangkan dampak negatif di kemudian
har
F.

Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami
Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang
maknanya lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam
terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan
tujuan hukum syara' yang paling utama. Menurut Imam
Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan
jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari
kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992).
Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau
jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (aldin), intelektual (al-aql), dan keluarga atau
keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung
tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas
pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu
menjadi hakim bagi masing masing dalam menentukan apakah
suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi
dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria
maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat
bagi
semua
individu.
Misalnya,
bila
seseorang
mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri
dan usahanya, namun syariah telah menetapkan keharaman
bunga bank, maka penilaian individu tersebut menjadi gugur.
Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan
maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan
konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana
seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau
kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan
atau kesejahteraan orang lain.
1. Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi
dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun
dalam pertukaran dan distribusi. Dengan demikian
seorang individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:
2. Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan
untuk maslahah jenis pertama dan berapa untuk
maslahah jenis kedua
3. Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama:
6

berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan
untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam
rangka mencapai 'kepuasan' di akhirat) dan berapa
bagian
untuk
kebutuhan
akhirat.
Pada
tingkat
pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki
alokasi untuk hal-hal yang menyangkut akhirat, akan
mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim.
Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah
tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa yang
memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di
dalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan
layak
dikonsumsi
oleh
umat
Islam.
Dalam
membandingkan konsep 'kepuasan' dengan 'pemenuhan
kebutuhan' (yang terkandung di dalamnya maslahah),
kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan
hukum syara' yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan
hajiyyah.
G. Prinsip-Prinsip Konsumsi
Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat
lima prinsip dasar, yaitu:
1. Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari
rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Artinya,
sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara halal
dan tidak bertentangan dengan hukum. Berkonsumsi
tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada dalam
koridor aturan atau hukum agama, serta menjunjung
tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki
berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh
dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. “Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari
apa yang terdapat di bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169).
Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu
yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan
tubuh). Kelonggaran diberikan bagi orang yang
terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak
mempunyai makanan untuk dimakan.
Ia boleh
memakan makanan yang terlarang itu sekedar yang
dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
2. Prinsip Kebersihan
Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau
penyakit yang dapat merusak fisik dan mental manusia,
misalnya: makanan harus baik dan cocok untuk
7

dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga
merusak selera. Sementara dalam arti luas adalah
bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu
saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan
kemubaziran atau bahkan merusak.
“Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum
dan setelah memakannya” (HR Tarmidzi).
Prinsip
kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus
baik, tidak kotor dan menjijikkan sehingga merusak
selera.
Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup
makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum,
janganlah meniup ke dalam gelas” (HR Bukhari).
3. Prinsip Kesederhanaan
Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah
dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di
muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung
makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan
cenderung memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya
terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri.
Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas
konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga
tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara
individual maupun sosial.
“Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan;
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7: 31). Arti penting ayatayat ini adalah bahwa kurang makan dapat
mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut
diisi dengan berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh
pada perut.
4. Prinsip Kemurahan hati.
Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan
makanan dan minuman untuk manusia (Qs al-Maidah, 5:
96). Maka sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi
dengan kemurahan hati.
Maksudnya, jika memang
masih banyak orang yang kekurangan makanan dan
minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang
ada pada kita, kemudian kita berikan kepada mereka
yang sangat membutuhkannya.
Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya
atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi
yang halal yang disediakan Allah karena kemurahanNya. Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan
kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan
8

dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan
kepada Allah maka Allah elah memberikan anugrah-Nya
bagi manusia.
5. Prinsip Moralitas.
Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara
keseluruhan harus dibingkai oleh moralitas yang
dikandung dalam Islam sehingga tidak semata – mata
memenuhi segala kebutuhan. Allah memberikan
makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup
umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral
dan spiritual.
Seorang muslim diajarkan untuk
menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan
terimakasih setelah makan.
H. Kaidah-Kaidah Konsumsi
Konsumen non muslim tidak mengenal istilah halal atau haram
dalam masalah konsumsi. Karena itu dia akan mengkonsumsi
apa saja, kecuali jika dia tidak bisa memperolehnya, atau tidak
memiliki
keinginan
untuk
mengkonsumsinya.
Adapun
konsumen muslim, maka dia komitmen dengan kaidah-kaidah
dan hukum-hukum yang disampaikan dalam syariat untuk
mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan konsumsi
seoptimal mungkin, dan mencegah penyelewengan dari jalan
kebenaran dan dampak madharatnya, baik bagi konsumen
sendiri maupun yang selainnya.
Berikut ini merupakan kaidah-kaidah terpenting dalam
konsumsi:
1. Kaidah Syariah
Yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi
dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari:
a. Kaidah akidah, yaitu mengetahui hakikat konsumsi
adalah sebagai sarana untuk ketaatan/ beribadah
sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai
makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan
amanah
di
bumi
yang
nantinya
diminta
pertanggungjawaban oleh penciptanya. Jika seorang
muslim menikmati rizki yang dikaruniakan Allah
kepadanya, maka demikian itu bertitik tolak dari
akidahnya bahwa ketika Allah memberikan nikmat
kepada hamba-hamba-Nya, maka Dia senang bila
tanda nikmat-Nya terlihat pada hamba-hamba-Nya.
b. Kaidah
ilmiah,
yaitu
seorang
ketika
akan
mengkonsumsi harus tahu ilmu tentang barang yang
akan dikonsumsi dan hukam-hukum yang berkaitan
9

dengannya, apakah merupakan sesuatu yang halal
atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun
tujuannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
c. Kaidah amaliah, yaitu merupakan aplikasi dari
kedua
kaidah
yang
sebelumnya,
maksudnya
memperhatikan bentuk barang konsumsi. Sebagai
konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui
tentang konsumsi islami tersebut, seseorang ketika
sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia
akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi
yang halal atau syubhat.
2. Kaidah Kuantitas
Yaitu tidak cukup bila barang yang dikonsumsi halal, tapi
dalam sisi kuantitas (jumlah) nya harus juga dalam batasbatas syariah, yang dalam penentuan kuantitas ini
memperhatikan beberapa faktor ekonomis, sebagai
berikut:
a. Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya
tengah-tengah antara menghamburkan harta (boros)
dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir,
hemat. Boros dan pelit adalah dua sifat tercela,
dimana masing-masing memiliki bahaya dalam
ekonomi dan sosial. Karena itu terdapat banyak Nash
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengecam kedua hal
tersebut, dan karena masing-masing keluar dari garis
kebenaran ekonomi yang memiliki dampak-dampak
yang buruk.
b. Kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan,
artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan
dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar
pasak daripada tiang.
c. Penyimpanan (menabung) dan pengembangan
(investasi), artinya tidak semua kekayaan digunakan
untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan
pengembangan kekayaan itu sendiri.
3. Kaidah Memperhatikan Prioritas Konsumsi
Yaitu, di mana konsumen harus memperhatikan urutan
kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi
kemudharatan, yaitu:
a. Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi
agar manusia dapat hidup dan menegakkan
kemaslahatan dirinya, dunia dan agamanya serta
orang terdekatnya, yakni nafkah-nafkah pokok bagi
manusia yang dapat mewujudkan lima tujuan syariat
10

(yakni memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan
kehormatan). Tanpa kebutuhan primer kehidupan
manusia tidak akan berlangsung. Kebutuhan ini
meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat
tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan
pernikahan.
b. Sekunder,
yaitu
konsumsi
untuk
menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang
lebih
baik,
yakni
kebutuhan
manusia
untuk
memudahkan
kehidupan,
agar
terhindar
dari
kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum
kebutuhan primer terpenuhi.
c. Tersier, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan
kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan
manusia. Pemenuhan kebutuhan ini tergantung pada
bagaimana pemenuhan kebutuhan primer dan
sekunder.
4. Kaidah Sosial
Yaitu mengetahui faktor-faktor sosial yang berpengaruh
dalam
kuntitas
dan
kualitas
konsumsi,
yakni
memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga
tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di
antaranya:
a. Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan
menolong sebagaimana bersatunya suatu badan yang
apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka
anggota badan yang lain juga akan merasakan
sakitnya.
b. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik
dalam berkonsumsi apalagi jika dia adalah seorang
tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di
masyarakatnya.
c. Tidak membahayakan orang lain yaitu dalam
mengkonsumsi
justru
tidak
merugikan
dan
memberikan madharat ke orang lain.
5. Kaidah Lingkungan
Yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi
potensi daya dukung sumber daya alam yang ada di bumi
dan keberlanjutannya (hasil olahan dari sumber daya
alam), serta tidak merusak lingkungan, baik bersifat
materi maupun non materi.
6. Kaidah Larangan mengikuti dan Meniru
Yaitu tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi
yang tidak mencerminkan etika konsumsi islami, seperti
11

mengikuti dan meniru pola konsumsi masyarakat kafir
dan larangan bersenang-senang (hedonis), misalnya:
suka menjamu dengan tujuan bersenang-senang atau
memamerkan kemewahan dan menghambur-hamburkan
harta.
I. Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami
Dalam pandangan Islam kepuasan didasarkan pada suatu
konsep yang disebut dengan maslahah. Imam Shatibi
menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas
dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi
konvensional. Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat
atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemenelemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka
bumi ini. Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni:
kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al
mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau
keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung
tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas
pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah. Kegiatankegiatan ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran
yang menyangkut maslahah tersebut harus dikerjakan sebagai
suatu ‘religious duty‘ atau ibadah. Tujuannya bukan hanya
kepuasan di dunia tapi juga kesejahteraan di akhirat. Semua
aktivitas tersebut, yang memiliki maslahah bagi umat
manusia, disebut ‘needs’ atau kebutuhan. Dan semua
kebutuhan ini harus dipenuhi. Mencukupi kebutuhan – dan
bukan memenuhi kepuasan/keinginan – adalah tujuan dari
aktivitas ekonomi Islami, dan usaha pencapaian tujuan itu
adalah salah satu kewajiban dalam beragama.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
1. Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap
individu menjadi hakim bagi masing-masing dalam
menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu
maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda
dengan konsep utility, kriteria maslahah telah
ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi
semua individu.
2. Maslahah orang per seorang akan konsisten
dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat
berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan
optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan
tingkat
kepuasan
atau
kesejahteraannya
tanpa
menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan
12

orang lain.
3. Konsep maslahah mendasari semua aktivitas
ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi,
konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.
Berdasarkan kelima elemen di atas, maslahah dapat dibagi
dua jenis: pertama, maslahah terhadap elemen-elemen yang
menyangkut kehidupan dunia dan akhirat, dan kedua:
maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut hanya
kehidupan akhirat. Dengan demikian seorang individu Islam
akan memiliki dua jenis pilihan:
1. Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan
untuk maslahah jenis pertama dan berapa untuk
maslahah jenis kedua.
2. Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama:
berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan
untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam
rangka mencapai ‘kepuasan’ di akhirat) dan berapa
bagian untuk kebutuhan akhirat.
Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena
memiliki alokasi untuk hal-hal yang menyangkut akhirat, akan
mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim. Hal
yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas.
Tidak semua barang/jasa yang memberikan kepuasan/utility
mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua
barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam.
Dalam
membandingkan
konsep
‘kepuasan’
dengan
‘pemenuhan kebutuhan’ (yang
terkandung di dalamnya
maslahah), kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan
tujuan hukum syara’ yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah
dan hajiyyah. Penjelasan dari masing-masing tingkatan itu
sebagai berikut:
1. Daruriyyah: Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang
harus ada dan mendasar bagi penciptaan kesejahteraan
di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya
lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau
agama, akal/intelektual, keturunan dan keluarga serta
harta benda. Jika tujuan daruriyyah diabaikan, maka
tidak akan ada kedamaian, yang timbul adalah
kerusakan (fasad) di dunia dan kerugian yang nyata di
akhirat.
2. Hajiyyah: Syari’ah bertujuan memudahkan kehidupan
dan menghilangkan kesempitan. Hukum syara’ dalam
13

kategori ini tidak dimaksudkan untuk memelihara lima
hal pokok tadi melainkan menghilangkan kesempitan
dan berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut.
3. Tahsiniyyah: syariah menghendaki kehidupan yang
indah dan nyaman di dalamnya. Terdapat beberapa
provisi dalam syariah yang dimaksudkan untuk
mencapai pemanfaatan yang lebih baik, keindahan dan
simplifikasi dari daruriyyah dan hajiyyah. Misalnya
dibolehkannya memakai baju yang nyaman dan indah.
J.
Perbedaan Perilaku Konsumen Muslim dengan
Perilaku Konsumen Konvensional
Konsumen Muslim memiliki keunggulan bahwa mereka dalam
memenuhi kebutuhannya tidak sekadar memenuhi kebutuhan
individual (materi), tetapi juga memenuhi kebutuhan
sosial (spiritual). Konsumen Muslim ketika mendapatkan
penghasilan rutinnya, baik mingguan, bulanan, atau tahunan,
ia tidak berpikir pendapatan yang sudah diraihnya itu harus
dihabiskan untuk dirinya sendiri, tetapi karena kesadarannya
bahwa ia hidup untuk mencari ridha Allah, sebagian
pendapatannya dibelanjakan di jalan Allah (fi sabilillah). Dalam
Islam,
perilaku
seorang
konsumen
Muslim
harus
mencerminkan hubungan dirinya dengan Allah (hablu mina
Allah) dan manusia (hablu mina an-nas).
Konsep inilah yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku
konsumen konvensional. Selain itu, yang tidak kita dapati pada
kajian perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu ekonomi
konvensional adalah adanya saluran penyeimbang dari saluran
kebutuhan individual yang disebut dengan saluran konsumsi
sosial. Alquran mengajarkan umat Islam agar menyalurkan
sebagian hartanya dalam bentuk zakat, sedekah, dan infaq.
Hal ini menegaskan bahwa umat Islam merupakan mata rantai
yang kokoh yang saling menguatkan bagi umat Islam lainnya .
K. Hal-Hal Yang Mempengaruhi Konsumsi
Pendapatan memainkan yang sangat penting dalam teori
konsumsi dan sangat menentukan tingkat konsumsi. Selain
pendapatan, sesungguhnya konsumsi ditentukan juga oleh
factor-faktor lain yang sangat penting, antara lain adalah:
1. Selera
2. Faktor sosial ekonomi, misalnya: umur, pendidikan,
pekerjaan, dan
keadaan keluarga.
3. Kekayaan
14

4.
5.
6.

Keuntungan atau kerugian kapital
Tingkat bunga (konvensional)
Tingkat harga

___________________________________________

15

DAFTAR PUSTAKA
Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. Fikih Ekonomi Umar bin AlKhathab. Jakarta: Khalifa (Pustaka Al-Kautsar Group),
2006.
Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islam,Yogyakarta:
Ekonosia, 2003.
Agus,

Bustanuddin. Islam dan Ekonomi (Suatu Tinjauan
Sosiologi Agama). Padang: Andalas University Press,
2006.

Joesron, Tati Suhartati. Teori Ekonomi Mikro, Jakarta: Salemba
Empat, 2003.
Kahf, Monzer. Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi
Sistem Ekonomi Islam), 1995.
Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta:
Rajawali Pers, 2007.
Muflih, Muhammad. Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu
Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2005.
Nasution, Mustafa Edwin, dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi
Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta:
Gema Insani Press, 1997.
Siddiqi, Muhammad Najetullah. Kegiatan Ekonomi Dalam Islam.
Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Ekonosia, 2003.
Sukirno, Sadono. Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1994.
Suparmoko, M. Pengantar Ekonomika Makro ,Yogyakarta: BPFE,
1998.
Suprayitno, Eko. Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro
Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005.
Efendi, Satria M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Khalab, Abdul Wahab. Ushul fiqh. Jakarta: pustaka Amani, 2003
Romli SA, Muqaramah Mazahib fi Ushul. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999
Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta : PT. Pustaka
Van Hoeve
16

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003
Muhammad Zulifan, “Seri Ekonomi Islam: Konsep Kebutuhan
(1)”, dalam
http://muhammadzulifan.
Maret 2010)

Multiply.com/journal/item/14

(17

17