Al Qur an dalam Suatu Konteks

Al-Qur’an dalam Suatu Konteks
Oleh: Ali Thaufan DS
Pendahuluan
Kontekstualisasi al-Qur’an sejatinya upaya menanamkan nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam al-Qur’an pada tatanan kehidupan. Banyak sarjana Muslim
kontemporer yang menawarkan konsep mengaplikasikan ajaran Islam di alam
modern yang lengkap dengan kompleksitasnya. Ajaran agama diharap menjadi
jawaban atas masalah kekinian. Tentu saja dengan jargoan “al-muhâfadzah ‘alâ
qadîmi al-sâlih wa al-ahdhu bi al-jadidi ashlah”. Yakni mengaja tradisi warisan
ulama terdahulu sebagai pijakan melihat konteks saat ini dan mengambil hal-hal
yang baru dan baik untuk dikompromikan dalam menjawab sebuah permasalahan.
Tulisan ini mengambarkan bagaimana memposisikan al-Qur’an dalam melihat
fenomena kekinian, tetapi tetap berlandaskan metode klasik. Tulisan ini juga
berupaya memberikan gambaran bagaimana menyelesaikan problem dalam suatu
konteks dengan melihat historiografi berdasar pada turunnya ayat serta penjelasan
ahli al-Qur’an? Untuk memaparkannya, penulis membagi dalam sub judul: sekilas
tentang setting historis turunnya wahyu dan asbâb al-nuzûl al-Qur’ân, serta
Membaca Turunnya Teks Dalam Suatu Konteks.
Setting Historis Turunnya Wahyu dan Pentingnya Asbâb al-nuzûl
Turunnya ayat al-Qur’an yang disampaikan Nabi Muhammad –kenabiannya pada
610 M- menyentuh segala aspek kehidupan masyarakat Arab saat itu, khususnya

Makkah. Berita kenabiannya pertama ia sampaikan pada istrinya, Khadijah binti
Khuwailid dan orang-orang terdekatnya. Sasaran dakwah pertama Nabi adalah
orang-orang ekonominya lemah, dan kalangan muda yang tak puas dengan
kondisi Makkah.1 Masyarakat Makkah kala itu terkenal dengan penyembah
berhala (pagan) dan perdukunan. Kedatangan Muhammad dengan membawa misi
ketauhidan sangat bertolak belakang dengan budaya Arab saat itu. 2 Muhammad
menjelma sebagai seorang Nabi yang reformis. Tatanan kehidupan yang berlaku
di Makkah saat itu perlahan digeser dengan pesan al-Qur’an, meski tidak secara
keseluruhan.
Turunnya al-Qur’an pada masyarakat Arab sebagaimana digambarkan Nasr
Hamîd Abû Zaid sangat berkaitan dengan realitas. Praktik perdukunan di Arab
saat itu mengindikasikan kepercayaan masyarakat akan adanya komunikasi
manusia dan jin (sesuatu yang ghaib). Karenanya, masyarakat Arab memahami
betul komunikasi Muhammad dengan Jibril –dalam hal pewahyuan- tidak jauh
berbeda dengan kebiasaan mereka sebelumnya.3
1

Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Pent Cecep Lukman Yasin-Dedi Slamet Riyadi,
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 142
2

Ali Sodikin, Antropologi Al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2008), h. 71
3
Nasr Hamîd Abû Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulum al-Qur’an, Pent
Khoiron Nahdhiyin, (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 33

1

Ali Sodikin memetakan fase “reformasi” yang dilakukan Muhammad menjadi
dua: reformasi Makkah dan Madinah. Pertama, reformasi Makkah (sejak kenabian
hingga 616 M). Pada fase ini, Muhammad berupaya meluruskan ketauhidan
masyarakat Makkah saat itu. Sebelum Muhammad datang dengan membawa
wahyu Al-Qur’an, masyarakat Makkah sebetulnya telah mempercayai Allah. Akan
tetapi, disamping percaya Allah, mereka tetap menyembah patung-patung.
Politiesme yang mengarahkan pada pandangan materialistis masyarakat saat itu
bermuara pada tidak adanya keadilan. Sehingga doktrinasi tauhid dimaksudkan
pembentukan masyarakat yang egaliter dan berkeadilan.
Pendekatan “santun” yang dilakukan Muhammad mengantarkan masyarakat
Makkah pada pemahaman dan kesadaran atas konsep eskatologi4 seperti adanya
hari akhir, hari pembalasan dan akhirat. Doktrin semacam ini dimaksudkan agar

masyarakat berbuat kebajikan dan menyadari akan keadilan Tuhan. Selain
meuluruskan tauhid dan doktrinasi eskatologis, Muhammad juga mengajarkan
ritual ibadah, solat. Solat merupakan bentuk penghambaan kepada yang maha
kuasa, Allah. Tuntunan solat ini sekaligus menghapus praktik mistis yang
dilakukan masyarakat Makkah.5
Kedua, reformasi Madinah (622 M). ayat-ayat yang turun di Madinah kebanyakan
menyangkut panduan membangun masyarakat sosial (konsep ummah6, persoalan
warisan7, jihad8, hukum potong9 tangan hukum perzinahan10 dan lainnya). Selain
itu, ayat al-Qur’an yang turun di Madinah banyak berisi seruan pada ahli kitab
(Yahudi dan Nasrani) agar memeluk agama Islam.11 Kedua fase di atas
menunjukkan bahwa kedudukan Muhammad sebagai pembawa risalah kenabian.
Risalah kenabian Muhammad esensinya terdapat dalam dua hal yang sangat
penting, yakni membawa ajaran tauhid dan aturan berhubungan sesama manusia.12
Pembacaan terhadap konteks turunnya al-Qur’an sangat penting dalam memahami
wahyu Tuhan tersebut. Hal ini dapat mengantarkan pada pembacaan historis
secara utuh atas turunnya ayat. Dalam kajian ulûm al-Qur’ân, kajian ini didapat
pada pembahasan mengenai asbâb al-nuzûl. Al-Wâhidî membagi proses turunnya
ayat al-Qur’an terbagi menjadi dua. Pertama, ayat yang turun tiba-tiba tanpa ada
sebab. Tetapi ayat tersebut tetaplah mengandung hikmah. Biasanya berkaitan
dengan ayat-ayat akidah. Kedua, ayat yang turun karena adanya suatu peristiwa

yang menyebabkannya. Sehingga ayat tersebut menjadi jawaban atas peristiwa
tersebut. Pada bagian yang kedua, turunnya al-Qur’an dengan adanya sebab
terbagi menjadi dua. 1). adanya peristiwa dikalangan umat muslim sehingga
4

Ilmu tentang akhir riwayat hidup manusia; ilmu yang berkaitan dengan kematian manusia
Ali Sodikin, Antropologi Al-Qur’an, h. 83-90
6
Sûrah al-Hujurat: 10
7
Sûrah Nisâ: 11-14
8
Antara lain sûrah al-Baqarah: 261; Ali Imrân: 169; al-Nisâ: 78
9
Sûrah al-Mâidah: 38
10
Sûrah al-Nûr: 2
11
Mannâ Khalîl Qattân, Mabâhis Fî Ulûm Al-Qur’ân, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 58
12

Abdul Muqsith Ghazali, “Menegaskan Kembali Pembaruan Pemikiran Islam” Makalah
disampaikan di Taman Ismail Marzuki Jakarta 4 Juli 2011, h. 7
5

2

membutuhkan dalil penjelas dari Allah. 2). Adanya pertanyaan tertentu dari umat
kepada Nabi, sehingga Allah menurunkan ayat sebagai jawabannya .13
Pengetahuan dan pemahaman terhadap asbâb al-nuzûl merupakan hal mutlak yang
dibutuhkan bagi seorang penafsir al-Qur’an. Ia dituntut menjelaskan relevansi
konteks turunnya suatu ayat yang dapat didialogkan dengan kondisi kekinian.
Karenanya, ilmu asbâb al-nuzûl menjadi salah satu syarat yang dimiliki seseorang
dalam menafsirkan ayat. Menurut Ibn Taimiyah, sebagaimana dikutip al-Suyûtî
menerangkan bahwa pengetahuan sebab turunnya ayat sangat penting karena
membantu memahami ayat-ayat al-Qur’an, karena mengetahui sebab juga
mengetahui akibat.14
Membaca Turunnya Teks Dalam Suatu Konteks
Penjelasan diatas setidaknya mengantarkan kita pada pemahaman bahwa beberapa
ayat al-Qur’an diturunkan sebagai jawaban atas realitas manusia. Pada sisi
lainnya, turunnya ayat al-Qur’an secara “santun” tidak serta merta merombak adat

masyarakat Arab saat itu membuat kehadiran Islam lebih diterima.
Dalam memberikan petunjukan dan menetapkan hukum-hukum, al-Qur’an
memberi perhatian besar atas keadaan suatu adat –dalam hal ini adat Arab.
Perhatian itu tercermin dari petimbangan adat kebiasaan orang dimana ayat turun,
serta kondisi orang yang ada didalamnya.15 Sebuah contoh kesantunan ayat alQur’an dalam memberikan ketetapan hukum adalah ayat pengharaman khamr.
Masyarakat Arab sejak sebelum turunnya al-Qur’an dikenal sebagai masyarakat
yang gemar mabuk.16 Karenannya, ayat pelarangan khamr tidak hadir secara
langsung dalam bentuk “kharm adalah haram”. Melainkan melalui proses gradual
atau tadriji (berangsur).
Turunnya ayat pengharaman khamr pun meliputi beberapa tahap. Pertama, sûrah
al-Baqarah: 219, “Mereka akan bertanya kepadamu tentang khamr dan judi,
katakanlah keduanya memiliki kemudharatan yang besar dan memiliki manfaat
bagi orang banyak, namun kemudharatannya lebih besar dari manfaatnya”.
Kedua, sûrah al-Nisa: 43, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
mendekati solat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian tidak tahu
apa yang sedang kalian baca”. Ketiga, al-Maidah 90, “Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya khamr, judi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib
dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Oleh karena itu
jauhilah. Semoga kalian beruntung”
13


Abû Hasan Alî ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Alî al-Wâhidî, Asbâb Nuzûl al-Qur’ân,
(Riyadh: Dâr al-Maimân, 2005), h. 40
14
Jalâl al-Dîn ibn Abd al-Rahmân al-Suyûtî, Lubâb al-Nuqûl Fî Asbâb al-Nuzûl, (Beirut:
al-Maktab al-Tsaqâfiyah, 2002), h. 7
15
Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam
al-Qur’an, (Jakarta: Penamadani, 2005), h. 212
16
Kebiasaan doyan mabuk dan judi masyarakat Arab terekam dari sebuah syair yang
berbunyi: “maka jika engkau mencari aku ditempat perkumpulan kaum itu pasti kamu temukan
aku, dan jika engkau mencari aku di kedai minuman keras pasti kau temukan. Minumanku
minuman keras, aku sibuk bersenang-senang...” Ali Sodikin, Antropologi Al-Qur’an, h. 124

3

Ayat pertama pengharaman khamr adalah jawaban atas pertanyaan dalam alQur’an. Ayat tersebut memberi peringatan dengan menunjukkan kemudharatan
khamr.17 Pada ayat kedua, pelarangan minum khamr saat menjelang solat.18 Nasr
Hamîd mengatakan bahwa masyarakat saat itu begitu doyan minum khamr,

bahkan hal itu dilakukan sepangjang hari diwaktu kerja.19 Baru setelah itu, alQur’an memberi ketegasan bahwa khamr adalah bagian dari setan dan perbuatan
keji. Proses turun secara tajriji dan “halus” dalam menetapkan suatu hukum
dimaknai dengan upaya al-Qur’an menanamkan nilai kesadaran dan keihklasan.
Al-Qur’an secara perlahan memutlakkan keharaman khamr.20
Selain persoalan khamr, penulis akan menyajikan pandangan ahli tafsir yang
melihat konteks pasca turunnya al-Qur’an yakni, ayat tentang hukum potong
tangan. Sûrah al-Mâidah: 38 “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah...” menegaskan hukuman potong tangan
bagi pencuri. Mengacu pada sebab turunnya ayat, sebetulnya ayat ini menjadi
penjelas sûrah al-Nisa: 104.21
Berkaitan dengan hukum potong tangan, Wahbah Zuhailî berpendapat bahwa
hukuman itu diperlukan demi tegaknya sebuah kemashlahatan. Namun perlu
diperhatikan juga kadar barang yang dicuri, sehingga kapan seorang pencuri layak
mendapat hukum potong tangan seperti yang diperintahkan Allah pada sûrah di
atas. Terdapat hadis yang menyebut berapapun kadar yang di curi, hukum potong
tangan mesti perlaku.

‫عن أبي هريرة قال قال رسول الله (صلى الله عليه وسلم) لعن الله السارق يسرق‬
‫البيضه فتقطع يده ويسرق الحبل فتقطع يده‬

Terdapat pula hadis lainnya memberi kadar/batasan jika yang dicuri adalah
seperempat dinar, maka wajiblah dihukumi potong tangan.22

‫عن عائشة قالت كان رسول الله يقطع السارق في ربع دينار فصاعدا ا‬
Tokoh pemikir kontemporer, Fazlur Rahman, seperti dikutip Sibawaih juga
memberikan sumbangan pikirannya mengenai hukum potong tangan bagi pencuri.
17

Al-Wâhidî mencatat bahwa ayat ini turun saat sahabat Umar ibn Khattâb, Muâdz ibn
Jabâl dan seorang dari Anshar datang pada Nabi dan bertanya perihal kharm. Maka turunlah ayat
tersebut. al-Wâhidî, Asbâb Nuzûl al-Qur’ân, h. 186.
18
Al-Wâhidî mengutip riwayat dari Abû Bakr al-Isfahânî bahwa datang seorang sahabat
Nabi bernama Anâs memakan dan meminum apa yang disediakan oleh Abd Rahmân ibn Auf.
Setelah itu ia solat dalam keadaan mabuk. Ia lupa membaca sûrah al-Kâfirûn dengan tidak
membaca kata “‫ ”ل‬pada ayat “‫”لأعبدماتعبدون‬. al-Wâhidî, Asbâb Nuzûl al-Qur’ân, h. 288. Lihat
juga: Muhammad abd al-Azîm al-Zarqânî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr alKutb al-Arabî, 1995), vol 1, h. 90
19
Nasr Hamîd Abû Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, h. 126
20

Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an, h. 215
21
al-Wâhidî, Asbâb Nuzûl al-Qur’ân, h. 342
22
Wahbah al-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr, Fî al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Beirut:
Dâr al-Fikr, dan Damaskus-Suriah: Dâr al-Fikr, 1991), vol. 6, hlm 177-182

4

Bagi Rahman, hal penting yang dapat menghindarkan seseorang mencuri adalah
jika kebutuhan ekonominya terpenuhi. Ide utama pelarangan pencurian adalah
memotong kemampuan pencuri.23
Persoalan hukum potong tangan bagi pencuri –khususnya di Indonesia- bisa
dibilang jauh dari penerapan, utopi. Pasalnya, Indonesia punya aturan hukum
yang mengatur hukuman bagi seorang pencuri (bukan potong tangan). Penulis
perlu sajikan pandangan mufassir Indonesia mengenai hal ini, Quraish Shihab.
Menurutnya perlu memahami dulu kata ‫( السارق‬al-sâriq) yang berarti pencuri.
Kata tersebut memberi kesan bahwa yang mencuri telah berulangkali mencuri,
sehingga wajar dinamai pencuri. Jika demikian, maka seseorang yang baru sekali
atau dua kali mencuri belum wajar dimanai pencuri. Karenanya tidak tepat pula

jika dikenai sanksi seperti yang tersebut di atas.
Melihat kondisi atau keadaan juga menjadi pertimbangan penerapan hukum ini.
Jika ia dalam keadaan terdesak, maka hukuman potong tangan dapat diganti
dengan hukuman yang lebih ringan. Sebagian ulama menganggap hukuman ini
adalah hukuman yang paling tinggi. Khalifah Umar ibn Khattâb tidak pernah
menghukum orang pencuri dengan hukum potong tangan ketika dalam keadaan
paceklik atau pada masa krisis.24 Versi lain menyebut jika khalifah Umar malah
mengancam akan memotong seorang tangan seorang majiakan karena dua
budaknya mencuri.25 Akan tetapi, dalam konteks keIndonesiaan saat ini,
penafsiran di atas –baik Fazlur Rahman dan Quraish Shihab- perlu ditinjau ulang.
Pasalnya, berapa banyak orang yang sudah tercukupi kebutuhan ekonominya atau
bahkan lebih tetapi tetap saja mencuri, korupsi.
Syari’at hukum Islam sejatinya bertujuan tercapainya kemashlahatan. Perlu juga
diperhatikan apakah kemashlahatan tersebut bersifat individual atau sosial. Jika
tujuannya adalah individu, tentunya hal ini menyangkut orang tertentu. Namun,
jika kemashlahatan menyangkut kehidupan sosial, hal tersebut perlu dirumuskan
secara bersama, atau dikenal dengan syûra. Hasil kesepatannya tersebut menjadi
hukum tertinggi.26 Ayat hukum potong tangan menurut Muqsith Ghazali termasuk
kategori ayat-ayat partikular. Mengenai pelegalannya untuk menjadi sebuah aturan
resmi, misalnya dalam bernegara, tidak perlu diperdebatkan. Prinsip yang
diutamakan sebetulnya adalah hukuman yang menjerakan. “Al-Ibrah bi almaqâsid al-syar’iyah” bahwa tujuan hukum lebih utama ketimbang hurufnya.27
Kesimpulan
Pengetahuan dan pemahaman terhadapa asbâb al-nuzûl al-Qur’an menjadi fardlu
ain hukumnya untuk menafsirkan sebuah ayat. Pembahasan singkat mengenai
23

Sibawaihi, Hermenetika al-Qur’an Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), h. 80
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati) hlm 92-94
25
Nasr Hamîd Abû Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, h. 124
26
Abdul Muqsith Ghazali. Dkk, Metodologi Studi al-Qur’an, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2009), h. 161
27
Abdul Muqsith Ghazali, “Menegaskan Kembali Pembaruan Pemikiran Islam”, h. 5
24

5

sebab turunnya ayat diatas setidaknya menegaskan penting ilmu tersebut.Tanpa
pengetahuan histori yang melandasi turunnya sebuah ayat, maka dipastikan
seorang penafsir akan menafsirkan secara despotik. Mengetahui sebab turunnya
ayat juga meniscayakan akan pengetahuan terhadap ilmu hadis. Tulisan ini juga
menegaskan dakwah “santun” oleh nabi Muhammad dalam dakwah Islamnya
menjadikan ia diterima ditengah budaya adat Arab yang mengakar. Muhammad
datang dengan “reformasi-kompromi” ajaran Islam dengan ajaran yang dipercayai
masyarakat Arab saat itu. Pengetahuan akan hal ini dirasa penting ditengah
maraknya sekolompok umat yang dengan penuh emosi menyatakan truth claim
nya.

6

Daftar Pustaka
al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn ibn Abd al-Rahmân, Lubâb al-Nuqûl Fî Asbâb al-Nuzûl,
Beirut: al-Maktab al-Tsaqâfiyah, 2002
al-Wâhidî, Abû Hasan Alî ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Alî, Asbâb Nuzûl alQur’ân, Riyadh: Dâr al-Maimân, 2005
al-Zarqânî, Muhammad abd al-Azîm, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, Beirut:
Dâr al-Kutb al-Arabî, 1995
al-Zuhailî, Wahbah, Tafsîr al-Munîr, Fî al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj,
Beirut: Dâr al-Fikr, dan Damaskus-Suriah: Dâr al-Fikr, 1991
Abû Zaid, Nasr Hamîd, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulum al-Qur’an,
Pent Khoiron Nahdhiyin, Yogyakarta: LKiS, 2005
Ghazali, Abdul Muqsith, “Menegaskan Kembali Pembaruan Pemikiran Islam”
Makalah disampaikan di Taman Ismail Marzuki Jakarta 4 Juli 2011
Ghazali, Abdul Muqsith. Dkk, Metodologi Studi al-Qur’an, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2009
Hitti, K. Philip, History Of The Arabs, Pent Cecep Lukman Yasin-Dedi Slamet
Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010
Sodikin, Ali, Antropologi Al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu dan Budaya,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008
Sibawaihi, Hermenetika al-Qur’an Fazlur Rahman, Yogyakarta: Jalasutra, 2007
Shihab, Umar, Kontekstualitas al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum
dalam al-Qur’an, Jakarta: Penamadani, 2005
Shihab, M. Quraish, Tafsîr al-Misbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati
Qattân, Mannâ Khalîl, Mabâhis Fî Ulûm Al-Qur’ân, Kairo: Maktabah Wahbah, tt

7